Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

GAMBARAN RADIOLOGI KONVENSIONAL PADA


PNEUMOPERITONEUM

Disusun oleh:
Yara Cantika
1810221028

Pembimbing:
dr. Maryastuti, Sp. Rad (K)

KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
PERIODE 17 JUNI 2019 – 19 JULI 2019
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
GAMBARAN RADIOLOGI KONVENSIONAL PADA
PNEUMOPERITONEUM

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik


Departemen Radiologi
Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan

Oleh :
Yara Cantika 1810221028

Jakarta, Juli 2019


Telah dibimbing dan disahkan oleh,

Pembimbing

dr. Maryastuti, Sp. Rad (K)

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul
“Gambaran Radiologi Konvensional Pada Pneumoperitoneum”.
Penyusunan tugas ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang
turut membantu terselesaikannya laporan ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Maryastuti, Sp.Rad (K) selaku
pembimbing dan seluruh teman kepaniteraan klinik Departemen Radiologi atas
kerjasamanya selama penyusunan tugas ini.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca
guna perbaikan yang lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi
penulis sendiri, pembaca maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Jakarta, Juli 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... i


KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv
BAB I LATAR BELAKANG ................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 2
I.1 Anatomi Abdomen ......................................................................................... 2
I.2 Pneumoperitoneum ........................................................................................ 5
I.3 Sensitivitas dan Spesifisitas Modalitas Radiologi ....................................... 11
I.4 Gambaran Radiologi Konvensional Pneumoperitoneum ............................. 12
I.4 Kasus dengan Pneumoperitoneum ............................................................... 22
BAB III KESIMPULAN ....................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 26

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Abdomen Tampak Luar ......................................................................... 2


Gambar 2 Dinding Abdomen .................................................................................. 3
Gambar 3 Regio Abdomen ..................................................................................... 4
Gambar 4 Contoh X-ray Abdomen ....................................................................... 14
Gambar 5 pseudopneumoperitoneum chilaiditi syndrome ................................... 15
Gambar 6 pseudopneumoperitoneum atelectasis linier ........................................ 16
Gambar 7 pseudopneumoperitoneum kolonoskopi .............................................. 17
Gambar 8 subdiafragma free gas .......................................................................... 18
Gambar 9 Rigler’s Sign ........................................................................................ 18
Gambar 10 triangle sign ........................................................................................ 19
Gambar 11 Football sign ....................................................................................... 19
Gambar 12 Doge Cap Sign ................................................................................... 20
Gambar 13 Urachus Sign ...................................................................................... 20
Gambar 14 Decubitus Abdomen Sign .................................................................. 21
Gambar 15 Continuous Diaphragm Sign .............................................................. 21
Gambar 16 Kasus Pneumoperitoneum .................................................................. 22
Gambar 17 Tension Pneumoperitoneum............................................................... 23
Gambar 18 Tanda Radiologi Pneumoperitoneum ................................................. 24

iv
BAB I
LATAR BELAKANG

Pneumoperitoneum atau adanya udara pada rongga abdomen, merupakan


suatu tanda patologi abdominal yang serius dan biasanya disertai dengan perforasi
organ viseral. Kebanyakan kasus dari pneumoperitoneum membutuhkan tindakan
intervensi dan bedah. Sekitar 85% pasien dengan organ internal abdomen yang
ruptur akan disertai pneumoperitoneum, paling sering karena perforasi gaster atau
ulserasi duodenal, meskipun pasien dengan perforasi kolon maupun usus halus, atau
ruptur uterus atau vesika urinaria dapat juga menampakan pneumoperitoneum.
Sementara, beberapa kasus pneumoperitoneum non bedah dapat juga ditangani
secara konservatif (Fujiwara et al., 2018).
Untuk mendeteksi pneumoperitoneum dibutuhkan data spesifisitas dan
sensitivitas dari modalitas pencitraan. Ultrasonografi memiliki sensitivitas 73.3%
dan spesifisitas 66.7% (Hebbar et al., 2014). Radiografi polos abdominal
dilaporkan memiliki sensitivitas 30% hingga 59% untuk mendeteksi udara bebas
pada intraperitoneal, sensitivitas mencapai 100% pada pneumoperitoneum dengan
volume besar. Ditemukannya pneumoperitoneum pada studi pencitraan abdominal
memberi kesan perforasi gastrointestinal namun menuntun ke operasi non
terapeutik (di mana tidak ditemukan perforasi) pada 5% hingga 15% kasus.
Abdominal X-ray tidak dapat memprediksi secara akurat perforasi gastrointestinal
dengan konfigurasi pneumoperitoneum (Kumar et al., 2012).
Akurasi untuk mengidentifikasi udara bebas dengan modalitas pencitraan
yang lebih mutakhir seperti abdominal computed tomographic (CT) scan telah
meningkatkan angka deteksi, dengan sensitivitas mulai dari 96% hingga 100%. CT
abdominal sekarang dapat digunakan untuk memberikan lokasi spesifik dari
perforasi organ intraperitoneal dengan akurasi 80% hingga 90% (Kumar et al.,
2012).
Sesuai Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012 permintaan dan
interpretasi foto polos merupakan salah satu kompetensi yang harus dicapai saat
lulus dokter, maka dari itu penulis merasa diperlukannya pemahaman akan
pneumoperitoneum pada foto polos abdomen.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I.1 Anatomi Abdomen


Abdomen berada di antara diafragma dan pintu masuk panggul. Abdomen
merupakan rongga terbesar di tubuh dan dilanjutkan dengan rongga panggul. Pada
bagian superior dibatasi dengan diafragma memiliki kubah yang konkaf. Lien,
liver, sebagian dari gaster, sebagian dari ginjal di bawah kubah dilindungi dengan
iga bawah dan kartilago kostae. Batas bawah berada pada panggul antara ala atau
sayap dari ilia. Ileum, cecum, dan kolon sigmoid secara parsial dilindungi. Dinding
anterior dan lateral terdiri atas otot. Dinding belakang terdiri dari kolumna vertebra,
iga bawah, dan otot-otot yang berhubungan (Netter., 2011).

Gambar 1 Abdomen Tampak Luar


Netter., 2011
Dinding abdomen terdiri atas fascia superior dan fascia profunda. Lapisan
superfisial terdiri atas dua lapisan yaitu fascia camper dan fascia scarpa (Chung.,
2012).
1. Fascia Superfisial
a. Fascia Camper
Dilanjutkan melalui ligament inguinal dan bergabung dengan fasia
superfisial pada paha. Lalu berlanjut melalui pubis dan perineum
sebagai lapisan superfisial dari fascia perineal superfisial.

2
b. Fascia Scarpa
Menambat pada fascia lata di bawah ligament inguinal. Berlanjut
melalui pubis dan perineum sebagam lapisan membran (Colle’s fascia)
dari fascia superfisial perineal. Lalu berlanjut melalui penis sebagai
fascia superfisial dari penis dan melalui scrotum sebagai tunika dartos
yang terdiri atas otot polos (Chung., 2012).
2. Fascia Profundal
Melapisi dan berlanjut melalui korda spermatik pada cincin inguinal
superfisial sebagai fascia spermatik eksternal. Berlanjut melalui penis
sebagai fascia dalam dari penis (Buck’s fascia) dan melalui pubis dan
perineum sebagai fascia perineal dalam (Chung., 2012).

Gambar 2 Dinding Abdomen


Netter., 2011

3
Tabel 1 Otot dinding Abdomen

Netter., 2011
Isi rongga abdoen terdiri atas saluran gastrointestinal mulai dari gaster,
duodenum, ileum, jejenum, cecum dan appendiks, kolon asending, kolon
transversum, dan kolom disending lalu sebagian dari kolon sigmoid. Organ
aksesoris pada organ digestif seperti liver, kantung empedu, dan pankreas. Selain
itu terdapat kelenjar suprarenal, sistem urinaria (Netter., 2011).

Gambar 3 Regio Abdomen


Netter., 2011

4
Tabel 2 Otot dinding Abdomen Posterior

Chung., 2012

I.2 Pneumoperitoneum
Pneumoperitoneum biasa terlihat pada perforasi gastrointestinal akut, pada
90% kasus membutuhkan tindakan bedah darurat. Pada 10% kasus,
pneumoperitoneum memiliki penyebab lain (Jacobs et al., 2000).
I.2.1 Definisi
Pneumoperitoneum adalah keberadaan udara atau gas pada rongga
abdominal (peritoneal). Hal ini biasanya dapat dideteksi menggunakan x-ray,
namun mungkin sejumlah kecil udara bebas dapat terlewatkan dan sering terdeteksi
menggunakan computerized tomography (CT) (Sureka, Bansal and Arora, 2015).
Tension Pneumoperitoneum (TP) adalah akumulasi dari gas bebas dibawah
tekanan dalam rongga peritoneal yang menyebabkan abdominal compartement
syndrome (ACS). Selanjutnya akan bermanifestasi sebagai gagal napas karena
kompresi dari diafragma dan syok obstruktif, yang dihasilkan dari kompresi vena
intraabdominal. Vasokonstriksi perifer kompensatori dapat mempertahankan
perfusi organ vital dalam waktu terbatas. Jika keadaan ini bertahan maka dapat
menjadi precursor cardiorespiratory arrest (Milev and Nikolov, 2016).
Pneumoperitoneum non bedah didefinisikan sebagai keberadaan udara pada
rongga peritoneal yang terdeteksi oleh radiografi dan dapat diatasi dengan observasi
dan penanganan suportif saja (Fujiwara et al., 2018). Pneumoperitoneum spontan
atau non bedah adalah ditemukannya udara bebas pada rongga peritoneal yang tidak
disebabkan oleh perforasi organ viseral dan tidak memerlukan intervensi bedah
(Čečka, Sotona and Šubrt, 2014).

5
I.2.2 Etiologi
Banyak penulis menggolongkan pneumoperitoneum berdasarkan
etiologinya yaitu abdominal, thoraks, ginekologi, dan idiopatik atau lainnya
(Howe., 2007).
1. Abdominal
Penyebab paling sering dari pneumoperitoneum adalah laparatomi
atau laparaskopi. Kira-kira 60% dari pasien dengan bedah abdomen terbuka
dan 25% pasien yang menjalani laparaskopi mengalami
pneumoperitoneum. 96% dari kasus ini akan membaik dalam 5 hari dengan
tatalaksana konservatif saja (Howe., 2007).
Continous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) menjadi
penyebab karena hasi implantasi kateter yang menyebabkan perforasi organ
viseral (Howe., 2007).
Penempatan percutaneous endoscopic gastrostomy tubes adalah
penyebab ke 3 tersering sekitar 25% dari prosedur ini menyebabkan
pneumoperitoneum. Pneumoperitoneum dapat juga terjadi karena
kolonoskopi walau jarang (Howe., 2007).
Pneumoperitoneum mengikuti prosedur bedah abdomen hal ini
sering ditemukan. Resorpsi sempurna dari pneumoperitoneum setelah
laparotmi terjadi dalam satu minggu pada kebanyakan kasus. Namun dapat
dikenali menggunakan X-ray abdomen hingga 4 minggu. Pada pendekatan
laparaskopik, gas yang lebih sering digunakan pada insuflasi adalah karbon
dioksida, di mana lebih mudah dan cepat di absorbs dari pada udara
ruangan. Pasien yang menggunakan drain satu maupun lebih secara
signifikan lebih sering terdapat udara bebas di rongga abdomen daripada
pasien tanpa drain (Čečka, Sotona and Šubrt, 2014).
2. Thoraks
Penyebab pneumoperitoneum akibat toraks adalah penggunaan
ventilasi mekanik terlebih ketika tekanan tinggi dibutuhkan, resusitasi
kardiopulmoner, dan pneumothorax (Howe., 2007).
Mekanisme pada thoraks dapat menebabkan pneumoperitoneum
dengan cara udara yang berasal dari alveoli yang rupture akan berjalan

6
selaras dengan pembuluh darah mediastinum kedalam retroperitoneum lalu
ke rongga abdominal. Pada situasi tersebut udara memasuki abdomen
melalui defek diafragma, suatu akumulasi udara dapat berada di bawah
diafragma (Howe., 2007).
Penyebab pneumoperitoneum spontan paling sering dilaporkan.
Ventilasi tekanan positif mungkin dapat menuntun udara ke dalam rongga
abdomen melalui defek diafragmatik mikroskopik atau melalui
mediastinum beriringan dengan jaringan lunak perivaskular. Risiko
pneumperitoneum terjadi ketika dukungan ventillasi berhubungan dengan
puncak inspiratory di atas 40cmH2O dan PEEP di atas 6 cmH2O.
Pneumoperitoneum mungkin berkembang akibat resusitasi kardiopulmoner
dengan atau tanpa ventilasi mulut ke mulut (Čečka, Sotona and Šubrt,
2014).
3. Ginekologi
Pada perempuan, udara dapat berjalan melalui vagina, uterus, dan
tuba fallopi untuk memasuki ruang peritoneal. Hal ini dapat terjadi karena
sex orogenital, douching, latihan knee-chest post partum, insuflasi tuba pada
saat histerosalpingogram, dan sebagai hasil dari penyakit radang panggul
(Howe., 2007).
4. Idiopatik atau lainnya
Terkadang, tidak ada sumber definitif yang dapat diidentifikasi
untuk pneumoperitoneum. Hal ini biasanya berhubungan dengan kejadian
limfoma dan scleroderma, penyakit vaskular kolagen, penggunaan kokain,
menyelam dengan dekompresi, dan ekstrasi dental (Howe., 2007).

7
Tabel 3 Penyebab Pneumoperitoneum Non Bedah

Čečka, Sotona and Šubrt, 2014

I.2.3 Klasifikasi Tension Pneumoperitoneum


Klasifikasi tension pneumoperitoneum berdasarkan sumber gas
1. Tension Pneumoperitoneum Primer
Penyebab terlokalisasi dibawah diafragma, dalam ruang peritoneal.
2. Tension Pneumoperitoneum Sekunder
Gas berasal dari atas diafragma, luar ruang peritoneal (mediastinum, paru-
paru, dan rongga pleura).

8
Tabel 4 Klasifikasi Tension Pneumoperitoneum

Milev and Nikolov., 2016


I.2.4 Gejala dan Tanda
Gejala dapat asimtomatik pada pneumoperitoneum non-bedah (Čečka,
Sotona and Šubrt, 2014). Gejala dan tanda yang umum adalah nyeri abdomen,
muntah, distensi abdomen, konstipasi, demam, diare, takikardi (Nadi>110/menit),
hipotensi (Tekanan darah sistolik <100mmHg), keluaran urin (<30mL/h) dan
takipneu (respiratori rate>20 menit). Manifestasi klinis dari pasien bervariasi
tergantung letak perforasi. Pasien dengan ulserasi duodenal biasanya memiliki
riwayat nyeri epigastric dengan defans muscular. Riwayat yang berhubungan
dengan konsumsi obat anti inflamasi non steroid (OAINS) mungkin dapat ada.
Pasien dengan perforasi usus kecil mungkin memiliki riwayat demam
berkepanjangan diikuti munculnya nyeri di abdomen bawah. Perforasi apendiks
biasanya memiliki riwayat klasik dari nyeri pada area periumbilical atau fossa iliaka
kanan, bersamaa dengan muntah dan demam. Perforasi dari saluran gastrointestinal
proksimal lebih sering di India, kontras dengan penelitian di negara maju seperti
amerika serikat, yunani, dan jepang, di mana perforasi saluran gastrointestinal distal
lebih sering terjadi (Sureka, Bansal and Arora, 2015).
I.2.5 Algoritma Tatalaksana Pneumoperitoneum
Hingga kini banyak ahli kesehatan yang tidak waspada terhadap
kemungkinan pneumoperitoneum non bedah, walaupun telah berulang kali dibahas
pada literature dunia. Hal ini terutama karena kurangnya pengetahuan pada ahli
kesehatan yang menuntun laparatomi yang tidak perlu dengan kemungkinan
kematian. Ketika kita mengetahui kemungkinan dari pneumoperitoneum non-
bedah, tujuan utamanya adalah untuk membedakan bedah dengan non-bedah
pneumoperitoneum. Mengenali kasus di mana laparatomi dapat dihindari, penting

9
untuk mencegah pembedahan yang tiak perlu dan hubungannya terkait morbiditas
dan biaya finansial. Berikut pedoman yang dapat diikuti.
1. Pneumoperitoneum non bedah sering berkaitan dengan penemuan tidak
sengaja pada x-ray thoraks yang dilakukan untuk alasan lain. Sehingga
pneumoperitoneum ini tidak harus secara rutin dituntun untuk laparatomi.
Jumlah udara intraperitoneal yang banyak tipikal pada penyebab non bedah.
Pada kasus perforasi organ viseral, kontaminasi rongga peritoneal dari
enterik akan berkembang secara cepat, sehingga hanya terdapat jumlah
udara yang sedikit berhasil melewati rongga organ sebelum pasien diperiksa
menyeluruh. Pasa kasus pneumoperitoneum non bedah, tidak ada tanda dari
peritonitis atau sepsis, maka banyak udara yang berhasil melewati rongga
peritoneal.
2. Penyebab pneumoperitoneum non-bedah terbanyak sudah dibahas di tabel
1, dan ketika membuat keputusan sulit ini kita harus mempertimbangkannya
secara hati-hati. Pada beberapa kasus keputusan sangat jelas, contoh
seorang perempuan sehat dalam masa subur dengan pneumoperitoneum
pasca koitus. Pada kasus lainnya, keputusan sangat sulit, contoh
pneumoperitoneum setelah laparatomi dan anastomosis usus atau pada
intervensi endoskopik.
3. Kondisi umum pasien dan pemeriksaan fisik penting dalam membuat
keputusan. Ketika tanda sepsis seperti demam, takikadi, takipnue, dan
leukosistosis tidak ada, pneumoperitoneum non-bedah harus
dipertimbangkan. Tidak seluruh kasus pneumoperitoneum dapat
asimtomatik; nyeri abdomen dapat terjadi pada kasus bedah dan non bedah.
4. Ketik ragu, CT scan yang lebih superior dibandingkan X-ray dalam
mendeteksi pneumoperitoneum dapat digunakan untuk memberitahu
penyebab dasarnya. CT scan dapat memperlihatkan gas pada sistem vena
porta, benda asing, masa pada dinding usus, dan petunjuk lainnya yang
mungkin. Keberadaan cairan intraperitoneal biasanya memberi kesan
patologi intraabdominal.
Terkait terapi, memasukan pasien ke rawat inap dianjurkan pada
kebanyakan kasus walau penyebabnya adalah non-bedah. Observasi ketat dengan

10
evaluasi berulang keadaan umum pasien dianjurkan. Antibiotic profilaksis tidak
dianjurkan. Perhatian lebih dibutuhkan pasien dengan imunosupresi, yang
memberikan tanda peritonitis dan sepsis akan terjadi. Pungsi dari rongga abdomen
dengan evakuasi pneumoperitoneum harus dipertimbangkan pada kasus massif atau
tension pneumoperitoneum dan keadaan respiratori yang memburuk, drainase
perkutan rongga peritoneal dapat meningkatkan parameter kardiopulmonal (Čečka,
Sotona and Šubrt, 2014).

Grafik 1 Algoritma Tatalaksana Pneumoperitoneum


Čečka, Sotona and Šubrt, 2014

I.3 Sensitivitas dan Spesifisitas Modalitas Radiologi


Perforasi dari saluran pencernaan intra abdomen adalah suatu
kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan darurat segera. Pengajaran standar
yang telah dipelajari dengan adanya tanda klinis patologi akut abdomen,
pneumoperitoneum yang ditemukan pada foto polos abdomen menegakan
diagnosis dan tidak memerlukan modalitas imaging yang lebih lanjut sebagai
indikasi laparotomi (Fagenholz et al., 2014). Meskipun begitu dibutuhkan data
sensitivitas dan spesifisitas modalitas radiologi untuk dapat menentukan
pemeriksaan penunjang terbaik agar dapat menemukan pneumoperitoneum.

11
Modalitas radiologi yang dapat digunakan untuk menemukan
pneumoperitoneum adalah USG, Foto abdomen polos, dan CT Scan. Ultrasonografi
memiliki sensitivitas 73.3% dan spesifisitas 66.7% dibandingkan foto polos
abdomen yang memiliki sensitivitas 80.7% dan spesifisitas 66.7% (Hebbar et al.,
2014). Sensitivitas foto polos abdomen dapat ditingkatkan dengan posisi left lateral
decubitus. CT Scan memiliki sensitivitas 80 hingga 100% dan spesifisitas 70%
hingga 90% maka CT scan dapat lebih akurat dalam menentukan keadaan
pneumoperitoneum dibanding foto polos abdomen (Fagenholz et al., 2014)

I.4 Gambaran Radiologi Konvensional Pneumoperitoneum


Pneumoperitoneum paling mudah dideteksi pada radiografi tegak dari
thoraks, walau hanya memiliki jumlah udara yang sedikit. Posisi left lateral
decubitus berguna dan mungkin dapat memperlihatkan akumulasi udara bebas
antara batas lateral kanan dari liver dengan permukaan peritoneal (Lin, Lin and
Chen, 2014).
Untuk memastikan visualisasi pneumoperitoneum, dokter harus
memastikan bahwa temuan radiologi bukan pseudopneumoperitoneum pertama
yang terjadi jika udara yang dibawah diafragma gagal untuk berpindah ketika
pasien diposisikan secara berbeda atau jika radiolusensi gagal menumpuk pada
daerah yang paling superior. Kedua dengan mengumpulkan data anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Suatu pneumoperitoneum tanpa nyeri abdomen, distensi,
demam, leukositosis atau tanda peritoneal seperti muscle defence, sebagai contoh,
mungkin menandakan suatu penyebab non bedah dan mungkin hanya
membutuhkan tatalaksana konservatif dan monitoring ketat (Howe., 2007).
Beberapa tanda pneumoperitoneum relevan yang dapat dideskripsikan pada
radiografi abdominal sebagai berikut:
1. Subdiafragma free gas
2. Cupola/ saddlebag/ mustache sign terlihat pada radiografi supinasi,
merujuk pada akumulasi udara dibawah tendon sentral dari diafragma di
garis tengah.
3. Rigler’s sign garis udara pada kedua sisi dari dinding usus.

12
4. Lucent liver sign reduksi dari opasitas liver karena udara yang berlokasi
pada anterior liver.
5. Football sign terlihat pada pneumoperitoneum masif, dimana rongga
abdomen dibatasi gas.
6. Silver’s sign disebut juga falciform ligament sign, dimana udara membuat
garis luar dari ligament falsiform.
7. Inverted V sign udara memberi garis luar dari ligamen umbilical lateral
(pembuluh darah inferior epigastrik)
8. Doge’s cap sign akumulasi gas segitiga pada kantung morison.
9. Telltale triangle sign kantung udara segitiga antara tiga loop dari usus
10. Urachus sign memberi garis luar ligament umbilikal tengah (Sureka, Bansal
and Arora, 2015)
11. Decubitus Abdomen Sign
12. Continuous Diaphgram Sign

Dari 12 tanda yang sudah disebutkan di atas tanda yang paling sering
ditemui adalah gas bebas subdiafragma kanan dengan insidensi 49%, rigler’s sign
14%, diikuti 12 % ditemukan dengan beberapa tanda (H.S. and C.H., 2005).

13
Gambar 4 Contoh X-ray Abdomen : (a) X-ray abdomen, gambaran depan,
menunjukkan udara bebas subdiafragmatik (panah putih), garis luar udara lemak
properitoneal (panah hitam) (b) Cupola sign (kepala panah) (c) Rigler’s sign
(panah) (d) radiografi thoraks memperlihatkan udara bebas di bawah diafragma
(kepala panah)
Sureka, Bansal and Arora, 2015

14
Gambar 5 pseudopneumoperitoneum chilaiditi syndrome radiografi thoraks
pada kasus Chilaiditi syndrome showing large bowel loops (panah) di bawah
diafragma
Sureka, Bansal and Arora, 2015

15
Gambar 6 pseudopneumoperitoneum atelectasis linier
Sureka, Bansal and Arora, 2015

16
Gambar 7 pseudopneumoperitoneum kolonoskopi udara berlokasi di bawah
diafragma setelah kolonoskopi (panah)
Sureka, Bansal and Arora, 2015

17
Gambar 8 subdiafragma free gas
Sureka, Bansal and Arora, 2015

Gambar 9 Rigler’s Sign


Sureka, Bansal and Arora, 2015
Ketika terdapat udara yang membuat sudut tajam atau segitiga. Hal ini
sering terlihat pada posisi supinasi membentuk segitiga yang dibuat oleh 3 loop
usus atau 2 loop usus dengan lateral parietal peritoneum (Awolaran., 2015).

18
Gambar 10 triangle sign Panah menunjukkan triangle sign pada neonates preterm
dengan ileus mekoneum rumit dengan perforasi. Udara dibawah diafragma, rigler
sign dan pneumoskrotum juga dapat terlihat.
Awolaran., 2015
Pada posisi Supinasi, udara akan berada pada daerah yang paling longgar
dibawah dinding abdominal depan. Jika terdapat banyak sekali udara, hal ini akan
terlihat sebagai hiperlusensi oval pada radiografi supinasi yang membentuk bola
American football. Hal ini menandakan masif pneumoperitoneum (Awolaran.,
2015).

Gambar 11 Football sign panah hitam menunjukkan tanda footbal


Awolaran., 2015

19
Doge cap sign menggambarkan akumulasi air pada kantung Morrison’s
(Posterior dari ruang hepato renal) dapat terlihat pada posisi supinasi sebagai
lusensi berbentuk segitiga. Hal ini dapat terlihat pada inferior-medial dari iga ke 11
(Awolaran., 2015).

Gambar 12 Doge Cap Sign gambar skematik dari hubungan kantung Morrison
dan panah menunjukkan doge cap sign pada neonates dengan nerotizing
enterocolitis perforasi
Awolaran., 2015

Gambar 13 Urachus Sign memberikan garis luar ligamen umbilikal tengah

20
Gambar 14 Decubitus Abdomen Sign panah putih memperlihatkan udara bebas
pada dinding lateral abdomen.
Awolaran., 2015

Gambar 15 Continuous Diaphragm Sign Pneumoperitoneum masif sehingga


banyak udara bebas dibawah diafragma dan membuat struktur yang tersambung

21
I.4 Kasus dengan Pneumoperitoneum
1. Laki-laki usia 62 tahun dirujuk ke IGD karena onset akut nyeri abdomen
setelah suatu pemeriksaan kolonoskopi untuk mengekslusikan kanker
kolon. Pada saat datang tanda vital temperature 36.3°C, nadi 97/menit, laju
napas 20/menit dan tekanan darah 93/53 mmHg. Pemeriksaan fisik
menunjukan nyeri abdominal difus pada palpasi dalam. Hasil lab sel darah
putih 8700/mm3, hemoglobin 14.2 g/dl, trombosit 31.100/ mm3, kreatinin
1.1 mg/dl, SGOT 18 IU/l. Gambar 3 menunjukkan radiografi dari abdomen
yang memberikan bukti pneumoperitoneum diantaranya: udara subfrenik
(kepala panah), rigler’s sign (panah putih) dan falciform-ligament sign
(panah hitam). Maka, laparotomy eksploratif darurat dilakukan yang
menunjukkan perforasi pada pertengahan dari kolon sigmoid dan suatu
tumor 2 cm diatas linea dentata terhadap rectosigmoid junction. Post
operatif lancer, dan pasien keluar dari rumah sakit 1 minggu kemudian
(Chao, Tsai and Lai, 2013).

Gambar 16 Kasus Pneumoperitoneum Radiografi dari abdomen yang


menunjukkan tanda pneumoperitoneum, diantaranya udara subfrenik (kepala
panah), Rigler’s sign (panah putih), dan falciform-ligament sign (panah hitam)
Chao, Tsai and Lai, 2013

22
2. Seorang laki-laki Bulgaria usia 45 tahun dengan nyeri abdominal yang tidak
jelas. Onset dari nyeri secara perlahan dan bertahan hingga 3 minggu.
Pasien tidak memiliki komorbiditas atau riwayar operasi, dan tidak dalam
pengobatan. Kulit pasien pucat, dingin, dan lembab. Napasnya cepat dan
dangkal. Auskultasi dari paru-paru menunjukan hilangnya suara napas pada
kedua basal paru-paru. Abdomennya kembung, nyeri difus, dengan nyeri
lepas dan tahanan. Timpani pada sentral dan redup pada lateral pada perkusi.
Bising usus negatif. Tanda vital pasien nadi 125/menit, tekanan darah 80/40,
laju napas 38/menit, saturasi oksigen 90%, temperature aksila 35.8°C.
pasien dalam kondisi syok, dengan tanda peritonitis umum dan ACS (Milev
and Nikolov, 2016).

Gambar 17 Tension Pneumoperitoneum X-ray abdomen pada penerimaan


mengkonfirmasi tension pneumoperitoneum. Sejumlah besar gas bebas dibawah
cembungan diafragma, menyelubungi liver (panah putih). Liver berkurang secara
ukuran dan terdorong kebawah medial, menyerupai paru-paru kolaps pada
pneumothorax: “the saddlebag sign” (panah kuning). Level cairan pada rongga
peritoneal (panah biru). Posisi tertinggi dari cembungan kanan diafragma (panah
merah). Tuba nasogastric (panah hijau)
Milev and Nikolov., 2016

23
3. Anak perempuan usia 4 tahun denga nyeri abdominal progresif dan distensi
setelah riwayat 1 minggu diare cair. Dari hasil pemeriksaan fisik
menunjukkan temperature 36.2°C, distensi abnomen, suara bising usus
kurang aktif, dan nyeri difus tanpa nyeri lepas. Evaluasi lab menunjukan
jumlah sel darah putih 5000/mm3, dengan 63% segmen neutrofil. Radiografi
polos dari abdomen menunjukan beberapa tanda dari gas intraperitoneal
bebas. Ini disertai akumulasi udara pada kuadran kanan atas (area subfrenik
dan permukaan depan dari liver) (panah putih padat); falciform ligament
sign, terlihat sebagai densitas linier longitudinal pada permukaan depan dari
liver (panah putih putus-putus); ligamentum teres sign, densitas linear
terlihat beriringan dengan tepi inferior dari ligament falciform (panah hitam
padat); dan Rigler’s sign, visualisasi udara pada kedua sisi dari dinding usus
(panah hitam putus-putus). Tanda-tanda ini mengindikasika
pneumoperitoneum. Laparatomi eksploratif menunjukan perforasi sekal
karena inflamasi dinding usus akibat enteritis, dan juga dilatasi berat usus.
Setelah perbaikan dari perforasi, pasien keluar rumah sakit dengan
kesehatan yang baik 1 bulan kemudian (Lee, 2010).

Gambar 18 Tanda Radiologi Pneumoperitoneum


Lee, 2010

24
BAB III
KESIMPULAN

Pneumoperitoneum adalah tanda yang mengindikasikan adanya perforasi


organ intraperitoneal pada kebanyakan kasus dan membutuhkan tindakan darurat.
Diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap tanda-tanda khas dari
radiografi pneumoperitoneum yang sudah dibahas pada referat ini dengan harapan
agar seorang ahli kesehatan dapat memahami dan memutuskan tindakan yang tepat
untuk mengatasi keadaan pasien.
Pneumoperitonium memiliki banyak etiologi yang telah dibahas pada
referat ini dan dapat memberikan pilihan pada seorang ahli kesehatan agar tidak
menuntun suatu kasus pneumoperitoneum ke tindakan pembedahan yang sia-sia.
Hal ini dapat terjadi dengan mengkoordinasikan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
konfirmasi radiologi.

25
DAFTAR PUSTAKA

Awolaran, O. T. (2015) ‘Radiographic signs of gastrointestinal perforation in


children: A pictoral review’, African Journal of Pediatric Surgery, 12(3), pp.
161-166.
Čečka, F., Sotona, O. and Šubrt, Z. (2014) ‘How to distinguish between surgical
and non-surgical pneumoperitoneum?’, Signa Vitae, 9(1), pp. 9–15. doi:
10.22514/SV91.042014.1.
Chao, C.-M., Tsai, T.-C. and Lai, C.-C. (2013) ‘Signs of pneumoperitoneum’, Qjm,
106(2), pp. 199–199. doi: 10.1093/qjmed/hcr244.
Chung, K. W. and Chung H. M, Gross Anatomy, 7th ed. Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins ; 2012.
Fagenholz, P. et al. (2014) ‘Free air on plain film: Do we need a computed
tomography too?’, Journal of Emergencies, Trauma, and Shock, 7(1), p. 3.
doi: 10.4103/0974-2700.125631.
Fujiwara, K. et al. (2018) ‘Massive intraperitoneal free air induced by
pneumothorax and pneumomediastinum’, International Journal of Surgery
Case Reports. Surgical Associates Ltd, 49, pp. 78–80. doi:
10.1016/j.ijscr.2018.06.020.
H.S., C. and C.H., C. (2005) ‘Pneumoperitoneum on supine abdominal X-ray: Case
report and review of the radiological signs’, Hong Kong Journal of
Emergency Medicine, 12(1), pp. 46–49. Available at:
http://www.embase.com/search/results?subaction=viewrecord&from=export
&id=L40202189%5Cnhttp://sfx.library.uu.nl/utrecht?sid=EMBASE&issn=
10249079&id=doi:&atitle=Pneumoperitoneum+on+supine+abdominal+X-
ray%3A+Case+report+and+review+of+the+radiological+signs&stit.
Hebbar, A. et al. (2014) ‘Prospective study of comparison between the
ultrasonography with the plain radiography in the diagnosis of
pneumoperitoneum of hollow viscus perforation’, International Journal of
Research in Medical Sciences, 2(1), p. 154. doi: 10.5455/2320-
6012.ijrms20140231.

26
Howe, C. L. (2007) 'Pneumoperitoneum : What Does Free Air Under the
Diaphragm Really Mean in the Older adult' Arizona Geriatric Society, 13(1),
pp. 23-24.
Jacobs, V. R. et al. (2000) ‘Sexual activity as cause for non-surgical
pneumoperitoneum.’, Jsls, 4(4), pp. 297–300.
Kumar, A. et al. (2012) ‘The etiology of pneumoperitoneum in the 21st century’,
Journal of Trauma and Acute Care Surgery, 73(3), pp. 542–548. doi:
10.1097/TA.0b013e31825c157f.
Lee, C.-H. (2010) ‘Radiologic Signs of Pneumoperitoneum’, New England Journal
of Medicine, 362(25), pp. 2410–2410. doi: 10.1056/nejmicm0904627.
Lin, S.-H., Lin, T.-J. and Chen, T.-H. (2014) ‘The football sign in a neonate’, Qjm,
107(3), pp. 237–238. doi: 10.1093/qjmed/hct126.
Milev, O. G. and Nikolov, P. C. (2016) ‘Non-perforation tension
pneumoperitoneum resulting from primary non-aerobic bacterial peritonitis
in a previously healthy middle-aged man: A case report’, Journal of Medical
Case Reports. Journal of Medical Case Reports, 10(1), pp. 1–6. doi:
10.1186/s13256-016-0945-0.
Netter FH, Atlas of Human Anatomy, 5th ed. Philadelphia, PA: Saunders/Elsevier;
2011.
Sureka, B., Bansal, K. and Arora, A. (2015) ‘Pneumoperitoneum: What to look for
in a radiograph?’, Journal of Family Medicine and Primary Care, 4(3), p.
477. doi: 10.4103/2249-4863.161369.

27

Anda mungkin juga menyukai