A. Engine Management System adalah suatu sistem pengaturan pada engine yang
mengatur dan mengontrol seluruh sistem pada engine, yang dikendalikan oleh Electronic
Control Unit (ECU), sehingga engine terkontrol sesuai dengan kondisi dan keadaan pada
performa terbaik. Pada EMS komponen-komponennya terdiri dari sensor-sensor sebagai
input. Signal inputan diproses pada ECU kemudian ECU akan mengeluarkan output yang
akan di kirim ke masing-masing actuator pada seluruh sistem pada engine.
Engine Management System terdiri dari berbagai sensor yang akan mengirim
signal ke ECU. Kemudian data akan diolah dan diproses pada ECU. Sehingga akan
mengeluarkan output signal/tegangan ke aktuator yang akan mengubah signal / tegangan
tersebut untuk mengatur kerja dari seluruh sistem di engine.
Komponen Komponen dari Engine Management System terdiri dari sensor-sensor,
Electronic Control Unit (ECU) dan Actuator.
Mode Operasi ECU/ECM
Mode-mode operasi mesin yang dikontrol oleh ECU adalah:
1. Mode Start 6. Pemutus aliran bensin
2. Saat banjir bensin 7. Pemutus bensin secara selektif
3. Waktu jalan 8. Mode Backup
4. Akselerasi 9. Koreksi Tegangan Baterai
5. Deselerasi
Mode Start
Ketika kunci kontak pertama kali ke posisi “ON”, ECU mensuplai tegangan 12 volt ke relai
pompa bensin selama 2 detik dengan cara memassakan arus pengendali relai, akibatnya
pompa bensin dapat membangun tekanan dalam sistem bahan bakar, kalau mesin tidak
perputar, tidak akan ada pembangkitan tegangan referensi oleh ECU, rangkaian
pengendali relai pompa bensin tidak dimassakan untuk mematikan / off- kan
pompa. Sebelum mesin berputar saat kunci kontak on, ECU menerima sinyal untuk
pembacaan-pembacaan data seperti; temperatur air pendingin, temperatur udara masuk,
tekanan atmosfer (MAP/BARO) atau massa udara dari MAF Sensor dan posisi katup gas
untuk menentukan perbandingan campuran udara bensin yang pertama.
Selama mesin berputar waktu start, ECU mengirim pulsa ke injektor berdasarkan pulsa
referensi rpm, bila temperatur air pendingin rendah, lebar pulsa injektor diperpanjang dan
terjadilah pengayaan perbandingan campuran udara-bensin. Jika temparatur air pendingin
naik, lebar pulsa menjadi lebih pendek dan perbandingan campuran udara-bensin menjadi
lebih kurus. Pada waktu start perbandingan udara-bensin ditentukan oleh ECU berkisar
dari 1.5:1 pada 36 derajat C (-38F) sampai 14.7:1 pada 94 derajat C (202F) Catatan:
Mode start normal injektor menyemprotkan bensin mengikuti prosedur di atas selama
katup gas menutup penuh. Jika trotel dibuka, biarpun kecil, perbandingan campuran
udara-bensin akan berubah.
Backup Mode
Dalam mode ini ECU bekerja melalui kalibrasi data internal yang memungkinkan ECU
untuk menjalankan mesin dengan hanya melalui input-input rpm, posisi katup gas dan
temperatur air pendingin untuk merubah penghitungan penyemprotan bensin. Peristiwa ini
hanya terjadi saat ECU tidak dapat menerima secara normal masukan data dari sensor
yang lain, meskipun demikian mesin masih dapat hidup meskipun engine check lamp (
MIL) menyala.
ECU mendapatkan input dari berbagai sensor kendaraan (sensor memberikan masukan/
informasi ke ECU), sensor tentu saja bekerja berdasarkan berbagai keadaan operasional
mesin itu sendiri, lalu ECM akan memerintahkan actuator (Output) untuk melayani
kebutuhan mesin tersebut.
Terdapat beberapa sensor di mesin yang berfungsi untuk memberikan input pada ECM
mulai dari sensor aliran massa udara, sensor temperatur air pendingin mesin, sensor cam,
sensor posisi poros engkol, sensor posisi katup gas, sensor detonasi, sensor oksigen dll.
Tiap sensor memiliki tugas/fungsi tersendiri untuk memberitahukan ECM tentang kondisi
suhu air pendingin mesin, perbandingan campuran udara-bensin, suhu udara luar, posisi
katup gas dll. Lalu ECM menggunakan informasi tersebut untuk mengatur volume
penyemprotan bensin, mengatur putaran ide, mengatur saat pengapian dll yang pada
prisipnya ECM akan melakukan pekerjaan yang dikehendaki pengemudi sesuai dengan
kondisi operasional mesin.
Ingat!. ECU/ECM dan komputer pengontrol lainnya secara umum bekerja berdasarkan
tegangan listrik, baik dari input maupun outputnya
DIAGNOSA
Pada waktu mesin hidup atau saat kunci kontak pada posisi On saja, maka ECU akan
mengontrol setiap sensor dan aktuatornya dengan cara membandingkan kedaan
tegangan sensor-sensor dengan data software yang sudah ”ditanamkan” dalam ECU. Jika
terdapat kesalahan pada input maupun outputnya, maka ECU akan memberitahukan pada
pengemudi dengan cara menyalakan lampu kontrol ”check engine” atau MIL (Malfunction
Indicator Lamp), lalu pengemudi segera paham bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak
beres pada sistem manajemen mesin dan seharusnya segera dilakukan perbaikan pada
kendaraan.
Teknisi segera mendiagnosa kerusakan apakah yang sedang terjadi pada mesin itu
dengan cara memasangkan sebuah scanner melalui konetor khusus hubungan scanner
(scan tool) dengan ECU
Melalui komunikasi scan tool dan ECU, teknisi tahu kode kesalahan ECU apa yang telah
terbaca oleh scan tool dan teknisi terlatih segara melakukan perbaikan kesalahan yang
terjadi pada mesin itu.
ECU tidak dapat mendiagnosa sendiri kesalahan yang terjadi, ECU tidak akan
memberikan informasi pada teknisi melalui scan tool; Apakah kesalahan itu akibat
kerusakan komponen/spare part sensor atau aktuatornya, ECU juga tidak tahu apakah
kerusakan itu akibat dari rangkaian kabel antara ECU dan sensor/aktuatornya, ECU juga
tidak bisa mendiagnosa apakah kerusakan terjadi di dalam ECU itu sendiri. Yang hanya
dapat diinformasikan oleh ECU melalu scantool adalah; TELAH TERJADI KERUSAKAN
PADA SISTEM MANAJEMEN MESIN melalui DTC (kode kesalahan yang dikeluarkan
ECU melalui scantool).
Jadi jelaslah bahwa jika terdapat kode kesalahan (DTC) maka tugas teknisi selanjutnya
adalah mendiagnosa hal-hal sebagai berikut:
Oleh karena itu teknisi yang terlatih akan faham bahwa untuk melakukan perbaikan
kerusakan sistem manajemen mesin mereka harus memiliki beberapa keahlian sebagai
berikut:
Sering teknisi mengabaikan keselamatan kerja jika melakukan sesuatu pada sistem
manajemen mesin, keselamatan kerja tersebut mencakup dalam pengertian lebih luas
yaitu keselamatan pada diri sendiri atau kemanan terhadap kendaraan yang sedang
diperbaiki.
Sebagai contoh; banyak kendaraan hari ini jika terminal baterainya dilepas maka ECU
akan kehilangan memorinya, walhasil kendaraan tidak bisa dihidupkan kembali sebelum
dilakukan ”flash programming” untuk mengembalikan memori yang hilang karena
sumberdaya ECU terputus waktu terminal baterai dilepaskan tadi.
Celakanya lagi bahwa generic scantool yang dimiliki bengkel aftermarket pada umumnya
tidak mampu melakukan ”flash programming” untuk ECU mesin,,,dan akhirnya terpaksa
bengkel itu ”menyewa” original scantool milik bengkel lain untuk melakukan pekerjaan itu.
Akibatnya tentu saja ongkos yang dibebani ke pemilik kendaraan menjadi lebih tinggi.
Adakalanya kesalahan fatal tejadi pada waktu ECU dilepas dari konektornya, dengan
tanpa sengaja teknisi menyentuh terminal/pin ECU itu, hal ini bisa berakibat kerusakan
pada ECU, karena tubuh manusia yang mengandung listrik statis akan tersalurkan ke
ECU pada waktu teknisi menyentuk pin/terminalnya.
Banyak lagi keselamatan kerja yang harus diperhatikan oleh tenisi sebelum bekerja pada
sistem manajemen mesin....Dan yang sudah pasti adalah Teknisi yang TIDAK TERLATIH
cepat atau lambat akan ditinggalkan pelanggannya.
Banyak teknisi otomotif yang belum memahami hubungan Fuel Trim dengan Oksigen
Sensor, sehingga jika terjadi kode kesalahan (DTC) pada Oksigen sensor, maka teknisi
selalu berusaha cepat-cepat menggantinya sebelum menganalisa kerja oksigen sensor
melalui Fuel Trim.
Indikasi ketidakpahaman ini juga saya dapatkan dari berbagai pelatihan yang saya berikan
di beberapa tempat di Indonesia atau di beberapa negara lain; Jika saya tanyakan pada
peserta pelatihan tentang hubungan fuel trim dengan oksigen sensor, pada umumnya
mereka belum dapat menjawab dengan tepat.
Dari beberapa teknisi bengkel yang berkonsultasi pada saya; Bahwa setelah mengganti
oksigen sensor, tetapi masalah yang terjadi tetap tidak terselesaikan meskipun scantool
sudah menampilkan kode kesalahan yang berkaitan dengan oksigen sensor, hal ini jelas
mengindikasikan bahwa perlu pemahaman kembali tentang hubungan Oksigen Sensor
dengan Fuel Trim..
Untuk itulah tulisan ini saya muat kembali pada forum ini agar bisa bermanfaat bagi
anggota.
Pertama kita perlu memahami bagaimana sebuah sensor oksigen bekerja. (Dalam
handout pelatihan yang saya sampaikan, Anda mendapatkan gambar oksigen sensor
dengan warna bagian-bagian yang kontras dan fungsional, apalagi bagi anda yang
mengkopi format PDf-nya). Jadi saya tidak perlu lagi menguraikan cara kerja oksigen
sensor dalam tulisan ini, tapi secara ringkas dapat dituliskan bahwa oksigen sensor akan
memberikan input ke ECM/ECU berupa sinyal tegangan sesuai dengan kadar oksigen
yang dikandung dalam emisi/gas buang.
INGAT
1. Bahwa kandungan HC tinggi pada emisi/gas buang karena tidak terjadi pembakaran
yang sempurna dalam silinder mesin…Maka kandungan O2 pada emisi juga TINGGI..
2. Kerena Oksigen Sensor hanya bisa mendeteksi kandungan oksigen dalam emisi, maka
pada kasus di atas, oksigen sensor melalui sinyal tegangan yang diberikan ke ECU/ECM
akan menginterpretasikan bahwa perbandingan campuran kurus.. Lalu ECU/ECM akan
menambah volume penyemprotan bensin..
3. Pada kasus di atas, jelaslah bahwa penambahan volume pernyemprotan bensin oleh
ECU tidak akan memperbaiki kondisi perbandingan campuran udara bensin. Tapi sudah
tugasnya ECU terus menyesuaikan/menambah bensin,,, dan jika penambahan tersebut
melebihi batas spek Fuel Trim (maksimum 10%) maka lampu kontrol engine (MIL) akan
menyala (timbul DTC)..Ada dua kemungkinan DTC yang terjadi; pertama DTC
Perbandingan Campuran (Air Fuel Ratio) dan yang kedua DTC Oksigen Sensor
Jika timbul DTC seperti di atas: Pekerjaan apakah yang harus kita lakukan? Atau bagian-
bagian manakah yang perlu diperiksa?
1. Kebocoran pada Intake manifold /kebocoran vacuum; Periksa semua saluran vakum
atau Intake Manifold dari kemungkinan gasket bocor, saluran vakum longgar, atau
kebocoran udara lainnya yang terjadi sesudah pengukur udara (Air Mass Flow Sensor).
Udara yang mengalir ke silinder mesin akibat kebocoran tersebut di atas mengakibatkan
kadar oksigen pada gas buang meningkat...Lalu ECU berusaha menambah volume
penyemprotan bensin..bilamana penambahan tersebut meliwati spek Fuel Trim,,,maka
DTC akan timbul
2. Saluran sistem aliran bensin mengalami kerusakan, tersumbat, atau segala sesuatunya
yang menghambat aliran bahan bakar ke injektor yang dapat menyebabkan perbandingan
campuran benar-benar kurus karena kurangnya tekanan bensin. ECU berusaha
menambah volume penyemprotan bensin..bilamana penambahan tersebut meliwati spek
Fuel Trim,,,maka DTC akan timbul
3. Bisa juga terjadi kerusakan pada pressure regulator, tekanan bensin menjadi tinggi,
campuran udara bensin menjadi gemuk, lalu ECU akan berusaha mengurangi volume
penyemprotan bensin, tetapi jika pengurangan tersebut meliwati batas spek Fuel
Trim..Akan timbul DTC
4. Ada kesalahan kinerja dari Mass Air Flow Sensor, atau MAP Sensor atau sensor lain
yang berkaitan erat dengan perbandingan campuran udara bensin, tapi tidak menampilkan
kode kesalahan sendiri...Namun timbul DTC Fuel Air Ratio..
Sekali Lagi..: O2 Sensor hanya dapat membaca kandungan oksigen di dalam knalpot,
sedangkan penyebab kadar oksigen dalam emisi jadi tinggi atau rendah dapat disebabkan
dari beberapa hal seperti; Perbandingan campuran yang kurus/gemuk atau tidak sesuai,
bisa juga karena campuran udara bensin tidak terbakar dengan sempurna, atau terjadi
kebocoran pada intake manifold, atau bahkan kebocoran knalpot sendiri, atau kerusakan
pada sensor-sensor yang berkaitan erat dengan pengaturan perbandingan campuran
udara bensin seperti; Airmass Flow Sensor, MAP sensor, IAT Sensor, ECT Sensor dll.
Dan yang terakhir barulah kerusakan terjadi pada Oksigen Sensor itu sendiri..
Untuk membuat kepastian sebelum melakukan penggantian oksigen sensor maka sangat
disarankan untuk menganalisa gas buang terlebih dahulu dengan 4 Gas Analyzer
gunakan bersama-sama dengan scantool.
1. Perhatikan kandungan Oksigen pada emisi dengan Gas Analyzer, jika kadar O2 tinggi
berarti perbandingan campuran kurus, bilamana Fuel Trim yang ditunjukkan pada scantool
bertambah ke arah plus melebihi speknya berarti Oksigen Sonsor....(Rusak atau OK?)
silahkan jawab dalam reply...
2. Jika kadar O2 tinggi berarti perbandingan campuran kurus, bilamana Fuel Trim yang
ditunjukkan pada scantool tetap....berarti Oksigen Sonsor....(Rusak atau OK?) silahkan
jawab pada reply.....
Banyak orang menyepelekan charging system pada kendaraan, bahkan lebih banyak lagi
melakukan pekerjaan tersebut dengan cara yang kurang tepat, atau kebanyakan dari kita
berpikir bahwa pekerjaan ini cukup diserahkan saja pada tukang dynamo…Pasti Beres….
Pada kendaraan modern hari ini charging dan starting system tidak lagi merupakan
pekerjaan sederhana seperti yang terdapat pada kendaraan konvensional sebelumnya,
Karena charging dan starting system sudah termasuk perangkat Engine Management
dimana kinerja kedua system ini akan dimonitor oleh ECU
Baterai berfungsi sebagai sumber daya listrik kendaraan Anda. Tapi setelah kendaraan
berjalan/mesin hidup sebuah alternator yang digerakkan oleh mesin akan mengisi baterai
secara terus-menerus agar tegangan listrik baterai tetap terjaga.
Dalam operasionalnya alternator membangkitkan tegangan listrik sekitar 13,6-14,3 Volt,
dan mengisi kembali baterai sehingga tegangan baterai berada dalam tegangan
operesional yang benar dan selalu terisi penuh.
Alternator merupakan perlengkapan pembangkit listrik yang paling berat kerjanya di dalam
kendaraan Anda, ketika kendaraan berjalan alternator akan sangat sibuk melayani seluruh
peralatan listrik atau asesoris kendaraan.
Ketika mobil tidak berjalan atau mesin tidak hidup, misalnya pada saat kendaraan diparkir
dalam waktu lama, maka beberapa komponen listrik kendaraan seperti alrm, memori ECU,
jam dll, masih dapat bekerja dengan adanya sumber daya listrik baterai, karena komponen
tersebut dirancang bekerja pada tegangan 12V, jika tegangan lebih kecil dari 12 V, maka
kompnen tidak dapat bekerja dengan sempurna.
ECU mesin juga berusaha menyesuaikan tegangan tagangan baterai terhadap keadaan
operasionalnya, akan tetapi tegangan kerja ECU tidak bisa lebih kecil dari 9 Volt atau
besar dari 14.8 Volt, oleh karena itu kita paham bahwa kendaraan akan sulit dihidupkan
dengan cara didorong kalau tegangan baterainya kurang dari 9 Volt.
Adakalanya software ECU juga bisa mematikan mesin jika tegangan baterai lebih dari
14.8 Volt, hal itu dimaksudkan sebagai pengaman agar tidak terjadi kerusakan ECU atau
komponen elektronis lainnya.
Anda bisa membayangkan jika terjadi overcharge (kelebihan tegangan) pada baterai, lalu
software ECU mematikan mesin....Apa yang akan kita lakukan setelah itu? Pasti berusaha
menstart mesin sampai mesin bisa hidup lagi (karena saat start tegangan baterai
turun)...Jika mesin sudah hidup,,,,, beberapa waktu kemudian mesin mati lagi karena
tegangan melebihi 14.8 Volt...Demikian seterusnya....
Kekosongan tegangan baterai seperti contoh di atas, atau akibat pemakai listrik yang lain,
harus segera dapat diisi kembali oleh alternator secara terus menerus, sehingga baterai
tidak ada kesempatan untuk menurun tegangan listriknya.
Tegangan listrik baterai harus tetap terjaga sekitar 12.6 – 14.2 Volt, mesikipun semua
beban listrik kendaraan dihidupkan, seperti: A/C, lampu-lampu, Radio/tape.dll.
Jika start mesin tidak dapat dilakukan dengan sempurna karena tegangan baterai tidak
cukup , maka sangat dianjurkan terlebih dahulu mengisi baterai sampai penuh, lalu
lakukanlah pemeriksaan sistem pengisian (charging System) secara komplit termasuk
memeriksa kinerja alternator, hal ini bertujuan untuk mencegah kerusakan atau kegagalan
charging system lebih parah lagi.
1. Sabuk penggerak alternator: Sabuk penggerak yang slip atau rusak harus diganti,
kekencangan sabuk alternator harus sesuai spek agar alternator dan sabuk penggeraknya
tidak slip saat alternator diputar oleh mesin. Jika sabuk penggerak alternator telalu
kencang dapat mengakibatkan kerusakan bearing alternator.
Biasanya tegangan pengisian yang berlebihan terjadi karena kerusakan voltage regulator
dan saat ini kebanyakan voltage regulator berada di dalam alternator besama brush-nya.
Perbaikan kerusakan alternator harus dengan part original, meskipun kadang-kadang
dijual juga part yang lebih murah (bukan originil). Pemakaian part yang murahan ini sering
menyebabkan kinerja sistem pengisian tidak optimal atau masalah/kasus yang sama
terjadi kembali terus-menerus, dan pada akhirnya menimbulkan ongkos yang lebih mahal
lagi..
Sampai hari ini kita masih berkutik dengan mesin berteknologi Electronic Fuel
Injection/Engine Management seperti yang banyak kita jumpai, bahkan tidaklah salah
kalau pertumbuhan teknologi tersebut belumlah bisa sepenenuhnya menggantikan mesin
konvensional terdahulu yaitu mesin dengan sistim aliran bahan bakar karburator, karena
sampai detik ini masih banyak kendaraan yang memakai mesin karburator kita temukan.
Lalu, janganlah heran kalau mesin yang mengaplikasikan teknologi Electronic Fuel
Injection/Engine Management yang banyak kita jumpai itu, akan menjadi mesin
KONVENSIONAL besok atau lusa jika Anda menemukan kendaraan dengan Gasoline
Direct Injection (GDI) di jalanan.
Belum banyak atau mungkin belum ada rasanya penulis lain menguraikan secara terbuka
tentang teknologi mesin DGI, oleh sebab itu saya mencoba merangkum beberapa sumber
informasi yang terkait dengan DGI dan menuliskanya secara ringkas pada wadah ini
dengan harapan bahwa pada saat Anda menjumpai kendaraan dengan dapur pacu
berteknologi GDI di jalanan, setidaknya Anda sudah paham secara umum barang apakah
sebenarnya DGI itu..
Jauh sebelum GDI secara serius diaplikasikan pada kendaraan, para konstruktor mesin
selalu berfikir untuk menerapkan suatu manajemen mesin bensin pada kendaraan tetapi
mesin tersebut dapat menghemat bahan bakar, berdaya lebih tinggi atau katakanlah
segalanya lebih baik dibandingkan dengan mesin injeksi konvensional saat ini dan tentu
saja emisinya tetap bisa dikontrol sesuai dengan aturan gas buang yang sudah digariskan.
Lebih dari 10 tahun yang lalu diaplikasikanlah GDI pada mesin dengan tujuan bahwa
mesin ini dapat meningkatkan effisiensi penggunaan bahan bakar yang semakin langka
dan semakin mahal saja dari waktu ke waktu serta output/daya yang dihasilkan lebih tinggi
jika dibandingkan dengan mesin injeksi konvensional saat ini.
Effisiensi pemakaian bensin dapat ditingkatkan karena pada GDI pengontrolan volume
penyemprotan bensin dapat dilakukan dengan sangat akurat, demikian juga timing
penyemprotannya bisa disesuaikan dengan setiap kondisi opersional mesin.
Selain itu, tidak ada kerugian “throttling” yaitu hambatan pada katup throttle yang
menyebabkan effisiensi volumetrik mesin jadi berkurang seperti halnya sistem injeksi
bensin konvensional maupun sistem aliran bahan bakar dengan karburator.
Manajemen mesin DGI dapat mengatur perbandingan campuran mulai dari sangat kurus
sampai dengan lambda 1.
Perbandingan campuran udara-bensin lambda = 1 , berarti perbandingan campuran
udara-bensin adalah 14.7:1 dan jika perbandingan campuran sangat kurus bisa berada
pada angka 65:1
Perbandingan udara-bensin 65:1 tersebut sangatlah kurus kalau dibandingkan dengan
pasokan udara-bensin untuk mesin injeksi konvensional maupun mesin karburator. Secara
teoritis perbandingan campuran sangat kurus tidak mungkin bisa dibakar bila mesin itu
menggunakan teknologi injeksi konvensional.
Beban Penuh
Pada waktu beban penuh (mobil dalam keadaan menanjak misalnya), perbandingan
campuran udara-bensin dibuat sedikit lebih gemuk, proses penyemprotan sama seperti
perbandingan campuran ideal yaitu bensin disemprotkan saat langkah isap langsung ke
dalam silinder mesin, hal ini dimaksudkan agar terjadi campuran udara bensin yang lebih
homogen serta mencegah detonasi•
Mesin injeksi langsung GDI juga bisa dilengkapi dengan teknologi lain seperti variabel
valve timing (VVTi) ataupun variable intake manfold maupun dengan EGR untuk
mengurangi emisi NOx saat perbandingan campuran udara-bensin sangat kurus dan suhu
pembakaran yang tinggi.
Sejarah GDI
Sebenarnya teknologi Gasoline Direct Injection diperkenalkan pada pesawat udara ringan
produksi untuk Perang Dunia II, dibuat/didesain oleh Jerman (Daimler Benz) dan Uni
Soviet (KB Khimavtomatika).
Sedangkan teknologi GDI pertama untuk otomotif dikembangkan oleh Bosch, dan
diperkenalkan oleh Goliat dan Gutbrod pada tahun 1952.
Tahun 1955, Mercedes-Benz 300SL adalah mobil sport pertama yang menggunakan
system injeksi bensin langsung. Injektor ditempatkan lansung ke arah sisi silinder mesin
seperti halnya mesin diesel, tetapi menggunakan busi untuk membakar campuran udara-
bensinnya dan busi ditempatkan ditengah-tengah kepala silinder.
Namun kemudian hari aplikasi sistem ini tidak disukai karena injeksi tak langsung (injeksi
konvensional) seperti yang kita jumpai sekarang lebih murah dibandingkan sistem injeksi
langsung yang pertama kali diterapkan tersebut..
Selama tahun 1970-an, Ford Motor Company mengembangkan mesin yang mereka sebut
dengan "ProCo" (“Programmed Combustion” / pembakaran diprogramkan), menggunakan
pompa bertekanan tinggi yang unik lalu bensin disemprotkan langsung ke dalam silinder.
Seratus mobil Crown Victoria telah dibuat oleh Ford Atlanta di Hapeville-Georgia,
menggunakan mesin V8 ProCo. Lalu proyek ini dibatalkan begitu saja karena beberapa
alasan, diantaranya masalah sistem kontrol elektronis sebagai alasan utama.
Mulai saat itu adalah merupakan era awal dari sistem injeksi bensin langsung
diaplikasikan pada mobil, meskipun untuk membuat pompa dan injektornya diperlukan
biaya yang sangat tinggi.
Masalah selanjutnya terjadi akibat pembakaran dengan perbandingan campuran udara
bensin yang sangat kurus yaitu emisi NOx yang tinggi dan melebihi ambang batas yang
ditetapkan oleh EPA (Environment Protection Agency). Namun seiring dengan berjalannya
waktu dan diterapkannya 3 way catalytic converter untuk mereduksi HC, CO dan NOx,
maka emisi NOx yang dihasilkan oleh mesin GDI dapat direduksi sampai batas minimal.
Pada tahun 1996 sistem injeksi bensin langsung (GDI) muncul kembali di pasar otomotif.
Mitsubishi Motors adalah yang pertama merebut pasar Jepang dengan mesin GDI pada
Galant / Legnum, mesin seri 4G93 1.8 4L, yang kemudian dibawa ke pasar Eropa pada
tahun 1997 dengan nama Mitsubishi Carisma,
Di tahun yang sama Mitsubishi Galant dengan dapur pacu 2.4L GDI juga dipasarkan di
Eropa, namun kedua mobil tersebut mengalami masalah pada emisi dan effisiensi
konsumsi bahan bakarnya tidak seperti yang diharapkan, karena waktu itu bensin di Eropa
masih mengandung sulfur yang cukup tinggi,
Meskipun demikian akhirnya Mitsubishi berhasil mengembang mesin GDI yang lebih baik
pada tahun itu juga yaitu mesin 6G74 3.5 L V6, Mitsubishi menerapkan teknologi ini
secara luas serta memproduksi lebih dari satu juta mesin GDI dalam berbagai tipe/variant.
Pada tahun 2001, PSA Peugeot Citroën dan Hyundai Motors menggunakan lisensi
Mitsubishi untuk menadopsi teknologi GDI
Lalu Daimler-Chrysler juga memproduksi mesin khusus GDI pada tahun 2000, pada
umumnya mesin GDI tersebut harus menggunakan bensin dengan sulfur yang rendah.
Alhasil sampai saat ini sudah banyak produsen mobil yang membuat mesin GDI, namun
demikian produksi mesin tersebut masih menjadi merek terdaftar pada Mitsubishi Motor.
Renault memperkenalkan mesin 2.0 IDE (Direct Injection Essense) tahun 1999,
dipakai untuk Renault Megane dan diteruskan pada Renault Laguna.
Toyota juga ikut-ikutan memperkenalkan GDI pada mesin bensin, tahun 2000,
diaplikasikan pada Toyota Avensis mesin 2GR-FSE V6
Toyota menggunakan kombinasi injeksi langsung dan tidak langsung, berarti sistem ini
menggunakan dua injeksi per silinder, injektor EFI biasa dikombinasikan dengan injektor
GDI yang baru.
Kemudian mesin GDI terus dikembangkan dan saat ini telah dipasarkan mesin GDI
dengan kinerja tinggi.
Volkswagen / Audi memperkenalkan mesin GDI pada tahun 2000, dengan nama Fuel
Stratified Injection (FSI), teknologi ini diadaptasi dari mobil balap prototype Le Mans Audi.
Lalu Alfa Romeo memperkenalkan JTS pertama mereka pada tahun 2002 dan BMW
memperkenalkan GDI pada mesin V12 BMW N73 tahun 2003. BMW pada awalnya
menggunakan injektor tekanan rendah, namumn akhirnya mereka memperkenalkan
generasi kedua yang disebut dengan sistem High Precision Injection N52 di perbaiki dan
diperbaharui terus sampai tahun 2006.
General Motors telah merencanakan untuk menghasilkan berbagai mesin GDI pada tahun
2002, namun sejauh ini hanya tiga mesin GDI telah diperkenalkan pada tahun 2004,
Sebuah versi mesin 2.2 L Ecotec digunakan pada Opel Vectra tahun 2005, lalu mesin 2.0
L Ecotec dengan teknologi VVT untuk Opel GT yang baru, setelah itu Pontiac Solstice
GXP, Vauxhall GT, juga Opel Speedster dan Saturn Sky Red Line tahun 2007 .
Selanjutnya mesin 3,6 L LLT disediakan untuk dapur pacu generasi kedua Cadillac CTS
serta Cadillac STS.
Pada tahun 2004 Isuzu Motors juga tidak mau ketinggalan mereka membuat mesin GDI
untuk mobil Isuzu Rodeo yang dipasarkan di Amerika,
Mazda ikutan pula memakai mesin GDI pada tipe Mazda 6 versi Mazdaspeed / 6 MPS,
Mazda CX-7 SUV, mereka menyebutnya dengan istilah Direct Injection Spark Ignition
(DISi).
Bertujuan meningkatkan effisiensi penggunaan BBM dan menghasil daya mesin yang
lebih besar meskipun ber-CC kecil, misalnya saat ini mesin GDI 1200 CC dapat
membangkitkan daya lebih dari 150Hp, maka tidaklah mengherankan bilamana GDI pada
masa-masa mendatang akan cepat menggantikan mesin injeksi konvensional yang kita
geluti saat ini.