ORASI ILMIAH
16 APRIL 2019
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi dan salam
sejahtera.
Yang saya hormati,
1. Direktur/Ketua Senat Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan
Tanjungkarang
2. Anggota Senat Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Tanjungkarang
3. Pimpinan Jurusan dan Unit di Lingkungan Politeknik Kesehatan Kementerian
Kesehatan Tanjungkarang
4. Para dosen, karyawan, dan mahasiswa serta Bapak/Ibu hadirin sekalian.
Alhamdulillah segala puja dan puji syukur saya panjatkan kepada Allah
SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayahnya kepada kita semua yang
hadir pada acara ini dalam keadaan sehat wal’afiat.
Sungguh suatu penghormatan dan penghargaan yang sangat besar bagi
saya karena Bapak Direktur dan Panitia Dies Natalis ke-16 Kesehatan
Kementerian Kesehatan Tanjungkarang mempercayakan kepada saya untuk
menyampaikan orasi ilmiah. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, ijinkan
saya menyampaikan orasi ilmiah ini dengan judul :
PENDAHULUAN
Biaya Investasi
Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan untuk membeli aktiva-
aktiva yang akan digunakan untuk memulai usaha dalam jangka waktu lama
dengan harapan dapat meningkatkan keuntungan di masa yang akan dating. Biaya
investasi total yang harus dikeluarkan pada usaha budidaya jamur merang saja
(skenario-1) adalah Rp. 328.095.000,-, pada usaha fermentasi TKKSBJM yang
menghasilkan biogas, kompos dan pupuk organik cair (skenario-2) sebesar Rp.
294.250.000,- dan pada usaha terpadau yang menghasilkan jamur merang, biogas,
kompos dan pupuk organik (skenario-3) sebesar Rp. 474.595.000,-.
Analisis Kelayakan
Hasil analisis kelayakan yang telah dilakukan terhadap ketiga skenario
dengan umur ekonomi 10 tahun dan tingkat suku bunga deposito sebesar 6,10%
menunjukkan usaha terpadu pengelolaan TKKS (skenario-3) memberikan
keuntungan yang paling besar dengan nilai NPV Rp. 1.334.468.908,-., disusul
dengan usaha skenario-2 memiliki nilai NPV Rp. 653.265.297,- dan skenario-1
memiliki nilai Rp. 543.864.808,-
Ketiga skenario usaha juga layak dan menguntungkan untuk dilaksanakan
dengan nilai IRR lebih tinggi dari tingkat discount rate (6,10%) dan nilai Net B/C
lebih dari satu (Tabel 5) dengan waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan
modal yang bervariasi, yaitu 1,50 tahun untuk usaha skenario-3, 1,92 tahun untuk
usaha skenario-2 dan 2,27 tahun untuk usaha skenario-3.
Tabel 5 Kriteria Investasi masing-masing scenario
Kriteria Nilai
No Satuan
Investasi Skenario-1 Skenario-2 Skenario-3
1 NPV Rupiah 543.864.808,- 653.265.297,- 1.334.468.908,-
2 IRR % 41 51 65
3 Net B/C - 1,64 2,51 2,07
4 PBP Tahun 2,27 1,92 1,50
Keterangan :
Skenario-1 = usaha budidaya jamur merang
Skenario-2 = usaha produksi biogas
Skenario-2 = usaha budidaya jamur merang dan produksi biogas
Jenis dan jumlah material yang digunakan serta produk yang dihasilkan
pada masing-masing proses (Tabel 6) pada pengelolaan TKKS secara terpadu
produksi biogas selain dihasilkan dari proses fermentasi TKKSBJM (3,10
m3/hari), juga dihasilkan dari reaktor kotoran hewan (2,50 m3/hari), sehingga
produksi biogas yang dihasilkan adalah 5,6 m3/hari atau 168 m3/bulan. Setiap hari
reaktor kohe ditambahkan kotoran sapi segar sebanyak satu lori (0,065 m3).
Biogas yang dihasilkan dimanfaatkan untuk proses sterilisasi kumbung, dengan
kebutuhan untuk tiap kumbung dalam satu siklus adalah 10 m3. Jika dalam satu
bulan dilakukan 5 kali proses sterilisasi, maka masih ada surplus biogas 118
m3/bulan. Kelebihan biogas dapat dimanfaatkan untuk memasak dan lampu
penerangan berbahan biogas dan jika memungkinkan diperbantukan untuk
kebutuhan masyarakat sekitar dengan dialirkan menggunakan sistem jaringan
perpipaan.
Pengembangan sistem terpadu pengelolaan limbah TKKS dalam bentuk
usaha budidaya jamur merang dan produksi biogas secara terpadu sangat
direkomendasikan, karena dapat membantu mengatasi permasalah penanganan
timbulan limbah TKKS, khususnya pada perusahaan PKS yang tidak memiliki
perkebunan kelapa sawit. Perhitungan terhadap produk yang dihasilkan pada
pengelolaan dengan system terpadu disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Nilai ekonomi yang dihasilkan dari pengembangan sisem terpadu
pengolahan 1 Ton TKKS
Teknologi Potensi dan Asumsi Satuan Nilai Ekonomi (Rp)
Budidaya Jamur Jamur merang = 90 kg 1.980.000,-
Merang Rp. 22.000,-/kg
Fermentasi Produksi Biogas = 11,14 m3 30.635,-
Tandan Kosong 1m3 biogas ~ 0,5 liter solar a)
Kelapa Sawit 1 liter solar = Rp. 5.500,-
Bekas Jamur Produksi Kompos = 73,5 kg 257.250,-
Merang Kadar Air = 20 Tiap 1 ton kompos
(TKKSBJM) Rp. 3.500,-/kg % Ekivalen dengan :
N = 2,09 (pupuk kimia 46%) % 45,43 kg pupuk N
P = 1,38 (pupuk kimia 50%) % 27,60 kg pupuk P
K = 0,77 (pupuk kimia 60%) % 12,83 kg pupuk K
Produksi Pupuk cair = 1,0 m3 2.000.000,-
Rp. 2.000,-/L
N = 1,88 %
P = 0,08 %
K = 3,58 %
Nilai ekonomi total 4.267.885,-
Keterangan : a) Suprihatin et al. (2012)
Hasil perhitungan pengelolaan tiap satu ton TKKS secara terpadu (Tabel
7) dapat meningkatkan nilai ekonomi TKKS sebesar Rp. 4.267.885,-. Dengan
konsumsi energi yang diperlukan untuk mengelola 1 ton TKKS sebesar 222,77
MJ, maka energi tiap 1 MJ yang digunakan bernilai ekonomi sebesar Rp. 19.158,-
Nilai tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan 1 MJ energi
pada produksi kompos (energi = 38 MJ), dengan nilai ekonomi energi tiap 1 MJ
sebesar Rp. 6.769,- dan jika hanya untuk produksi biogas (energi = 520 MJ) nilai
ekonomi energi tiap 1 MJ yang digunakan sebesar Rp. 4.400,-.
Ketersediaan bahan baku berasal dari pabrik kelapa sawit (PKS) yang
memiliki kapasitas 30 ton TBS/jam dengan waktu operasional 20 jam/hari dan 6
hari/minggu. Jika TKKS yang dihasilkan dari PKS sebanyak 23% dari TBS, maka
jumlah TKKS yang dihasilkan = 30 ton/jam x 20 jam/hari x 6 hari/minggu x 23%
= 828 ton/minggu
Atau = 3.312 ton/bulan
Sehingga jika pengelolaan TKKS ini dilakukan dengan maksimal menggunakan
sistem terpadu, maka dari 3.312 ton/bulan limbah TKKS mempunyai potensi
untuk menghasilkan jamur merang sebanyak 298,08 ton, biogas 36.896 m3, pupuk
kompos 243,43 ton dan 3.312 m3 pupuk organik cair dengan nilai ekonomi Rp.
14.135.235.120,-
Pengelolaan TKKS secara terpadu sangat berkontribusi terhadap
lingkungan dan sosial karena dapat mereduksi :
1. Penggunaan pupuk kimia, pengelolaan limbah TKKS secara terpadu
menghasilkan pupuk organik yang lebih ramah lingkungan sebagai sistem
terpadu pengganti pupuk kimia.
2. Penggunaan bahan bakar fosil maupun bahan bakar kayu karena dapat di
subtitusi oleh biogas yang dihasilkan, sehingga dapat juga menekan biaya
produksi usaha tersebut.
3. Emisi GRK sebesar 436,02 kgCO2e untuk setiap pengelolaan satu ton TKKS
4. Masalah lingkungan lokal, terutama masalah bau dan sanitasi lingkungan yang
langsung bersinggungan dengan masyarakat,
5. Resistensi masyarakat khususnya terhadap usaha budidaya jamur merang
karena manfaat sosial dan ekonomi yang langsung dirasakan dan umumnya
adalah kegiatan industri PKS sebagai penghasil limbah TKKS yang dapat
dikelola untuk usaha produktif.
Dengan banyaknya manfaat sosial dan ekonomi yang langsung dirasakan
oleh masyarakat, maka diharapkan usaha pengelolaan TKKS secara terpadu dan
kegiatan pabrik PKS dapat diterima keberadaanya dengan respon yang baik oleh
masyarakat, sehingga keberlanjutan masing-masing usaha tersebut dapat terjaga.
Untuk menjaga keberlanjutan tersebut diperlukan komitmen dan kerjasama antara
pengelola TKKS terpadu dengan perusahaan PKS, terutama dalam menjaga
ketersediaan bahan baku TKKS. Kondisi yang ada saat ini TKKS dari PKS dapat
diambil secara cuma-cuma (gratis), sehingga pelaku usaha budidaya jamur hanya
menanggung biaya transportasi pengangkutan. Berdasarkan uraian pada
pembahasan, maka perbandingan pengelolaan limbah TKKS sebelum dan sesudah
sistem terpadu dirangkum pada Tabel 8.
Dengan banyaknya manfaat dari sistem pengelolaan TKKS secara terpadu,
maka diharapkan adanya perhatian dari perusahaan PKS dan pemerintah daerah
setempat untuk mendorong kegiatan tesebut. Perusahaan dapat membantu
masyarakat dalam bentuk kegiatan CSR. Besarnya timbulan limbah TKKS yang
mencapai 138 ton/hari (828 ton/minggu) atau 3.312 ton/bulan (PKS berkapasitas
produksi 30 TBS/hari), tidak akan habis dikelola oleh satu unit pengolahan TKKS
terpadu (kapasitas 10 kumbung jamur) yang hanya menghabiskan 17 ton TKKS
per siklus (1 siklus = 1,5 bulan), sehingga diperlukan unit-unit pengolahan TKKS
terpadu lainnya agar dapat mereduksi timbulan TKKS di pabrik.
Tabel 8 Perbandingan pengelolaan TKKS sebelum dan sesudah sistem terpadu
Pengelolaan
Tanpa Sistem Terpadu Dengan Sistem Terpadu
TKKS
Aspek Teknis: Aspek Teknis:
- Perlakuan awal TKKS dengan - Kegiatan budidaya jamur
perendaman, fermentasi dan sterilisasi merang, produksi biogas dan
- Tidak ada pengolahan limbah padat dan pengomposan dilakukan dalam
cair satu rangkaian yang terintegrasi
- Waktu budidaya jamur 8 minggu di satu kawasan.
Budidaya Aspek Lingkungan : - Perlakuan awal hanya dilakukan
Jamur Limbah padat mencemari lingkungan dan pada proses budidaya jamur
Merang limbah cair mencemari air permukaan merang
dengan - Limbah padat dan cair pasca
Aspek sosial :
budidaya jamur merang
media TKKS Limbah cair dan padat menimbulkan bau dimanfaatkan langsung untuk
tidak enak dan mengganggu sanitasi produksi biogas melalui proses
lingkungan masyarakat sekitarnya fermentasi.
Aspek ekonomi : - Produksi kompos cukup
Pendapatan bersumber dari penjualan dilakukan dengan mengeringkan
jamur merang residu padat pasca produksi
biogas (fermentasi) dan air lindi
Aspek Teknis:
yang dihasilkan menjadi pupuk
- Perlu perlakuan awal (fisika/kimia) TKKS organik cair.
sebelum digunakan sebagai bahan baku Aspek Lingkungan :
biogas
Tidak ada limbah yang
- Waktu produksi biogas 8 minggu
Aspek Lingkungan : dikeluarkan, karena residu padat
Tidak ada limbah yang dikeluarkan, karena menjadi pupuk kompos dan air
Produksi lindi menjadi pupuk organik
residu padat menjadi pupuk kompos dan
Biogas air lindi menjadi pupuk organik cair cair
dengan Aspek sosial : Aspek sosial :
bahan baku Biogas yang dihasilkan dapat - Pengelolaan TKKS secara
terpadu tidak menimbulkan bau
TKKS dimanfaatkan sendiri atau dijual dengan
dan gangguan sanitasi
disalurkan ke rumah masyarakat lingkungan
sekitarnya. - Biogas yang dihasilkan dapat
Aspek ekonomi : dimanfaatkan untuk proses
Pendapatan bersumber dari penjualan steriliasi kumbung jamur dan
biogas, pupuk kompos dan pupuk organik selebihnya dapat dijual dengan
disalurkan langsung ke rumah
cair
Aspek Teknis: masyarakat sekitarnya.
- Perlu perlakuan awal (fisika/ kimia) - Pupuk kompos yang dihasilkan
sebelum composting digunakan sebagai subtitusi
- Waktu proses composting 8 minggu pupuk kimia untuk pertanian
Aspek Lingkungan : yang ramah lingkungan
Produksi Tidak ada limbah yang dikeluarkan, karena Aspek ekonomi :
Kompos semua bahan baku menjadi pupuk kompos Pendapatan bersumber dari
dan air lindi menjadi pupuk organik cair penjualan jamur merang, biogas,
dengan
Aspek sosial : pupuk kompos dan pupuk
bahan baku
Pupuk kompos yang dihasilkan digunakan organik cair
TKKS
sebagai subtitusi pupuk kimia untuk
pertanian yang ramah lingkungan
Aspek ekonomi :
Pendapatan bersumber dari penjualan
pupuk kompos
Konsep pelaksanaan CSR oleh PKS dapat dimulai dengan cara bertahap
sebagai berikut:
1. Bekerjasama dengan petani budidaya jamur merang yang sudah ada dan
membantu mengembangkan usaha budidaya jamur merang dengan media
TKKS.
2. Melengkapi usaha budidaya jamur merang yang ada dengan unit pengolahan
limbah cair dan limbah padat menggunakan sistem fermentasi untuk
menangkap dan memanfaatkan biogas serta mereduksi bau disekitar usaha
budidaya jamur merang, sehingga terbentuk usaha pemanfaatan TKKS secara
terpadu dengan kegiatan budidaya jamur merang dan produksi biogas yang
akan menambah nilai ekonomi, karena dihasilkannya produk samping yang
bermanfaat berupa pupuk kompos dan pupuk organik cair. Konsep layout
pengelolaan TKKS secara terpadu disajikan pada Gambar 24.
3. Bekerjasama dengan petani budidaya jamur merang yang sudah berjalan untuk
memberikan pelatihan cara budidaya jamur merang kepada masyarakat yang
berminat dan ada disekitar lingkungan PKS.
4. Memberikan bantuan kepada masyarakat yang telah diberikan pelatihan untuk
membuka usaha budidaya jamur merang secara berkelompok
5. Membantu pengolahan dan pemasaran pasca panen jamur merang, karena
jamur merang segar tidak tahan lama, sehingga harus segera dipasarkan, dan
6. Setelah semua kegiatan tersebut dilaksanakan, maka untuk mengantisipasi
produk jamur yang tidak habis dijual dalam kondisi segar, perusahaan juga
perlu membantu atau membina teknologi pengolahan jamur merang menjadi
produk makanan olahan, seperti keripik, tepung dan produk jamur lainnya.
Reaktor
Reaktor Padat TKKS
Pupuk Biogas Cair
Cair Tank
1
TPS
fermentasi
2
lindifermentasi
TKKSBJM
Steam-2
3
Crusher
lairlindi
4
KUMBUNG JAMUR
Pipa Saluran Biogas
dandan
5
perendaman
Pupuk
perendaman
Kompos
Kering/Halus 6
bekas
7
GUDANG
bekas
Steam-1
air air
8
Saluran
Saluran
9
RUMAH 10
JAGA
Air
Lantai
Fermentasi
Kolam
Perendaman
PENUTUP
UCAPAN TERIMAKASIH
CURRICULUM VITAE
I. Riwayat Pendidikan
- SD Negeri 7 Tanjungkarang
- SMP Negeri 1 Kedaton Bandar Lampung
- SMA Negeri 5 Bandar Lampung
- S1 (Kimia) Universitas Lampung
- S2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
- S3 Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (IPB)
II. Riwayat Kerja di Poltekkes Kemenkes Tanjungkarang
- Dosen Kimia Jurusan Analis Kesehatan
- Sekretaris Jurusan Analis Kesehatan
- Mewakili institusi Poltekkes Tanjungkarang sebagai Tenaga Ahli
Kesehatan Masyarakat pada Komisi AMDAL Provinsi Lampung, Tahun
2010
III. Riwayat Kerja di Luar Poltekkes Kemenkes Tanjungkarang
- Asisten Dosen Kimia FMIPA Universitas Lampung
- Sales Advisor PT. Agung Semesta Pratama, Jakarta
- Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan Propinsi Lampung
- Tenaga Ahli Kimia PT. Indoconsult Cipta Prestatama, Bogor
- Tenaga Ahli Kimia PT. Reka Cipta Transportindo, Bogor
- Konsultan Lingkungan PT. Indolampung Perkasa
- Konsultan Lingkungan PT. Sweet Indolampung
- Konsultan Lingkungan PT. Garuda Panca Artha
- Konsultan Lingkungan PT. Mulia Kasih Sejati
- Konsultan Lingkungan PT. Charoen Pokhand Indonesia Group Area
Lampung
IV. Publikasi Jurnal dan Seminar
- Purnomo A, dan Purwana R, 2008. Dampak Cadmium Dalam Ikan
Terhadap Kesehatan Masyarakat, Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional 3 (2) : 89 - 96.
- Purnomo A, 2009. Analisis Cemaran Cadmium (Cd) Pada Bioindikator
Dan Biomarker Diteluk Lampung, Prosiding Seminar Nasional Sains
MIPA dan Aplikasinya ISSN 2086-2342 Vol. 1. (755-763)
- Trigunarso SI, dan Purnomo A, 2010. Analisis Risiko Cemaran Cadmium
(Cd) Dalam Butir Beras Terhadap Kesehatan Masyarakat Provinsi
Lampung, Jurnal Kesehatan 1 (1):
- Sulistianingsih E, dan Purnomo A, 2011. Analisis Risiko Cemaran
Cadmium (Cd) Dalam Butir Beras Terhadap Kesehatan Masyarakat
Provinsi Lampung, Jurnal Kesehatan 2 (2): 334-340.
- Purnomo A, Suprihatin, Romli M, dan Hasanudin U, 2018. Biogas
Production from Oil Palm Empty Fruit Bunches of Post Mushroom
Cultivation Media. 2nd International Conference on Biomass
(Toward Sustainable Biomass Utilization for Industrial and Energi
Application), IPB Bogor, 24-25 Juli 2017.
- Purnomo A, Suprihatin, Romli M, dan Hasanudin U, 2018. Comparison
of Biogas Production from Oil Palm Empty Fruit Bunches of Post-
Mushroom Cultivation Media (EFBMM) from Semi Wet and Dry
Fermentation. Journal of Environment and Earth Science 8 (6) : 88 -
96 (terindex Copernicus).
V. Penghargaan
- Dosen Berprestasi Poltekkes Kemenkes Tanjungkarang Tahun 2010
- Satya Lencana Karya Satya 10 Tahun Republik Indonesia 2010
SUSUNAN ACARA
SENAT MASUK
INDONESIA RAYA
MARS POLTEKKES
PEMBUKAAN SIDANG SENAT TERBUKA
- DO’A
- SAMBUTAN DIREKTUR
- ORASI-1
- ORASI-2
PENUTUP
TAMU:
- Direktur/Ketua Senat
- PUDIR
- Kajur
- Dosen/Anggota Senat
- Mahasiswa
http://www.lampost.co/berita-ketahanan-pangan-dan-energi-berbasis-kerakyatan.html
Ketahanan Pangan dan Energi Berbasis Kerakyatan
Purwanto/ Dosen Pascasarjana UMB 15 Aug 2018 - 6:45 1048
Ilustrasi
pangan dan energi. (Dok/Lampost.co)
AGUSTUS ini, tepat 23 tahun peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional
(Hakteknas) diselenggarakan. Terlepas dari seremoni Hakteknas, sejatinya ada
hal yang menjadi catatan bersama tentang kemajuan teknologi dalam negeri.
Sebab, memang faktanya kemajuan teknologi dalam negeri masih jauh dari
harapan.
Lebih menyakitkan lagi teknologi dalam negeri belum mampu menggarap semua
potensi nasional secara langsung. Potensi atau kekayaan negara ini hampir
semua digarap atau dikelola dengan teknologi asing, termasuk sektor pangan
dan sektor energi.
Tidak heranlah jika potret kondisi pangan dan pengelolaan energi di Indonesia
memprihatinkan. Lahan yang luas dan subur tak mampu menghadirkan jumlah
pangan yang memadai bagi penduduknya, maka wajar jika impor pangan jadi
solusi. Sumber energi yang berlimpah pun lebih banyak dikelola dengan
teknologi dan tenaga asing, maka wajar harga energi masih mahal untuk dimiliki
bangsa ini.
Swasembada Pangan
Tidak bisa dimungkiri bangsa ini pernah mencapai ketersediaan beras yang
berlimpah dari hasil buminya sendiri. Keberlimpahan beras sebagai sumber
pokok pangan rakyat Indonesia saat itu menjadi simbol kemakmuran negeri,
bahkan mampu memenuhi kebutuhan beras negara lain.
Ketersediaan beras berlimpah itu tercatat dalam sejarah sebagai swasembada
beras. Itulah prestasi sektor pangan yang luar biasa berhasil diraih pemerintah
zaman itu. Keberhasilannya menuai pujian internasional yang dibuktikan sebuah
penghargaan dari FAO (Food and Agriculture Organization) pada 1984.
Keberhasilan itu diraih melalui fokus dan intensitas program yang berkelanjutan.
Bernaung di bawah gerakan revolusi pangan yang menggerakkan berbagai hal,
mulai penyiapan regulasi, program intensifikasi massal yang tertata, bimbingan
massal untuk meningkatkan produksi pertanian, bibit unggul padi, hingga
penerapan teknologi tanam, pergeseran pun terjadi. Sebelumnya, sawah
tradisional yang satu kali panen setahun berubah menjadi dua hingga tiga kali
dalam setahun.
Apa yang dilakukan pada sektor pertanian di 1984 sejatinya kekuatan pertanian
Indonesia, yakni menempatkan teknologi dan ilmu pengetahuan yang tepat guna,
sekaligus keterlibatan petani sebagai pelaku langsung dalam kemajuan
pertanian.
Semangat itu sejatinya sudah tertuang dalam UU No. 12/2012 tentang Pangan.
Bahkan, konsep ketahanan pangan telah didefinisikan secara tepat dan
mendetail, mulai makna terpenuhinya pangan dari ketersediaan, jumlah maupun
mutunya yang harus aman, merata, terjangkau, dan berbasis pada keragaman
sumber daya lokal. Definisi itu jelas melibatkan pelaku pertanian.
Selanjutnya, ketahanan pangan juga dimaknai sebagai sistem yang terdiri atas
subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Subsistem ketersediaan
pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan
seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman, maupun
keamanannya.
Sementara itu, subsistem distribusi berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang
efektif dan efisien untuk menjamin seluruh rumah tangga dapat memperoleh
pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga
yang terjangkau.
Namun, pada praktiknya sektor pertanian yang menjadi fondasi ketahanan
pangan berjalan terpisah. Petani tidak lagi mendapatkan bimbingan yang baik,
kemajuan teknologi pertanian hanya dinikmati kalangan industri pertanian, bibit
dan pupuk yang mengikuti pola pasar bebas. Akibatnya, tingkat keberhasilan
panen pun menjadi sulit terukur.
Lagi-lagi kunci ketahanan pangan itu berada di tangan petani. Pemerintah perlu
mendekati petani layaknya mendekati kelompok industri. Petani perlu diasuh,
dirawat, dan dilindungi. Tentu beserta infrastruktur yang menunjang pertanian
dengan menggandeng perguruan tinggi sebagai pusat inovasi yang dapat
mendukung kebutuhan sektor pertanian.
Ketahanan Energi
Istilah ketahanan energi, kemandirian energi, dan kedaulatan energi merupakan
istilah yang selalu melekat dalam pembahasan energi. Ketiganya pun kerap
terjadi selisih dalam pemaknaannya.
Ketahanan energi dimaknai ketersediaan (availability) dengan indikator sumber
pasokan, kemampuan untuk membeli (affordability), dan adanya akses
(accessibility) bagi pengguna energi, serta bertahan untuk jangka panjang
(sustainability). Sementara itu, kemandirian energi diterjemahkan sebagai
kemampuan memanfaatkan keragaman energi. Kemudian kedaulatan energi
ialah hak negara dan bangsa untuk secara mandiri menentukan kebijakan
pengelolaan energi.
Persoalan energi sejatinya telah menjadi masalah serius sejak 1970-an, ketika
Arab Saudi menghentikan ekspor minyak ke negara Eropa dan Amerika Serikat.
Dampaknya pergerakan ekonomi pada negara tersebut mengalami kendala.
Terlebih, ketergantungan pada energi minyak bumi saat itu masih sangat besar.
Terkait dengan itu, isu ketahanan energi suatu negara menjadi strategis.
Ancaman hilangnya ketersediaan energi menjadi sumber konflik internal, bahkan
bisa menjadi persoalan regional. Dalam jangka luas memicu konflik global.
Sementara itu, Indonesia memiliki kecukupan energi. Selagi mampu
mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT). Berdasarkan data
Kementerian ESDM tercatat potensi EBT di Indonesia lebih dari
441 gigawatt (GW) dan ternyata baru terealisasi sekitar 8,89 GW.
Hal tersebut mempertegas belum fokusnya pemerintah dalam upaya
pengembangan EBT. Padahal, energi baru dan terbarukan merupakan jawaban
terbaik untuk memperkuat ketahanan energi. Berdasarkan data pada 2016,
konsumsi energi yang meliputi minyak, gas, dan batu bara di Indonesia
mengalami peningkatan hingga 5,9%. Sementara itu, dalam 20 tahun terakhir,
tingkat konsumsi ini meningkat dua kali lipat, dan yang tercepat dalam lima tahun
terakhir (Statistical Review of World Energy 2017).
Dalam laporan itu jumlah konsumsi energi nasional terdiri atas minyak sebesar
44%, gas alam 21,9%, batu bara 28,7%, dan 5,5% energi terbarukan. Kondisi ini
tampak memprihatinkan karena konsumsi energi berasal dari energi
nonterbarukan. Jika keadaan ini tetap berlangsung, ancaman krisis energi
berkepanjangan dapat terjadi. Untuk mencegahnya, pemerintah harus
menggalakkan penggunaan energi terbarukan.
Dalam praktiknya, penyediaan energi di Indonesia masih didominasi peran
pemerintah. Padahal, pada Pasal 19 UU No30/2007 tentang Energi telah
mengatur keterlibatan masyarakat dalam pemenuhan energi. Dengan demikian,
masyarakat patut dimotivasi dan dalam pengembang energi, terutama energi
baru dan terbarukan.
Sejumlah daerah yang memiliki bentangan pantai bisa mengembangkan energi
ombak, energi angin, dan energi matahari sebagai sumber energi lokal. Dengan
demikian, berbeda pula dengan daerah yang berada di pegunungan. Tantangan
pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat ialah tidak adanya
kesiapan pengelolaan. Maka dari itu, perlu keterlibatan perguruan tinggi untuk
mendukung kesiapan SDM.