Anda di halaman 1dari 26

“KONSEP DASAR KEGAWATDARURATAN

INFARK MIOKARD AKUT”

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Kardiopulmonal

Disusun oleh :

Nama : Anni Pangestuti

NIM : P07220216004

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR

JURUSAN KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2019/2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana telah
melimpahkan rahmatnya kepada kami semua sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah tentang Konsep Dasar Kegawatdaruratan Infark Miokard Akut ini
dengan lancar.

Tidak lupa kami ucapkan terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami
menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Samarinda, 24 Juli 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata pengantar

Daftar isi

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar belakang

1.2 Rumusan masalah

1.3 Tujuan penulisan

BAB II Pembahasan

2.1 Definisi

2.2 Etiologi dan faktor risiko

2.3 Patofisiologi

2.4 Manifestasi klinis

2.5 Pemeriksaan diagnostik

2.6 Ekg sebagai penegakan diagnosis infark miokard

2.7 Penatalaksanaan

BAB III Penutup

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infark Miokard Akut (IMA) adalah suatu keadaan nekrosis otot jantung
akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen yang terjadi
secara mendadak. Penyebab paling sering adalah adanya sumbatan koroner,
sehingga terjadi gangguan aliran darah yang diawali hipoksia miokard
(Setianto et al., 2003).

IMA merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju.
Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari
separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit. Walaupun
laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekitar 1 dari
25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun
pertama setelah IMA (Alwi, 2006).

Pada tahun 2005 di Amerika, penyakit kardiovaskuler bertanggungjawab


untuk 864.500 kematian, atau 35,3% dari seluruh kematian pada tahun itu.
Sebesar 151.000 kematian akibat infark miokard (Eoudi et al., 2010). Adapun
data epidemologis pada tingkat nasional diantaranya laporan studi mortalitas
tahun 2001 oleh Survey Kesehatan Nasional menunjukkan bahwa penyebab
utama kematian di Indonesia adalah penyakit sistem sirkulasi (jantung dan
pembuluh darah) sekitar 26,39% (Jamal, 2004).

Infark miokard diawali proses berkurangnya pasokan oksigen (iskemia)


jantung yang disebabkan oleh berbagai hal antara lain aterosklerosis,
trombiarterial, spasme, embol koroner, anomali kongental, yang merupakan
gangguan pada pembuluh darah koroner. Penyebab ganguuan pada jantung
seperti hipertrofi ventrikel, dan penyakit sistemik seperti anemia akan
menyebabkan penurunan kapasitas pembawa oksigen (O2). keseluruhan

4
penyebab diatas bisa menyebabkan iskemik jantung, bila tidak tertolong akan
mengakibatkan kematian jantung yang disebut infark miokard (Braunwald
and Pasternak, 2000).

Menurut kriteria WHO (World Health Association), diagnosis IMA dapat


ditegakkan apabila didapatkan dua atau tiga dari kelainan sebagai berikut
yaitu (1) keluhan nyeri dada yang karakteristik, (2) abnormalitas gambaran
elektrokardiografi yang spesifik, (3) adanya peningkatan kadar serum
enzim-enzim kardiak (Rachmi, 2003).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Infark Miokard Akut?

2. Bagaimana etiologi dari Infark Miokard Akut?

3. Apa saja manifestasi klinis dari Infark Miokard Akut?

4. Bagaimana pemeriksaan penunjang Infark Miokard Akut?

5. Bagaimana penatalaksanaan Infark Miokard Akut?

6. Apa saja komplikasi dari Infark Miokard Akut?

7. Bagaimana asuhan keperawatan Infark Miokard Akut?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengatahui pengertian dari Infark Miokard Akut

2. Untuk mengatahui etiologi dari Infark Miokard Akut

3. Untuk mengatahui manifestasi klinis dari Infark Miokard Akut

4. Untuk mengatahui pemeriksaan penunjang Infark Miokard Akut

5
5. Untuk memahami penatalaksanaan Infark Miokard Akut

6. Untuk mengatahui komplikasi dari Infark Miokard Akut

7. Untuk memahami asuhan keperawatan Infark Miokard Akut

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Infark adalah area nekrosis koagulasi pada jaringan akibat iskemia lokal,
disebabkan oleh obstruksi sirkulasi ke daerah itu, paling sering karena
trombus atau embolus (Dorland, 2002). Iskemia terjadi oleh karena obstruksi,
kompresi, ruptur karena trauma dan vasokonstriksi. Obstruksi pembuluh
darah dapat disebabkan oleh embolus, trombus atau plak aterosklerosis.
Kompresi secara mekanik dapat disebabkan oleh tumor, volvulus atau hernia.
Ruptur karena trauma disebabkan oleh aterosklerosis dan vaskulitis.
Vaskokonstriksi pembuluh darah dapat disebabkan obat-obatan seperti kokain
(Wikipedia, 2010).

Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung


yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen (Fenton, 2009). Klinis sangat mencemaskan karena sering berupa
serangan mendadak umumya pada pria 35-55 tahun, tanpa gejala pendahuluan
(Santoso, 2005).

Otot jantung diperdarahi oleh 2 pembuluh koroner utama, yaitu arteri


koroner kanan dan arteri koroner kiri. Kedua arteri ini keluar dari aorta. Arteri
koroner kiri kemudian bercabang menjadi arteri desendens anterior kiri dan
arteri sirkumfleks kiri. Arteri desendens anterior kiri berjalan pada sulkus
interventrikuler hingga ke apeks jantung. Arteri sirkumfleks kiri berjalan pada
sulkus arterio-ventrikuler dan mengeli lingi permukaan posterior jantung.
Arteri koroner kanan berjalan di dalam sulkus atrio-ventrikuler ke kanan
bawah (Oemar, 1996). Anatomi pembuluh darah jantung dapat dilihat pada
Gambar 2.1.

7
2.2 Etiologi dan Faktor Resiko

Menurut Alpert (2010), infark miokard terjadi oleh penyebab yang


heterogen, antara lain:

1. Infark miokard tipe 1

Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura, atau
diseksi plak aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan
ketersediaan oksigen dan nutrien yang inadekuat memicu munculnya
infark miokard. Hal-hal tersebut merupakan akibat dari anemia, aritmia
dan hiper atau hipotensi.

2. Infark miokard tipe 2

Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan spasme


arteri menurunkan aliran darah miokard.

3. Infark miokard tipe 3

8
Pada keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak ditemukan.
Hal ini disebabkan sampel darah penderita tidak didapatkan atau
penderita meninggal sebelum kadar pertanda biokimiawi sempat
meningkat. Universitas Sumatera Utara

4. Infark miokard tipe 4a dan 4b

a. Infark miokard tipe 4a

Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard (contohnya


troponin) 3 kali lebih besar dari nilai normal akibat pemasangan
percutaneous coronary intervention (PCI) yang memicu terjadinya
infark miokard.

b. Infark miokard tipe 4b

Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent trombosis.

5. Infark miokard tipe 5

Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal.


Kejadian infark miokard jenis ini berhubungan dengan operasi bypass
koroner.

Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat
diubah, yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko
aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit
yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor resiko lain
masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses
aterogenik (Santoso, 2005). Faktor- faktor tersebut adalah abnormalitas
kadar serum lipid, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, faktor

9
psikososial, konsumsi buah-buahan, diet dan alkohol, dan aktivitas fisik
(Ramrakha, 2006).

Menurut Anand (2008), wanita mengalami kejadian infark miokard


pertama kali 9 tahun lebih lama daripada laki-laki. Perbedaan onset
infark miokard pertama ini diperkirakan dari berbagai faktor resiko
tinggi yang mulai muncul pada wanita dan laki-laki ketika berusia
muda. Wanita agaknya relatif kebal terhadap penyakit ini sampai
menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal
diduga karena adanya efek perlindungan estrogen (Santoso, 2005).

Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko


adalah hiperlipidemia. Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar
kolesterol atau trigliserida serum di atas batas normal. The National
Cholesterol Education Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL
sebagai faktor penyebab penyakit jantung koroner. The Coronary
Primary Prevention Trial (CPPT) memperlihatkan bahwa penurunan
kadar kolesterol juga menurunkan mortalitas akibat infark miokard
(Brown, 2006).

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya


140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan
tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi vaskuler terhadap
pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung
bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan
kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis terjadi, maka penyediaan
oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen karena
hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang
tersedia (Brown, 2006).

Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung kororner


sebesar 50%. Seorang perokok pasif mempunyai resiko terkena infark
miokard. Di Inggris, sekitar 300.000 kematian karena penyakit

10
kardiovaskuler berhubungan dengan rokok (Ramrakha, 2006). Menurut
Ismail (2004), penggunaan tembakau berhubungan dengan kejadian
miokard infark akut prematur di daerah Asia Selatan.

Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner.


Sekitar 25-49% penyakit jantung koroner di negara berkembang
berhubungan dengan peningkatan indeks masa tubuh (IMT).
Overweight didefinisikan sebagai IMT > 25-30 kg/m2 dan obesitas
dengan IMT > 30 kg/m2 . Obesitas sentral adalah obesitas dengan
kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya keadaan ini juga
berhubungan dengan kelainan metabolik seperti peninggian kadar
trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi
sistemik, resistensi insulin dan diabetes melitus tipe II (Ramrakha,
2006).

Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya


dukungan sosial, personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi
secara konsisten meningkatkan resiko terkena aterosklerosis (Ramrakha,
2006).

Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang


mengkonsumsi diet yang rendah serat, kurang vitamin C dan E, dan
bahan-bahan polisitemikal. Mengkonsumsi alkohol satu atau dua sloki
kecil per hari ternyata sedikit mengurangi resiko terjadinya infark
miokard. Namun bila mengkonsumsi berlebihan, yaitu lebih dari dua
sloki kecil per hari, pasien memiliki peningkatan resiko terkena
penyakit (Beers, 2004).

2.3 Patofisiologi

Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang


kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis

11
ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri.
Lamakelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga diameter
lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu aliran darah ke distal
dari tempat penyumbatan terjadi (Ramrakha, 2006).

Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II,
hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan
aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan
injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi
memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide, yang berkerja
sebagai vasodilator, anti-trombotik dan anti-proliferasi. Sebaliknya, disfungsi
endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan
angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel (Ramrakha,
2006).

Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi.


Kemudian leukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag.
Di sini makrofag berperan sebagai pembersih dan bekerja mengeliminasi
kolesterol LDL. Sel makrofag yang terpajan dengan kolesterol LDL
teroksidasi disebut sel busa (foam cell). Faktor pertumbuhan dan trombosit
menyebabkan migrasi otot polos dari tunika media ke dalam tunika intima
dan proliferasi matriks. Proses ini mengubah bercak lemak menjadi ateroma
matur. Lapisan fibrosa menutupi ateroma matur, membatasi lesi dari lumen
pembuluh darah. Perlekatan trombosit ke tepian ateroma yang kasar
menyebabkan terbentuknya trombosis. Ulserasi atau ruptur mendadak lapisan
fibrosa atau perdarahan yang terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri
(Price, 2006).

Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi


plak. Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan
obstruksi, menurunkan aliran darah koroner, dan menyebabkan manifestasi
klinis infark miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap kuantitas

12
iskemia miokard dan keparahan manifestasi klinis penyakit. Oleh sebab itu,
obstruksi kritis pada arteri koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri
berbahaya (Selwyn, 2005).

Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan


miokard menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis,
biokimia dan elektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke subendokard jantung
menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat iskemia
yang disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner berhubungan dengan
kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi (Selwyn, 2005).

Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme,


fungsi dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan
glukosa menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang
berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi asam
laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini mengganggu stabilitas membran
sel. Gangguan fungsi membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan
ambilan Na+ oleh monosit. Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen menentukan apakah kerusakan miokard
yang terjadi reversibel (20 menit). Iskemia yang ireversibel berakhir pada
infark miokard (Selwyn, 2005).

Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri


koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI).
Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI
karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah
kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat
cepat (Antman, 2005).

Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST


yang disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erosi
dan ruptur plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan

13
kebutuhan oksigen. Pada Non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya tidak
menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri koroner (Kalim, 2001).

Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial


(nontransmural). Infark miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri
koroner yang terjadi cepat yaitu dalam beberapa jam hingga minimal 6-8 jam.
Semua otot Universitas Sumatera Utara jantung yang terlibat mengalami
nekrosis dalam waktu yang bersamaan. Infark miokard subendokardial terjadi
hanya di sebagian miokard dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi
pada waktu berbeda-beda (Selwyn, 2005)

2.4 Manifestasi Klinis

Nyeri dada penderita infark miokard serupa dengan nyeri angina tetapi
lebih intensif dan berlangsung lama serta tidak sepenuhnya hilang dengan
istirahat ataupun pemberian nitrogliserin (Irmalita, 1996). Angina pektoris
adalah “jeritan” otot jantung yang merupakan rasa sakit pada dada akibat
kekurangan pasokan oksigen miokard. Gejalanya adalah rasa sakit pada dada
sentral atau retrosentral yang dapat menyebar ke salah satu atau kedua tangan,
leher dan punggung. Faktor pencetus yang menyebabkan angina adalah
kegiatan fisik, emosi berlebihan dan terkadang sesudah makan. Hal ini karena
kegiatan tersebut mencetuskan peningkatan kebutuhan oksigen. Namun, sakit
dada juga sering timbul ketika pasien sedang beristirahat (Hanafiah, 1996).

Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat


dingin dan lemas. Pasien terus menerus mengubah posisinya di tempat tidur.
Hal ini dilakukan untuk menemukan posisi yang dapat mengurangi rasa sakit,
namun tidak berhasil. Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas
biasanya terasa dingin (Antman, 2005).

Pada fase awal infark miokard, tekanan vena jugularis normal atau sedikit
meningkat (Irmalita, 1996). Pulsasi arteri karotis melemah karena penurunan

14
stroke volume yang dipompa jantung (Antman, 2005). Volume dan denyut
nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi menjadi kecil dan
lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun
atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu,
tekanan darah kembali normal (Irmalita, 1996).

Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang


melemah. Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior,
terdengar pulsasi sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot
jantung. Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas
suara jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda
disfungsi ventrikel jantung. Jika didengar dengan seksama, dapat terdengar
suara friction rub perikard, umumnya pada pasien infark miokard transmural
tipe STEMI (Antman, 2005).

2.5 Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Irmalita (1996), diagnosis IMA ditegakkan bila didapatkan dua


atau lebih dari 3 kriteria, yaitu :

1. Adanya nyeri dada

Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberian
nitrat biasa.

2. Perubahan elektrokardiografi (EKG)

Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard
infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner
menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG berupa
elevasi segmen ST akan berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian
kecil berkembang menjadi gelombang non-Q. Ketika trombus tidak
menyebabkan oklusi total, maka tidak terjadi elevasi segmen ST. Pasien

15
dengan gambaran EKG tanpa elevasi segmen ST digolongkan ke dalam
unstable angina atau Non STEMI (Cannon, 2005).

3. Peningkatan petanda biokimia.

Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan masuk dalam ruang


interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal
dan aliran limfatik (Patel, 1999). Oleh sebab itu, nekrosis miokard dapat
dideteksi dari pemeriksaan protein dalam darah yang disebabkan
kerusakan sel. Protein-protein tersebut antara lain aspartate
aminotransferase (AST), lactate dehydrogenase, creatine kinase
isoenzyme MB (CK-MB), mioglobin, carbonic anhydrase III (CA III),
myosin light chain (MLC) dan cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT)
(Samsu, 2007). Peningkatan kadar serum protein-protein ini
mengkonfirmasi adanya infark miokard (Nigam, 2007).

4. Ekokardiografi

Ekokardiografi sangat membantu dalam mendeteksi nyeri dada kardiak


dan telah direkomendasikan sebagai lini pertama untuk mengukur
Regional Wall Motion Abnirmality (RWMA) dan Fraksi Ejeksi Ventrikel
Kiri (FEVK > 75%), normal (FEVK 50-75%. menurun (FEVK 30-49%)
dan sangat menurun (FEVK <30%).

2.6 EKG sebagai Penegakan Diagnosis Infark Miokard

Kompleks QRS normal menunjukkan resultan gaya elektrik miokard


ketika ventrikel berdepolarisasi. Bagian nekrosis tidak berespon secara
elektrik. Vektor gaya bergerak menjauhi bagian nekrosis dan terekam oleh
elektroda pada daerah infark sebagai defleksi negatif abnormal. Infark yang
menunjukkan abnormalitas gelombang Q disebut infark gelombang Q. Pada
sebagian kasus infark miokard, hasil rekaman EKG tidak menunjukkan
gelombang Q abnormal. Hal ini dapat terjadi pada infark miokard dengan

16
daerah nekrotik kecil atau tersebar. Gelombang Q dikatakan abnormal jika
durasinya ≥ 0,04 detik. Namun hal ini tidak berlaku untuk gelombang Q di
lead III, aVR, dan V1, karena normalnya gelombang Q di lead ini lebar dan
dalam (Chou, 1996).

Pada injury miokard, area yang terlibat tidak berdepolarisasi secara


sempurna. Area tersebut lebih positif dibandingkan daerah yang normal pada
akhir proses depolarisasi. Jika elektroda diletakkan di daerah ini, maka
potensial yang positif akan terekam dalam bentuk elevasi segmen ST. Jika
elektroda diletakkan di daerah sehat yang berseberangan dengan area injury,
maka terekam potensial yang negatif dan ditunjukkan dalam bentuk ST
depresi. ST depresi juga terjadi pada injury subendokard, dimana elektroda
dipisahkan dari daerah injury oleh daerah normal. Vektor ST bergerak
menjauhi elektroda, yang menyebabkan gambaran ST depresi (Chou, 1996).

Iskemik miokard memperlambat proses repolarisasi. Area iskemik


menjadi lebih negatif dibandingkan area yang sehat pada masa repolarisasi.
Vektor T bergerak menjauhi daerah iskemik. Elektroda yang terletak di
daerah iskemik merekam gerakan ini sebagai gelombang T negatif. Iskemia
subendokard tidak mengubah arah gambaran gelombang T, mengingat proses
repolarisasi secara normal bergerak dari epikard ke arah endokard. Karena
potensial elektrik dihasilkan repolarisasi subendokardium terhambat, maka
gelombang T terekam sangat tinggi (Chou, 1996).

Menurut Ramrakha (2006), pada infark miokard dengan elevasi segmen


ST, lokasi infark dapat ditentukan dari perubahan EKG. Penentuan lokasi
infark berdasarkan perubahan gambaran EKG dapat dilihat di Tabel 2.1.

17
Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi
segmen ST. Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis
kelamin, dan lokasi miokard yang terkena. Bagi pria usia ≥ 4 0 tahun, STEMI
ditegakkan jika diperoleh elevasi segmen ST di V1-V3 ≥ 2 mm dan ≥ 2,5 mm
bagi pasien berusia < 40 tahun (Tedjasukmana, 2010). ST elevasi terjadi
dalam beberapa menit dan dapat berlangsung hingga lebih dari 2 minggu
(Antman, 2005).

Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai
dengan elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non
STEMI beragam, bisa berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T,
gelombang T yang datar atau pseudo-normalization, atau tanpa perubahan

18
EKG saat presentasi. Untuk menegakkan diagnosis Non STEMI, perlu
dijumpai depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di V1-V3 dan ≥ 1 mm di sandapan
lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi segmen ST tidak persisten (<20
menit), dengan amplitudo lebih rendah dari elevasi segmen ST pada STEMI.
Inversi gelombang T yang simetris ≥ 2 mm semakin memperkuat dugaan Non
STEMI (Tedjasukmana, 2010).

2.7 Penatalaksanaan

a. Terapi Reperfusi

Untuk pasien yang mengalami infark miokard akut dengan waktu onset
gejala kurang dari 12 jam, Percutaneus Coronary Intervention (PCI),
Coronary Artery Bypass Graft (CABG), artaupun reperfusi farmakologis
(fibrinolitik) harus dilakukan sedini mungkin.

b. Bukan Terapi Reperfusi

American College of Cardiology (ACC)/ American Heart Association


(AHA) dan European Society of Cardiology (ESC) merekomendasikan
dalam tatalaksana pasien dengan infark miokard diberikan terapi dengan
mnggunakan anti platelet (aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti
koagulan seperti Unfractionated Heparin (UFH)/ Low Molecular Weight
Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin
Receptor Blocker.

Pasien dengan infark miokard yang berkembang sering tidak meminta


bantuan medis sampai gejala-gejalanya telah muncul lebih dari satu jam.
Keterlambatan pasien ini terjadi pada saat yang paling kritis dalam perjalanan
penyakit, saat nyeri parah dan risiko takiaritmia ventrikuler dan serangan
jantung tinggi. Oleh karena ini, semua pasien dengan nyeri dada dicurigai

19
SKA yang harus segera dipindahkan ke rumah sakit untuk dilakukan
penilaian. Pemindahan umumnya harus dilakukan oleh paramedis yang
terlatih dengan monitoring jantung dan fasilitas resusitasi serta kemampuan
untuk mendapatkan EKG selama perjalanan. Tranmisi EKG diawal akan
memungkinkan rumah sakit untuk mendiagnosis dan memberikan inisiasi
awal sampai pada tindakan selanjutnya.

2.8 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis (D.0077)

2. Penurunan curah jantung b.d perubahan irama dan perubahan


kontraktilitas jantung. (D.0008)

3. Perfusi perifer tidak efektif b.d peningkatan tekanan darah, penurunan


aliran arteri/vena dan kurang terpaparnya informasi tentang faktor
pemberat (obesitas dll). (d.0009)

2.9 Intervensi Keperawatan

No Diagnosa SLKI SDKI


Keperawatan

1. Nyeri akut Kriteia Hasil : Manajemen nyeri :


(D.0077)
 Melaporkan nyeri  Identifikasi lokasi,
terkotrol : 1 (menurun), karakterisstik durai,
2 (cukup menurun), 3 reuensi, kualitas,

20
(sedang), 4 (cukup intensitasnyeri.
meningkat), 5
 Identifikasi nyeri
(meningkat)
 Identifikasi faktor
 Kemampuan mengenali
memperberat dan
onset nyeri : 1
memperingan nyeri.
(menurun), 2 (cukup
menurun), 3 (sedang), 4  Monitor efek samping
(cukup meningkat), 5 analgesik
(meningkat)

 Kemampuan mengenali
Pemberin Analgesik
penyebab nyeri : 1
(menurun), 2 (cukup  Identifikasi riwayat
menurun), 3 (sedang), 4 alergi obat
(cukup meningkat), 5
 Monitot TTV setelah
(meningkat)
pemberian Analgesik
 Kemampuan
 Monitor efektivitas
menggunakan teknik
abnalgesik
non-farmakologi: 1
(menurun), 2 (cukup
menurun), 3 (sedang), 4
(cukup meningkat), 5
(meningkat)

 Dukungan orang
terdet 1 (menurun), 2
(cukup menurun), 3
(sedang), 4 (cukup
meningkat), 5
(meningkat)

21
2. Penurunan Kriteria Hasil : Perawatan Jantung
Curah Jantung
 Palpitasi: 1  Identifikasi tanda dan
(D.0008)
(meningkat), 2 (cukup gejala primer penurunan
meningkat), 3 (sedang), curah jantung
4 (cukup menurrun), 5
 Identifikasi tanda gejala
(menurun)
sekunder penurunan
 Gambaran EKG curah jantung
aritmia :1 (meningkat),
 Monitor tekanan darah
2 (cukup meningkat), 3
(sedang), 4 (cukup  Monitor saturasi ksigen
menurrun), 5 (menurun)
 Monitor eluhan nyei
 Dyspnea: 1 dada
(meningkat), 2 (cukup
 Monitor EKG 12
meningkat), 3 (sedang),
sadapan
4 (cukup menurrun),
5 (menurun)  Posisikan paien semi
fowler atau fowler
Tekanan darah :
dengan kaki ke bawah
 CRT : 1 (memburuk), 2 atau pososo nyaman
(cukup memburuk), 3
 Berikan oksigen untuk
(sdang), 4 (cukup
mempertahankan satrasi
membaik), 5 (membaik)
oksigen >94%
 Pulmonary arteri wedge
 Kolaborsi pemberian
pressure (PAWP)
antiaritmia jika
 Central Venous diperlukan.
Pressure

3. Perfusi perifer Kriteria Hasil : Perawatan sirkulasi

22
tidak efektif  Denyut nadi perifer :  Periksa sirkulasi perifer
(1: menurun, 2: cukup
(d.0009)  Identifikasi faktor
menurun, 3: sedang, 4:
resiko gangguan
cukup meningkat, 5:
sirkulasi
meningkat)
 Hindari pemasangan
 Warna kulit pucat : ( 1
infus/ pengambilan
(meningkat), 2 (cukup
darah di area
meningkat), 3 (sedang),
keterbatasan perfusi
4 (cukup menurrun), 5
(menurun) )  Hindari pengukuran
tekanan darah pada
 Pengisian kapiler akral :
ekstermitas dengan
1 (memburuk), 2
keterbatasan perfusi
(cukup memburuk), 3
(sdang), 4 (cukup
membaik), 5 (membaik)

 Tekanan darah sistolik :


1 (memburuk), 2
(cukup memburuk), 3
(sdang), 4 (cukup
membaik), 5 (membaik)

 Tekanan darah
diastolik : 1
(memburuk), 2 (cukup
memburuk), 3 (sdang),
4 (cukup membaik), 5
(membaik)

23
24
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung


yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen (Fenton, 2009). Klinis sangat mencemaskan karena sering berupa
serangan mendadak umumya pada pria 35-55 tahun, tanpa gejala pendahuluan
(Santoso, 2005).

Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah,
yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko aterosklerosis
koroner meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang
terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga
berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik (Santoso, 2005). Faktor-
faktor tersebut adalah abnormalitas kadar serum lipid, hipertensi, merokok,
diabetes, obesitas, faktor psikososial, konsumsi buah-buahan, diet dan alkohol,
dan aktivitas fisik (Ramrakha, 2006).

Menurut Irmalita (1996), diagnosis IMA ditegakkan bila didapatkan dua


atau lebih dari 3 kriteria, yaitu :

1. Adanya nyeri dada

2. Perubahan elektrokardiografi (EKG)

3. Peningkatan petanda biokimia.

4. Ekokardiografi

3.2 Saran

25
Sebagai seorang mahasiswa perawat sebaiknya mampu memahami dan
melakukan penatalaksaan gawat darurat infark moikard akut, oleh sebab itu
memperbanyak bacaan tentang infark miokard adalah hal yang penting
dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia

Standar Luaran Keperawatan Indonesia

Standar Intervensi Keperawatan Indonesia

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/22069/Chapter%20II.pdf;j
sessionid=9D1DEB8451B0D309791F5316636EB571?sequence=4

https://www.scribd.com/doc/316537249/Konsep-Dasar-Infark-Miokard-Akut

26

Anda mungkin juga menyukai