Anda di halaman 1dari 19

Pelukan Dari Hati

Hai, namaku Meylani. Teman-teman biasa memanggilku Mella. Duduk di kelas


tiga, jurusan IPA. Bukan karena aku jago fisika, yang ada malah kebalikannya. Alasan
utama yang lebih menyesatkanku ke kelas ini terutama karena aku tidak menyukai
sejarah dan geografi. Serius. Padahal aku suka sekali dengan akuntansi. Gape kalau
boleh dibilang. Aku bukannya jumawa ya, hanya jujur. Tapi lalu dengan berat hati,
aku harus mengucapkan perpisahan padanya.

Dan di sinilah aku sekarang. Berada di dalam kelas dengan pelajaran fisika
yang membuatku merutuki diri sendiri. Apa aku pernah berbuat salah saat
kehidupanku dulu pada Einstein di zamannya? Sehingga di masa reinkarnasi, di
kehidupan sekarang, aku benar-benar dodol dengan mata pelajaran satu ini.

Pernah sih, nilai fisikaku lumayan, karena Pak Gurunya oke banget. Guru muda
yang sangat mengetahui cara mengajar yang menyenangkan dan mudah dipahami.
Waktu di kelas dua. Tidak seperti sekarang.

Bapak dengan rambut menipis khas orang jenius itu menulis di papan dengan
super rapi. Persis seperti kami sedang menatap buku paket. Bagian rumus ia beri
kotak, di bawahnya dilanjutkan dengan keterangan simbol.

Awalnya, saat pertama kali Sang Bapak mengajar, aku senang. Kupikir setelah
mencatat materi, Pak Guru akan menerangkan dengan cara yang mudah kupahami.
Namun harapan memang kebanyakan tak sesuai dengan realita. Bapak berwajah
bundar kemudian hanya berbicara dengan papan. Ia hampir tidak menatap ke arah
kami saat menjelaskan. Suaranya samar, tidak runut, melompat dari penjelasan satu
ke yang lain. Di sela-sela, sering ia menyeringai kecil, tersenyum sendiri. Aku yang
dalam pelajaran ini masih level dasar, cuma melongo, tidak mampu mengimbangi
otaknya yang sudah beberapa level di atas advanced.

Mengapa aku panjang lebar pendahuluan mengenai fisika dan Pak Guru yang
sangat disayangkan tidak klop dengan otakku? Sebab semua bermula dari sini.

Saat sedang menatap nanar papan dan Pak Guru yang semangat
menggoreskan tulisan di depan kelas, Wati menoleh padaku yang duduk di
belakangnya dan berbisik,

“Mella, duduk sama Miko, gih. Bikin Rika cemburu.”

Oke, sebelumnya aku informasikan dulu mengenai situasi yang berkembang


di kelasku agar kamu nyambung, ya.
Entah bagaimana mulanya, di kelas ada tiga pasangan yang dielu-elukan dan
menjadi bahan godaan. Pertama, Ita dan Tama. Tama memang beneran suka dengan
Ita, sebab menjelang Ita pindah sekolah karena harus ikut keluarganya keluar kota,
Tama menyatakan perasaannya, dan mereka jadian. Entah apa yang terjadi dengan
hubungan LDR mereka selanjutnya. Aku kan tidak kepo dengan hubungan orang lain.
Aku tahu tentang ini, sebab Ita yang bercerita sendiri. Kan ia duduk di belakangku.
Tapi mereka tidak usah dipikirkan ya, karena tidak akan dibahas lagi. Aku hanya ingin
menyampaikan betapa serunya kelasku dengan pasangan buatan yang ending-nya
beragam.

Pasangan kedua, Dwi dan aku. Kalau yang ini, hanya semu. Tidak ada apa-apa
di antara kami. Hanya selayaknya teman yang lain di kelas. Jarak bangku yang
terbentang membuat kami berdua jarang berkomunikasi. Lebih sering saat sedang
bersama dengan yang lain. Jika teman-teman mulai heboh menggoda, aku hanya
menanggapi dengan memberi senyum ke arah mereka. Dan, tampaknya mereka
cukup bahagia dengan itu.

Yang ketiga, Miko dan Rika. Ini kemungkinan besar bukan Miko yang suka,
karena kehebohan dimulai dari belakang kanan kelas—sebenarnya semua pasangan
tercetus dari arah sana, posisi duduk Rika dan teman-teman—yang juga dekat
dengan posisi Tama dan Dwi. Aku juga tidak tahu Rika suka atau tidak dengan Miko.
Kadang kan yang heboh hanya teman dekatnya, padahal yang bersangkutan polos-
polos saja.

Namun Wati menganggap bahwa Rika benar-benar memiliki perasaan


terhadap Miko. Ia sudah memperhatikan Rika selama ini. Mengapa ia begitu? Apa
lagi? Ya, tentu karena Wati juga menyukai Miko.

Aku sebenarnya tidak ambil pusing, Rika suka atau tidak dengan Miko. Aku
juga tidak ada masalah apa pun dengan Rika. Tapi, akibat pelajaran yang membuatku
frustasi—yang menyebabkan aku tidak dapat berpikir jernih, usai Wati
menyampaikan pinta,

“Joko!” Aku memanggil dengan suara tertahan. Siswa di sebelah Miko, di


bangku paling depan, menoleh. “Tuker tempat duduk.” Aku menunjuk ke arahnya
dan kepadaku bolak-balik.

Tanpa bertanya, tanpa berkomentar, tanpa jeda, Joko bangkit dan segera tiba
di sisi tempat dudukku dan Lesti. Kalah The Flash. Yah, aku sih sudah menduga. Tadi
aku langsung menindak-lanjuti permintaan Wati untuk duduk dengan Miko di
depan, salah satunya sebab Joko.

See, Joko menyukai Lesti—jadi dia pasti bahagia banget kalau bisa duduk
sebelahan dengan gadis berwajah bulat berambut ikal. Tidak. Joko tidak pernah
memberi tahuku. Aku hanya menerka dari perilakunya.

Begini, sekolahku seperti sebagian sekolah yang ada di kotaku, setiap tahun
akan mengacak siswanya. Tiap tingkat kami akan memiliki teman sekelas yang
berbeda. Dan ini hal yang baik, karena kami lebih banyak mengenal kawan dan
mengurangi secara signifikan ego antar kelas.

Aku dan Joko, berada di kelas yang sama di kelas satu. Ia duduk di
belakangku. Otomatis, kami sering berinteraksi. Lalu ketika kelas dua dan tiga, kami
ternyata kembali ada dalam satu kelas, maka kami semakin dekat. Bisa dibilang Joko
merupakan teman laki-laki terdekatku di sekolah. Sehingga aku sedikit banyak bisa
membaca gesture-nya. Dan pada kelas dua, kutebak ia mulai menyukai Lesti yang
cuek.

Ternyata terbukti, kan? Ia langsung pindah begitu aku meminta tukar tempat
duduk. Tetapi aku tidak pernah mengatakan tentang firasatku ini pada Lesti, tidak
juga menembak Joko dan mengatakan bahwa aku tahu mengenai isi hatinya. Apalagi
menyebar gosip ke setiap penjuru sekolah. Tenang, aku tidak se-kekanakan itu.

Aku cuma menyimpannya sendiri. Hanya saja, sejak kelas dua, ketika aku mulai
menduga, jika Joko sedang mengobrol berdua dengan Lesti, biasanya aku akan
menghindar, menahan diri agar tidak ikut terlibat perbincangan, membiarkan Joko
menikmati saat-saat menyenangkannya. Aku kan jago acting. Agar mereka tidak
curiga, aku akan mencari alasan yang masuk akal: pura-pura sedang mengerjakan
soal latihan, merapikan catatan, atau apalah.

Yup, aku memberi kesempatan pada Joko, karena bagi Lesti mereka cuma
berteman. Aku tahu persis siapa yang ada di hati Lesti. Kan, ia cerita. Malah aku
bertindak sebagai mak comblang antara ia dan yang disayang.

Kembali ke suasana kelas saat pelajaran fisika. Dengan berita yang kupaparkan
di atas, wajar ya, kalau aku sudah tahu, akan mudah membuat Joko pindah duduk di
sebelah Lesti.

Kututup buku catatan dan membawanya bersama pulpen. Berdiri, beranjak ke


depan melewati belakang kursi rekan sampingku dan Joko dengan gerakan yang
sebisa mungkin tidak menimbulkan bunyi. Meninggalkan Lesti yang juga tidak
bertanya. Kan sudah kubilang ia memang cuek.

Di sisi bangku, aku menatap Miko dengan seulas senyum. Ia menengadah dari
buku tulis, menoleh padaku, membalas dengan senyum ramah. Baru aku
menempatkan diri di sampingnya.

Tenang-tenang, Pak Guru tidak tahu ada kejadian ini. Kan Bapak berbadan
mungil terlalu sibuk menulis.

Sebagian pasti mengira aku meminta pindah agar lebih dekat dengan papan,
jadi tidak akan menaruh kecurigaan. Berarti aku anak baik-baik yang ingin mencatat
dengan khusyuk. Padahal aku sedang dalam satu misi.

Bikin Rika cemburu?

Berarti aku harus dekat-dekat dengan Miko, kan? Oke, aku harus mengajaknya
berbincang. Baru kusadari saat itu kalau selama ini, mulai dari kelas dua saat kami
sekelas, aku belum pernah berbicara berdua dengannya. Bahkan aku tidak tahu apa-
apa tentang dirinya selain nama lengkap dan bahwa ia cukup pintar, walau karena
keberuntungan dari sistem kebut semalam, membuat peringkatnya sedikit di
bawahku.

Maka kumulai dengan pertanyaan standar: ia anak ke-berapa, sambil mencuri-


curi pandang ke Pak Guru, dengan suara pelan yang bisa didengar Miko. Dan baru
kutahu ia anak bungsu dari kakak perempuan dan laki-laki yang banyak, maklum, ia
orang betawi.

Pertanyaan kedua: di mana rumahnya.

Miko termasuk pemuda yang pemalu dan pendiam. Sejak kelas dua, ia duduk
di bangku nomor satu—bersama Joko. Berbeda denganku yang selalu mengambil
lokasi di tengah—posisi aman.

Dia pemuda yang rajin dan pakaian yang dikenakan selalu rapi. Tapi bukan
rapi yang terlihat culun, ya. Ia rapi yang pas, enak dilihat. Kamu tak kan pernah
mendapati ia mengeluarkan baju seragam sekolah, bahkan sampai jam pulang.
Tunggu, sepertinya di akhir masa sekolah usai, maksudku menjelang kami lulus, ia
pernah mengeluarkan kemeja. Tapi itu bisa dihitung jari.

Miko Jerikho, itu panggilannya. Bukan, tentu bukan nama asli. Miko memang
panggilan kesehariannya, tetapi Jerikho merupakan julukan yang diberikan teman-
teman. Mengapa? Ya, karena ia mirip seleb tersebut. Tatanan rambut, warna kulit,
wajah, bahkan cara bicaranya. Mungkin Sang Bunda ketika sedang mengandung
amat menggandrungi artis papan atas yang satu itu.

Baiklah, kembali ke bangku sekolah bagian pertama pojok, persis di depan


meja guru.

Miko yang pemalu, makanya aku yang harus bertanya lebih dulu dalam
mengajak bercakap-cakap. Aku pikir ia akan menjawab sekadarnya saja. Namun aku
salah. Ia membalas dengan antusias, aku sampai harus menyembunyikan
keterpanaanku. Bahkan, ketika ia menerangkan letak rumahnya yang tidak terlalu
jauh dari sekolah—hanya perlu naik angkutan umum satu kali, dan aku tidak tahu
persis lokasi yang dimaksud, ia sampai membuat peta di bagian belakang buku
catatannya. Digambarkan mulai dari gedung sekolah sampai bangunan rumahnya.
Kau sering melihat peta denah di undangan pernikahan, kan? Tepat, ia membuat
yang seperti itu. Rupanya Miko lebih ramah dari dugaanku dan bisa juga bicara
panjang lebar.

Waktu dua jam pelajaran fisika yang biasanya menyedihkan untukku, saat itu
berlalu dengan cepat sebab diisi pembicaraan ringan antara kami. Percayalah, aku
tidak mengganggu ketika Miko mencatat. Kami cukup bisa membagi waktu antara
menulis dan berbincang.

Ketika bel berbunyi, aku kembali ke posisi awal. Pelajaran yang lain tidak bisa
dilalui dengan mengobrol—dan aku tidak berniat juga—aku kan mau belajar.
Lagipula, misiku telah selesai. Begitu aku bersimpuh di tempat, Wati yang sudah
menunggu dengan posisi duduk miring menyandar pada tembok, berbisik lagi,

“Tuh, kan, bener, Mel. Tadi Rika ngeliatin mulu ke arah lo.” Oh, begitu. Jadi
benar tebakan Wati bahwa Rika menyukai Miko dan ia kemungkinan besar menjadi
cemburu melihatku bersama pemuda idamannya. “Lusa pas pelajaran fisika, lo duduk
sama Miko lagi, ya, Mel?” lanjut Wati dengan tampang tak berdosa.

Hah?! Gubrak!!!

(Apa yang akan terjadi pada hubungan pertemanan Mella dan Miko? Apa
yang akan dilakukan Rika? Mengapa Wati meminta Mella melakukan misi itu, apakah
ia tidak khawatir Mella akan menyukai Miko? Nantikan chapter selanjutnya. :D)
Chapter 6: Pelukan dari Hati (Bagian 2)

Miko Jerikho, pemuda pendiam dan pemalu dengan tinggi lebih sedikit dari
seratus tujuh puluh senti dan berat badan proporsional. Ia memiliki wajah yang
cukup cute, pintar, dan termasuk kategori anak baik-baik. Makanya Rika bisa
menaruh hati. Yang tanpa kurencanakan juga, ia kini ikut memenuhi hari-hariku
terutama sepanjang jam pelajaran fisika.

Ya, aku mengikuti keinginan Wati. Lagi, dan lagi.

Aku dan Miko menjadi lebih dekat dari sebelumnya. Yang bahkan membuat
Lesti, sahabatku yang cuek itu, menyampaikan praduganya. Ia menyangka aku
sedang melakukan pendekatan terhadap Miko. Mungkin informasi ini yang juga
berkembang di kelas. Entahlah.

Tapi, aku kan tidak bisa memberi tahu Lesti kalau aku melakukan ini atas
permintaan Wati, nanti ia jadi tahu bagaimana perasaan Wati kepada Miko. Padahal
ini rahasia. Setelah berkali-kali kukatakan ‘tidak’, namun Lesti tetap kekeuh pada
pendirian, maka yang bisa kulakukan hanya pasrah dengan prasangkanya.

Seperti saat tugas kelompok pada pelajaran lain yang dibebaskan Pak Guru
siapa saja anggotanya, secara tak sengaja terbentuk: Joko, Miko, Lesti, dan aku. Yah,
kami berempat kan memang sudah sekelas dari kelas dua. Jadi harusnya itu hal yang
biasa. Ketika itu kami sedang berdiri di sisi tangga lobi, masih bingung akan
mengerjakan tugas di mana. Lalu aku mengusulkan di rumah Miko, sebab di antara
kami, ia yang rumahnya paling dekat. Kan aku sudah tahu dari denah yang pemuda
itu buatkan pada perbincangan pertama kami.

Miko tidak keberatan. Yang lain juga menerima pendapatku. Dan ketika kami
menapaki tangga, menuju gerbang sekolah, dengan para laki-laki di depan, Lesti
yang berjalan di sebelahku sempat menggoda bahwa aku sengaja ingin ke rumah
Miko. Dan tidak berhenti di situ.

Di rumahnya, di tengah-tengah pengerjaan tugas, Miko berbaik hati


membuatkan kami mie instant. Yup, ia yang memasak. Aku sebagai perempuan,
mungkin disebabkan sebagian diriku yang dialiri darah Jawa, merasa tidak enak jika
tidak membantu. Maka aku mengikutinya ke dapur, ikut membuat mie rebus untuk
kami berempat.

Aku melakukan itu tidak terbersit dalam rangka mendekatkan diri pada Miko.
Sungguh! Kan tidak ada Rika di sana, tanpa Wati juga. Itu hanya tindakan alami yang
akan dilakukan seseorang jika berkunjung ke rumah temannya. Namun, berbeda bagi
pandangan Lesti. Sebab ketika aku dan Miko kembali ke ruangan membawa
beberapa mangkok panas di atas baki, lagi-lagi Lesti berbisik di telingaku. Ampun,
deh.

Kalau kamu pikir seiring berjalannya waktu Lesti akan lelah dan tidak
meneruskan kegiatan menggodaku. Kau salah besar.

Semakin hari, tampaknya ia semakin yakin kalau aku memiliki perasaan pada
Miko. Aku juga tidak tahu mengapa ia berpandangan begitu. Mungkin karena
sebelumnya, sejak ia mengenalku di kelas dua, aku terkesan cuek dengan teman laki-
laki. Bukan berarti mengacuhkan, kurasa aku cukup ramah. Namun belum pernah aku
‘memaksakan’ diri pindah duduk ke sebelah teman pria atau menyengajakan
mendekati untuk mengobrol dengan mereka.

Biasanya mereka yang menghampiri kalau ingin berbicara denganku.


Termasuk juga teman terdekatku, Joko. Lebih sering memang ia yang mendatangi
posisi duduk kami untuk mengobrol. Yah, aku memang tidak memiliki sahabat
cowok. Semua sohibku perempuan.

Begitulah. Dan Lesti semakin lama semakin merajalela.

Senin itu, kelas kami yang bertugas sebagai pelaksana upacara bendera.
Kelasku yang memang unik dan ingin berbeda dengan yang lain, tak tahu siapa
pencetusnya, para siswi diberikan pita panjang ungu berukuran sedang. Sebagian
memakai sebagai kuncir rambut. Aku, yang berambut sebahu, bersama beberapa
teman, memakai sebagai bandana. Ikatannya aku taruh di bawah tengkuk.

Sambil melangkah menuju lapangan, aku berpaling ke Lesti di samping,

“Udah cantik, belum?” Maksudku, sudah rapi atau belum, hanya


menggunakan bahasa yang berbeda saja.

“Nanya sama gue. Mending lo tanya sama Miko, sana.” Ini, entah, Lesti yang
tidak menangkap maksudku, atau ia memang sengaja memancing di air keruh.

Tetapi demi mendengar kata-katanya, malah memberiku ide, dan menjadikan


ini ajang dari misi yang masih saja kuemban dari Wati. Maka, aku langsung berbalik,
berjalan cepat menuju kelas, gesit menghindari para siswa yang berdiri acak yang
masih belum beranjak keluar. Menemui Miko yang berada di sisi meja guru di ujung
ruangan. Mengetahui kehadiranku, pemuda itu berpaling. Segera setelah kami
berdiri berhadapan,
“Cantik, nggak?” tanyaku dengan senyum mengembang. Miko tertawa pelan,
wajahnya sedikit merona. Aku tetap memasang wajah polos—tanpa berhenti
memberi senyuman, berpura-pura tidak menangkap gugup yang ia tutupi dengan
tawanya itu.

“Cantik,” ucapnya berbaik hati dengan senyum malu-malu setelah bisa


mengatasi grogi.

“Makasiiih.” Usai memberinya senyum yang lebih semringah, aku bergegas


berbalik dan menyusul para gadis yang pasti sudah tiba di lapangan, termasuk Rika.
Meski gadis yang menyukai Miko tidak ada di kelas tadi, tetapi teman-teman
cowoknya kan masih banyak, jadi pasti ia akan mendapat berita.

Dan tingkah Lesti masih berlanjut.

Suatu hari di jam istirahat, toilet di lantai dua, di belakang kelas kami, banyak
yang mengantre. Tak kan selesai sampai jam istirahat berakhir. Aku termasuk siswi
yang sering ke toilet, tapi aku melakukannya di jam istirahat atau jam pulang. Enggan
izin pada guru di tengah jam pelajaran. Mengganggu juga, kan?

Aku mengajak Lesti ke toilet di lantai tiga. Di sekolah kami, tiap lantai,
terdapat toilet di pojok bangunan. Tetapi ia menolak. Malah mengatakan,

“Minta anter Miko aja.”

What?

Lesti memang jarang sekali ke toilet. Kalaupun iya, biasanya ia pergi sendiri.
Selain cuek, ia gadis yang mandiri dan berani. Selama ini aku biasanya bersama
teman yang lain, tapi yang perempuan. Namun saat itu mereka juga sedang tidak
ingin, atau lebih kepada malas jika harus jauh-jauh ke atas. Masak aku minta antar
Miko? Yang bener aja.

Tapi lalu tanpa bisa kucegah, Lesti meninggikan suaranya, menyampaikan


kepada Miko yang memang sedang berada tak jauh, dan aku terkejut dengan
tanggapannya,

“Gue juga lagi mau ke toilet,” ujar Miko.

“Beneran?” Aku memandanginya Miko sangsi. Maksudku, kalau memang ia


ingin, pasti ia sudah pergi sendiri kan dari tadi.
Tapi ia mengangguk. Meyakinkan dengan senyum ramahnya. Feeling-ku sih ia
tidak terlalu ingin sebenarnya, lebih ke untuk menemaniku. Duh, Miko sweet banget
sih. Ternyata kebaikan hatinya, melebihi perkiraanku. Mana ada cowok usia sekolah
menengah atas mau mengantar teman ceweknya ke toilet?

Sebetulnya aku malu bareng cowok walau toilet laki-laki dan perempuan
dipisah, tapi tidak ada lagi yang mau menemani dan aku enggan ke lantai atas
sendirian. Serta karena Miko termasuk pemuda baik-baik, bukan cowok bengal, tidak
juga seperti pria dengan pikiran yang aneh-aneh, maka dengan terpaksa, aku
akhirnya setuju.

Dan hari itu, menjadi hari yang bersejarah, sebab seumur-umur, aku belum
pernah ke toilet berdua dengan teman laki-laki sebelumnya. Sumpah!

Jam istirahat, banyak murid yang di luar kelas, berdiri di balkon melihat ke
lapangan di bawah—sebagian siswa biasanya sedang bermain futsal. Atau hanya
berdiri sambil mengobrol di sisi dinding kelas untuk melepas penat. Membuat aku
dan Miko tidak bisa berjalan bersebelahan, maka ia mengambil posisi di belakangku.

Ketika hampir tiba di tangga, aku mendengar namaku dipanggil. Aku


menengok, menemui wajah teman sebangkuku di kelas satu. Kami memang cukup
dekat waktu itu, maka untuk melepas rindu, aku menghentikan langkah, dan
berbincang sebentar.

Saat aku menoleh, postur Miko sudah tidak terlihat. Aku maklum, pasti ia telah
melanjutkan perjalanan lebih dulu karena aku terlalu lama. Maka kuputuskan
mengobrol sebentar lagi. Beberapa menit kemudian, aku mengakhiri percakapan,
pamit pada temanku. Lalu beranjak menaiki tangga. Baru beberapa anak tangga, ada
lagi suara yang memanggil. Aku berbalik setengah badan sambil memegangi
pegangan hitam di samping tangga.

Miko?

Ya ampun, dia masih menungguku. Ia berdiri di dekat tembok pendek balkon,


selisih beberapa siswa yang besar dan tinggi di sebelah kiriku. Jadi tidak terlihat saat
tadi aku mencari. Padahal aku mengobrolnya lama. Namun ia masih tetap ada
untukku. Miko mendekatiku dengan senyum dan wajah yang tetap berseri, tak ada
kesal tersirat segaris pun di rautnya akibat menunggu terlalu lama. Aku
memandanginya tertegun.
Hingga pemuda itu mengajak kembali melanjutkan perjalanan pun, hatiku
masih tercengang. Agak bingung dengan yang terjadi. Mengapa Miko begitu baik
padaku?

(Bagaimana hubungan Mella dan Miko kedepannya? Apakah Rika akan selamanya
diam melihat kebersamaan mereka? Masihkah Wati mempercayakan menjalankan
misi kepada Mella? Nantikan chapter selanjutnya. :D)
Chapter 7: Pelukan Dari Hati (Bagian 3)

“Lo suka cewek yang rambutnya semana, Mik?”

Di kelas, bukan hanya aku yang mengajak Miko mengobrol, teman-teman


yang lain juga, termasuk yang perempuan. Tetapi memang tidak ada yang minta
tukar tempat duduk.

Aku mau melakukan permintaan Wati, dan tidak merasa malu atau khawatir
yang lain menyangka yang tidak-tidak, sebab aku memang tidak ada perasaan apa-
apa kepada Miko. Kami cuma berteman. Dan mengapa Wati menunjukku untuk misi
itu? Karena Wati tahu aku menyukai siswa lain di kelas. Bukan. Bukan mempunyai
perasaan kepada Dwi seperti yang dihebohkan teman-teman. Si Dia yang kusuka itu
sahabat Dwi, dan juga termasuk kubu Rika.

Ya, ya, hubungan percintaan memang rumit.

Apa?

Aku menyukai orang lain di kelas tetapi malah sering berada dekat dengan
Miko? Lalu Si Dia bagaimana? Sekilas, mungkin kamu pikir agak aneh, ya?

See, aku cuma menyukai dia dari jauh, sebagai seorang yang kukagumi. Aku
tidak ingin menjadikannya kekasih atau semacamnya. Bukan seseorang yang kukenal
dekat dan harus kujaga perasaannya agar tidak timbul salah paham dan malah
menganggapku menyukai orang lain, bukannya dirinya. Justru aku menjaga agar Si
Dia tidak tahu tentang pujian yang tanpa suara hatiku tujukan untuknya.

Kembali ke pertanyaan yang ditujukan untuk Miko.

Ia, Rindu, teman sebangku Wati, termasuk yang senang mengajak Miko
berbincang—saat guru sedang tidak ada di ruangan. Dan Miko juga orangnya ramah
kok. Aku yang di belakang Wati tentu bisa mendengar pembicaraan mereka. Kadang,
Rindu menanyakan buku apa saja yang sudah dibaca Miko. Atau lain waktu mereka
membahas tentang pengetahuan agama. Kudengar saat itu Miko merespons,

“Mending gue nggak tahu, biar nggak dosa. Kalau udah tahu, nggak dilakuin,
kan dosa,” lalu ia dan Joko tertawa.

Aku tahu ia sedang bercanda. Walau cenderung pendiam dan pemalu,


menurutku Miko cukup memiliki selera humor. Ia sering tertawa bila sedang
mengobrol bersamaku. Mungkin menurutnya aku lucu, entahlah.
Dan, Rindu, entah angin apa yang membawanya sampai bertanya begitu
kepada Miko. Aku sih tidak ambil pusing. Masih bergelut dengan buku dan pulpen.
Hey, aku juga murid yang baik, sebetulnya. Serius. Aku hanya stres pada pelajaran
fisika dengan Pak Guru jenius berwajah bundar.

Kupikir Miko akan menjawab bahwa gadis yang ia sukai adalah yang
berambut panjang. Biasanya begitu, bukan? Lebih seksi kalau menurut cowok, atau
sering kudengar: supaya bisa dibelai. Kamu yang laki-laki, benar kan? Ayo ngaku.
Tetapi aku salah terka untuk jawaban Miko,

“Yang rambutnya sebahu.”

Really? Aku agak surprise, baru sekali mendengar jawaban yang seperti ini dari
seorang pemuda. Sedikit terkejut juga karena saat itu rambutku sebahu. Sempat
terbersit, apa yang ia maksudkan itu aku? Namun segera kuhapus lintasan itu.
Mungkin ia sedang terbayang paras artis cantik yang sedang ia gandrungi yang
memiliki rambut sebahu. Aku kan tidak mudah ge-er. Lagipula Miko tidak pernah
bilang apa-apa kepadaku mengenai masalah hati, menyerempet-nyerempet pun
tidak.

Sayangnya, saat itu aku tidak melihat wajah Miko, kan aku sedang khusyuk
dengan soal yang sedang kukerjakan di buku (Kalau aku sedang memandangnya,
dan jika yang ia maksudkan itu aku, mungkin ia akan mengatakan sambil menatap
mataku penuh arti—ini kebanyakan nonton film). Aku cuma mendengar.

Kamu masih ingat dengan Lesti? Pasti, ya.

Walau ia sering menggoda, tapi ia cukup dewasa, sebab hanya berkata di


telingaku. Bukan golongan manusia ‘ember’. Kalau Lesti seperti itu, yang pasti sih,
kami tak kan jadi sohib dari awal.

Bila sedang bersama-sama—Lesti, Miko, Joko, aku dan yang lainnya, kami
tetap berbincang biasa. Sebelum berbisik, sohibku itu, tentu mengamati situasi, dan
memastikan tak ada yang mengetahui. Makanya aku tidak pernah marah atau kesal
dengan godaan yang ia berikan padaku.

Hari-hari berjalan. Tak terasa kami sudah menapaki detik demi detik menuju
kelulusan. Sekolah sedang mempersiapkan dokumentasi agar kami dapat masuk
perguruan tinggi negeri dengan seleksi nilai rapor.
Ketika itu, kami bertiga—Miko, Lesti, dan aku, tanpa Joko, sedang mengisi
jurusan yang kami inginkan di perguruan tinggi yang kami tuju, yang akan dikirim ke
dua universitas.

Kami bertiga mempunyai satu tujuan kampus yang sama. Untuk pilihan
lainnya, kami masing-masing berbeda. Pada PTN yang sama, Lesti dan Miko, memilih
opsi jurusan yang sama namun dengan urutan yang berbeda. Fakultas pertanian,
tujuan mereka.

“Gue suka tanaman-tanaman soalnya,” ujar Lesti.

“Iya, gue juga suka belajar kromosom XY-XY tumbuhan,” balas Miko.

“Iya, sama. Trus gue juga suka hama-hama gitu,” lanjut Lesti.

“Iya, gue juga suka pelajaran biologi,” sambung Miko.

Kompak sekali.

Sebetulnya, aku ingin sekali mengambil jurusan yang sama dengan mereka,
jadi kami bisa tetap berbarengan bertiga. Berada di kelas yang sama. Mempelajari hal
yang sama. Pasti menyenangkan.

Namun, aku belajar dari pengalaman bahwa jika aku tidak suka dan tidak
mahir yang ada malah memberikan hasil yang buruk. Contohnya pelajaran fisika.
Akhirnya kuputuskan akan memilih jurusan yang memang aku cukup mampu.

“Yaaaaah, gue nggak suka tanaman. Nggak suka biologi juga.” Aku angkat
bicara, berpura-pura memasang wajah merana.

Lesti dan Miko tertawa melihat tampang melasku.

“Biarin aja, kita pisah. Dia sendirian, kita berdua,” ujar Lesti kepada Miko. Dia
memang senang sekali menggodaku. Bahkan Lesti mengajak Miko ber-tos ria. Dasar,
ya. Tak apalah, aku senang bisa membuat temanku bahagia.

Sekolah semakin gencar mempersiapkan para siswa agar semakin banyak


yang mendapat perguruan tinggi negeri dengan sebelumnya lulus dengan nilai
terbaik. Dan murid-murid kelas tiga, tidak mau ketinggalan euforia kelulusan. Apalagi
kalau bukan menyiapkan kenang-kenangan selama tiga tahun di sekolah melalui
buku tahunan.

Demikian juga dengan kelas kami. Diskusi dilakukan untuk menentukan tema,
membuat to do list, pembagian tugas, hingga tempat dan teknis pelaksanaan
pemotretan. Ketika cerita yang akan dimuat di buku tahunan mengenai kelas kami
sudah selesai dibuat, aku ikut membaca. Kisah tentang kelas kami di masa depan
yang bertemu lagi dalam reuni perdana. Saat itu, kami sudah dengan profesi masing-
masing. Tertulis aku sebagai pramugari. Aku mengingat-ingat, kapan pernah
menyampaikan salah satu dari cita-citaku itu ke teman-teman? Mungkin saja pernah
sekilas, namun aku tidak ingat. Apakah mereka bisa menebak dengan tepat
impianku? Tapi aku tidak komplain, kan memang sesuai.

Hari pemotretan pun tiba.

PIC transportasi sudah memikirkan bagaimana kami semua bisa sampai ke


tujuan, rumah salah satu teman yang sudah disulap menjadi studio kecil. Maka aku
menurut waktu disampaikan,

“Mella, nanti lo bareng Dwi, ya.” Benar, sie transportasinya teman-teman dekat
Dwi. Aku sih tidak keberatan berangkat dengan siapa saja, kan kami semua teman.

Dwi memboncengku ke lokasi, seperti sebagian yang lain yang membawa


motor. Entah bagaimana dengan yang lainnya, aku tidak sempat memperhatikan,
sebab sudah lebih dulu mengikuti Dwi ke parkiran sekolah.

Selama perjalanan, Dwi mengajak berbincang hal-hal ringan. Ia membawa


motornya tidak terlalu cepat. Mungkin bisa dibilang cukup lambat, karena kami yang
terakhir sampai di tujuan.

“Biasanya ngebut, lu. Pas bawa Mella aja, pelan kayak siput!” seru seorang
siswa menyambut kedatangan kami, disusul ‘huu’ panjang teman-teman lelaki yang
berkumpul di depan rumah. Yup, kubu Dwi. Si Dia termasuk di dalamnya.

Yang disindir hanya garuk-garuk kepala sambil cengengesan. Aku menimpali


dengan senyum dan pamit masuk. Di dalam, Lesti, Miko, dan Joko, sudah mulai
bersiap-siap diambil gambarnya.

Usai berganti seragam dengan rok sepan selutut dan kemeja putih dihias syal
merah di leher, aku sedikit berdandan. Sebagai sentuhan terakhir, aku menarik
rambut ke belakang, menggelungnya rapi.

Setelah siap, segera kudekati studio mini. Masih ada Lesti dan Miko di sana.
Joko sudah lebih dulu pulang karena ada keperluan. Dan giliranku pun tiba.

“Gue begini aja? Nggak megang apa gitu?” tanyaku.


“Pegang ini aja.” Miko mengulurkan bunga mawar merah kayu. Di sekitar
ruang studio mini memang sengaja disiapkan pernak-pernik dan dapat digunakan
sesuai kebutuhan.

Hah? Bunga? Yang bener aja. Memangnya gue model, foto sama bunga? Yang
ada, pramugari tuh pegang pelampung, kayak lagi kasih pengarahan sebelum take
off. Please, deh!

Tapi, yang terjadi, aku menerima bunganya. Dan kau dapat melihat di buku
tahunan kami, ada seorang pramugari berpose dengan menggenggam bunga kayu.
Aku, yang biasanya akan menolak melakukan hal yang tidak sesuai, kali itu bisa
meninggalkan idealisme yang kupegang. Mengapa? Entahlah. Memang sempat ada
pertikaian batin. Namun dorongan untuk membuat pemuda itu bahagia lebih besar
dan berhasil menang. Yang lalu terpancar dari senyum Miko saat memandangiku
yang sedang difoto—dengan bunga yang ia berikan.

(Apakah Mella dan Miko akan bersama? Jika begitu, lalu bagaimana dengan Wati?
Dan apakah Rika akan tetap diam sampai akhir? Nantikan Chapter selanjutnya. :D)
Chapter 8: Pelukan Dari Hati (Bagian 4)

Pagi yang sejuk, dengan awan putih berarak ditiup angin. Selatan Jakarta
memang masih lebih ramah dibanding utara yang panas. Pepohonan hijau masih
banyak menghiasi area ini. Tak terkecuali di sekitar sekolah kami.

Para murid berbaris rapi di lapangan. Siswi di depan, siswa di belakang. Lesti,
seperti biasa ada di sebelahku. Kami semua pelajar kelas tiga. Mengenakan bawahan
hitam, celana untuk laki-laki sedang rok untuk perempuan, dan atasan kemeja putih.

Usai wejangan yang disampaikan oleh Pak Kepala Sekolah di atas podium.
Saat yang dinantikan pun tiba: Pengumuman Penerimaan PTN melalui seleksi nilai
rapor.

Wajahku mungkin terlihat pucat, sebab dadaku bergemuruh. Aku khawatir


tidak diterima. Karena aku tidak sungguh-sungguh mempersiapkan diri untuk seleksi
lewat tes jika memang aku ditolak.

Hingga akhirnya namaku disebut, masuk di salah satu PTN yang kupilih, yaitu
yang sama dengan Miko dan Lesti tunjuk, rasanya aku telah memenangkan lotre.
Bahagia sekali. Lesti malah diterima di kedua PTN yang ia pilih, hebat ya.

Saat itu, tak tahu mengapa, bayangan kejadian beberapa hari yang lalu
merasuki benakku. Siang sepulang dari sekolah, aku sedang berjalan kaki setelah
turun dari angkutan umum. Tak kusangka, ada seorang anak kecil—harusnya sih
anak kecil sebab tubuhnya mungil dan wajahnya juga masih polos, mendekat. Ia
mengulurkan tangannya. Aku kaget. Baru melihat wujudnya saat itu, tak kenal, bukan
tetangga, dan aku bukan artis juga, kok dia mengajak bersalaman.

Namun, demi kesopanan—atau karena tangannya terlalu dekat ke telapakku


maka aku tak bisa mengelak, aku juga menjulurkan tangan. Kami berjabat singkat
sebelum ia melanjutkan perjalanan ke arahku datang. Tadi kami saling berpapasan.

Apa anak itu bisa melihat masa depan? Yang ia maksud dengan jabat tangan
itu adalah memberi selamat atas diterimanya aku di PTN? Entahlah. Percaya, tidak
percaya.

Tenang, bayangan akan anak kecil itu hanya sesaat, sebab kami kemudian
larut dalam selebrasi. Saling memberi selamat. Oh iya, Wati mendapatkan PTN
impianku. See, peringkatku di bawahnya. Dan aku bahkan sudah diwanti-wanti tidak
apply ke kampus itu oleh Pak Guru yang membimbing kami selama penentuan
universitas. Sedih. Tapi, aku tetap bersyukur kok.
Para murid sudah berpencar. Ada yang di kantin, sebagian lain di luar kelas.
Sedang aku sempat masuk ke kelas. Ketika akan melangkahkan kaki ke luar, Dwi
masuk ruangan.

Ia tersenyum dan mengulurkan tangan memberi selamat. Aku membalas.


Kupikir, hanya akan sekilas seperti yang teman-teman lakukan. Tapi, ia malah
menambah dengan membawa tangan kirinya ke punggung tanganku yang sedang
digenggam, mengelusnya pelan.

Jika saja hari-hari biasa, tentu aku akan segera menarik tangan. Tapi kali itu
aku pasrah. Kupikir, toh Dwi dan aku tak kan bertemu lagi setelah kami lulus, dan jika
benar apa yang disampaikan teman-teman bahwa ia menyukaiku, walau mungkin
sedikit, maka kuanggap saja untuk menyenangkan hatinya, sebagai amal. Yup,
pemikiran yang aneh. Ini jangan diikuti.

Untungnya, tak lama, dari luar, sosok Miko muncul. Dwi segera melepas
tanganku dan berlalu.

Setelah berada di hadapanku, sama halnya dengan Dwi, Miko juga


memberikan telapak. Mengucapkan selamat dengan senyum khas. Tapi kali ini
senyum itu tidak sampai matanya.

“Miko, sori...” lirihku.

Selama dua tahun aku mengenal Miko, walau ia bukan pemuda ekspresif,
namun matanya selalu berbinar. Tapi kali ini redup.

See, ia tidak berhasil masuk melalui seleksi rapor. Di PTN yang sama dengan
Lesti, ia memilih jurusan yang favorit di nomor awal. Berbeda dengan Lesti.

Sebelumnya aku sedih karena kami tak kan bersama, namun setelah melihat
matanya, aku sedih sebab ia bersedih. Entah perasaan apa. But, it broke my heart to
see him like that.

Aku tidak ingin ia bersedih.

Ia yang sedang menggenggam tanganku erat seolah meminta kekuatan,


kubalas sama eratnya seakan menyalurkan segenap kekuatan yang kumiliki
untuknya. Lama tangan kami saling berpaut.

Tak peduli kegaduhan di kelas karena di atas kepala Rika dan Si Dia yang
pernah kutaksir tetapi lalu aku ilfil karena sesuatu sedang dibentangkan selendang
oleh teman-teman, seolah mereka akan ijab kabul. Miko dan aku hanya melirik
sekilas. Namun tak berniat saling melepas.

Tak tahu berapa lama kami bersalaman. Lima menit, sepuluh menit, atau lebih.
Entahlah. Mulai berdiri di depan kelas, hingga akhirnya kami duduk di meja paling
depan dengan kaki pada bangku, menghadap ke belakang kelas. Miko dan aku tidak
bertatapan, kami bersisian, aku di sebelah kanannya, dengan kedua tangan masih
menyatu.

Miko dan aku tidak mengeluarkan suara. Kami tenggelam dalam pikiran
masing-masing. Tetapi saling tahu kami saling peduli melalui erat genggaman yang
tak kunjung berkurang.

Kami tidak mengganggu orang lain. Tetapi sayangnya, tak semua orang akan
melakukan yang sama. Karena lalu, Rika, yang duduk bersebelahan dengan Si Dia
dengan selendang yang masih menghiasi kepala mereka berdua, di hadapan kami,
jeda satu meja, mengeluarkan suara,

“Lama amat salamannya.”

Baru kusadari, mungkin sejak tadi ia sudah ingin mencekikku sebab


menggenggam tangan pemuda yang disukainya tepat di depan mata. Tidak sebentar
pula.

Sesungguhnya aku enggan, tapi beberapa detik kemudian, di saat yang


bersamaan, Miko dan aku saling melepas. Dengan berat hati, aku melepaskan
genggaman—sebagai pengganti pelukan dari hati yang tak bisa kuberi.
Chapter 8: Pelukan Dari Hati (Bagian 4)

harus menyiapkan

Aku tidak tahu perasaan apa ini. But it broke my heart to see him sad.

Anda mungkin juga menyukai