Bab 3 Rencana Struktur Ruang PDF
Bab 3 Rencana Struktur Ruang PDF
Untuk mendukung struktur ruang yang direncanakan, wilayah Kota Bandung dibagi
menjadi delapan Subwilayah Kota (SWK) yang dilayani oleh delapan Subpusat Pelayanan
Kota (SPK) dan dua Pusat Pelayanan Kota (PPK). Pusat pelayanan kota melayani 2 juta
penduduk, sedangkan subpusat pelayanan kota melayani sekitar 500.000 penduduk.
Tabel III.1
Distribusi Penduduk Per Subwilayah Kota (SWK)
Rencana Distribusi Jumlah Penduduk
Jumlah Penduduk
No. Wilayah Tahun 2031
Tahun 2009
2015 2020 2025 2031
1. Bojonagara 400.660 444.760 481.510 518.260 555.010
2. Cibeunying 436.934 472.106 501.416 530.726 560.036
3. Tegallega 560.958 647.592 719.787 791.982 864.177
4. Karees 418.222 454.918 485.498 516.078 546.658
5. Arcamanik 198.380 244.700 283.300 321.900 360.500
6. Ujungberung 198.676 255.178 302.263 349.348 396.433
7. Kordon 179.255 224.009 261.304 298.599 335.894
8. Gedebage 92.220 122.622 147.957 173.292 198.627
Jumlah 2.485.305 2.865.885 3.183.035 3.500.185 3.817.335
Sumber: Hasil Analisis, 2009
1
Rumah sakit umum kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medis sekurang-kurangnya 11 spesialistik dan subspesialistik terbatas. Pelayanan medis
spesialistik luas adalah pelayanan medis spesialistik dasar ditambah dengan pelayanan spesialisitik
telinga, hidung, tenggorokan, mata, syarat, jiwa, kulit dan kelamin, jantung, paru, radiologi, anestesi,
rehabilitasi medis, patologis klinis, patologi anatomi dan pelayanan spesialistik lain sesuai kebutuhan.
Tabel III.2
Fungsi Khusus Subwilayah Kota
No. Wilayah Fungsi khusus
1. Bojonagara Pemerintahan, Pendidikan
2. Cibeunying Pendidikan, Industri, Perumahan
3. Tegallega Industri dan Pergudangan
4. Karees Perdagangan
5. Arcamanik Perumahan
6. Ujungberung Perumahan
7. Kordon Perumahan
8. Gedebage Perumahan
Sumber: Hasil Analisis, 2009
Adapun pembagian subpusat pelayanan kota (SPK) di Kota Bandung adalah sebagai
berikut:
a. Subwilayah Kota Bojonagara dengan Subpusat Pelayanan Setrasari, meliputi
Kecamatan Sukasari, Sukajadi, Cicendo, Andir;
b. Subwilayah Kota Cibeunying dengan Subpusat Pelayanan Sadang Serang meliputi
Kecamatan Cidadap, Coblong, Bandung Wetan, Sumur Bandung, Cibeunying Kidul,
Cibeunying Kaler;
c. Subwilayah Kota Tegallega dengan Subpusat Pelayanan Kopo Kencana,meliputi
Kecamatan Bandung Kulon, Babakan Ciparay, Bojongloa Kaler, Bojongloa Kidul,
Astana Anyar;
d. Subwilayah Kota Karees dengan Subpusat Pelayanan Maleer, meliputi Kecamatan
Regol, Lengkong, Kiaracondong, Batununggal;
e. Subwilayah Kota Arcamanik dengan Subpusat Pelayanan Arcamanik, meliputi
Kecamatan Arcamanik, Mandalajati, Antapani;
f. Subwilayah Kota Ujungberung dengan Subpusat Pelayanan Ujungberung meliputi
Kecamatan Cibiru, Ujungberung, Cinambo, Panyileukan;
g. Subwilayah Kota Kordon dengan Subpusat Pelayanan Kordon, meliputi Kecamatan
Bandung Kidul, Buah; dan
h. Subwilayah Kota Gedebage dengan Subpusat Pelayanan Derwati, meliputi
Kecamatan Gedebage, Rancasari.
Subpusat pelayanan kota minimum memiliki fasilitas skala subwilayah kota yang meliputi
fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan, sosial, olahraga/rekreasi, pemerintahan,
perbelanjaan, dan transportasi. Idealnya, fasilitas tersebut berada pada satu lokasi tetapi
bila tidak memungkinkan paling sedikit fasilitas tersebut berada di dalam wilayah yang
dilayaninya. Fasilitas minimum skala subwilayah kota yang dimaksud antara lain:
a. pendidikan: perguruan tinggi dan perpustakaan;
b. kesehatan: rumah sakit kelas C;
c. peribadatan: masjid dan tempat ibadah lain;
d. bina sosial: gedung serba guna;
e. olahraga/rekreasi: stadion mini, gedung pertunjukan, taman kota;
Pusat lingkungan terdiri dari pusat-pusat pelayanan pada sjala kecamatan dan kelurahan.
Pusat paling sedikit dilengkapi oleh fasilitas sebagai berikut:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. peribadatan;
d. bina sosial;
e. olahraga/rekreasi;
f. pemerintahan;
g. perbelanjaan/niaga;
h. transportasi;
i. TPS (Tempat Penampungan Sampah Sementara)
Kebutuhan Tahun
Perkiraan
Ujungberung
Bojonagara
Cibeunying
Arcamanik
Tegallega
2031
Derwati
Kordon
Fasilitas
Karees
Jumlah penduduk tahun 2008 2335406 396391 413473 494936 401074 198868 185731 139355 105578
Jumlah penduduk tahun 2031 4093256 555010 560036 864177 546658 360500 396433 335894 198627
1. Pendidikan
a. TK 447 331 315 340 339 371 366 372 391 3274
b. SD 924 154 132 134 145 247 253 269 302 2558
c. SLTP 213 57 53 79 67 96 88 98 105 852
d. SLTA 219 61 45 85 55 100 93 92 106 852
e. Taman Bacaan 0 205 205 205 205 205 205 205 205 1638
2. Kesehatan
a. Posyandu 1842 117 84 79 397 233 234 314 319 3274
b. Balai Pengobatan Warga 558 130 110 98 111 147 157 155 174 1638
c. BKIA/Klinik Bersalin 748 -136 -100 -120 -94 -39 -55 -33 -35 136
d. Puskesmas Pembantu & 0 -17 -17 -17 -17 -17 -17 -17 -17 136
Balai Peng. Ling.
e. Puskesmas & Balai 71 -5 -9 -9 -8 -5 -3 -1 1 34
Pengobatan
f. Tempat Praktek Dokter 4144 -1172 -1021 -469 -572 11 -62 -78 35 818
g. Apotik/Rumah Obat 102 -2 -11 13 -27 17 15 12 17 136
3. Ruang Terbuka, Taman, & Lapangan Olahraga (dalam m2)
a. Taman/Tempat Main 1294451 395.077 -108.223 491.571 213.516 511.657 352.731 511.657 430.819 16374
Gambar 3. 1
Peta Rencana Pengembangan Terminal
TB
T
T
T T T
T
T
T
TB
T T
Untuk menunjang perkembangan Kota Bandung dan sesuai dengan rencana dalam
RTRWN, bandara Husein Sastranegara tetap dipertahankan. Fungsi pelayanannya
ditingkatkan dengan:
a. peningkatan pelayanan bandar udara dengan perbaikan lingkungan sekitar agar
memenuhi persyaratan keselamatan penerbangan internasional dan pelayanan
angkutan dari dan ke bandara (internal kota);
a. Permasalahan makro
Pada saat ini rasio elektrifikasi di Kota Bandung baru mencapai sekitar 50%. Hal ini
disebabkan karena kurangnya supply listrik di Kota Bandung. Pada tahun 2013
kebutuhan energi listrik di Kota Bandung adalah 4.100 GWh (asumsi rasio elektrifikasi
77,3%), sedangkan pada tahun 2007 energi listrik yang dapat disediakan hanya 3.127
GWh. Supply listrik di Kota Bandung merupakan bagian dari interkoneksi Jawa-Bali,
yang bersumber dari pusat-pusat pembangkit, seperti Pusat Pembangkit Listrik
Saguling, Cirata, dan Jatiluhur.
Tabel III.5
Perkiraan Kebutuhan Listrik Kota Bandung
Rasio Kebutuhan Listrik
Jumlah
Tahun Elektri- Rumah Lain- Total
Penduduk Sosial Bisnis Publik Industri
fikasi Tangga lain
2010 2824642 71,3 1.176.158 102.428 656.953 77.704 1.486.975 42.384 3.542.603
2015 3141812 81,3 1.491.707 129.908 833.206 98.551 1.885.912 53.755 4.493.040
2020 3458982 91,3 1.844.302 160.615 1.030.150 121.846 2.331.685 66.461 5.555.058
2025 3776152 100 2.205.273 192.051 1.231.774 145.694 2.788.048 79.469 6.642.308
2031 4093322 100 2.390.500 208.182 1.335.234 157.931 3.022.224 86.144 7.200.215
Sumber: Hasil Analisis, 2009
b. Permasalahan mikro
Permasalahan pada skala mikro, terkait dengan pola distribusi jaringan listrik, dimana
pembangunan atau penambahan jaringan listrik di Kota Bandung mengikuti
perkembangan guna lahan, bukan sebaliknya. Ketidakteraturan dalam penyebaran
Rencana sistem jaringan energi yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut:
a. peningkatan kualitas pelayanan jaringan listrik di Wilayah Bandung Barat;
b. pengembangan jaringan listrik ke Wilayah Bandung Timur dengan sistem bawah
tanah;
c. pembangunan instalasi baru dan pengoperasian instalasi penyaluran di tiap SPK;
d. pembangunan jaringan transmisi tenaga listrik (SUTUT, SUTET maupun SUTT)
wajib menyediakan lahan sebagai wilayah pengamanan tapak tower sesuai
ketentuan dan aturan yang berlaku; dan
e. pengembangan jaringan udara terbuka dengan menggunakan tiang yang memiliki
manfaat sebagai jaringan distribusi dan penerangan jalan.
Berdasarkan data tahun 2007, kapasitas sentral di Kota Bandung terdiri dari 563.823 unit.
Dari jumlah tersebut, terdapat 433.157 unit yang terpakai dengan jumlah pelanggan
sebesar 422.000 unit. Sementara itu di Kota Bandung pada tahun yang sama terdapat
15.329 telepon koin dan 9.625 wartel. Sediaan sarana dan prasarana telekomunikasi saat
ini diperkirakan masih mencukupi hingga tahun 2018-2019. Dengan berkembangnya
teknologi telepon selular, kebutuhan akan sambungan telepon kabel diprediksikan akan
menurun. Dengan kondisi ini, kapasitas sentral yang ada diprediksikan dapat memenuhi
kebutuhan setelah tahun 2019.
Permasalahan yang berkaitan dengan sarana dan prasarana telekomunikasi lebih terkait
dengan perkembangan teknologi telepon selular, yaitu keberadaan tower/menara operator
telepon selular. Pengaturan tower ini perlu mendapat perhatian, karena disamping dapat
mengganggu estetika ruang kota, juga membutuhkan lahan, dan dapat menimbulkan
radiasi bagi masyarakat di sekitarnya.
Rencana untuk mengatasi masalah ini adalah dengan pengaturan sebaran lokasi dan
pembangunan menara telekomunikasi bersama.
Proyeksi kebutuhan air bersih domestik Kota Bandung 2009-2031 adalah sebagai
berikut:
Tabel III.6
Proyeksi Kebutuhan Air Bersih Domestik di Kota Bandung 2009-2031
Jumlah Penduduk Menurut Air Bersih
Tahun
Proyeksi (jiwa) l/orang/hari l/hari l/detik
2009 2.761.184 120 331.342.080 3.835
2010 2.824.616 120 338.953.920 3.923
2015 3.141.776 125 392.722.000 4.545
2020 3.458.936 130 449.661.680 5.204
2025 3.776.096 140 528.653.440 6.119
2031 4.093.256 145 593.522.120 6.869
Sumber: Hasil Analisis, 2009
Proyeksi total kebutuhan air bersih menurut jenis fasilitas Kota Bandung pada tahun
2031 adalah sebagai berikut:
Tabel III.7
Jumlah Kebutuhan Air Bersih Kota Bandung
Jumlah Kebutuhan Air Bersih (l/detik)
No. Jenis Fasilitas
2009 2031
1. Domestik 3.835 6.869
2. Non-Domestik
Fasilitas Pendidikan 159 345
Fasilitas Peribadatan 51 51
Fasilitas Kesehatan 74 84
Kebutuhan air minum akan dipenuhi dari sumber air baku dari air tanah, air sungai, dan
waduk. Jaringan penyediaan air minum terpadu dengan sistem jaringan air minum di
wilayah Cekungan Bandung.
Gambar 3. 2
Ketersediaan Air dan Rencana Pengembangan Sumber Air Baku Di Cekungan Bandung
Berdasarkan potensi sumber air yang ada, maka diperoleh alternatif untuk pemenuhan air
bersih sampai tahun 2031 sebagai berikut.
Tabel III.8
Alternatif Pemenuhan Kebutuhan Air 2031
Penambahan Air
Sumber Air Baku Baru
l/detik
Waduk Santosa
Sungai Cisangkuy 1400
Dari tabel di atas diperkirakan diperoleh pasokan air bersih sebesar 5.270 l/detik,
sementara tambahan kebutuhan air bersih hingga tahun 2031 sebesar 5.269 l/detik.
Dengan demikian bila alternatif di atas dapat direalisasikan serta upaya penghematan air
dan pengurangan tingkat kebocoran, maka kebutuhan air bersih hingga 2031 dapat
terpenuhi.
Selain itu program pengembangan air baku pada tahun 2004-2013 yang belum terealisasi
juga dapat menjadi alternatif pengembangan yang dapat direalisasikan pada tahun 2011-
2031 tentunya dengan studi yang lebih dalam.
Rencana pengembangan prasarana air bersih dan air baku adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan pasokan air baku dari sumber mata ar yang ada
2. Optimalisasi jaringan air baku dan menambah pengadaan pompa
3. rehabilitasi sarana dan prasarana air baku
4. relokasi pipa transmisi
Sampai saat ini hanya 85% dari kapasitas produksi terpasang yang telah
dimanfaatkan. Beberapa rencana tindak perbaikannya adalah:
a. menambah pasokan air baku dari Dago Bengkok sebesar 300 l/detik
b. dalam hal pasokan dari sungai Cikapundung bisa ditingkatkan, maka dilakukan
uprating IPA Badang Singa;
c. optimalisasi pipa yang masuk ke Sungai Cikapundung dan menambah pengadaan
pompa sebesar 200 l/detik;
d. rehabilitasi bangunan air Dago Pakar ke tempat yang lebih rendah;
e. rehabilitasi dan peningkatan bangunan air Cipanjalu dan pipa transmisinya
menjadi paling sedikit 60 l/detik;
f. rehabilitasi dan peningkatan bangunan air Cirateun menjadi 5-10 l/detik;
g. relokasi pipa transmisi atau pembangunan IPA tambahan;
h. penataan dan rehabilitasi pipa transmisi di Bandung Utara dan memanfaatkan
potensi mata air Cikareo;
i. menyesuaikan dimensi Bak Prasedimentasi di Bantarawi
5. Cakupan pelayanan masih sangat kurang, sedangkan potensi pelanggan cukup
banyak. Rencana tindak perbaikannya adalah:
a. peningkatan cakupan pelayanan di wilayah Bandung Timur;
b. penyusunan rencana pelayanan di semua daerah pelayanan secara terintegrasi
dan transparan untuk mencapai 10.000 pelanggan baru pertahun.
6. Mengendalikan debit air limpasan pada musim hujan dan penggunaan air tanah.
Pada saat ini, banyak daerah-daerah di Kota Bandung yang tergenang pada saat
musim hujan, namun mengalami kekeringan pada musim kemarau. Langkah untuk
mengendalikan debit air limpasan pada musim hujan, dan mempergunakannya pada
musim kemarau merupakan langkah yang cukup penting untuk mencapai dua tujuan,
yaitu pengendalian banjir dan penyediaan air pada musim kemarau. Penggunaan air
tanah secara liar, baik untuk keperluan domestik maupun industri, menyebabkan
penggunaan air tanah secara tidak terkendali. Bila hal ini tidak dikendalikan, maka
Dari tabel di atas terlihat bahwa pada tahun 2031 produksi air limbah diperkirakan
mencapai 5.824 l/detik. Kapasitas pelayanan IPAL Bojong Soang hanya 936 (l/dtk),
sedangkan pada tahun 2009 saja produksi air buangan Kota Bandung sudah
mencapai 3.310 l/dtk. Dengan demikian, terlihat bahwa kondisi pelayanan air kotor
masih jauh dari yang dibutuhkan sehingga perlu penambahan kapasitas jaringan air
kotor dan IPAL. Namun demikian, pengembangan sistem publik prasarana air kotor ini
tidak memungkinkan untuk dikembangkan dalam jangka pendek, mengingat investasi
yang cukup besar, dan perbaikan kondisi air bersih lebih mendapatkan prioritas.
Rencana lokasi IPAL baru Kota Bandung berdasarkan perencanaan tahun 2004-2013
yang belum terealisir dapat menjadi alternatif pengembangan pada tahun 2011-2031
tentunya dengan studi yang lebih dalam.
Dalam menentukan lokasi IPAL yang tepat, faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan
yaitu:
1. Ketersediaan lahan yang memadai
2. Jarak terhadap badan air penerima
3. Ketersediaan sarana jalan dan listrik
4. Berada jauh dari pemukiman penduduk
5. Lokasi yang apabila ditinjau dari topografinya memungkinkan untuk pengaliran
secara gravitasi
6. Tata ruang kota, atau tata guna lahan kota.
Rencana sistem pengelolaan air limbah Kota Bandung adalah sebagai berikut:
a. revitalisasi IPAL Bojongsoang;
b. optimalisasi dan pengembangan pelayanan sistem terpusat pada wilayah-wilayah
yang sudah terlayani; dan
c. pengembangan sistem pengolahan air limbah publik setempat bagi wilayah yang
tidak terlayani saluran air limbah terpusat dengan prioritas di permukiman kumuh.
Pengembangan jaringan air limbah secara lebih detail adalah sebagai berikut :
1. Untuk jangka pendek pengembangan pelayanan air limbah lebih ditekankan pada
pengoptimalan sistem yang sudah ada. Air limbah di wilayah Bandung Barat belum
tertangani secara optimal. Air limbah dari daerah tangkapan barat masih dialirkan
langsung ke badan air (sungai Citepus) daerah Karasak. Air limbah dari daerah
tangkapan ex jaman Belanda secara langsung dibuang ke sungai Citepus
sehubungan dengan bangunan inhoftank ex Belanda yang sudah tidak berfungsi
lagi.
Rencana tindak perbaikannya adalah:
a. Penyambungan dari tangkapan Nyengseret dan inhoftank ke trunk sewer barat
berupa pemasanga pipa 800 mm dengan sistem jacking sepanjang jalan
infoftank.
b. Penggabungan daerah tangkapan barat ke Trunk Sewer bagian Timur berupa
pemasangan pipa-pipa 110 mm dengan sistem jacking sepanjang jalan
Soekarno Hatta dari simpang inhoftanksampai dengan MH. Eksisting (samsat)
dan pebangunan bangunan pumping.
2. Kinerja IPAL Bojongsoang belum optimal. Terganggunya proses kolam akibat
adanya daerah mati (dead zone) yang menyebabkan sistem aliran pada kolam
facultatif tidak baik. Pertumbuhan rumput pada areal kolam tidak dapat tertangani
untuk seluruh areal kolam. Terjadi penumpukan lumpur pada bak penampung
(slump well).
Rencana tindak perbaikannya adalah:
a. Revitalisasi IPAL Bojongsoang
b. Perbaikan kolam plus unit bak pengering lumpur dan pengangkat lumpur kolam
(sludge pump)
c. Kajian teknis IPAL Bojongsoang untuk pengabungan buangan air kotor
Bandung Barat.
d. Pemanfaatan saluran Air Kotor yang tersedia belum optimal. Keterbatasan pipa
pengumpul di wilayah timur.
3. Masih rendahnya kapasitas air limbah yang masuk ke Instalasi Pengolahan
Bojongsoang dan pencemaran air limbah domestik terhadap sungai masih cukup
tinggi.
Rencana tindak perbaikannya adalah:
a. Pengembangan pemasangan jaringan pipa air kotor diprioritaskan yang
berlangganan air minum.
b. Optimasi pelayanan sistem terpusat pada wilayah-wilayah yang sudah dilayani
sistem tersebut. Di wilayah pelayanan sistem terpusat, masih terdapat juga
rumah tangga yang belum menjadi pelanggan dari sistem terpusat.
Berikut adalah proyeksi timbulan sampah Kota Bandung sampai dengan tahun 2031
dengan menggunakan data timbulan sampah tahun 2006 dari PD Kebersihan Kota
Bandung.
Tabel III.10
Proyeksi Timbulan Sampah Kota Bandung 2009-2031
Jumlah Timbulan sampah (liter/hari)
Tahun Penduduk
Pemukiman Pasar Jalan Komersial Institusi Industri Jumlah
Tahun 2031
2006 2.296.848 5.742.120 1.708.496 502.445 545.226 255.774 122.881 8.876.941
2009 2.761.208 6.903.020 1.813.069 533.199 578.598 271.429 130.402 10.229.717
2010 2.824.642 7.061.605 1.849.331 543.863 590.170 276.858 133.010 10.454.836
2015 3.141.812 7.854.530 2.041.811 600.469 651.595 305.673 146.854 11.600.931
2020 3.458.982 8.647.455 2.254.324 662.966 719.414 337.488 162.138 12.783.785
2025 3.776.152 9.440.380 2.488.956 731.968 794.291 372.614 179.014 14.007.222
2031 4.093.322 10.233.305 2.748.008 808.152 876.962 411.396 197.646 15.275.468
Sumber: Hasil Analisis, 2009
Dari hasil perhitungan diperoleh total sampah terangkut ke TPAS pada tahun 2031
sebesar 6.449 m3/hari, sementara itu kapasitas TPAS yang ada sekarang sebesar
3.837.899 m3. Dengan menggunakan asumsi bahwa volume sampah yang terangkut
ke TPAS rata-rata dari tahun 2010 – 2031 adalah tetap sebesar 5.928 m3/hari maka
umur TPAS sekarang adalah sekitar 1,7 tahun lagi. Analisis ini belum
mempertimbangkan volume sampah yang dihasilkan sejak TPAS dibuka hingga tahun
2009, dengan demikian umur TPAS sebetulnya lebih pendek dari 1,7 tahun.
Melihat dari ketersediaan lahan di wilayah Kota Bandung, maka lokasi baru TPAS
kemungkinan besar berada di Bandung Timur, namun demikian diperlukan studi
kelayakan lebih lanjut baik secara teknis maupun sosial ekonomis dan lingkungan.
Pada gambar berikut ini adalah kemungkinan daerah yang dapat dijadikan TPAS.
Tabel di bawah ini menunjukkan calon lokasi dan wilayah pelayanan TPAS baru di
Kota Bandung serta kondisi kelayakan lahan tersebut saat ini.
Tabel III.12
Alternatif Lokasi TPAS Terpadu
Wilayah
Calon Lokasi Keterangan
Pelayanan
Berikut ini adalah peta perencanaan perbaikan sistem persampahan Kota Bandung
dan penambahan TPAS baru yang merupakan pengembangan dari sistem
persampahan 2004-2013 yang perlu dilakukan pengkajian lebih dalam.
Secara umum sistem drainase di Kota Bandung terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu
drainase makro dan drainase mikro. Saluran pembuangan makro adalah saluran
pembuangan yang secara alami sudah ada di Kota Bandung, yang terdiri dari 15
sungai sepanjang 265,05 km. Saluran pembuangan mikro adalah saluran yang
sengaja dibuat mengikuti pola jaringan jalan. Namun, sekitar 30% ruas jalan belum
memiliki saluran drainase sehingga beberapa daerah rawan banjir dan genangan.
Kondisi saluran mikro ini di beberapa tempat terputus (tidak berhubungan dengan
saluran di bagian hilirnya). Pada saat ini hanya sekitar 70% ruas jalan yang memiliki
saluran drainase. Secara keseluruhan sistem drainase di Kota Bandung masih belum
terencana dengan baik. Pada tahun 2001 luas daerah genangan banjir di Kota
Bandung sebesar 314.9 Ha, dengan penyebaran Bandung Barat 90.4 ha, Bandung
Timur 197 ha, dan Bandung Utara 27.5 ha.
Penyebab terjadinya daerah rawan banjir ini adalah karena tertutupnya street inlet oleh
beberapa aktivitas sehingga air hujan tidak bisa masuk ke dalam saluran drainase,
adanya pendangkalan di beberapa bagian saluran, konstruksi drainase yang tidak
sesuai dengan kebutuhan di lapangan, serta pengalihfungsian lahan dari kondisi alami
menjadi lahan dengan fungsi komersil seperti pertokoan, mall, jalan, perumahan, dan
lain lain sehingga tutupan lahan pun berubah yang meningkatkan debit limpasan.
Sedangkan usaha perbaikan spesifik untuk daerah rawan genangan adalah sebagai
berikut :
Gambar 3. 5
Rencana Perbaikan Drainase Spesifik Daerah Genangan
Penyediaan ruang dan jaringan untuk pejalan kaki menjadi penting untuk menunjang
kegiatan di kawasan perkotaan dan secara tidak langsung mempengaruhi sistem
transportasi dengan mengurangi beban jalan akibat hambatan samping pejalan kaki
yang berjalan di bahu/badan jalan.
Dalam rencana penyediaan dan pemanfaatan prasana dan sarana jaringan jalan
pejalan kaki, bentuk penyediaan fasilitas pejalan yang dimaksud adalah (juga tertera
pada Tabel 3.13 di bawah ini):
Fasilitas utama, berupa jalur untuk berjalan, yang dapat di buat khusus sehingga
terpisah dari jalur kendaraan, namun trotoar tidak termasuk ke dalam jenis ini.
Fasilitas penyeberangan yang diperlukan untuk mengatasi konflik dengan moda
dan angkutan lainnya.
Fasilitas terminal untuk berhenti atau istirahat pejalan dapat berupa bangku-
bangku, halte beratap atau fasilitas lainnya.
Kriteria penempatan lokasi prasarana dan sarana jaringan jalan pejalan kaki adalah
sebagai berikut:
Pada daerah-daerah perkotaan secara umum yang jumlah penduduknya tinggi.
Pada jalan-jalan yang memiliki rute angkutan umum yang tetap.
Pada daerah-daerah yang memiliki aktivitas kontinyu yang tinggi seperti misalnya
jalan-jalan pasar dan perkotaan.
Pada lokasi-lokasi yang memiliki kebutuhan/permintaan yang tinggi dengan periode
yang pendek seperti misalnya stasiun-stasiun bis dan kereta api, sekolah, rumah
sakit maupun lapangan olah raga.
Pada lokasi yang mempunyai permintaan yang tinggi untuk hari-hari tertentu,
misalnya lapangan/gelanggang olah raga dan mesjid.
Tabel III.15
Kriteria Lokasi Jalur Pejalan Kaki
Kepadatan Perumahan
Fungsi Komersial
Rendah Sedang Tinggi
Arteri Dua sisi jalan Dua sisi jalan Dua sisi jalan Dua sisi jalan
Kolektor Dua sisi jalan Dua sisi jalan Dua sisi jalan Dua sisi jalan
Lokal Dua sisi jalan Diharapkan ada Satu sisi jalan Dua sisi jalan
tapi tidak
diperlukan
Sumber: Hasil Analisis, 2009
Bentuk ruang evakuasi bencana yang dimaksud dalam rencana ini dijelaskan sebagai
berikut:
Ruang evakuasi bencana dapat berupa ruang yang bersifat permanen dan
temporer yang berfungsi menjamin keamanan dan keselamatan bagi para
pengungsi
Ruang evakuasi bencana ditempatkan di ruang-ruang terbuka publik seperti
lapangan, taman, dan memanfaatkan fasilitas umum seperti gedung atau lapangan
sekolah
Jalur evakuasi merupakan jalur yang mudah diakses baik oleh orang maupun
kendaraan
Titik atau pos evakuasi bencana dapat berupa ruang terbuka yang berada di
lingkungan lokal seperti lapangan olahraga, taman RT/RW, dll, yang sifatnya
sebagai tempat penampungan sementara
Berikut ini skema evakuasi bencana yang menunjukkan alur evakuasi di tingkat
lingkungan sampai pada ruang evakuasi bencana di tingkat kota.
Gambar 3. 6
Skema Evakuasi Bencana
Rencana pengembangan jalur evakuasi bencana ini meliputi bencana banjir dan
lonsor:
a. Rencana jalur evakuasi bencana banjir meliputi : Jalan Soekarno Hatta; Jalan Pelajar
Pejuang; Jalan BKR; Jalan Pasirkoja; Jalan Gedebage; Jalan Cimencrang; Jalan Tol
Dalam Kota; Jalan Sejajar Tol; dan Jalan Tol Purbaleunyi.
b. Rencana jalur evakuasi bencana longsor meliputi : Jalan Ir. H. Juanda; Jalan Siliwangi;
Jalan Cisitu; Jalan Ciumbuleuit; Jalan Setiabudhi; Jalan Dipatiukur; Jalan P.H.H
Mustofa; dan Jalan A.H Nasution.