Anda di halaman 1dari 37

ANALISIS DIFUSI INOVASI KAMPUNG PELANGI

DI DESA WISATA BEJALEN

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I


pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Informatika

Oleh:

RIFDA NADIA AUFA


L100140094

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
HALAMAN PERSETUJUAN

ANALISIS DIFUSI INOVASI KAMPUNG PELANGI


DI DESA WISATA BEJALEN

PUBLIKASI ILMIAH

Oleh:

RIFDA NADIA AUFA


L100140094

Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji oleh:

Dosen
Pembimbing

Sidiq Setyawan,M.I.Kom.

NIK. 110.1675
HALAMAN PENGESAHAN

ANALISIS DIFUSI INOVASI KAMPUNG PELANGI


DI DESA WISATA BEJALEN

OLEH
RIFDA NADIA AUFA
L100140094

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji


Fakultas Komunikasi dan Informatika
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari ……., ………. 2019
dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Dewan Penguji:

1. Sidiq Setyawan, M.I.Kom (……..……..)


(Ketua Dewan Penguji)
2. Dr. Dian Purworini, MM (……………)
(Anggota I Dewan Penguji)
3. Agus Triyono, M.Si (…………..)
(Anggota II Dewan Penguji)

Dekan,
Nurgiyatna, ST., M.Sc., Ph.D

NIK. 881
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam publikasi ilmiah ini tidak
terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis diacu
dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya di atas,


maka akan saya pertanggungjawabkan sepenuhnya.

Surakarta, ..................... 2019

Penulis

RIFDA NADIA AUFA

L100140094
ANALISIS DIFUSI INOVASI KAMPUNG PELANGI
DI DESA WISATA BEJALEN

Abstrak

Desa wisata merupakan kawasan yang terletak di pedesaan dimana memiliki suatu
karakteristik tersendiri seperti tradisi dan lingkungan yang masih asli serta
memiliki kearifan lokal yang dapat ditonjolkan. Kampung Pelangi adalah suatu
inovasi bersama yang disepakati oleh masyarakat Desa Wisata Bejalen dengan
tujuan untuk menarik pengunjung serta meningkatkan perekonomian masyarakat
dan kesadaran akan kebersihan lingkungan. Peneliti lebih lanjut menganalisis
dampak yang terjadi terhadap Desa Wisata Bejalen dan masyarakatnya setelah
mengadopsi inovasi Kampung Pelangi melalui tahapan-tahapan proses
pengambilan keputusan inovasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan
deskriptif kualitatif dengan tujuan menjelaskan dampak dari inovasi Kampung
Pelangi melalui proses pengambilan keputusan inovasi melalui data-data yang
diperoleh. Peneliti menggunakan data primer berupa wawancara mendalam dan
observasi non-partisipan. Sedangkan data sekunder berupa dokumentasi.
Pengambilan sampel dilakukan secara non probabilitas menggunakan teknik
sampling snowball sampling dengan key informant Kepala Desa Bejalen.
Selanjutnya data akan dianalisis menggunakan model interaktif milik Miles dan
Huberman. Untuk validitas data peneliti menggunakan triangulasi sumber data.
Hasil dari penelitian ini adalah komunikasi yang terjadi selama proses adopsi
inovasi Kampung Pelangi oleh masyarakat Desa Wisata Bejalen berupa
komunikasi kelompok saat dicetuskannya inovasi Kampung Pelangi dan
sosialisasi mengenai inovasi Kampung Pelangi, komunikasi organisasi saat proses
sosialisasi inovasi Kampung Pelangi, serta komunikasi massa melalui papan-
papan sapta pesona dan penggunaan media facebook. Inovasi Kampung Pelangi
berdampak terhadap Desa Wisata Bejalen dan masyarakatnya dari segi ekonomi,
kebersihan serta perubahan pola pikir dan perilaku masyarakatnya.
Kata kunci: Kampung Pelangi, Difusi Inovasi, Komunikasi Pembangunan,
Adopsi Inovasi.

Abstract
Tourism is an area located in the countryside that has its own characteristics such
as traditions and environments that are still original and have local wisdom that
can be showed. Rainbow Village is a joint innovation that was agreed by Bejalen
Tourism Village society with aim of attracting visitors also improving the
community's economy and awareness of environmental cleanliness. The
researcher analyzed the impact on Bejalen Tourism Village and its community
after adopting Rainbow Village innovations through the stages of the innovation
decision-making process. This research using qualitative descriptive method with
the aim of explaining the impact of Rainbow Village innovation through an
innovation decision-making process with the data obtained. The researcher used
primary data in the form of in-depth interviews and non-participant observation.
While secondary data in the form of documentation. Sampling was done on a non-
probability basis using the snowball sampling technique with the key informant
Bejalen Village Chief. Then the data will be analyzed using interactive models
belonging to Miles and Huberman. For data validity, researchers use
triangulation of data sources. The results of this study were communication that
occurred during the process of adopting Rainbow Village innovations by the
Bejalen Tourism Village society in the form of group communication when
Rainbow Village innovation was initiated and socialization of Rainbow Village
innovations, organizational communication during the Rainbow Village
innovation socialization process, and mass communication through Sapta Pesona
boards and use of Facebook. The innovation of Rainbow Village has an impact on
the Bejalen Tourism Village and its society in terms of economy, cleanliness and
changes in the mindset and behavior of its people.
Keywords: Rainbow Village, Diffusion of Innovation, Development
Communication, Adoption of Innovation.

1. PENDAHULUAN
Desa sebagai tempat berkumpulnya para individu perlu melakukan perubahan
agar memiliki suatu nilai khusus sehingga masyarakatnya berkembang dan
berdaya. Agar suatu desa menjadi berkembang dan berdaya maka dibutuhkan
peran dari seluruh masyarakat desa itu sendiri serta adanya suatu ide baru. Salah
satu faktor terjadinya perubahan adalah karena adaya suatu penemuan, ide atau
inovasi yang kemudian disebarkan kepada masyarakat suatu desa untuk diterima
dan diadopsi. Penyebaran ide baru tersebut pastilah membutuhkan proses hingga
akhirnya masyarakat dapat menerima ide baru tersebut atau bahkan menolaknya.
Peran partisipan yang aktif akan mendukung pengembangan
dilingkungannya, salah satunya dalam aspek pariwisata. Pembangunan dapat
berhasil jika masyarakatnya ikut berpartisipasi serta adanya komunikasi.
Komunikasi dibutuhkan untuk menyampaikan tujuan ataupun perencanaan dari
pembangunan itu sendiri (Wicaksono, 2017). Pembangunan sendiri berarti usaha
untuk mengkomunikasikan suatu program pembangunan kepada masyarakat luas
yang mendidik dan memotivasi masyarakat (Sucahya & Surahman, 2017).
Program pembangunan dalam penelitian ini yaitu inovasi.
Desa wisata sebagai desa yang menawarkan kearifan lokal dan masih asli
juga perlu melakukan pembangunan. Yoeti mendefinisikan desa wisata sebagai
kawasan yang terletak di pedesaan dimana memiliki suatu karakteristik tersendiri
(Zakaria & Suprihardjo, 2014). Karakteristik yang dimaksud seperti tradisi yang
masih asli, lingkungan yang asli dan terjaga, memiliki makanan khas, serta
kearifan lokal yang dapat ditawarkan sebagai wisata. Seperti halnya Desa Wisata
Bejalen yang menawarkan kearifan lokalnya dalam hal perairan, pertanian, dan
perikanan yang masih alami.
Inovasi merupakan suatu hal yang baru maka dibutuhkan seseorang atau
sekelompok orang untuk mengedukasi masyarakat agar mengerti maksud dari
inovasi itu sendiri sehingga dapat diterima dan diterapkan di masyarakat desa
wisata tersebut dan diharapkan masyarakat bisa menjadi partisipan aktif
(Farihanto, 2016). Desa Wisata Bejalen ini memiliki suatu inovasi yang diberi
nama Kampung Pelangi. Kampung Pelangi sendiri yaitu inovasi dimana tempat
tinggal masyarakat Desa Wisata Bejalen di cat dengat cat berbagai macam warna
yang membentuk suatu gambar tertentu sebagai latarbelakang untuk
berfoto(“Visitbejalen.id,” n.d.). Kampung Pelangi dapat dikatakan sebagai suatu
inovasi karena masyarakat Desa Wisata Bejalen sebelumnya belum pernah ada ide
atau menggunakan ide seperti ini. Kampung pelangi tidak hanya perubahan dalam
hal warna tetapi juga hal kebersihan serta meningkatkan ekonomi masyarakatnya.
Dalam penelitian Hastuti & Ismayanti (2018) menjelaskan Kampung Pelangi
merubah kampung yang dulunya kumuh dengan sungainya yang dipenuhi sampah
menjadi kampung yang lebih indah, rapi, bersih serta mengangkat ekonomi
masyarakatnya.
Untuk menyebarkan inovasi dibutuhkan suatu komunikasi yang merata ke
seluruh masyarakat desa wisata dalam proses sosialisasi. Kelompok Sadar Wisata
Desa Wisata Bejalen berperan aktif sebagai agen penyeru dalam proses
komunikasi pembangunan untuk pemberdayaan masyarakat. Proses menyebarkan
inovasi ini disebut dengan istilah “Difusi Inovasi” dalam disiplin ilmu
komunikasi. Difusi sendiri merupakan salah satu jenis komunikasi yang berkaitan
dengan penyebaran pesan sebagai inovasi (Pratama, 2016).
Difusi Inovasi sendiri menurut Rogers merupakan proses untuk
mengkomunikasikan dan menyebarkan suatu ide baru atau inovasi melalui saluran
tertentu dengan waktu tertentu kepada masyarakat (Wood, 2017). Difusi Inovasi
merupakan bagian dari komunikasi karena diperlukan komunikasi untuk
menyebarkan suatu inovasi. Terdapat empat elemen pokok dalam proses difusi
inovasi menurut Rogers yaitu The Innovation atau inovasi, Communication
Channel atau saluran komunikasi, Time atau waktu, dan A Social System atau
Sistem Sosial (Setyawan, 2017).
Inovasi tidak diterima begitu saja setelah didifusikan. Terdapat proses atau
tahapan untuk pada akhirnya menerima atau bahkan menolak suatu inovasi.
Terdapat lima proses pengambilan keputusan dalam difusi inovasi menurut
Rogers yaitu Tahapan Pengetahuan, Tahapan Persuasi, Tahapan Keputusan,
Tahapan Implementasi, dan Tahapan Konfirmasi (Setyawan, 2017). Inovasi akan
memiliki dampak ketika diadopsi, baik dampak bagi desa maupun masyarakatnya.
Teori ini juga digunakan pada penelitian sebelumnya oleh Alkornia (2016)
dimana terdapat lima tahap dalam proses pengambilan keputusan adopsi inovasi,
sehingga kelima tahapan tersebut relevan untuk digunakan dalam mengamati
proses adopsi inovasi di Desa Wisata Bejalen. Kampung Pelangi sebagai suatu
inovasi tentu akan didifusikan kepada masyarakat luas yaitu masyarakat Desa
Wisata Bejalen, sehingga perlu diteliti menggunakan teori difusi inovasi karena
terdapat proses pengambilan keputusan adopsi inovasi. Peneliti tertarik untuk
meneliti bagaimana dampak yang terjadi terhadap Desa Wisata Bejalen dan
masyarakatnya setelah adanya pengambilan keputusan mengadopsi inovasi
Kampung Pelangi.
1.1 Komunikasi Pembangunan dalam Desa Wisata
Komunikasi pembangunan merupakan suatu strategi dalam penyebaran informasi
pembangunan dengan prinsip pemberdayaan kepada khalayak (Badri, 2016).
Pembangunan biasanya dilakukan di daerah-daerah yang masih tertinggal baik dari
segi ekonomi maupun kesejahteraan masyaraktnya. Dalam artikel Kementerian
Pariwiwsata tahun 2011 menyatakan sedang banyak dilakukan pembangunan desa-
desa di Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan masyaraktnya dengan
memanfaatkan sumber daya yang ada di desa itu. Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif mentargetkan ada 2.000 desa wisata di tahun 2014 dengan tujuan
membentuk masyarakat sadar wisata yang memahami potensi wisata di desanya
sehingga dapat dimanfaatkan menjadi objek wisata (“Kemenpar.go.id,” n.d.).
Pembangunan membutuhkan partisipasi dari masyarakatnya mulai dari
proses perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi (Sulaiman, Sugito, & Sabiq,
2016). Masyarakat perlu memiliki pola pikir sadar wisata yang mana diharapkan
dapat meningkatkan pemahaman sehingga mendorong masyarakat untuk ikut
berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata (Nursaid & Armawi, 2016).
Menurut Rogers konsep pemberdayaan masyarakat ini berkaitan dengan
pembangunan sosial dimana dalam lingkungan tersebut terdapat perubahan
menuju suatu sistem sosial yang lebih baik dan masyarakat menjadi partisipan
aktif. Pembangunan sedikitnya melibatkan tiga komponen utama yang pertama
adalah komunikator yang dapat berupa pemerintah, opinion leader ataupun agent
of change. Kedua, pesan yang berisi ide-ide atau inovasi. Ketiga, komunikan yaitu
masyarakat luas yang menjadi sasaran pembangunan (Zainal & Sarwoprasodjo,
2018).
Desa Wisata sendiri merupakan salah satu penerapan pembangunan dalam
sektor pariwisata dimana menjunjung nilai asli budaya dari desa tersebut (Dewi,
Fandeli, & Baiquni, 2013). Pembangunan desa merupakan upaya peningkatan
kualitas hidup untuk kesejahteraan masyarakat desanya dengan cara
pemberdayaan yang bertujuan untuk mengembangkan kemandirian dan
kesejahteraan dengan cara meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap,
pemanfaatan sumber daya, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan
potensi ekonomi lokal dan aspek lainnya (Undang Undang RI Nomor 6 Tahun
2014, n.d.)
Tujuan pembangunan desa wisata melalui pemberdayaan masyarakat
tersebut tidak hanya pembangunan dari segi ekonomi saja melainkan dalam aspek
sosial dan budaya sehingga pembangunan dapat terwujud (Andriyani, Martono, &
Muhamad, 2017). Pemberdayaan masyarakat perlu dilakukan demi terciptanya
masyarakat wisata yang berkompeten baik secara ekonomi, sosial maupun budaya
agar optimal dalam setiap peluang yang muncul dari kegiatan desa wisata
(Hermawan, 2016). Maka dari itu dengan adanya Kampung Pelangi ini
merupakan suatu pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Desa Wisata Bejalen dimana masyarakatnya menjadi partisipan aktif dengan
wujud memberikan izin untuk tembok rumahnya diwarnai serta memberdayakan
masyarakatnya dalam kegiatan mengecat tembok rumah. Upaya pembangunan
tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya tarik pengunjung untuk
mengunjungi Desa Wisata Bejalen.
Hasil akhir dari pembangunan sendiri adalah difusi inovasi. Menurut
Rogers difusi inovasi merupakan proses dimana inovasi dikomunikasikan melalui
saluran tertentu dan dalam waktu tertentu kepada khalayak. Partisipan akan
menciptakan dan menyebarkan informasi diantara anggotanya sehingga dapat
memiliki pemahaman yang sama (Rusadi, 2014).
1.2 Adopsi Inovasi dalam Difusi Inovasi
Menurut Rogers difusi inovasi merupakan teori yang menjelaskan mengenai
evolusi dan penyebaran suatu ide inovasi kepada khalayak melalui saluran
komunikasi dan adanya penerimaan dari pengadopsi (Yap & Chen, 2017). Rogers
berpendapat terdapat 4 elemen pokok dalam difusi inovasi yaitu:
Inovasi merupakan suatu ide atau gagasan baru bagi seseorang. Rogers
dalam (Isnawati, 2017) mengemukakan ada 5 karakteristik inovasi yaitu relative
advantage, compatibility, complexity, triability, dan observability. Pertama,
relative advantage (keuntungan relatif) merupakan tingkat kelebihan suatu inovasi
dilihat dari segi ekonomi, sosial, kenyamanan, dan kepuasan. Semakin besar
keuntungan relatif bagi adopter maka inovasi akan semakin cepat diadopsi.
Kedua, compatibility atau kesesuaian, apakah inovasi tersebut sesuai dengan nilai-
nilai, pengalaman, dan kebutuhan adopter. Ketiga, complexity (kerumitan),
seberapa mudah inovasi untuk dapat dimengerti. Semakin mudah dimengerti
maka akan semakin cepat diadopsi. Karakteristik yang keempat yaitu triability
atau dapat diuji coba, apakah inovasi tersebut dapat diuji coba terlebih dahulu.
Kelima, observability (kemungkinan diamati) yaitu bagaimana hasil dari suatu
inovasi dilihat orang lain. Semakin mudah dilihat hasil inovasi tersebut maka
semakin besar kemungkinan untuk diadopsi (Haida, 2017).
Saluran Komunikasi menurut Rogers dalam (Setyawan, 2017) ada 2
saluran yang digunakan dalam difusi inovasi yaitu mass media channels dan
interpersonal channels. Mass media channels (saluran media massa) merupakan
saluran yang mengirimkan pesan melalui radio, televisi, koran, dan lainnya yang
dapat mencakup audiens secara luas. Saluran media massa efektif untuk
menyebarkan inovasi kepada khalayak luas dimana hal tersebut mulai terjadi pada
tahap knowledge (tahap pengetahuan) dalam innovation decision process (proses
pengambilan keputusan inovasi) yaitu saat khalayak awal mengetahui inovasi
tersebut dan ingin mencari informasi lebih. Sedangkan interpersonal channels
(saluran interpersonal) memiliki cakupan yang lebih sempit tetapi lebih efektif
untuk membujuk orang karena bersifat lebih personal. Saluran interpersonal lebih
bertujuan untuk mengubah sikap atau perilaku khalayak secara personal dimana
terjadi mulai tahap decision. Saat seseorang telah memutuskan mengadopsi suatu
inovasi maka mereka akan bertukar informasi dengan orang yang lebih paham
mengenai inovasi tersebut (Nurhayati & Herawati, 2018).
Waktu dibutuhkan untuk mengadopsi suatu inovasi dengan periode
tertentu. Waktu yang dimaksudkan seperti waktu yang dibutuhkan untuk
seseorang menerima atau menolak suatu inovasi maupun jangka waktu cepat atau
lambatnya seseorang dalam mengadopsi inovasi (Sucahya & Surahman, 2017).
Sistem Sosial menjadi salah satu elemen penting dalam difusi inovasi.
Inovasi juga harus sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam
sistem sosial seseorang, kelompok, maupun organisasi yang hendak mengadopsi
inovasi tersebut. Inovasi yang sesuai dengan nilai dan persyaratan sistem sosial
akan diadopsi lebih cepat daripada yang tidak sesuai (Akın, 2016).
Suatu inovasi tentu tidak diterima begitu saja setelah didifusikan. Ada
tahapan-tahapan untuk pada akhirnya seseorang, kelompok, atau organisasi
memutuskan untuk menerima atau menolak suatu inovasi. Rogers mengemukakan
ada 5 tahap dalam proses memutuskan untuk mengadopsi suatu inovasi yaitu
knowledge, persuasion, decision, implementation, dan confirmation (Millen &
Gable, 2016).

Gambar 1.1 innovation decision process


Sebelum memulai tahapan-tahapan proses pengambilan keputusan inovasi
terdapat prior conditions atau kondisi sebelum seseorang, kelompok atau
organisasi menerima inovasi. Kondisi sebelumnya tersebut meliputi previous
practice (praktik sebelumnya), felt needs/problems (kebutuhan atau masalah),
innovativeness (keinovatifan), serta norms of the social system (norma-norma
sistem sosial).
Berikut tahapan- tahapan dalam innovation decision process menurut
Rogers dalam penelitian milik Lin & Cantoni (2018) yang berjudul “Decision,
Implementation, and Confirmation: Experiences of Instructors behind Tourism
and Hospitality MOOCs”. Pertama, Knowledge (Pengetahuan), Rogers
berpendapat knowledge merupakan tahap saat individu mengetahui adanya suatu
inovasi dan bagaimana fungsi dari inovasi tersebut. Kedua, Persuasion (Ajakan),
pada tahap ini individu lebih terlibat secara psikologis. Mereka akan lebih aktif
mencari informasi mengenai inovasi tersebut. Perlu diperhatikan dalam hal ini
dimana mereka mencari informasi, pesan apa yang diterima, dan bagaimana
pandangannya terhadap informasi yang didapatkannya tersebut. Pada tahap ini
persepsi sangatlah penting dalam menentukan perilaku individu. Alasan seseorang
mencari informasi mengenai inovasi tersebut adalah untuk mengurangi
ketidakpastian dari suatu inovasi tersebut. Hasil utama dari tahap ini adalah suatu
sikap, baik itu menguntungkan atau tidak menguntungkan terhadap inovasi
tersebut (Rogers, 1983). Menurut Rogers terdapat beberapa hal yang dapat
mempengaruhi individu untuk dapat mengadopsi inovasi dengan cepat atau
lambat yaitu relative advantage (keuntungan relatif), compatibility (kesesuaian),
complexity (kerumitan), triability (dapat diuji coba), dan observability
(kemungkinan diamati) (Akın, 2016).
Rogers dalam Soemardjo (2014) menambahkan yang ketiga yaitu Decision
(Keputusan), tahap ini menjelaskan dimana individu akan mengadopsi atau
menolak suatu inovasi. Mengenai penolakan sebenarnya dapat terjadi pada tahap-
tahap sebelumnya seperti menolak untuk mengetahui mengenai inovasi tersebut.
Pada tahap ini terdapat dua keputusan yaitu mengadopsi atau menolak inovasi.
Saat individu mengadopsi proses tersebut tidak hanya berhenti disitu namun ada
dua kemungkinan yaitu melanjutkan untuk mengadopsi atau berhenti mengadopsi.
Sama halnya dengan penolakan dimana terdapat dua kemungkinan yaitu
melanjutkan penolakan atau malah menjadi later adoption.
Keempat, Implementation (Pengaplikasian), terjadi saat memutuskan untuk
menggunakan inovasi. Rogers menjelaskan pada tahap ini dapat muncul masalah
mengenai bagaimana cara menggunakan inovasi tersebut. Lalu kapan tahap
implemetasi akan berakhir? Implementasi akan berakhir saat inovasi sudah bukan
lagi hal baru bagi para adopter dan menjadi suatu rutinitas. Hal ini dapat mewakili
penghentian proses pengambilan keputusan inovasi bagi sebagian besar individu.
Namun masih ada beberapa individu yang berlanjut pada tahap selanjutnya
(Haida, 2017).
Rogers dalam (Haida, 2017) menambahkan yang kelima yaitu
Confirmation (Konfirmasi), pada tahap ini individu mencari penguatan untuk
keputusan inovasi yang telah dibuat. Pada tahap ini terdapat kemungkinan terjadi
discontinuance atau penghentian, yaitu keputusan untuk menolak setelah
sebelumnya mengadopsi inovasi. Terdapat dua jenis discontinuance yaitu
replacement (penggantian) dan disenchantment (kekecewaan). Replacement
discontinuance adalah keputusan untuk menolak mengadopsi inovasi yang lebih
baik. Sedangkan Disenchantment discontinuance adalah keputusan untuk menolak
inovasi sebagai akibat ketidakpuasan dengan kinerjanya. Maka peran inovator
sangatlah penting dalam tahap ini karena tidak hanya membuat individu
mengadopsi inovasi tetapi juga harus mempertahankannya agar tidak terjadi
penghentian (Haida, 2017).
Penelitian sebelumnya yang berjudul “Difusi Inovasi Teknologi Green
House di Kalangan Petani Mangga” oleh Sylva Alkornia tahun 2016 relevan
dengan penjelasan di atas. Pada penelitian tersebut petani mangga di wilayah
sekitar SKB Situbondo melalui lima tahapan adopsi. Dimulai dari kesadaran
masyarakat terhadap manfaat dari program green house yang dapat meningkatkan
kompetensi para petani untuk mengembangkan pertanian mangga. Kemudian para
petani mangga selaku calon adopter mencari informasi lebih lanjut mengenai
inovasi green house tersebut. Petani-petani mangga menilai baik ataupun
buruknya inovasi tersebut bagi mereka sebelum pada akhirnya mengadopsi
inovasi tersebut. Dibutuhkan jangka waktu yang berbeda-beda tiap calon adopter
untuk mengadopsi program green house. Para petani mangga dapat merasakan
dengan pasti manfaat program green house dan paham cara pelaksanaannya. Hal
tersebut menjadi pertimbangan apakah adopter akan melanjutkan penggunaan
inovasi tersebut atau malah sebaliknya yaitu menghentikan. Namun para petani
puas dengan program inovasi ini sehingga tahap konfirmasi dapat dikatakan telah
dilewati. Adopter telah memutuskan untuk melanjutkan program green house
karena membantu meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.
2. METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif yang
dilakukan di Desa Wisata Bejalen, Ambarawa, Kabupaten Semarang, Provinsi
Jawa Tengah. Penelitian deskriptif bukanlah penelitian yang meneliti mengenai
hubungan atau menguji hipotesis tetapi memaparkan suatu situasi atau peristiwa
(Rakhmat, 2009).
Penelitian ini terdiri dari dua jenis data yaitu primer dan sekunder. Data
primer adalah data yang diperoleh dari sumber pertama (Umar, 2002). Dalam
penelitian ini data primer diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi.
Wawancara mendalam merupakan proses untuk memperoleh keterangan dengan
cara tanya jawab secara tatap muka antara pewawancara dan informan (Nazir,
2014). Proses wawancara akan dilakukan kepada masyarakat Desa Wisata Bejalen
dengan tipe semi terstruktur, yaitu peneliti dapat menambahkan pertanyaan-
pertanyaan tambahan diluar pertanyaan panduan untuk menggali data lebih
mendalam (Sarosa, 2012). Sedangkan observasi adalah metode pengumpulan
data dimana peneliti mengamati obyek penelitiannya guna mendeskripsikan gejala
yang ada (Umar, 2002). Peneliti akan menggunakan metode observasi non-
partisipan dimana peneliti tidak terlibat dalam aktifitas yang dilakukan kelompok
yang diteliti (Rakhmat, 2009). Data sekunder merupakan data yang telah diolah
lebih lanjut menjadi bentuk tabel, grafik, gambar, dan sebagainya sehingga
informatif bagi pihak lain (Umar, 2002). Data sekunder akan diperoleh dengan
metode dokumentasi yaitu pengumpulan data dengan mencatat data-data yang
sudah ada seperti catatan buku, jurnal, arsip, dan lainnya termasuk dokumentasi
visual dalam bentuk foto (Sukmarini, Cangara, & Amar, 2013).
Pengambilan sampel dilakukan secara non probabilitas sebab populasi
belum tentu memiliki peluang yang sama untuk dipilih menjadi sample. Teknik
sampling akan dilakukan dengan cara bola salju atau snowball sampling yaitu
mula-mula jumlah sample hanya sedikit kemudian sample akan memberikan
nama informan lain untuk dijadikan sample lagi, karena peneliti hanya
mengetahui satu atau dua orang yang sekiranya dapat dijadikan key informant
(Umar, 2002). Key informant (informan kunci) adalah seseorang yang dapat
memberikan informasi yang jelas dan terpercaya (Lestaria, Bahar, & Munandar,
2016). Key informant dalam penelitian ini adalah Kepala Desa Bejalen sebagai
tokoh masyarakat yang memahami perkembangan desa serta menyetujui adanya
inovasi Kampung Pelangi sebagai inovasi yang disepakati bersama oleh
masyarakat Desa Bejalen.
Seperti yang telah dikemukakan oleh Miles dan Huberman bahwa data
yang sudah terkumpul akan dianalisis menggunakan model interaktif. Terdapat
tiga tahap dalam analisis ini yaitu mereduksi data (mengambil hal-hal yang
penting dan mengklasifikannya), penyajian data, dan penarikan kesimpulan
(Pujileksono, 2015). Selanjutnya untuk memperoleh data yang akurat diperlukan
pengujian validitas data. Triangulasi sumber digunakan peneliti untuk
membandingkan data hasil wawancara, observasi dan dokumentasi dengan data
yang ada di lapangan sebenarnya sehingga hasilnya akan valid (Moleong, 2007).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Desa Bejalen menjadi salah satu desa wisata di Kabupaten Semarang sejak 2009.
Desa Bejalen tergolong desa yang terletak di dataran rendah di kawasan pinggiran
Rawa Pening yang masuk dalam wilayah Kecamatan Ambarawa, Kabupaten
Semarang, Propinsi Jawa Tengah. Terbagi dalam luas tanah sawah 166 ha,
Kawasan Pemukiman 67 ha, dan daerah terluas adalah Rawa Pening. Desa
Bejalen terbagi menjadi 2 Dusun, yakni: Dusun Bejalen Barat dan Dusun Bejalen
Timur. Desa Bejalen berfungsi sebagai daerah agraris dimana mayoritas penduduk
adalah petani, nelayan, peternak sehingga dapat menunjukan perkembangan baru
yaitu timbulnya industri-industri kecil di daerah pedesaan, misalnya telur asin,
wader goreng, makanan ringan dan yang dikembangkan sekarang ini untuk
mendukung desa wisata adalah cistik betutu (“Visitbejalen.id,” n.d.).
Inovasi merupakan hal yang penting karena suatu hal pastilah perlu suatu
perubahan untuk menjadi lebih baik. Dalam penelitian milik Setijawibawa (2015)
menjelaskan bahwa inovasi penting dibutuhkan untuk kekuatan kompetitif serta
pertumbuhan perusahaan untuk menjadi lebih baik. Sama halnya dengan
penelitian ini dimana inovasi penting untuk menggerakkan Desa Wisata Bejalen
agar menjadi lebih baik, baik dalam segi ekonomi maupun sosial. Desa Wisata
Bejalen ini memiliki suatu inovasi yang diberi nama Kampung Pelangi sejak
Maret 2017. Kampung Pelangi sendiri yaitu inovasi dimana tempat tinggal
masyarakat Desa Wisata Bejalen di cat dengat cat berbagai macam warna yang
membentuk suatu gambar tertentu sebagai latarbelakang untuk berfoto
(“Visitbejalen.id,” n.d.).
Proses penyebaran inovasi Kampung Pelangi kepada masyarakat Desa
Bejalen sebagian besar dilakukan oleh PokDarWis (Kelompok Sadar Wisata)
dimana membawa dampak positif bagi desa dan masyarakatnya. PokDarWis atau
Kelompok Sadar Wisata sendiri merupakan komponen masyarakat yang berperan
dan berkontribusi dalam pengembangan pariwisata di daerahnya. PokDarWis juga
merupakan mitra pemerintah yang menjadi penggerak serta komunikator dalam
mewujudkan Sapta Pesona serta meningkatkan pembangunan untuk kesejahteraan
masyarakat (Safira, Perbawasari, & Sani, 2018).
Setelah peneliti melakukan penelitian di lapangan terkait dengan
bagaimana dampak yang terjadi terhadap Desa Wisata Bejalen dan masyarakatnya
setelah adanya pengambilan keputusan mengadopsi inovasi Kampung Pelangi,
maka pada tahap ini peneliti akan menjabarkan hasil dan pembahasan sebagai
berikut:
Prior Condition,
Prior condition atau kondisi sebelumnya merupakan kondisi sebelum adanya
inovasi dimana akan mempengaruhi difusi inovasi dikemudian hari (Rogers,
1983). Data Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang menunjukkan desa wisata
semakin banyak muncul pada tahun 2016 namun pada tahun 2018 hanya ada 20
desa wisata yang aktif. Salah satu faktor penyebab mati surinya desa wisata
adalah kurangnya keinovatifan masyarakatnya(“Tribunnews.com,” n.d.). Begitu
juga dengan Desa Wisata Bejalen yang sempat kurang produktif karena
masyarakatnya kurang menyadari adanya potensi bahwa desa mereka berpeluang
menjadi aset wisata seperti yang diungkapkan Informan 4:

“Jadi begini, Desa Bejalen itukan jadi desa wisata kan udah lama dan
cuma namanya aja desa wisata tapi istilahnya masyarakatnya nggak sadar
akan adanya desa wisata. Kemudian di tahun 2017 bulan Februari itu dinas
pariwisata kabupaten semarang mengadakan sosialisasi gerakan desa
wisata menjadi lebih bagus dan maju guna menggerakan ekonomi desa
juga. Setelah itu saya dan tim, kita diberi dana untuk menjadikan
Kampung Pelangi”.

Desa Wisata Bejalen sendiri telah dicanangkan sebagai desa wisata sejak
lama, seperti yang diungkapkan Informan 2:

“Bejalen udah dinobatkan desa wisata sudah lama, sekitar tahun


2007/2008, tapi kok tidak ada wisatanya”.
Desa Wisata Bejalen awalnya merupakan desa yang kurang bersih dan
kurang dikenal masyarakat luas seperti yang nyatakan Informan 3:

“Sebelumnya engga begitu terkenal. Dulu pada buang sampah di sungai”.

Inovasi ini ada karena kurangnya minat pengunjung Desa Wisata Bejalen
sehingga masyarakat berkumpul dan berdiskusi untuk membuat suatu inovasi
guna menarik minat pengunjung kembali. Data pengunjung Desa Wisata Bejalen
Tahun 2016 menunjukkan hanya sekitar 900 pengunjung tiap bulannya dan
mayoritas hanya sekedar untuk memancing ikan, seperti yang diungkapkan
Informan 2:

“Kalo yang mancing itu tiap hari ada ya, sehari bisa 50, tapi rata-rata per
hari ya 30 orangan”.

Kondisi Desa Bejalen sebelumnya merupakan desa wisata namun


masyarakatnya kurang menyadari dan kurang tergerak untuk berinovasi
mengembangkan desa sehingga kurang adanya pengunjung. Oleh sebab itu hal ini
menjadi kebutuhan sekaligus masalah (felt needs and problems) yang harus
diselesaikan dengan sebuah inovasi baru untuk menarik minat pengunjung. Felt
needs and problems (kebutuhan dan masalah) sendiri menurut Rogers merupakan
salah satu hal yang dapat mempengaruhi adopsi inovasi dikemudian hari(Almeida,
Farias, & Carvalho, 2017). Desa Bejalen sebagai desa wisata tentu membutuhkan
pengunjung. Namun yang menjadi masalah adalah kurangnya pengunjung Desa
Wisata Bejalen itu sendiri.
3.1 Knowledge (Tahap Pengetahuan)
Tahap pengetahuan merupakan tahap dimana calon adopter memiliki pengetahuan
mengenai inovasi tersebut, bagaimana penerapannya, serta manfaatnya (Meijer,
Catacutan, Ajayi, Sileshi, & Nieuwenhuis, 2015). Komunikasi yang terjadi pada
tahap ini adalah komunikasi kelompok dimana inovasi Kampung Pelangi
diutarakan bersama saat rapat antara PokDarWis, perangkat desa, RT, RW,
masyarakat, dan lainnya sekaligus sosialisasi kepada masyarakat mengenai
inovasi Kampung Pelangi. Komunikasi kelompok menurut Goldberg dan Larson
hampir sama dengan komunikasi organisasi namun komunikasi kelompok bersifat
langsung dan tatap muka (Louisita, 2017). Jadi inovasi ini merupakan inovasi
yang awalnya muncul karena ide bersama, seperti yang diungkapkan Informan 2:

“Bareng-bareng sih. Idenya mau dibuat apa”.

Seperti namanya, Kampung Pelangi tentu identik dengan banyak warna


yang menghiasi area Desa Wisata Bejalen. Sama halnya dengan apa yang
diketahui Informan 1 sebagai berikut:

“Kampung pelangi kalau saya pribadi ya jelas pelangi itu kan warna warni.
Ciri khasnya itu, ditunjang dengan namanya Kampung Pelangi ya semua
serba pelangi, entah cat rumah, genteng dan sebagainya, atau makanan,
Kampung Pelangi harus ditunjang itu. Sampai makanan juga”.

Tujuan dari Kampung Pelangi sendiri untuk menata kampung yang kumuh
agar menjadi kawasan wisata (Muntiaha, Egam, & Waani, 2017). Sama halnya
dengan apa yang diungkapkan Informan 4:

“Jadi kalo saya dulu baca-baca di artikel Kampung Pelangi itu biasanya
dibikin untuk istilahnya desa yang kumuh. Jadi desa yang kumuh itu kan
kemudian kalo dicat, dibersihkan itu kan jadi lebih baik lagi untuk
dipandang. Biasanya sih Kampung Pelangi itu menyelamatkan desa yang
kumuh-kumuh”.

Pemuda-pemuda Desa Wisata Bejalen juga memiliki semangat untuk


mewujudkan inovasi ini seperti yang dipaparkan Informan 5:

“Pemuda itu langsung bergerak sendiri ngecat-ngecat dinding. Ada yang


membantu, ada yang ngasih minuman, sampai malam-malam terus itu.
Kesadaran”.
Informan menyatakan bahwasanya masyarakat Desa Wisata Bejalen
sudah memiliki pengetahuan mengenai apa itu inovasi Kampung Pelangi,
bagaimana penerapannya, dan apa manfaatnya. Komunikasi kelompok pada tahap
ini terjadi saat dicetuskannya inovasi Kampung Pelangi sekaligus disosialisasikan.
Karakteristik unit adopter yang terlihat adalah personality variables (variabel
kepribadian) yang dapat dilihat dari pemudanya yang aktif bergerak untuk
mewujudkan inovasi Kampung Pelangi. Variabel kepribadian sendiri meliputi
pemikiran, pertimbangan yang logis, serta harapan terhadap keberhasilan (Shao,
2007).
3.2 Persuasion (Tahap Ajakan)
Rogers menjelaskan pada tahap persuasi calon adopter akan aktif mencari detail
informasi mengenai inovasi (Wangke, Olfie, & Suzana, 2016). Proses sosialisasi
Kampung Pelangi dilakukan oleh PokDarWis (Kelompok Sadar Wisata) didukung
dengan elemen masyarakat lainnya seperti perangkat desa, BUMDes (Badan
Usaha Milik Desa), RT, RW, dan masyarakat lainnya, seperti yang dikatakan
Informan 2:

“Yang jelas tokoh pemuda yang tergabung dalam PokDarWis, pemerintah


desa, pak RT RW juga ikut andil. Dinas pariwisata paling ikut
mengarahkan dan sering berkunjung ke sini”.

Pada tahap ini komunikasi yang terjadi dalam mengajak dan menyebarkan
inovasi Kampung Pelangi terdapat pada level komunikasi kelompok, komunikasi
organisasi, dan komunikasi massa. Komunikasi kelompok merupakan komunikasi
yang dilakukan sekelompok orang yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan
bersama (Surya, 2016). Komunikasi kelompok dilakukan saat ketua PokDarWis
memberikan sosialisasi dan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam
inovasi ini, seperti yang diungkapkan Informan 4:

“Jadi saya sering ngumpulin masyarakat-masyarakat gitu, misalnya ibu


pkk, kemudian ada tokoh agama juga, kemudian ada RT RW juga, jadi
untuk menyadarkan bahwa kalo bener-bener mau dibikin desa wisata itu
dampaknya begitu, baik untuk masyarakat, dari sisi agama juga”.

Sedangkan komunikasi organisasi merupakan proses komunikasi dua arah


dalam suatu organisasi untuk mewujudkan tujuan organisasi (Katuuk,
Mewengkang, & Kalesaran, 2016). Komunikasi organisasi dilakukan saat ada
rapat RT, RW, PKK maupun PokDarWis, seperti yang diungkapkan Informan 3:

“Ya paling kalo pas kumpulan RT, kumpulan ibu-ibu PKK, paling kan
menyampaikan dari kader, kaderkan nanti juga menyampaikan di RT
masing-masing”.

Komunikasi massa adalah proses komunikasi penyebaran pesan yang


bersifat terbuka melalui media massa baik cetak, elektronik maupun digital
kepada khalayak luas (Halik, 2013). Pada penelitian ini menggunakan komunikasi
massa berupa papan-papan yang berisi 7 sapta pesona dan larangan membuang
sampah di sungai serta facebook untuk menyebarkan momen dan kegiatan yang
ada di Desa Wisata Bejalen, seperti yang diungkapkan Informan 1 dan 4:

“Media komunikasi kalau anak muda kan lebih anak muda itu semacam
facebook. Umpama desa bejalen membangun nah itu nanti di share”.

“Itu ada papan-papan sapta pesona juga, kemudian dilarang membuang


sampah di sepanjang sungai itu, ya itu media komunikasinya untuk
menyadarkan masyarakat”.

Terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi individu untuk dapat


mengadopsi inovasi dengan cepat atau lambat (Akın, 2016), yaitu:
3.2.1 Keuntungan Relatif (Relative Advantages)
Keuntungan relatif merupakan tingkat kelebihan suatu inovasi baik dari segi
ekonomi maupun sosial. Semakin besar keuntungan reatif suatu inovasi maka
akan semakin cepat diadopsi (Ahmad, 2016). Begitu juga dengan inovasi
Kampung Pelangi yang memiliki keuntungan bagi masyarakatnya apabila
mengadopsinya, seperti yang diutarakan Informan 4:

“Yang jelas sih untuk keuntungan yang paling utama biasanya bagi
masyarakat itu ekonomi ya, karena ramai dulu banyak mereka yang jualan
kemudian bisa kerjasama dengan kita, mungkin itu sih, dari segi
ekonominya”.

Sama halnya dengan Informan 5:

“Salah satunya ya yang jualan omsetnya naik, terus yang punya rumah ini
biasanya ngga menghasilkan uang, kalau ada orang nyewa homestay kan
jadi berharga, terus nelayan-nelayan itu perahunya sekarang bisa
disewakan”.

Dalam penelitian Rizki (2018) yang berjudul “Proses Adopsi Inovasi Desa
Wisata Menari” menunjukkan hasil Desa Wisata Menari meningkatan dari segi
ekonomi dan sosial dimana pendapatan masyarakatnya meningkat serta
meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat. Sejalan dengan data yang
didapatkan peneliti, faktor ekonomi menjadi alasan bagaimana calon adopter
mengadopsi inovasi Kampung Pelangi. Karena dengan adanya inovasi ini maka
akan menambah jumlah pengunjung sehingga banyak pembeli serta penyewa
perahu.
3.2.2 Kesesuaian (Compatibility)
Suatu inovasi haruslah sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya, nilai, dan norma
yang ada. Apabila tidak sesuai maka inovasi akan sulit untuk diadopsi (Ahmad,
2016). Seperti halnya Desa Wisata Bejalen dengan inovasinya Kampung Pelangi
yang memang sesuai dengan kebutuhannya sebagai desa wisata untuk menarik
pengunjung, seperti yang diungkapkan Informan 1:

“Ya kalo boleh dikatakan sesuai ya sebenarnya sesuai. Karena Kampung


Pelangi untuk menarik pengunjung”.
Inovasi ini juga dianggap sesuai oleh masyarakat untuk mengangkat
ekonomi, seperti pendapat Informan 2:

“Ya kalo kebutuhannya mungkin sesuai ya. Masyarakat kan juga butuh
pemasukan yang lebih dalam kehidupan. Kalo hanya mengandalkan
pertanian kan kaya musim ini kan kering jadi tidak panen”.

Berbeda dengan pendapat Informan 4 dimana menurutnya inovasi ini


sesuai dengan alasan agar desanya menjadi bersih:

“Ya ada beberapa yang sesuai karena menjadikan desa jadi lebih bersih,
lebih enak dipandang juga, mungkin itu sih yang utama”.

Inovasi Kampung Pelangi sendiri sangatlah sesuai dengan kebutuhan


masyarakat Desa Wisata Bejalen baik dalam segi ekonomi dan kebersihan
lingkungan desa. Setelah ada inovasi Kampung Pelangi kesadaran masyarakat
Desa Wisata Bejalen mengenai kebersihan meningkat. Dengan bertambahnya
pengunjung secara otomatis akan meningkatkan ekonomi masyarakat setempat.
3.2.3 Kerumitan (Complexity)
Suatu inovasi haruslah mudah untuk dimengerti karena semakin mudah untuk
dimengerti akan semakin cepat untuk diadopsi (Ahmad, 2016). Inovasi Kampung
Pelangi ini tidaklah rumit atau susah untuk dimengerti masyarakat Desa Wisata
Bejalen, seperti yang ungkapkan Informan 1:

“Sebenarnya gampang diterima masyarakat, anak muda, orang tua,


gampang, langsung”.

Dalam penerapan inovasi Kampung Pelangi mayoritas masyarakatnya


berpartisipasi aktif. Namun setiap hal pastilah memiliki kendala. Sama halnya
dengan inovasi Kampung Pelangi ini dimana memiliki beberapa kendala,
diantaranya seperti yang diungkapkan Informan 4:
“Setiap kendala pasti ada. Contohnya waktu, pegurusnya, karena untuk
menjadikan inovasi ini perlu rapat lagi, kemudian biaya, pemikiran lagi.
Kendalanya di SDM nya. Kan butuh orang yang bener-bener mau
menyampaikan inovasi apa sih yang mau dibikin. Dan kan ga semua
rumah itu boleh di cat ya istilahnya. Menyadarkan orang yang pemilik
rumah itu untuk dicat semua itu susah”.

Kendala lainnya juga diungkapkan oleh Informan 5:

“Kendalanya kurang edukasi tentang menerima tamu. Anak mudanya juga


pas menerima tamu masih sambil merokok sambil urakan. Kurang
pembekalan edukasi tentang pariwisata”.

Informan menyatakan tidaklah susah untuk memahami inovasi Kampung


Pelangi ini. Namun dalam pelaksanaanya terdapat beberapa kendala, terutama dari
segi sumber daya manusianya.
3.2.4 Tahapan Untuk Dicoba (Trialability)
Tahap ini merupakan tahap dimana suatu inovasi dapat diuji coba terlebih dahulu
atau tidak. Apabila dapat diuji coba terlebih dahulu maka akan semakin mudah
untuk diadopsi (Ahmad, 2016). Pada kasus kali ini terdapat dua pendapat dari
Informan, antara adanya uji coba terlebih dahulu pada inovasi Kampung Pelangi
atau tidak melakukan uji coba sama sekali. Informan 5 berpendapat bahwa inovasi
ini dilakukan tanpa adanya percobaan terlebih dahulu:

“Langsung jalan semua. Ngga pernah ada percobaan”.

Berbeda dengan pendapat dari Informan 2 dimana inovasi Kampung


Pelangi ini ada percobaan terlebih dahulu sebelum akhirnya di adopsi dan di
terapkan ke seluruh desa:

“Dulu masa percobaan dulu. Memang yang di cat kan ga semua dulu,
cuman bantaran kali itu. Yang masuk-masuk gang desa ini kan dulu belum
cuma sekitar kali dulu pertama itu”.
Pada awalnya penerapan inovasi Kampung Pelangi tidak dilakukan secara
serentak. Proses percobaan dilakukan dengan mengawali membersihkan desa,
kemudian mengecat rumah-rumah daerah sekitar sungai sebagai pusat dari Desa
Wisata Bejalen hingga membentuk pola gambar tertentu.
3.2.5 Kemungkinan Untuk Diamati (Observability)
Bagaimana hasil dari suatu inovasi dapat dilihat orang lain. Semakin mudah untuk
dilihat maka besar kemungkinan untuk lebih mudah diadopsi (Ahmad, 2016).
Sebelum akhirnya mengadopsi, masyarakat Desa Wisata Bejalen mengamati
terlebih dahulu saat proses ujicoba Kampung Pelangi, seperti yang diungkapkan
Informan 4:

“He em mengamati dulu. Bagus ngga sih hasilnya, dampaknya apa sih”.

Serta masyarakat menjadi antusias untuk mengadopsi inovasi tersebut,


sepeti pernyataan Informan 2:

“Iya. Kadang malah warga “loh sana dicat kok gonku tidak..?”.

Pada saat proses uji coba terdapat peningkatan-peningkatan dari segi


ekonomi dengan bertambahnya jumlah pengunjung serta peningkatan dari segi
kebersihan yang tercermin dari bersih dan tertatanya lingkungan Desa Wisata
Bejalen. Hal tersebut yang kemudian diamati oleh masyarakat Desa Wisata
Bejalen sehingga menjadi alasan bagi masyarakatnya untuk mengadopsi inovasi
Kampung Pelangi.
3.3 Keputusan (Decision)
Rogers menjelaskan pada tahap keputusan calon adopter akan memilih untuk
mengadopsi atau menolak suatu inovasi (Asnamawati, 2015). Setelah melewati
tahap-tahap di atas maka masyarakat Desa Wisata Bejalen akan memutuskan
untuk mengadopsi inovasi Kampung Pelangi atau tidak. Hasil yang didapatkan
peneliti setelah melakukan penelitian di lapangan menunjukkan masyarakat Desa
Wisata Bejalen mengadopsi inovasi Kampung Pelangi ini, seperti yang diutarakan
Informan 4:

“Ok jadi tindakannya dulu karena itu dulu udah bagus jadi warga itu
menawarkan sendiri, “mas tolong dong rumah ku dicat sekalian”.

Masyarakat Desa Wisata Bejalen juga antusias berpartisipasi dalam


melaksanakan inovasi Kampung Pelangi ini, seperti yang diutarakan informan 2:

“Kadang malah yang ngecat itu yang nyediain makanan sama


minumannya itu yang punya rumah. Terus juga berpartisipasi kerja bakti
membersihkan sungai itu. Jadi tindakannya masyarakat ya jelas mau ambil
bagian dalam menciptakan Kampung Pelangi”.

Namun juga ada beberapa yang menolak untuk mengadopsi inovasi ini,
seperti yang dikatakan oleh Informan 2:

“Tindakannya ya yang jelas memang pasti ada lah yang mau atau yang
engga, yang mengkritik kan pasti ada. Tapi kan kita jalan aja, kita tunggu
hasilnya”.

Pada tahap ini masyarakat Desa Wisata Bejalen memutuskan untuk


mengadopsi inovasi Kampung Pelangi dan ikut berpartisipasi dengan tipe
keputusan inovasi optional innovation-decisions. Optional innovation-decisisons
(keputusan inovasi opsional) merupakan keputusan untuk menerima atau menolak
suatu inovasi yang dibuat oleh individu dimana terdapat pengaruh dari norma-
norma yang ada di lingkungannya (Rogers, 1983). Masyarakat Desa Wisata
Bejalen berpartisipasi dalam hal pengecatan, menyediakan konsumsi, gotong
royong membersihkan sungai serta yang paling penting adalah memberikan izin
untuk tembok rumahnya di cat.
3.4 Pengaplikasian (Implementation)
Tahap implementasi merupakan tahapan saat adopter melaksanakan atau
mengaplikasikan inovasi yang telah menjadi keputusannya (Faizaty, Rifin, &
Tinaprilla, 2016). Masyarakat Desa Wisata Bejalen yang memutuskan untuk
mengadopsi inovasi Kampung Pelangi ini akan menerapkan hasil dari
kesepakatan bersama yaitu mengecat seluruh desa serta membersihkan sungai,
dimulai dari bantaran sungai sebagai pusat. Pengecatan dilakukan oleh para
pemuda desa yang tergabung dalam PokDarWis, seperti yang diungkapkan
Informan 3:

“Pemudanya langsung bikin kaya mewarnai, wis gambar-gambar yang


unik-unik”.

Tidak hanya pemudanya saja yang berpartisipasi aktif namun juga seluruh
masyarakatnya. Beberapa warga juga mengecat sendiri tembok rumahnya, seperti
yang dinyatakan Informan 2:

“Malah ada penduduk yang rumahnya nanti tak cat sendiri. Ya kan ada
penduduk yang di cat sendiri”.

Tidak hanya bentuk fisik yang warna warni saja namun setelah adanya
inovasi Kampung Pelangi ini kehidupan masyarakat Desa Wisata Bejalen
bergerak, ekonomi masyarakatnya juga terangkat, desa menjadi bersih, seperti
yang diungkapkan Informan 1:

“Sesudahnya ya ada peningkatan yang cukup bagus, cukup baik. Artinya


kehidupan bergerak walaupun hanya sebagian, untuk UMKM terutama
yang jualan juga, waktu itu ya mengalami peningkatan drastis”.

Tidak hanya itu, Desa Wisata Bejalen sekarang juga dikenal banyak orang
dengan kesan positif, seperti pernyataan Informan 3:

“Sekarang dengan adanya Kampung Pelangi kan kesannya sekarang beda.


Istilahnya respon dari luar itu positif dibandingkan yang dulu-dulu”.
Dengan adanya inovasi Kampung Pelangi ini tidak hanya merubah secara
fisik atau hal yang dapat dilihat mata saja tetapi juga pola pikir dan perilaku
masyarakatnya. Setelah adanya inovasi Kampung Pelangi ini masyarakat Desa
Wisata Bejalen menjadi lebih sadar akan kebersihan serta menjadi lebih sopan,
seperti yang diutarakan Informan 4:

“Pola pikir masyarakat desa bejalen udah sangat berubah untuk mengenai
sampah ya. Dulu kan banyak masyarakat desa bejalen yang membuang
sampah di sungai. Kemudian setelah dijadikan Kampung Pelangi mereka
jadi sungkan karena banyak tamu-tamu yang datang dan mereka malu kalo
buang sampah di sungai. Lebih santun sih sekarang, karena sering nemuin
tamu-tamu gitu kan kadang diajak ngobrol tamunya, yang dulu pemalu
sekarang engga, salah satunya itu”.

Inovasi Kampung Pelangi sendiri diimplementasikan hingga saat ini untuk


mendukung pariwisata di Desa Wisata Bejalen. Dari data yang didapatkan peneliti
sekarang ini hampir semua Desa Wisata Bejalen telah dicat, seperti yang
dinyatakan Informan 2:

“Kemarin ada perlombaan juga sih antar RT itu biar satu desa bisa menjadi
Kampung Pelangi semua, ya dicat semua keseluruhan”.

Untuk mendukung inovasi Kampung Pelangi masyarakat juga


menyewakan perahu-perahu untuk disewakan kepada pengunjung serta
menyediakan homestay bagi pengunjung yang hendak menginap, seperti yang
diutarakan Informan 4:

“Kita kerjasama dengan kelompok nelayan untuk persewaan perahu,


kemudian pemilik homestay juga karena kalo ada tamu-tamu yang ingin
menginap mereka bisa rumah-rumah warga itu ditinggali dan dapat uang
juga”.
Dengan menerapkan inovasi Kampung Pelangi masyarakat dapat
merasakan keuntungan dari segi ekonominya yang meningkat, lingkungan desa
yang menjadi lebih bersih, sampai pada perubahan pola pikir dan perilaku.
3.5 Konfirmasi (Confirmation)
Rogers dalam Asnamawati (2015) menjelaskan pada tahap ini adopter akan
mencari penguatan atas keputusan yang telah dibuatnya. Pada tahap ini juga dapat
terjadi penghentian atas keputusan yang telah dibuat sebelumnya karena berbagai
alasan. Setelah berjalan cukup lama masyarakat dapat merasakan hasil dari
inovasi ini seperti yang disampaikan Informan 1:

“Memang uang yang dari Kampung Pelangi kan ada prosentase ADART
nya untuk ke desa. Kalau melihat kacamata umum sebenarnya udah
merasakan, karena kembali ke desa”.

Kondisi Kampung Pelangi sekarang ini setelah hampir dua tahun berjalan
dapat dikatakan menurun. Hal utama yang mempengaruhi adalah faktor alam
dimana dijelaskan oleh Informan 1:

“Sementara masyarakat vakum. Memang keterbatasan tadi alasan utama


ini, kalau kemarau tidak bisa dipakai. Itu. Kita harus mengemas,
menciptakan, atau membuat supaya sungai itu baik kemarau ataupun ini
dipakai, digunakan untuk perahu”.

Kembali ke tujuan awal dari inovasi Kampung Pelangi ini tidak lain untuk
menarik pengunjung agar mengunjungi Desa Wisata Bejalen namun kurang
didukung dengan hal yang ditawarkan sebagai desa wisata. Terkait dengan
Kampung Pelangi sebagai inovasi yang menarik untuk dijadikan latar belakang
berfoto tentu tidak bisa menyajikan gambar-gambar yang sama lagi karena
pengunjung akan merasa bosan. Maka pemuda Desa Wisata Bejalen membuat hal
baru untuk menarik pengunjung kembali yaitu dengan membuat spot foto baru di
area persawahan yang menghadap ke Rawa Pening, seperti yang diungkapkan
Informan 2:
“Ya kemarin sempet ada itu dicat ulang, terus menciptakan inovasi baru itu
yang arah sawah di timur desa itu ada kapal”.

Inovasi Kampung Pelangi dapat menguatkan dari segi ekonomi,


kebersihan, dan perilaku namun juga memiliki point yang melemahkan. Spot-spot
untuk berfoto tidak akan dipakai dalam jangka waktu yang cukup lama karena
pengunjung akan merasa bosan. Hal ini yang kemudian menjadi kelemahan
inovasi Kampung Pelangi ini.
4. PENUTUP
Berdasarkan penjabaran di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa inovasi
Kampung Pelangi ini merupakan inovasi bersama yang dimulai sejak Februari
2017 untuk menarik pengunjung. PokDarWis Desa Wisata Bejalen berperan besar
dalam proses penyebaran inovasi ini. Desa Bejalen sebenarnya sudah dicanangkan
oleh pemerintah sebagai desa wisata sejak tahun 2007/2008, namun
masyarakatnya kurang sadar akan hal itu. Desa Wisata Bejalen sendiri dulunya
merupakan desa yang kurang bersih karena masyarakatnya belum sadar akan
kebersihan serta masih memiliki kebiasaan membuang sampah di sungai.
Berdasarkan proses difusi inovasi Kampung Pelangi, peneliti melihat
dampak yang dihasilkan oleh inovasi tersebut terhadap masyarakat dan Desa
Wisata Bejalen. Tahap tersebut meliputi, tahap pengetahuan (knowledge),
masyarakat sudah memiliki pengetahuan mengenai Kampung Pelangi, bagaimana
penerapannya, dan apa manfaatnya. Komunikasi yang terjadi pada tahap ini
adalah komunikasi kelompok saat dicetuskannya inovasi Kampung Pelangi
bersamaan dengan sosialisasi. Tahap kedua, tahap ajakan (persuassion),
sosialisasi mengenai inovasi Kampung Pelangi dilakukan oleh PokDarWis dan
elemen masyarakat lainnya melalui komunikasi kelompok, komunikasi organisasi
saat rapat-rapat organisasi, dan komunikasi massa melalui papan-papan sapta
pesona dan facebook, dimana terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi
diantaranya, keuntungan relatif (relative advantages), inovasi ini memiliki
keuntungan terutama dalam segi ekonomi; kesesuaian (compatibility), inovasi ini
sesuai dengan kebutuhan masyarakat Desa Wisata Bejalen baik dalam segi
ekonomi maupun meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga
kebersihan; kerumitan (complexity), inovasi Kampung Pelangi mudah dipahami
oleh masyarakat Desa Wisata Bejalen namun terdapat kendala dalam
pelaksanaannya terutama dari segi sumber daya manusia; tahapan untuk dicoba
(triability), diawali dengan membersihkan desa dan mengecat rumah-rumah
sekitar sungai; kemungkinan untuk diamati (observability), peningkatan dari segi
ekonomi dan kebersihan menjadi alasan bagi masyarakat untuk mengadopsi
inovasi Kampung Pelangi. Tahap ketiga, tahap keputusan (decision), masyarakat
Desa Wisata Bejalen memutuskan untuk mengadopsi inovasi Kampung Pelangi
dan berpartisipasi dengan tipe keputusan inovasi optional innovation-decisions
(keputusan inovasi opsional). Tahap yang keempat adalah pengaplikasian
(implementation), dengan menerapkan inovasi Kampung Pelangi perekonomian
masyarakat meningkat, lingkungan desa menjadi lebih bersih serta merubah pola
pikir dan perilaku masyarakatnya. Tahap kelima, konfirmasi (confirmation),
inovasi Kampung Pelangi menguatkan dari segi ekonomi, kebersihan dan
merubah pola pikir serta perilaku masyarakat Desa Wisata Bejalen. Namun
terdapat point yang melemahkan yaitu spot foto yang tidak bertahan lama karena
pengunjung akan bosan.
Dampak yang terjadi terhadap Desa Wisata Bejalen dan masyarakatnya
setelah adanya pengambilan keputusan mengadopsi inovasi Kampung Pelangi
tidak hanya dari segi fisik desanya saja yang menjadi warna-warni dan bersih
melainkan juga dari segi perilaku dan pola pikir masyarakatnya. Setelah adanya
inovasi Kampung Pelangi ini masyarakat Desa Wisata Bejalen menjadi lebih
sadar akan kebersihan serta menjadi lebih sopan.
Penelitian ini tentu saja masih ada kekurangan, maka diharapkan bagi
peneliti selanjutnya untuk meneliti mengenai karakteristik adopter dalam
menerima suatu inovasi.
PERSANTUNAN
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini. Tidak lupa
terima kasih peneliti ucapkan kepada kedua orang tua dan kelurga yang selalu
memberikan doa dan semangat. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Sidiq Setyawan, M.I.Kom selaku dosen pembimbing yang selalu
membimbing dengan sabar. Terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh
masyarakat Desa Wisata Bejalen dan Informan yang telah meluangkan waktunya
dan membantu penelitian ini. Terima kasih juga kepada teman-teman yang selalu
memberika semangat dan bantuan tiada henti.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, H. M. Y. (2016). PENGARUH KARAKTERISTIK INOVASI
PERTANIAN TERHADAP KEPUTUSAN ADOPSI USAHA TANI
SAYURAN ORGANIK. Journal of Agroscience, 6(2), 1–14.
Akın, U. (2016). Innovation Efforts in Education and School Administration:
Views of Turkish School Administrators. Eurasian Journal of Educational
Research, 16(63), 243–260. https://doi.org/10.14689/ejer.2016.63.14
Alkornia, S. (2016). Difusi Inovasi Teknologi Green House di Kalangan Petani
Mangga (Studi Kualitatif terhadap Upaya Pengembangan Green House di
SKB Situbondo). Kanal, 5(1), 75–86.
https://doi.org/https://doi.org/10.21070/kanal
Almeida, J., Farias, J., & Carvalho, H. (2017). Drivers of the Technology
Adoption In Healthcare. Brazilian Business Review, 14(3), 336–351.
https://doi.org/10.15728/bbr.2017.14.3.5
Andriyani, A. A. I., Martono, E., & Muhamad. (2017). Pemberdayaan Masyarakat
Melalui Pengembangan Desa Wisata Dan Implikasinya Terhadap Ketahanan
Sosial Budaya Wilayah ( Studi Di Desa Wisata Penglipuran Bali ). Jurnal
Ketahanan Nasional, 23(1), 1–16.
Asnamawati, L. (2015). STRATEGI PERCEPATAN ADOPSI DAN DIFUSI
INOVASI DALAM PEMANFAATAN MESIN TANAM PADI
INDOJARWO TRANSPLANTER DI KABUPATEN BENGKULU UTARA
PROVINSI BENGKULU.
Badri, M. (2016). PEMBANGUNAN PEDESAAN BERBASIS TEKNOLOGI
INFORMASI DAN KOMUNIKASI (Studi pada Gerakan Desa
Membangun). Jurnal Risalah, 27(2), 62–73.
Dewi, M. H. U., Fandeli, C., & Baiquni, M. (2013). PENGEMBANGAN DESA
WISATA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT LOKAL DI DESA
WISATA JATILUWIH TABANAN, BALI. KAWISTARA, 3(2), 129–139.
Faizaty, N. E., Rifin, A., & Tinaprilla, N. (2016). Proses Pengambilan Keputusan
Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya Kedelai Jenuh Air (Kasus: Labuhan
Ratu Enam, Lampung Timur). Jurnal AGRARIS, 2(2), 98–106.
https://doi.org/10.18196/agr.2230
Farihanto, M. N. (2016). DINAMIKA KOMUNIKASI DALAM
PEMBANGUNAN DESA WISATA BRAYUT KABUPATEN SLEMAN.
Jurnal Penelitian Pers Dan Komunikasi Pembangunan, 19(3), 203–214.
Haida, F. D. K. N. (2017). DIFUSI DAN ADOPSI INOVASI CYBER VILLAGE
SEBAGAI FASILITAS INTERNET DESA ( Studi Deskriptif Kualitatif
Difusi Inovasi dan Adopsi Inovasi Cyber Village Pada Remaja di Desa
Campurejo, Kecamatan Tretep, Kabupaten Temanggung).
Halik, A. (2013). Komunikasi Massa. Makassar: Alauddin University Press.
Hastuti, P., & Ismayanti, D. (2018). ANALISIS DAMPAK WISATA
KAMPUNG PELANGI TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN
MASYARAKAT SEKITAR (PEDAGANG) DI KELURAHAN
KEMUNING KECAMATAN BANJARBARU SELATAN. JIEB : JURNAL
ILMIAH EKONOMI BISNIS, 4(1), 29–35.
Hermawan, H. (2016). Dampak pengembangan desa wisata nglanggeran terhadap
ekonomi masyarakat lokal. Jurnal Pariwisata, III(2), 105–117.
Isnawati. (2017). Difusi Inovasi Program Keluarga Berencana “Dua Anak Lebih
Baik” dalam Mengendalikan Pertumbuhan Penduduk Desa Lompio
Kecamatan Sirenja Kabupaten Donggala. Jurnal Online Kinestik, 4(1), 115–
128.
Katuuk, O. M., Mewengkang, N., & Kalesaran, E. R. (2016). PERAN
KOMUNIKASI ORGANISASI DALAM MENINGKATKAN EKSISTENSI
SANGGAR SENI VOX ANGELICA. Acta Diurna, V(5), 1–10.
https://doi.org/10.3232/GCG.2015.V9.N3.03
Kemenpar.go.id. (n.d.). Retrieved from
http://www.kemenpar.go.id/asp/detil.asp?c=16&id=814 (Diakses Oktober
2018).
Lestaria, W. O. P., Bahar, H., & Munandar, S. (2016). Peran bidan dan dukun
dalam perawatan kehamilan ibu hamil di wilayah pesisir kecamatan abeli (
studi kasus ) kota kendari 2016.
Lin, J., & Cantoni, L. (2018). Decision, implementation, and confirmation:
Experiences of instructors behind tourism and hospitality MOOCs.
International Review of Research in Open and Distance Learning, 19(1), 1–
293. https://doi.org/10.19173/irrodl.v19i1.3402
Louisita, H. M. (2017). Pola Komunikasi Kelompok di Kalangan Lansia pada
Perkumpulan Ismoyo di Desa Gogor Kecamatan Wiyung Kelurahan Jajar
Tunggal Surabaya, 1(1), 37–48.
Meijer, S. S., Catacutan, D., Ajayi, O. C., Sileshi, G. W., & Nieuwenhuis, M.
(2015). The role of knowledge, attitudes and perceptions in the uptake of
agricultural and agroforestry innovations among smallholder farmers in sub-
Saharan Africa. International Journal of Agricultural Sustainability, 13(1),
40–54. https://doi.org/10.1080/14735903.2014.912493
Millen, R. A., & Gable, R. (2016). Closing the Gap Between Technological and
Best Practice Innovations : TPACK and DI. K-12 Education, 33.
Moleong, L. J. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Muntiaha, G. I. J., Egam, P. P., & Waani, J. O. (2017). Penerapan Konsep Urban
Tourism pada Perancangan Permukiman Sindulang Satu di Manado. Jurnal
Fraktal, 3(1), 41–50.
Nazir, M. (2014). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Nurhayati, A., & Herawati, T. (2018). Analisis Faktor Adopsi Inovasi Perikanan
Budidaya Karamba Jaring Apung di Waduk Cirata. Jurnal Penyuluhan,
14(2), 281–288.
Nursaid, A., & Armawi, A. (2016). PERAN KELOMPOK BATIK TULIS
GIRILOYO DALAM MENDUKUNG KETAHANAN EKONOMI
KELUARGA (Studi Di Dusun Giriloyo, Desa Wukirsari, Kecamatan
Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta). Jurnal Ketahanan
Nasional, 22(2), 217–236.
Pratama, H. W. (2016). DIFUSI INOVASI DAN ADOPSI PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (Studi Difusi Inovasi dan Adopsi
Jaminan Kesehatan Nasional sebagai Program BPJS Kesehatan di Desa
Catur Kabupaten Boyolali). Retrieved from
https://eprints.uns.ac.id/id/eprint/25168
Pujileksono, S. (2015). Metode Penelitian Komunikasi Kualitatif. Malang: Intrans
Publishing.
Rakhmat, J. (2009). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Rizki, M. (2018). PROSES ADOPSI INOVASI DESA WISATA MENARI.
Rogers, E. M. (1983). Diffusion of Innovations. New York: The Free Press A
Division of Macmillan Publishing Co., Inc.
Rusadi, U. (2014). MAKNA DAN MODEL KOMUNIKASI PEMBANGUNAN.
JURNAL STUDI KOMUNIKASI DAN MEDIA, 18(1), 89–104.
Safira, A. M., Perbawasari, S., & Sani, A. (2018). PROSES SELEKSI LOKASI
PADA PROGRAM PEMBERDAYAAN KELOMPOK SADAR WISATA
DI KOTA DEPOK. Jurnal Penelitian Komunikasi, 21(1), 87–100.
https://doi.org/10.20422/jpk.v21i1.204
Sarosa, S. (2012). Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Indeks.
Setijawibawa, M. (2015). EVALUASI MODEL BISNIS PADA PERUSAHAAN
X MENGGUNAKAN BUSINESS MODEL CANVAS. AGORA, 3(1), 305–
313.
Setyawan, S. (2017). Pola Proses Penyebaran Dan Penerimaan Informasi
Teknologi Kamera DSLR. Jurnal Komuniti, 9(2), 146–156.
Shao, G. (2007). The Diffusion of Online Banking: Research Trends from 1998 to
2006. Journal of Internet Banking and Commerce, 12(2).
Soemardjo, S. (2014). PERAN PUSAT LAYANAN INTERNET KECAMATAN
DALAM UPAYA MENYETIMULI MASYARAKAT MENUJU DESA
WISATA. Jurnal Penelitian Komunikasi, 17(1), 15–28.
Sucahya, M., & Surahman, S. (2017). Difusi Inovasi Program Bank Sampah
(Model Difusi Inovasi Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Bank
Sampah Alam Lestari di Kota Serang Provinsi Banten). Jurnal Ilmu
Komunikasi, 8(1), 63–79.
Sukmarini, A. V., Cangara, H., & Amar, M. Y. (2013). Strategi Promosi
Mempertahankan Loyalitas Pelanggan Mobil Merek Toyota PT H. Kalla
Makassar Dalam Persaingan Otomotif di Makassar. Jurnal Komunikasi
KAREBA, 2(4), 1–14.
Sulaiman, A. I., Sugito, T., & Sabiq, A. (2016). Komunikasi Pembangunan
Partisipatif untuk Pemberdayaan Buruh Migran. Jurnal Ilmu Komunikasi,
13(2), 233–252.
Surya, T. (2016). Komunikasi Kelompok Komunitas Enlightened Ingress
Surabaya dalam Program Fun Ingress. Jurnal E-Komunikasi, 4(1), 2–10.
Tribunnews.com. (n.d.). Retrieved from
http://www.tribunnews.com/regional/2018/10/01/15-desa-wisata-kabupaten-
semarang-tak-lagi-aktif-ini-penyebabnya (Diakses November 2018).
Umar, H. (2002). Metode Riset Komunikasi Organisasi. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Undang Undang RI Nomor 6 Tahun 2014.
Visitbejalen.id. (n.d.). Retrieved from http://visitbejalen.id/profil-desa/ (Diakses
Oktober 2018).
Wangke, W. M., Olfie, B., & Suzana, L. (2016). ADOPSI PETANI TERHADAP
INOVASI TANAMAN PADI SAWAH ORGANIK DI DESA MOLOMPAR
KECAMATAN TOMBATU TIMUR, KABUPATEN MINAHASA
TENGGARA. Agri-SosioEkonomi Unsrat, 12(2), 143–152.
Wicaksono, K. A. (2017). Partisipasi Masyarakat Dalam Pemberdayaan
Masyarakatmelalui Pengembangan Desa Wisata (Dewi) Menari Dusun
Tanon Desa Ngrawan Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang.
Wood, C. (2017). Barriers to Innovation Diffusion for Social Robotics Start-ups
And Methods of Crossing the Chasm. KTH Industrial Engineering and
Management, 63. Retrieved from https://kth.diva-
portal.org/smash/get/diva2:1109835/FULLTEXT01.pdf
Yap, M. H. T., & Chen, N. (2017). UNDERSTANDING YOUNG CHINESE
WINE CONSUMERS THROUGH INNOVATION DIFFUSION THEORY.
Tourism and Hospitality Management, 23(1), 51–68.
https://doi.org/https://doi.org/10.20867/thm.23.1.3
Zainal, A. G., & Sarwoprasodjo, S. (2018). STRATEGI KOMUNIKASI
POLITIK PEMERINTAHAN DAERAH DALAM MENINGKATKAN
PARTISIPASI MASYARAKAT PEDESAAN (Studi Program “Bupati
Ronda” di Kabupaten Lampung Tengah). MetaCommunication; Journal Of
Communication Studies, 3(1).
Zakaria, F., & Suprihardjo, R. D. (2014). Konsep Pengembangan Kawasan Desa
Wisata di Desa Bandungan Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan.
Teknik Pomits, 3(2), C245–C249. https://doi.org/2337-3520

Anda mungkin juga menyukai