Disusun oleh:
Yara Cantika
1810221028
Pembimbing:
dr. Maryastuti, Sp. Rad (K)
REFERAT
GAMBARAN RADIOLOGI KONVENSIONAL PADA
PNEUMOPERITONEUM
Oleh :
Yara Cantika 1810221028
Pembimbing
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul
“Gambaran Radiologi Konvensional Pada Pneumoperitoneum”.
Penyusunan tugas ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang
turut membantu terselesaikannya laporan ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Maryastuti, Sp.Rad (K) selaku
pembimbing dan seluruh teman kepaniteraan klinik Departemen Radiologi atas
kerjasamanya selama penyusunan tugas ini.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca
guna perbaikan yang lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi
penulis sendiri, pembaca maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB I
LATAR BELAKANG
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
b. Fascia Scarpa
Menambat pada fascia lata di bawah ligament inguinal. Berlanjut
melalui pubis dan perineum sebagam lapisan membran (Colle’s fascia)
dari fascia superfisial perineal. Lalu berlanjut melalui penis sebagai
fascia superfisial dari penis dan melalui scrotum sebagai tunika dartos
yang terdiri atas otot polos (Chung., 2012).
2. Fascia Profundal
Melapisi dan berlanjut melalui korda spermatik pada cincin inguinal
superfisial sebagai fascia spermatik eksternal. Berlanjut melalui penis
sebagai fascia dalam dari penis (Buck’s fascia) dan melalui pubis dan
perineum sebagai fascia perineal dalam (Chung., 2012).
3
Tabel 1 Otot dinding Abdomen
Netter., 2011
Isi rongga abdoen terdiri atas saluran gastrointestinal mulai dari gaster,
duodenum, ileum, jejenum, cecum dan appendiks, kolon asending, kolon
transversum, dan kolom disending lalu sebagian dari kolon sigmoid. Organ
aksesoris pada organ digestif seperti liver, kantung empedu, dan pankreas. Selain
itu terdapat kelenjar suprarenal, sistem urinaria (Netter., 2011).
4
Tabel 2 Otot dinding Abdomen Posterior
Chung., 2012
I.2 Pneumoperitoneum
Pneumoperitoneum biasa terlihat pada perforasi gastrointestinal akut, pada
90% kasus membutuhkan tindakan bedah darurat. Pada 10% kasus,
pneumoperitoneum memiliki penyebab lain (Jacobs et al., 2000).
I.2.1 Definisi
Pneumoperitoneum adalah keberadaan udara atau gas pada rongga
abdominal (peritoneal). Hal ini biasanya dapat dideteksi menggunakan x-ray,
namun mungkin sejumlah kecil udara bebas dapat terlewatkan dan sering terdeteksi
menggunakan computerized tomography (CT) (Sureka, Bansal and Arora, 2015).
Tension Pneumoperitoneum (TP) adalah akumulasi dari gas bebas dibawah
tekanan dalam rongga peritoneal yang menyebabkan abdominal compartement
syndrome (ACS). Selanjutnya akan bermanifestasi sebagai gagal napas karena
kompresi dari diafragma dan syok obstruktif, yang dihasilkan dari kompresi vena
intraabdominal. Vasokonstriksi perifer kompensatori dapat mempertahankan
perfusi organ vital dalam waktu terbatas. Jika keadaan ini bertahan maka dapat
menjadi precursor cardiorespiratory arrest (Milev and Nikolov, 2016).
Pneumoperitoneum non bedah didefinisikan sebagai keberadaan udara pada
rongga peritoneal yang terdeteksi oleh radiografi dan dapat diatasi dengan observasi
dan penanganan suportif saja (Fujiwara et al., 2018). Pneumoperitoneum spontan
atau non bedah adalah ditemukannya udara bebas pada rongga peritoneal yang tidak
disebabkan oleh perforasi organ viseral dan tidak memerlukan intervensi bedah
(Čečka, Sotona and Šubrt, 2014).
5
I.2.2 Etiologi
Banyak penulis menggolongkan pneumoperitoneum berdasarkan
etiologinya yaitu abdominal, thoraks, ginekologi, dan idiopatik atau lainnya
(Howe., 2007).
1. Abdominal
Penyebab paling sering dari pneumoperitoneum adalah laparatomi
atau laparaskopi. Kira-kira 60% dari pasien dengan bedah abdomen terbuka
dan 25% pasien yang menjalani laparaskopi mengalami
pneumoperitoneum. 96% dari kasus ini akan membaik dalam 5 hari dengan
tatalaksana konservatif saja (Howe., 2007).
Continous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) menjadi
penyebab karena hasi implantasi kateter yang menyebabkan perforasi organ
viseral (Howe., 2007).
Penempatan percutaneous endoscopic gastrostomy tubes adalah
penyebab ke 3 tersering sekitar 25% dari prosedur ini menyebabkan
pneumoperitoneum. Pneumoperitoneum dapat juga terjadi karena
kolonoskopi walau jarang (Howe., 2007).
Pneumoperitoneum mengikuti prosedur bedah abdomen hal ini
sering ditemukan. Resorpsi sempurna dari pneumoperitoneum setelah
laparotmi terjadi dalam satu minggu pada kebanyakan kasus. Namun dapat
dikenali menggunakan X-ray abdomen hingga 4 minggu. Pada pendekatan
laparaskopik, gas yang lebih sering digunakan pada insuflasi adalah karbon
dioksida, di mana lebih mudah dan cepat di absorbs dari pada udara
ruangan. Pasien yang menggunakan drain satu maupun lebih secara
signifikan lebih sering terdapat udara bebas di rongga abdomen daripada
pasien tanpa drain (Čečka, Sotona and Šubrt, 2014).
2. Thoraks
Penyebab pneumoperitoneum akibat toraks adalah penggunaan
ventilasi mekanik terlebih ketika tekanan tinggi dibutuhkan, resusitasi
kardiopulmoner, dan pneumothorax (Howe., 2007).
Mekanisme pada thoraks dapat menebabkan pneumoperitoneum
dengan cara udara yang berasal dari alveoli yang rupture akan berjalan
6
selaras dengan pembuluh darah mediastinum kedalam retroperitoneum lalu
ke rongga abdominal. Pada situasi tersebut udara memasuki abdomen
melalui defek diafragma, suatu akumulasi udara dapat berada di bawah
diafragma (Howe., 2007).
Penyebab pneumoperitoneum spontan paling sering dilaporkan.
Ventilasi tekanan positif mungkin dapat menuntun udara ke dalam rongga
abdomen melalui defek diafragmatik mikroskopik atau melalui
mediastinum beriringan dengan jaringan lunak perivaskular. Risiko
pneumperitoneum terjadi ketika dukungan ventillasi berhubungan dengan
puncak inspiratory di atas 40cmH2O dan PEEP di atas 6 cmH2O.
Pneumoperitoneum mungkin berkembang akibat resusitasi kardiopulmoner
dengan atau tanpa ventilasi mulut ke mulut (Čečka, Sotona and Šubrt,
2014).
3. Ginekologi
Pada perempuan, udara dapat berjalan melalui vagina, uterus, dan
tuba fallopi untuk memasuki ruang peritoneal. Hal ini dapat terjadi karena
sex orogenital, douching, latihan knee-chest post partum, insuflasi tuba pada
saat histerosalpingogram, dan sebagai hasil dari penyakit radang panggul
(Howe., 2007).
4. Idiopatik atau lainnya
Terkadang, tidak ada sumber definitif yang dapat diidentifikasi
untuk pneumoperitoneum. Hal ini biasanya berhubungan dengan kejadian
limfoma dan scleroderma, penyakit vaskular kolagen, penggunaan kokain,
menyelam dengan dekompresi, dan ekstrasi dental (Howe., 2007).
7
Tabel 3 Penyebab Pneumoperitoneum Non Bedah
8
Tabel 4 Klasifikasi Tension Pneumoperitoneum
9
untuk mencegah pembedahan yang tiak perlu dan hubungannya terkait morbiditas
dan biaya finansial. Berikut pedoman yang dapat diikuti.
1. Pneumoperitoneum non bedah sering berkaitan dengan penemuan tidak
sengaja pada x-ray thoraks yang dilakukan untuk alasan lain. Sehingga
pneumoperitoneum ini tidak harus secara rutin dituntun untuk laparatomi.
Jumlah udara intraperitoneal yang banyak tipikal pada penyebab non bedah.
Pada kasus perforasi organ viseral, kontaminasi rongga peritoneal dari
enterik akan berkembang secara cepat, sehingga hanya terdapat jumlah
udara yang sedikit berhasil melewati rongga organ sebelum pasien diperiksa
menyeluruh. Pasa kasus pneumoperitoneum non bedah, tidak ada tanda dari
peritonitis atau sepsis, maka banyak udara yang berhasil melewati rongga
peritoneal.
2. Penyebab pneumoperitoneum non-bedah terbanyak sudah dibahas di tabel
1, dan ketika membuat keputusan sulit ini kita harus mempertimbangkannya
secara hati-hati. Pada beberapa kasus keputusan sangat jelas, contoh
seorang perempuan sehat dalam masa subur dengan pneumoperitoneum
pasca koitus. Pada kasus lainnya, keputusan sangat sulit, contoh
pneumoperitoneum setelah laparatomi dan anastomosis usus atau pada
intervensi endoskopik.
3. Kondisi umum pasien dan pemeriksaan fisik penting dalam membuat
keputusan. Ketika tanda sepsis seperti demam, takikadi, takipnue, dan
leukosistosis tidak ada, pneumoperitoneum non-bedah harus
dipertimbangkan. Tidak seluruh kasus pneumoperitoneum dapat
asimtomatik; nyeri abdomen dapat terjadi pada kasus bedah dan non bedah.
4. Ketik ragu, CT scan yang lebih superior dibandingkan X-ray dalam
mendeteksi pneumoperitoneum dapat digunakan untuk memberitahu
penyebab dasarnya. CT scan dapat memperlihatkan gas pada sistem vena
porta, benda asing, masa pada dinding usus, dan petunjuk lainnya yang
mungkin. Keberadaan cairan intraperitoneal biasanya memberi kesan
patologi intraabdominal.
Terkait terapi, memasukan pasien ke rawat inap dianjurkan pada
kebanyakan kasus walau penyebabnya adalah non-bedah. Observasi ketat dengan
10
evaluasi berulang keadaan umum pasien dianjurkan. Antibiotic profilaksis tidak
dianjurkan. Perhatian lebih dibutuhkan pasien dengan imunosupresi, yang
memberikan tanda peritonitis dan sepsis akan terjadi. Pungsi dari rongga abdomen
dengan evakuasi pneumoperitoneum harus dipertimbangkan pada kasus massif atau
tension pneumoperitoneum dan keadaan respiratori yang memburuk, drainase
perkutan rongga peritoneal dapat meningkatkan parameter kardiopulmonal (Čečka,
Sotona and Šubrt, 2014).
11
Modalitas radiologi yang dapat digunakan untuk menemukan
pneumoperitoneum adalah USG, Foto abdomen polos, dan CT Scan. Ultrasonografi
memiliki sensitivitas 73.3% dan spesifisitas 66.7% dibandingkan foto polos
abdomen yang memiliki sensitivitas 80.7% dan spesifisitas 66.7% (Hebbar et al.,
2014). Sensitivitas foto polos abdomen dapat ditingkatkan dengan posisi left lateral
decubitus. CT Scan memiliki sensitivitas 80 hingga 100% dan spesifisitas 70%
hingga 90% maka CT scan dapat lebih akurat dalam menentukan keadaan
pneumoperitoneum dibanding foto polos abdomen (Fagenholz et al., 2014)
12
4. Lucent liver sign reduksi dari opasitas liver karena udara yang berlokasi
pada anterior liver.
5. Football sign terlihat pada pneumoperitoneum masif, dimana rongga
abdomen dibatasi gas.
6. Silver’s sign disebut juga falciform ligament sign, dimana udara membuat
garis luar dari ligament falsiform.
7. Inverted V sign udara memberi garis luar dari ligamen umbilical lateral
(pembuluh darah inferior epigastrik)
8. Doge’s cap sign akumulasi gas segitiga pada kantung morison.
9. Telltale triangle sign kantung udara segitiga antara tiga loop dari usus
10. Urachus sign memberi garis luar ligament umbilikal tengah (Sureka, Bansal
and Arora, 2015)
11. Decubitus Abdomen Sign
12. Continuous Diaphgram Sign
Dari 12 tanda yang sudah disebutkan di atas tanda yang paling sering
ditemui adalah gas bebas subdiafragma kanan dengan insidensi 49%, rigler’s sign
14%, diikuti 12 % ditemukan dengan beberapa tanda (H.S. and C.H., 2005).
13
Gambar 4 Contoh X-ray Abdomen : (a) X-ray abdomen, gambaran depan,
menunjukkan udara bebas subdiafragmatik (panah putih), garis luar udara lemak
properitoneal (panah hitam) (b) Cupola sign (kepala panah) (c) Rigler’s sign
(panah) (d) radiografi thoraks memperlihatkan udara bebas di bawah diafragma
(kepala panah)
Sureka, Bansal and Arora, 2015
14
Gambar 5 pseudopneumoperitoneum chilaiditi syndrome radiografi thoraks
pada kasus Chilaiditi syndrome showing large bowel loops (panah) di bawah
diafragma
Sureka, Bansal and Arora, 2015
15
Gambar 6 pseudopneumoperitoneum atelectasis linier
Sureka, Bansal and Arora, 2015
16
Gambar 7 pseudopneumoperitoneum kolonoskopi udara berlokasi di bawah
diafragma setelah kolonoskopi (panah)
Sureka, Bansal and Arora, 2015
17
Gambar 8 subdiafragma free gas
Sureka, Bansal and Arora, 2015
18
Gambar 10 triangle sign Panah menunjukkan triangle sign pada neonates preterm
dengan ileus mekoneum rumit dengan perforasi. Udara dibawah diafragma, rigler
sign dan pneumoskrotum juga dapat terlihat.
Awolaran., 2015
Pada posisi Supinasi, udara akan berada pada daerah yang paling longgar
dibawah dinding abdominal depan. Jika terdapat banyak sekali udara, hal ini akan
terlihat sebagai hiperlusensi oval pada radiografi supinasi yang membentuk bola
American football. Hal ini menandakan masif pneumoperitoneum (Awolaran.,
2015).
19
Doge cap sign menggambarkan akumulasi air pada kantung Morrison’s
(Posterior dari ruang hepato renal) dapat terlihat pada posisi supinasi sebagai
lusensi berbentuk segitiga. Hal ini dapat terlihat pada inferior-medial dari iga ke 11
(Awolaran., 2015).
Gambar 12 Doge Cap Sign gambar skematik dari hubungan kantung Morrison
dan panah menunjukkan doge cap sign pada neonates dengan nerotizing
enterocolitis perforasi
Awolaran., 2015
20
Gambar 14 Decubitus Abdomen Sign panah putih memperlihatkan udara bebas
pada dinding lateral abdomen.
Awolaran., 2015
21
I.4 Kasus dengan Pneumoperitoneum
1. Laki-laki usia 62 tahun dirujuk ke IGD karena onset akut nyeri abdomen
setelah suatu pemeriksaan kolonoskopi untuk mengekslusikan kanker
kolon. Pada saat datang tanda vital temperature 36.3°C, nadi 97/menit, laju
napas 20/menit dan tekanan darah 93/53 mmHg. Pemeriksaan fisik
menunjukan nyeri abdominal difus pada palpasi dalam. Hasil lab sel darah
putih 8700/mm3, hemoglobin 14.2 g/dl, trombosit 31.100/ mm3, kreatinin
1.1 mg/dl, SGOT 18 IU/l. Gambar 3 menunjukkan radiografi dari abdomen
yang memberikan bukti pneumoperitoneum diantaranya: udara subfrenik
(kepala panah), rigler’s sign (panah putih) dan falciform-ligament sign
(panah hitam). Maka, laparotomy eksploratif darurat dilakukan yang
menunjukkan perforasi pada pertengahan dari kolon sigmoid dan suatu
tumor 2 cm diatas linea dentata terhadap rectosigmoid junction. Post
operatif lancer, dan pasien keluar dari rumah sakit 1 minggu kemudian
(Chao, Tsai and Lai, 2013).
22
2. Seorang laki-laki Bulgaria usia 45 tahun dengan nyeri abdominal yang tidak
jelas. Onset dari nyeri secara perlahan dan bertahan hingga 3 minggu.
Pasien tidak memiliki komorbiditas atau riwayar operasi, dan tidak dalam
pengobatan. Kulit pasien pucat, dingin, dan lembab. Napasnya cepat dan
dangkal. Auskultasi dari paru-paru menunjukan hilangnya suara napas pada
kedua basal paru-paru. Abdomennya kembung, nyeri difus, dengan nyeri
lepas dan tahanan. Timpani pada sentral dan redup pada lateral pada perkusi.
Bising usus negatif. Tanda vital pasien nadi 125/menit, tekanan darah 80/40,
laju napas 38/menit, saturasi oksigen 90%, temperature aksila 35.8°C.
pasien dalam kondisi syok, dengan tanda peritonitis umum dan ACS (Milev
and Nikolov, 2016).
23
3. Anak perempuan usia 4 tahun denga nyeri abdominal progresif dan distensi
setelah riwayat 1 minggu diare cair. Dari hasil pemeriksaan fisik
menunjukkan temperature 36.2°C, distensi abnomen, suara bising usus
kurang aktif, dan nyeri difus tanpa nyeri lepas. Evaluasi lab menunjukan
jumlah sel darah putih 5000/mm3, dengan 63% segmen neutrofil. Radiografi
polos dari abdomen menunjukan beberapa tanda dari gas intraperitoneal
bebas. Ini disertai akumulasi udara pada kuadran kanan atas (area subfrenik
dan permukaan depan dari liver) (panah putih padat); falciform ligament
sign, terlihat sebagai densitas linier longitudinal pada permukaan depan dari
liver (panah putih putus-putus); ligamentum teres sign, densitas linear
terlihat beriringan dengan tepi inferior dari ligament falciform (panah hitam
padat); dan Rigler’s sign, visualisasi udara pada kedua sisi dari dinding usus
(panah hitam putus-putus). Tanda-tanda ini mengindikasika
pneumoperitoneum. Laparatomi eksploratif menunjukan perforasi sekal
karena inflamasi dinding usus akibat enteritis, dan juga dilatasi berat usus.
Setelah perbaikan dari perforasi, pasien keluar rumah sakit dengan
kesehatan yang baik 1 bulan kemudian (Lee, 2010).
24
BAB III
KESIMPULAN
25
DAFTAR PUSTAKA
26
Howe, C. L. (2007) 'Pneumoperitoneum : What Does Free Air Under the
Diaphragm Really Mean in the Older adult' Arizona Geriatric Society, 13(1),
pp. 23-24.
Jacobs, V. R. et al. (2000) ‘Sexual activity as cause for non-surgical
pneumoperitoneum.’, Jsls, 4(4), pp. 297–300.
Kumar, A. et al. (2012) ‘The etiology of pneumoperitoneum in the 21st century’,
Journal of Trauma and Acute Care Surgery, 73(3), pp. 542–548. doi:
10.1097/TA.0b013e31825c157f.
Lee, C.-H. (2010) ‘Radiologic Signs of Pneumoperitoneum’, New England Journal
of Medicine, 362(25), pp. 2410–2410. doi: 10.1056/nejmicm0904627.
Lin, S.-H., Lin, T.-J. and Chen, T.-H. (2014) ‘The football sign in a neonate’, Qjm,
107(3), pp. 237–238. doi: 10.1093/qjmed/hct126.
Milev, O. G. and Nikolov, P. C. (2016) ‘Non-perforation tension
pneumoperitoneum resulting from primary non-aerobic bacterial peritonitis
in a previously healthy middle-aged man: A case report’, Journal of Medical
Case Reports. Journal of Medical Case Reports, 10(1), pp. 1–6. doi:
10.1186/s13256-016-0945-0.
Netter FH, Atlas of Human Anatomy, 5th ed. Philadelphia, PA: Saunders/Elsevier;
2011.
Sureka, B., Bansal, K. and Arora, A. (2015) ‘Pneumoperitoneum: What to look for
in a radiograph?’, Journal of Family Medicine and Primary Care, 4(3), p.
477. doi: 10.4103/2249-4863.161369.
27