2012#B12#4 Penegakan Diagnosis & Rencana Perawatan Pada Pasien Prostodonsia PDF

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 138

KARTIKA ANDARI WULAN

Department of Prosthodontics
School of Dental Medicine, Faculty of Medicine
Glossary of Prosthodontic Terms (1997) :
“Diagnosis is define as determination of nature of disease”

Boucher (1997):
“Diagnosis consists of planned observation to determine &
evaluate the existing conditions, which lead to decision making
based on the condition observed”
Winkler (1977):
“Diagnosis is the examination of physical status, evaluation of
mental or psychological make up & understanding of needs of
each patient to ensure a predictable result”
 merupakan kumpulan data hasil observasi kesehatan umum
dan gigi serta kondisi kejiwaan dan sosial pasien yang
kemudian dievaluasi untuk menentukan rencana perawatan.

*Diagnosis yang tepat dan akurat berperan dalam


menetapkan rencana perawatan dan hasil/prognosis
perawatan.

Penegakan diagnosis untuk perawatan prostodontik


membutuhkan ketrampilan mendiagnosis yang baik dan
pemahaman mengenai ilmu kedokteran gigi serta ilmu-ilmu
pendukungnya.
“The dentist should meet the mind
of the patient before he meets
the mouth of the patient”
(De Van;1942)
Pada tahapan ini dilakukan anamnesis kepada pasien utk
mendapatkan informasi tentang
a. Data Demografis
b. Keluhan Utama /Chief Complaints
c. Riwayat kesehatan (umum, keluarga dan gigi geligi)

*Informasi tersebut diperoleh melalui:


(a)Kuesioner, (b)Wawancara dan (c)Kombinasi

*Pengumpulan data yg akurat dan pencatatan riwayat kesehatan


pasien, disertai pemeriksaan klinis dan evaluasi yang seksama akan
membantu menegakkan diagnosis, rencana perawatan pasien dan
prognosis.
Nama dilengkapi dg gelar (Tn/Bpk; Ibu/Ny/Nn & gelar
akademik). Digunakan untuk mengidentifikasi dan berkomunikasi
dengan pasien. Umumnya, seseorang lebih menyukai bila
dipanggil dgn namanya, akan membantu menambah rasa
percaya diri dan kenyamanan pasien selama perawatan serta
menjaga keharmonisan hubungan drg-pasien karena pasien
merasa dikenali dan dihargai.

Alamat & No telp pasien membantu drg untuk


berkomunikasi dengan pasien dalam merencanakan perjanjian
kunjungan perawatan serta untuk mengetahui gambaran status
sosioekonomi pasien. Bila pasien tinggal di dekat kawasan
industri, kemungkinan menderita pulmonary diseases.
Jenis Kelamin sebagai indikator prioritas kebutuhan GT
(estetik atau fungsi), perubahan hormonal dan penyakit
sistemik terkait jenis kelamin (mis. Hemofilia, Anemia
defisiensi zat besi).
Umumnya, perempuan lebih memprioritaskan penampilannya
dibandingkan laki-laki. Pada laki-laki, semakin bertambah
usianya maka akan semakin tidak memperhatikan
penampilannya, hanya kenyamanan dan fungsi. Perempuan
yang menopause akan mengalami perubahan fisiologis
yang dapat menghambat perawatan GT.
Usia merupakan indikator atas kondisi fisiologis jaringan penyangga
GT dan kemampuan pasien untuk beradaptasi (menggunakan dan
memelihara) gigi tiruannya. Diusahakan utk mencatat tgl lahir atau
usia pasien yg tepat, bila mengalami kesulitan maka dpt ditulis
kisaran usia (mis. > 60 thn).
Pada pasien berusia <40 thn an, jaringan penyangga akan lebih mudah
sembuh dan resiliensinya baik. Pada pasien usia >50 thn an, jaringan penyangga
mulai mengalami degenerasi (kehilangan resiliensi & penurunan koordinasi
neuromuskular) dan proses penyembuhan berjalan lambat.
Pada perempuan berusia >50 thn yang mengalami masalah fisiologis dan
psikologis, cenderung menjadi pasien dgn karakteristik exacting atau histerikal yang
sangat mementingkan penampilannya. Akan tetapi pada laki-laki yang bersikap
acuh dan cenderung berkarakteristik indifferent akan lebih mementingkan fungsi
dan kenyamanannya. Usia juga dikaitkan dgn penyakit sistemik misalnya congenital
cleft lip & palate, acute rheumatic fever, skleroderma, rheumatoid arthritis,
hipertensi, diabetes, klimaterik (menopause) dll.
Usia juga membantu dalam pemilihan anasir gigi GT.
Pekerjaan dan tingkat Pendidikan menentukan bagaimana pasien
menilai dan menghargai kesehatan rongga mulutnya (terkait estetik
maupun fungsi GT yg diharapkannya) serta mengetahui kebiasaan dan
rutinitas pasien. Terbagi menjadi :
a. Pekerjaan yg menyebabkan keausan jaringan keras gigi, mis. kuli
bangunan (menggigit paku), hairstylist (membuka jepit rambut
menggunakan gigi-gigi anteriornya), penjahit (menggigit jarum
jahit)  atrisi pada gigi-gigi anterior GT shg estetik tidak baik.
b. Pekerjaan yg memicu timbulnya lesi oral krn absorbsi sistemik
material logam atau non logam mis. pekerja di pabrik mercury.
c. Tuntutan pekerjaan, mis. harus berhadapan dgn publik (mis. aktor,
dokter, salesman, MC, penyanyi, guru dll) maka menuntut
rehabilitasi estetik dan fonetiknya. Utk pasien yg bekerja tanpa
berhadapan dgn publik akan lebih mementingkan efisiensi fungsi,
profesi sebagai musisi alat tiup akan mementingkan susunan gigi
anteriornya.
Status Pernikahan (Marital Status)
Stres psikologis yg dialami oleh seseorang yg berada dalam
status pernikahan, merupakan faktor predisposisi
kelainan/penyakit rongga mulut dan memungkinkan
menjadi sumber infeksi beberapa penyakit menular.
Gingivitis dan gingival enlargement juga dapat dikaitkan
dengan kondisi kehamilan.
Pertanyaan-pertanyaan yg harus diajukan klinisi pada pasien, yaitu
yang terkait :
1. Ketidakmampuan untuk mengunyah
2. Terganggunya fungsi bicara
3. Penampilan yang dirasa kurang baik
4. Lain-lain terkait alasan/motivasi utama pasien
menginginkan dibuatkan GT; lama waktu kondisi tidak
bergiginya; sikap dan penerimaan pasien terhadap
kehilangan giginya; pengalaman pasien dgn GT dan
ekspektasi pasien terhadap GT.
Alasan dan motivasi pasien menginginkan perawatan prostetik
merupakan faktor penting untuk menentukan ekspektasi atau
pengharapan pasien terhadap GT nya. Alasan-alasan tersebut
dievaluasi apakah realistik dan dapat dilakukan. Operator sebaiknya
tidak memberikan janji atau pengharapan yang berlebih terkait dgn
hasil akhir perawatan atau GTnya.
Keberhasilan perawatan GTL didukung atas motivasi atau keinginan
pasien serta kemampuan pasien utk beradaptasi dgn GTL nya secara
fisik atau fisiologisnya. Kondisi tsb di atas merupakan tantangan bagi
drg krn umumnya pemakai GTL adalah pasien geriatri dimana
kemampuan adaptasinya telah menurun. Pada pasien geriatri,
penerimaan pasien thd GT nya yg baru walaupun teknik dan hasil yg
dibuat baik, juga bergantung pada motivasi dan upaya pasien
berkompromi mengatasi kesulitannya dalam beradaptasi (Geering et al; 1993).
Selain itu, tiap tahapan klinis perawatan GT merupakan pengalaman
yg baru bagi pasien dan terkadang pasien dpt bereaksi negatif
(secara fisik atau psikologisnya). Reaksi pasien tsb merupakan
karakteristik yg bervariasi pada tiap- tiap individu mulai dari
penerimaan/adaptasi yg baik hingga respon patologis jaringan
penyangga(Geering et al, 1993).

Alan Mack (1970) mengklasifikasikan pasien berdasarkan sikap


atau perilaku kejiwaannya sbg berikut :
a. Ectomorph (Worrying type)
b. Endomorph (Care free)
c. Mesomorph (Passive)
House Mental Classification of Patients
House membuat klasifikasi berdasarkan atas reaksi pasien saat
kehilangan seluruh giginya dan bagaimana pasien tersebut dapat
beradaptasi dengan gigi tiruannya, yaitu :

a. Philosophical – Rational, sensible, organized and overcomes


conflicts (Expectations are real)
b. Exacting – Methodical, precise and accurate; places severe
demands (Must reach an understanding before starting treatment)
c. Indifferent – Apathetic, uninterested, uncooperative and lacks
motivation; blames dentist for poor health; pays no attention to
instructions (Unfavorable prognosis)
d. Hysterical – Emotionally unstable, excitable, apprehensive
(Psychiatric help may be required)

(Rahn et al, 1993)


Riwayat kesehatan pasien yg harus diketahui antara lain:
a. Status Kesehatan Umum utk mengetahui apakah pasien
mengidap penyakit sistemik yg bermanifestasi oral dan dapat
menghambat keberhasilan perawatan GT; termasuk riwayat rawat
inap pasien di RS dan penggunaan obat-obatan. Pasien dgn
kondisi kesehatan umum yg baik akan memudahkan proses
perawatan dan lebih mudah menerima serta beradaptasi dgn
GTPnya lebih baik dibandingkan pasien dgn kondisi kesehatan
buruk.
b. Status Lokal utk mengetahui alasan pasien kehilangan gigi-giginya
(penyebab utama, mis. gigi dicabut atau tanggal krn adanya
peny.periodontal, karies, kelainan kongenital, trauma dll), durasi
pasien tidak bergigi (utk melihat respon maksila dan mandibula
terhadap pola kerusakan dan derajat resorpsi tulang), kebiasaan
buruk (mis.mengunyah 1 sisi, tongue thrusting dll).
c. Pengalaman dgn GT utk mengetahui jumlah dan macam GT yg
pernah digunakan pasien; penerimaan pasien terhadap GTnya yg
lama dan alasan pasien meminta dibuatkan yg baru. Pasien harus di
edukasi bila permintaannya tidak realistis (terutama bila kondisi
jaringan penyangga kurang mendukung). Pasien dgn riwayat
penggunaan sejumlah GT dalam kurun waktu yg pendek beresiko
prognosis buruk. Bila pasien masih menggunakan GT lamanya, maka
pasien ditanya berapa lama GT tsb digunakan, kepuasan pasien
terhadap GTnya termasuk problema yg dihadapi selama pemakaian.

Selain itu, kondisi GT lama pasien juga diperhatikan apakah ada


noda atau terlihat terpelihara. Cara pasien memelihara GTnya
berguna utk mengetahui motivasi & kemampuan pasien dalam
memelihara GTnya. Pemeriksaan warna gigi, material, estetik-
fonetik, retensi, stabilitas, kontur& perluasan sayap/basis GT, dan
oklusinya.
Glossary of Prosthodontic Terms (1997):
“Examination is defined as scrutiny or investigation for the
purpose of making a diagnosis or assessment”

Tujuan pemeriksaan klinis adalah untuk mengidentifikasi dan


mengevaluasi anatomi dan fisiologi normal pasien, adanya variasi
normal serta mengenali gejala awal suatu penyakit yang mungkin
diderita pasien.
Data-data dari pemeriksaan klinis yang dilakukan secara menyeluruh
dan komprehensif, memungkinkan untuk mendukung adanya
modifikasi pada rencana perawatan apabila sewaktu-waktu
diperlukan
Pemeriksaan klinis pada pasien edentulous terbagi menjadi 2 fase:
1. Familiaritas pasien
Pada kunjungan pertama pasien ke drg, maka pasien dibiasakan
dahulu dgn kondisi klinik gigi. Pasien dipersilahkan duduk dgn
nyaman di dental unit lalu drg mendengarkan keluhan pasien dgn
seksama dan tidak menyela perkataan pasien. Pada fase ini, yang
terpenting adalah membangun kepercayaan, saling memahami dan
menghargai antara operator dgn pasien dan keluarganya.

2. Prosedur pemeriksaan
Drg melakukan pemeriksan secara visual dan klinis serta penunjang
yang dibutuhkan, membuat cetakan anatomis utk model studi yg
digunakan sbg alat bantu KIE, panduan utk tindakan bedah pre
prostetik, mengidentifikasi adanya abnormalitas dan membuat
estimasi rencana perawatan.
Tujuan
a. Melakukan penilaian atau evaluasi pada kondisi kesehatan
umum pasien.
b. Melakukan evaluasi kondisi jaringan penyangga dalam mulut
sebelum pembuatan protesa.
c. Mengidentifikasi dan evaluasi kondisi kejiwaan pasien
d. Mengidentifikasi dan menentukan faktor-faktor yg dapat
menghambat proses dan keberhasilan perawatan GT

Armamentarium
Kaca mulut, Pinset, Sonde, Ekskavator, Burnisher,
Probe periodontal, Cheeck Retractor, Stetoskop, Rekam Medik
Pemeriksaan kesehatan secara umum dengan mengukur :
a. Tinggi dan Berat badan
b. Vital sign – pernafasan, denyut nadi, tekanan darah,
suhu badan

Pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut dengan mengamati :


a. Kondisi ekstra oral
b. Kondisi intra oral
Tujuannya untuk mencatat seluruh informasi terkait tampilan
depan, tampilan profil dan analisa fungsi struktur wajah yang akan
digunakan sebagai panduan selama perawatan prostodonsia dan
juga utk memperbaiki tampilan estetik wajah.
1. Analisa Frontal/Tampilan Depan (Frontal Analysis)
observasi bentuk kepala, bentuk wajah, proporsi wajah, simetris
wajah, pemeriksaan dahi-hidung-mata dan bibir-dagu.
2. Analisa Fungsi (Functional Analysis)
observasi fungsi mastikasi, deglutasi (penelanan), respirasi,
bicara, pergerakan mandibula, aktivitas otot mastikasi dan TMJ.
3. Analisa Senyum (Smile Analysis)
observasi bibir, posisi gigi-gigi dan gingiva saat tersenyum.
Menurut klasifikasi dan nilai indeks Martin & Saller (1957), didasarkan pada
pengukuran anthropometriks dari lebar maksimal dan panjang maksimal
kepala, maka bentuk kepala terbagi mjd :
• Dolichocephalic – pasien memiliki lengkung rahang yg panjang dan sempit
• Mesocephalic – pasien memiliki lengkung rahang paraboloid atau ovoid
• Brachycephalic dan Hyperbrachycephalic – pasien memiliki lengkung
rahang yg besar
Profil wajah diperiksa dgn cara melihat pasien dari lateral lalu
menggabungkan 2 (dua) garis imajiner yaitu (A) dari titik pada dahi
dan titik terdalam bibir atas , (B) meneruskan garis A hingga ke titik di
dagu yg paling prominen.
Menurut Angle, berdasarkan relasi garis-garis tersebut maka
didapatkan :
Class 1 - Straight/orthognathic:
Kedua garis imajiner membentuk garis lurus
Class 2 - Convex/retrognathic mandibula:
Kedua garis membentuk sudut dengan kecekungan terhadap
jaringan  maksila prognathic atau mandibula retrognathic
pada maloklusi klas II
Class 3 - Concave/ prognathic mandibula:
Kedua garis membentuk sudut dengan kecembungan (convex)
terhadap jaringan  mandibula prognathic atau maksila
retrognathic maxilla pada maloklusi klas III
Tinggi wajah adalah jarak antara nasion dan gnathion.
Lebar wajah (bizygomatic width) adalah jarak antara kedua titik
zygomaticus.
Morfologi wajah ini mempengaruhi bentuk lengkung rahang. Pd tipe
euryprosopic, bentuk lengkung rahang square & besar. Tipe
Leptoprosop, berbentuk tapering dan sempit.
• Untuk menentukan proporsi wajah, terbagi menjadi :
A. Transverse facial proportion (The Rule of Fifth) – membagi wajah
menjadi 5 bagian.

Transverse facial proportion


(The rule of Fifth)

The central fifth of the face


The middle two fifth (2/5) of the face
The outer two fiifth (2/5) of the face
B. Vertical facial proportion
membagi wajah menjadi 3 bagian.

Vertical facial proportion


a. Upper third of the face
b. Middle third of the face
c. Lower third of the face : upper 1/3
: lower 2/3
• Untuk menentukan disproporsi wajah.
Pada umumnya, sisi kanan dan kiri wajah tidak
identik disebut juga normal asymmetry. Bila kondisi
asymmetry tidak parah maka dapat diterima, tetapi
bila mengubah proporsi wajah atau terdapat defek
maka kondisi tsb harus dicatat.

Wajah Simetris Wajah Asimetris


Merupakan sudut yg dibentuk oleh 2 buah garis imajiner dari bawah
hidung (sub nasale) menuju bibir atas (labrale superioris).

Berperan dalam perbaikan estetik pasien terutama untuk menentukan


sudut nasalis pasien.
merupakan lipatan jaringan lunak yg berada di
antara bibir bawah dan dagu, bervariasi kedalaman
dan bentuknya serta dipengaruhi oleh posisi gigi
insisivus RB dan tinggi vertikal wajah bagian bawah.

Bila posisi gigi insisivus sentral RB yang tegak


lurus  sulcus mentolabial dangkal krn dukungan
bibir kurang.
Pasien dgn relasi klas 2 dan berwajah pendek  sulcus mentolabial
dalam krn bibir bawah menyentuh bagian palatal gigi insisivus RA dan
menandakan hiperaktivitas otot mentalis.
Pasien yg berwajah panjang  sulcus mentolabial datar krn datarnya
otot mentalis yg menahan bibir saat menutup.
Sulkus Sulkus
mentolabial mentolabial
dalam dangkal

Rongga Mulut
Pemeriksaan menggunakan 3 jari yaitu jari telunjuk, jari tengah dan
jari manis pasien. Untuk melihat kemampuan membuka dan menutup
mulut otot-otot mastikasi (terdapat trismus/tdk) dan membantu
operator menentukan ukuran sendok cetak yang akan digunakan.
Bila pasien dapat membuka mulut selebar 3 jari  ukuran normal,
kurang dari 3 jari  sempit, lebih dari 3 jari  besar
Cara lain dgn melakukan pengukuran saat pasien membuka
mulutnya (Range of Motion), klasifikasinya sbb :
a. Normal – membuka mulut maks.50 mm
b. Terbatas – membuka mulut < 35 mm
bila membuka mulut ≥ 20 mm  kelainan pd TMJ
(tjd perubahan intracapsular pada TMJ)
bila membuka mulut < 20 mm  kelainan pd otot
Bibir
• Kontur dan tampilan vermillion border pada bibir, umumnya akan
berubah setelah pasien kehilangan gigi-giginya. Restorasi dukungan
bibir dan lebar vermilion border harus diperhatikan saat mengganti
gigi anterior.
Kontur bibir diklasifikasikan menjadi :
A. adequately supported/kompeten
B. Unsupported/inkompeten

Bibir Kompeten Bibir Inkompeten


Panjang Bibir diklasifikasikan menjadi :
Class 1 : normal - bila garis senyum bibir atas (upper lip stomion)
menutupi 1/3 hingga 2/3 servikoinsisal gigi anterior.
Class 2 : bibir panjang - bila tidak terlihat insisal gigi anterior atau
hanya 1/3 insisal gigi anterior
Class 3: bibir pendek - bila terlihat seluruh gigi anterior

Class 1 Class 2 Class 3


Panjang Bibir Normal Bibir Panjang Bibir Pendek
Pada pasien dgn bibir tipis, permasalahan terjadi bila posisi gigi
(labiopalatal/labiolingual) ada sedikit perubahan maka kontur
bibir juga akan berubah. Susunan gigi yg tumpang tindih
menyebabkan distorsi pada permukaan bibir.

Pada pasien dgn bibir tebal, perubahan kontur bibir tidak terlihat
bila terjadi variasi pada bentuk lengkung rahang dan susunan
giginya.
merupakan kemampuan untuk bergeraknya bibir saat pasien
tersenyum. Pengukuran dengan cara mengurangi panjang
dentogingiva yang terekspos dengan panjang insisal yang terekspos
saat pasien tersenyum. Panjang dentogingiva yang terekspos diukur
dari bagian inferior bibir atas (upper lip stomion) hingga ke ujung
insisal gigi insisif sentral saat pasien tersenyum (Roe et al, 2012).

Mobilitas bibir diklasifikasikan menjadi :


Class 1. Normal – Ujung insisal gigi insisif sentral RA tampak
hingga kira-kira 2 mm di bawah bibir atas saat
rest posisi (pada pasien dgn garis bibir horisontal)
Class 2. Mobilitas menurun
Class 3. Paralisis/kelumpuhan
Pada pasien yg mengalami stroke, dapat terjadi
kelumpuhan/paralisis pada sebagian bibir sehingga terlihat wajah
asimetri dan distorsi bibir (unilateral mouth droop). Pada pasien ini
perlu dilakukan KIE spy tidak berekspektasi berlebihan dikarenakan
keterbatasan fisiknya akan menghambat restorasi fungsi dan estetik.

Kesehatan Bibir
Bibir juga diperiksa utk melihat adanya
cracking, fissure pada sudut bibir dan
ulserasi  kemungkinan disebabkan
defisiensi Vit B complex deficiency atau
infeksi dari organisme mis. candida albicans.
Bentuk lengkung bibir atas ketika istirahat terbagi menjadi :
1.Straight lip
2.Moderately arched lip
3.Maximally arched lip

Jika bentuk bibir pasien melengkung (tidak horisontal) saat bibir


istirahat, panduan lainnya harus digunakan untuk menentukan posisi
ujung insisal. Karena 50% hingga 100% dari gigi insisivus RA akan
terlihat ketika bibir bergerak tersenyum (Cutbirth, 2014).

Pemeriksaan posisi bibir saat istirahat dgn cara menginstruksikan


pasien utk menjilat bibir dan permukaan labial gigi anterior RA lalu
diinstruksikan utk memisahkan bibir atas dan bawahnya. Cara lainnya
dgn menginstruksikan pasien utk berkata “hai” dgn bibir atas relaks
tanpa tersenyum. Kedua metode ini membantu mengistirahatkan bibir
atas  kontraksi minimal.
Figures 1a to 1c. (a) Straight lip in repose, Figures 2a to 2c. (a) Moderately arched lip in
(b) full smile, and (c) full-face smile. repose, (b) full smile, and (c) full-face smile.

Klasifikasi posisi bibir atas


saat istirahat
(Cutbirth, 2014)

Figures 3a to 3c. (a) Maximally arched lip in


repose, (b) full smile, and (c) full-face smile.
Lip Fullness
Berbeda dengan ketebalan bibir/Lip Thickness.
Kondisi ini terkait dengan support yg didapat bibir dari mukosa atau
basis gigi tiruan dan gigi yang berada di belakang bibir. Gigi tiruan
dengan sayap labial yang tebal akan membuat bibir tampak lebih
tebal. Jika susunan anasir gigi tiruan yg lama terlampau ke palatal,
maka pasien akan merasa susunan giginya yg baru membuat bibir
menjadi penuh/tebal.

Hidung
Secara visual, diamati apakah ada kelainan/ defek pada hidung
pasien. Observasi menggunakan kaca mulut yg didekatkan ke lubang
hidung pasien utk melihat pernafasannya menggunakan hidung/mulut
dan hambatan-hambatan saat bernafas. Bila pasien bernafas melalui
mulut, akan menyulitkan proses pencetakan dan MMR.
Mirror Test

Observasi perubahan pada


nostril saat bernafas 
nasal respirasi

Bila tidak terdapat


perubahan pada nostril
saat bernafas oro nasal
respirasi
Warna Kulit dan Complexion
Utk tercapai estetik pasien saat memakai GT maka bentuk, warna,
posisi dan susunan gigi pada GT harus disesuaikan dgn warna kulit
dan complexion. Warna kulit juga membantu utk mengindikasikan
kondisi sistemik pasien, antara lain :
 Pucat (pallor) – mengindikasikan anaemia, hyperthyroidism atau
nephrosis, systemic disease mis.TB.
 Kemerahan (ruddy) - tanda polycythemia or neoplasm.
 Warna kulit coklat keemasan (bronzed) - Addison’s disease.
 Warna ungu yg memudar - defisiensi Vit B2
 Lemon-yellow complexion of jaundice dikaitkan dgn gallbladder, liver
atau bile duct disorders.
 Merah kebiruan (marred complexion/blemish) oleh lesi ulserasi dpt
tjd akibat basal cell dan squamous cell carcinoma
Modiolus
Merupakan suatu regio yang padat dan bergerak sebagai kesatuan
oot-otot bibir dan pipi, terletak sedikit inferior dan distal dari sudut
mulut. Regio ini didukung oleh gigi-gigi rahang atas.

Temporomandibular Joint (TMJ)


Perawatan prostodonsia terkait langsung dengan artikulasi TM, krn
oklusi merupakan salah satu komponen penting yg berperan dalam
keberhasilan perawatan GTP. Kondisi TMJ berpengaruh pada
keberhasilan GT dan utk pemakaian jangka panjang, GT akan
mempengaruhi kesehatan dan fungsi TMJ.
Pemeriksaan TMJ meliputi auskultasi dan palpasi TMJ, otot-otot terkait
pergerakan mandibula, dan analisis fungsional pergerakan
mandibula.
Palpasi Temporomandibular Joint (TMJ)
a. Lateral Palpation:
Menekan secara ringan pd prosesus kondiloid menggunakan jari
telunjuk, palpasi dilakukan pada kedua sisi. Catat bila ada nyeri
pada sendi saat dipalpasi dan pergerakan kondile yg iregular saat
membuka dan menutup mulut. Periksa juga koordinasi pergerakan
antara kondile sisi kanan dan kiri secara bersamaan.
Palpasi Temporomandibular Joint (TMJ)
b. Posterior Palpation:
Meletakkan jari pada meatus auditorius eksternal yg terletak
dibawah tragus dan permukaan posterior kondile lalu
menginstruksikan pasien utk membuka dan menutup mulutnya
perlahan-lahan.

Perhatikan!!
Adanya defleksi - deviasi atau
displacement saat membuka dan
menutup mulut
c. Auskultasi
• Memeriksa adanya joint sound (krepitasi (crepitus), clicking,
popping) menggunakan stetoskop.
Load Test (Tes beban kunyah) utk TMJ
Menggunakan teknik :
a. Cotton Roll test
menggigit gulungan kapas di regio anterior dan premolar selama
maksimal 60 detik. Bila saat menggigit gulungan kapas di regio
anterior, pasien bertambah nyeri  kelainan pada TMJ; bila
nyeri berkurang  kelainan pada otot.

b. Endfeel test
Pasien diminta membuka mulutnya selebar mungkin, lalu operator
menekan insisal gigi-gigi anterior RB hingga mandibula bergerak
ke bawah semaksimal mungkin. Catat lebar pembukaan mulut
pasien dan nyeri bila ada.
Cotton Roll test Endfeel test
Pergerakan Mandibula
Observasi pergerakan mandibula ketika :
a. Membuka dan menutup mulut
b. Protrusive dan Retrusive excursion
c. Lateral excursion

Pergerakan mandibula merupakan hasil dari kontraksi otot-otot yg


melekat pada mandibula dan digunakan untuk mastikasi, yaitu :
a. Otot masseter
b. Otot pterygoideus medialis
c. Otot pterygoideus lateralis
d. Otot temporalis
Otot digastricus, geniohyoid, mylohyoid dan platysma walaupun bukan
otot mastikasi tetapi berperan dalam depresi mandibula (bergerak ke
bawah).
Menurut Murphy (2008), penyimpangan yg terjadi saat
pergerakan mandibula membuka mulut terbagi :
a. Defleksi – bila tidak dapat kembali ke posisi semula
b. Deviasi – bila dapat kembali ke posisi semula

Defleksi Deviasi
Palpasi Otot Pterygoideus
Lateralis

Palpasi
Otot
masseter

Palpasi Otot temporalis


Muscular Development
Rongga mulut dikelilingi oleh otot-otot. Pergerakan rahang dan
jaringan lunak merupakan hasil aktivitas otot. Jika otot-otot sehat dan
koordinasi baik maka retensi & stabilitas GT tercapai.
Bila terdapat perkembangan otot yang berlebihan pada pasien,
maka memiliki kecenderungan kekuatan kunyah pasien besar.

Klasifikasinya menurut MM. House, yaitu :


Class 1. Heavy
Class 2. Medium
Class 3. Light
Tonus otot wajah
Pemeriksaan dilakukan dengan melakukan palpasi pada otot-otot
mastikasi, utk indikasi adanya keterbatasan dalam merestorasi kontur
wajah pasien.

Klasifikasi tonus otot wajah, yaitu :


Class 1. Tegangan otot normal, tonus dan posisi otot-otot mastikasi
normal, ekspresi wajah normal.
Class 2. Fungsi otot normal tetapi tegangan otot mulai meningkat.
Ekspresi wajah mulai menunjukkan perubahan.
Class 3. Tegangan dan fungsi otot tidak normal
(kaku dan keras). Ekspresi wajah kaku.
Evaluasi Neuromuscular
Diklasifikasikan menjadi : Normal dan Affected
Observasi terbagi menjadi :
a. Fungsi Bicara
Pasien yg dapat berbicara dengan baik (fonetik jelas) saat masih
mempunyai gigi-gigi asli ataupun saat memakai GTnya yg lama, tidak
akan memiliki masalah ketika beradaptasi fungsi bicara dgn GT yg
baru.Fungsi bicara juga menentukan kondisi kejiwaan pasien, yaitu :
1. Bicara terlampau cepat, jerky speech (tdk dapat mengontrol
volume dan pitch suara) – pasien hysterical
2. Berbicara dgn tekanan nada, menyela secara tiba-tiba utk
menyampaikan pertanyaan dan keinginannya – pasien exacting
3. Berbicara dgn nada yg monoton, tidak tampak antusias – pasien
indifferent, tetapi seringkali dijumpai juga pada pasien yg
philosophis.
Klasifikasi menurut kemampuan pasien saat berbicara/artikulasi :
Class 1 : Normal – artikulasi baik dengan atau tanpa GT
Class 2 : Affected – artikulasi berubah dengan atau tanpa GT.
Bila pasien tdk sedang memakai GT dan mengalami
kesulitan berbicara  cek kondisi sistemik dan lokal.
(mis. Pasien yg mengalami stroke).

b. Koordinasi neuromuscular
Pasien dgn koordinasi neuromuscular yang baik akan lebih mudah
beradaptasi dengan GT nya yang baru. Observasi dilakukan sejak
pasien datang dgn melihat adanya deviasi gerak tubuh, ekspresi
wajah yang menunjukkan adanya indikasi kelainan neuromuscular (mis.
Parkinson, bell’s palsy dll). Klasifikasi koordinasi neuromuscular yaitu:
Class 1 : Excellent/Baik
Class 2 : Fair/Cukup
Class 3 : Poor/Buruk
Analisa Senyum (Smile Analysis)

Menurut Sabri (2005),


komponen-komponen yg
berperan dalam
menentukan keseimbangan
senyum antara lain :
1. Garis Bibir
2. Lengkung Senyum
3. Kurvatur bibir atas
4. Ruang negatif lateral
bibir
5. Simetri senyum
6. Occlusal frontal plane
7. Gigi geligi
8. Gingiva
Patient with canted midline
Mucosa
Warna normal mucous membrane adalah coral pink.
Bila ditemukan kelainan pada mukosa maka harus dicari
penyebabnya, mis. merah pucat (suspect mild inflammation), merah
terang (suspect acute inflammation), magenta (suspect chronic
inflammation) dll. Terapi dpt dgn mengistirahatkan jaringan dari
pemakaian GT, menggunakan tissue conditioner atau tindakan bedah
(bila diperlukan).

Kondisi Mukosa , diklasifikasikan oleh MM House menjadi :


Class 1 : Sehat
Class 2 : Iritasi – mis. krn basis GT yg terlampau menekan mukosa.
Class 3 : Patologis – mis. penggunaan rubber suction disc pada basis
GT RA utk menambah retensi berakibat terjadi perubahan
pada mukosa palatum keras.
Ketebalan dan Resiliensi Mucosa (Mucosa
Thickness & Resilient)
diklasifikasikan oleh MM House menjadi :
Class 1 : Normal uniform densitas jaringan mucosa (± 1 mm).
padat tetapi tdk tegang dan ideal sebagai bantalan GT krn
resiliensi baik.
Class 2a: Mucosa tipis dan mudah teriritasi bila terkena tekanan
Class 2b: Ketebalan membran mucosa 2x batas normal
Class 3 : Mucosa tebal dan flabby – indikasi utk tindakan bedah krn
membuat GT tidak stabil.

Pemeriksaan resiliensi menggunakan burnisher dg penekanan pd area


edentulous, dikategorikan menjadi :
Normal – resiliensi baik; setelah penekanan, mucosa kembali spt
semula.
Abnormal – resiliensi buruk; mucosa tipis atau mobile
Perlekatan Frenulum dan Otot (Muscle and
Frenum Attachment)
Umumnya, semakin rendah perlekatan frenulum maka prognosis GT
semakin baik. Seluruh jaringan di sisi lingual mandibula
diklasifikasikan sebagai perlekatan muscular
Class 1: Perlekatan frenulum atau otot dekat dgn vestibulum dan
rendah  tdk mengganggu seal GT
Class 2: Perlekatan frenulum atau otot mendekati puncak ridge. Utk
membebaskan pergerakan frenulum, tepi basis GT diberi
cekungan sesuai posisi perlekatan frenulum.
Class 3: Berada pada puncak alveolar ridge / tinggi shg
mengganggu seal GT  perlu dilakukan frenektomi.

Perlekatan frenulum terhadap puncak alveolar ridge diobservasi


pada daerah yg tidak bergigi.
Ukuran Lengkung Rahang (Arch Size)
Ukuran lengkung rahang atas (maksila) dan rahang bawah
(mandibula) akan menentukan luas jaringan penyangga GT,
diklasifikasikan sbb :
Class 1: Besar/Large – ideal utk retensi dan stabilitas krn tinggi
alveolar ridge adekuat utk support & menahan gerakan lateral.
Class 2: Sedang/Medium – retensi & stabilitas baik tetapi tdk ideal
krn alveolar ridge mulai mengalami resorpsi.
Class 3: Kecil/Small – sulit utk mencapai retensi & stabilitas yg baik
krn alveolar ridge telah mengalami resorpsi shg support & resistensi
thd gerakan lateral berkurang.

Semakin besar ukuran lengkung rahang  stabilitas, retensi dan


support semakin baik.
Bentuk Lengkung Rahang
(Arch Form)
Klasifikasi menurut MM House :
Class I – Square atau persegi:
Bentuk ini mampu mencegah terjadinya
pergerakan rotasi.
Class II. – Tapering atau mengecil di bagian
anterior:
Bentuk ini mampu mencegah beberapa
pergerakan tetapi kurang ideal.
Class III. – Ovoid atau membulat:
Dikarenakan bentuknya yg membulat
resistensi thd pergerakan rotasi kurang baik.

Seringkali terjadi kombinasi bentuk lengkung


rahang, mis. square tapering, square ovoid.
Bentuk Palatum (Palatum Vault Form)
Class 1– U shaped
Retensi & stabilitas baik.
Class 2 – V shaped/Tapering
Retensi kurang krn peripheral seal
mudah terganggu.
Class 3 – Flat/Datar:
Resistensi terhadap gaya lateral
dan rotasi menurun.
Tinggi Residual Ridge (Height of the Residual Ridge)
Besar tulang alveolar yg tersisa, menentukan tinggi dukungan ridge
dan jaringan terhadap GT, klasifikasi berdasarkan kemampuan
menahan pergerakan adalah :
Class 1: Tinggi alveolar ridge adekuat utk memberi dukungan dan
menahan pergerakan horisontal/lateral basis GT.
Class 2 : Alveolar ridge telah mengalami resorpsi, tetapi tulang
alveolar yg tersisa masih dapat menahan gerakan lateral
basis GT.
Class 3 : Alveolar ridge hampir teresorbsi semua shg kurang mampu
menahan gerakan lateral basis GT.

IDEAL
Klasifikasi Tinggi Residual Ridge
(Height of the Residual Ridge)
Class I
Residual bone height of >21mm measured at the least vertical height
of the mandible. Class I maxillomandibular relationship

Class II
Residual bone height of 16-20mm.
Class I maxillomandibular relationship

Class III
Residual bone height of 11-15mm.
Class I, II, III maxillomandibular relationship

Class IV
Residual bone height of <10mm.
Class I,II, III maxillomandibular relationship
Klasifikasi Atrophy Stages pada maksila (gbr.A) dan mandibula
(gbr.B) menurut Atwood (1963); Cawood and Howell (1988) yaitu:
Stage 1: preextraction
Stage 2: postextraction
Stage 3: high well-rounded ridge
Stage 4: knife-edge shaped ridge
Stage 5: low well-rounded ridge
Stage 6: depressed bone level
Residual alveolar ridge contour / form
Maxillary Ridge Form
Class 1: U shaped arch (Square atau membulat) – support terhadap
GT baik krn permukaannya yg luas mampu menahan beban oklusal
dan dindingnya mampu menambah adhesi dan resistensi GT terhadap
daya yg melepas.
Class 2 : V-shaped (tapered atau knife ridge) – puncak ridge tajam
dan tidak mampu menerima beban kunyah shg timbul iritasi dan
ketidaknyamanan saat pemakaian GT. Retensi kurang baik krn
dindingnya yg landai cenderung menjadi tajam. Ridge yg tipis dan
tajam menghambat keberhasilan perawatan prostodontik.
Class 3: Flat (Datar) – support terhadap GT buruk krn tjd resorpsi
tulang alveolar sehingga tinggi ridge
berkurang akibatnya resistensi
terhadap daya horisontal buruk.
Mandibulary Ridge Form
Class 1 : Inverted U shaped (dinding ridge sejajar dgn ketinggian
medium hingga tinggi, puncak ridge luas dan sedikit
membulat)
Class 2: Inverted U shaped (ridge pendek dgn puncak datar)
Class 3: Unfavorable, terbagi dalam :
Inverted W (puncak ridge berbentuk huruf W)
Short Inverted V (puncak ridge tajam tetapi pendek)
Tall Thin Inverted V (puncak ridge tajam, tinggi dan tipis)
Undercut ridge contour (terdapat undercut pd kontur ridge)
Klasifikasi bentuk residual ridge menurut Moses, yaitu :
Class 1- Square/persegi
Class 2 – Square Ovoid/U shaped
Class 3 - Tapering/V shaped
Class 4 - Flat ridge/Datar
Class 5 - Irregular atau Undercut ridge (bulbous)

(BDJ, 2001)
Ketika gigi-gigi dicabut, residual ridge cenderung berada pada posisi
yg tidak sejajar. Ridge maksila dan mandibula yg tidak
sejajar/paralel akan memudahkan terjadinya pergerakan basis GT
saat gigi-gigi beroklusi sebagai efek dari gaya horisontal/transversal
yg bekerja pada GT.

Klasifikasinya yaitu:
Class 1 – Ridge maksila dan mandibula sejajar dgn bidang oklusal
Class 2 – Regio anterior ridge mandibula divergen dgn bidang
oklusal, ridge maksila sejajar dgn bidang oklusal
Class 3 – Regio anterior ridge maksila divergen terhadap bidang
oklusal, ridge mandibula sejajar dgn bidang oklusal atau
regio anterior ridge maksila dan mandibula divergen
terhadap bidang oklusal.
Idealnya ridge maksila dan mandibula sejajar tetapi kondisi ini jarang
ditemukan krn pd umumnya regio anterior RB berada lebih ke lingual
dari RA dan regio posterior RB berada lebih ke bukal dari RA.
Menurut Sears (1994), suatu titik pertemuan pada regio M1 dimana
garis ridge maksila bertemu dgn ridge mandibula disebut “ridge
crossing point” bila dilihat dari arah transversal. Resorpsi residual
ridge berakibat pd menyempitnya maksila dan melebarnya
mandibula shg ridge crossing point bergerak ke anterior.

Menurut Laney Smith, relasi ridge adalah posisi anteroposterior


mandibular residual ridge terhadap maxillary residual ridge ketika
rahang berada pada relasi sentrik dan dipisahkan oleh jarak yang
nantinya merupakan tempat GT. Tujuan menentukan relasi ridge
maksilomandibular pada rahang tidak bergigi ini adalah untuk
membantu penempatan/penyusunan anasir gigi tiruan.
Pola resorpsi maksila dan mandibula berbeda. Maksila resorpsi ke
arah atas dan dalam, sedangkan mandibula resorpsi ke arah bawah
dan keluar. Shg resorpsi residual ridge di maksila  centripetal, pd
mandibula  centrifugal.

Relasi ridge maksilomandibular diamati dari arah:


a. Sagital, utk melihat relasi ridge regio anterior maksila dan
mandibula. Terbagi menjadi : Normal/Orthognatic, Retrognathic
dan Prognathic.
b. Transversal, utk melihat relasi ridge regio posterior maksila dan
mandibula. Normal jika residual ridges hampir sejajar dan garis
yg menghubungkan antara midridge line di regio molar
membentuk sudut ≥ 80º terhadap bidang oklusal. Jika sudut <80º
maka stabilitas GT saat mastikasi berkurang dan pergerakan
lidah akan terhambat  solusi: modifikasi penyusunan anasir gigi
posterior.
Jarak ruang antar membantu utk estimasi susunan anasir gigi.
Bila jarak ruang antar rahang terlampau besar akibat resorpsi
alveolar ridge, maka retensi dan stabilitas GT menurun.
Bila jarak ruang antar rahang sempit, akan menyulitkan
penempatan anasir gigi tiruan, akan tetapi stabilitas GT dapat
tercapai krn gaya ungkitan (leverage forces) yg bekerja pada GT
menurun.

Klasifikasi ruang antar rahang yaitu:


Class 1 : Ideal – mengakomodasi penempatan anasir gigi tiruan
(±20 mm)
Class 2 : Excessive – jarak ruang antar rahang terlampau besar
Class 3 : Insufficient – jarak ruang antar rahang kecil
Ruang Antar Rahang (Inter-arch space atau Intermaxillary space)

Ket. Gbr (Geckili et al, 2011) :


A. Tampak depan
B. Tampak berkurangnya ruang intermaxilla
C. Analisa model
Sekresi saliva berasal dari :
a. Kelenjar parotid Fungsi saliva dalam rongga mulut:
b. Kelenjar submandibularis 1. Melembabkan dan lubrikasi
c. Kelenjar sublingual jaringan
2. Aksi solvent – melarutkan
Kuantitas aliran saliva : makanan dan stimulasi taste bud
a. Menurun (xerostomia) – 3. Mengubah konsistensi makanan
krn reaksi emosional (rasa utk memudahkan proses
takut), peny.sistemik, atrofi penelanan
kelenjar, efek samping 4. Fungsi digestive
obat. 5. Regulasi keseimbangan cairan
b. Meningkat (sialorrhea) – 6. Mengekskresi obat dan elektrolit
krn iritasi lokal, 7. Fungsi buffer
peny.sistemik, efek 8. Peripheral seal utk retensi GT
samping obat. 9. Oral galvanisme – timbul pada
Kualitas, kuantitas, viskositas, sifat adhesif dan kohesif saliva
mempengaruhi retensi dan stabilitas GT.
kuantitas banyak, konsistensi kental akan menyulitkan proses
pencetakan, memicu nausea, meningkatkan tekanan hidrostatik yg
berakibat hilangnya retensi GT.
kuantitas sedikit, konsistensi encer akan mengganggu seal GT.
bila peripheral seal baik maka viskositas saliva (kemampuan
menahan cairan utk mengalir) meningkat shg retensi bertambah

Klasifikasi saliva
Class I : Kuantitas dan konsistensi saliva normal
Class II : Kuantitas berlebih, konsistensi encer atau kental
Class III : Kuantitas menurun, xerostomia
Klasifikasi menurut MM House yaitu :
Class 1 : Normal
Class 2 : Subnormal (hiposensitif)
Class 3 : Supernormal (hipersensitif) – mudah mual/gagging.

Refleks Muntah (Gagging – Retching - Vomit)


Merupakan kontraksi involuntari otot palatum lunak yg mengakibatkan
retching (rasa ingin muntah)/mual hingga terjadi vomit.
Penyebab refleks muntah tinggi antara lain:
1. Faktor iatrogenik (mis. krn GT lama yg sudah tidak fit)
2. Gangguan organik (mis.Gangg. pd stimuli visual,auditory, olfactory)
3. Anomali anatomi (mis. palatum dangkal dan sempit, retraksi lidah)
4. Biomekanikal GT yg inadekuat (mis.sayap GT terlampau panjang)
5. Faktor psikologis

Harus ada komunikasi antara drg dgn pasien utk mengatasi problema ini, krn refleks
muntah yg tinggi, akan menyulitkan pencetakan, MMR dan insersi GT
diklasifikasikan menjadi :
Normal
Enlarged/Pembesaran (Bulbous Tuberositas)
terbagi menjadi : a. Bony Enlargement
b. Fibrous Enlargement

Utk mengidentifikasi jaringan keras atau lunak yg membesar maka


dilakukan pemeriksaan:
a. Radiografik panoramik
utk melihat kontur tuberositas secara keseluruhan, besar kontribusi
jaringan keras atau lunak terhadap pembesaran dan posisi sinus
maksilaris.
b. Klinis dgn menusukkan jarum suntik pada regio yg telah teranestesi
untuk menentukan ketebalan jaringan lunak.
Selain itu juga dilakukan evaluasi pada ruang intermaxillary/inter-
arch dgn cara memasukkan kaca mulut (dgn ketebalan ±2-2,5 m)
tegak lurus pd sisi bukal utk memperkirakan besar ruang yg cukup utk
ditempati oleh basis GT . Bila ruang yg tersisa tidak dapat
mengakomodasi penempatan GT (± 20 mm  10 mm utk GT RA &
10 mm utk GT RB) maka dilakukan tindakan bedah pre prostetik.

Ukuran tuberositas yg membesar akan mempengaruhi :


a. perluasan sayap GT krn adanya undercut di bukal dan palatal yg
besar berakibat sayap GT menghalangi pergerakan prosesus
koronoideus, border seal buruk  retensi &
stabilitas buruk.
a. berkurangnya ruang intermaxillary krn
tuberositas berkontak dg retromolar pad.
Jika tampak tulang yg adekuat dgn fibrous
tuberositas yang besar dan mobile sehingga
menyentuh residual ridge RB  tindakan
bedah preprostetik.

Jika pembesaran yg tjd adalah bony


enlargement dan mencapai perluasan sinus
maksilaris  tidak dilakukan tindakan bedah
preprostetik  pd pembuatan GT dilakukan
block out undercut dan atau memilih arah
pasang GT yg paling menguntungkan.
Vestibulum
Pemeriksaan pada regio yg tidak bergigi menggunakan kaca
mulut no 4 yg diposisikan tegak dan dimasukkan pada
mucobuccal fold.
Hasil pengukuran :
a. >1/2 diameter kaca mulut - vestibulum dalam/deep
b. <1/2 diameter kaca mulut - vestibulum dangkal/shallow

Bony Undercuts
Penonjolan tulang juga dapat ditemukan berupa tori pada
maksila dan mandibula, midline sutura maksilaris yg prominen
atau nasal spinalis anterior ataupun eksostosis pd regio tertentu.
Problem yg umumnya dijumpai pd kondisi tsb adalah tipisnya
mukosa yg menutupi tonjolan tulang tsb shg mengakibatkan
ketidaknyamanan atau ketidakstabilan GT.
diklasifikasikan menjadi ;
Class 1 - residual ridge dgn undercut tulang yang mengganggu
stabilitas dan retensi GT, kemungkinan membutuhkan
tindakan bedah preprostetik.

Class 2 – terdapat sedikit undercut tulang tetapi GT dapat


diinsersikan dgn cara merubah arah pasang atau
melakukan relief pada GT. Area yg akan direlief, diperiksa
menggunakan pressure indicating paste atau bhn cetak
alginat yang diaplikasikan pada permukaan cetak GT utk
melihat area yg paling terkena tekanan.

Class 3 – undercut tulang yg prominen shg harus dikoreksi dgn


tindakan bedah preprostetik, berada bilateral tetapi
koreksi bedah dpt dilakukan hanya di satu sisi.
diklasifikasikan menjadi :
Class 1: Tidak terdapat torus atau
ukurannya kecil dan tidak
mengganggu konstruksi GT.
Class 2: Ukurannya medium dan
menyulitkan pembuatan dan pemakaian
GT tetapi tidak memerlukan tindakan
bedah
preprostetik.
Class 3: Ukurannya besar, mengganggu
pembuatan dan pemakaian GT
terutama saat berfungsi shg harus
dilakukan tindakan
bedah preprostetik utk merekontur atau
menghilangkan undercut tsb.
Seringkali pada pasien dijumpai adanya torus palatina atau lingualis.
a. Torus pada maksila
Jika berukuran besar dan meluas hingga ke area post dam dan
peripheral seal maka dilakukan tindakan bedah preprostetik.
b. Torus pada mandibula
Jika berukuran besar sehingga mengurangi ukuran lidah di regio
anterior, maka dilakukan tindakan bedah preprostetik.

Apabila ukuran torus tidak terlampau besar, maka dilakukan relief


pada GT dan operator harus berhati-hati saat melakukan penekanan
di daerah tsb (mis.mencetak) krn tipisnya mukosa yg melapisi torus 
dpt timbul nyeri.
diklasifikasikan sbb:
Class 1: Horisontal dan pergerakan otot sedikit sehingga basis GT
dpt diperluas utk memungkinkan tercapainya posterior
palatal seal.
Class 2 : Palatum lunak membentuk sudut 45º terhadap palatum
keras. Penutupan jaringan oleh basis GT, lebih sedikit
dibanding class 1.
Class 3 : Palatum lunak membentuk sudut 70º terhadap palatum
keras. Penutupan jaringan oleh basis GT, sangat minimal.
merupakan relasi antara soft palate terhadap hard palate.
Klasifikasinya menurut MM House yaitu :

Class 1 : Luas dan bentuknya normal, berada ±5-12 mm distal dari


garis imajiner yg ditarik dari sepanjang distal tuberositas
maksilaris.

Class 2 : Medium dan bentuknya normal, berada ±3-5 mm distal


dari garis imajiner yg ditarik dari sepanjang distal
tuberositas maksilaris.

Class 3 : Umumnya pada maksila yg berukuran kecil, berada ±3-5


mm anterior dari garis imajiner yg ditarik dari sepanjang
distal tuberositas maksilaris.
Klasifikasi berdasarkan kedalaman dan luas sulcus retromylohyoid
menurut Neil yaitu :
Class 1: Dalam/Deep – kedalamannya 1/2 inch atau lebih dalam,
diukur dari mylohyoid ridge menuju dasar retro-mylohyoid fold,
terlihat ketika lidah sedikit dijulurkan ke depan. Posisi ini
menguntungkan utk stabilitas dan retensi GT krn mengakomodasi
sayap GT lebih panjang dan lebar.

Class 2: Sedang/Medium – kedalamannya kurang dari 1/2 inch,


diukur dari mylohyoid ridge menuju dasar retro-mylohyoid fold. Lebih
sempit dan pendek dibanding class 1 tetapi lebih panjang
dibandingkan class 3.

Class 3: Dangkal/Shallow – retromylohyoid fold sejajar dengan


mylohyoid ridge. Kurang menguntungkan utk stabilitas dan retensi GT.
Pemeriksaan dpt dilakukan menggunakan kaca
mulut no. 4 yang diinsersikan di daerah
retromylohyoid lalu diamati kedalaman
retromylohyoid space dan posisi retromylohyoid
fossa.
(bila >1/2 diameter kaca mulut no 4 = Deep;
bila <1/2 diameter kaca mulut no 4 = Shallow)
Mylohyoid Ridge
Pemeriksaan dilakukan dgn cara palpasi pada regio posterior sisi
lingual utk melihat adanya tonjolan tulang yang tajam atau normal.
Mucous membrane pada ridge mylohyoid yg tajam atau
permukaannya tdk teratur, akan mudah mengalami iritasi akibat
pemakain GT shg harus dilakukan relief pada basis GT.

Genial Tubercles
Ketika resorpsi residual alveolar ridge meningkat, maka genial
tubercles akan semakin prominen. Pemeriksaan dgn melakukan palpasi
pada regio anterior sisi lingual.
Klasifikasinya yaitu :
a. Normal
b. Tajam
Dasar Mulut (Floor of the Mouth)
Relasi dasar mullut terhadap puncak residual alveolar ridge
merupakan faktor yg penting utk menentukan prognosis GT RB. Bila
dasar mulut berada mendekati puncak residual alveolar ridge
(terutama di regio sublingual dan mylohyoid) maka akan mengurangi
retensi dan stabilitas GT. Pemeriksaan menggunakan Probe William,
dgn menginstruksikan pasien utk menjulurkan lidahnya hingga
menyentuh bibir atas lalu probe dimasukkan pada dasar mulut.
Klasifikasi menurut MM House, yaitu :
Class 1 : Ukuran, perkembangan dan fungsi lidah normal
Class 2 : Perubahan pd ukuran, bentuk dan fungsi lidah akibat
kehilangan gigi yg tidak digantikan oleh GT dalam jangka
waktu yg lama.
Class 3: Makroglosia atau ukuran lidah besar dan menutupi
residual ridge akibat kehilangan gigi yg tidak digantikan
oleh GT dalam jangka waktu yg lama.

Mobilitas Lidah
Utk melihat keaktifan gerakan lidah, dgn cara mengamati gerak lidah
saat kaca mulut diinsersikan dalam rongga mulut pasien. Gerakan
lidah yg terlampau aktif akan mengganggu pembuatan GT dan
adaptasi pasien terhadap GT.
diklasifikasikan oleh Wright, yaitu :
Class 1-Normal: Lidah menempati dasar mulut dan dibatasi oleh gigi-
gigi di RB. Sisi lateral lidah mengenai permukaan oklusal gigi
posterior dan ujung lidah pada tepi insisial gigi anterior.

Class 2 Retracted: Lidah tertarik krn dasar mulut tertarik ke bawah


dan ke belakang hingga regio molar. Sisi lateral lidah terangkat
hingga berada di atas bidang oklusal dan ujung lidah tertarik ke
bawah menuju dasar mulut.

Class 3 Retracted: Lidah kaku dan tertarik ke belakang dan ke atas.


Ujung lidah menggulung ke arah badan lidah dan sisi lateral lidah
menutupi permukaan oklusal gigi-gigi posterior RB.
1. Radiografik
Bertujuan utk mengevaluasi kondisi pasien sebelum dan sesudah
dilakukan perawatan prostodontik. Pemeriksaan radiografik yg
menyeluruh akan memberikan informasi mengenai :
a. Kondisi di bawah mucous membrane
b. Rasio panjang mahkota dan akar gigi
c. Inflammatory atau neoplastic origin
d. Abnormalitas mis. foreign bodies, sisa akar gigi yg tertinggal, gigi
impaksi, kelainan tumbuh kembang yg bervariasi.
e. Ketebalan lapisan submucosa yg menutupi tulang di regio
edentulous.
f. Lokasi kanalis mandibular & foramen mentalis terhadap basis GT.
g. Fragmen tulang yg tajam pada residual ridges.
h. Identifikasi osteoporosis dan jumlah resorpsi residual ridge.
Wical dan Swoope menemukan bahwa radiograf panoramik dapat
digunakan untuk menentukan besar resorpsi residual ridge, yaitu
dengan mengukur jarak antara batas inferior mandibula menuju batas
terbawah foramen mentale kemudian hasilnya dikalikan 3 (tiga), maka
akan didapatkan tinggi puncak alveolar ridge.

Klasifikasi tinggi puncak alveolar ridge menurut Wical dan Swoope


(diamati pada radiograf panoramik) :
Class 1 : Mild resorption – resorpsi alveolar ridge <1/3 dari tinggi
vertikalnya
Class 2 : Moderate resorption – resorpsi alveolar ridge 1/3 – 2/3
dari tinggi vertikalnya.
Class 3 : Severe resorption – resorpsi alevolar ridge >2/3 dari tinggi
vertikalnya.
2. Laboratoris, antara lain :
 Darah Lengkap
Apabila diperlukan untuk melihat :
a. Kadar glukosa darah utk pasien diabetes mellitus
b. Prosentase hemoglobin pada darah utk pasien anemia

 Tekanan Darah dan Denyut Nadi


Pada pasien suspek hipertensi terutama bila akan dilakukan
tindakan persiapan rongga mulut (mis.pencabutan dan bedah
preprostetik); pasien cardiovascular (CVD).

 Lain-lain
Bila dicurigai pasien menderita penyakit menular (mis. Hepatitis, HIV,
Tuberculosis); memiliki riwayat alergi.
3.Gigi Tiruan pasien yang pernah digunakan (Existing Denture)
Pemeriksaan pada gigi tiruan yang pernah digunakan pasien akan
memberikan informasi mengenai :
a. kelebihan dan kekurangan yg terdapat pada GT tersebut shg
membantu drg untuk mengkoreksi kekurangan tersebut.
b. pengalaman pasien dg GT lamanya, toleransi dan adaptasi pasien
terhadap GT serta esthetic values pasien.
c. karakteristik fisik, estetik dan anatomis GT termasuk bentuk, warna
gigi dan material yang digunakan.
Pemeriksaan pada gigi tiruan yang pernah digunakan pasien, yaitu:
a.Estetik, fonetik, retensi, stabilitas, perluasan sayap dan kontur
GT dinilai dgn kategori (1)baik/good, (2)cukup/fair & (3)
buruk/poor.
b.Relasi Sentrik dan Dimensi Vertikal Oklusi saat pasien memakai
GT. Dikategorikan menjadi (1) acceptable atau (2)unacceptable.
Jika “unacceptable”, maka diamati apakah DVO yg tercapai saat
memakai GT adalah (1) inadequate/DVO menurun atau
(2) excessive/DVO berlebih.
c.Orientasi Bidang Oklusal (Occlusal plane orientation)
Orientasi bidang oklusal yg tidak tepat sbg akibat penyusunan
anasir gigi atau perubahan pada tulang, seringkali menimbulkan
"reverse smile line" . Kondisi ini ditandai dgn gigi-gigi posterior RA
tampak ekstrusi dan gigi antagonisnya intrusi, sehingga gigi anterior
membentuk kurva yg tidak mengikuti lengkung bibir bawah.
Pemeriksaan pada gigi tiruan yang pernah digunakan pasien, yaitu:
d.Palatum
Observasi pada kondisi palatum pasien, ketebalan material basis
GT, fitur anatomis mis, rugae palatina pd permukaan cameo basis
GT. Ada kemungkinan bahwa pengguna GT telah beradaptasi baik
dg bentuk palatum tertentu dan menolak perubahan. Operator juga
harus mendengarkan dg cermat pola bicara pasien (terutama
prononsiasi huruf) ketika memakai GT lamanya. Penempatan rugae
atau perubahan pada ketebalan basis GT dapat mempengaruhi
prononsiasi pasien.
e.Post dam
Tepi posterior dari GT RA diperiksa utk mengevaluasi posisi garis
vibrasi dan seal GT. Seringkali retensi buruk krn post dam tidak
tepat. Penilaian post dam dikategorikan yaitu (1) acceptable atau
(2) unacceptable.
Pemeriksaan pada gigi tiruan yang pernah digunakan pasien, yaitu:
f. Midline/garis median
Observasi garis median pada maksila dan mandibula. Walaupun
terdapat diskrepansi antara garis median maksila dan mandibula,
sangat penting bila garis median maksila lurus dg garis median
wajah utk mencegah tjdnya disharmoni fasial. Garis median wajah
dievaluasi pada landmark intraoral (mis.incisive papilla) dan
landmark ekstraoral (mis.nasion, philtrum, pertengahan dagu).
Deviasi garis median maksila dicatat menurut besar dan arahnya
(mis.pergeseran garis median maksila 2mm ke kanan median wajah)
Penilaian garis median yaitu (1) acceptable atau (2) unacceptable.
g.Vestibulum Bukalis
• Merupakan komponen estetik dan fungsi yg penting bagi GT.
Penilaiannya yaitu (1) acceptable atau (2) unacceptable
Pemeriksaan pada gigi tiruan yang pernah digunakan pasien, yaitu:
h.Cross-bite/gigitan terbalik
Adanya gigitan terbalik unilateral atau bilateral dicatat untuk
mengantisipasi penyusunan anasir gigi. Informasi ini dimasukkan
dalam pemeriksaan klinis menggunakan kategori tidak ada,
unilateral atau bilateral.
i. Kenyamanan (Comfort)
Pasien ditanya terkait kenyamanannya saat menggunakan GT RA
dan RB. Pasien yg mengalami ketidaknyamanan, harus ditanyakan
penyebab dan alasan ketidaknyamanan tersebut. Penilaian
menggunakan kategori (1) acceptable atau (2) unacceptable.
j. Aus (Wear)
• Adanya keausan mengindikasikan kebiasaan parafungsional atau
diet makanan/minuman yg abrasif terhadap jaringan atau GT.
Observasi penyebab aus dan durasinya, lalu dikategorikan menjadi
(1) minimal, (2) moderate, atau (3) severe.
Pemeriksaan pada gigi tiruan yang pernah digunakan pasien, yaitu:
k.Hygiene
• Kemampuan dan motivasi pasien untuk membersihkan dan merawat
GTnya harus dinilai selama pemeriksaan klinis. Pasien juga ditanya
tentang bahan pembersih GTnya krn akan mempengaruhi kontur
basis GT (mis.kontur interdental dibuat rapat atau terbuka) dan
susunan anasir gigi (mis.perlu adanya diastema atau tidak).
Klasifikasi penilaian hygiene yaitu (1) baik/good, (2) cukup/fair,
dan (3) buruk/poor.
4.Pre-extraction records
Sebelum pencabutan, model studi dan radiograf pasien yg lama
dapat digunakan utk menentukan ukuran gigi, posisi dan susunannya
dan perubahan pd tulang alveolar. Foto pasien saat tersenyum dan
masih bergigi lengkap, membantu penyusunan anasir gigi agar
tercapai kepuasan pasien thd estetiknya.

5. Diagnostics Casts/Model Studi


Terkadang relasi ridge, ruang intermaksilari atau bentuk ridge dan
estimasi gaya yg bekerja pd GT tidak dapat ditentukan secara
adekuat dgn pemeriksaan klinik. Pencetakan anatomis dan MMR
pendahuluan utk mounting model studi pada artikulator diperlukan utk
melihat kondisi tersebut.
Glossary of Prosthodontic Terms (1997) :
“Treatment planning is define as the sequence of procedures
planned for the treatment of a patient after diagnosis”

Boucher (1997):
“Treatment plans should be developed to best serve the needs
of each individual patient”

Winkler (1977):
“Treatment planning means developing sequence of
procedures planned for the treatment of a patient
after diagnosis”
merupakan urutan prosedural yang direncanakan untuk
dilakukan terhadap pasien pasca diagnosis dalam upaya
memenuhi kebutuhan pasien.

Ketika merawat pasien geriatri,


faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan sebelum membuat
suatu rencana perawatan yaitu
(menggunakan mnemonic OSCAR) :
(tabel 1)
OSCAR membantu klinisi untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi
faktor kesehatan umum dan gigi pasien, farmakologik, fungsi dan
kondisi finansial pasien sebelum perawatan dilakukan.
• Oral. Klinisi menilai adanya perubahan pada mukosa rongga mulut,
jaringan periodontal dan kesehatan gigi pasien geriatri.
• Systemic. Faktor-faktor semacam perubahan sistemik yg terkait
dgn usia, problema kesehatan umum, pengobatan yg dilakukan dan
upaya komunikasi dgn tenaga kesehatan lain yg terkait merupakan
tantangan yg harus dihadapi oleh klinisi.
• Capability. Kemampuan pasien utk berfungsi akan berpengaruh
pada kemampuannya menerima perawatan GT (mis. Kemampuan
pasien utk menepati perjanjian kerja klinik, bila terdpt keterbatasan
fisik maka selama perawatan di klinik gigi memerlukan bantuan
atau tidak, kemampuan pasien utk memelihara kesehatan rongga
mulutnya)
• Autonomy. Utk tercapainya komunikasi yg baik dan persetujuan
perawatan maka perlu diketahui kemampuan pasien dalam
mengambil keputusan atau ketergantungan pasien kepada pihak
lain yg mengambil keputusan untuk dirinya.
• Reality. Suatu rencana perawatan dibuat berdasarkan kondisi
kesehatan pasien, prognosis, ekspektansi hidup, keterbatasan
finansial dan kemampuan utk menjaga oral hygiene.
Menurut Chiramana et al (2010), rencana Perawatan untuk
prostodonsia antara lain :
a. Tissue conditioning
b. Bedah preprostetik
c. Pemilihan artikulator
d. Pemilihan anasir gigi dan material basis GT
e. Karakterisasi GT
f. Diskusi antara drg dg pasien mengenai ekspektasi pasien
terhadap keberhasilan perawatan, pembiayaan, lama perawatan
dan tindakan persiapan rongga mulut yang dibutuhkan.
Panduan mengenai pertimbangan perawatan gigi dan modifikasinya pada
perubahan yg terjadi dalam rongga mulut pasien geriatri (tabel.4)
• Glossary of Prosthodontic Terms (1997) :
“a forecast as to the probable result of a disease or a
course of therapy”

Merupakan prediksi/perkiraan akan kemungkinan suatu penyakit


atau keberhasilan perawatan yang dilakukan pada pasien.

Dikategorikan menjadi :
a. Baik/Favourable
b. Buruk/infavorable
Menurut Critchlow & Ellis (2010) terdapat beberapa faktor yg
kemungkinan dapat mempengaruhi prognosis dan berperan sbg
indikator prognosis, antara lain :
1. Usia pasien
2. Status Sosial dan Demografik
3. Psychological factors and personality traits
4. Previous denture wearing experience
5. Expectations and attitudes
6. Residual ridge form and anatomy
7. Method of construction
8. Quality of dentures and changes over time
9. Aesthetics
1. Usia pasien
hanya terdapat 1 studi yg menyatakan bahwa pasien berusia
>60 thn mengalami kesulitan utk beradaptasi dgn GTnya yg baru.
Faktor ini tidak dapat digunakan sbg indikator, krn kebanyakan
studi dilakukan pd pasien yg telah mengalami masa edentulous,
tidak pada pasien yg sedang mengalami masa transisi dari
bergigi menjadi tidak bergigi.

2. Status Sosial dan Demografik


variabel yg terkait adalah jenis kelamin, status pernikahan, status
sosial dan ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kondisi tempat
tinggal, minat dan hobi, relasi dgn lingkungannya, riwayat
kesehatan. Tetapi faktor ini merupakan indikator yg lemah utk
digunakan.
3. Psychological factors and personality traits
Dari data yg tersedia, kemungkinan terdapat kaitan antara
neuroticism dan kemampuan pasien utk beradaptasi dgn GTnya.
Shg pada pasien dgn derajat neuroticism yg parah,
direkomendasikan utk dilakukan konseling sebelum pembuatan GTP
agar hasil perawatan baik. Akan tetapi belum ada studi yg
menguji keberhasilan konseling pd pasien neuroticism thd
perawatan GTP.

4. Previous denture wearing experience


pasien yg tdk memiliki pengalaman memakai GT terbukti lebih
merasa puas dgn GTnya dibandingkan pasien yg pernah memakai
GT. Pasien menilai GT dalam hal fungsi, kenyamanan dan
penampilan.
5. Expectations and attitudes
• Ekspektasi pasien dapat menjadi problema bagi drg krn sifatnya
subyektif dan sulit untuk diterjemahkan. Pasien mengindikasikan
keberhasilan perawatan dgn kemampuannya mengunyah tanpa ada
rasa nyeri dan GT tetap stabil. Menurut Fiske, sebelum pembuatan
GT, pasien harus dijelaskan tahapan kerja yg akan dilakukan dan
perubahan yg mungkin terjadi ketika GT dipasang.

Studi menemukan bahwa pasien dgn sosial status yg tinggi memiliki


ekspektasi yg lebih dibandingkan pasien dari status sosial rendah.
Sikap pasien terhadap GT juga berpengaruh pada keberhasilan
perawatan dan pasien yg memiliki pandangan negatif pada GT
nya cenderung tidak puas dgn hasil perawatan.
6. Residual ridge form and anatomy
• Asumsi tentang semakin baik bentuk ridge, maka GT akan semakin
stabil dan retentif dgn support yg baik shg dpt ditoleransi oleh
pasien. Pada studi yg dilakukan oleh Cawood dan Howell
menggunakan structural equation modelling pada anatomi ridge
mandibula yg favourable, menunjukkan adanya pengaruh antara
kondisi anatomi ridge terhadap stabilitas GT RB yg kemudian
mepengaruhi relasi rahang. Sehingga pasien menunjukkan
kepuasaan dalam hal penggunaan GT nya.
7. Method of construction
Beberapa studi menunjukkan ada kaitan antara teknik pembuatan
GT dgn kepuasan pasien akan tetapi masih dibutuhkan penelitian
lebih lanjut utk memilih mana teknik yg terbaik (kompleks atau
sederhana) yg dapat diaplikasikan ke pasien.
8. Quality of dentures and changes over time
• Studi oleh Fenlon dkk utk melihat bagaimana pasien menilai
perubahan yg terjadi pada GT nya dalam periode waktu tertentu.
Pasien diminta utk menilai GT nya saat insersi, 3 bulan setelah inseri
dan 2 tahun. Kemudian nilai tersebut dibandingkan (Table 2).

Perubahan yg terjadi tidak dipengaruhi kondisi saat insersi GT.


Problema yg timbul pada GT pasca insersi, berpengaruh negatif
pada kepuasan pasien, akan tetapi kemampuan pasien utk
mengunyah dan kenyamanan pasien thd GT nya meningkat krn
kemampuan adaptasi pasien baik.
9. Aesthetics
• Keterlibatan pasien dalam pemilihan estetik (mis.bentuk & warna
anasir gigi dll) merupakan faktor penentu kepuasan pasien thd GT.
Pada studi ditemukan bahwa persepsi pasien tentang estetik GT RA
nya akan mempengaruhi kepuasan pasien, selain itu pandangn
orang di lingkungan pasien juga berpengaruh.
Beberapa prosthodontist merekomendasikan utk dilakukan pasng
coba GT (try in) pada pasien dgn disaksikan oleh orang terdekat
pasien utk memastikan reaksi yg terjadi ketika pasien
menggunakan GT nya.
Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan perawatan adalah
Hubungan antara dokter gigi dan pasien
Studi oleh van Waas menemukan bahwa pasien yg menerima
perawatan GT dari dokter gigi dg ketrampilan klinik yg baik, secara
statistik hanya terjadi sedikit peningkatan kepuasan pasien thd GT
nya. Sedangkan pada studi terbukti bahwa hubungan yg terjalin
antara dokter gigi – pasien selama periode perawatan hingga 6
bulan pasca insersi berikut kenyamanan pasien dalam pelayanan dan
pembiayaan GT, terbukti signifikan aspek dalam keberhasilan dan
kepuasan pasien thd GT. Kemungkinan penyebab lainnya adalah
selama perawatan prostodonsia dan periode adaptasi, peran dokter
gigi sebagai konsultan penting bagi pasien.
Oleh karena itu faktor ini berperan penting dalam keberhasilan
perawatan GT.
 George A. Zarb, Charles L. Bolender. Boucher’s Prosthodontic treatment for
edentulous patients. Mosby publications. Co, 11th ed, 1997.
 Sandeep Chiramana, Ashok K. Examination, Diagnosis and Treatment Planning for
Complete Denture Therapy – A Review. J Orofacial Sciences 2 (3) 2010.
 Simon. B. Critchlow, Janice. S. Ellis. Prognostic indicators for conventional complete
denture therapy: A review of the literature. Journal of dentistry 38 (2010) 2-9.
 Alan A.Grant, Wesley Johnson. Removable Denture Prosthodontics. Churchill
Livingstone., 2nd ed. 1992.
 Deepak Nallaswamy. Text Book of Prosthodontics. Jaypee Brothers Pub. 2008.
 John F.McCord, Alan A.Grant. A Clinical Guid to Complete Denture. British Dental
Journal Vol 188 No 7. 2000
 Arthur O.Rahn, John R.Ivanhoe, Kevin D.Plummer. Text Book of Complete Dentures.
People’s Medical Publishing House. 6th ed. 2009
 The Glossary of Prosthodontics Terminology. 1997.
For Your Kind
Attention

Anda mungkin juga menyukai