Anda di halaman 1dari 21

MENAKSIR KERAPATAN POPULASI HEWAN DENGAN METODE

CUPLIKAN KUADRAT

Disusun Oleh :
Nama NIM
Retno Juliana B1J009045
Nina Rohati B1J009081
Devi Olivia M B1J009088
Sukenda B1J009090
Yunika Rachman B1J009092
Haryanto B1J009099
Yeni Kusuma W B1J009101
Kelompok : 10
Asisten : Elisabet R R B H

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI HEWAN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2012
I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Keberadaan dan kepadatan suatu populasi suatu jenis hewan tanah di suatu
daerah sangat tergantung dari faktor lingkungan. Faktor lingkungan ada dua yaitu
lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Kehidupan hewan tanah sangat tergantung
pada habitatnya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis hewan tanah
di suatu daerah sangat ditentukan keadaan daerah itu (Odum, 1998).
Menurut Heddy (1989), faktor lingkungan abiotik secara besarnya dapat dibagi
atas faktor fisika dan faktor kimia. Faktor fisika antara lain ialah suhu, kadar air,
porositas dan tekstur tanah. Faktor kimia antara lain adalah salinitas, pH, kadar
organik tanah dan unsur-unsur mineral tanah. Faktor lingkungan abiotik sangat
menentukan struktur komunitas hewan-hewan yang terdapat di suatu habitat. Faktor
lingkungan biotik bagi hewan tanah adalah organisme lain yang juga terdapat di
habitatnya seperti mikroflora, tumbuh-tumbuhan dan golongan hewan lainya.
Pada komunitas itu jenis-jenis organisme itu saling berinteraksi satu dengan yang
lainnya. Interaksi itu bisa berupa predasi, parasitisme, kompetisi dan penyakit. Bahan
organik diurai menjadi senyawa anorganik oleh dekomposer akan menghasilkan atau
suplai unsur hara, cacing tanah memegang peranan penting. Cacing tanah selain
berperan dalam penyediaan unsur hara tanah juga berperan dalam proses aerasi dan
drainase dari tanah, hal ini penting dalam perkembangan tanah. Faktor lingkungan
mempengaruhi populasi suatu organisme. Reptil, ampibi, ikan, serangga dan seluruh
invertebrat lain mempunyai sedikit atau tidak mempunyai pusat pengatur suhu tubuh.
Dasar dari proses kimia dalam metabolisme organisme tersebut, karenanya
pertumbuhan dan aktivitasnya dipengaruhi oleh temperature lingkungan secara
langsung (Suin, 1997).
Hewan tanah adalah hewan yang hidup di tanah, baik yang hidup di permukaan
tanah maupun yang hidup di dalam tanah. Tanah itu sendiri adalah suatu bentangan
alam yang tersusun dari bahan-bahan mineral yang merupakan hasil proses pelapukan
batu-batuan dan bahan organik yang terdiri dari organisme tanah dan hasil pelapukan
sisa tumbuhan dan hewan lainnya. Jelaslah bahwa hewan tanah merupakan bagian dari
ekosistem tanah. Dengan demikian, kehidupan hewan tanah sangat di tentukan oleh
faktor fisika-kimia tanah, karena itu dalam mempelajari ekologi hewan tanah faktor
fisika-kimia tanah selalu diukur. Hewan tanah diklasifikasikan menurut ukuran
tubuhnya, yaitu dibagi dalam dua golongan besar hewan makro tanah dan mikro
tanah. Hewan makro tanah yang penting adalah preparat dan pemakan serangga;
Mirriapoda (kaki seribu); Bubuk (Trachelipus); Tungau (Oribata sp.); siput darat;
Sentipoda (kaki seratus); laba-laba dan cacing tanah. Dari semua hewan tersebut
cacing tanah merupakan hewan makro tanah yang penting. Jenis umum cacing tanah
yang ditemukan adalah jenis-jenis Lumbricus terrestris yang berwarna kemerahan
dan jenis Allobophora ciliginosa yang berwarna merah muda pucat (Suin, 1997).
Suin (1997) menyatakan bahwa dalam studi ekologi hewan tanah,
pengukuran faktor lingkungan abiotik penting dilakukan karena besarnya pengaruh
faktor abiotik itu terhadap keberadaan dan kepadatan populasi kelompok hewan ini.
Dengan dilakukannya pengukuran faktor lingkungan abiotik, maka akan dapat
diketahui faktor yang besar pengaruhnya terhadap keberadaan dan kepadatan
populasi hewan yang di teliti. Pada studi tentang cacing tanah, misalnya pengukuran
pH tanah dapat memberikan gambaran penyebaran suatu jenis cacing tanah. Cacing
tanah yang tidak toleran terhadap asam, misalnya, tidak akan ditemui atau sangat
rendah kepadatan populasinya pada tanah yang asam.
Salah satu yang cukup sulit dalam mempelajari ekologi hewan tanah adalah
masalah pengenalan jenis. Pada tanah hidup hampir semua golongan hewan mulai
dari protozoa sampai mamalia. Seseorang yang mempelajari ekologi hewan tanah
minimal dapat mengenal kelompok (genera atau famili, minimal ordo) dari hewan
tanah yang dipelajari. Studi tertentu haruslah dapat diidentifikasi sampai tingkat jenis
(spesies) dari hewan tanah yang diteliti (Suin, 1997).
Pengukuran faktor fisika-kimia tanah dapat di lakukan langsung di lapangan dan
ada pula yang hanya dapat diukur di laboratorium. Pengukuran faktor fisika-kimia
tanah di laboratorium maka di lakukan pengambilan contoh tanah dan dibawa ke
laboratorium. Hewan tanah dapat pula di kelompokkan atas dasar ukuran tubuhnya,
kehadirannya di tanah, habitat yang dipilihnya, dan kegiatan makannya. Berdasarkan
ukuran tubuhnya hewan-hewan tersebut dikelompokkan atas mikrofauna, mesofauna,
dan makrofauna. Ukuran mikrofauna berkisar antara 20 mikron sampai dengan 200
mikron, mesofauna antara 200 mikron sampai dengan 1 cm, dan makrofauna > 1 cm
ukurannya (Suin, 1997).

B. Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui kerapatan hewan tanah.
II. DESKRIPSI LOKASI

Lokasi pengambilan sampel dilakukan di belakang Ex-farm didaerah sekitar


green house Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, lokasi ini
terletak di ketinggian ±100 dpl dengan pH tanah 6,5, sehingga tanah di lokasi
pengambilan sampel berasa asam. Dengan kelembaban udara sekitar 60%.
III. TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan kehadirannya, hewan tanah dibagi atas kelompok transien,


temporer, penodik, dan permanen. Berdasarkan habitatnya hewan tanah ada yang
digolongkan sebagai epigon, hemiedafon, dan eudafon. Hewan epigon hidup pada
lapisan tumbuh-tumbuhan di permukaan tanah, hemiedafon hidup pada lapisan
organik tanah, dan eudafon hidup pada tanah lapisan mineral. Berdasarkan kegiatan
makannya hewan tanah itu ada yang bersifat herbivora, dapravora, fungivora dan
predator (Adianto, 1983).
Menurut Heddy (1989), ada dua ciri dasar populasi, yaitu : ciri biologis, yang
merupakan ciri-ciri yang dipunyai oleh individu-individu pembangun populasi itu,
serta ciri-ciri statistik, yang merupakan ciri uniknya sebagai himpunan atau
kelompok individu-individu yang berinteraksi satu dengan lainnya
1. Ciri- ciri biologi
Seperti halnya suatu individu, suatu populasi pun mempunyai ciri- ciri biologi,
antara lain :
a. Mempunyai struktur dan organisasi tertentu, yang sifatnya ada yang konstan dan
ada pula yang berfluktuasi dengan berjalannya waktu (umur)
b. Ontogenetik, mempunyai sejarah kehidupan (lahir, tumbuh, berdiferensiasi,
menjadi tua = senessens, dan mati)
c. Dapat dikenai dampak lingkungan dan memberikan respons terhadap perubahan
lingkungan
d. Mempunyai hereditas
e. Terintegrasi oleh faktor- faktor hereditas oleh faktor- fektor herediter (genetik)
dan ekologi (termasuk dalam hal ini adalah kemampuan beradaptasi, ketegaran
reproduktif dan persistensi. Persistensi dalam hal ini adalah adanya kemungkinan
untuk meninggalkan keturunan untuk waktu yang lama.
2. Ciri- ciri statistik
Ciri- ciri statistik merupakan ciri- ciri kelompok yang tidak dapat di terapkan
pada individu, melainkan merupakan hasil perjumpaan dari ciri- ciri individu itu
sendiri, antara lain:
a. Kerapatan (kepadatan) atau ukuran besar populasi berikut parameter- parameter
utama yang mempengaruhi seperti natalitas, mortalitas, migrasi, imigrasi, emigrasi.
b. Sebaran (agihan, struktur) umur
c. Komposisi genetik (“gene pool” = ganangan gen)
d. Dispersi (sebaran individu intra populasi)
Kerapatan populasi adalah ukuran besar populasi yang berhubungan dengan
satuan ruang (area), yang umumnya diteliti dan dinyatakan sebagai jumlah (cacah)
individu dan biomasa persatuan luas, persatuan isi (volume) atau persatuan berat
medium lingkungan yang ditempati. Misalnya, 50 individu tikus sawah per hektar,
300 individu Keratela sp. (zooplankton) per meter kubik air, 3 ton udang per hektar
luas permukaan tambak, atau 50 individu afik( kutu daun) per daun. Pengaruh
populasi terhadap komunitas dan ekosistem tidak hanya tergantung kepada jenis apa
dari organisme yang terlibat tetapi tergantung kepada jumlahnya atau kerapatan
populasinya kadang kala penting untuk membedakan kerapatan kasar dari kerapatan
ekologi (kerapatan spesifik). Kerapatan kasar adalah kerapatan yang didasarkan atas
kesatuan ruang total, sedangkan kerapatan ekologi adalah kerapatan yang didasarkan
atas ruang yang benar- benar (sesungguhnya) ditempati (mikrohabitat). Contoh :
kerapatan afik (kutu daun) per pohon dibandingkan dengan kerapatan afik per daun
(Muchlas, 2010).
Lebih lanjut, kerapatan populasi suatu hewan dapat dinyatakan dalam bentuk
kerapatan mutlak (absolut) dan kerapatan nisbi (relatif). Pada penafsiran kerapatan
mutlak diperoleh jumlah hewan per satuan area, sedangkan pada penafsiran
kerapatan nisbi hal itu tidak diperoleh, melainkan hanya akan menghasilkan suatu
indeks kelimpahan (lebih banyak atau sedikit, lebih berlimpah atau kurang
berlimpah) (Odum, 1998).
Pengukuran kerapatan populasi kebanyakan dilakukan dengan sensus atau
metode menggunakan sample (sampling). Metode Sampling (cuplikan) ini
merupakan pencacahan dilakukan pada suatu cuplikan (sample), yaitu suatu proporsi
kecil dari populasi dan menggunakan hasil cuplikan tersebut untuk membuat taksiran
kerapatan (kelimpahan) populasi. Pemakaian metode ini bersangkut paut dengan
masalah penentuan ukuran dan jumlah cuplikan, oleh karena itu bersangkut paut pula
dengan metode-metode statistik. Metode kuadrat merupakan metode pencuplikan
yang dilakukan pada suatu luasan yang dapat berbentuk bujur sangkar, persegi enam,
lingkaran dan sebagainya. Prosedur yang umum dipakai disini adalah menghitung
semua individu dari beberapa kuadrat yang diketahui ukurannya dan
mengekstrapolasikan harga rata-ratanya untuk seluruh area yang diselidiki (Odum,
1998).
Menurut Heddy (1989), parameter utama populasi yaitu :
1. Natalitas
Merupakan kemampuan populasi untuk bertambah atau untuk meningkatkan
jumlahnya, melalui produksi individu baru yang dilahirkan atau ditetaskan dari telur
melalui aktifitas perkembangan.
Laju natalitas: jumlah individu baru per individu atau per betina per satuan waktu.
Ada dua aspek yang berkaitan dengan natalitas ini antara lain :
A. Fertilitas
Tingkat kinerja perkembangbiakan yang direalisasikan dalm populasi, dan tinggi
rendahnya aspek ini diukur dari jumlah telur yang di ovovivarkan atau jumlah anak
yang dilahirkan.
B. Fekunditas
Tingkat kinerja potensial populasi itu untuk menghasilkan individu baru.
Dalam ekologi dikenal dua macam natalitas yaitu: 1.natalitas maksimum= n. mutlak
(absolut)=n. 2. natalitas ekologi= pertambahan populasi dibawah kondisi lingkungan
yang spesifik atau sesungguhnya.
2. Mortalitas
Merupakan menunjukkan kematian individu dalam populasi. Juga dapat
dibedakan dalam dua jenis yakni:
A. mortalitas ekologik = mortalitas yang direalisasikan yakni,matinya individu
dibawah kondisi lingkungan tertentu.
B. mortalitas minimum (teoritis), yakni matinya individu dalam kondisi
lingkungan yang ideal, optimum dan mati semata- mata karena usia tua.
3.Emigrasi, imigrasi dan migrasi.
· Emigrasi : perpindahan keluar dari area suatu populasi.
· Imigrasi : perpindahan masuk ke dalam suatu area populasi dan mengakibatkan
meningkatkan kerapatan
· Migrasi : menyangkut perpindahan (gerakan) periodik berangkat dan kembali
dari populasi.
Distribusi individu dalam populasi, sering kali disebut sebagai dispersi atau pola
penjarakan (pola penyebaran) secara umum dapat di bedakan atas 3 pola utama yaitu:
1. Acak (Random)
Pada pola sebaran ini peluang suatu individu untuk menempati sesuatu situs dalam
area yang di tempati adalah sama, yang memberikan indikasi bahwa kondisi
lingkungan bersifat seragam. Keacakan berarti pula bahwa kehadiran individu
lainnya. Dalam sebaran statistik, sebaran acak ini ditunjukkan oleh varians (s2) yang
sama dengan rata-rata (x).
2. Teratur (Seragam, unity):
Pola sebaran ini terjadi apabila diantara individu-individu dalam populasi
terjadi persaingan yang keras atau ada antagonisme positif oleh adanya teritori-
teritori terjadi penjarakan yang kurang lebih merata. Pola sebaran teratur ini relatif
jarang terdapat di alam. Lewat pendekatan statistik, pola sebaran teratur ini di
tunjukkan oleh varians (s2) yang lebih kecil dari rata-rata (x)
3. Mengelompok (Teragregasi, clumped)
Merupakan pola sebaran yang relatif paling umum terdapat di alam
pengelompokan itu sendiri dapat terjadi oleh karena perkembangbiakan, adanya
atraksi sosial dan lain-lain. Lewat pendekatan statistik, pola sebaran mengelompok
ini varians (s2) yang lebih besar dari rata-rata (x)
Struktur umur populasi untuk menggambarkan sebaran umur dalam populasi,
dapat di lakukan dengan mengatur data kelompok usia dalam bentuk suatu poligon
atau piramida umur. Dalam hal ini jumlah individu atau persentase jumlah individu
dari tiap kelas usia di gambarkan sebagai balok-balok horizontal dengan panjang
relatif tertentu. Secara hipotesis, ada tiga bentuk piramida umur populasi, yakni :
1. populasi yang sedang berkembang
2. populasi yang stabil
3. populasi yang senesens (tua)
Struktur trofik pada ekosistem dapat disajikan dalam bentuk piramida
ekologi. Ada 3 jenis piramida ekologi, yaitu piramida jumlah, piramida biomassa,
dan piramida energi.
a. Piramida jumlah
Organisme dengan tingkat trofik masing - masing dapat disajikan dalam
piramida jumlah, seperti kita organisme di tingkat trofik pertama biasanya paling
melimpah, sedangkan organisme di tingkat trofik kedua, ketiga, dan selanjutnya
makin berkurang. Dapat dikatakan bahwa pada kebanyakan komunitas normal,
jumlah tumbuhan selalu lebih banyak daripada organisme herbivora. Demikian pula
jumlah herbivora selalu lebih banyak daripada jumlah karnivora tingkat I. Karnivora
tingkat I juga selalu lebih banyak daripada karnivora tingkat II. Piramida jumlah ini
di dasarkan atas jumlah organisme di tiap tingkat trofik.
b. Piramida biomassa
Seringkali piramida jumlah yang sederhana kurang membantu dalam
memperagakan aliran energi dalam ekosistem. Penggambaran yang lebih realistik
dapat disajikan dengan piramida biomassa. Biomassa adalah ukuran berat materi
hidup di waktu tertentu. Untuk mengukur biomassa di tiap tingkat trofik maka rata-
rata berat organisme di tiap tingkat harus diukur kemudian barulah jumlah organisme
di tiap tingkat diperkirakan (Odum, 1998).
Menurut Santoso (1994), piramida biomassa berfungsi menggambarkan
perpaduan massa seluruh organisme di habitat tertentu, dan diukur dalam gram.
Untuk menghindari kerusakan habitat maka biasanya hanya diambil sedikit sampel
dan diukur, kemudian total seluruh biomassa dihitung. Dengan pengukuran seperti
ini akan didapat informasi yang lebih akurat tentang apa yang terjadi pada ekosistem.
c. Piramida energi
Seringkali piramida biomassa tidak selalu memberi informasi yang kita
butuhkan tentang ekosistem tertentu. Lain dengan piramida energi yang dibuat
berdasarkan observasi yang dilakukan dalam waktu yang lama. Piramida energi
mampu memberikan gambaran paling akurat tentang aliran energi dalam ekosistem.
Pada piramida energi terjadi penurunan sejumlah energi berturut-turut yang
tersedia di tiap tingkat trofik. Berkurangnya energi yang terjadi di setiap trofik terjadi
karena hal-hal berikut:
1. Hanya sejumlah makanan tertentu yang ditangkap dan dimakan oleh tingkat
trofik selanjutnya.
2. Beberapa makanan yang dimakan tidak bisa dimakan dan dikeluarkan sebagai
sampah.
3. Hanya sebagian makanan yang dicerna menjadi bagian dari tubuh organisme.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran populasi:
• Distribusi sumberdaya
• Perilaku sosial (pada hewan)
• Faktor lain (interaksi organisme, tempat berlindung, oksigen terlarut, dll)
(Soedjiran, 1988).
Kepadatan dan pola penyebaran populasi merupakan faktor penting untuk
analisis dinamika populasi. Suatu populasi akan mengalami pertumbuhan, apabila
laju kelahiran di dalam populasi itu lebih besar dar laju kematian. Dikenal dua
macam bentuk pertumbuhan populasi, yakni bentuk pertumbuhan eksponensial
(dengan bentuk kurva J) dan bentuk pertumbuhan sigmoid (dengan bentuk kurva S)
1. Pertumbuhan Eksponensial
Pertumbuhan populasi bentuk eksponensial ini terjadi bilamana populasi ada dalam
sesuatu lingkungan ideal baik, yaitu ketersediaan makanan, ruang dan kondisi
lingkungan lainnya tidak beroperasi membatasi, tanpa ada persaingan dan lain
sebagainya. Pada pertumbuhan populasi yang demikian kerapatan bertambah dengan
cepat secara eksponensial dan kemudian berhenti mendadak saat berbagai faktor
pembatas mulai berlaku mendadak.
2. Pertumbuhan Sigmoid
Pada pertumbuhan populasi yang berbentuk sigmoid ini, populasi mula-mula
meningkat sangat lambat (fase akselerasi positif). Kemudian makin capet sehingga
mencapai laju peningkatan secara logaritmik (fase logaritmik), namun segera
menurun lagi secara perlahan dengan makin meningkatnya pertahanan lingkungan,
misalnya yang berupa persaingan intra spesies (fase akselerasi negatif) sehingga
akhirnya mencapai suatu tingkat yang kurang lebih seimbang (fase keseimbangan).
Tingkat populasi yang merupakan asimptot atas dari kurva sigmod, yang
menandakan bahwa populasi tidak dapat meningkat lagi di sebut daya dukung (K=
suatu konstanta). Jadi daya dukung suatu habitat adalah tingkat kelimpahan populasi
maksimal (kerapatan jumlah atau biomasa) yang kelulus hidupannya dapat di dukung
oleh habitat tersebut (Soedjiran, 1988). Faktor pembatas pertumbuhan populasi
menurut Odum (1998) adalah sebagai berikut :
• Tergantung kepadatan : makanan dan ruangan
• Tidak tergantung kepadatan : iklim dan bencana alam
Faktor pembatas menyebabkan spesies menerapkan strategi untuk bertahan hidup.
Dinamika Populasi merupakan ilmu yang mempelajari pertumbuhan serta pengaturan
populasi. Hal ini tentu berkaitan dengan parameter populasi. Khusus di dalam
pengaturan kerapatan populasi dikenal adanya mekanisme “density dependent”
(mekanisme yang bergantung kepada kerapatan) dan mekanisme “density
independent” (mekanisme yang tak bergantung pada kerapatan).
Secara umum, aspek-aspek yang dipelajari dalam dinamika populasi adalah:
1. Populasi sebagai komponen dari sistem lingkungan.
2. Perubahan jumlah individu dalam populasi.
3. Tingkat penurunan, peningkatan, penggantian individu dan proses yang menjaga
kestabilan jumlah individu dalam populasi.
4. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan jumlah individu dalam
populasi.
Dalam tanah terdapat kehidupan organisme, sebagian besar terdiri dari
kehidupan tumbuhan dan setelah itu jenis hewan. Hewan-hewan tanah yang paling
penting adalah pengurai, pelalap, serangga, miriapoda (kaki seribu), bubuk, tungau,
siput darat, sentripoda (kaki seratus), laba-laba dan cacing tanah (Adianto, 1983).
Hewan-hewan tanah membentuk suatu komunitas tanah yang saling berinteraksi
antara satu dengan yang lain, kompetisi untuk membentuk suatu sistem yang
berfungsi pada suatu cara yang mempengaruhi penghancuran bahan-bahan organik.
Dengan cara inilah siklus nutrien dimulai. Diversitas hewan tanah benar-benar luar
biasa, setiap phylum hewan kecuali Coelenterata dan Echinodermata terdapat di
berbagai macam tanah. Mayoritas hewan-hewan tanah berukuran mikroskopis,
sedangkan kelompok-kelompok penting hewan tanah adalah Protozoa, Nematoda,
Annelida, Mollusca dan Arthropoda.
Proses rantai makanan hewan tanah, sebagian besar spesies hewan tanah
berperan sebagai pengurai. Peranan utama organisme tanah adalah untuk mengubah
bahan organik baik segar tengah segar ataupun sedang melapuk sehingga terbentuk
senyawa lain yang bermanfaat bagi kesuburan tanah. Mekanisme penghancuran
serasah tanaman hingga terbentuknya hasil dekomposisi dilakukan oleh mikroba dan
hewan-hewan tanah (Odum, 1998).
IV. MATERI DAN CARA KERJA

4.1 Materi
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah silinder sampling
dengan diameter 4 cm dari bahan plastik (pralon), cawan petri, kertas, kertas
pH, dan kantong plastik, penggaris/meteran, tester soil, hygrometer,
barometer, altimeter.

4.2 Metode
a. Dalam praktikum ini dilakukan pengamatan terhadap kerapatan populasi dari
hewan tanah dan pengukuran terhadap faktor lingkungan : suhu udara dan pH
tanah.
b. Letakkan kuadrat (30 x 30 cm) pada cuplikan/kuadran sebelum menggali
tanah, buatlah taksiran kasar mengenai vegetasi penutupnya. Dari masing-
masing cuplikan/kuadran diambil masing-masing 3 kali ulangan.
c. Pengambilan sampel dengan cara menusukkan silinder sampling ke dalam
tanah sedalam 20 cm dari permukaan tanah. Hewan tanah yang terdapat
dalam silinder sampling dikumpulkan dalam kantung plastik lalu dihitung
jumlahnya.
d. Kumpulkan juga hewan-hewan lainnya yang dijumpai dalam cuplikan Anda
dan hitung kepadatannya.
e. Pengukuran pH tanah
Pengukuran pH tanah dilakukan dengan cara melarutkan tanah yang diambil
dengan silinder sampling dalam aquades pada cawan petri, kemudian diatur
menggunakan kertas pH dan juga dengan menggunakan alat soiltester.
f. Pengukuran temperatur udara
Pengukuran temperatur udara dilakukan dengan menggunakan thermometer
celcius. Pengukuran dilakukan 2 kali yaitu sebelum dan sesudah praktikum.
Pengukuran dilakukan dengan cara meletakkan (menggantung thermometer
selama 5 menit agar stabil, kemudian dibaca angka yang ditunjukkan dalam
thermometer tersebut).
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel Menaksir Kerapatan Populasi Hewan Dengan Metoda Cuplikan Kuadrat


Kuadran Suhu tanah pH Jenis
Semut merah
Semut hitam
I 6,5
28,2 Kumbang tanah

Semut merah
II 28,2 6,5 Semut hitam
Lipan
Walang sangit
28,2 Colembola merah
III 6,5
Coleopteran
Lipan

Gambar 1. Kumbang Tanah Gambar 2. Semut Merah

Gambar 3. Lipan
B. Pembahasan

Pada acara praktikum Metode Cuplikan Kuadrat, pertama-tama kita membuat


kuadrat 30x30cm. Setiap sudut kuadrat tersebut dilubangi dan setelah tanah gembur
paralon dimasukkan sampai sepertiga bagian paralon dan sampel tanah yang terambil
diamati jumlah hewan tanah yang terperangkap didalamnya. Dari hasil praktikum,
pada kuadran pertama dihasilkan semut merah, semut hitam, kumbang tanah. Pada
kuadran kedua terdapat semut merah, semut hitam dan lipan sedangkan pada kuadrat
ketiga terdapat walang sangit, colembola merah, coleopteran dan lipan.
Adapun klasifikasi semut merah menurut D. Grimaldi (2001) adalah sebagai
berikut :
Kerajaan :Animalia
Filum :Artropoda
Kelas :Insekta
Ordo :Hymenoptera
Upaordo :Apokrita
Superfamili :Vespoidea
Famili :Formicidae
Spesies : Dolichoderus thoracicus

Semut Hitam Semut Merah


Tubuh semut terdiri atas tiga bagian, yaitu kepala, mesosoma (dada), dan
metasoma (perut). Morfologi semut cukup jelas dibandingkan dengan serangga lain
yang juga memiliki antena, kelenjar metapleural, dan bagian perut kedua yang
berhubungan ke tangkai semut membentuk pinggang sempit (pedunkel) di antara
mesosoma (bagian rongga dada dan daerah perut) dan metasoma (perut yang kurang
abdominal segmen dalam petiole). Petiole yang dapat dibentuk oleh satu atau dua
node (hanya yang kedua, atau yang kedua dan ketiga abdominal segmen ini bisa
terwujud) (D. Grimaldi, 2001).
Tubuh semut, seperti serangga lainnya, memiliki eksoskeleton atau kerangka
luar yang memberikan perlindungan dan juga sebagai tempat menempelnya otot,
berbeda dengan kerangka manusia dan hewan bertulang belakang. Serangga tidak
memiliki paru-paru, tetapi mereka memiliki lubang-lubang pernapasan di bagian
dada bernama spirakel untuk sirkulasi udara dalam sistem respirasi mereka. Serangga
juga tidak memiliki sistem peredaran darah tertutup. Sebagai gantinya, mereka
memiliki saluran berbentuk panjang dan tipis di sepanjang bagian atas tubuhnya yang
disebut "aorta punggung" yang fungsinya mirip dengan jantung. sistem saraf semut
terdiri dari sebuah semacam otot saraf ventral yang berada di sepanjang tubuhnya,
dengan beberapa buah gangliondan cabang yang berhubungan dengan setiap bagian
dalam tubuhnya. Pada kepala semut terdapat banyak organ sensor. Semut, layaknya
serangga lainnya, memiliki mata majemukyang terdiri dari kumpulan lensa mata
yang lebih kecil dan tergabung untuk mendeteksi gerakan dengan sangat baik.
Mereka juga punya tiga oselus di bagian puncak kepalanya untuk mendeteksi
perubahan cahaya dan polarisasi. Kebanyakan semut umumnya memiliki penglihatan
yang buruk, bahkan beberapa jenis dari mereka buta. Namun, beberapa spesies
semut, semisal semut bulldog Australia, memiliki penglihatan yang baik. Pada
kepalanya juga terdapat sepasang antena yang membantu semut mendeteksi
rangsangan kimiawi. Antena semut juga digunakan untuk berkomunikasi satu sama
lain dan mendeteksi feromon yang dikeluarkan oleh semut lain. Selain itu, antena
semut juga berguna sebagai alat peraba untuk mendeteksi segala sesuatu yang berada
di depannya. Pada bagian depan kepala semut juga terdapat sepasang rahang
atau mandibula yang digunakan untuk membawa makanan, memanipulasi objek,
membangun sarang, dan untuk pertahanan. Pada beberapa spesies, di bagian dalam
mulutnya terdapat semacam kantung kecil untuk menyimpan makanan untuk
sementara waktu sebelum dipindahkan ke semut lain atau larvanya (Ratmawati,
2011).

Di bagian dada semut terdapat tiga pasang kaki dan di ujung setiap kakinya
terdapat semacam cakar kecil yang membantunya memanjat dan berpijak pada
permukaan. Sebagian besar semut jantan dan betina calon ratu memiliki sayap.
Namun, setelah kawin betina akan menanggalkan sayapnya dan menjadi ratu semut
yang tidak bersayap. Semut pekerja dan prajurit tidak memiliki sayap. Di bagian
metasoma (perut) semut terdapat banyak organ dalam yang penting, termasuk organ
reproduksi. Beberapa spesies semut juga memiliki sengat yang terhubung dengan
semacam kelenjar beracun untuk melumpuhkan mangsa dan melindungi sarangnya.
Spesies semut seperti Formica yessensis memiliki kelenjar penghasil asam
semut yang bisa disemprotkan ke arah musuh untuk pertahanan (D. Grimaldi, 2001).

Berikut merupakan klasifikasi Lipan menurut (Adianto, 1983) :

Kerajaan :Animalia
Filum :Arthropoda
Upafilum :Myriapoda
Kelas :Chilopoda

Kelabang atau Lipan (bahasa Inggris: centipede) merupakan


hewan arthropoda yang tergolong dari kelas Chilopoda dan upafilum Myriapoda.
Kelabang adalah hewan metameric yang memiliki sepasang kaki di setiap ruas
tubuhnya. Hewan ini termasuk hewan yang berbisa, dan termasuk hewan nokturnal.
Organisme yang kelabang cukup umum dan Anda dapat menemukan mereka di
daerah yang diarsir seperti bagian bawah daun-daun mati dan batu, gua, hutan dan
bahkan bagian dalam rumah. Mereka biasanya ditemukan di banyak daerah iklim
dari dunia seperti padang pasir, pegunungan, hutan dan hutan. Mereka adalah
arthropoda soliter (bila disatukan, Anda melawan dengan kematian salah satu dari
dua) dan malam. Pada siang hari mereka pergi untuk mencari perlindungan di lahan
basah dan gelap, tetapi jika cuaca terlalu basah atau terlalu kering, mereka mencari
tempat lain, datang untuk berlindung di dalam rumah. Spesies yang hidup di zona
beriklim dunia biasanya lebih kecil (hingga 10 cm ) dari mereka menghuni
daerah khatulistiwa yang lembab, yang dapat melebihi 30 cm.

Klasifikasi Colembola merah adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Hexapoda
Class : Entognatha
Subclass : Collembola (Christiansen, 1995).
.

Collembola merupakan salah satu kelompok fauna tanah/gua yang berukuran


keeil. Panjang tubuhnya berkisar 0,25-8,00mm. Pada umumnya warna tubuh mirip
dengan warna tanah, hitam, coklat, abu-abu tua, tetapi ada beberapa yang berwarna
cerah keperakan, merah merona, atau kehijauan. Dalam klasifikasi lama, Collembola
masih dimasukkan ke dalam klas Insecta. Tetapi sekarang, Collembola merupakan
klas tersendiri di bawah induk-klas Hexapoda. Dibandingkan dengan Insecta,
Collembola mempunyai persamaan karakter yaitu adanya kepala, teraks, dan
abdomen; kaki 3 pasang; dan sepasang antena. Perbedaannya adalah abdomen
Collembola hanya 6 ruas, tidak mempunyai mata majemuk, dan tidak mempunyai
sayap atau modifikasinya. Collembola mudah dijumpai di permukaan tanah, atau di
dalam tanah yang tertutup oleh serasah atau humus tebal. Habitat yang disukai
Collembola adalah permukaan tanah yang berhumus tebal, lembab tidak basah, dan
tidak terkena cahaya matahari secara langsung atau tempat yang terlindung.
Collembola merupakan salah satu kelompok fauna gua yang penting.
Kepentingannya terlihat dari populasi dan keanekaragamannya yang cukup tinggi
dibanding kelompok artrhopoda lainnya, serta peranannya. Oleh karena itu,
penelitian fauna gua selalu tidak akan lepas dengan pengamatan kekayaan jenis
Collembolanya.Sebagai fauna gua, Collembola memiliki ke khasan persebaran. Pada
setiap gua dapat ditemukan komposisi jenis Collembola yang berbeda (Christiansen,
1995).
Klasifikasi walang sangit yaitu sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Hemiptera
Famili : Alydidae
Genus : Leptocorixa
Spesies : Acuta
Author : Thunberg

Walang sangit (L. acuta) mempunyai daerah sebaran yang sangat luas,
hampir di semua negara produsen padi. Daerah penyebaran L. acuta) antara Asia
Tenggara, Kepulauan Fiji, Australia, Srilangka, India, Jepang, Cina, Pakistan dan
Indonesia (Suin, 1997). Di Indonesia L. Acuta tersebar di daerah Jawa, Bali,
Sumatera, dan Sulawesi. Walang sangit selain menyerang tanaman padi yang sudah
bermalai dapat pula berkembang pada rumput-rumputan seperti Panicium crusgalli
L., Paspalum dilatatum Scop., rumput teki (Echinocloa crusgalli dan E.
colonum). Walang sangit (L. acuta) mengalami metamorfosis sederhana yang
perkembangannya dimulai dari stadia telur, nimfa dan imago. Imago berbentuk
seperti kepik, bertubuh ramping, antena dan tungkai relatif panjang. Warna tubuh
hijau kuning kecoklatan dan panjangnya berkisar antara 15 – 30 mm. Telur. Telur
berbentuk seperti cakram berwarna merah coklat gelap dan diletakkan secara
berkelompok. Kelompok telur biasanya terdiri dari 10 - 20 butir. Telur-telur tersebut
biasanya diletakkan pada permukaan atas daun di dekat ibu tulang daun. Peletakan
telur umumnya dilakukan pada saat padi berbunga. Telur akan menetas 5 – 8 hari
setelah diletakkan. Perkembangan dari telur sampai imago adalah 25 hari dan satu
generasi mencapai 46 hari.
Menurut Zulkifli (1996), altimeter dan barometer merupakan dua alat yang
dipakai berkaitan dengan kegeografian. Altimeter adalah alat yang digunakan untuk
mengukur ketinggian suatu tempat dan barometer adalah alat yang digunakan untuk
menentukan tekanan udara pada suatu tempat. Alat-alat ini biasanya terpisah, artinya
altimeter merupakan suatu alat tersendiri, dan barometer juga merupakan peralatan
tersendiri. Jadi ada dua benda yang berbeda fungsi. Namun tidak demikian dengan
perangkat yang tersaji pada gambar ini. Satu peralatan tetapi memiliki dua fungsi,
yaitu sebagai pengukur ketinggian (altimeter) dan sebagai pengukur tekanan udara
(barometer).
Higrometer terdapat dua skala, yang satu menunjukkan kelembaban yang satu
menunjukkan temperatur. Cara penggunaannya dengan meletakkan di tempat yang
akan diukur kelembabannya, kemudian tunggu dan bacalah skalanya. skala
kelembaban biasanya ditandai dengan huruf h dan kalau suhu dengan derajat celcius.
Hygrometer adalah alat untuk mengukur kelembapan udara. Hygrometer mempunyai
prinsip kerja yaitu dengan menggunakan dua thermometer. Thermometer pertama
dipergunakan untuk mengukur suhu udara biasa dan yang kedua untuk mengukur
suhu udara jenuh/lembab (bagian bawah thermometer diliputi kain/kapas yang
basah). Tester soil adalah alat untuk mengukur pH tanah (Ariani, 2009).

Faktor lingkungan sangat mempengaruhi keberadaan dan kepadatan hewan


tanah. Pengukuran pH tanah sangat penting dalam ekologi hewan karena hewan
tanah ada yang memilih hidup pada tanah yang pHnya asam dan ada pula yang
senang pada pH basa. Collembola yang memilih hidup pada tanah yang asam disebut
Collembola asidofil seperti yang kita temukan. Sedangkan Collembola yang memilih
hidup di tanah basa disebut Collembola kalsinofil dan yang dapat hidup di tanah
asam dan basa disebut Collembola indiferen. Suhu juga mempunyai pemgaruh yang
sangat besar terhadap hewan tanah karena suhu berperan dalam laju reaksi kimia di
tubuh dan berpengaruh terhadap aktivitas metabolisme (Suin, 1997).
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan:


1. Hewan hewan yang tertangkap pada saat praktikum antara lain semut merah,
semut hitam, kumbang tanah, lipan, colembola.
2. Keanekaragaman hewan tanah dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti
suhu, pH tanah, kelembapan, intensitas cahaya, kondisi tanah dan ketinggian
tempat.

B. Saran

Dalam identifikasi masih banyak kesulitan. Sebaik buku-buku identifikasi


diperbanyak dan dengan gambar yang berwarna.
DAFTAR PUSTAKA

Adianto. 1983. Biologi Pertanian. Alumni Bandung : Bandung.


Muhammad, N. 1989. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara : Jakarta.
Syarif, S.E. 1986. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buawa : Jakarta.

Ariani, Desi. 2009. Komposisi Komunitas Makrofauna Tanah Untuk Memantau


Kualitas Tanah Secara Biologis Pada Areal Perkebunan PTPN II Sampali
Kecamatan Percut Sei Tuan (Skripsi). Departemen Biologi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Medan

Christiansen, K. and P. Bellinger. 1995. The biogeography of Collembola. Polskie


Pismo Entomologiczne 64:279-294.

D. Grimaldi & D. Agosti (2001). "A formicine in New Jersey Cretaceous amber
(Hymenoptera: Formicidae) and early evolution of the ants". Proc. Natl. Acad.
Sci. USA 97: 13678–13683.

Heddy, Suwasono dkk. 1989. Pengantar Ekologi. Rajawali Pers, Jakarta.

Muchlas, Fadhlans. 2010. Luas Minimum.


http://crocodilusdaratensis.wordpress.com/category/ekologi-tumbuhan/

Odum, E. P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press.

Ratmawati, Ika. 2011. Semut Hitam Dolichoderus thoracicus Berperan Dalam


mengendalikan Helopeltis antonii pada Tanaman Kakao. Balai Besar
Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan. Surabaya.

Santoso. 1994. Ekologi Umum. PT Rajawali. Jakarta

Soedjiran, R.1988. Pengantar Ekologi. Remadja Karya. Bandung

Suin, M. Nurdin., 1997. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara. Jakarta

Suripin. (2001). Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Yogyakarta : Andi. Ewusi,
1990. Pengantar Ekologi TumbuhanTropis. ITB. Bandung

Tim Dosen. 2008. Dasar-Dasar Ekologi Hewan. Medan : FMIPA UNIMED

Zulkifli, Hilda. 1996. Biologi Lingkungan. Jakarta : Departemen Pendidikan Dan


Kebudayaan

Anda mungkin juga menyukai