Anda di halaman 1dari 16

PEMBENTUKAN SIKAP

Pembentukan sikap sosial anak dapat terjadi melalui: (1) pengalaman yang
berulang-ulang atau dapat pula melalui suatu pengalaman yang disertai perasaan yang
mendalam (pengalaman traumatik); melalui imitasi (peniruan yang terjadi tanpa
disengaja atau sengaja); (2) sugesti, yaitu seseorang membentuk suatu sikap terhadap
objek tanpa suatu alasan dan pemikiran yang jelas, tapi semata-mata karena pengaruh
yang datang dari seseorang atau sesuatu yang mempunyai wibawa dalam
pandangannya; (3) identifikasi, yaitu seseorang meniru orang lain atau suatu
organisasi/badan tertentu didasari suatu keterikatan emosional sifatnya; (4) meniru
dalam hal ini lebih banyak dalam arti berusaha menyamai, yang sering terjadi antara
anak dengan ayah, pengikut dengan pimpinan, peserta didik dengan guru, antara
anggota suatu kelompok dengan anggota lainnya dalam kelompok tersebut yang
dianggap paling mewakili kelompok yang bersangkutan.

Pembentukan sikap sosial anak mengandung tiga komponen, yaitu: kognitif


(konseptual), afektif (emosional), konatif (perilaku atau action component).
Komponen kognitif yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan,
keyakinan, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana orang mempersepsi objek
sikap. Komponen afektif yaitu yang berhubungan rasa senang atau tidak senang
terhadap objek sikap. Komponen konatif yaitu komponen yang berkaitan dengan
kecenderungan untuk berperilaku terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan
intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau
berperilaku seseorang terhadap objek sikap.

Sarwono (2000:95) mengemukakan bahwa pembentukan sikap sosial anak dapat


melalui empat macam cara:

 Adopsi: Kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang terjadi berulang-


ulang dan terus menerus, lam kelamaan secara bertahap diserap ke dalam diri
individu dan mempengaruhi terbentuknya suatu sikap. Misalnya, sseorang
yang sejak lahir sampai ia dewasa tinggal di lingkungan yang fanatik Islam, ia
akan mempunyai sikap negatif terhadap daging babi.
 Diferensiasi: Dengan berkembangnya intelegensi, bertambahnya pengalaman,
sejalan dengan bertambahnya usia, maka ada hal-hal yang tadinya dianggap
sejenis, sekarang dipandang tersediri lepas dari jenisnya. Terhadap obyek
tersebut dapat terbentuk sikap tersendiri pula. Misalnya, seorang anak kecil
mula-mula takut kepada tiap orang dewasa yang bukan ibunya, tetapi lama-
kelamaan ia dapat membeda-bedakan antara ayah, paman, bibi, kakak, yang
disukainay dengan orang asing yang tidak disukainya.
 Integrasi: Pembentukan sikap ini terjadi secara bertahap, dimulai dengan
berbagai pengalaman yang berhubungan dengan satu hal tersebut. Misalnya,
seorang dari desa sering memdengar tentang kehidupan kota, ia pun sering
membaca surat kabar yang diterbitkan di kota kawan-kawan yang datang dari
kota membawa barang-barang yang bagus dan bercerita tentang keindahan
kota. Setelah beberapa waktu, maka dalam diri orang dewasa tersebut timbul
sikap positif terhadap kota dan hal-hal yang berhubungan dengan kota,
sehingga pada akhirnya ia terdorong untuk pergi ke kota.
 Trauma: Adalah pengalaman yang tiba-tiba, mengejutkan, yang meninggalkan
kesan mendalam pada jiwa orang yang bersangkutan. Pengalaman-
pengalaman yang traumatis dapat juga menyebabkan terbentuknya sikap.
Misalnya, orang yang sekali pernah jatuh dari sepeda motor, selamanya tidak
suka lagi naik sepeda motor.

Sikap selain dapat terbentuk oleh pengalaman-pengalaman yang objektif atau oleh
sugesti-sugesti, juga dapat terbentuk karena prasangka. Prasangka adalah penilaian
terhadap sesuatu hal berdasarkan fakta dan informasi yang tidak lengkap. Jadi,
sebelum orang tahu benar mengenai sesuatu hal, ia sudah menetapkan pendapatnya
mengenai hal tersebut dan atas dasar itulah ia akan membentuk sikap.

Tulisan ini bersambung pada INTERAKSI DAN KOMUNIKASI DALAM


KELUARGA

PEMBENTUKAN SIKAP (BAGIAN I)

Pengaruh sosial sering membentuk sikap kita jauh sebelum kita pernah berjumpa
dengan objek sikap tersebut (Calhoun, J, F., & Acocella, J, R., 1990:317). Pengaruh
sosial yang dimaksud menurut Azwar (1995:30) adalah faktor-faktor yang akan
membentuk sikap manusia, yaitu pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang
dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan agama, serta faktor
emosi dalam diri individu.
a. Pengalaman Pribadi
Penelitian yang dilakukan oleh Fabrigar, et al (dalam Ramdhani, 2009) menyatakan
bahwa jumlah informasi atau luasnya knowledge yang dimiliki individu sebelumnya
mengenai objek sikap menentukan kekuatan perubahan sikap yang dialami individu.
Oskamp (dalam Ramdhani, 2009) mengungkapkan dua aspek yang secara khusus
memberi sumbangan dalam membentuk sikap; pertama adalah peristiwa yang
memberikan kesan kuat pada individu (salient incident), yaitu peristiwa traumatik
yang merubah secara drastis kehidupan individu, misalnya kehilangan anggota tubuh
karena kecelakaan. Kedua yaitu munculnya objek secara berulang-ulang (repeated
exposure).

b. Pengaruh Orang Lain yang Dianggap Penting


Menurut Ali (2000:36), seseorang tumbuh dan berkembang sesuai dengan rangkaian
interaksi antar perorangan dalam kehidupannya di dalam keluarga, dengan teman
sebaya, teman akrab atau pernikahan, melalui contoh-contoh yang bersifat formal dan
informal yang berlangsung relatif cukup lama. Interaksi antar perorangan ataupun
kelompok akan berpengaruh besar terhadap komponen kognitif, afektif, dan konatif
seseorang. Begitu juga dengan sikap. Pada umumnya, individu cenderung untuk
memilih sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya
penting (Azwar, 1995:32).
Sikap dapat dipelajari melalui imitasi. Orang meniru orang lain, terutama jika orang
lain itu merupakan orang yang kuat dan penting (Sears, D, O,. Freedman, J, L., &
Peplau, L, A., 1985:143). Salah satu sumber penting yang jelas-jelas membentuk
sikap kita adalah kita mengadopsi sikap tersebut dari orang lain melalui proses
pembelajaran sosial (social learning). Pembelajaran sosial merupakan suatu proses
dimana kita mengadopsi informasi baru, tingkah laku atau sikap dari orang lain
(Baron, R, A., & Byrne., 2004:123). Dengan kata lain, banyak pandangan kita
dibentuk saat kita berinteraksi dengan orang lain atau hanya dengan mengobservasi
tingkah laku mereka (Baron, R, A,. & Byrne., 2004:123).
Sikap dapat terbentuk bahkan ketika orang tua tidak bermaksud untuk mewariskan
pandangan tertentu pada anak mereka. Proses ini disebut pembelajaran melalui
observasi (observational learning) yang terjadi ketika individu mempelajari bentuk
tingkah laku atau pemikiran baru hanya dengan mengobservasi tingkah laku orang
lain (Baron, R, A,. & Byrne., 2004:125).
Sikap anak cenderung cocok dengan sikap orang tua mereka (Calhoun, J, F., &
Acocella, J, R, 1990:317). Senada dengan Calhoun, Ali (2000:39) mengatakan bahwa
sikap dan perilaku anak relatif lebih dominan diwarnai oleh sikap dan perilaku
orangtuanya. Sikap orang tua akan dijadikan role model bagi anak-anaknya
(Ramdhani, 2009). Peran orang tua sebagai orang yang paling dekat dengan anak-
anaknya terutama yang berkenaan dengan sikap, perhatian, dorongan, dan reaksi
dalam mendidik dan membesarkan anaknya dapat membentuk dan mempengaruhi
sikap dan perilaku anak-anaknya (Ali, 2000:39).
Dari orangtualah anak atau para remaja belajar tentang nilai dan norma-norma yang
dapat membentuk dan menentukan sikap dan perilaku anaknya dalam kehidupan
sehari-hari.
Anak-anak cenderung mewarisi sikap orang tua mereka, tetapi anak remaja dan
menjelang dewasa lebih dipengaruhi teman sebaya mereka (Calhoun, J, F., &
Acocella, J, R, 1990:319). Dalam masa remaja, kelompok teman sebaya cenderung
mengganti keluarga sebagai kelompok acuan individu?yaitu, kelompok yang
normanya kita jadikan alat untuk menilai diri sendiri (Calhoun, J, F., & Acocella, J, R,
1990:319). Bahkan Ramdhani (2009) mengungkapkan bahwa ada kecenderungan
bahwa seorang individu berusaha untuk sama dengan teman sekelompoknya.

Dapat disimpulkan bahwa orang tua dan teman sebaya berpengaruh besar dalam
membentuk dan merubah sikap seseorang.

REFERENSI

Ali, M. 2000. Sikap, Intensi, dan Perilaku Asimilasi Siswa (Perspektif Psikologi
Sosial). Makalah. Pontianak: FKIP UNTAN.
Azwar, S. 1995. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Baron, R, A., & Byrne, D. 2004. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.


Calhoun, J, F., & Acocella, J, R. 1990. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan
Kemanusiaan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Ramdhani, N. 2009. Pembentukan dan Perubahan Sikap. Avaliable:
http:/neila.staff.ugm.ac.id/wordpress/wp-content/uploads/2009/09/bab2a1-
attitude.pdf
Proses Pembentukan Sikap
OPINI | 06 December 2010 | 08:01 422 3 1 dari 1 Kompasianer menilai Menarik

Mengapa orang Jawa memiliki sikap ”kemayu, lembut, sopan dll” dan bertingkah
laku yang sering kali berbeda dengan sikapnya ? Bagaimana proses pembentukan
sikap itu sendiri ? Para Psikolog Sosial menyakini bahwa sikap adalah hasil dari
proses belajar. Sebagian besar psikolog sosial memfokuskan perhatiannya pada
bagaimana pembentukan sikap. Namun demikian hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa sikap dapat dipengaruhi oleh orang tua kepada anaknya yakni bersifat genetik
(Baron, 2003).

Proses pembentukan sikap menurut Baron terjadi dengan sistem adopsi dari orang lain
yakni melalui satu proses yang disebut proses pembelajaran sosial. Dalam proses
inipun dilalui dalam beberapa proses lainnya antara lain :

1. Classical conditioning adalah Bentuk dasar dari pembelajaran di mana satu


stimulus, yang awalnya netral menjadi memiliki kapasitas untuk
membangkitkan reaksi melalui rangsangan yang berulang kali dengan stimulus
lain. Dengan kata lain satu stimulus menjadi sebuah tanda bagi kehadiran
stimulus lainnya (Robert A Baron, 2003). Dalam proses ini seorang anak yang
awalnya biasa saja menyaksikan Ibunya bersikap marah terhadap suku bangsa
tertentu namun karena sikap sang Ibu tersebut dilakukan berulang kali maka
terjadilah proses classical conditioning pada diri sang anak. Sang anak yang
awalnya netral menjadi ter-stimulasi untuk bersikap negatif seperti yang
dilakukan Ibunya. Dalam hal ini anak memperlajari bagaimana bersikap dari
orang terdekatnya.

1. Instrumental conditioning adalah Bentuk dasar dari pembelajaran di mana


respon yang menimbulkan hasil positif atau mengurangi hasil negarif yang
diperkuat (Robert A Baron, 2003). Dalam proses ini kita bisa mengambil
contoh anak yang tidak memahami apa-apa tentang partai politik misalnnya
maka akan bersikap sama dengan orang tuanya. Dalam perspektif behavior,
tingkah laku sang anak adalah buah dari reinforcement. Dengan memberikan
senyuman, pujian atau hadiah kepada anak yang telah melakukan dukungan
kepada salah satu partai politik (padahal ia baru berusia 3 tahun) seperti yang
menjadi dambaan orang tuanya maka akan membentuk sikap anak sama
dengan sikap orang tuanya tersebut. Proses adopsi sikap seperti ini dinamakan
instrumental condioning.

1. Pembelajaran melalui observasi adalah Salah satu bentuk belajar di mana


individu mempelajari tingkah laku atau pemikiran baru melalui observasi
terhadap orang lain (Robert A Baron, 2003). Proses ini terjadi hanya dengan
memperhatikan tingkah laku orang lain. Contohnya seorang anak yang melihat
ayahnya memukul Ibunya maka sikap dan perbuatan tersebut akan menurun
pada anaknya meski sang ayah melarang anaknya melakukan kekerasan
kepada siapapun. Dalam hal ini sang anak seringkali belajar apa yang
dilakukan orang tuanya, bukan apa yang dikatakan oleh orang tuanya.

1. Perbandingan Sosial adalah Proses di mana kita membandingkan diri kita


dengan orang lain untuk menentukan apakah pandangan kita terhadap
kenyataan sosial benar atau salah (Robert A Baron, 2003). Dalam proses ini
kita bisa melihat bagaimana anggota masyarakat menentukan siapa
pemimpinnya dalam satu komunitas di pedesaan cenderung sama karena
mereka memiliki kecenderungan untuk memperbandingkan diri mereka
masing-masing dengan orang lain untuk menentikan apakah pandangan dan
sikapnya terhadap siapa yang akan dipilihnya benar atau salah (Festinger,
1954). Dalam masyarakat desa berbeda pandangan dan sikap dengan
lingkungannya akan anggap aneh dan tidak lazim dan bahkan mendapat resiko
dikucilkan. Dalam banyak kasus, sikap terbentuk dari informasi sosial yang
berasal dari orang lain, dan keinginan kita sendiri untuk menjadi serupa
dengan orang yang kita sukai atau hormati.

Pertanyaannya adalah apakah setiap sikap kita akan menjelma menjadi perilaku kita ?
Ternyata jawabnya tidak demikian. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang
dikenal dengan budaya ketimuran, banyak dari sikap kita tidak menjelma menjadi
perilaku kita. Seperti misalnya sikap marah kita pada pimpinan di kantor karena
sistem yang kita anggap tidak adil, tidak selamanya kita apresiasikan dalam perilaku
marah. Atau contoh yang paling dekat adalah sikap kita mencintai makanan berlemak
dan berkoresterol tinggi tidak serta merta membuat kita membabi buta ketika
berhadapan dengan makanan tersebut. Argumennya beragam mulai dari ketakutan kita
mengidap penyakit diabetes, jantung maupun untuk menjaga agar tubuh kita tetap
ideal dan tidak mengalami kegemukan.

PEMBENTUKAN SIKAP

Diintisarikan dari:
Krech, D.; Crutchfield, R.S.; & Ballachey, E.L. (1982). Individual in Society.
Chapter 6: The Formation of Attitudes. Berkeley: McGraw-Hill International Book
Company.

Oleh Didi Tarsidi


Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

Sikap berkembang dalam proses pemuasan keinginan

Dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya dalam upayanya untuk


memuaskan keinginannya, individu mengembangkan sikap. Dia mengembangkan
sikap positif terhadap orang dan obyek yang memuaskan keinginannya. Individu akan
mengembangkan sikap negatif terhadap obyek dan orang yang menghambat
pencapaian tujuan-tujuannya. Sikap individu dapat memberi nilai instrumental
tambahan baginya. Dia mengembangkan sikapnya dalam merespon terhadap situasi
masalah - dalam upayanya untuk memuaskan keinginan tertentu. Selama sikapnya itu
merupakan sistem yang bertahan lama, sikapnya tersebut akan terus dipertahankannya
dan mungkin akan dipergunakannya untuk memecahkan berbagai masalah - untuk
memuaskan berbagai keinginannya. Misalnya, seorang anak mungkin akan
mengembangkan sikap positif terhadap politik sekedar untuk menyenangkan ayahnya
yang seorang politisi profesional; sebagai seorang dewasa, sikap tersebut mungkin
akan dipergunakannya untuk memuaskan keinginannya akan kekuasaan, atau untuk
memperoleh prestise, atau untuk mendapatkan kekayaan materi, atau untuk membantu
orang lain.

Peranan keinginan dalam pengembangan sikap terungkap jelas dalam kasus sikap
sosial yang penting untuk dipahami, yaitu sikap purbasangka rasial (racial prejudice).
Prejudice dapat berfungsi sebagai pembenaran atas sikap permusuhan patologis
(pathological hostility), merasionalisasikan keinginan dan perilaku yang secara
budaya tak dapat diterima yang terselubung dalam aspirasi yang sesuai dengan
budaya, mengelola keinginan yang terepresi, meningkatkan perasaan kehormatan diri,
melindungi self dari ancaman terhadap harga diri, membantu orang menjadi kaya,
memberi penjelasan yang "logis" mengapa orang tetap miskin.
------------------------------

Sikap individu dibentuk oleh informasi yang terdedah kepadanya

Sikap tidak hanya dikembangkan dalam proses pemuasan keinginan; sikap juga
dibentuk oleh informasi yang terdedah (exposed) kepada individu. Akan tetapi,
informasi jarang merupakan faktor penentu suatu sikap kecuali dalam konteks sikap-
sikap lain. Informasi baru sering dipergunakan untuk membentuk sikap yang sejalan
dengan sikap-sikap terkait yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu, terutama
karena responsif terhadap informasi, sikap itu dapat "valid" dalam arti bahwa
komponen kognisi dari sikap itu dapat sejalan dengan fakta-fakta tentang obyek sikap
itu. Andaikata tidak demikian, maka individu tidak akan dapat mengatasi secara
efektif banyak permasalahan yang dihadapinya sebagai seorang anggota masyarakat
yang kompleks.

Akan tetapi,tidak semua sikap itu mencerminkan fakta secara benar. Sikap-sikap
tertentu dapat berkembang sangat menyimpang dari fakta; misalnya takhyul,
khayalan, purbasangka (prejudice). Karena sikap-sikap seperti ini sering
mengakibatkan munculnya tindakan sosial yang menyusahkan, maka analisis tentang
sebab-sebab terjadinya ketidaksejalanan antara fakta dan keyakinan tersebut perlu
mendapat prioritas tinggi. Beberapa dari analisis tersebut adalah sebagai berikut:
1) Banyak sikap yang dimiliki individu kekurangan validitas karena mereka tidak
terinformasi secara cukup baik. Informasi yang mereka miliki tidak memadai untuk
menggambarkan fakta-fakta yang esensial. Kalaupun beberapa fakta yang dimiliki
individu itu benar, tetapi kurangnya pengetahuan tentang fakta-fakta lain yang terkait
dapat mendistorsi fakta-fakta yang benar tersebut. Sikap dibentuk oleh banyak fakta;
dan makna satu fakta tidak pernah terlepas dari fakta-fakta lain yang terkait. Fakta-
fakta yang terdistorsi itu dapat mengakibatkan terbentuknya keyakinan yang salah.
2) Individu yang mempunyai keinginan kuat yang harus dipenuhi dengan
mengembangkan sikap-sikap yang tepat berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya
dari lingkungan kehidupannya yang kompleks, dia sangat bergantung pada berbagai
otoritas untuk mendapatkan isi kognisi dari sikapnya itu. Otoritas-otoritas ini kadang-
kadang tidak dapat dipercaya, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sengaja
bermaksud mendistorsi sikap individu itu.
3) Individu itu sendiri sering kali tidak cukup terpelajar untuk dapat mempersepsi
substansi fakta yang ada; dan bila dia mempersepsi fakta-fakta itu berdasarkan
pemahamannya sendiri, dia beresiko membuat persepsi yang salah.
4) Kemungkinan lainnya, bila individu itu tidak dapat memperoleh fakta yang
dibutuhkannya, (baik dari otoritas maupun dari tangan pertama), karena merasa perlu
mengembangkan sikap tertentu, dia akan menciptakan "fakta" sendiri.

Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bahwa terjadinya takhyul, khayalan, dan


purbasangka itu terkait dengan reliabilitas otoritas yang kita andalkan (guru, surat
kabar, buku, televisi, radio), berbagai pengalaman yang telah kita jalani, dan tingkat
pemuasan keinginan-keinginan kita yang paling penting.
------------------------------

Afiliasi kelompok individu turut menentukan pembentukan sikapnya

Afiliasi individu dengan berbagai kelompok memainkan peranan vital dalam


pembentukan sikap-sikapnya. Baik kelompok di mana individu menjadi anggotanya
maupun kelompok di mana individu tidak menjadi anggotanya - tetapi dia ingin
masuk ke dalamnya - berperan penting dalam membentuk sikap-sikapnya. Tetapi
individu tidak secara pasif menyerap sikap-sikap yang dianut oleh berbagai kelompok
di mana dia menggabungkan diri. Sebagaimana halnya dengan kognisi, sikap
berkembang secara selektif dalam proses pemuasan keinginan. Individu akan memilih
di antara berbagai sikap yang ditawarkan kepadanya yang dapat memuaskan
keinginannya. Dan setiap individu berafiliasi dengan banyak kelompok, yang
mungkin menganut sikap-sikap yang kongruen ataupun inkongruen. Oleh karenanya,
dampak pengaruh kelompok terhadap pembentukan sikap itu bersifat tak langsung
dan kompleks.
------------------------------

Sikap individu mencerminkan kepribadiannya

Salah satu dampak pengaruh kelompok terhadap perkembangan sikap adalah


terbentuknya keseragaman sikap di kalangan anggota berbagai kelompok sosial.
Tetapi di dalam keseragaman itu juga terdapat keanekaragaman. Faktor utama yang
mengakibatkan keanekaragaman itu adalah adanya perbedaan kepribadian di kalangan
individu.

Individu cenderung menerima sikap yang sesuai dengan kepribadiannya sebagai


sikapnya sendiri. Hal ini berlaku untuk bermacam-macam sikap seperti etnosentrisme,
sikap beragama, sikap politik, dan sikap terhadap masalah-masalah internasional.

Akan tetapi, kepribadian individu bukan merupakan sistem yang terintegrasi secara
sempurna, dan individu mungkin akan mengambil sikap-sikap yang inkonsisten atau
kontradiktif karena adanya pengajaran dari bermacam-macam otoritas dalam bidang
yang berbeda-beda, karena afiliasinya dengan kelompok-kelompok yang saling
bertentangan, dan karena adanya bermacam-macam keinginan yang bertentangan.
Jadi manusia itu dapat mengabdi kepada banyak majikan.

Labels: Psikologi Sosial

Ada 4 hal penting yang mempengaruhi sikap seseorang :

1. Temperamen bawaan (atau orang biasa menyebutnya karakter)


2. Lingkungan
3. Pengetahuan
4. Pengalaman

Penjelasannya :

1. Ada hubungan antara temperamen bawaan kita dengan sikap kita


a. Kolerik, umumnya memperlihatkan sikap tekun dan agresif
b. Sanguinis, umumnya memperlihatkan sikap positifm dan selalu
melihat sisi cerah kehidupan
c. Melankolis, umumnya mawas diri, tetapi kadang bersikap negatif
d. Plegmatis, umunya bersikap "easy going"
Pertanyaannya, apakah kita "pure" seorang melankolis/kolerik/sanguinis/
plegmatis??
Jawabnya, kita semua memiliki semua temperamen dasar tersebut, cuma
ada temperamen yang mendominasi, maka kita mencederung mempunyai
temperamen yang mendominasi tersebut.

2. Lingkungan
Hal ini merupakan faktor utama yang mempengaruhi sikap kita. Lingkungan
keluarga dan pergaulan yang baik cenderung akan membentuk kita untuk
bersikap baik, demikian sebaliknya.
Mau contoh....lihatlah kamu saat ini, sikap2 postif apa yang telah menjadi
bagian dari dirimu, dan sikap2 negatif apa yang juga menjadi bagian dirimu
Lihat kebelakang, telusuri .... lingkungan mana yang mempengaruhinya???

3. Pengetahuan
Semakin banyak yang kita tahu, semakin kita dapat memahami apa yang terjadi
TAHU menjadi PAHAM, PAHAM membentuk SIKAP kita..

4. Pengalaman
Orang bijak mengatakan 'pengalaman adalah guru yang baik' mengapa
karena dalam pengalaman kita menerapkan semua bekal point 1-3 diatas
sehingga pengalaman yang baik maupun yang buruk akan membentuk
sikap kita
Masalahnya adalah APAKAH KITA MAU MERUBAH SIKAP KITA????
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap:
1. Pengalaman pribadi
􀃆 Dasar pembentukan sikap: pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang
kuat
􀃆 Sikap mudah terbentuk jika melibatkan faktor emosional
2. Kebudayaan
􀃆 Pembentukan sikap tergantung pada kebudayaan tempat individu tersebut
dibesarkan
􀃆 Contoh pada sikap orang kota dan orang desa terhadap kebebasan dalam pergaulan
3. Orang lain yang dianggap penting (Significant Otjhers)
􀃆 yaitu: orang-orang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak tingkah
laku dan opini kita, orang yang tidak ingin dikecewakan, dan yang berarti khusus
􀃆 Misalnya: orangtua, pacar, suami/isteri, teman dekat, guru, pemimpin
􀃆 Umumnya individu tersebut akan memiliki sikap yang searah (konformis) dengan
orang yang dianggap penting.
4. Media massa
􀃆 Media massa berupa media cetak dan elektronik
􀃆 Dalam penyampaian pesan, media massa membawa pesan-pesan sugestif yang
dapat mempengaruhi opini kita
􀃆 Jika pesan sugestif yang disampaikan cukup kuat, maka akan memberi dasar afektif
dalam menilai sesuatu hal hingga membentuk sikap tertentu
5. Institusi / Lembaga Pendidikan dan Agama
􀃆 Institusi yang berfungsi meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri
individu
􀃆 Pemahaman baik dan buruk, salah atau benar, yang menentukan sistem kepercayaan
seseorang hingga ikut berperan dalam menentukan sikap seseorang
6. Faktor Emosional
􀃆 Suatu sikap yang dilandasi oleh emosi yang fungsinya sebagai semacam
penyaluran frustrasi atau pengalihan bentuk mekanisime pertahanan ego.
􀃆 Dapat bersifat sementara ataupun menetap (persisten/tahan lama)
􀃆 Contoh: Prasangka (sikap tidak toleran, tidak fair)

Sumber: Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap


http://id.shvoong.com/social-sciences/psychology/2123523-faktor-faktor-yang-
mempengaruhi-pembentukan/#ixzz1JBEJ5QMA

Anak Usia Prasekolah Sebaiknya Diarahkan pada Pembentukan Sikap Mendiknas


Bambang Sudibyo mengingatkan bahwa anak pada usia dini tak pantas dibebani
pelajaran membaca, menulis, dan berhitung. Pada usia prasekolah, anak-anak
hendaknya justru lebih banyak diarahkan pada pembentukan sikap daripada dijejali
pengetahuan dan keterampilan. "Oleh karena itu, sungguh tidak proporsional jika
sejumlah SD melakukan uji baca-tulis dan berhitung pada calon murid. Jika itu terus
terjadi, sama saja sekolah bersangkutan menghambat layanan wajib belajar," kata
Bambang di Palangkaraya, Jumat (17/3), dalam Rapat Koordinasi Pembangunan
bidang Pendidikan Provinsi Kalimantan Tengah. Rapat yang antara lain
mengagendakan sinergi rehabilitasi bangunan sekolah tersebut dibuka Gubernur
Kalteng Agustin Teras Narang, dihadiri bupati/wali kota se-Kalteng. Wacana utama
yang mewarnai rapat tersebut adalah sejauh mana meningkatkan angka partisipasi
sekolah pada semua jenjang, termasuk menggairahkan semangat belajar pada diri
peserta didik sejak usia dini. Ditemui seusai acara, Mendiknas mengatakan, adalah
kekeliruan mendasar jika pengelola TK, SD, dan orangtua murid terjebak paradigma
intelegensi akademik semata dalam menakar tumbuh kembang anak. Saat ini memang
ada kecenderungan orangtua-terutama ibu-ibu rumah tangga bangga jika melihat
anaknya sudah bisa baca-tulis dan berhitung pada usia prasekolah. Padahal, kata
Mendiknas, selain kecerdasan akademik masih banyak jenis kecerdasan lain yang
mestinya dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam diri anak pada usia prasekolah.
Prestasi seorang anak tak mesti terpaku pada kemampuan baca-tulis dan berhitung,
tetapi bisa juga dilihat pada aspek kemampuan bersosialisasi dengan lingkungan
sekitarnya serta mengendalikan emosi. "Ironisnya, lembaga pengelola TK-SD yang
mestinya meluruskan paradigma tersebut malah ikut mengeksploitasi kesalahkaprahan
paradigma yang berkembang di masyarakat," katanya. Sebetulnya, lanjut Bambang,
yang utama adalah bagaimana menumbuhkan pada anak perasaan senang
berimajinasi, menggugat, dan menggali hal-hal kecil di sekitarnya. Jika anak sudah
memiliki rasa senang untuk hal-hal seperti itu, maka ke depan akan tumbuh rasa
senang untuk belajar. Ini artinya terjadi penumbuhan minat dan potensi akademik
pada waktu yang dibutuhkan, yakni ketika tantangan dan tuntutan makin besar. Dalam
kaitan dengan standar isi dan standar kompetensi lulusan basil rumusan Badan
Standar Nasional Pendidikan yang dijadwalkan tertuang dalam peraturan menteri,
akhir Maret ini, menurut Mendiknas, kedua standar tersebut sudah memperhitungkan
pengurangan beban belajar pada jenjang SD, termasuk masa-masa transisi di kelas I-
III. Dalam hal ini, pembelajaran di kelas awal SD tak selamanya harus dalam bentuk
formal di depan kelas, bisa juga dengan bermain di halaman sekolah dan lingkungan
yang sesuai. (CAS/NAR).

Mengapa orang Jawa memiliki sikap ”kemayu, lembut, sopan dll” dan bertingkah
laku yang sering kali berbeda dengan sikapnya ? Bagaimana proses pembentukan
sikap itu sendiri ? Para Psikolog Sosial menyakini bahwa sikap adalah hasil dari
proses belajar. Sebagian besar psikolog sosial memfokuskan perhatiannya pada
bagaimana pembentukan sikap. Namun demikian hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa sikap dapat dipengaruhi oleh orang tua kepada anaknya yakni bersifat genetik
(Baron, 2003).

Proses pembentukan sikap menurut Baron terjadi dengan sistem adopsi dari orang lain
yakni melalui satu proses yang disebut proses pembelajaran sosial. Dalam proses
inipun dilalui dalam beberapa proses lainnya antara lain :

1. Classical conditioning adalah Bentuk dasar dari pembelajaran di mana satu


stimulus, yang awalnya netral menjadi memiliki kapasitas untuk
membangkitkan reaksi melalui rangsangan yang berulang kali dengan stimulus
lain. Dengan kata lain satu stimulus menjadi sebuah tanda bagi kehadiran
stimulus lainnya (Robert A Baron, 2003). Dalam proses ini seorang anak yang
awalnya biasa saja menyaksikan Ibunya bersikap marah terhadap suku bangsa
tertentu namun karena sikap sang Ibu tersebut dilakukan berulang kali maka
terjadilah proses classical conditioning pada diri sang anak. Sang anak yang
awalnya netral menjadi ter-stimulasi untuk bersikap negatif seperti yang
dilakukan Ibunya. Dalam hal ini anak memperlajari bagaimana bersikap dari
orang terdekatnya.

1. Instrumental conditioning adalah Bentuk dasar dari pembelajaran di mana


respon yang menimbulkan hasil positif atau mengurangi hasil negarif yang
diperkuat (Robert A Baron, 2003). Dalam proses ini kita bisa mengambil
contoh anak yang tidak memahami apa-apa tentang partai politik misalnnya
maka akan bersikap sama dengan orang tuanya. Dalam perspektif behavior,
tingkah laku sang anak adalah buah dari reinforcement. Dengan memberikan
senyuman, pujian atau hadiah kepada anak yang telah melakukan dukungan
kepada salah satu partai politik (padahal ia baru berusia 3 tahun) seperti yang
menjadi dambaan orang tuanya maka akan membentuk sikap anak sama
dengan sikap orang tuanya tersebut. Proses adopsi sikap seperti ini dinamakan
instrumental condioning.

1. Pembelajaran melalui observasi adalah Salah satu bentuk belajar di mana


individu mempelajari tingkah laku atau pemikiran baru melalui observasi
terhadap orang lain (Robert A Baron, 2003). Proses ini terjadi hanya dengan
memperhatikan tingkah laku orang lain. Contohnya seorang anak yang melihat
ayahnya memukul Ibunya maka sikap dan perbuatan tersebut akan menurun
pada anaknya meski sang ayah melarang anaknya melakukan kekerasan
kepada siapapun. Dalam hal ini sang anak seringkali belajar apa yang
dilakukan orang tuanya, bukan apa yang dikatakan oleh orang tuanya.

1. Perbandingan Sosial adalah Proses di mana kita membandingkan diri kita


dengan orang lain untuk menentukan apakah pandangan kita terhadap
kenyataan sosial benar atau salah (Robert A Baron, 2003). Dalam proses ini
kita bisa melihat bagaimana anggota masyarakat menentukan siapa
pemimpinnya dalam satu komunitas di pedesaan cenderung sama karena
mereka memiliki kecenderungan untuk memperbandingkan diri mereka
masing-masing dengan orang lain untuk menentikan apakah pandangan dan
sikapnya terhadap siapa yang akan dipilihnya benar atau salah (Festinger,
1954). Dalam masyarakat desa berbeda pandangan dan sikap dengan
lingkungannya akan anggap aneh dan tidak lazim dan bahkan mendapat resiko
dikucilkan. Dalam banyak kasus, sikap terbentuk dari informasi sosial yang
berasal dari orang lain, dan keinginan kita sendiri untuk menjadi serupa
dengan orang yang kita sukai atau hormati.

Pertanyaannya adalah apakah setiap sikap kita akan menjelma menjadi perilaku kita ?
Ternyata jawabnya tidak demikian. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang
dikenal dengan budaya ketimuran, banyak dari sikap kita tidak menjelma menjadi
perilaku kita. Seperti misalnya sikap marah kita pada pimpinan di kantor karena
sistem yang kita anggap tidak adil, tidak selamanya kita apresiasikan dalam perilaku
marah. Atau contoh yang paling dekat adalah sikap kita mencintai makanan berlemak
dan berkoresterol tinggi tidak serta merta membuat kita membabi buta ketika
berhadapan dengan makanan tersebut. Argumennya beragam mulai dari ketakutan kita
mengidap penyakit diabetes, jantung maupun untuk menjaga agar tubuh kita tetap
ideal dan tidak mengalami kegemukan.
. Media Massa
Menurut Azwar (1995:34) berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat
kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh dalam pembentukan opini dan
kepercayaan seseorang. Adanya informasi mengenai sesuatu hal yang dimuat oleh
media memberikan landasan bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut.
Rahayuningsih (2008) mengatakan bahwa pesan sugestif yang dibawa oleh media,
apabila cukup kuat akan memberikan dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga
terbentuklah arah sikap tertentu. Televisi khususnya dianggap memiliki pengaruh
sangat besar terhadap sikap (Calhoun, J, F., & Acocella, J, R., 1990:319). Berbagai
riset menunjukkan bahwa foto model yang tampil di media masa membangun sikap
masyarakat bahwa tubuh langsing tinggi adalah yang terbaik bagi seorang wanita
(Ramdhani, 2009).

e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama


Institusi berfungsi meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu.
Pemahaman baik dan buruk, salah atau benar, yang menentukan sistem kepercayaan
seseorang hingga ikut berperan dalam menentukan sikap seseorang (Rahayuningsih,
2008). Menurut Azwar (1995:35) apabila terdapat sesuatu hal yang bersifat
kontroversial, pada umumnya orang akan mencari informasi lain untuk memperkuat
posisi sikapnya atau mungkin juga orang tersebut tidak mengambil sikap memihak.
Dalam keadaan seperti itu, ajaran moral yang diperoleh dari lembaga pendidikan atau
dari agama seringkali menjadi faktor yang menentukan sikap.

f. Pengaruh Faktor Emosional


Suatu sikap yang dilandasi oleh emosi yang fungsinya sebagai semacam penyaluran
frustrasi atau pengalihan bentuk mekanisime pertahanan ego, dapat bersifat sementara
ataupun menetap (persisten/tahan lama) (Rahayuningsih, 2008). Azwar (1995:37)
mencontohkan bentuk sikap yang didasari emosi adalah prasangka.

Berbeda dengan Azwar, Garrett (dalam Abror, 1993:110) mengungkapkan ada dua
faktor utama yang menentukan pembentukan dan perubahan sikap yaitu faktor
psikologis dan faktor kultural. Faktor psikologis seperti motivasi, emosi, kebutuhan,
pemikiran, kekuasaan dan kepatuhan, kesemuanya merupakan faktor yang
memainkan peranan dalam menimbulkan atau mengubah sikap seseorang; sedangkan
faktor kultural atau kebudayaan seperti: status sosial, lingkungan keluarga dan
pendidikan juga merupakan faktor yang berarti yang menentukan sikap manusia.
Teori serupa diungkapkan oleh Chaiken (dalam Ramdhani, 2009), ia mengemukakan
bahwa sikap terbentuk dan berubah dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang
memungkinkan masuknya berbagai proses subjektif dalam rangka memelihara
hubungan interpersonal.

Dengan demikian variabel psikologis dan kultural selalu saling mempengaruhi dalam
rangka menimbulkan, memelihara atau mengubah sikap.

REFERENSI

Abror, A, R. 1993. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Tiara Wacana


Calhoun, J, F., & Acocella, J, R. 1990. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan
Kemanusiaan. Semarang: IKIP Semarang Press.

Program Kelas Karyawan Universitas Mercu Buana Jakarta bertujuan untuk


memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tidak mempunyai waktu luang
mengikuti pendidikan hari hari kerja. Program Kelas Karyawan Universitas Mercu
Buana Jakarta menyelenggarakan pendidikan untuk Jenjang Pendidikan Sarjana (S1),
Pascasarjana (S2) dan Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAK).

- Waktu kuliah dapat dipilih Kelas Sore (Senin - Jumat) atau Kelas Sabtu Minggu.
- Biaya studi sangat terjangkau dan dapat diangsur sesuai kemampuan mahasiswa.
- Kampus dapat dipilih yaitu Kampus Meruya atau Kampus Menteng.
- Disediakan Bus Kampus antar jemput untuk daerah Bekasi, Depok dan Tangerang.
- Mahasiswa yang dari luar kota disediakan Penginapan (Mess)

Program Sarjana (S1):


Syarat Mahasiswa: Lulusan SMU, SMK, D3, Akademi atau yang sederajat
Program Studi: Manajemen, Akuntansi, Psikologi, Public Relation, Marketing
Communications, Visual Communication, Broadcasting, Design Graphis, Arsitektur,
Design Interior, Teknik Sipil, Teknik Mesin, Teknik Elektro, Teknik Industri, Teknik
Informatika, Sistem Informasi, komunikasi

Program Profesi Akuntansi (PPAK):


Syarat Mahasiswa: Lulusan S1 Akuntansi

Program Pascasarjana (S2):


Syarat Mahasiswa: Lulusan S1, D4 atau yang sederajat
Program Studi: Magister Manajemen Keuangan, Magister Manajemen SDM,
Magister Manajemen Pemasaran, Magister Manajemen Operasi/Produksi. Magister
Manajemen Industri, Magister Manajemen Telekomunikasi, Magister Ilmu
Komunikasi, Magister Akuntansi

Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif.


Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk
mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai
dimensi yang lainnya. Yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan
volume yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari
dalam, afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang di akibat dari proses
pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap.
Sikap (afektif) erat kaitannya dengan nilai yang dimiliki oleh seseorang, sikap
merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki, oleh karenanya pendidikan sikap pada
dasarnya adalah pendidikan nilai.
Nilai, adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifat – sifatnya
tersembunyi, tidak berada dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan
pandangan seseorang tentang baik dan buruk, layak dan tidak, pandangan seseorang
tentang semua itu, tidak bisa dirubah. Kita mungkin hanya dapat mengetahui dari
prilaku yang bersangkutan oleh karena itu, nilai pada dasarnya adalah standar perilaku
sesorang. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman
perilaku kepada peserta didik yang diharapkan kepada siswa dapat berperilaku sesuai
dengan pendangan yang di anggap baik dan tidak bertentangan dengan norma –
norma yang berlaku.
Dougla Graham (Golu 2003) menyatakan 4 faktor merupakan dasar kepatuhan
seseorang terhadap nilai – nilai tertentu :
 Normativist : Kepatuhan yang terdapat pada norma – norma hokum.
 Integralist : Kepatuhan yang di dasarkan pada kesadaran dan pertimbangan –
pertimbangan yang rasional.
 Fenomalist : Kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa – basi.
 Hedonist : Kepatuhan berdasarkan diri sendiri.

Nilai bagi seseorang tidaklah statis akan tetapi selalu berubah, setiap orang akan
selalu menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu. Oleh
sebab itu, system nilai yang dimiliki seseorang bisa di bina dan diarakhan. Komitmen
seseorang terhadap suatu nilai tertentu terjadi melalu pembentukan sikap, yakni
kecendrungan seseorang terhadap suatu objek, misalnya jika seseorang berhadapan
dengan sesuatu objek, dia akan menunjukkan gejala senang atau tidak senang, suka
atau tidak suka. Golu (2005) menyimpulkan tentang nilai tersebut :
 Nilai tidak bisa di ajarkan tetapi di ketahui dari penampilannya.
 Pengembangan dominan efektif pada nilai tidak bisa di pisahkan dari aspek kognitif
dan psikomotorik.
 Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah, berkembang,
sehingga bisa di bina.
 Perkembangan nilai atau moral tidak akan terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap
tertentu.

Sikap adalah kecendrungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek
berdasarkan nilai yang di anggap baik atau tidak baik. Dengan demikian, belajar sikap
berarti memperoleh kecendrungan untuk menerima atau menolak suatu objek
penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna atau berharga (sikap positif)
dan tidak berguna atau berharga (sikap negatif).

Proses Pembentukan Sikap.


Pola Pembiasaan.
Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak, guru dapat
menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan, misalnya sikap
siswa yang setiap kali menerima perilaku yang tidak menyenangkan dari guru, satu
contoh mengejek atau menyinggung perasaan anak. Maka lama kelamaan akan timbul
perasaa benci dari anak tersebut yang pada akhirnya dia juga akan membenci pada
guru dan mata pelajarannya.
Modeling.
Pembelajaran sikap dapat juga dilakukan melalui proses modeling yaitu pembentukan
sikap melalui proses asimilasi atau proses pencontohan. Salah satu karakteristik anak
didik yang sadang berkembang adalah keinginan untuk malakukan peniruan (imitasi).
Hal yang di tiru itu adalah perilaku – perilaku yang di peragakan atau di
demonstrasikan oleh orang yang menjadi idamannya. Modeling adalah proses
peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang
dihormatinya. Pemodelan biasanya di milai dari perasaan kagum.

Model Strategi Pembelajaran Sikap.


Setiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi
yang mengandung konflik atau situasi problematis, melalui situasi ini di harapkan
siswa dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai yang dianggapnya baik.
a. Model Konsiderasi.
Model konsiderasi di kembangkan oleh Mc Paul, seorang humanis, Paul menganggap
bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional.
Menurutnya pembentukan atau pembelajaran moral siswa adalah pembentukan
kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan
kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah
agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepribadian terhadap orang lain.
b. Model Pengembangan Kognitif.
Model ini banyak di ilhami oleh pemeikiran John Dewey dan Jean Piaget yang
berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi
kognitif yang berlangsung serta berangsur – angsur menurut aturan tertentu.
c. Tehnik Mengklarifikasikan Nilai.
Tehnik volume clarification technic Que atau VCT dapat diartikan sebagai tehnik
pengajaran untuk memebantu siswa dalam menerima dan menentukan suatu nilai
yang di aggapnya baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses
menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa. VCT menekankan
bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang menurut anggapannya baik,
yang pada akhirnya nilai – nilai tersebut akan mewarnai perilaku dalam kehidupan
sehari-hari di masyarakat.
Kesulitan Dalam Pembelajaran Afektif.
Kesulitan dalam pembelajaran afektif ini dikarnakan :
Sulit melakukan control karna banyak factor yang dapat mempengaruhi
perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses
pembiasaan maupun modeling bukan hanya di tentukan oleh factor guru, akan tetapi
juga factor lain terutama factor lingkungan.
Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa di evaluasi dengan segera. Berdeda
dengan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah
proses pembelajaran berakhir, keberhasilan dari pembentukan sikap dapat dilihat pada
rentang waktu yang cukup panjang. Hal ini disebabkan sikap berhubungan dengan
internalisasi nilai yang memerlukan proses lama.
Pengaruh kemajuan tekhnologi, berdampak pada pembentukan karakter anak, tidak
bisa di pungkiri program-program TV yang menayangkan acara produksi luar negri
yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, maka dari itu perlahan tapi pasti
budaya asing yang belum cocok dengan budaya local menerobos dalam setiap ruang
kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA
Joni T. Rakaa (1980) Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : P3G.
Wina Sanjaya (2008) Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
Jakarta : Kencana.

Anda mungkin juga menyukai