Anda di halaman 1dari 10

PERAN TOKOH MUHAMMADIYAH

BUYA SYAFII MAARIF

Disusun Oleh Kelompok 6 :

Septyan Wijayanti Kusuma Wardani (C100180301)

Clarisa Mutia Huda (C100180302)

Oktavia Permatasari (C100180303)

Devi Famelia Nining Astuti (C100180304)

Indah Dwi Puspita Sari (C100180305)

Andhika Ihza Hanggara (C100180306)

Rima Faizatul Maula (C100180307)

Dedi Kiswanto (C100180308)

Dinar Rosyiddin Alifian Romadhon (C100180309)

Nurya Paramita (C100180310)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2018/2019
PENDAHULUAN

Dengan semangat mencegah kepada yang buruk dan mengajak yang baik,
Buya berseru-seru kepada para politisi dan birokrat negara agar jangan sampai
seperti rezim-rezim otoriter di Afrika mempraktikan “thugocracy” yang praktis
bersemboyan negara adalah “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.”

Etika harus diperhatikan oleh para politisi dan birokrasi agar rakyat tidak
menderita dan janji Negara Republik Nusantara kepada rakyat, yakni untuk
“Mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia” dapat dilaksanakan. Buya tidak hanya “berseru-
seru” secara verbal, tetapi juga melalui tindakan. Kiprah beliau sebagai tokoh
agama yang tak kenal lelah mengingatkan politisi dan birokrasi bersama teman-
teman beliau merupakan salah satu bukti komitmen ini.

Seruan untuk memajukan demokrasi dan memperhatikan kesejahteraan


serta keadilan social ini terdengar sebagai suara berseru-seru dari “Padang” tak
berwaktu. Ada getaran keabadian yang bertiup dan mengetuk-ngetuk kaca jendela
rumah bersama bangsa kita, yang mengajak kita untuk hidup lurus, untuk hidup
dalam kebenaran, untuk hidup bukan hanya sebagai anak bangsa, tetapi terlebih
sebagai anak keabadian. Dalam arti inilah, Buya Ahmad Syafi’I Ma’arif dapat
disebut sebagai sang “Muazin” bagi moralitas bangsa.

Meskipun berani dan blak-blakan dalam menunjukan apa yang salah


sebagai salah, yang kadang-kadang bahkan merupakan perlawanan terhadap
kondisi yang didominasi oleh “Kekumuhan moral “ seruan “Sang Muazin” ini
tidaklah menebarkan kebencian , apalagi menganjurkan kekerasan. Seperti
Mahatma Gandhi dan aktivis-aktivis kemanusiaan yang sekaliber dengannya, sikap
anti kekerasan senantiasa di garis bawahi olehm Buya Syafi’I Ma’arif. Begitulah,
tanpa berpretensi untuk mengupas tuntas semua pemikiran Buya, kita dapat
mengelompokan seruan “Sang Muazin” itu menjadi beberapa kelompok.
BIOGRAFI BUYA SYAFII MAARIF

Lahir dari didikan Muhammadiyah, Ahmad Syaf'i Ma'arif dikenal sebagai


salah satu tokoh dan pemikir Islam di Indonesia. Ia pun menjadi Ketua Umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pria kelahiran Sumpur Kudus, 31 Mei 1935 ini
besar dari keluarga sederhana di perkampungan Sumatera Barat. Sejak kecil ia
memiliki tekad ingin sekolah sampai tinggi. Sekolah dasarnya ia selesaikan di dekat
rumahnya dalam waktu singkat hanya lima tahun. Selain sekolah umum, ia juga
sekolah agama di ibtidaiyah Muhammadiyah Kampung Sumpur, Sumatera
Barat. Istrinya bernama Hj. Nurkhalifah dan memiliki tiga orang anak bernama
Salman, Ikhwan, Mohammad Hafiz.

Setelah itu, ia meneruskan ke sekolah lanjutan Muhammadiyah dan lulus


dari Madrasah Muallimin Muhammadiyah Lintau, Sumatera Barat. Lulus dari sana,
ia hijrah ke Yogyakarta untuk meneruskan ke jenjang SMA. Tapi dia tidak
diperkenankan karena pendidikan mualliminnya di Sumatera Barat tidak diakui.
Akibatnya, ia meneruskan kembali ke Madrasah Muallimin yang ada di Yogyakarta
milik organisasi Muhamadiyah. Setelah lulus muallimin pada usia 21 tahun, ia
diharuskan mengabdi di pendidikan yang dikelola organisasi Muhammadiyah dan
dikirim ke Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk mengajar di sekolah
Muhammadiyah. Setelah selesai pengabdiannya, ia kembali ke Jawa untuk
meneruskan ke perguruan tinggi. Dia mengambil jurusan sejarah di Universitas
Cokroaminoto Surakarta.

Di tengah kesibukannya kuliah, ia harus bekerja untuk membiayai hidup


dan kuliahya, apalagi saat itu dia sudah ditinggalkan kedua orang tuanya. Dia pun
mengajar di SMP dan SMA di daerah yang dekat kampusnya. Kesibukan dan situasi
politik saat itu, Syafi'i Ma'arif baru bisa menyelesaikan pada usia 29 tahun dengan
gelar sarjana muda (BA). Setelah menggondol gelar sarjana muda, ia mulai
mengajar di Universitas Islam Yogyakarta. Bersamaan dengan itu, untuk
meneruskan kesarjanaanya, dia melanjutkan kuliahnya ke Institut Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta dalam bidang yang sama sejarah. Ia terbilang
pintar, dalam waktu dua tahun dia sukses meraih gelar sarjana penuh (Drs).
Sejak itu, hidupnya banyak di dunia akademisi dan pemikiran-pemikiran
briliannya mulai terlihat. Untuk mempertajam wawasan intelektualnya, dia
meneruskan ke jenjang master dan doktor ke Amerika Serikat. Dia mengambil
sejarah pada program master di Departemen Sejarah Ohio University
dan pemikiran Islam di Universitas Chicago, Amerika Serikat.

Marwah Muhammadiyah tetap terjaga sebagai organisasi dakwah tidak


terserat ke politik. Di situlah peran Syafi'i ma'arif dibutuhkan. Ia didaulat
meneruskan kepemimpinan Amien Rais, 1998-2000. Dalam waktu dua tahun,
Syafi'i Ma'arif berhasil membawa Muhammadiyah ke jalur khittahnya. Pada
muktamar Muhammadiyah, muktamirin kembali meminta Syafi'i Ma'arif menjadi
Ketua Umum PP Muhammadiyah 2000-2005. Setelah tidak menjadi orang nomor
satu di Muhammadiyah, dia tetap konsern akan perkembangan Muhammadiyah,
Islam, dan Indonesia. Dia tetap memberikan masukan dan kritikan kepada sahabat
dan kepada siapa dengan tulus. Untuk menguatkan pemikiran-pemikiran
pluralisme, toleransi, kebangsaan, keislaman, sosialnya, didirikan lembaga Ma'arif
Institute. Lembaga ini diisi oleh intelektual-intelektual muda dan yang memiliki
kepedulian akan bangsa.

Pada masa usia yang sudah tidak muda lagi, 80 tahun, pemikirian-pemikiran
Syafi"ii masih dibutuhkan bangsa ini. Presiden Joko Widodo, pada awal tahun
2015, sempat menawarkan posisi Dewan Pertimbang Presiden, tapi Syafi'i
menolaknya. Dia mau lebih independen. Maka, saat presiden Joko Widodo
memintanya untuk menjadi salah satu Tim Independen mengatasi konflik Polri-
KPK, ia menyanggupinya dan sekaligus menjadi Ketua Tim Independen 2015.1

1
Maryadi, “Profil Ahmad Syafii Maarif”( https://www.viva.co.id/siapa/read/297-
ahmad-syafii-maarif, Diakses pada 12 Desember 2017, 2017)
PEMIKIRAN BUYA SYAFII MAARIF

A. Etika Politik Demokrasi.


Dalam demokrasi , rakyat memilih wakil-wakilnya yang diharapkan
akan bermusyawarah dan bermufakat untuk mneghasilkan produk undang-
undang yang muncul dari aspirasi para pemilihnya. Rakyat secara langsung
ataupun tidak langsung juga memilih pemimpin-pemimpin pemerintah
dalam berbagai tingkat, yang akan menerapkan undang-undang dan yang
pelaksanaannya akan terus dikontrol oleh legislatif dan pelanggarannya
akan ditindak oleh yudikatif.
B. Etika Politisi dan Birokrat.
Perilaku politisi dan birokrat yang tidak beretika hanya akan
mencederai demokrasi. Rakyat akan berpikir bahwa kesalahan terletak pada
tatanan demokrasi, dan bukan pada perilaku menyimpang dari para politisi
dan birokrat. Padahal Buya Ahmad Syafii bersama para “guru bangsa” yang
lain tak bosan-bosan menyerukan perlunya menghormati kemajemukan
dalam masyarakat, perlunya memperlakukan seacara setara semua pihak
dan perlunya bersatu untuk membangun kerjsama sosial yang efektif dan
adil. Dengan kata lain, bersama para “guru bangsa’ yang lain, Buya Ahmad
Syafii Maarif menegaskan perlunya etika sosial yang kondusif bagi
pelaksanaan kehidupan bernegara yang demokratis.
C. Etika Sosial
Menurut Buya Syafii Maarif dalam konteks pembentukan bangsa
dan kebangsaan Indonesia dari suku-suku dan agama yang amat majemuk
ini dan yang berlangsung dalam sejarah yang panjang, sampailah kita pada
peradaban yang memperlakukan warga dari suku dan agama apapun secara
setara. Bahkan Buya berani menyatakan bahwa kaum ateis pun, sebagai
kaum yang tuna iman, di depan hukum negara mempunyai kedudukan setara
dengan kaum beriman. Orang beriman atau tuna iman akan mendapatkan
hukuman yang sama apabila melakukan kesalahan begitu pula apabila
berjasa pada masyarakat akan mendapat ganjaran yang sama. 2
D. Etika Global
Buya Ahmad Syafii Maarif mengimbau rekan-rekan sebangku dan
setanah air untuk tak hanya mengupayakan kebaikan dan menghindari
keburukan dalam bingkai keindonesiaan semata-mata, tetapi lebih luas lagi
dalam bingkai kemanusiaan. Pada tahap perkembangan dunia hingga
sekarang, kepedulian global ini memang tidak dapat mengandalkan seratus
persen pada demokrasi institusional saja. Dengan kata lain, keprihatinan
atas penderitaan global dan kepedulian untuk membangun “ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”
sangatlah bertumpu pada muazin-muazin moralitas, semisal Hans King,
Dalai Lama, Nelson Mandela, Amartya Sen, dan juga Ahma Syafii Maarif.
E. Sketsa Permasalahan Pendidikan Islam
Dalam kacamata Buya Syafii Maarif terdapat tiga permasalahan
krusia yang menghadang pendidikan Islam. Ketiga permasalahan tersebut
adalah dualism dikotomis ilmu, rendahnya mutu pendidikan Islam, dan
mandeknya inteluktualisme Islam. Tiga masalah ini sesungguhnya saling
jalin kelindan dan bersifat interdependensi.
F. Dualisme dikotomis ilmu
Buya Syafii menjabarkan akar dan dampak munculnya dualism
dikotomis ilmu dalam penyelenggaraan pendidikan Islam dan pandangan
hidup umat Islam. Menurut analisisnya, kemunculan dualisme dikotomi
ilmu dikalangan umat Islam disebabkan oleh, dan berakar pada, fondasi
filosofis yang rapuh, yang pada urutannya melahirkan padangan keilmuan
yang dikotomis, dimana ilmu-ilmu umum cenderung dianak-tirikan
dikalangan umat Islam. Padahal penguasaan dan eksplorasi dunia
memerlukan piranti ilmu-ilmu umum. Ringkasnya menggejelanya dualisme
dikotomi ilmu di kalangan umat Islam disebabkan oleh rapuhnya fondasi

2
MAARIF Institute, Muazin Bangsa dari Makkah Darat, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2015, hlm.
122-135 .
atau landasan filosofis system pendidikan Islam, kerapuhan Buya Syafii
berpandangan bahwa kelemahan system pendidikan berakar pada
kerapuhan fondasi filosofis yang mendasari system itu. Kerapuhan ini
tercuat keluar dalam bentuk dualisme dikotomis antara apa yang
dikategorikan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler. Ilmu-ilmu agama
menduduki posisi fardhu ain dan ilmu-ilmu sekuler paling tinggi berada
dalam posisi fardhu kifayah. Dalam realitasnya, ilmu-ilmu ini menjadi
terabaikan. Padahal untuk menguasai dunia ilmu-ilmu itu merupakan
prasyarat yang harus dimiliki.
G. Rendahnya Kualitas Pendidikan Islam
Menurut beliau sudah sejak lama kita merisaukan kesenjangan yang
parah antara jumlah mayoritas umat Islam Indonesia dan kualitas kehidupan
mereka yang tertinggal jauh dari buritan pada hamper semua bidang,
khusunya dibidang ilmu, teknologi, dan ekonomi. Oleh karena itu, untuk
melangkah ke depan masalah kualitas ini harus mendapatkan perhatian yang
sungguh-sungguh dari pada pemimpin Islam Indonesia agar kesenjangan itu
secara berangsur dan sadar dapat dipertautkan. Posisi mayoritas
tunakualitas akan menjadi beban Isla sebagai agama yang ingin membangun
peradaban asri yang berkualitas tinggi.
H. Percikan Pemikiran Pendidikan Islam
Konsisten dengan percikan pemikirannya, sejauh ini hamper seluruh
energy intelektualnya dikerahkan dan diinvestasikan untuk menangani
masalah-masalah kebangsaan, kemanusiaan, dan kemoderenan dengan jalan
membangkitkan intelektualisme Islam. Dalam konteks pendidikan Islam
secara kasar percikan pemikirannya dapat dipilah menjadi tiga agenda yaitu
rekonstruksi filsafat dan tujuan pendidikan islam, strategi mengangkat mutu
pendidikan Islam, dan menggairahkan iklim intelektualisme Islam.
I. Rekonstruksi dan Filsafat dan Tujuan Pendidikan Islam
Tanpa kesediaan dan kesadaran yang mendalam akan perlunya
merumuskan dan memahami filsafat pendidikan islam yang baru secara
sangat kasar diuraikan diatas, maka kaum muslim yang bertebaran di muka
3
bumi akan tetap saja mengembara tanpa peta yang jelas. Persis
sebagaimana umat-umat lain yang tidak punya Al-Qur’an. Di sinilah
tantangan terberat yang harus dicarikan solusinya oleh para pemikir Muslim
yang punya kepedulian terhadap maha pentingnya perubahan paradigma
filosofis dalam system pendidikan Islam. Berbeda dengan permasalahan
filsafar, dalam maalah tujuan pendidikan, dia secara eksplisit menyebut
tujuan pendidikan yang diimpikan. Seejurus dengan ajakan untuk
melakukan perubahan paradigma filsafat pendidikan, maka tujuan
pendidikan Islam pun perlu dirumuskan ulang. Out put pendidikan islam
harus mampu memahami Bahasa langit sebagai pemandu atau pemberi arah
dan petunjuk kehidupan di bumi.
J. Strategi Meningkatkan Kualitas Pendidikan Islam
Bahwa kiat atau strategi meningkatkan kualitas lembaga pendidikan
Islam, baik ditingkat perguruan tinggi maupun pendidikan dasar dan
menengah adalah harus membangun tiga budaya sekaligus, yaitu menjaga
idealisme, bersikap fleksibel-akomodatif tapi tetap berpegang idealisme,
dan membiasakan koordinasi, silahturahmi sebagai implementasi gerakan
jamaah. Peningkatan mutu pendidikan Islam merupakan jalan lempang
untuk memajukan kehidupan umat Islam bangsa Indonesia pada umumnya.

3
Mohammad Ali, “Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Syafii
Maarif”(http://www.journals.ums.ac.id/index.php/profetika/article/download/,
Diakses pada Desember 2016, 2016)
KESIMPULAN

Berdasarkan seluruh uraian di atas dapat diketahui garis besar pemikiran


Buya Syafii Maarif. Latar belakang akademiknya sebagai sejarawan melatihnya
membaca situasi sosial secara realistis-kritis, sedangkan keahliannya dalam
pemikiran Islam mendorongnya untuk mempertautkan setiap peristiwa sosio-
historis di bawah cahaya etik Al-Qur’an.

Permasalahan mendasar pendidikan Islam di Indonesia menurut optic Buya


Syafii mencangkup titik utama yaitu sketsa permasalahan pendidikan Islam,
dualisme dikotomis ilmu, rendahnya kualitas pendidikan Islam, percikan pemikiran
pendidikan Islam, rekonstruksi dan filsafat dan tujuan pendidikan Islam, strategi
meningkatkan kualitas pendidikan Islam. Serta permasalahan mendasar dalam etika
menurut beliau mencangkup etika politik demokrasi, etika politisi dan birokrat,
etika sosial, dan etika global. Demikianlah, penelitian baru menjajagi garis besar
pemikiran pendidikan Islam dan moralitas bangsa Buya Syafii yang bercorak kritis.
DAFTAR PUSTAKA

Institute, Maarif. 2015. Muazin Bangsa dari Makkah Darat. Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta.

Ali, Fachry & Bahtiar Effendy. Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi
Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru. Bandung: Mizan, 1986.

Ali, Mohamad. 2016. “Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Syafii Maarif”,


http://www.journals.ums.ac.id/index.php/profetika/article/download/, diakses pada
bulan Desember 2016.

Maryadi. 2017. “Profil Ahmad Syafii Maarif”, https://www.viva.co.id/ahmad-


syafi-maarf, diakses pada 12 Desember 2017.

Anda mungkin juga menyukai