Anda di halaman 1dari 59

BAB I

ILMU USHUL FIQH

A. Pengertian Ushul Fiqh


Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan
hukum dari dalil-dalilnya, dan dalil-dalil hukum (kaidah-kaidah yang menetapkan
dalil hukum). Atau dapat diartikan sebagai kaidah-kaidah yang merupakan sarana
untuk mendapatkan hukumnya perbuatan yang diperoleh dengan mengumpulkan
dalil secara terinci.

B. Hubungan Fiqh dengan Ushul Fiqh


1. Ulumul Hadits dibutuhkan untuk mengeluarkan hukum dan perbuatan-
perbuatan manusia yang dikehendaki oleh fiqh.
2. Ilmu fiqh merupakan produk dari Ushul Fiqh, semakin maju Ushul Fiqh maka
ilmu fiqh juga akan semakin maju.

C. Ruang Lingkup Pembahasan Ushul Fiqh


Arti Ushul Fiqh tidak terlepas dari “asal” dari arti “furu”. Asal artinya
sumber, dasar atau sesuatu yang menjadi dasar oleh sesuatu yang lain. Dan furu
merupakan sesuatu yang dileakkan di atas asal tadi.
Asal menurut istilah dipakaikan kepada pengertian berikut:
1. Kaidah kulliyah (peraturan umum), melaksanakan semua peraturan yang
ditetapkan syara', kecuali bila dalam keadaan terpaksa, contohnya seperti
orang yang memakan bangkai karena terpaksa tidak ada makanan lainnya,
padahal menurut syara' bangkai haram hukumnya.
2. Rajih (terkuat), asal pada perkataan seseorang benar menurut orang yang
mendengar.

1
3. Mustashhab, yaitu menetapkan hukum sesuatu atas hukum yang telah ada,
seperti yakin berwudhu ragu dalam berhadats tetap seorang itu dalam keadaan
suci.
4. Maqis ‘alaih (tempat mengqiaskan).
5. Dalil (alasan) yaitu asal hukum.
Sumber-sumber Fiqh Islam
1. Al-Qur'an
2. Sunnah
Untuk kedua sumber hukum Islam ini para fuqaha atau para ahli
hukum tidak ada perbedaan. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang ijma’
dan qiyas sebagai sumber hukum Islam.
3. Qiyas
Artinya perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang
lain dengan persamaan illatnya. Atau mengeluarkan (mengambil) suatu
hukum yang serupa dari hukum yang telah ada atau telah ditetapkan oleh
kitab dan sunnah, disebabkan sama illat antara keduanya.
Rukun-rukun qiyas:
a. Asal, yaitu dasar atau titik tolak di mana suatu masalah itu dapat
disamakan (musyabbah bih)
b. Furu’, yaitu suatu masalah yang akan diqiaskan disamakan dengan asal
tadi disebut mustabbah.
c. Illat, yaitu suatu sebab yang menjadikan adanya suatu hukum.
d. Hukum, yaitu ketentuan yang ditetapkan pada furu’ bila sudah ada
ketetapan hukumnya pada asal, disebut buah/hasil.
Macam-macam qiyas:
a. Qiyas aula, yaitu illat yang terdapat pada qiyas (furu’) lebih aula daripada
illat yang ada pada tempat mengqiaskan.
b. Qiyas musawy, yaitu illat yang terdapat pada diqiyaskan (furu’) sama
dengan illat yang ada pada tempat mengqiyaskan (asal), karena itu hukum

2
keduanya sama. Seperti mengqiyaskan membakar harta anak yatim
dengan memakannya, karena illatnya sama-sama menghabiskan.
c. Qiyas dalalah, yaitu illat yang ada pada qiyas menjadi dalil (alasan) bagi
hukum tetapi tidak diwajibkan baginya (furu’). Seperti mengqiyaskan
wajib zakat pada harta anak-anak kepada harta orang dewasa yang telah
mencapai nisabnya, tetapi bagi anak-anak tidak diwajibkan mengeluarkan
zakat.
d. Qiyas syabah, yaitu menjadikan yang diqiyaskan (furu’) dikembalikan
kepada antara dua asal yang lebih banyak persamaan antara keduanya.
e. Qiyas adwan, yaitu diqiyaskan (furu’) terhimpun pada hukum yang ada
pada tempat mengqiyaskan, seperti mengqiyaskan memakai perak bagi
laki-laki kepada memakai emas, menurut ulama hukumnya haram.
4. Ijma’
Menurut bahasa artinya cita-cita, rencana, atau kesepakatan.
Sedangkan menurut syara', ijma; adalah suatu kesepakatan bagi mujtahid di
antara umat Nabi Muhammad Saw. sesudah beliau meninggal dalam suatu
masalah yang dihadapi.
Macam-macam ijma’:
a. Ijma’ qath’iy, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan
hukum suatu masalah tanpa ada bantahan di antara mereka.
b. Ijma’ sukuthiy, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan
hukum suatu masalah, kesepakatan dengan menerima tantangan di antara
mereka atau tenang saja salah seorang di antara mereka dalam mengambil
keputusan.

D. Peranan dan Kedudukan Ushul Fiqh


Peranan Ushul Fiqh ialah sebagai kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk
mengistinbathkan hukum dan dalil-dalil yang terinci dan kuat. Dan sebagai
sarana dalam menciptakan lahirnya ketentuan fiqhiyah.

3
Kedudukan Ushul Fiqh ialah sebagai dasar dari fiqh Islam, artinya Ushul
Fiqh itu merupakan sumber-sumber atau dalil-dalil dan bagaimana cara
menunjukkan dalil-dalil tersebut kepada hukum syara' secara garis besar.
Jadi peranan dan kedudukan fiqh dan ushul adalah sesuatu hal yang tidak
dapat dipisahkan, sebab keduanya saling membutuhkan dalam sasarannya
menerapkan hukum Islam terhadap orang-orang mukallaf.
Mantuq dan Mafhum
Mantuq ialah sesuatu yang ditunjuki lafadz atau lafadz itu sendiri.
Sedangkan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz, tetapi bukan
dari ucapan lafadz itu sendiri.
Misalnya dalam QS. Al-Isra’ ayat 23, di dalamnya ada ayat mantuq dan
mafhum. Mantuqnya pada lafadz itu sendiri “jangan kamu katakan kepada dua
orang tuamua perkataan keji” sedangkan mafhum yang tidak disebutkan untuk
memukul dan menyiksanya juga dilarang.
Pembagian mantuq
1. Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin dita’wilkan lagi.
2. Zhahir, yaitu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang
dimaksud dan menghendaki kepada penta’wilan.
Pembagian mafhum:
1. Mafhum muwafaqah
Ialah pengertian yang dipahami sebagai sesuatu menurut ucapan
lafadz yang disebutkan. Macam mafhum muwafaqah ada dua, yaitu fahwal
khithab dan lahnal khithab.

4
2. Mafhum mukhalafah
Ialah pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam
istinbath (menetapkan) maupun nafi’ (meniadakan). Oleh sebab itu hal yang
dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafadz yang diucapkan.
Contohnya, pemahaman tentang QS. Jum’ah ayat 9, yaitu dalam ayat
ini bahwa boleh jual beli di hari Jum’at sebelum adzan dan sesudah
mengerjakan sembahyang.
Syarat-syarat mafhum mukhalafah:
a. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq
maupun mafhum muwafaqah.
b. Yang disebabkn (mantuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
c. Yang disebutkan (mantuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu
keadaan.
d. Yang disebutkan (mantuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada
yang lain.
Macam-macam mafhum mukhalafah:
a. Mafhum shifat, yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada salah satu
sifatnya. Contohnya dalam QS. An-Nisa’ ayat 92:

‫مومماَ مكاَمن لمممؤؤممنن أمؤن يميؤقتممل ممؤؤممنناَ إملل مخطمأن موممؤن قميتممل ممؤؤممنناَ مخطمأن فميتمؤحمريمر مرقميبمنة ممؤؤممنمنة‬

‫صيلدقموُا فميمإؤن مكياَمن مميؤن قم يؤوُنم معيمدوو لممكيؤم مومهيموُ مميؤؤممةن‬


‫سي لممة إملميىَ أمؤهلميمه إملل أمؤن يم ل‬ ‫م‬
‫موديمية مم م‬

َ‫سي لمم ة إمليميى‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ن م ن م‬


‫فميتمؤحمرييمر مرقميبمية ممؤؤمنمية موإؤن مكيياَمن ميؤن قم يؤوُم بم ؤييَينممكيؤم موبم ؤييَينميمهيؤم ميَثيمياَةق فمديمي ة مم م‬

‫صميَاَمم مشؤهمريؤمن ممتممتاَبممعؤيَمن تميؤوُبمةن مممن ال ليمه مومكيياَمن‬


‫أمؤهلممه وتمؤحمرير رقميبنة مؤؤممنمنة فممن لمم يمجؤد فم م‬
‫مؤ ؤم‬ ‫م م مم م‬

(92 :‫ال لهم معلميَنماَ محمكيَنماَ )النساَء‬

5
Artinya: “Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang
mu'min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan
barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang
memusuhimu, padahal ia mu'min, maka (hendaklah si
pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan
jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian
(damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si
pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya
yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka
hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut
sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An-Nisa’: 92).
b. Mafhum ‘illat, yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada salah satu
sifatnya. Contoh pengharamakan khamr karena memabukkan.
c. Mafhum ‘adat, yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada bilangan
yang tertentu. Contohnya dalam QS. An-Nur ayat 4:

‫ت ثميلم لميؤم يميأؤتموُا بمأمؤربميمعيمة مشيمهمداءم مفاَؤجلميمدومهؤم ثممميياَمنيَمن مجؤليمدنة‬


‫واليمذين ييرمييوُمن الؤمؤحصيمناَ م‬
‫م م‬ ‫م م مؤم‬

(4 :‫ك مهمم الؤمفاَمسمقوُمن )النوُر‬


‫مومل تميؤقبميلموُا لممهؤم مشمهاَمدنة أمبمندا مومأولمئم م‬
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-
baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka

6
buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik”. (QS. An-Nur: 4).
d. Mafhum ghayah, yaitu lafadz yang menunjukkan hukum sampai kepada
ghayah (batasan, hingaan), hingga lafadz ghayah ini adakalanya dengan
“ilaa” atau dengan “hatta”. Seperti dalam QS. Al-Maidah ayat 6 atau QS.
Al-Baqarah ayat 22:

َ‫صي يملةم مفاَؤغمسي يلموُا مومج ييوُمهمكؤم موأميؤي يمديممكؤم إملمييى‬


‫مياَأمييمه يياَ الي يمذيمن مءاممنمي يوُا إممذا قمؤمتمي يؤم إملمييىَ ال ل‬

‫سمحوُا بممرمءومسمكؤم موأمؤرمجلممكؤم إمملىَ الؤمكؤعبميؤيَمن موإمؤن مكؤنتميؤم مجنمبنيياَ فيمياَطللهمروا موإمؤن‬ ‫م‬
‫الؤمممرافمق مواؤم م‬
‫مم‬ ‫م م‬
‫ضىَ أمؤو معملىَ مسمفنر أمؤو مجاَءم أممحةد مؤنمكؤم ممن الؤمغاَئط أمؤو ملممؤسيتممم الن م‬
‫سيياَءم فميلميؤم‬ ‫مكؤنتمؤم ممؤر م‬
‫م‬ ‫م‬
‫سيمحوُا بمموُمجييوُهمكؤم موأميؤيمديمكؤم مؤنيهم مميياَ يممرييمد ال ليهم‬ ‫تممجمدوا ماَء فميتمييَلمموُا م‬
‫صيعيَندا طميَنبينياَ مفاَؤم م‬
‫من م م م‬

‫لميَمؤجمعي يمل معلمؤيَمكي يؤم ممي يؤن محي يمرنج مولممكي يؤن يممريي يمد لميَمطمنهمرمكي يؤم مولميَمتمي يلم نمؤعممتمي يهم معلمؤيَمكي يؤم لممع لمكي يؤم‬

(6 :‫تمؤشمكمرومن )الماَئدة‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak


mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan

7
menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.
(QS. Al-Maidah: 6).

‫ساَءم مفيِ الؤمممحيَي م‬


‫ض مومل تميؤقمربيميوُمهلن‬ ‫ك معمن الؤمممحيَ م‬
‫ض قمؤل مهموُ أمنذىً مفاَؤعتممزلموُا الن م‬ ‫مويمؤسأمملوُنم م‬

‫محتيليىَ يمطؤمهيؤرمن فميمإمذا تمطملهيؤرمن فميأؤمتوُمهلن مميؤن محؤيَي م‬


‫ث أممممرمكيمم ال ليهم إملن ال ليهم يممحي ي‬
‫ب التل يلوُامبيَمن‬

‫مويممح ي‬
(222 :‫ب الؤممتمطمنهمريمن )البقرة‬

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:


"Haidh itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka
telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri”. (QS. Al-Baqarah: 222).
e. Mafhum had, yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu ‘adat di
antara adat-adatnya. Seperti dalam QS. Al-An’am ayat 145:

َ‫قمؤل مل أممجمد مفيِ مماَ مأومحميِ إململيِ مممحلرنماَ معملىَ مطاَمعنم يمطؤمعمميهم إملل أمؤن يممكييوُمن ممؤيَتميةن أمؤو مدنمييا‬

‫س أمؤو فمؤسينقاَ أممهيلل لمغمؤيَيمر ال ليمه بميمه فممم من ا ؤ‬ ‫م‬ ‫م‬


‫غيَ يمر‬
‫ضيطملر مؤ‬ ‫ممؤسمفوُنحاَ أمؤو لمؤحمم خؤنمزينر فميإنلهم مرؤجي ة‬

(145 :‫ك غممفوُةر مرمحيَةم )النعاَم‬


‫مباَنغ مومل معاَند فممإلن مربل م‬
Artinya: “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang
yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir atau daging babi --karena
sesungguhnya semua itu kotor-- atau binatang yang disembelih

8
atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan
terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-An’am: 145).
f. Mafhum laqab, yaitu menggantungkan hukum kepada isim alama atau
isim fa'ilmu.

Qaidah-qaidah Istimbath Hukum


A. Amar
Arti amar menurut bahasa adalah suruhan, perintah dan perbuatan. Sedang
menurut istilah ialah tuntutan memperbuat dari atasan kepada bawahan, dalam
hal ini ada beberapa kaidah istimbath hukum:
1. Amar menunjukkan kepada wajib
2. Amar menunjukkan kepada sunnah
3. Amar tidak menunjukkan untuk berulang-ulang
4. Amar tidak menunjukkan untuk bersegera
5. Amar dengan sesuatu wasilah-wasilahnya
6. Amar menurut masanya.
7. Ganti dengan perintah baru
8. Martabat amar
9. Amar sesudah larangan memfaedahkan akan boleh.

B. Nahi
Nahi artinya larangan, cegahan. Sedangkan menurut istilah agama ialah
tuntutan meninggalkan dari atasan kepada bawahan. Dalam persoalan ini terdapat
beberapa ketentuan yang berhubungan dengan bentuk larangan:

9
1. Asal pada larangan ialah untuk haram. Seperti dalam firman Allah SWT. QS.
An-Nisa’ ayat 43:

‫مياَأمييمهاَ المذيمن مءاممنموُا مل تميؤقمرمبوُا ال ل‬


َ‫صملمة موأمنؤيتمؤم مسيمكاَمرىً محتليىَ تميؤعلممميوُا ممياَ تميمقوُلميوُمن مومل مجنمبنيا‬

‫ضىَ أمؤو معملىَ مسمفنر أمؤو مجاَءم أممحةد ممؤنمكؤم مممن‬


‫إملل معاَبممريِ مسمبيَنل محلتىَ تميغؤتممسلموُا موإمؤن مكؤنتمؤم ممؤر م‬

‫سيمحوُا بمموُمجييوُمهمكؤم‬ ‫الؤمغاَئممط أمو ملمستمم النساَء فميلمم تممجمدوا ماَء فميتمييَلمميوُا م‬
‫صيعيَندا طميَنبينياَ مفاَؤم م‬
‫من م م م‬ ‫ؤ مؤ م مم ؤ‬

(43 :‫موأميؤمديمكؤم إملن ال لهم مكاَمن معمفووُا غممفوُنرا )النساَء‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang


kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam
keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu
mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau
kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi
Maha Pengampun”. (QS. An-Nisa’: 43).
2. Larangan dari sesuatu merupakan suruhan bagi lawannya
3. Larangan yang mutlak menghendaki berkekalan dalam sepanjang masa.
4. Larangan menunjukkan kebinasaan yang dilarang dalam beribadah.
5. Larangan menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang dalam ber’aqad
(mu’amalat).

10
C. ‘Am
‘Am suatu lafadz yang dipergunakan untuk menunjukkan suatu makna
yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali
ucapan saja. Seperti kata arrijal, maka lafadz ini meliputi semua laki-laki.
Pembagian ‘am:
1. Umum syumuliy, yaitu lafadz yang digunakan dan dihukumkan serta berlaku
bagi seluruh pribadi, seperti dalam QS. An-Nisa’ ayat 1:

‫س موامحيمدةن مومخلميمق مم ؤنيمهيياَ مزؤومجمهيياَ موبمي ل‬


‫ث‬ ‫س اتليمقييوُا مربلمكيمم اليمذيِ مخلممقمكيؤم مميؤن نميؤفي ن‬
‫مياَأمييمهيياَ النليياَ م‬

‫ساَءمملوُمن بممه مواؤلمؤرمحاَمم إملن ال لهم مكاَمن معلمؤيَمكؤم‬ ‫ل لم‬ ‫م م‬ ‫م‬


‫م ؤنيمهمماَ مرمجاَنل مكثيَنرا مون م‬
‫ساَءن مواتليمقوُا ال هم ا ذيِ تم م‬

(1 :‫مرمقيَنباَ )النساَء‬

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah


menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah
menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu”. (QS. An-Nisa’: 1).
2. Umum Badaliy, yaitu suatu lafadz yang dipergunakan dan dihukumkan serta
berlaku untuk sebagian afrad (pribadi), seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat
183:

‫ب معلميىَ اليمذيمن مميؤن قميؤبلممكيؤم لممع لمكيؤم‬ ‫م‬


‫صيميَاَمم مكمميياَ مكتي م‬
‫ب معلمؤيَمكيمم ال ن‬ ‫م‬ ‫لم‬
‫مياَأمييمهياَ ا يذيمن مءاممنميوُا مكتي م‬

(183 :‫تميتليمقوُمن )ابقرة‬

11
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 183).

12
Lafadz-lafadz umum:
1. Kullun, jami’un, kaffatun dan ma’syara
2. Man, maa dan aina pada majaz
3. Man, maa, aina dan mata untuk istifham (pertanyaan)
4. Ayyu
5. Nakirah sesudah nafi
6. Isim maushul
7. Idhafah
8. Alif lam harfiyah

D. Khas
Khas artinya lafadz yang tidak meliputi mengatakannya sekaligus
terhadap dua sesuatu atau beberapa hal tanpa menghendaki kepada batasan.

E. Takhshish dan Mukhashshish


Takhshish adalah mengeluarkan sebagian lafadz yang berada dalam
lingkungan umum menurut hingaan yang tidak ditentukan. Sedangkan
Mukhashshish ialah suatu dalil )alasan) yang menjadi dasar untuk adanya
pengeluaran tersebut.
Pembagian Mukhashshish:
1. Mukhashshish Muttashil, yaitu yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi
pengertiannya selalu berhubungan dengan lafadz sebelumnya.
2. Mukhashshish Munfashl, yaitu lafadz yang dapat berdiri sendiri tanpa
dihubungi oleh kalimat yang pertama. Seperti masa iddah perempuan yang
dithalaq adalah tiga kali suci (Al-Baqarah: 228), ditakhsishkan ‘iddah
perempuan yang ditalaq dalam keadaan haml adalah sampai dengan
melahirkan (Ath-Thalaq: 4).
Macam-macam Mukhashshish muttasil adalah istisna’, syarat dan sifat.
Macam-macam Mukhashshish munfasil ialah:

13
1. Takhsish Al-Qur'an dengan Al-Qur'an
Contoh QS. Al-Baqarah: 228 dengan At-Thalaq: 4:

ِ‫صمن بمأمنؤيمفمسمهلن ثمملثمةم قميمرونء مومل يممحيل لممهلن أمؤن يمؤكتمؤميمن مميياَ مخلميمق ال ليهم مفييي‬ ‫موالؤممطملمقاَ م‬
‫ت يميتميمربل ؤ‬
‫م‬
‫أمؤرمحاَمممهلن إمؤن مكلن يميؤؤمملن مباَل لمه مواؤليَميؤوُم اؤلمخمر موبميمعوُملتميمهلن أممحييق بممرندمهيلن مفيييِ مذلمي م‬
‫ك إمؤن أممرامدوا‬

‫ف مومللنرمجاَمل معلمؤيَمهيلن مدمرمجي ة موال ليهم معمزييةز محمكيَيةم‬


‫إمصملحاَ ولمهلن ممثؤل المذيِ معلميَمهلن مباَلؤمعرو م‬
‫م ؤم‬ ‫ؤ‬ ‫م‬ ‫ؤ ن مم‬

(228 :‫)البقرة‬

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)


tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada
Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki
ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah: 228).

‫سيياَئممكؤم إممن اؤرتميؤبتميؤم فممعيلدتميمهلن ثمملثميةم أمؤشيمهنر موالللئيمييِ لميؤم‬ ‫والللمئيِ يئمسن ممن الؤممحيَي م م م‬
‫ض ميؤن ن م‬ ‫م ؤم م م‬ ‫م‬
‫ضعن حملمهلن ومن ييتلمق ال ليه يجعيل لميه ممين أمميمرهم‬ ‫يممح ؤ‬
‫م م ؤم ؤ م ؤ ؤ‬ ‫ت اؤلمؤحمماَمل أممجلممهلن أمؤن يم م ؤ م م ؤ م م م ؤ م‬
‫ضمن مومأومل م‬

(4 :‫يمؤسنرا )الطلق‬

Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di


antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang
masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu
(pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-

14
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang
bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya”. (QS. At-Thalaq: 4).

2. Takhsish Al-Qur'an dengan sunnah

‫صيَمكم ال لهم مفيِ أمؤوملمدمكؤم ملللذمكمر ممثؤل مح ن‬


‫ظ اؤلمنؤيثمييَميؤيَمن‬ ‫م‬
‫م‬ ‫ميوُ م‬

‫ليرث المسلم الكاَفر ول الكاَفر المسلم‬

3. Takhsish sunnah dengan Al-Qur'an

‫لبقبل ال صلة احدكم احدث حت يتوُضاَء‬

َ‫صمعيَندا طميَننبا‬ ‫م‬


‫فميلمؤم تمجمدوا مماَءن فميتمييَملممموُا م‬
4. Takhsish sunnah dengan sunnah

‫فيَماَ سقت السماَء العسر‬

‫ليَس فيَماَ دون خمسة اسق صدقة‬

5. Takhsish sunnah dengan qiyas

‫لىَ الوُجد الجل عرضه وعقوُبته‬

Hadits ini ditakhsish oleh qiyas aulawy yang diambil dari pengertian ayat:

‫لتقل لهم اف‬


‫مو م‬

15
F. Mutlaq dan Muqayyad
Muthlaq ialah lafadz-lafadz yang menunjukkan kepada pengertian dengan
tidak ada ikatan (batas) yang tersendiri berupa perkataan. Seperti yang disebutkan
QS. Al-Mujadalah ayat 3:

‫ساَئممهؤم ثملم يميمعوُمدومن لممماَ مقاَلموُا فميتمؤحمريمر مرقميبمنة ممؤن قميؤبمل أمؤن يميتممماَلساَ مذلممكؤم‬ ‫م م م‬ ‫لم‬
‫موا ذيمن يممظاَهمرومن مؤن ن م‬

(3 :‫ظوُمن بممه موال لهم بممماَ تميؤعممملوُمن مخمبيَةر )المجاَدلة‬


‫متوُمع م‬
Artinya: “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadalah: 3).
Muqayyad ialah suatu lafadz yang menunjukkan atas pengertian yang
mempunyai batas tertentu berupa perkataan. Seperti dalam firman Allah dalam
QS. An-Nisa’ ayat 92:

‫مومماَ مكاَمن لمممؤؤممنن أمؤن يميؤقتممل ممؤؤممنينياَ إملل مخطميأن مومميؤن قميتميمل ممؤؤممننياَ مخطميأن فميتمؤحمرييمر مرقميبمينة ممؤؤممنمينة مومديمية‬

‫صيلدقموُا فميمإؤن مكياَمن مميؤن قم يؤوُنم معيمدوو لممكيؤم مومهيموُ مميؤؤممةن فميتمؤحمرييمر مرقميبمينة‬
‫سي لمم ة إملميىَ أمؤهلميمه إملل أمؤن يم ل‬
‫مم م‬

‫س لمم ة إمملىَ أمؤهلميمه موتمؤحمرييمر مرقميبمينة ممؤؤممنمينة‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫م ن‬ ‫من م‬


‫ممؤؤمنمة موإؤن مكاَمن مؤن قميؤوُم بم ؤييَينممكؤم موبم ؤييَينميمهؤم ميَمثاَةق فمديمة مم م‬

:‫صيميَاَمم مشيؤهمريؤمن ممتمتميياَبممعؤيَمن تميؤوُبميةن مميمن ال ليمه مومكيياَمن ال ليهم معلميَنميياَ محمكيَنميياَ )النسيياَء‬
‫فممين لميم يمجيؤد فم م‬
‫مؤ ؤم‬

(92

Artinya: “Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang mu'min
(yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa
membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia

16
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar
diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika
mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum
yang memusuhimu, padahal ia mu'min, maka (hendaklah si pembunuh)
memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh)
dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan
kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya
yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka
hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai
cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana”. (QS. An-Nisa’: 92).
Muradif dan Musytarak
Mudharif ialah lafadznya banyak sedang artinya sama. Adapun musytarak
ialah satu lafadz yang mempunyai dua arti yang sebenarnya dan arti-arti tersebut
berbeda-beda. Contoh firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 228:

(228 :‫)البقرة‬... ‫صمن بمأمنؤيمفمسمهلن ثمملثمةم قميمرونء‬ ‫موالؤممطملمقاَ م‬


‫ت يميتميمربل ؤ‬
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang diceraikan itu menunggu tiga kali
quru’…”. (QS. Al-Baqarah: 228).
Ta'wil
Ta’wil ialah memindahkan sesuatu perkataan dari makna yang terang
(zhahir) kepada makna yang tidak terang (lemah, marjuh) karena ada sesuatu dalil
yang menyebabkan makna yang kedua tersebut harus dipakai. Contoh firman
Allah QS. Adz-Dzariyat ayat 47:

(47 :‫)الذارية‬...‫سمماَءم بمينم ؤييَيمناَمهاَ بمأميؤند‬


‫موال ل‬
Artinya: “Dan langit yang telah Kami bangun dengan tangan…”. (QS. Adz-
Dzariyat: 47).

17
Lawan ta’wil adalah dhahir yang artinya sesuatu lafadz yang mempunyai
dua makna yang salah satu mempunyai makna yang lebih jelas. Syarat-syarat
ta’wil:
1. Adanya dalil yang menjelaskan bahwa maksud atau yang dikehendaki masih
dalam muatan lafadz itu.
2. Bahwa ta’wil itu sesuai dengan bahasa, biasa digunakan oleh shahibusyar’i.
Maka dengan demikian kalau ta’wil itu keluar dari dua hal tersebut dianggap
tidak sah.

18
BAB II
HUKUM SYARAT: HUKUM TAKLIFI DAN WADH’I

A. Hukum Takhlifi
Hukum takhlifi mengandung tuntutan untuk mengerjakan atau
meninggalkan sesuatu perbuatan atau memberikan kebebasan untuk memilih
antara perbuatan atau tidak memperbuat. Hukum takhlifi diisyaratkan dapat
dikerjakan dan mungkin dikerjakan oleh mukallaf. Karena itu hukum takhlifi
tidak ada yang bertentangan dengan manusia. Hukum ini dibagi menjadi lima
bagian, yaitu:
1. Wajib
Menurut syara' yaitu apa yang dituntuti oleh syara' kepada mukallaf
untuk memperbuatnya dalam tuntutan keras, atau suatu perbuatan kalau
dikerjakan akan mendapat pahala kalau ditinggalkan akan mendapatkan dosa.
2. Sunnah (Mandub)
Sunnah adalah sesuatu yang dituntut oleh syara' memperbuatnya dari
mukallaf namun tuntutannya tidak begitu keras, atau dengan kata lain diberi
pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa bagi yang
meninggalkannya.
3. Haram
Haram adalah apa yang dituntut oleh syara' untuk tidak melakukannya
dengan tuntutan keras, atau dengan kata lain dilarang memperbuatnya dan
jika diperbuat akan mendapatkan siksa dan jika ditinggalkan mendapatkan
pahala.

19
4. Makruh
Makruh yaitu apa yang dituntut syara' untuk meninggalkannya namun
tidak begitu keras, atau dengan kata lain sesuatu yang dilarang
memperbuatnya namun tidak disiksa bila dikerjakan.
5. Mubah
Mubah yaitu apa yang diberikan kebebasan pada mukallaf untuk
memilih antara memperbuat atau meninggalkannya.

B. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i yaitu hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah
sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang (mani’) terhadap
sesuatu.
1. Sebab
Seab yaitu apa yang dijadikan syara' sebagai tanda atas musabab dan
dihubungkan adanya sebab dengan adanya musabab dan tidak adanya
musabab karena tidak adanya sebab. Karena itu sebab tidak ada musabab pun
tidak ada, dan kalau sebab tidak ada musabab pun tidak ada.

َ‫الحكم يرد مع العلة وجوُد او عداما‬

2. Syarat
Yang dimaksud dengan syarat adalah apa yang tergantung adnaya
hukum dengan adanya syarat dan dengan tidak ada syarat maka hukum tidak
ada. Syarat-syarat dalam perbuatan hukum kadang-kadang ditetapkan syara'
yang dinamakan syara' dan kadang-kadang ditetapkan oleh mukallaf sendiri
dinamakan syarat ja’li.
3. Mani’
Mani’ adalah apa yang memastikan adanya tidak ada hukum atau batal
sebab hukum sekalipun menurut syara' telah terpenuhi syarat dan rukunnya
tetapi karena adanya mani’ (mencegah) berlakunya hukum atasnya, atau

20
dengan kata lain apabila terdapat hukum tidak akan ada atau sebab menjadi
batal sekalipun memenuhi syarat dan rukunnya.
Mani’ kadang-kadang menjadi penghalang berlaku hukum syara',
seperti adanya hutang menjadi mani’ wajib mengeluarkan zakat, karena yang
ada pada tangan pemilik bukan muliknya tetapi milik orang lain, sedang
memenuhi hak orang lain lebih utama dari membantu fakir miskin agar orang
yang berhutang bebas dari tanggung jawabnya. Hutang inilah yang
menghapuskan syarat yang menjadi pelengkap sebab hukum syara' sehingga
dianggap tidak memenuhi syarat wajib zakat bukan karena adnaya mani’.
4. Rukhshah dan ‘Azimah
Rukhshah adalah hukum syara' yang telah ditetapkan untuk
memberikan kemudahan bagi mukallaf pada keadaan tertentu yang
menyebabkan kemudahan. ‘Azimah adalah hukum yang disyari'atkan Allah
semenjak semula bersifat umum yang bukan tertentu pada satu keadaan atau
kasus tertentu dan bukan pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu.
Sebab-sebab adanya rukhshah:
a. Adanya sakit
b. Bepergian
c. Masaqqah
d. Dharurat
e. Al-hajat
f. Mukrih
5. Sah dan batal
Lafal sah dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban
di dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Shalat dikatakan
sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara' dan
perbuatan itu akan mendatangkan pahala di akhirat. Sebaliknya lafal batal
dapat diartikan tidak melepaskan tanggung jawab, tidak menggugurkan
kewajiban di dunia dan akhirat tidak mendapat pahala.

21
Menurut ulama bahwa setiap perbuatan apakah ibadah maupun
mu’amalah tujuannya adalah untuk kemaslahatan hidup manusia di dunia dan
akhirat. Dalam hal ini termasuk semua macam perjanjian mengandung dua
tujuan pokok yaitu memenuhi tuntutan syara' dan untuk mencapai dan
mewujudkan kemaslahatan hidup.
6. Asas Hukum
a. Hifdzud Nasel
b. Hifdzu Aqli
c. Hifdzu Maal
d. Hifdzu Nafsi

22
BAB III
SUMBER-SUMBER FIQH/HUKUM ISLAM
YANG DISEPAKATI DAN YANG TIDAK DISEPAKATI

A. Sumber-sumber Fiqh/Hukum Islam yang Disepakati


1. Al-Qur'an
Al-Qur'an yaitu kalamullah yang diturunkan oleh ruhul amin kepada
Muhammad Saw. dalam bahasa Arab dan pengertiannya benar, agar menjadi
hujjah bagi Rasul bahwa ia adalah Rasulullah menjadi dustur bagi orang yang
mengikuti petunjuknya, menjadi ibadah bagi orang yang membacanya.
Berdasarkan turunnya, wahyu dapat dibagi menjadi dua:
a. Wahyu yang turun di Makkah disebut Makiyah, berisi soal-soal
kepercayaan (hablumminallah)
b. Wahyu yang turun di Madinah, disebut Madaniyah berisi soal-soal
mengatur perhubungan sesama manusia yang berisi hukum-hukum dan
syari'at-syari'at, akhlak (hablumminannas).
Isi pokok Al-Qur'an ada 3 macam, yaitu:
a. Rukun iman yaitu hal-hal yang tetap berlaku sesuatu yang telah
mempunyai aturan tertentu.
b. Rukun Islam
c. Munakahat (perkawinan), mu’amalat (hukum pergaulan dalam
masyarakat), jinayat (pidana), aqdiyah (hukum mengenai mendirikan
pengadilan), khilafah (hukum mengenai pemerintahan), ath’imah
(makanan dan minuman), jihad (peperangan).
2. Hadits/Sunnah
Hadits/sunnah menurut bahasa berarti jalan, peraturan, sikap dalam
bertindak dan bentuk kehidupan. Sunnah dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

23
a. Sunnah qauliyah (perkataan) yang disinonimkan dengan hadits
b. Sunnah fi’liyah, ialah segala yang pernah diperbuat oleh Rasul kemudian
diikuti oleh kaum muslimin dalam melaksanakan ibadah shalat dan haji.
c. Sunnah taqririyah, ialah merupakan pengakuan ini baik dengan cara diam-
diam atau dengan terus terang.
3. Ijma’
Ijma’ yaitu persetujuan pendapat dari para mujtahid atau kesepakatan
dari para mujtahid pada suatu masa atas suatu hukum syara'. Macam-macam
ijma’:
a. Ijma’ sukuti, yaitu sekelompok mujtahid berpendapat atau melakukan
sesuatu sedangkan yang lain tidak memberi komentar atau tanggapan atau
perlawanan.
b. Ijma’ jami’i yaitu semua orang atau mujtahid memberi komentar atau
pendapat yang semuanya sama.
4. Qiyas
Qiyas yaitu menyamakan suatu hukum yang belum ada hukumnya
pada suatu yang sudah ada hukumnya. Yang sudah ada ketentuannya karena
adanya kesamaan-kesamaan.
Macam-macam qiyas:
a. Qiyas aula/aulawy, yaitu qiyas karena terdapat illat yang mewajibkan
adanya hukum sedang yang disamakan itu hukumnya lebih berat daripada
yang dibuat menyamakan.
b. Qiyas musawy, yaitu adanya illat mengharuskan adanya hukum maqis
alaih atau maqisnya sama.
c. Qiyas dalalah, yaitu adanya sebab yang menunjukkan hukum tetapi tidak
mengharuskan adanya hukum.
d. Qiyas shibhi, yaitu menyamakan maqis dan maqis alaih karena adanya
persamaan-persamaan.
Rukun-rukun qiyas:

24
a. Dasar untuk mengqiyaskan (maqis)
b. Al-far’u (maqis alaih yang disamakan)
c. Al-illat (sebab)
d. Hukum (yang dijadikan kepastian).

B. Sumber-sumber Fiqh/Hukum Islam yang Tidak Disepakati


Yang dimaksud dengan sumber hukum Islam yang tidak disepakati
(ikhtilaf) ialah sesuatu yang terjadi dalam penentuan mencari alasan atau dalil
oleh para mujtahid. Hal ini karena tidak didapati dalam Al-Qur'an, sunnah, ijma’
maupun qiyas. Adapun macamnya adalah sebagai berikut:
1. Istihsan
Yaitu mencari kebaikan atau menganggap sesuatu lebih baik.
sedangkan menurut istilah diartikan berpaling pada suatu masalah dari
sesuatu hukum yang sama menuju hukum lain karena ada alasan yang lebih
kuat.
2. Istishab
Yaitu membawa atau menemani. Sedangkan menurut istilah
berlangsungnya hukum yang telah ada semenjak masa lalu berdasarkan apa
yang telah ada itu. Jadi istishab adalah menetapkan sesuatu keadaan
sebelumnya, sehingga yang baru merubahnya.
3. Maslahah mursalah
Yaitu tiap-tiap maslahah yang tidak dikaitkan dengan nash pada
hukum syara' yang menjadikan kita menghormati atau menolaknya.
Sedangkan jika diharai akan mendatangkan manfaat atau menolak
kemudharatan.

25
Para ulama menerima maslahah mursalah ini dengan syarat sebagai
berikut:
a. Maslahah hakiki, terang mendatangkan atau menolak kejahatan.
b. Maslahah bersift umum, tidak pribadi
c. Tidak bertentangan dengan nash atau ijma’.
4. Urf (adat istiadat)
Urf (adat) menurut bahasa adalah kebiasaan yang berlaku dalam
perkataan, perbuatan atau meninggalkannya karena telah menjadi kebiasaan
umum. Sedangkan menurut istilah berarti sesuatu yang telah menjadi
kebiasaan dan diterima oleh yabiaty yang baik serta telah dilakukan oleh
penduduk sekitar Islam dengan ketentuan tidak bertentangan dengan nash dan
syara'.
Urf ini terbagi menjadi dua aspek:
a. Urf qauli, yaitu mempergunakan sesuatu kalimat untuk sesuatu arti yang
terbatas.
b. Urf amali, yaitu kebiasaan yang berupa amal atau pekerjaan, seperti antara
tukang dan pekerja, jual beli secara mukallaf.
5. Saddudz dzara’i
Yaitu sesuatu yang dengannya akan menyebabkan kepada perbuatan
terlarang dengan illat mengandung kerusakan.

26
BAB IV
IJTIHAD, TAKLID DAN ITBA’

A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad artinya mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk
memperoleh hukum syara' dari dalil-dalilnya.
Menurut ahli Ushul Fiqh ijtihad berarti mencurahkan segenap
kesanggupan mujtahid dalam mendapatkan syara' amali dengan satu metode.
Pengertian demikian didasarkan pada kenyataan yang dihadapi kaum muslimin
sejak masa Nabi.
Di masa Nabi, orang mengharapkan informasi ketentuan agama dari
wahyu, baik dari Al-Qur'an maupun al-Sunnah. Jika tidak, maka Al-Qur'an
memberikan arahan agar kaum muslimin melakukan istinbath, yaitu memahami
dari penjelasan Rasul dan Ulil Amri. (An-Nisa’: 83).1

‫ف أممذاعموُا بممه مولميؤوُ مريدوهم إمليميىَ اللرمسييوُمل موإمليميىَ مأوليمييِ اؤلمؤميمر‬


‫وإممذا جاَءهم أممر ممن اؤلمممن أممو الؤمخوُ م‬
‫ؤ‬ ‫م م مم ؤ ؤة م ؤ‬

‫طوُنمهم مم ؤنيمهؤم مولمؤوُمل فم ؤ‬


‫ضمل ال لمه معلمؤيَمكؤم مومرؤحممتمهم ملتليبميؤعتممم ال ل‬
َ‫شؤيَمطاَمن إملا‬ ‫مم ؤنيمهؤم لممعلمممهم المذيمن يمؤستميؤنبم م‬

(83 :‫قممليَلن )النساَء‬

Artinya: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan
ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah
karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu

1
Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), 104.

27
mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”. (QS.
An-Nisa’: 83).
Syari'at Islam merupakan syari'at yang mengandung berbagai
keistimewaan, antara lain bersifat umum, abadi, meliputi segala bidang dan
merupakan rahmat bagi seluruh alam. Al-Qur'an merupakan dasar hukum.
Atas dasar itulah Allah memberikan hak kepada orang-orang yang
memiliki kemampuan melakukan ijtihad bila terdapat masalah-masalah yang
tidak shahih atau ditetapkan bila terdapat masalah-masalah yang tidak shahih atau
ditetapkan secara tidak jelas dan tidak pasti (qath’i) di dalam Al-Qur'an.

B. Penggunaan Istilah Ijtihad


Kata ijtihad digunakan para fuqaha untuk beberapa persoalan rumit dan
sulit yang membutuhkan banyak energi. Ijtihad tidak dipergunakan untuk
melakukan yang ringan-ringan.2
Beberapa ulama ahli Ushul Fiqh menyebutkan:
1. Menurut Imam Al-Syaukani, ijtihad adalah mencurahkan kemampuan guna
mendapatkan hukum syara' yang bersifat operasional dengan cara istinbath
(mengambil kesimpulan hukum).
2. Menurut Al-Imam Amidi mendefinisikan ijtihad adalah mencurahkan segala
kemampuan untuk mencari hukum syara' yang bersifat zhanni sampai dirinya
merasa tidak mampu mencari tambahan kemampuannya itu.
Kata-kata tidak mampu mencari tambahan kemampuannya menurut Imam
Ghazali berlaku bagi kata ijtihad yang sempurna.

C. Dasar Ijtihad
Dasar hukum diperbolehkannya melakukan ijtihad antara lain firman
Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah: 149:

2
Abdurrahman Wahid, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1993), 5.

28
(149 :‫ )البقرة‬... ‫ك مشطؤمر الؤممؤسمجمد الؤمحمرامم‬
‫ت فميموُنل موؤجمه م‬ ‫موممؤن محؤيَ م‬
‫ث مخمرؤج م‬
Artinya: “Dan dari mana saja kamu ke luar, maka palingkanlah wajahmu ke
arah Masjidil Haram…”. (QS. Al-Baqarah: 149).
Dari ayat tersebut di atas dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh
dari Masjidil Haram, apabila akan shalat dapat mencari dan menentukan arah
kiblat melalui ijtihad dengan mencurahkan akal pikirannya berdasarkan indikasi
atau tanda-tanda yang ada.3
Baik yang mendudukkan “ijtihad” sebagai dalil maupun sebagai
pemahaman terhadap dalil, penggunaan ijtihad ini didasarkan pada ayat-ayat Al-
Qur'an surat An-Nisa’ ayat 59:

‫مياَأمييمهاَ المذيمن مءاممنموُا أممطيَمعوُا ال لهم موأممطيَمعوُا اللرمسوُمل مومأومليِ اؤلمؤممر ممؤنمكؤم فممإؤن تمينيمياَمزؤعتمؤم مفيييِ مشيؤيِنء‬
‫م‬
‫سيمن تميأؤمويلن‬
‫خيَ يةر موأمؤح م‬
‫ك مؤ‬‫فميمريدوهم إمملىَ ال لمه مواللرمسوُمل إمؤن مكؤنتميؤم تميؤؤممنيميوُمن بيمياَل لمه مواؤليَم يؤوُم اؤلمخيمر مذلمي م‬

(59 :‫)النساَء‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa’: 59).

3
Khairul Umam dan A. Achyar Aminuddin, Ushul Fiqh II (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001),
132.

29
Menurut hadits Nabi yang diriwayatkan Al-Bukhari:
Artinya: “Jika seorang hakim menetapkan hukum, kemudian ia berijtihad lagi
benar ijtihadnya, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila ia
menghukumi dengan ijtihad kemudian ijtihadnya itu salah baginya
mendapatkan satu pahala”. (HR. Bukhari).4

D. Kedudukan Ijtihad
Dalam hal kedudukan ijtihad ini di kalangan ahli Ushul Fiqh memang ada
perbedaan pendapat, sebagian besar menjadikan ijtihad itu sebagai dalil, sedang
sebagian yang lain menjadikan menjadi dalil dalam keadaan sangat dihajatkan
pada waktu tidak didapati ayat Al-Qur'an atau as-Sunnah. Sebagian ahli Ushul
Fiqh lagi, ijtihad itu merupakan metode pemahaman terhadap sumber pokok
(dalil) yakni Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Kawasan ijtihad adalah hukum-hukum yang dalilnya dhanni bukan yang
qath’i. Kita tidak boleh berijtihad dalam hukum yang qath’i yang telah ditetapkan
dalilnya oleh Al-Qur'an.
Agar ijtihad berhasil secara optimal ada beberapa syarat yang harus
dimiliki seorang mujtahid:
1. Seorang mujtahid hendaknya memiliki kemampuan dan seperangkat ilmu
untuk berijtihad yang telah ditetapkan dalam Ushul Fiqh.
2. Dia seorang yang adil, terpercaya dan berperilaku baik.
3. Mereka yang mengaku bisa berijtihad, tetapi tidak mempunyai ilmu tentang
nash-nash Al-Qur'an dan hadits serta melecehkan Ushul Fiqh, maka
pendapatnya harus ditolak.5

4
Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), 192-193.
5
Al-Qardhawi, Membumikan Syari'at Islam (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997).

30
E. Ruang Lingkup Ijtihad
Imam Al-Ghazali berpendapat ijtihad dilakukan pada setiap hukum yang
tidak ada dasarnya yang pasti (qath’i).6 Hal ini sebagaimana firman Allah SWT.:

‫ضىَ ال ليهم مومرمسيوُلمهم أمؤمينرا أمؤن يممكيوُمن لممهيمم الؤمخيَم يمرةم مميؤن أمؤممرمهيؤم‬
‫مومميياَ مكياَمن لممميؤؤممنن مومل ممؤؤممنمينة إممذا قم م‬

(36 :‫ضملنل مممبيَنناَ )الحزاب‬ ‫ص ال لهم مومرمسوُلمهم فميمقؤد م‬


‫ضلل م‬ ‫موممؤن يميؤع م‬

Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS.
Al-Ahzab: 36).

َ‫غيَيمر مسمبيَمل الؤمميؤؤمممنيَمن نميموُلنمه مميياَ تم يموُللى‬ ‫م م‬ ‫ومن ي م م‬


‫شاَقمق اللرمسوُمل مؤن بميؤعد مماَ تميبمييَلمن لمهم الؤمهمدىً مويميتلبمؤع مؤ‬‫مم ؤ م‬
‫تم م‬
(115 :‫صيَنرا )النساَء‬ ‫ونم ؤ م م‬
‫صله مجمهنلمم مومساَءم ؤ م‬ ‫م‬
Artinya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu
dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-
buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa’: 115).

F. Jenis-jenis Ijtihad
1. Individu, yaitu dilakukan secara sendiri
2. Kolektifitas, yaitu dilakukan secara kelompok.

6
Imam Al-Ghazali, Al-Mustafa Juz. 2, 354.

31
Ijtihad Kolektif (Al-Ijtihad Al-Ijma’i)
Ijtihad kolektif adalah sesuatu yang penting karena adanya tuntutan
zaman, problem-problem yang terkait dan perselisihan berbagai madzhab.
Tentang permasalahan ini, Dr. Wahbah Az-Zuhayl, Dekan Fakultas Syari'at
Damaskus, mengatakan: “Saat ini, ada kebutuhan mendesak terhadap apa yang
disebut dengan ijtihad kolektif. Ijtihad ini dilakukan melalui metode musyawarah
ilmiah di antara para tokoh ulama dari berbagai negara dan dari berbagai
madzhab Islam di dalam suatu lembaga ilmiah ataupun muktamar fiqh.
Tujuannya adalah untuk menelitu berbagai problematika modernitas dan berbagai
hal yang dibutuhkan oleh umat, sehingga mereka bersepakat terhadap hal-hal
yang dipandang dapat menghasilkan kemaslahatan”.
Atas dasar itu, akan tampak di dalam kenyataan, bahwa ijtihad merupakan
gerakan pemikiran tentang hukum-hukum agama yang disyari'atkan demi
kemaslahatan umat.
Nabi Muhammad memberikan petunjuk di seputar masalah ijtihad
kolektif ini dengan jalan mengumpulkan seluruh ulama dan saling tukar pendapat
di antara mereka. Diriwayatkan dari Malik bin Anas, dari Yahya bin Sa’id al-
Anshari, dari Sa’ad bin Al-Musayyab, dan dari Ali bin Abi Thalib yang berkata,
“Ya Rasulullah, kami menghadapi perkara yang tidak ada hukumnya di dalam
sunnah”. Rasul menjawab, “Ber-ijma’lah tentang persoalan itu di kalangan orang-
orang berilmu atau mereka yang taat beribadah dari kalangan kaum mukmin.
Bermusyawarahlah di antara kalian tentang urusan itu dan janganlah
memutuskannya berdasarkan pendapat seseorang saja”.
Demikian pula cara Khulafaur Rasyidin, sebab di tengah-tengah mereka,
terdapat majelis syura’ umum di samping majelis syura’ khusus. Mereka adalah
para tokoh yang sering mengemukakan pendapat, sehingga mereka
bermusyawarah di dalam perkara-perkara penting.
Cara bermusyawarah secara ilmiah dan pengambilan hukum dari dalil-
dalil yang ada bersandar pada dua hal: Ushul Fiqh dan kaidah-kaidah fiqh

32
universal. Kaidah-kaidah fiqh ditegaskan di atas pemahaman terhadap berbagai
tujuan syari'at, tujuan-tujuan syari'at ditegakkan di atas tinjauan terhadap
berbagai kemaslahatan, dan kemaslahatan dipandang dari segi syari'at bukan
dengan hawa nafsu manusia.
Namun harus diingat bahwa kesepakatan bersama dalam suatu masalah
jangan sampai membatasi seseorang yang mampu berijtihad secara individual
untuk mengeluarkan pendapatnya, bila ternyata hasilnya berbeda dengan apa
yang telah disepakati. Harus pula diwaspadai agar jangan sampai terjadi
kekacauan dan kebingungan masyarakat karena banyaknya pendapat produk
“ijtihad” yang tidak bertanggung jawab.

G. Ittiba’
Ittiba’ ialah menerima perkataan orang lain dengan mengetahui sumber
atau alasan perkataan tersebut. Ittiba; dalam agama diperintahkan. Firman Allah
SWT. QS. An-Nahl: 53:
‫ مباَؤلبييَنيمناَ م‬.‫مفاَؤسأمملوُا أمؤهل النذؤكمر إمؤن مكؤنتمم مل تميؤعلمموُمن‬
‫ت مواليزبممر‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫ؤ‬ ‫م‬
Artinya: “Tanyakan kepada ahli dzikir (orang-orang pandai) jika kamu tidak
mengetahui”.

H. Taqlid
Taqlid secara bahasa berarti menggantungkan. Sedangkan menurut istilah
mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya.

‫قبوُل قوُل القاَئل وانت ل تعلم من أين قاَله‬

Dalam aspek fiqh taqlid itu dianggap tercela dan terlarang. Hal ini
sebagaimana firman Allah QS. Al-Baqarah: 120, Al-Maidah: 10, At-Taubah: 232
dan Al-Isra’: 36. Menanggapi ayat dalam surat At-Taubah ini para sahabat
bertanya kepada Nabi, Ya Rasulullah apakah mereka mengikuti ruhba atau ahbar.

33
Nabi menjawab tidak, tetapi para ruhba dan ahbar mengharamkan dan
menghalalkan sesuatu mereka mengikutinya.
Para imam madzhab itu mencela hal ini sebagaimana ungkapan mereka
berikut ini:
1. Imam Abu Hanifah

َ‫ان كاَن قوُلىَ يخاَلف كتباَر ال وخيَر الرسوُل فأتركوُا قوُلى‬

2. Imam Malik bin Anas

‫انماَ أناَ بشر أقطئ ةأصيَب فاَنظروا‬

3. Imam Ahmad bin Hanbal

‫إن كاَن رائ يوُافق الكتاَب واسنة محمد وابه وماَ لم يوُافق الكتاَب والسنة فأتركوُه‬

4. Imam Syafi’i

‫ل تقلدنىَ ول تقلد ماَلك ول الثوُر ول ال وراغىَ وخذ من حيَث اخذوا‬

.َ‫اذا صح الحديث صهر مذهبى‬

34
BAB V
MUTHLAQ DAN MUQAYYAD

A. Pengertian Muthlaq dan Muqayyad


Muthlaq adalah sifat yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan
tidak dibatasi oleh sesuatu hal yang lain. Maksudnya ialah lafal tersebut masih
dalam keadaan yang asli bebas belum terpengaruhi oleh hal-hal yang lain.
Contoh: surat An-Nisa’ ayat 43:
‫مم‬ ‫م م‬ ‫موإمؤن مكؤنتمؤم ممؤر م‬...
‫ضىَ أمؤو معملىَ مسمفنر أمؤو مجاَءم أممحةد مؤنمكؤم ممن الؤغمياَئط أمؤو ملممؤسيتممم الن م‬
‫سيياَءم فميلميؤم‬

(43 :‫)النساَء‬...‫سمحوُا بمموُمجوُمهمكؤم موأميؤمديمكؤم‬ ‫تممجمدوا ماَء فميتمييَلمموُا م‬


‫صعيَندا طميَننباَ مفاَؤم م‬
‫من م م م‬
Artinya: “…Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari
tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian
kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah
yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu…”. (QS. An-Nisa’:
115).
Dari lafadz Aidikum dijelaskan bahwa mengusap tangan dengan debu
tidaklah dibatasi dengan sifat, artinya tidak diterangkan sampai di mana, apakah
semuanya diusap atau sebagiannya. Yang jelas sudah pasti dapat tayamum harus
mengusap tangan dengan debu. Jadi lafal Aidikum artinya tanganmu ini tidak
dibatasi sampai dengan di mana yang harus diusap, mana saja asal tangan. 7
Muqayyad adalah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya, dengan dibatasi
oleh sesuatu hal yang dari batasan-batasan tertentu.

7
H. Ahmad Abd, MA., Ushul Fiqh (Surabaya: Garoeda Buana Indah, 1994), 149.

35
Contoh surat Al-Maidah ayat 6:

(6 :‫ )الماَئدة‬...‫ موأميؤمديممكؤم إمملىَ الؤمممرافممق‬...

Artinya: “…Maka basuhlah mukamu dengan tanganmu sampai siku-siku…”.


(QS. Al-Maidah: 6).
Ayat ini menerangkan soal wudhu, ialah harus membasuh muka dan
tangan sampai siku-siku.8

B. Hubungan Muthlaq dengan Muqayyad


Apabila ada suatu lafal, disatukan tempat berbentuk muthlaq sedang di
tempat lain berbentuk muqayyad, maka ada empat kemungkinan dari
ketentuannya:
1. Antara dua ayat itu ada persamaan dari segi hukum dan sebab timbulnya
hukum. Contohnya surat Al-Maidah ayat 3 ditegaskan: “Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, daging babi…”. Kata ad-dam (darah) dalam ayat
tersebut adalah lafal muthlaq karena tanpa membedakan apakah darah itu
telah mengalir dari daging atau yang tidak mengalir, seperti sisa-sisa darah
yang terdapat dalam daging. Sedangkan dalam ayat lain lafal ad-dam
dikemukakan dengan batasan sifat (muqayyad) seperti dalam surat Al-An’am
ayat 145. Kata dam (darah) yang diharamkan dalam ayat itu adalah lafal
muqayyad karena dibatasi dengan masfuh (mengalir). Hukum yang
ditunjukkan dua ayat itu adalah sama, yaitu haramnya darah, dan sebab
mengapa darah diharamkan juga sama, yaitu memberi mudharat. Oleh karena
sama hukum dan sebabnya.
2. Antara dua ayat itu mempunyai kesamaan dari segi hukum tetapi berbeda
daru segi sebab timbulnya hukum. Contohnya surat Al-Mujadalah 1yat 3
ketika menjelaskan kafarat zihar, Allah SWT. berfirman: “…fatahrir raqabah
(maka wajib [atasnya] memerdekakan seorang hamba sahaya)…”. Sedang
8
H. Ahmad Abd, MA., Ushul Fiqh (Surabaya: Garoeda Buana Indah, 1994), 150.

36
dalam kafaratnya pembunuhan tersalah firman Allah SWT. dalam surat An-
Nisa’ ayat 91: “… Fatahriru raqabah mu’minah… (maka [hendaklah] ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman)”. Lafal raqabah
(hamba sahaya) pada ayat pertama adalah muthlaq, sedangkan ayat kedua
adalah muqayyad (dibatasi) dengan sifat beriman. Masing-masing
mempunyai sebab yang berbeda dengan yang lain. Pada ayat pertama sebab
kewajiban membayar kafarat adalah zihar dan pada ayat kedua sebabnya
adalah pembunuhan tersalah. Tetapi hukumnya adalah sama, yaitu kewajiban
memerdekakan budak (hamba sahaya).
3. Dua ayat itu sebabnya sama tetapi bentuk hukumnya berbeda. Contohnya
surat Al-Maidah ayat 6, ketika menjelaskan cara bertayamum ditegaskan: “…
sapulah mukamu dan tanganmu (aidikum) dengan tanah itu…”. Dalam ayat
ini menyapu tangan disebut secara muthlaq tanpa mensyaratkan sampai ke
siku, dan dalam ayat yang sama ketika menjelaskan rukun-rukun wudhu
ditegaskan: “… maka basuhlah [aidikum ila al-marafiq] (tanganmu sampai
dengan siku)…”. Lafal aidi (tangan) pada masalah wudhu disebut muwayyad
dengan membatasinya sampai ke siku. Yang menjadi sebab wajib wudhu dan
wajib tayamum adalah sama, yaitu suci dari hadats, tetapi bentuk hukumnya
berbeda di mana pada tayamum tangan disapu, bukan dibasuh seperti rukun
wudhu.
4. Dua ayat itu berbeda hukum dan sebabnya. Misalnya, sanksi hukum mencuri
adalah potong tangan (QS. 5: 38) tanpa ada ketentuan sampai di mana harus
dipotong. Sedangkan kata aidi (tangan) pada ayat wudhu diisyaratkan sampai
ke siku. Sebabnya berbeda di mana yang satu sebabnya mencuri dan yang lain
untuk mengilangkan hadats. Hukumnya juga berbeda, diaman yang satu
potong tangan dan yang lain membasuhnya. Oleh karena berbeda dari
berbagai sisinya, maka ayat tersebut dipahami secara tersendiri.9

9
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1996), 1271.

37
C. Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Menurut Dr. Zukuyuddin Tsa'ban, mujmal adalah lafal yang belum jelas
maknanya yang tidak dapat menunjukkan arti yang sesungguhnya apabila tidak
ada keterangan lain yang menentukannya. Maksudnya ialah lafal yang belum
jelas artinya, belum jelas maksudnya yang masih membutuhkan bayan atau
penjelasan dari lainnya.
Contohnya surat Al-Baqarah ayat 228:

ِ‫ص يمن بمأمنؤيمفمس يمهلن ثمملثميةم قمي يمرونء مومل يممح ييل لممه يلن أمؤن يمؤكتمؤم يمن مميياَ مخلميمق ال ليهم مفييي‬ ‫موالؤممطملمقيياَ م‬
‫ت يميتميمربل ؤ‬

(228 :‫ )البقرة‬... ‫أمؤرمحاَمممهلن إمؤن مكلن يميؤؤمملن مباَل لمه مواؤليَميؤوُمم اؤلمخمر‬

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga


kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat…”. (QS. Al-Baqarah: 228).
Lafal quru’ dalam ayat ini, masih mujmal, belum jelas mungkin bisa
diartikan suci dan mungkin bisa diartikan haidh, oleh karena itu harus ada dalil
lain yang menjelaskannya.
Mubayyan adalah kebalikan dari mujmal, yaitu lafal yang telah
mempunyai arti yang jelas dan terang. Artinya lafal tadi sudah jelas dalilnya tidak
membutuhkan kepada bayan (penjelasan).

38
Contohnya surat Al-Baqarah ayat 20:

(20 :‫إملن ال لهم معملىَ مكنل مشؤيِنء قممديةر )البقرة‬...

Artinya: “…Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al-


Baqarah: 20).
Di dalam ayat di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud ayat ini ialah,
bahwa Allah lah yang dipercayai umat Islam yang berhak disembah dan dimintai
pertolongan, selain Allah tidak ada dan tidak boleh. Jadi jelas bahwa Allah Maha
Kuasa tidak membutuhkan bayan (penjelasan) lagi.10

10
H. Ahmad Abd, MA., Ushul Fiqh (Surabaya: Garoda Buana Indah, 1994), 158.

39
BAB VI
NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR'AN

A. Pendahuluan
Al-Qur'an adalah firman Allah SWT. yang menjadi mukjizat, ketentuan-
ketentuan yang berlaku universal, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, berlaku
dalam segala zaman. Sebab keautentikannya dan keasliannya senantiasa dijamin
oleh Sang Pencipta dan Dzat yang menurunkan Al-Qur'an itu sendiri. Namun
secara faktual seringkali muncul pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur'an
terjadi perubahan-perubahan yang seringkali disebut dengan nasikh dan mansukh
yang mengganti disebut nasikh sedangkan yang diganti disebut mansukh.
Oleh karena itu penulis mencoba menelusuri mulai pengertian, jenis-jenis
nasikh dan mansukh. Serta pendapat para ulama baik yang menerima maupun
yang menolak adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur'an.

B. Pengertian
Nasikh secara bahasa berasal dari kata nasakha – yansikhu – naskhan
yang mempunyai arti membatalkan, menghilangkan, merendahkan dan
memalingkan. Sedangkan secara terminologi dalam ulama Ushul Fiqh adalah:

ِ‫شؤرمعنيِ بممدلمؤيَنل مشؤرمعوي‬


‫النلؤسمخ رمفؤمع ؤالمحؤكمم ال ل‬

“Nasikh ialah menghilangkan atau menghapus hukum syara' dengan dasar


syar’i yang terakhir”. (Abd. Hamid Hakim, As-Sulam, hal. 32).
Sehubungan nasikh dan mansukh secara umum bisa dibenarkan oleh akal
dan tidak ada perbedaan di kalangan ulama Ushul Fiqh, kecuali perbedaan itu
terjadi pada nasikh dan mansukh dalam Al-Qur'an. Sebab hukum itu diadakan
untuk kebaikan manusia sedangkan manusia itu terus berubah, sesuai dengan
zaman. Dengan demikian nasikh dan mansukh itu tidak terjadi sesuatu yang

40
bersifat universal, seperti masalah akidah tidak akan terjadi nasikh dan mansukh,
karena akidah itu ajaran Allah SWT. kepada manusia yang bersifat abadi.
Sebagaimana firman Allah SWT.:

َ‫صيَيمناَ بممه مإبؤيمرامهيَيمم مومموُمسييى‬ ‫م‬ ‫ع لممكم ممن النديمن ماَ و ل م‬


‫ك مومماَ مو ل ؤ‬ ‫صىَ بمه منوُنحاَ موالذيِ أمؤو م ؤ‬
‫حيَيمناَ إملمؤيَ م‬ ‫م م‬ ‫مشمر م ؤ م‬

(13 :ً‫ )الشوُرى‬...َ‫مومعيَمسى‬

Artinya: “Dia telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa
dan Isa…”. (QS. Asy-Syura: 13). (Lihat M. Abu Zahra, Ushul Fiqh, hal.
187).

C. Macam-macam Nasikh dan Mansukh


Para ulama membagi nasikh dan mansukh itu secara umum sebagai
berikut:
1. Tulisannya hilang sedangkan hukumnya masih ada.
Contoh laki-laki dan perempuan yang sudah tua melakukan zina maka
keduanya harus dirajam selama-lamanya.
Menurut Umar bin Khattab ra. bahwa beliau pernah membaca ayat
tersebut tetapi ayat tersebut tulisannya sudah hilang tetapi hukum untuk itu
masih berlaku hal ini sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam
Syafi’i:

Artinya: “Nabi Muhammad Saw. telah melakukan hukum rajam kepada dua
orang mukhshan”.
Yang dimaksud dengan dua mukhshan di sini adalah dua orang tua
yang melakukan zina.

41
2. Hukumnya ada sedangkan bacaannya sudah tidak ada. Contoh firman Allah
SWT. sebagai berikut:
‫والمذين ييتميوُفليوُمن ممؤنمكم ويمذرومن أمؤزواجاَ و م م‬
‫صيَلةن لمؤزموامجمهيؤم مممتاَنعيياَ إمليميىَ الؤمحيؤوُمل مؤ‬
‫غيَ يمر إمؤخيمرانج‬ ‫ؤ مم م م ن م‬ ‫م ممم ؤ‬

(240 :‫ )البقرة‬...

Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia dari kamu dan
mereka meninggalkan isteri sebagai wasiat terhadap isteri-isteri
mereka agar tidak berbuat senang-senang dan keluar rumah sampai
setahun”. (QS. Al-Baqarah: 240)
Menurut sebagaimana ulama (yang mengakui adanya nasikh mansukh
dalam Al-Qur'an) bahwa ayat tersebut telah dimansukh dengan ayat 234 dari
surat Al-Baqarah.

...‫صي يمن بمأمنؤيمفمسي يمهلن أمؤربميمعي يةم أمؤشي يمهنر مومعؤشي ينرا‬ ‫م‬ ‫م‬
‫موا يل يذيمن يميتميموُفلي يؤوُمن مؤنمكي يؤم موييم يمذمرومن أمؤزموانجيياَ يميتميمربل ؤ‬

(240 :‫)البقرة‬

Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia dari kamu sedang
mereka meninggalkan isteri hendaknya sang isteri menahan dirinya
(tidak senang-senang dan tidak keluar rumah) selama empat bulan
sepuluh hari”. (QS. Al-Baqarah: 234)
3. Bacaan dan ketetapan hukumnya dimansukh bersama-sama
Contoh: Hadits Imam Muslim dari Aisyah:

Artinya: “Anak yang satu susuan itu haram dinikahi jika telah menyusu
sepuluh kali”.
Hadits ini telah dimansukh dengan hadits yang sama yaitu
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah yang artinya: “Anak yang satu
susuan itu haram dinikahi jika telah menyusu lima kali susuan”.

42
D. Syarat-syarat Terjadinya Nasikh Mansukh Secara Umum
Abdul Hamid Hakim dalam kitabnya As-Sulam halaman 32 memberikan
syarat-syarat terjadinya nasikh mansukh sebagai berikut:
1. Nasikh dan mansukh itu terjadi jika berhubungan dengan hukum, tidak
berhubungan dengan keimanan atau akidah. Sebab keimanan atau akidah ini
bersifat paten.
2. Nasikh mansukh itu terjadi dengan dibatasi waktu tertentu.
3. Bahwa nasikh itu harus terpisah baik tempat maupun waktu dengan yang
dimansukh.
4. Bahwa dalil yang terdapat dalam nasikh itu harus lebih kuat daripada dalil
yang tidaklah dalam mansukh. Seperti hadits mutawatir dengan hadits ahad,
hadits shahih dengan hadits dhaif, tidak terjadi sebaliknya. Hadits ahad
menasikh kepada hadits mutawatir dan hadits dhaif menasikh hadits shahih.
Di samping itu menurut Abdul Hamid Hakim dalam kitab as-Sulam
memberikan syarat-syarat nasakh dan mansukh sebagai berikut:
a. Nasikh harus terpisah dari mansukh
b. Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh.
c. Nasikh harus berupa dalil-dalil syara'
d. Mansukh tidak dibataskan kepada sesuatu waktu
e. Mansukh harus hukum-hukum syara'.

E. Pendapat Para Ulama Tafsir Hadits Nasikh Mansukh dalam Al-Qur'an


Para ulama tidak terjadi perbedaan pendapat masalah nasikh mansukh
dalam hadits sebab secara faktual itu terjadi, namun mereka berbeda pendapat
terjadinya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur'an, untuk itu penulis akan
menyampaikan pendapat-pendapat para ulama yang setuju maupun yang tidak
setuju terhadap nasikh dan mansukh dalam Al-Qur'an serta argumen mereka
masing-masing.

43
1. Pendapat yang setuju adanya nasikh dan mansukh
Argumen yang mereka gunakan itu ada dua, baik berupa naqli maupun aqli:
a. Dasar naqli

‫ت بممخؤيَنر مم ؤنيمهاَ أمؤو ممثؤلممهاَ أملمؤم تميؤعلمؤم أملن ال لهم معليميىَ مكينل‬
‫ماَ نميؤنسؤخ ممن ءاينة أمو نميؤنمسمهاَ نمأؤ م‬
‫م م ؤ مم ؤ‬

(106 :‫مشؤيِنء قممديةر )البقرة‬

Artinya: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik
daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu?”. (QS. Al-Baqarah: 106)
Ayat ini sering dijadikan dasar adanya nasikh dan mansukh dalam
Al-Qur'an, karena memang dalam ayat ini Allah SWT. menyebut lafadz
nasakha yang secara tekstual.
b. Dasar aqli
Bahwa secara faktual nasikh mansukh itu terjadi, seperti nasikh
mansukh terjadi pada surat Al-Baqarah ayat 240 dengan ayat 234 dan
lain-lain sebagaimana contoh-contoh tersebut di atas.
Pendapat ini mayoritas diikuti oleh ulama fiqh dalam ulama Ushul
Fiqh seperti Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan lain-lain.
2. Alasan ulama yang menolak adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur'an
Mereka yang menolakpun juga menggunakan dua dasar, yaitu dasr
naqli dan dasar aqli.
a. Dasar naqli
Firman Allah SWT. dalam surat Al-Hijr ayat 9:

‫إملناَ نمؤحمن نميلزلؤمناَ النذؤكمر موإملناَ لمهم لممحاَفم م‬


(9 :‫ظوُمن )الحجر‬

44
Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (dari
perubahan-perubahan)”. (QS. Al-Hijr: 9)
Firman Allah SWT. dalam surat Al-Kahfi ayat 27:

‫ك مل ممبمندمل لممكلممماَتممه مولمؤن تممجمد ممؤن مدونممه ممؤلتممحندا‬ ‫ك ممؤن كممتاَ م‬


‫ب مربن م‬ ‫مواتؤمل مماَ مأومحميِ إملمؤيَ م‬

(27 :‫)الكهف‬

Artinya: “Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab


Tuhan-mu (Al Qur'an). Tidak ada (seorangpun) yang dapat
mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak akan dapat
menemukan tempat berlindung selain daripada-Nya”. (QS. Al-
Kahfi: 27)
b. Dasar aqli
Bahwa tidak satu pun Al-Qur'an maupun hadits yang menjelaskan
tentang adanya nasikh dan mansukh ini. Terjadinya nasikh dan mansukh
(ayat ini dimansukh oleh ayat yang lain) itu hanya ijtihadi tidak secara
qath’i yang menjelaskan tentang hal itu, bahwa ayat Al-Qur'an merupakan
wahyu Allah SWT. yang diturunkan kepada manusia untuk kepentingan
manusia itu dalam segala masa dan tempat, berlakunya tidak dibatasi oleh
ruang dan waktu, semua Al-Qur'an baik tulisan maupun redaksinya
semaunya adalah mutawatir serta setiap lafadz, surat adalah merupakan
mukjizat baik makna maupun redaksinya. Oleh karena itu mereka
mengatakan bahwa nasikh dan mansukh itu menyalahi asalnya.
Dengan demikian selama mungkin untuk bisa diinterpretasi yang
lain (thariqatul jam’i) maka inilah yang harus ditempuh, seperti kasus
terjadi dalam surat Al-Baqarah ayat 240 dan ayat 234. Maka pengertian
untuk ayat 240 itu bersifat hak, artinya boleh diambil hak itu dan juga
boleh tidak diambil. Sedangkan dalam ayat 234 itu bersifat kewajiban.

45
Demikian juga pengertian yang terdapat dalam surat Al-Baqarah 107
pengertiannya bukan Allah SWT. mengganti hukum yang dalam Al-
Qur'an tetapi Allah SWT. mendatangkan Nabi yang lebih baik atau yang
sepadan dengan nabi-nabi sebelumnya. Jadi bukan terkait dengan hukum
tetapi terkait dengan pergantian antara nabi satu dengan nabi yang
lainnya.
Pendapat ini adalah pendapat ulama kontemporer seperti
Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, dan lain-lain.

46
BAB VII
KONTRADIKSI DALIL-DALIL SYARA'
DAN CARA PENYELESAIANNYA

A. Definisi At-Ta’arudh

Kata “at-Ta’arudh” (‫ )التعيياَرض‬secara etimologis ialah kata yang terbentuk

dari kata dasar “aradha” (‫ )ع ي ييرض‬yang arti bahasanya adalah menghalangi,

mencegah, membandingi.

Secara terminologi “at-Ta’arudh” menurut definisi ulama/shli ushul

adalah ( ‫“ )تقاَبي ييل المراي يين عل ييىَ وج ييه يمف ييع كي ييل منهم يياَ مقت ييض‬Berbandingannya dua dalil

(perkara), di mana masing-masing pernyataan saling bertentangan”.11

Sedangkan (‫ )الدليية‬adalah bentuk plurat (jama’) dari kata “dalil” ( ‫)الييدليَل‬.

Menurut ahlu ushul, yang disebut dalil ialah suatu yang dapat menghantarkan
pada apa yang dicari yang bersifat pasti dan yakin atau praduga. Jika yang

menghantarkan itu bersifat pasti (qath’i), maka itu disebut (‫)ال ي ي ي ييدليَل‬

(dalil/petunjuk). Namun apabila sesuatu yang menghantarkan itu bersifat praduga

(dzanni), maka itu disebut (‫( )الماَرة‬amarah/tanda).

B. Syarat-syarat At-Ta’arudh

Untuk mengetahui apakah dalil itu At-Ta’arudh atau tidak kita harus

mengetahui terlebih dahulu syarat-syarat dan ijma (kesepakatan) para ahli ushul

tentang At-Ta’arudh. Agar kita tidak terlalu mudah mengatakan dalil ini At-

Ta’arudh dengan dalil yang lainnya.

11
Al-Asmuni, 24.

47
Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Hukum yang ditetapkan oleh kedua dalil tersebut saling bertentangan, seperti

halal dengan haram, wajib dengan tidak wajib, menetapkan dengan

meniadakan.

2. Obyek (tempat) kedua hukum yang saling bertentangan tersebut sama.

3. Masa atau waktu berlakunya hukum yang saling bertentangan tersebut sama.

Apabila sama atau waktunya berbeda, maka tidak berlaku At-Ta’arudh.

4. Hubungan kedua dalil yang saling bertentangan sama

5. Kedua dalil yang saling bertentangan sama kedudukannya, baik dari segi

asalnya maupun petunjuk dalilnya.

Menurut Abd. Hamid Hakim, ada 13 syarat nash itu dianggap

bertentangan, yaitu:

1. Tema sama

2. Kandungan/muatannya sama

3. Waktunya sama

4. Tempat sama

5. Hubungan sama

6. Syaratnya sama

7. Pekerjaan sama

8. Bagian-bagian sama

9. Alatnya sama

10. Illatnya sama

48
11. Sasarannya sama

12. Keadaannya sama

13. Tanggungannya sama

At-Ta’arudh ini terjadi jika:

1. Yaitu sama-sama qath’i sukuti, Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, hadits mutawatir

dengan mutawatir, maka tidak bisa bertentangan yaitu ayat dengan hadits.

2. Kehendak dasar/dalil itu sama, maka tidak akan terjadi At-Ta’arudh yaitu

hadits ahad dengan hadits mutawatir.

3. Tidak akan terjadi, At-Ta’arudh jika hukumnya sama, sementara waktu dan

tempat berbeda.

Selain mengetahui syari'ah yang tersebut di atas, kita juga harus

mengetahui kaidah ijma’ ahli ushul tentang At-Ta’arudh, yaitu:

1. Pertentangan tidak terjadi pada dalil-dalil qath’i dengan dalil-dalil dzanni.

Karena dalil qath’i menunjukkan kepastian dan yakin, sedangkan dalil dzanni

menunjukkan praduga atau keraguan.

2. Pertentangan itu tidak dapat terjadi antara dua dalil qath’i, baik dalil-dalil

tersebut berbentuk naqli maupun aqli.

3. Pertentangan boleh terjadi antara dua dalil dzanni dalam pandangan dan

pemikiran seorang mujtahid.

49
C. Contoh Dalil-dalil Seakan-akan Bertentangan

1. Tentang bacaan Al-Fatihan di dalam shalat

QS. Al-Muzammil: 20.

‫سمر مممن الؤمقؤرمءامن‬


‫مفاَقؤيمرءموا مماَ تمييَم ل‬
“(Karena itu) bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an”

QS. Al-A’raf: 204

‫ئ الؤمقرءامن مفاَؤستمممعوُا لمهم وأمنؤ م‬


‫صتموُا لممع لمكؤم تميؤرمحمموُمن‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫موإممذا قممر م ؤ م‬
“Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan

perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”.

2. Tentang iddah wanita yang ditinggal mati suami.

QS. Al-Baqarah: 234

‫صمن بمأمنؤيمفمسمهلن أمؤربميمعةم أمؤشمهنر مومعؤشنرا‬ ‫م‬ ‫م‬


‫موالذيمن يميتميموُفليؤوُمن مؤنمكؤم مويممذمرومن أمؤزموانجاَ يميتميمربل ؤ‬
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan

isteri-isteri (hendaklah ia) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan

sepuluh hari”.

QS. Ath-Thalaq: 4

‫ساَئممكؤم‬ ‫والللمئيِ يئمسن ممن الؤممحيَ م م م‬


‫ض مؤن ن م‬ ‫م ؤم م م‬ ‫م‬
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah

sampai mereka melahirkan kandungannya”.

50
3. Tentang pembunuhan terhadap orang murtad

Sabda Rasulullah Saw.:

“Barang siapa mengganti (berpindah) agama, maka bunuhlah (dia)” (HR.

Bukhari, Turmudzi, dan lain-lain).

Dengan larangan membunuh anak-anak dan wanita.

“(Rasulullah Saw.) melarang membunuh wanita-wanita dan anak-anak”.

4. Tentang perintah Allah mengikuti Nabi Saw.

QS. Al-Ahzab: 21

‫م لم‬ ‫م‬
‫لممقؤد مكاَمن لممكؤم فيِ مرمسوُل ال ه أمؤسموُة مح م‬
‫سنمة‬
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik

bagimu…”.

QS. Al-Hasyr: 7

‫مومماَ مءامتاَمكمم اللرمسوُمل فممخمذوهم مومماَ نميمهاَمكؤم معؤنهم مفاَنؤيتميمهوُا‬


“Apa yang diberikan Rasul padamu, maka terimalah dia, dan apa yang

dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”.

5. Tentang batal tidaknya shalat karena menyentuh alat kelamin.

Sabda Rasulullah Saw.:

“Dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah telah bersabda: “Baraqng siapa

yang menjulurkan tangannya pada alat kelaminnya tanpa penghalang, maka

ia wajib wudhu” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban).

51
Dengan hadits riwayat Turmudzi, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majjah, Ahmad

dan daraquthni:

“Rasulullah Saw. (pernah) ditanya tentang (hukumnya) menyentuh alat

kelamin, kemudian beliau menjawab: “ia tiada lain kecuali bagian anggota

tubuhmu”.

D. Pentarjihan Dalil-dalil At-Ta’arudh

Secara etimologis, kata “at-tarjih” ( ‫ )الترجيَ ييح‬adalah bentuk masdar dari

“rajjaha” (‫ )رجييح‬artinya mengunggulkan sesuatu dengan lebih condong padanya

dan memenangkannya.

Secara terminologi tarjih adalah “menguatkan salah satu dalil atas lainnya

agar dapat diketahui mana dalil yang lebih kuat diamalkan dan menggugurkan

dalil lainnya”.

Pertama QS. Al-Muzammil: 20 dengan QS. Al-A’raf: 204.

Ayat pertama sifat ‘amnya menunjukkan adnaya kewajiban membaca bagi

ma’mum. Sedangkan ayat ekdua menggugurkan kewajiban membaca bagi

ma’mum, karena ayat tersebut hanya mewajibkan untuk mendengar dan

memperhatikan. Menurut mayoritas ahli tafsir, kedua ayat turun berkenaan

dengan masalah shalat. Karena kedua ayat bertentangan maka harus mencari dalil

lain yang kedudukannya lebih rendah sebagai dasar beramal.

Hadits Rasulullah Saw.: “Tidak ada shalat kecuali dengan membaca Al-

Fatihah)” (HR. Jamaah).

52
Dan hadits dari Jabir ra.

“Barang siapa shalat berjamaah, maka bacaan imam juga bacaannya”.

(HR. Tabrani).

Pentarjihan

Agar ayat dan hadits-hadits mengenai hal ini tidak saling bertentangan.

Bila shalat berjamaah, dan imam membaca dengan keras, ma’mum tidak

membaca, karena ma’mum berkewajiban untuk mendengarkan, serta ia

merupakan kesempurnaan berma’mum. Tapi bila imam membaca dengan sir,

maka berlaku hukum wajibnya membaca Al-Fatihah.12

Kedua, QS. Al-Baqarah: 234 dengan QS. Ath-Thalaq: 4.

Kedua ayat di atas kelihatan bertentangan, mengenai iddah wanita yang

ditinggal mati suami. Ada dua cara untuk mentarjih ayat tersebut sehingga tidak

bertentangan:

1. Dipandang dari sudut ‘am dan khususnya ayat

QS. Al-Baqarah: 234 berlaku secara ‘am (umum), sedangkan QS. Ath-Thalaq:

4 berlaku khusus. Yaitu ayat pertama menyatakan iddahnya wanita yang

ditinggal mati suami secara umum, sedangkan ayat kedua berlaku khusus

yang berlaku bagi wanita yang dicerai dalam keadaan hamil, maka iddahnya

sampai ia melahirkan.

12
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Sifat Shalat Nabi Saw., hal. 121-124.

53
2. Sebagian ulama berpendapat, bahwa kedua ayat tersebut dapat diamalkan

sekaligus. Mereka berpendapat bahwa iddahnya wanita yang ditinggal mati

suaminya dalam keadaan hamil adalah smapai ia melahirkan, sedangkan

wanita yang ditinggal mati suami serta tidak hamil berlaku iddah selama

empat bulan sepuluh hari.

Ketiga, hadits tentang perintah membunuh orang yang murtad.

Kedua hadits tersebut tidak bisa kita anggap bertentangan karena asbabun

nuzul hadits berbeda. Hadits pertama mengenai orang yang murtad, sedangkan

hadits kedua muncul berkenaan dengan kode etik perang dalam Islam. Oleh

karena itu, hadits pertama berlaku secara umum. Apakah ia wanita atau anak-

anak selama ia murtad dari agama Islam berlaku hukum bunuh.

Keempat, QS. Al-Ahzab: 21 dengan QS. Al-hasyr: 7

Kedua ayat ini sekilas terlihat bertentangan. Ayat pertama mewajibkan

mengikuti segala perbuatan Nabi, di satu sisi kita diperintahkan untuk mengikuti

atau menjalankan segala perintah nabi dan menjauhi segala yang beliau larang.

Oleh karena itu, tidak semua perbuatan Nabi itu harus diikuti, tetapi menurut ahli

fiqh perbuatan Nabi tersebut bisa diikuti jika ada petunjuk untuk meniru

perbuatan Nabi. Sedangkan perbuatan Nabi yang tidak didasarkan pada watak

atau tabi’at kemanusiaannya merupakan perundang-undangan (syari'at).

54
Kelima, hadits mengenai menyentuh alat kelamin.

Dalam hal ini ulama terbagi menjadi dua kelompok, dalam penggunaan

kaidah “apabila ada dua hadits yang saling bertentangan, harus menggugurkan

salah satu dalil atau mendasarkan hukum asalnya (bara’ah ashliyah).

1. Kelompok pertama, berpendapat bahwa menyentuh kemaluan adalah

membatalkan wudhu. Ini dianut mayoritas ulama. Mereka berpendapat bahwa

hadits yang menggugurkan ketentuan hukum berdasarkan hukum asalnya

lebih diunggulkan. Dan Bukhari berkomentar: dalam masalah ini, pendapat

inilah yang benar.13

2. Kelompok kedua yang mengatakan tidak batal menyentuh kemaluan, banyak

dipegangi/dijadikan dalil oleh madzhab Hanafi, serta didukung i sebagian

ulama ushul seperti ar-Razi dan al-Baidhawi.

Ar-Razi dan pengikutnya berpendapat bahwa hadits kedua lebih unggul

dengan demikian hadits pertama. Karena harus kedua menetapkan suatu

hukum berdasarkan hukum asalnya. Hukum asal datang lebih akhir, maka

tentu tidak berguna. Dengan datangnya hadits kedua berarti hadits yang

pertama tidak dibutuhkan lagi, karena pada waktu kita mengetahui ketentuan

hukum itu berdasarkan dalil lain, yaitu bara’ah ashliyah atau istishab.

13
Lih, Bulughul Maram, Bab: yang membatalkan wudhu, 6-7.

55
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Asjmuni. Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2003.

Ahmad Abd. Ushul Fiqh. Surabaya: Garoeda Buana Indah, 1994.

Al-Qardhawi. Membumikan Syari'at Islam. Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.

Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1996.

Umam, Khairul dan A. Achyar Aminuddin. Ushul Fiqh II. Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2001.

Wahab, Abdul Khalaf. Ushul Fiqh. Beirut: 1990.

Wahid, Abdurrahman. Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Remaja


Rosdakarya, 1993.

56
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT. yang
telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan buku Ushul Fiqh ini. Buku ini dapat dijadikan sebagai buku
penunjang bagi mahasiswa IAIN, STAIN, dan PTAIS dalam mata kuliah Ushul Fiqh
pada semua Jurusan/Fakultas.
Materi buku ini mengacu pada silabi Kurikulum Nasional terbaru yang
dikeluarkan Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI.
Dengan selesainya buku ini, kami berharap agar para mahasiswa dapat
memahami secara mendalam dan mudah tentang hal-hal yang berhubungan dengan
Ushul Fiqh yang menjadi kerangka dasar dalam memahami fiqh.
Kami menyadari bahwa buku ini masih banyak kekurangan dan kehilafan.
Oleh karena itu tegur sapa dalam rangka kesempurnaan buku ini, sangat kami
harapkan.

Kediri, Februari 2006

Penulis

57
UNTUK FAKULTAS TARBIYAH

SESUAI DENGAN SILABI TAHUN 2004

Oleh :
Drs. MUAMAL

58
Tahun 2006

59

Anda mungkin juga menyukai