Ushul Fiqh
Ushul Fiqh
1
3. Mustashhab, yaitu menetapkan hukum sesuatu atas hukum yang telah ada,
seperti yakin berwudhu ragu dalam berhadats tetap seorang itu dalam keadaan
suci.
4. Maqis ‘alaih (tempat mengqiaskan).
5. Dalil (alasan) yaitu asal hukum.
Sumber-sumber Fiqh Islam
1. Al-Qur'an
2. Sunnah
Untuk kedua sumber hukum Islam ini para fuqaha atau para ahli
hukum tidak ada perbedaan. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang ijma’
dan qiyas sebagai sumber hukum Islam.
3. Qiyas
Artinya perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang
lain dengan persamaan illatnya. Atau mengeluarkan (mengambil) suatu
hukum yang serupa dari hukum yang telah ada atau telah ditetapkan oleh
kitab dan sunnah, disebabkan sama illat antara keduanya.
Rukun-rukun qiyas:
a. Asal, yaitu dasar atau titik tolak di mana suatu masalah itu dapat
disamakan (musyabbah bih)
b. Furu’, yaitu suatu masalah yang akan diqiaskan disamakan dengan asal
tadi disebut mustabbah.
c. Illat, yaitu suatu sebab yang menjadikan adanya suatu hukum.
d. Hukum, yaitu ketentuan yang ditetapkan pada furu’ bila sudah ada
ketetapan hukumnya pada asal, disebut buah/hasil.
Macam-macam qiyas:
a. Qiyas aula, yaitu illat yang terdapat pada qiyas (furu’) lebih aula daripada
illat yang ada pada tempat mengqiaskan.
b. Qiyas musawy, yaitu illat yang terdapat pada diqiyaskan (furu’) sama
dengan illat yang ada pada tempat mengqiyaskan (asal), karena itu hukum
2
keduanya sama. Seperti mengqiyaskan membakar harta anak yatim
dengan memakannya, karena illatnya sama-sama menghabiskan.
c. Qiyas dalalah, yaitu illat yang ada pada qiyas menjadi dalil (alasan) bagi
hukum tetapi tidak diwajibkan baginya (furu’). Seperti mengqiyaskan
wajib zakat pada harta anak-anak kepada harta orang dewasa yang telah
mencapai nisabnya, tetapi bagi anak-anak tidak diwajibkan mengeluarkan
zakat.
d. Qiyas syabah, yaitu menjadikan yang diqiyaskan (furu’) dikembalikan
kepada antara dua asal yang lebih banyak persamaan antara keduanya.
e. Qiyas adwan, yaitu diqiyaskan (furu’) terhimpun pada hukum yang ada
pada tempat mengqiyaskan, seperti mengqiyaskan memakai perak bagi
laki-laki kepada memakai emas, menurut ulama hukumnya haram.
4. Ijma’
Menurut bahasa artinya cita-cita, rencana, atau kesepakatan.
Sedangkan menurut syara', ijma; adalah suatu kesepakatan bagi mujtahid di
antara umat Nabi Muhammad Saw. sesudah beliau meninggal dalam suatu
masalah yang dihadapi.
Macam-macam ijma’:
a. Ijma’ qath’iy, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan
hukum suatu masalah tanpa ada bantahan di antara mereka.
b. Ijma’ sukuthiy, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan
hukum suatu masalah, kesepakatan dengan menerima tantangan di antara
mereka atau tenang saja salah seorang di antara mereka dalam mengambil
keputusan.
3
Kedudukan Ushul Fiqh ialah sebagai dasar dari fiqh Islam, artinya Ushul
Fiqh itu merupakan sumber-sumber atau dalil-dalil dan bagaimana cara
menunjukkan dalil-dalil tersebut kepada hukum syara' secara garis besar.
Jadi peranan dan kedudukan fiqh dan ushul adalah sesuatu hal yang tidak
dapat dipisahkan, sebab keduanya saling membutuhkan dalam sasarannya
menerapkan hukum Islam terhadap orang-orang mukallaf.
Mantuq dan Mafhum
Mantuq ialah sesuatu yang ditunjuki lafadz atau lafadz itu sendiri.
Sedangkan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz, tetapi bukan
dari ucapan lafadz itu sendiri.
Misalnya dalam QS. Al-Isra’ ayat 23, di dalamnya ada ayat mantuq dan
mafhum. Mantuqnya pada lafadz itu sendiri “jangan kamu katakan kepada dua
orang tuamua perkataan keji” sedangkan mafhum yang tidak disebutkan untuk
memukul dan menyiksanya juga dilarang.
Pembagian mantuq
1. Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin dita’wilkan lagi.
2. Zhahir, yaitu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang
dimaksud dan menghendaki kepada penta’wilan.
Pembagian mafhum:
1. Mafhum muwafaqah
Ialah pengertian yang dipahami sebagai sesuatu menurut ucapan
lafadz yang disebutkan. Macam mafhum muwafaqah ada dua, yaitu fahwal
khithab dan lahnal khithab.
4
2. Mafhum mukhalafah
Ialah pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam
istinbath (menetapkan) maupun nafi’ (meniadakan). Oleh sebab itu hal yang
dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafadz yang diucapkan.
Contohnya, pemahaman tentang QS. Jum’ah ayat 9, yaitu dalam ayat
ini bahwa boleh jual beli di hari Jum’at sebelum adzan dan sesudah
mengerjakan sembahyang.
Syarat-syarat mafhum mukhalafah:
a. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq
maupun mafhum muwafaqah.
b. Yang disebabkn (mantuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
c. Yang disebutkan (mantuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu
keadaan.
d. Yang disebutkan (mantuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada
yang lain.
Macam-macam mafhum mukhalafah:
a. Mafhum shifat, yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada salah satu
sifatnya. Contohnya dalam QS. An-Nisa’ ayat 92:
مومماَ مكاَمن لمممؤؤممنن أمؤن يميؤقتممل ممؤؤممنناَ إملل مخطمأن موممؤن قميتممل ممؤؤممنناَ مخطمأن فميتمؤحمريمر مرقميبمنة ممؤؤممنمنة
5
Artinya: “Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang
mu'min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan
barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang
memusuhimu, padahal ia mu'min, maka (hendaklah si
pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan
jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian
(damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si
pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya
yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka
hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut
sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An-Nisa’: 92).
b. Mafhum ‘illat, yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada salah satu
sifatnya. Contoh pengharamakan khamr karena memabukkan.
c. Mafhum ‘adat, yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada bilangan
yang tertentu. Contohnya dalam QS. An-Nur ayat 4:
6
buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik”. (QS. An-Nur: 4).
d. Mafhum ghayah, yaitu lafadz yang menunjukkan hukum sampai kepada
ghayah (batasan, hingaan), hingga lafadz ghayah ini adakalanya dengan
“ilaa” atau dengan “hatta”. Seperti dalam QS. Al-Maidah ayat 6 atau QS.
Al-Baqarah ayat 22:
سمحوُا بممرمءومسمكؤم موأمؤرمجلممكؤم إمملىَ الؤمكؤعبميؤيَمن موإمؤن مكؤنتميؤم مجنمبنيياَ فيمياَطللهمروا موإمؤن م
الؤمممرافمق مواؤم م
مم م م
ضىَ أمؤو معملىَ مسمفنر أمؤو مجاَءم أممحةد مؤنمكؤم ممن الؤمغاَئط أمؤو ملممؤسيتممم الن م
سيياَءم فميلميؤم مكؤنتمؤم ممؤر م
م م
سيمحوُا بمموُمجييوُهمكؤم موأميؤيمديمكؤم مؤنيهم مميياَ يممرييمد ال ليهم تممجمدوا ماَء فميتمييَلمموُا م
صيعيَندا طميَنبينياَ مفاَؤم م
من م م م
لميَمؤجمعي يمل معلمؤيَمكي يؤم ممي يؤن محي يمرنج مولممكي يؤن يممريي يمد لميَمطمنهمرمكي يؤم مولميَمتمي يلم نمؤعممتمي يهم معلمؤيَمكي يؤم لممع لمكي يؤم
(6 :تمؤشمكمرومن )الماَئدة
7
menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.
(QS. Al-Maidah: 6).
مويممح ي
(222 :ب الؤممتمطمنهمريمن )البقرة
َقمؤل مل أممجمد مفيِ مماَ مأومحميِ إململيِ مممحلرنماَ معملىَ مطاَمعنم يمطؤمعمميهم إملل أمؤن يممكييوُمن ممؤيَتميةن أمؤو مدنمييا
8
atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan
terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-An’am: 145).
f. Mafhum laqab, yaitu menggantungkan hukum kepada isim alama atau
isim fa'ilmu.
B. Nahi
Nahi artinya larangan, cegahan. Sedangkan menurut istilah agama ialah
tuntutan meninggalkan dari atasan kepada bawahan. Dalam persoalan ini terdapat
beberapa ketentuan yang berhubungan dengan bentuk larangan:
9
1. Asal pada larangan ialah untuk haram. Seperti dalam firman Allah SWT. QS.
An-Nisa’ ayat 43:
سيمحوُا بمموُمجييوُمهمكؤم الؤمغاَئممط أمو ملمستمم النساَء فميلمم تممجمدوا ماَء فميتمييَلمميوُا م
صيعيَندا طميَنبينياَ مفاَؤم م
من م م م ؤ مؤ م مم ؤ
10
C. ‘Am
‘Am suatu lafadz yang dipergunakan untuk menunjukkan suatu makna
yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali
ucapan saja. Seperti kata arrijal, maka lafadz ini meliputi semua laki-laki.
Pembagian ‘am:
1. Umum syumuliy, yaitu lafadz yang digunakan dan dihukumkan serta berlaku
bagi seluruh pribadi, seperti dalam QS. An-Nisa’ ayat 1:
(1 :مرمقيَنباَ )النساَء
11
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 183).
12
Lafadz-lafadz umum:
1. Kullun, jami’un, kaffatun dan ma’syara
2. Man, maa dan aina pada majaz
3. Man, maa, aina dan mata untuk istifham (pertanyaan)
4. Ayyu
5. Nakirah sesudah nafi
6. Isim maushul
7. Idhafah
8. Alif lam harfiyah
D. Khas
Khas artinya lafadz yang tidak meliputi mengatakannya sekaligus
terhadap dua sesuatu atau beberapa hal tanpa menghendaki kepada batasan.
13
1. Takhsish Al-Qur'an dengan Al-Qur'an
Contoh QS. Al-Baqarah: 228 dengan At-Thalaq: 4:
ِصمن بمأمنؤيمفمسمهلن ثمملثمةم قميمرونء مومل يممحيل لممهلن أمؤن يمؤكتمؤميمن مميياَ مخلميمق ال ليهم مفييي موالؤممطملمقاَ م
ت يميتميمربل ؤ
م
أمؤرمحاَمممهلن إمؤن مكلن يميؤؤمملن مباَل لمه مواؤليَميؤوُم اؤلمخمر موبميمعوُملتميمهلن أممحييق بممرندمهيلن مفيييِ مذلمي م
ك إمؤن أممرامدوا
(228 :)البقرة
سيياَئممكؤم إممن اؤرتميؤبتميؤم فممعيلدتميمهلن ثمملثميةم أمؤشيمهنر موالللئيمييِ لميؤم والللمئيِ يئمسن ممن الؤممحيَي م م م
ض ميؤن ن م م ؤم م م م
ضعن حملمهلن ومن ييتلمق ال ليه يجعيل لميه ممين أمميمرهم يممح ؤ
م م ؤم ؤ م ؤ ؤ ت اؤلمؤحمماَمل أممجلممهلن أمؤن يم م ؤ م م ؤ م م م ؤ م
ضمن مومأومل م
(4 :يمؤسنرا )الطلق
14
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang
bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya”. (QS. At-Thalaq: 4).
Hadits ini ditakhsish oleh qiyas aulawy yang diambil dari pengertian ayat:
15
F. Mutlaq dan Muqayyad
Muthlaq ialah lafadz-lafadz yang menunjukkan kepada pengertian dengan
tidak ada ikatan (batas) yang tersendiri berupa perkataan. Seperti yang disebutkan
QS. Al-Mujadalah ayat 3:
ساَئممهؤم ثملم يميمعوُمدومن لممماَ مقاَلموُا فميتمؤحمريمر مرقميبمنة ممؤن قميؤبمل أمؤن يميتممماَلساَ مذلممكؤم م م م لم
موا ذيمن يممظاَهمرومن مؤن ن م
مومماَ مكاَمن لمممؤؤممنن أمؤن يميؤقتممل ممؤؤممنينياَ إملل مخطميأن مومميؤن قميتميمل ممؤؤممننياَ مخطميأن فميتمؤحمرييمر مرقميبمينة ممؤؤممنمينة مومديمية
صيلدقموُا فميمإؤن مكياَمن مميؤن قم يؤوُنم معيمدوو لممكيؤم مومهيموُ مميؤؤممةن فميتمؤحمرييمر مرقميبمينة
سي لمم ة إملميىَ أمؤهلميمه إملل أمؤن يم ل
مم م
:صيميَاَمم مشيؤهمريؤمن ممتمتميياَبممعؤيَمن تميؤوُبميةن مميمن ال ليمه مومكيياَمن ال ليهم معلميَنميياَ محمكيَنميياَ )النسيياَء
فممين لميم يمجيؤد فم م
مؤ ؤم
(92
Artinya: “Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang mu'min
(yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa
membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia
16
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar
diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika
mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum
yang memusuhimu, padahal ia mu'min, maka (hendaklah si pembunuh)
memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh)
dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan
kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya
yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka
hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai
cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana”. (QS. An-Nisa’: 92).
Muradif dan Musytarak
Mudharif ialah lafadznya banyak sedang artinya sama. Adapun musytarak
ialah satu lafadz yang mempunyai dua arti yang sebenarnya dan arti-arti tersebut
berbeda-beda. Contoh firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 228:
17
Lawan ta’wil adalah dhahir yang artinya sesuatu lafadz yang mempunyai
dua makna yang salah satu mempunyai makna yang lebih jelas. Syarat-syarat
ta’wil:
1. Adanya dalil yang menjelaskan bahwa maksud atau yang dikehendaki masih
dalam muatan lafadz itu.
2. Bahwa ta’wil itu sesuai dengan bahasa, biasa digunakan oleh shahibusyar’i.
Maka dengan demikian kalau ta’wil itu keluar dari dua hal tersebut dianggap
tidak sah.
18
BAB II
HUKUM SYARAT: HUKUM TAKLIFI DAN WADH’I
A. Hukum Takhlifi
Hukum takhlifi mengandung tuntutan untuk mengerjakan atau
meninggalkan sesuatu perbuatan atau memberikan kebebasan untuk memilih
antara perbuatan atau tidak memperbuat. Hukum takhlifi diisyaratkan dapat
dikerjakan dan mungkin dikerjakan oleh mukallaf. Karena itu hukum takhlifi
tidak ada yang bertentangan dengan manusia. Hukum ini dibagi menjadi lima
bagian, yaitu:
1. Wajib
Menurut syara' yaitu apa yang dituntuti oleh syara' kepada mukallaf
untuk memperbuatnya dalam tuntutan keras, atau suatu perbuatan kalau
dikerjakan akan mendapat pahala kalau ditinggalkan akan mendapatkan dosa.
2. Sunnah (Mandub)
Sunnah adalah sesuatu yang dituntut oleh syara' memperbuatnya dari
mukallaf namun tuntutannya tidak begitu keras, atau dengan kata lain diberi
pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa bagi yang
meninggalkannya.
3. Haram
Haram adalah apa yang dituntut oleh syara' untuk tidak melakukannya
dengan tuntutan keras, atau dengan kata lain dilarang memperbuatnya dan
jika diperbuat akan mendapatkan siksa dan jika ditinggalkan mendapatkan
pahala.
19
4. Makruh
Makruh yaitu apa yang dituntut syara' untuk meninggalkannya namun
tidak begitu keras, atau dengan kata lain sesuatu yang dilarang
memperbuatnya namun tidak disiksa bila dikerjakan.
5. Mubah
Mubah yaitu apa yang diberikan kebebasan pada mukallaf untuk
memilih antara memperbuat atau meninggalkannya.
B. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i yaitu hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah
sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang (mani’) terhadap
sesuatu.
1. Sebab
Seab yaitu apa yang dijadikan syara' sebagai tanda atas musabab dan
dihubungkan adanya sebab dengan adanya musabab dan tidak adanya
musabab karena tidak adanya sebab. Karena itu sebab tidak ada musabab pun
tidak ada, dan kalau sebab tidak ada musabab pun tidak ada.
2. Syarat
Yang dimaksud dengan syarat adalah apa yang tergantung adnaya
hukum dengan adanya syarat dan dengan tidak ada syarat maka hukum tidak
ada. Syarat-syarat dalam perbuatan hukum kadang-kadang ditetapkan syara'
yang dinamakan syara' dan kadang-kadang ditetapkan oleh mukallaf sendiri
dinamakan syarat ja’li.
3. Mani’
Mani’ adalah apa yang memastikan adanya tidak ada hukum atau batal
sebab hukum sekalipun menurut syara' telah terpenuhi syarat dan rukunnya
tetapi karena adanya mani’ (mencegah) berlakunya hukum atasnya, atau
20
dengan kata lain apabila terdapat hukum tidak akan ada atau sebab menjadi
batal sekalipun memenuhi syarat dan rukunnya.
Mani’ kadang-kadang menjadi penghalang berlaku hukum syara',
seperti adanya hutang menjadi mani’ wajib mengeluarkan zakat, karena yang
ada pada tangan pemilik bukan muliknya tetapi milik orang lain, sedang
memenuhi hak orang lain lebih utama dari membantu fakir miskin agar orang
yang berhutang bebas dari tanggung jawabnya. Hutang inilah yang
menghapuskan syarat yang menjadi pelengkap sebab hukum syara' sehingga
dianggap tidak memenuhi syarat wajib zakat bukan karena adnaya mani’.
4. Rukhshah dan ‘Azimah
Rukhshah adalah hukum syara' yang telah ditetapkan untuk
memberikan kemudahan bagi mukallaf pada keadaan tertentu yang
menyebabkan kemudahan. ‘Azimah adalah hukum yang disyari'atkan Allah
semenjak semula bersifat umum yang bukan tertentu pada satu keadaan atau
kasus tertentu dan bukan pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu.
Sebab-sebab adanya rukhshah:
a. Adanya sakit
b. Bepergian
c. Masaqqah
d. Dharurat
e. Al-hajat
f. Mukrih
5. Sah dan batal
Lafal sah dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban
di dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Shalat dikatakan
sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara' dan
perbuatan itu akan mendatangkan pahala di akhirat. Sebaliknya lafal batal
dapat diartikan tidak melepaskan tanggung jawab, tidak menggugurkan
kewajiban di dunia dan akhirat tidak mendapat pahala.
21
Menurut ulama bahwa setiap perbuatan apakah ibadah maupun
mu’amalah tujuannya adalah untuk kemaslahatan hidup manusia di dunia dan
akhirat. Dalam hal ini termasuk semua macam perjanjian mengandung dua
tujuan pokok yaitu memenuhi tuntutan syara' dan untuk mencapai dan
mewujudkan kemaslahatan hidup.
6. Asas Hukum
a. Hifdzud Nasel
b. Hifdzu Aqli
c. Hifdzu Maal
d. Hifdzu Nafsi
22
BAB III
SUMBER-SUMBER FIQH/HUKUM ISLAM
YANG DISEPAKATI DAN YANG TIDAK DISEPAKATI
23
a. Sunnah qauliyah (perkataan) yang disinonimkan dengan hadits
b. Sunnah fi’liyah, ialah segala yang pernah diperbuat oleh Rasul kemudian
diikuti oleh kaum muslimin dalam melaksanakan ibadah shalat dan haji.
c. Sunnah taqririyah, ialah merupakan pengakuan ini baik dengan cara diam-
diam atau dengan terus terang.
3. Ijma’
Ijma’ yaitu persetujuan pendapat dari para mujtahid atau kesepakatan
dari para mujtahid pada suatu masa atas suatu hukum syara'. Macam-macam
ijma’:
a. Ijma’ sukuti, yaitu sekelompok mujtahid berpendapat atau melakukan
sesuatu sedangkan yang lain tidak memberi komentar atau tanggapan atau
perlawanan.
b. Ijma’ jami’i yaitu semua orang atau mujtahid memberi komentar atau
pendapat yang semuanya sama.
4. Qiyas
Qiyas yaitu menyamakan suatu hukum yang belum ada hukumnya
pada suatu yang sudah ada hukumnya. Yang sudah ada ketentuannya karena
adanya kesamaan-kesamaan.
Macam-macam qiyas:
a. Qiyas aula/aulawy, yaitu qiyas karena terdapat illat yang mewajibkan
adanya hukum sedang yang disamakan itu hukumnya lebih berat daripada
yang dibuat menyamakan.
b. Qiyas musawy, yaitu adanya illat mengharuskan adanya hukum maqis
alaih atau maqisnya sama.
c. Qiyas dalalah, yaitu adanya sebab yang menunjukkan hukum tetapi tidak
mengharuskan adanya hukum.
d. Qiyas shibhi, yaitu menyamakan maqis dan maqis alaih karena adanya
persamaan-persamaan.
Rukun-rukun qiyas:
24
a. Dasar untuk mengqiyaskan (maqis)
b. Al-far’u (maqis alaih yang disamakan)
c. Al-illat (sebab)
d. Hukum (yang dijadikan kepastian).
25
Para ulama menerima maslahah mursalah ini dengan syarat sebagai
berikut:
a. Maslahah hakiki, terang mendatangkan atau menolak kejahatan.
b. Maslahah bersift umum, tidak pribadi
c. Tidak bertentangan dengan nash atau ijma’.
4. Urf (adat istiadat)
Urf (adat) menurut bahasa adalah kebiasaan yang berlaku dalam
perkataan, perbuatan atau meninggalkannya karena telah menjadi kebiasaan
umum. Sedangkan menurut istilah berarti sesuatu yang telah menjadi
kebiasaan dan diterima oleh yabiaty yang baik serta telah dilakukan oleh
penduduk sekitar Islam dengan ketentuan tidak bertentangan dengan nash dan
syara'.
Urf ini terbagi menjadi dua aspek:
a. Urf qauli, yaitu mempergunakan sesuatu kalimat untuk sesuatu arti yang
terbatas.
b. Urf amali, yaitu kebiasaan yang berupa amal atau pekerjaan, seperti antara
tukang dan pekerja, jual beli secara mukallaf.
5. Saddudz dzara’i
Yaitu sesuatu yang dengannya akan menyebabkan kepada perbuatan
terlarang dengan illat mengandung kerusakan.
26
BAB IV
IJTIHAD, TAKLID DAN ITBA’
A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad artinya mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk
memperoleh hukum syara' dari dalil-dalilnya.
Menurut ahli Ushul Fiqh ijtihad berarti mencurahkan segenap
kesanggupan mujtahid dalam mendapatkan syara' amali dengan satu metode.
Pengertian demikian didasarkan pada kenyataan yang dihadapi kaum muslimin
sejak masa Nabi.
Di masa Nabi, orang mengharapkan informasi ketentuan agama dari
wahyu, baik dari Al-Qur'an maupun al-Sunnah. Jika tidak, maka Al-Qur'an
memberikan arahan agar kaum muslimin melakukan istinbath, yaitu memahami
dari penjelasan Rasul dan Ulil Amri. (An-Nisa’: 83).1
Artinya: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan
ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah
karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu
1
Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), 104.
27
mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”. (QS.
An-Nisa’: 83).
Syari'at Islam merupakan syari'at yang mengandung berbagai
keistimewaan, antara lain bersifat umum, abadi, meliputi segala bidang dan
merupakan rahmat bagi seluruh alam. Al-Qur'an merupakan dasar hukum.
Atas dasar itulah Allah memberikan hak kepada orang-orang yang
memiliki kemampuan melakukan ijtihad bila terdapat masalah-masalah yang
tidak shahih atau ditetapkan bila terdapat masalah-masalah yang tidak shahih atau
ditetapkan secara tidak jelas dan tidak pasti (qath’i) di dalam Al-Qur'an.
C. Dasar Ijtihad
Dasar hukum diperbolehkannya melakukan ijtihad antara lain firman
Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah: 149:
2
Abdurrahman Wahid, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1993), 5.
28
(149 : )البقرة... ك مشطؤمر الؤممؤسمجمد الؤمحمرامم
ت فميموُنل موؤجمه م موممؤن محؤيَ م
ث مخمرؤج م
Artinya: “Dan dari mana saja kamu ke luar, maka palingkanlah wajahmu ke
arah Masjidil Haram…”. (QS. Al-Baqarah: 149).
Dari ayat tersebut di atas dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh
dari Masjidil Haram, apabila akan shalat dapat mencari dan menentukan arah
kiblat melalui ijtihad dengan mencurahkan akal pikirannya berdasarkan indikasi
atau tanda-tanda yang ada.3
Baik yang mendudukkan “ijtihad” sebagai dalil maupun sebagai
pemahaman terhadap dalil, penggunaan ijtihad ini didasarkan pada ayat-ayat Al-
Qur'an surat An-Nisa’ ayat 59:
مياَأمييمهاَ المذيمن مءاممنموُا أممطيَمعوُا ال لهم موأممطيَمعوُا اللرمسوُمل مومأومليِ اؤلمؤممر ممؤنمكؤم فممإؤن تمينيمياَمزؤعتمؤم مفيييِ مشيؤيِنء
م
سيمن تميأؤمويلن
خيَ يةر موأمؤح م
ك مؤفميمريدوهم إمملىَ ال لمه مواللرمسوُمل إمؤن مكؤنتميؤم تميؤؤممنيميوُمن بيمياَل لمه مواؤليَم يؤوُم اؤلمخيمر مذلمي م
(59 :)النساَء
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa’: 59).
3
Khairul Umam dan A. Achyar Aminuddin, Ushul Fiqh II (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001),
132.
29
Menurut hadits Nabi yang diriwayatkan Al-Bukhari:
Artinya: “Jika seorang hakim menetapkan hukum, kemudian ia berijtihad lagi
benar ijtihadnya, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila ia
menghukumi dengan ijtihad kemudian ijtihadnya itu salah baginya
mendapatkan satu pahala”. (HR. Bukhari).4
D. Kedudukan Ijtihad
Dalam hal kedudukan ijtihad ini di kalangan ahli Ushul Fiqh memang ada
perbedaan pendapat, sebagian besar menjadikan ijtihad itu sebagai dalil, sedang
sebagian yang lain menjadikan menjadi dalil dalam keadaan sangat dihajatkan
pada waktu tidak didapati ayat Al-Qur'an atau as-Sunnah. Sebagian ahli Ushul
Fiqh lagi, ijtihad itu merupakan metode pemahaman terhadap sumber pokok
(dalil) yakni Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Kawasan ijtihad adalah hukum-hukum yang dalilnya dhanni bukan yang
qath’i. Kita tidak boleh berijtihad dalam hukum yang qath’i yang telah ditetapkan
dalilnya oleh Al-Qur'an.
Agar ijtihad berhasil secara optimal ada beberapa syarat yang harus
dimiliki seorang mujtahid:
1. Seorang mujtahid hendaknya memiliki kemampuan dan seperangkat ilmu
untuk berijtihad yang telah ditetapkan dalam Ushul Fiqh.
2. Dia seorang yang adil, terpercaya dan berperilaku baik.
3. Mereka yang mengaku bisa berijtihad, tetapi tidak mempunyai ilmu tentang
nash-nash Al-Qur'an dan hadits serta melecehkan Ushul Fiqh, maka
pendapatnya harus ditolak.5
4
Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), 192-193.
5
Al-Qardhawi, Membumikan Syari'at Islam (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997).
30
E. Ruang Lingkup Ijtihad
Imam Al-Ghazali berpendapat ijtihad dilakukan pada setiap hukum yang
tidak ada dasarnya yang pasti (qath’i).6 Hal ini sebagaimana firman Allah SWT.:
ضىَ ال ليهم مومرمسيوُلمهم أمؤمينرا أمؤن يممكيوُمن لممهيمم الؤمخيَم يمرةم مميؤن أمؤممرمهيؤم
مومميياَ مكياَمن لممميؤؤممنن مومل ممؤؤممنمينة إممذا قم م
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS.
Al-Ahzab: 36).
F. Jenis-jenis Ijtihad
1. Individu, yaitu dilakukan secara sendiri
2. Kolektifitas, yaitu dilakukan secara kelompok.
6
Imam Al-Ghazali, Al-Mustafa Juz. 2, 354.
31
Ijtihad Kolektif (Al-Ijtihad Al-Ijma’i)
Ijtihad kolektif adalah sesuatu yang penting karena adanya tuntutan
zaman, problem-problem yang terkait dan perselisihan berbagai madzhab.
Tentang permasalahan ini, Dr. Wahbah Az-Zuhayl, Dekan Fakultas Syari'at
Damaskus, mengatakan: “Saat ini, ada kebutuhan mendesak terhadap apa yang
disebut dengan ijtihad kolektif. Ijtihad ini dilakukan melalui metode musyawarah
ilmiah di antara para tokoh ulama dari berbagai negara dan dari berbagai
madzhab Islam di dalam suatu lembaga ilmiah ataupun muktamar fiqh.
Tujuannya adalah untuk menelitu berbagai problematika modernitas dan berbagai
hal yang dibutuhkan oleh umat, sehingga mereka bersepakat terhadap hal-hal
yang dipandang dapat menghasilkan kemaslahatan”.
Atas dasar itu, akan tampak di dalam kenyataan, bahwa ijtihad merupakan
gerakan pemikiran tentang hukum-hukum agama yang disyari'atkan demi
kemaslahatan umat.
Nabi Muhammad memberikan petunjuk di seputar masalah ijtihad
kolektif ini dengan jalan mengumpulkan seluruh ulama dan saling tukar pendapat
di antara mereka. Diriwayatkan dari Malik bin Anas, dari Yahya bin Sa’id al-
Anshari, dari Sa’ad bin Al-Musayyab, dan dari Ali bin Abi Thalib yang berkata,
“Ya Rasulullah, kami menghadapi perkara yang tidak ada hukumnya di dalam
sunnah”. Rasul menjawab, “Ber-ijma’lah tentang persoalan itu di kalangan orang-
orang berilmu atau mereka yang taat beribadah dari kalangan kaum mukmin.
Bermusyawarahlah di antara kalian tentang urusan itu dan janganlah
memutuskannya berdasarkan pendapat seseorang saja”.
Demikian pula cara Khulafaur Rasyidin, sebab di tengah-tengah mereka,
terdapat majelis syura’ umum di samping majelis syura’ khusus. Mereka adalah
para tokoh yang sering mengemukakan pendapat, sehingga mereka
bermusyawarah di dalam perkara-perkara penting.
Cara bermusyawarah secara ilmiah dan pengambilan hukum dari dalil-
dalil yang ada bersandar pada dua hal: Ushul Fiqh dan kaidah-kaidah fiqh
32
universal. Kaidah-kaidah fiqh ditegaskan di atas pemahaman terhadap berbagai
tujuan syari'at, tujuan-tujuan syari'at ditegakkan di atas tinjauan terhadap
berbagai kemaslahatan, dan kemaslahatan dipandang dari segi syari'at bukan
dengan hawa nafsu manusia.
Namun harus diingat bahwa kesepakatan bersama dalam suatu masalah
jangan sampai membatasi seseorang yang mampu berijtihad secara individual
untuk mengeluarkan pendapatnya, bila ternyata hasilnya berbeda dengan apa
yang telah disepakati. Harus pula diwaspadai agar jangan sampai terjadi
kekacauan dan kebingungan masyarakat karena banyaknya pendapat produk
“ijtihad” yang tidak bertanggung jawab.
G. Ittiba’
Ittiba’ ialah menerima perkataan orang lain dengan mengetahui sumber
atau alasan perkataan tersebut. Ittiba; dalam agama diperintahkan. Firman Allah
SWT. QS. An-Nahl: 53:
مباَؤلبييَنيمناَ م.مفاَؤسأمملوُا أمؤهل النذؤكمر إمؤن مكؤنتمم مل تميؤعلمموُمن
ت مواليزبممر م م ؤ م
Artinya: “Tanyakan kepada ahli dzikir (orang-orang pandai) jika kamu tidak
mengetahui”.
H. Taqlid
Taqlid secara bahasa berarti menggantungkan. Sedangkan menurut istilah
mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya.
Dalam aspek fiqh taqlid itu dianggap tercela dan terlarang. Hal ini
sebagaimana firman Allah QS. Al-Baqarah: 120, Al-Maidah: 10, At-Taubah: 232
dan Al-Isra’: 36. Menanggapi ayat dalam surat At-Taubah ini para sahabat
bertanya kepada Nabi, Ya Rasulullah apakah mereka mengikuti ruhba atau ahbar.
33
Nabi menjawab tidak, tetapi para ruhba dan ahbar mengharamkan dan
menghalalkan sesuatu mereka mengikutinya.
Para imam madzhab itu mencela hal ini sebagaimana ungkapan mereka
berikut ini:
1. Imam Abu Hanifah
إن كاَن رائ يوُافق الكتاَب واسنة محمد وابه وماَ لم يوُافق الكتاَب والسنة فأتركوُه
4. Imam Syafi’i
34
BAB V
MUTHLAQ DAN MUQAYYAD
7
H. Ahmad Abd, MA., Ushul Fiqh (Surabaya: Garoeda Buana Indah, 1994), 149.
35
Contoh surat Al-Maidah ayat 6:
36
dalam kafaratnya pembunuhan tersalah firman Allah SWT. dalam surat An-
Nisa’ ayat 91: “… Fatahriru raqabah mu’minah… (maka [hendaklah] ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman)”. Lafal raqabah
(hamba sahaya) pada ayat pertama adalah muthlaq, sedangkan ayat kedua
adalah muqayyad (dibatasi) dengan sifat beriman. Masing-masing
mempunyai sebab yang berbeda dengan yang lain. Pada ayat pertama sebab
kewajiban membayar kafarat adalah zihar dan pada ayat kedua sebabnya
adalah pembunuhan tersalah. Tetapi hukumnya adalah sama, yaitu kewajiban
memerdekakan budak (hamba sahaya).
3. Dua ayat itu sebabnya sama tetapi bentuk hukumnya berbeda. Contohnya
surat Al-Maidah ayat 6, ketika menjelaskan cara bertayamum ditegaskan: “…
sapulah mukamu dan tanganmu (aidikum) dengan tanah itu…”. Dalam ayat
ini menyapu tangan disebut secara muthlaq tanpa mensyaratkan sampai ke
siku, dan dalam ayat yang sama ketika menjelaskan rukun-rukun wudhu
ditegaskan: “… maka basuhlah [aidikum ila al-marafiq] (tanganmu sampai
dengan siku)…”. Lafal aidi (tangan) pada masalah wudhu disebut muwayyad
dengan membatasinya sampai ke siku. Yang menjadi sebab wajib wudhu dan
wajib tayamum adalah sama, yaitu suci dari hadats, tetapi bentuk hukumnya
berbeda di mana pada tayamum tangan disapu, bukan dibasuh seperti rukun
wudhu.
4. Dua ayat itu berbeda hukum dan sebabnya. Misalnya, sanksi hukum mencuri
adalah potong tangan (QS. 5: 38) tanpa ada ketentuan sampai di mana harus
dipotong. Sedangkan kata aidi (tangan) pada ayat wudhu diisyaratkan sampai
ke siku. Sebabnya berbeda di mana yang satu sebabnya mencuri dan yang lain
untuk mengilangkan hadats. Hukumnya juga berbeda, diaman yang satu
potong tangan dan yang lain membasuhnya. Oleh karena berbeda dari
berbagai sisinya, maka ayat tersebut dipahami secara tersendiri.9
9
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1996), 1271.
37
C. Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Menurut Dr. Zukuyuddin Tsa'ban, mujmal adalah lafal yang belum jelas
maknanya yang tidak dapat menunjukkan arti yang sesungguhnya apabila tidak
ada keterangan lain yang menentukannya. Maksudnya ialah lafal yang belum
jelas artinya, belum jelas maksudnya yang masih membutuhkan bayan atau
penjelasan dari lainnya.
Contohnya surat Al-Baqarah ayat 228:
ِص يمن بمأمنؤيمفمس يمهلن ثمملثميةم قمي يمرونء مومل يممح ييل لممه يلن أمؤن يمؤكتمؤم يمن مميياَ مخلميمق ال ليهم مفييي موالؤممطملمقيياَ م
ت يميتميمربل ؤ
(228 : )البقرة... أمؤرمحاَمممهلن إمؤن مكلن يميؤؤمملن مباَل لمه مواؤليَميؤوُمم اؤلمخمر
38
Contohnya surat Al-Baqarah ayat 20:
10
H. Ahmad Abd, MA., Ushul Fiqh (Surabaya: Garoda Buana Indah, 1994), 158.
39
BAB VI
NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR'AN
A. Pendahuluan
Al-Qur'an adalah firman Allah SWT. yang menjadi mukjizat, ketentuan-
ketentuan yang berlaku universal, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, berlaku
dalam segala zaman. Sebab keautentikannya dan keasliannya senantiasa dijamin
oleh Sang Pencipta dan Dzat yang menurunkan Al-Qur'an itu sendiri. Namun
secara faktual seringkali muncul pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur'an
terjadi perubahan-perubahan yang seringkali disebut dengan nasikh dan mansukh
yang mengganti disebut nasikh sedangkan yang diganti disebut mansukh.
Oleh karena itu penulis mencoba menelusuri mulai pengertian, jenis-jenis
nasikh dan mansukh. Serta pendapat para ulama baik yang menerima maupun
yang menolak adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur'an.
B. Pengertian
Nasikh secara bahasa berasal dari kata nasakha – yansikhu – naskhan
yang mempunyai arti membatalkan, menghilangkan, merendahkan dan
memalingkan. Sedangkan secara terminologi dalam ulama Ushul Fiqh adalah:
40
bersifat universal, seperti masalah akidah tidak akan terjadi nasikh dan mansukh,
karena akidah itu ajaran Allah SWT. kepada manusia yang bersifat abadi.
Sebagaimana firman Allah SWT.:
Artinya: “Dia telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa
dan Isa…”. (QS. Asy-Syura: 13). (Lihat M. Abu Zahra, Ushul Fiqh, hal.
187).
Artinya: “Nabi Muhammad Saw. telah melakukan hukum rajam kepada dua
orang mukhshan”.
Yang dimaksud dengan dua mukhshan di sini adalah dua orang tua
yang melakukan zina.
41
2. Hukumnya ada sedangkan bacaannya sudah tidak ada. Contoh firman Allah
SWT. sebagai berikut:
والمذين ييتميوُفليوُمن ممؤنمكم ويمذرومن أمؤزواجاَ و م م
صيَلةن لمؤزموامجمهيؤم مممتاَنعيياَ إمليميىَ الؤمحيؤوُمل مؤ
غيَ يمر إمؤخيمرانج ؤ مم م م ن م م ممم ؤ
(240 : )البقرة...
Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia dari kamu dan
mereka meninggalkan isteri sebagai wasiat terhadap isteri-isteri
mereka agar tidak berbuat senang-senang dan keluar rumah sampai
setahun”. (QS. Al-Baqarah: 240)
Menurut sebagaimana ulama (yang mengakui adanya nasikh mansukh
dalam Al-Qur'an) bahwa ayat tersebut telah dimansukh dengan ayat 234 dari
surat Al-Baqarah.
...صي يمن بمأمنؤيمفمسي يمهلن أمؤربميمعي يةم أمؤشي يمهنر مومعؤشي ينرا م م
موا يل يذيمن يميتميموُفلي يؤوُمن مؤنمكي يؤم موييم يمذمرومن أمؤزموانجيياَ يميتميمربل ؤ
(240 :)البقرة
Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia dari kamu sedang
mereka meninggalkan isteri hendaknya sang isteri menahan dirinya
(tidak senang-senang dan tidak keluar rumah) selama empat bulan
sepuluh hari”. (QS. Al-Baqarah: 234)
3. Bacaan dan ketetapan hukumnya dimansukh bersama-sama
Contoh: Hadits Imam Muslim dari Aisyah:
Artinya: “Anak yang satu susuan itu haram dinikahi jika telah menyusu
sepuluh kali”.
Hadits ini telah dimansukh dengan hadits yang sama yaitu
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah yang artinya: “Anak yang satu
susuan itu haram dinikahi jika telah menyusu lima kali susuan”.
42
D. Syarat-syarat Terjadinya Nasikh Mansukh Secara Umum
Abdul Hamid Hakim dalam kitabnya As-Sulam halaman 32 memberikan
syarat-syarat terjadinya nasikh mansukh sebagai berikut:
1. Nasikh dan mansukh itu terjadi jika berhubungan dengan hukum, tidak
berhubungan dengan keimanan atau akidah. Sebab keimanan atau akidah ini
bersifat paten.
2. Nasikh mansukh itu terjadi dengan dibatasi waktu tertentu.
3. Bahwa nasikh itu harus terpisah baik tempat maupun waktu dengan yang
dimansukh.
4. Bahwa dalil yang terdapat dalam nasikh itu harus lebih kuat daripada dalil
yang tidaklah dalam mansukh. Seperti hadits mutawatir dengan hadits ahad,
hadits shahih dengan hadits dhaif, tidak terjadi sebaliknya. Hadits ahad
menasikh kepada hadits mutawatir dan hadits dhaif menasikh hadits shahih.
Di samping itu menurut Abdul Hamid Hakim dalam kitab as-Sulam
memberikan syarat-syarat nasakh dan mansukh sebagai berikut:
a. Nasikh harus terpisah dari mansukh
b. Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh.
c. Nasikh harus berupa dalil-dalil syara'
d. Mansukh tidak dibataskan kepada sesuatu waktu
e. Mansukh harus hukum-hukum syara'.
43
1. Pendapat yang setuju adanya nasikh dan mansukh
Argumen yang mereka gunakan itu ada dua, baik berupa naqli maupun aqli:
a. Dasar naqli
ت بممخؤيَنر مم ؤنيمهاَ أمؤو ممثؤلممهاَ أملمؤم تميؤعلمؤم أملن ال لهم معليميىَ مكينل
ماَ نميؤنسؤخ ممن ءاينة أمو نميؤنمسمهاَ نمأؤ م
م م ؤ مم ؤ
Artinya: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik
daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu?”. (QS. Al-Baqarah: 106)
Ayat ini sering dijadikan dasar adanya nasikh dan mansukh dalam
Al-Qur'an, karena memang dalam ayat ini Allah SWT. menyebut lafadz
nasakha yang secara tekstual.
b. Dasar aqli
Bahwa secara faktual nasikh mansukh itu terjadi, seperti nasikh
mansukh terjadi pada surat Al-Baqarah ayat 240 dengan ayat 234 dan
lain-lain sebagaimana contoh-contoh tersebut di atas.
Pendapat ini mayoritas diikuti oleh ulama fiqh dalam ulama Ushul
Fiqh seperti Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan lain-lain.
2. Alasan ulama yang menolak adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur'an
Mereka yang menolakpun juga menggunakan dua dasar, yaitu dasr
naqli dan dasar aqli.
a. Dasar naqli
Firman Allah SWT. dalam surat Al-Hijr ayat 9:
44
Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (dari
perubahan-perubahan)”. (QS. Al-Hijr: 9)
Firman Allah SWT. dalam surat Al-Kahfi ayat 27:
(27 :)الكهف
45
Demikian juga pengertian yang terdapat dalam surat Al-Baqarah 107
pengertiannya bukan Allah SWT. mengganti hukum yang dalam Al-
Qur'an tetapi Allah SWT. mendatangkan Nabi yang lebih baik atau yang
sepadan dengan nabi-nabi sebelumnya. Jadi bukan terkait dengan hukum
tetapi terkait dengan pergantian antara nabi satu dengan nabi yang
lainnya.
Pendapat ini adalah pendapat ulama kontemporer seperti
Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, dan lain-lain.
46
BAB VII
KONTRADIKSI DALIL-DALIL SYARA'
DAN CARA PENYELESAIANNYA
A. Definisi At-Ta’arudh
mencegah, membandingi.
adalah ( “ )تقاَبي ييل المراي يين عل ييىَ وج ييه يمف ييع كي ييل منهم يياَ مقت ييضBerbandingannya dua dalil
Menurut ahlu ushul, yang disebut dalil ialah suatu yang dapat menghantarkan
pada apa yang dicari yang bersifat pasti dan yakin atau praduga. Jika yang
menghantarkan itu bersifat pasti (qath’i), maka itu disebut ()ال ي ي ي ييدليَل
B. Syarat-syarat At-Ta’arudh
Untuk mengetahui apakah dalil itu At-Ta’arudh atau tidak kita harus
mengetahui terlebih dahulu syarat-syarat dan ijma (kesepakatan) para ahli ushul
tentang At-Ta’arudh. Agar kita tidak terlalu mudah mengatakan dalil ini At-
11
Al-Asmuni, 24.
47
Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Hukum yang ditetapkan oleh kedua dalil tersebut saling bertentangan, seperti
meniadakan.
3. Masa atau waktu berlakunya hukum yang saling bertentangan tersebut sama.
5. Kedua dalil yang saling bertentangan sama kedudukannya, baik dari segi
bertentangan, yaitu:
1. Tema sama
2. Kandungan/muatannya sama
3. Waktunya sama
4. Tempat sama
5. Hubungan sama
6. Syaratnya sama
7. Pekerjaan sama
8. Bagian-bagian sama
9. Alatnya sama
48
11. Sasarannya sama
dengan mutawatir, maka tidak bisa bertentangan yaitu ayat dengan hadits.
2. Kehendak dasar/dalil itu sama, maka tidak akan terjadi At-Ta’arudh yaitu
3. Tidak akan terjadi, At-Ta’arudh jika hukumnya sama, sementara waktu dan
tempat berbeda.
Karena dalil qath’i menunjukkan kepastian dan yakin, sedangkan dalil dzanni
2. Pertentangan itu tidak dapat terjadi antara dua dalil qath’i, baik dalil-dalil
3. Pertentangan boleh terjadi antara dua dalil dzanni dalam pandangan dan
49
C. Contoh Dalil-dalil Seakan-akan Bertentangan
sepuluh hari”.
QS. Ath-Thalaq: 4
50
3. Tentang pembunuhan terhadap orang murtad
QS. Al-Ahzab: 21
م لم م
لممقؤد مكاَمن لممكؤم فيِ مرمسوُل ال ه أمؤسموُة مح م
سنمة
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu…”.
QS. Al-Hasyr: 7
“Dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah telah bersabda: “Baraqng siapa
51
Dengan hadits riwayat Turmudzi, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majjah, Ahmad
dan daraquthni:
kelamin, kemudian beliau menjawab: “ia tiada lain kecuali bagian anggota
tubuhmu”.
dan memenangkannya.
Secara terminologi tarjih adalah “menguatkan salah satu dalil atas lainnya
agar dapat diketahui mana dalil yang lebih kuat diamalkan dan menggugurkan
dalil lainnya”.
dengan masalah shalat. Karena kedua ayat bertentangan maka harus mencari dalil
Hadits Rasulullah Saw.: “Tidak ada shalat kecuali dengan membaca Al-
52
Dan hadits dari Jabir ra.
(HR. Tabrani).
Pentarjihan
Agar ayat dan hadits-hadits mengenai hal ini tidak saling bertentangan.
Bila shalat berjamaah, dan imam membaca dengan keras, ma’mum tidak
ditinggal mati suami. Ada dua cara untuk mentarjih ayat tersebut sehingga tidak
bertentangan:
QS. Al-Baqarah: 234 berlaku secara ‘am (umum), sedangkan QS. Ath-Thalaq:
ditinggal mati suami secara umum, sedangkan ayat kedua berlaku khusus
yang berlaku bagi wanita yang dicerai dalam keadaan hamil, maka iddahnya
sampai ia melahirkan.
12
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Sifat Shalat Nabi Saw., hal. 121-124.
53
2. Sebagian ulama berpendapat, bahwa kedua ayat tersebut dapat diamalkan
wanita yang ditinggal mati suami serta tidak hamil berlaku iddah selama
Kedua hadits tersebut tidak bisa kita anggap bertentangan karena asbabun
nuzul hadits berbeda. Hadits pertama mengenai orang yang murtad, sedangkan
hadits kedua muncul berkenaan dengan kode etik perang dalam Islam. Oleh
karena itu, hadits pertama berlaku secara umum. Apakah ia wanita atau anak-
mengikuti segala perbuatan Nabi, di satu sisi kita diperintahkan untuk mengikuti
atau menjalankan segala perintah nabi dan menjauhi segala yang beliau larang.
Oleh karena itu, tidak semua perbuatan Nabi itu harus diikuti, tetapi menurut ahli
fiqh perbuatan Nabi tersebut bisa diikuti jika ada petunjuk untuk meniru
perbuatan Nabi. Sedangkan perbuatan Nabi yang tidak didasarkan pada watak
54
Kelima, hadits mengenai menyentuh alat kelamin.
Dalam hal ini ulama terbagi menjadi dua kelompok, dalam penggunaan
kaidah “apabila ada dua hadits yang saling bertentangan, harus menggugurkan
hukum berdasarkan hukum asalnya. Hukum asal datang lebih akhir, maka
tentu tidak berguna. Dengan datangnya hadits kedua berarti hadits yang
pertama tidak dibutuhkan lagi, karena pada waktu kita mengetahui ketentuan
hukum itu berdasarkan dalil lain, yaitu bara’ah ashliyah atau istishab.
13
Lih, Bulughul Maram, Bab: yang membatalkan wudhu, 6-7.
55
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1996.
Umam, Khairul dan A. Achyar Aminuddin. Ushul Fiqh II. Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2001.
56
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT. yang
telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan buku Ushul Fiqh ini. Buku ini dapat dijadikan sebagai buku
penunjang bagi mahasiswa IAIN, STAIN, dan PTAIS dalam mata kuliah Ushul Fiqh
pada semua Jurusan/Fakultas.
Materi buku ini mengacu pada silabi Kurikulum Nasional terbaru yang
dikeluarkan Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI.
Dengan selesainya buku ini, kami berharap agar para mahasiswa dapat
memahami secara mendalam dan mudah tentang hal-hal yang berhubungan dengan
Ushul Fiqh yang menjadi kerangka dasar dalam memahami fiqh.
Kami menyadari bahwa buku ini masih banyak kekurangan dan kehilafan.
Oleh karena itu tegur sapa dalam rangka kesempurnaan buku ini, sangat kami
harapkan.
Penulis
57
UNTUK FAKULTAS TARBIYAH
Oleh :
Drs. MUAMAL
58
Tahun 2006
59