DISUSUN OLEH:
Steven / 615160030 / DI-A
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas anugrah dan
penyertaan-Nya sepanjang proses penulisan proposal sampai selesai mengenai
“Perancangan Desain Interior Hotel Aston Braga Bandung”. Proposal ini ditujukan
untuk lebih memahami proses perancangan hotel, terutama untuk pengaturan
sirkulasi dan tata kondisional ruangan yang fungsional dan efisien pada beberapa
area yang mengutamakan kenyamanan bagi penggunanya.
Saya ingin berterimakasih kepada bapak Faisal Ridwan, S. Sn. Selaku dosen
pengampu mata kuliah Desain Interior 5 dan Drs. Azis Tirtaatmadja, M.T. (Ars)
selaku dosen pembimbing yang sydah membimbing saya selama proses pembuatan
proposal ini. Saya juga ingin berterimakasih kepada pihak-pihak lain yang sudah
membantu dalam pembuatan proposal ini.
Proposal ini berisi tentang data literatur dan data lapagan sehingga pengertian dan
proses serta konsep perancangan hotel Grand Mercue Bandung Setiabudi. Proposal
ini ditujukkan untuk memenuhi tugas individu. Saya mohon maaf apabila dalam
penulisan proposal ini terdapat kekurangan atau kesalahan. Oleh karena itu, saya
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca. Akhir kata,
saya ingin mengucapkan terima kasih dan berharap proposal ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.
Disusun oleh,
( Steven )
615160030
Disetujui oleh,
PENDAHULUAN
Berkaitan dengan pemanfaatan waktu luang untuk liburan maka bisnis ini
menunjang industri pariwisata yang menyediakan berbagai fasilitas pertemuan
penjamuan dan sebagainya. Perancangan sebuah hotel perlu mempertimbangkan
dua aspek utama pada perancangan bangunan komersial, yaitu efisiensi dan
kenyamanan.
a) Dapat merancang interior hotel Aston Braga yang sesuai dengan citra
perusahaan hotel serta lokasi hotel dibangun.
b) Dapat merancang interior hotel Aston Braga yang nyaman, menarik,
efektif dan efisien bagi pengunjung.
c) Dapat menata dan mengelompokkan area yang sesuai dengan kebutuhan
pengunjung pada hotel Aston Braga.
d) Dapat mengatur sirkulasi area kamar dan restaurant pada hotel Aston
Braga agar dapat mendukung serta mempermudah aktivitas pada ruangan
tersebut.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Hotel
a. Residential Hotel, yaitu hotel yang disediakan bagi para pengunjung yang
menginap dalam jangka waktu yang cukup lama. Tetapi tidak bermaksud
menginap. Umumnya terletak di kota, baik pusat maupun pinggir kota dan
berfungsi sebagai penginapan bagi orang-orang yang belum mendapatkan
perumahan di kota tersebut;
b. Transietal Hotel, yaitu hotel yang diperuntukkan bagi tamu yang
mengadakan perjalanan dalam waktu relative singkat. Pada umumnya jenis
hotel ini terletak pada jalan jalan utama antar kota dan berfungsi sebagai
terminal point. Tamu yang menginap umumnya sebentar saja, hanya sebagai
persinggahan;
c. Resort Hotel, yaitu diperuntukkan bagi tamu yang sedang mengadakan
wisata dan liburan. Hotel ini umumnya terletak didaerah rekreasi/wisata.
Hotel jenis ini pada umumnya mengandalkan potensi alam berupa view
yang indah untuk menarik pengunjung.
Penentuan jenis hotel yang didasarkan atas tuntutan tamu sesuai dengan keputusan
Mentri Perhubungan RI No.PM10/PW.301/phb-77, dibedakan atas:
a. Bussiness hotel, yaitu hotel yang bertujuan untuk ,melayani tamu yang
memiliki kepentingan bisnis;
b. Tourist hotel, yaitu bertujuan melayani para tamu yang akan mengujungi
objek objek wisata;
c. Sport hotel, yaitu hotel khusus bagi para tamu yang bertujuan untuk
olahraga atau sport;
d. Research hotel, yaitu fasilitas akomodasi yang disediakan bagi tamu yang
bertujuan melakukan riset.
Sedangkan penggolongan hotel dilihat dari lokasi hotel menurut Keputusan Dirjen
Pariwisata terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Resort hotel (pantai/gunung), yaitu hotel yang terletak didaerah wisata, baik
pegunungan atau pantai. Jenis hotel ini umumnya dimanfaatkan oleh para
wisatawan yang datang untuk wisata atau rekreasi;
b. City hotel (hotel kota), yaitu hotel yang terletak diperkotaan, umumnya
dipergunakan untuk melakukan kegiatan bisnis seperti rapat atau
pertemuan-pertemuan perusahaan.
Penggolongan berbagai jenis hotel serta bentuk akomodasi tersebut pada dasarnya
tidak merupakan pembagian secara mutlak bagi pengujung. Dapat juga terjadi
overlapping yaitu salingmenggunakan satu dengan yang lainnya, misalnya seorang
turis tidak akan ditolak jika ingin menginap pada sebuah city hotel, ataupun
sebaliknya.
Klasifikasi hotel berbintang tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut:
a. Hotel bintang satu;
1. Jumlah kamar standar minimal 15 kamar dan semua kamar
dilengkapi kamar mandi didalam;
2. Ukuran kamar minimum termasuk kamar mandi 20 m2 untuk kamar
double dan 18 m2 untuk kamar single;
3. Ruang public luas 3m2 x jumlah kamar tidur tidur, minimal terdiri
dari lobby, ruang makan (> 30m2) dan bar;
4. Pelayanan akomodasi yaitu berupa penitipan barang berharga.
2.1.5. Ergonomi
Pada standar ukur ergonomi-antropometri, skala manusia atas ruangan yang
ditempatinya merupakan skala normal, karena tingkat kedekatan antara ruang dan
penghuninya tidak terlalu dekat karena masih terdapat jarak antara skala manusia
terhadap ruang.
Gambar 2.1
Zona sirkulasi dalam ruangan dapat terbagi menjadi dua bagian, yaitu pada
bagian dalam ruangan unit hotel beserta balkon dan bagian koridor luar. Kedua
bagian ini menunjang besaran dimensi sirkulasi yang dipengaruhi oleh dimensi fisik
bangunan seperti dinding, bukaan jendela, perletakan dinding krawang pada koridor
serta perletakan furnitur pada ruang-dalam unit kamar hotel.
Gambar 2.2.
Sedangkan untuk ruang tidur dimensi/besaran kasur yang dipakai untuk unit single
bedroom sebesar 200 x 180 cm dengan standar ergonomi pada umumnya sebesar
213,4 x 152,4 cm. Sedangkan dimensi besaran kasur untuk unit twin bedroom
sebesar 200 x 80 cm dengan standar ergonomi sebesar 213,4 x 99,1 cm.
Gambar 2.3.
NO Nama Standar Standar Selisih Hasil
Ruangan Dinas Perancangan Ukuran
Pariwisata Bangunan
1 Ruang tidur
Tinggi 260 cm 260 cm (-) 20 cm Tidak
sesuai
Luas 20 m2 22 m2 0 – (-) 2 m2 Sesuai
Tabel 2.1. perbandingan kesesuaian dimensi sampel dan standar pada ruang tidur
1. Ruang duduk
2. Lemari Penyimpanan
Lemari tv
- tinggi 182,9 cm (+) 9,1 Tidak sesuai
- kedalaman 45,7 – 61 cm (+) 9,3 – (-) 6 Sesuai
Lemari pakaian
- tinggi 189,9 – 193 cm (+) 9,1 – (-) Sesuai
- kedalaman 50,8 – 71,1 cm (+) 9,2 – (-) 11,1 Sesuai
3 Ruang Tidur
Single bedroom
- panjang 213,4 cm (-) 13,4 Sesuai
- lebar 152,4 cm (+) 27,6 Sesuai
- zona kerja 91,4 cm (-) 8,4 Sesuai
Twin bedroom
- panjang 213,4 cm (-) 13,4 Sesuai
- lebar 99,1 cm (-) 19,1 Tidak sesuai
- zona kerja 91,4 cm (-) 15,4 Tidak sesuai
- jarak antar tempat 91,4 cm (-) 53,4 Tidak sesuai
tidur
4 Kamar mandi
Wastafel
- ketinggian 92 – 109,2 cm (-) 12 – (-) 29,2 Tidak sesuai
- ketinggian mata Maks 182,9 (-) 22,9 Sesuai
- zona aktivitas 121,9 (+) 16,1 Sesuai
Kloset
- zona aktivitas 90 cm (+) 29 Sesuai
- ketinggian tisu 65 cm (-) 11.2 Sesuai
- jarak kloset ke 25 cm (-) 5.5 Sesuai
dinding
Shower
- panjang 80 cm (-) 26.7 Tidak sesuai
- lebar 80 cm (-) 11.4 Tidak sesuai
- ketinggian shower 175 cm (-) 7.9 Tidak sesuai
- ketinggian kran air 80 cm (-) 21.6 – (-) 47 Tidak sesuai
5 Sirkulasi koridor
Dengan krawang
- lebar bersih (1 105 cm (+) 28.8 – (+) Sesuai
orang) 13.6
- lebar bersih (2 105 cm (-) 67.7 Tidak sesuai
orang)
Tanpa krawang
- lebar bersih (1 113 cm (+) 36.8 – (+) Sesuai
orang) 21.8
- lebar bersih (2 113 cm (-) 59.7 Tidak sesuai
orang)
Dengan kolom
- lebar bersih (1 90 cm (+) 13.8 – (+) 1.4 Sesuai
orang)
- lebar bersih (2 90 cm (-) 82.7 Tidak sesuai
orang)
Tabel 2.2. perbandingan kesesuaian dimensi sampel dan standar ukur ergonomi
2.1.6. Pencahayaan
Pencahayaan didefinisikan sebagai jumlah cahaya yang jatuh pada sebuah
bidang permukaan. Tingkat pencahayaan pada suatu ruangan didefinisikan sebagai
tingkat pencahayaan rata – rata pada bidang kerja, dengan bidang kerja yang
dimaksud adalah sebuah bidang horisontal imajiner yang terletak setinggi 0,75
meter di atas lantai pada seluruh ruangan (SNI Tata Cara Perancangan Sistem
Pencahayaan Buatan pada Bangunan Gedung, 2000). Pencahayaan memiliki satuan
lux (lm/m²), dimana lm adalah lumens dan m² adalah satuan dari luas permukaan.
Pencahayaan dapat mempengaruhi keadaan lingkungan sekitar. Pencahayaan yang
baik menyebabkan manusia dapat melihat objek – objek yang dikerjakannya
dengan jelas.
2. Pencahayaan Buatan.
Pencahayaan buatan adalah pencahayaan yang berasal dari sumber
cahaya selain cahaya alami, contohnya lampu listrik, lampu minyak
tanah, lampu gas, dll. Pencahayaan buatan diperlukan ketika :
pencahayaan alami tidak tersedia di ruangan pada saat matahari
terbenam, pencahayaan alami tidak mencukupi kebutuhan cahaya
seperti pada saat hari mendung, pencahayaan alami tidak dapat
menjangkau tempat tertentu yang jauh dari jendela dalam sebuah
ruangan, pencahayaan merata pada ruangan yang lebar diperlukan,
pencahayaan konstan diperlukan seperti pada ruangan operasi,
diperlukan pencahayaan yang arah dan warnanya dapat diatur, dan
diperlukan pencahayaan untuk fungsi tertentu seperti menyediakan
kehangatan bagi bayi yang baru lahir. Pencahayaan buatan memiliki
beberapa keuntungan seperti : dapat menghasilkan pencahayaan yang
merata, dapat menghasilkan pencahayaan khusus sesuai yang
diinginkan, dapat menerangi semua daerah pada ruangan yang tidak
terjangkau oleh sinar matahari, dan dapat menghasilkan pencahayaan
yang konstan setiap waktu. Pencahayaan buatan memiliki beberapa
kelemahan seperti : memerlukan energi listrik sehingga menambah
biaya yang dikeluarkan, dan tidak dapat digunakan selamanya karena
lampu dapat rusak.
b. Pencahayaan Buatan
1. Sejarah Pencahayaan Buatan;
Pencahayaan buatan diperlukan ketika sumber cahaya alami yaitu
matahari tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan pencahayaan. Setelah
matahari terbenam, api adalah sumber pencahayaan buatan pertama
yang dikenal oleh manusia. Menurut Binggeli (2003), lampu minyak
dari batu adalah lampu pertama buatan manusia yang dibuat oleh suku
Cro-Magnon 50.000 tahun yang lalu. Sumber pencahayaan buatan
pertama yang paling terang ditemukan oleh Leonardo da Vinci yang
memasukkan lampu minyak ke dalam silinder kaca berisi air dan air di
dalamnya memperlipatgandakan pencahayaan yang dihasilkan. Bangsa
Romawi adalah penemu lilin pertama yang menggunakan lemak
binatang sebagai bahan pembuat lilin. Pencahayan buatan terus
berevolusi hingga Thomas Alva Edison menemukan lampu pijar
pertama pada tahun 1879 yang berusia hanya 15 jam.
2. Sistem Pencahayaan Buatan;
Sistem pencahayaan buatan secara umum terbagi menjadi 3, yaitu:
a. Sistem Pencahayaan Merata;
Pada sistem ini, pencahayaan tersebar pada semua area di
ruangan secara merata. Sistem pencahayaan merata
digunakan pada ruangan yang tidak memerlukan ketelitian
dalam melihat seperti pada koridor atau jalan;
b. Sistem Pencahayaan Setempat;
Pada sistem ini, cahaya hanya dikonsentrasikan pada objek
yang membutuhkan cahaya secara optimal seperti pada area
kerja. Sistem pencahayaan jenis ini cocok untuk pekerjaan
yang membutuhkan ketelitian tinggi dan mengamati benda
yang membutuhkan cahaya.
c. Sistem Pencahayaan Gabungan.
Sistem pencahayaan gabungan didapatkan dengan
menggabungkan sistem pencahayaan setempat dan sistem
pencahayaan merata. Sistem pencahayaan ini cocok untuk
memenuhi pencahayaan tugas visual yang memerlukan
tingkat pencahayaan tinggi.
c. Kualitas Pencahayaan;
Kualitas pencahayaan yang baik dapat memaksimalkan performa visual,
komunikasi interpersonal, dan mempengaruhi perilaku manusia di dalam
ruangan, sedangkan kualitas pencahayaan yang buruk akan menyebabkan
ketidaknyamanan dan memusingkan performa visual. Menurut IESNA
(2000), kualitas pencahayaan dapat dikategorikan melalui tiga pendekatan
yaitu dari bidang arsitektur, ekonomi dan lingkungan, dan kebutuhan
manusia. Arsitektur Pencahayaan terdapat di dalam konteks arsitektur baik
itu interior maupun eksterior. Menurut Setiawan (2012), pencahayaan bukan
berperan sebagai pelengkap arsitektur, namun telah menjadi bagian dari
arsitektur itu sendiri. Keberadaan pencahayaan dapat mempengaruhi
pengalaman ruang, estetika bangunan, dan visualisasi ruang. Ekonomi dan
Lingkungan Pemilihan pencahayaan sangat dipengaruhi dari bidang
ekonomi. Investasi pada lampu harus sebanding dengan biaya yang
dikeluarkan demi mendapat tingkat efektifitas dan performa lampu yang
sesuai. Kebutuhan Manusia Dari segi aspek kebutuhan manusia, untuk
mendapatkan kualitas pencahayaan yang baik perlu diperhatikan hal – hal
sebagai berikut:
1. Jarak Pandang (Visibility) Peran pencahayaan sangat penting dalam
mengatur kemampuan untuk menangkap informasi sudut pandang
visual dan juga jarak untuk melihat daerah di sekeliling;
2. Performa Aktivitas (Task Performance) Salah satu peran utama
pencahayaan adalah memfasilitasi aktivitas yang dilakukan manusia
agar performa kerja mereka dapat optimal;
3. Perasaan dan Suasana (Mood and Atmosphere) Pencahayaan dapat
mempengaruhi mood manusia di dalam ruangan dan menghasilkan
bermacam suasana seperti suasana ruangan yang santai pada cafe,
suasana produktif pada perkantoran, ataupun suasana angker di suatu
tempat;
4. Kenyamanan Visual (Visual Comfort) Aktivitas dan tipe tempat dapat
mempengaruhi kenyamanan visual dari ruangan tersebut. Pegawai di
perkantoran akan merasa tidak nyaman dengan cahaya yang
menyilaukan dari instalasi peencahayaan, namun cahaya yang
berkilauan di dalam diskotik justru dapat membuat orang di dalamnya
semakin bersemangat;
5. Penilaian Estetika (Aesthetic Judgement) Pencahayaan dapat memiliki
fungsi seperti mengkomunikasikan suatu pesan, memperkuat pola dan
ritme dalam arsitektur, memaksimalkan warna, dan membentuk sosial
hirarki dari suatu tempat. Pencahayaan dapat menjadi elemen yang
membantu mencipatakan estetika dari sebuah elemen lain dan juga
dapat menjadi estetika itu sendiri;
6. Health, Safety, and Well-Being Pencahayaan dapat mempengaruhi
kesehatan manusia seperti pada pencahayaan berlebih pada kamar tidur
dapat menyebabkan gangguan tidur. Aspek kesehatan sering diabaikan
oleh para desainer pencahayaan;
7. Komunikasi Sosial (Social Communication) Kondisi pencahayaan dari
suatu ruang dapat menyebabkan komunikasi antara sesama penghuni
ruangan dengan mengatur pola pencahayaan dan jumlah bayangan.
d. Sumber Cahaya dan Armatur Lampu.
Menurut Manurung (2009), pemahaman mengenai sumber cahaya dalam
desain pencahayaan arsitektural (architectural lighting design) sangat
penting mengingat tiap – tiap sumber cahaya memiliki karakteristik,
tingkat efficacy (perbandingan daya yang dibutuhkan dengan kuat cahaya
yang dihasilkan), renderasi warna, dan temperatur warna yang berbeda.
Menurut Moyer (1992), di dalam memilih lampu bagi desain pencahayaan
terdapat beberapa faktor yang sangat penting untuk diperhatikan , yaitu
intensitas, ukuran fixture, besaran watt, tipe lampu (dalam variasi
beamspread dan watt), dan warna.
Macam – Macam Sumber Cahaya Menurut Manurung (2009) sumber
cahaya yang beredar di pasaran dibagi menjadi empat kelompok, yaitu :
a. Lampu Pijar (Incandescent Lamp) Lampu pijar merupakan salah
satu lampu yang paling tua usianya sejak pertama kali
dikembangkan oleh Thomas Alfa Edison. Lampu yang di
Indonesia lebih dikenal dengan sebutan bohlam karena bentuknya
yang menyerupai bola. Dari total energi listrik yang digunakan
oleh lampu pijar, hanya sekitar 10% saja yang diubah menjadi
cahaya, sedangkan sekitar 90% lainnya dibuang sebagai energi
panas. Kondisi ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
usia lampu pijar menjadi pendek (sekitar 1000 jam). Warna
kekuningan (warm light) yang dihasilkan lampu pijar mampu
menciptakan suasana hangat, akrab, lebih alami, dan teduh
sehingga lampu pijar sering digunakan sebagai lampu utama pada
hunian;
b. Lampu Fluoresens (Fluorescent Lamp) Lampu fluoresens di
Indonesia lebih dikenal dengan sebutan yang sesungguhnya
keliru, yaitu lampu “neon”. Pada hakikatnya, lampu neon
ditujukan pada sumber cahaya yang menggunakan gas neon.
Sebutan lain untuk lampu fluoresens adalah lampu TL (Tubular
Lamp) karena berbentuk tabung, walaupun variasi bentuk lampu
jenis ini sesungguhnya sangat banyak. Pada desain pencahayaan
ruang, lampu fluoresens banyak digunakan untuk menghasilkan
cahaya yang merata untuk memenuhi kebutuhan fungsional
berbagai aktivitas. Cahaya putih jernih yang merata yang
dihasilkan dengan kecenderungan untuk tidak mempengaruhi
warna benda, membuat lampu fluoresens mampu menampilkan
objek visual dengan sangat baik;
c. High Intensity Discharge Seperti yang tergambar dari namanya,
lampu High Intensity Discharge (HID) adalah lampu – lampu
discharge yang mampu menghasilkan cahaya dengan intensitas
tinggi. Lampu HID dibagi menjadi tiga jenis yang paling umum,
yaitu metal halida, merkuri, dan sodium bertekanan tinggi (High
Pressure Sodium/HPS). Lampu – lampu HID sangat baik dalam
pencahayaan ruang luar karena mampu menghasilkan cahaya
dengan intensitas tinggi;
d. LED (Light Emitting Diode) Perkembangan teknologi lampu
yang pesat telah mengantar penciptaan jenis lampu baru, yaitu
LED (Light Emmiting Diode). Lampu LED memiliki usia yang
sangat panjang, mencapai 100.000 jam, dengan konsumsi daya
listrik yang sangat kecil. Kelemahan LED adalah intensitas
cahaya yang dihasilkannya lebih kecil jika dibandingkan dengan
jenis sumber cahaya lainnya. Lampu LED sangat menunjang
desain pencahayaan karena memiliki variasi warna, yaitu putih
dingin (cool white), kekuningan, merah, hijau, dan biru. Variasi
warna ini memungkinkan penciptaan suasana ruang maupun
objek yang senantiasa berubah (color changing) dengan
memainkan warna – warna yang berbeda pada waktu – waktu
tertentu. Warna – warna tersebut juga dapat digunakan sebagai
elemen pengarah pada jalur sirkulasi maupun sebagai penanda
ruang – ruang fungsional. Tipe Armatur Lampu Setiap lampu
memiliki karakter, spesifikasi, kebutuhan daya, dan daya tahan
sumber cahaya yang berbeda antara satu dengan lainnya. Namun
tanpa perlengkapan lampu (armatur lampu/luminair), semua
sumber cahaya hampir terlihat sama kecuali pada renderasi warna
yang dihasilkan. Tanpa armatur lampu (rumah lampu, soket,
ballast, pengatur kemiringan), sumber cahaya terdiri atas dua
jenis yaitu sumber cahaya titik (sumber cahaya berbentuk bola)
dan sumber cahaya linear (sumber cahaya lampu fluoresens).
Armatur lampu memiliki peran dalam
mengarahkan/membelokkan cahaya, menyebarkan cahaya, dan
juga memusatkan konsentrasi cahaya. Pengaturan distribusi
cahaya ini memiliki tujuan untuk menciptakan pola cahaya yang
beragam dalam desain pencahayaan dan mengurangi
ketidaknyamanan visual akibat kesilauan. Tanpa armatur lampu,
setiap sumber cahaya cenderung menghasilkan cahaya yang datar
dan menyebar sehingga akan menciptakan suasana ruang yang
monoton. Selain itu, armatur lampu juga sering dilengkapi
dengan berbagai elemen reflektor yang menyebabkan intensitas
cahaya yang dihasilkan oleh sumber cahaya menjadi lebih terang
beberapa kali lipat. Menurut Manurung (2009), armatur lampu
dikelompokan menjadi beberapa kategori yaitu : armatur
berdasarkan distribusi cahaya, armatur berdasarkan arah cahaya,
armatur berdasarkan sudut cahaya, dan armatur berdasarkan
peletakan armatur.
Berdasarkan Distribusi Cahaya Berdasarkan distribusi cahaya, armatur
lampu dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
a. Pencahayaan Langsung (Direct Lighting) Pencahayaan langsung
merupakan pencahayaan dengan distribusi sumber cahaya langsung
menuju ke sasaran yang dituju. Pencahayaan langsung biasanya
merupakan cahaya yang ditujukan secara fungsional untuk
memenuhi kebutuhan cahaya secara kuantitatif pada sebuah ruang
atau bidang kerja;
b. Pencahayaan Semilangsung/tak Langsung (Semi-direct/indirect)
Pencahayaan semilangsung atau tak langsung merupakan
pencahayaan yang pendistribusiannya terbagi pada dua arah
distribusi, yaitu sebagian cahaya yang berasal dari sumber cahaya
langsung dan sebagian lagi dipantulkan pada bidang permukaan.
Pencahayaan jenis ini sering digunakan karena dapat diaplikasikan
untuk memenuhi kebutuhan kuantitas cahaya dan juga dapat
diaplikasikan untuk menciptakan kualitas visual suatu objek
arsitektural. Pencahayaan semilangsung atau tak langsung sering
diaplikasikan pada pencahayaan untuk mendefinisikan dinding,
kolom, dan bidang vertikal lainnya.
c. Pencahayaan Tak Langsung (Indirect Lighting) Pencahayaan tak
langsung diaplikasikan dengan memantulkan cahaya yang berasal
dari sumber cahaya pada bidang pemantul atau reflektor.
Pencahayaan tak langsung biasanya digunakan untuk mengurangi
tingkat kesilauan yang dihasilkan oleh sumber cahaya sehingga
pencahayaan tersebut dapat menghasilkan cahaya yang lebih lembut.
Pencahayaan jenis ini sering diaplikasikan pada ruangan dengan
aktivitas yang memiliki tingkat pergerakan serta ketelitian yang
rendah.
Berdasarkan Arah Cahaya Berdasarkan arah cahaya, armatur lampu
dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yaitu:
a. Uplight (Arah Cahaya ke Atas) Uplight merupakan kelompok
armatur yang mendistribusikan cahaya dari bawah ke arah atas
dengan sudut tertentu. Lampu uplight sering diletakkan di lantai,
trotoar, ataupun di dinding dan kolom untuk memberikan aksentuasi
pada kedua elemen arsitektur tersebut. Menurut Karlen (2004),
contoh aplikasi yang paling sering digunakan dalam teknik uplight
adalah cove lighting. Cove lighting merupakan teknik menyinari
langit – langit ruangan dari sisi langit – langit ruangan;
b. Downlight (Arah Cahaya ke Bawah) Downlight merupakan
kelompok armatur yang mendistribusikan cahaya dari atas ke bawah
dengan sudut tertentu. Lampu ini biasanya diletakkan di langit –
langit untuk penerangan umum (general lighting) dan untuk
menciptakan kesan yang bersih pada langit – langit. Lampu
downlight dapat diletakkan di dinding dan kolom untuk menciptakan
aksentuasi maupun variasi pola cahaya. Untuk tujuan tersebut,
berbagai variasi armatur dapat digunakan agar menghasilkan pola
cahaya yang diinginkan. Beberapa armatur lampu dapat menampung
lebih dari satu sumber cahaya agar intensitas cahaya yang dihasilkan
menjadi semakin besar;
c. Diffuse (Arah Cahaya Menyebar) Cahaya dengan arah menyebar
merupakan pencahayaan yang paling sering diaplikasikan terutama
pada hunian. Arah cahaya yang menyebar secara merata atau baur
sesungguhnya dapat dicapai langsung dari sumber cahaya tanpa
menggunakan rumah lampu. Meskipun begitu, rumah lampu tetap
dibutuhkan untuk memaksimalkan intensitas cahaya agar dapat
menyebar dalam jangkauan yang lebih luas. Biasanya material yang
digunakan pada rumah lampu agar dapat menghasilkan cahaya yang
lembut adalah kaca susu, plastik semitransparan, dan kaca kristal.
Untuk menciptakan distribusi cahaya yang merata, armatur lampu
biasanya akan digantung. Penggunaan lampu gantung untuk
menunjang pencahayaan dengan arah merata berfungsi untuk
menghindari bayangan yang ditimbulkan oleh perlengkapan lampu
yang berada dibawahnya. Dengan menggantung lampu, bidang –
bidang permukaan yang berada di sekitarnya dapat diterangi secara
merata. Pencahayaan dengan arah cahaya menyebar digunakan
untuk menciptakan ruang dengan kesan datar dan terkadang
monoton.
Berdasarkan Sudut Cahaya Berdasarkan sudut cahaya, armatur lampu
dapat dikelompokkan dalam tiga jenis yaitu :
a. Armatur Spotlight (Lampu Sorot) Lampu sorot digunakan untuk
memberikan aksentuasi pada sebuah objek atau detail yang spesifik
dan memiliki dimensi yang kecil. Lampu sorot memiliki sudut
cahaya yang kecil ( ≤ 30°) dan sering diaplikasikan pada
pencahayaan eksterior dengan tujuan menonjolkan objek – objek
eksterior;
b. Armatur Floodlight Floodlight merupakan lampu sorot dengan sudut
cahaya yang lebih besar jika dibandingkan dengan spotlight. Untuk
menghasilkan cahaya dengan sudut lebar, rumah lampu yang
digunakan biasanya berbentuk kotak;
c. Armatur Wallwasher Sesuai dengan namanya, wallwasher atau
”penyiram dinding” digunakan untuk memberikan aksentuasi pada
permukaan bidang vertikal. Wallwasher memiliki sudut cahaya yang
sangat lebar dan lebih besar jika dibandingkan dengan floodlight,
namun mempunyai pola cahaya yang sama yaitu segiempat.
Berdasarkan Peletakan Armatur Armatur lampu dapat dikelompokkan
berdasarkan tempat peletakan armatur lampu yang berupa bidang
horizontal (lantai dan langit – langit), bidang vertikal (dinding dan
kolom), maupun di elemen arsitektural. Berdasarkan peletakannya,
armatur lampu dikelompokkan menjadi beberapa macam yaitu :
a. Armatur Wall Light/ Lampu Dinding Wall light merupakan lampu
yang dirancang agar dapat diletakkan di permukaan dinding maupun
kolom.
b. Armatur Step Light/ Lampu Tangga Step light atau lampu tangga
digunakan untuk menerangi anak tangga dengan membentuk pola
cahaya tertentu agar tangga dapat diakses dengan baik.
c. Armatur Suspension/ Lampu Gantung Lampu gantung sering
menjadi bagian dalam desain pencahayaan interior, baik sebagai
pencahayaan fungsional maupun sebagai pencahayaan dekorasi.
Pada ruang luar, lampu gantung lebih sering digunakan sebagai
pencahayaan fungsional yang diletakkan pada bagian teras
bangunan, maupun digantungkan pada balok – balok kantilever.
d. Armatur Pole Lighting/ Lampu Tiang Lampu tiang merupakan
lampu eksterior yang sering digunakan pada penerangan jalan, jalur
pejalan kaki, maupun taman. Penggunaan tiang ditujukan untuk
mengatur letak lampu agar mampu menghasilkan cahaya dengan
jangkauan yang lebih luas.
e. Armatur Bollard Pada dasarnya bollard merupakan salah satu bentuk
dari lampu tiang namun dengan dimensi yang lebih kecil. Bollard
sering difungsikan pada pencahayaan jalur pejalan kaki dan taman.
Armatur Underwater/ Lampu Bawah Air Lampu bawah air didesain
sebagai elemen pencahayaan pada water feature dan kolam. Secara
fisik, armatur lampu harus dapat menjamin keamanan sumber
cahaya agar air tidak dapat masuk ke dalam rumah lampu.
2.1.7. Penghawaan
Air (Sistem Pengudaraan) Sistem pengudaraan terdiri dari 2 macam yaitu:
a. Sistem alamiah;
b. Sistem buatan.
Umumnya sebagian besar atau hampir keseluruhan bagian hotel
menggunakan sistem AC (Air Conditioner). Tujuan pemilihan sistem pengudaraan,
erat kaitannya dengan tujuan desain interior yaitu memberi jaminan kenikmatan
atau kenyamanan bagi para tamu dalam cuaca panas di negara tropis, terutama bagi
para tamu yang berasal dari negara beriklim dingin. Sedangkan hotel-hotel di
daerah pegunungan lebih sesuai menggunakan sistem aliran udara yang lebih
alamiah.
Kelembapan 62 - 97 % 40 - 55 %
Sistem AC yang digunakan di kamar hotel harus dapat diatur suhunya sesuai
dengan yang dikehendaki oleh tamu yang menginap, demikian pula pada ruang-
ruang publik dapat diatur suhunya secara komputerisasi. Penentuan besarnya
derajat kedinginan suatu nuan ditentukan pula oleh faktor-faktor lain, seperti: jenis
kegiatan yang dilakukan dalam ruang tersebut, jumlah penghumi / pemakai ruang,
merokok atau tidak, ketebalan pakaian.
Ada 2 macam sistem jenis pengudaraan buatan untuk hotel seperti
keterangan di bawah ini:
2.1.8. Akustik
Akustik (dari bahasa Yunani ‘akouein’ = mendengar) adalah ilmu terapan
yang dimaksudkan untuk memanjakan indra pendengaran pengunjung di suatu
ruang yang tertutup dan relatif besar. Pada suatu ruangan tertutup terdapat berbagai
perilaku bunyi yaitu:
a. Refleksi Bunyi Dalam ruang kosong apabila menepuk tangan dan mendengar
suara pantulan setelah menepuk tangan dan terjadi berkali-kali dengan waktu
dan bunyi yang tidak teratur. Permukaan pemantul yang cembung akan
menyebarkan gelombang bunyi sebaliknya permukaan yang cekung
permukaan yang lengkung menyebabkan pemantulan bunyi yang mengumpul
dan tidak menyebar sehingga terjadi pemusatan bunyi. Permukaan penyerap
bunyi dapat membantu menghilangkan permasalahan gema maupun
pemantulan yang berlebihan;
b. Absorbsi Bunyi Saat bunyi menabrak permukaan yang lembut dan berpori
maka bunyi akan terserap olehnya. Reaksi serap ini terjadi akibat turut
bergetarnya material terhadap gelombang suara yang sampai pada permukaan
material tersebut. Bahan kapas, karpet, dan sejenisnya memiliki reaksi serap
yang lebih tinggi terhadap gelombang suara;
c. Difusi Bunyi Bunyi dapat menyebar menyebar ke atas, ke bawah maupun ke
sekeliling ruangan. Suara juga dapat berjalan menembus saluran, pipa atau
koridor.ke semua arah di dalam ruang tertutup;
d. Difraksi Bunyi Difraksi bunyi merupakan gejala akustik yang menyebabkan
gelombang bunyi dibelokkan atau dihamburkan di sekitar penghalang seperti
sudut (corner), kolom, tembok dan balok.
Hotel merupakan ruang tertutup maka terdapat reaksi-reaksi permukaan
terhadap bunyi yang dihasilkan yaitu:
a. Reaksi Serap Reaksi serap ini terjadi akibat turut bergetarnya material
terhadap gelombang suara yang sampai pada permukaan material tersebut.
Bahan kapas, karpet, dan sejenisnya memiliki reaksi serap yang lebih tinggi
terhadap gelombang suara dan frekuensi tinggi dibandingkan dengan
frekuensi rendah;
b. Reaksi Pantulan Dalam ruang kosong apabila menepuk tangan dan
mendengar suara pantulan setelah menepuk tangan. Suara pantulan terjadi
berkali-kali dengan waktu dan bunyi yang tidak teratur. Cara mengatasi suara
pantulan yang terjadi adalah dengan meletakkan panel akustik yang berfungsi
sebagai penyerap suara yang tidak diinginkan atau diffuser yang
menyebarkan energi pantulan ke berbagai arah dan akan meniadakan
pantulan suara;
c. Reaksi Sebar Salah satu solusi akustik yang terbaik adalah meletakan panel
serap dan sebar (difusi) pada bidang pantul pararel. Panel sebar mengubah
energi suara dari satu arah dan satu besaran menjadi kebeberapa arah dengan
beberapa besaran.
Peran Elemen Interior & Material Akustik Elemen Interior yang dimaksud
adalah lantai, dinding yang mengelilingi dan plafon. Masing-masing elemen
pembentuk ruang memiliki fungsi tersendiri dalam meningkatkan kualitas akustik
khususnya pada suatu ruang serbaguna. Dinding depan memiliki fungsi sebagai
permukaan pemantul atau penyebar suara, dinding samping setidaknya memiliki
fungsi sebagai elem ruang untuk pemantul-penyerap atau penyerappenyerap
dengan kata lain dinding samping memiliki fungsi kombinasi, sedangkan dinding
belakang merupakan area permukaan penyerap atau penyebar. Bagian plafon yang
merupakan permukaan reflektor paling luas pada bidang cakupannya apabila
dibandingkan dengan permukaan dinding samping. Oleh karena itu, plafon perlu
didesain sebaik mungkin untuk mengarahkan pantulan-pantulan bunyi yang tepat.
Namun penerapan hal-hal tersebut tetap mengikuti fungsi kegunaan ruang yang
diinginkan. Dalam perancangan akustik sebuah ruang, tidak pernah terlepas dari
yang namanya pemilihan material dalam desain ruangan tersebut. Pemilihan
material-material yang digunakan sangat mempengeruhi sistem kedap suara atau
yang lebih dikenal dengan sebutan akustik ruangan. Berikut adalah penjabarannya:
a. Bahan Berpori Terdiri dari material berupa butiran dan berserat, diproduksi
dari kaca atau mineral fibers. Bahan berpori, seperti papan serat (fiber board),
plesteran lembut, mineral wools, dan selimut isolasi, memiliki karakteristik
dasar suatu jaringan seluler dengan pori-pori yang saling berhubungan.
Penyerap berpori mempunyai karakteristik penyerapan bunyinya lebih efisien
pada frekuensi tinggi dibandingkan pada frekuensi rendah dan efisiensi
akustiknya membaik pada jangkauan frekuensi rendah dengan bertambahnya
tebal lapisan penahan yang padat dan dengan bertambahnya jarak dari lapisan
penahan ini. Bahan berpori ini antara lain ubin selulosa, serat mineral, serat-
serat karang (rock wool), serat-serat gelas (glass wool), serat-serat kayu,
lakan (felt), rambut, karpet, kain dan sebagainya;
b. Peredam Berselaput Penyerap panel atau selaput merupakan penyerap
frekuensi rendah yang efisien. Bila dipilih dengan benar, penyerap panel
mengimbangi penyerapan frekuensi sedang dan tinggi yang agak berlebihan
oleh penyerap-penyerap berpori dan isi ruang. Penyerap-penyerap panel yang
berperan pada penyerapan frekuensi rendah antara lain panel kayu dan
hardboard, gypsum boards, dan langit-langit plesteran yang digantung,
plesteran berbulu, jendela, kaca, dan pintu;
c. Penyerap Berongga Biasanya berupa volume tertutup dengan penghubung
udara berbentuk leher celah sempit dengan udara disekitarnya. Penyerap
bunyi yang terdiri dari sejumlah udara tertutup yang dibatasi dinding-dinding
tegar dan dihubungkan oleh celah sempit ke ruang sekitarnya, di mana
gelombang bunyi merapat.
2.1.9. Sanitary
a. Distribusi air bersih;
Distribusi air bersih di hotel berbintang harus memenuhi pra-syaratan
standar sesuai dengan permenkes No.416/MENKES/PU/IX/02. Yaitu
penyediaan air bersih pada hotel dapat diperoleh dari :
1. PDAM ( Perusahaan Daerah Air Minum);
2. Air tanah;
3. Instalasi pengelolaan air yang dimiliki hotel tersebut.
Penyediaan air bersih yang berasal dari PDAM dan air tanah dengan
kedalaman 100 meter. Dalam sistem pendistribusian air bersih terdapat
dua macam, yaitu :
2.1.10. Safety
Untuk keamanan pada hotel dapat dibagi manjadi 2 sistem, yaitu :
a. Sistem proteksi dari kebakaran;
Pada bangunan hotel atau bangunan tinggi lainnya, pencegahan terhadap
kebakaran adalah salah satu yang paling penting harus diperhatikan.
Dibutuhkan perlindungan dari kebakaran antara lain ; pendeteksian,
penyelamatan dan penanggulangan kebakaran. Pencegahan kebakaran di
bagi menjadi 2 yaitu :
1. Pencegahan kebakaran aktif;
Pencegahan kebarakan aktif pada setiap bangunan dapat berupa
smoke detector dan gas detector.
2. Penyediaan alat pemadam kebakaran.
Penyediaan alat pemadam kebakaran wajib ada di setiap bangunan
sebagai penaggulan kebakaran untuk pertama kali, dapat berupa
kotak hydrant, hydrant pillar, fire extinguisher, sprinkler.
b. Sistem security.
Pada hotel mempunyai sistem keamanan standar, antara lain adalah:
1. Memiliki security 24 jam;
Untuk security, penjagaan di lakukan selama 24 jam untuk
menghindari hal yang tidak di inginkan di area hotel.
2. CCTV;
digunakan untuk menjaga area hotel sehingga petugas keamanan
tidak perlu untuk keliling, dan dapat melihat banyak tempat secara
bersamaan.
3. Metal Detector.
Metal detector digunakan untuk mencegah tamu atau orang – orang
membawa barang barang yang akan membahayakan banyak orang.
Untuk keamanan para tamu yang menginap di hotel tersebut, setiap kamar
hotel menggunakan sistem hotel lock. Sistem penguncian kamar yang dapat dibuka
dengan menggunakan kartu akses yang di pegang penhuni kamar hotel. Kartu akses
juga digunakan untuk menggunakan elevator.
2.1.11. Material
a. Material Lantai;
Konsep Lantai Lantai merupakan komponen bangunan yang berperan
menahan rembesan air tanah atau hewan dari dalam tanah dan
sebaliknya sebagai penahan beban diatasnya atau lazim disebut
pembatas ruang di bagian bawah. Jenis-jenis lantai biasanya digunakan
pada lobby hotel adalah:
1. Parquet Lantai;
Parket adalah jenis lantai kayu yang telah diolah sedemikian rupa.
Lantai parket ini bertekstur halus, rata dan indah serta membuat
tampilan lebih natural dan hangat, serta memiliki efek lasi yang mak
sudnya jika udara dingin, dia tetap sejuk dan bila iso cuaca panas dia
tetap sejuk. Di pasaran jenis lantai parket dapat dibedakan menjadi
3 bagian parquet:
a. Kayu solid (jati, damar laut, bangkirai atau merbau);
b. Parket dari kayu yang dilapis;
c. Parket dari serbuk kayu press (MDF, HDF, Melamine
Lamincted Flooring).
Ukuran parquet dari kayu solid sama dengan lisplang, Panjang
sekitar 4m dengan lebar 30cm dan ketebalan bervariasi antara 2-
4cm, dengan panjangnya yang 4m sehinggaukuran parquet dapat
dicustom.
2. Batu alam;
Di beberapa daerah terdapat kekhasan pelapis lantai, baik sebagai
kombinasi ataupun total dilapis seperti penggunaan batu temple
tambanan di Bali. Di kota-kota besar, finishing dengan batu alam
sering menggunakan batu kali tipis, batu pipih, batu temple, atau
batu-batu lunak (semacam batu kapur dengan berbagai warna: purtih
kecoklatan atau kehijauan). Ada beberapa cara agar tampilan batu
alam yang telah dipotong kelihatan menarik. Setelah dibelah dan
dipoles, dilakukan proses finishing. Proses ini menyebabkan batu
alam memiliki penampilan yang beraneka ragam.
Proses finishing itu bisa berupa rata bakar, honed, dan polished.
Untuk proses rata bakar, sctelah dipotong dilakukan proses
pembakaran pada permukaan batu. Ini agar tekstur batu terasa kasar
Untuk proses honed, setelah batu dipotong, lalu digerinda sampai
permukaannya halus.
Polished adalah proses pemolesan yang dilakukan setelah batu
dipotong-potong Ini yang membuat batu terlihat halus dan
mengkilap.
Jenis batu alam yang digunakan pada area lobby hotel adalah:
a. Batu Marmer;
Batu marmer sering dijuluki sebagai batu perempuan karena
penampilannya yang cantik dan perlu pemolesan bagaikan
wajah yang perlu kosmetik. Batu marmer berasala dari batu
kapur yang mengeras. Strukturnya bagaikan Kristal,
sehingga ketika dilakukan pemolesan akan memunculkan
permukaan yang halus dan mengkilat.
b. Sand Stone.
Jenis batu alam ini terbentuk karena proses sedimentasi
Tepatnya oleh akumulasi dan kompresi dari lumpur,
lempung,. ebu, fosil dan aneka reruntuhan. Penumpukan
semacam itu membentuk karakter batu dalam kepingan
horizontal Di pasaran batu ini dikenal dengan nama lain
sebagai batu palimanan (Cirebon), batu paras Yogya, dan
batu candi. Tersedia beberapa warna , seperti putih, krem,
kuning dan cokelat.
3. Karpet.
Pemakaian lantai karpet memberikan kesan lebih pada sebuah
ruangan. Kelembutan dan empuknya bahan memberikan rasa
nyaman pada kaki. Pada umumnya dijual karpet dengan 2 jenis
bahan dasar, yaitu polyester sintetis dan wol. Disamping itu masih
ada yang berbahan nilon dan akrilik. Produsen kemudian
membagikan kualitasnya menjadi 3 kategori, yaitu: kualitas satu
dengan bahan wol katun, kualitas dua dengan wol sintetis, kualitas
tiga dengan bahan polyester sintetis.
Jenis penggunaan karpet yang digunakan pada area deluxe suite
pada daerah master bedroom dan living room menggunakan teruta
light wear, Karpet memiliki variasi ketebalan misalnya, karpet
polyester Sintetis memiliki ketebalan 5-6mm, karpet wol sintetis
rata-rata memiliki ketebalan 9mm, dan yang berbahan wol katun rata
-rata memiliki total ketebalan 17mm.
Bahan karpet terdiri atas bulu karpet pada bagian atas dan karet
sebagai alas sekaligus under layer. Agar karpet terasa lebih empuk
maka alas karpet yang memiliki ketebalan 5-6mm ditambahkan
under layer setebal 5mm. Beda dengan karpet ketebalan 9mm dan
17mm yang tidak memerlukan under layer lagi.
b. Material Plafon;
Plafon yang sering disebut juga sebagai langit – langit merupakan
komponen bangunan yang berfungsi sebagai lapisan yang membatasi
tinggi suatu ruangan dan dapat berfungsi sebagai keamanan,
kenyamanan, serta keindahan ruang tersebut.( Susanta, Garut,
2007:124).
Tinggi dan rendahnya plafon sangat menentukan kenyamanan dan
keindahan suatu ruangan. Batas terendah pemasangan plafon adalah 2,5
m dari lantai. Bila pemasangan plafon terlampau rendah maka ruangan
akan terasa pengap dan sesak serta sirkulasi udara kurang baik
walaupun sirkulasi udara akan lancar dan ruangan dingin. ( Susanta,
Garut, 2007:124).
Meskipun berada di luar jangkauan tangan kita, plafon merupakan salah
satu peranan penting dalam pembentukan interior. Plafon yang tinggi
cenderung menciptakan suasana yang segar, terbuka dan luas
sedangkan plafon yang cukup rendah cenderung menciptakan suasana
yang ramah dan intim.
1. Gypsum;
Material yang terbuat dari senyawa kapur ini merupakan plafon
yang paling umum digunakan. Dibandingkan dengan multipleks
dan lainya, gypsum memiliki tekstur permukaan yang lebih rata.
Karakteristik gypsum:
a. Pengerjaanya cepat dan mudah diperoleh di kota – kota besar;
b. Mudah diprbaiki atau diganti;
c. Permukaan plafon tampak tanpa sambungan;
d. Tahap terhadap api, tetapi tidak tahan terhadap air;
e. Bertekstur licin, dapat dicat atau dilapisi dengan wallpaper;
f. Dapat meredam suara bising cukup baik.
2. Kayu;
Kayu mudah diolah untuk menjadikan aneka model plafon.
Material ini merupakan material dasar atap rumah. Kayu blok
(8x12 cm), kaso (5x7 cm) dan reng (2x3 cm) merupakan struktur
atap rumah, yang juga dapat diolah menjadi aksen plafon.
Karakter kayu :
a. Mempunyai sifat natural;
b. Tahan air , tetapi tidak tahan terhadap api;
c. Dapat difinishing dengan bermacam – macam cat air dan
pelitur;
d. Cukup berat;
e. Susah untuk diperbaiki.
3. Akustik Panel;
Berfungsi sebagai peredam suara. Kuat dan tahan lama.
4. Protective Backing Panel.
Merupakan panel langit-langit yang dilapisi dengan pelindung
khusus seperti alumunium foil, PVC, dll. Sebagai pelindung
kelembaban.
a. Material Dinding.
Dinding merupakan elemen penting dalam arsitektur setiap bangunan,
secara tradisional dinding telah berfungsi sebagai struktur pemikul
lantai diatas permukaan tanah dan langit – langit atau plafon.
Dinding tidak hanya berfungsi sebagai elemen latar belakang dalam
ruang interior, namun juga dapat berfunsi untuk ikut memikul elemen
– elemen parabot seperti tempat duduk, rak, meja, lampu, dan
sebagainya. Jenis- jenis penyelesaian akhir dinding menjadi bagian
yang tak terpisah dari konsep perancangan interior.
2. Kayu;
Bahan kayu memiliki serat dan kulit yang merberikan tampilan
natural. Warna asli kayu juga memberikan kesan hangat. Material
kayu dibagi dalam 2 kelompok yaitu: kayu utuh dan kayu olahan.
Kayu utuh yang sering digunakan dalam interior adalah kayu jati,
merbau, bangkira, damar laut ataupin kamper, sedangkan kayu
olahan yang umumnya digunakan seperti mdf, hdf, plywood, dan
partikel board.
3. Cat;
Bahan penetup dinding yang paling umum digunakan adalah cat.
Ini dikarenaka biaya untuk finishing cat lebih murah. Tujuan
pengecatan agar dinding tampil lebih indah dan artistik. Pilihan
warna memiliki kesan, efek dan pengaruh psikologis yang berbeda
pada ruang. Warna juga dapat menegaskan karakter pribadi dan
menggugah mood penggunaan ruang.
5. Wallcover.
Wallcover atau wallpaper memiliki beragam motif dan warna
dengan tingkat kepraktisan pemasangan dan perawatan mudah.
Bahan pelapis ini diyakini mampu mengubah suasana ruang dalam
waktu singkat. Suasana ruang dapat menjadi dramatis, intim,
hangat, formal, dan santai. Wallcover ada yang terbuat dari kertas,
vinyl, kain, plastic bahkan jerami. Tentunya material material ini
sudah dioalh sedemikian rupa sehingga memiliki spesifikasi yang
sesuai untuk berbagai kondisi dinding. Ukuran wallpaper yang di
pasarkan cukup variatif dari ukuran 10x0,5m, 10x0,7m, 30x0,9 m,
50x1,3m.
2.2. Museum
pandangan, maka akan membuat leher terasa pegal. Untuk objek yang berukuran
tinggi dan besar lebih baik diletakkan pada area yang luas.
Gambar 2.5.
Gambar 2.6. Gambar 2.7.
Gambar 2.8.
2.2.6. Sarana & Prasarana
Beberapa sarana dan prasarana yang terdapat pada museum yaitu sebagai
berikut :
a. Vitrine Lantai;
Vitrine yang letaknya agak mendatar di bawah pandangan mata kita.
Biasanya untuk menata benda-benda kecil ) yang harus dilihat dari
dekat), seperti perhiasan, mata uang, permata,dll. Menempatkanya dapat
digantungkan ke dinding, berdiri sendiri atau bergabung dengan vitrine
lain.
Vitrine lantai ( Vitrine duduk) ukuranya jangan terlalu rendah, karena
akan menyulitkan orang meilhat koleksi di dalamnya. Untuk pengujung
anak-anak dapat pula diletakkan tangga di seputarnya.
b. Vitrin Tiang;
Museum yang menggunakan bangunan-bangunan lama ataupun museum
baru yang meniru gaya bangunan tradisional, biasanya bangunan tersebut
banyak terdapat tiang-tiang di dalamnya.
c. Panel.
Kegunaan panel bermacam-macam, sebagai sekat pemisah ruangan,
sarana penerangan, dan sarana pameran. Bentuknya tidak selalu harus
merupakan bidang datar yang tergak berdiri sendiri seperti papan tulis
tetapi dapat pula terdiri dari beberapa bidang, dapat melengkung ataupun
cembung, miring dan lain sebagainya. Bentuknya disesuaikan dengan
komposisi ruangan dan selera perencana.
Sebagai sarana pameran, panel berfungsi sebagai tempat meletakkan
benda-benda dua dimensi, misalnya foto, gambar, lukisan, peta,dan
sebagainya. Selain daripada itu juga dapat digunakan untuk benda-benda
yang berbentuk pipih seperti topeng, buku ,kain,dsb.
2.2.7. Penghawaan
Tidak ada acuan yang mutlak tentang kontrol pemanasan dan kelembaban.
Pengontrolan koleksi tertentu tergantung pada kondisi museum dan kondisi
sebemum objek – objek tersebut disimpan.
a. Suhu;
Merupakan faktor paling sedikit penyebab kerusakan namun penting
dalam mengontrol tingkat kelembaban.
b. Tingkat Kelembaban.
Faktor penting dalam konservasi, semakin tinggi kelembaban maka
semakin besar risiko kerusakannya.
2.2.8. Pencahayaan
Pencahayaan pada bangunan museum pada dasarnya sama dengan bangunan
lainnya, akan tetapi berbeda pada area untuk pameran. Seorang arsitek diharapkan
dapat mendesain bangunan museum dengan pencampuran antara cahaya buatan dan
cahaya alami. Hal ini dikarenakan untuk keseimbangan antara penglihatan dan
perasaan dalam suatu bangunan. Pencampuran pencahayaan tersebut diharapkan
dapat mengurangi kerugian masing – masing pencahayaan.
Warna pencahayaan, merupakan factor yang sangat penting. Menurut
penelitian, pencahayaan dalam bangunan exhibisi diperlukan dau jeis cahaya.
Ruangan dapat diterangi secara tidak langsung dengan cahaya fluorescent 4500 0.
Objek yang dipamerkan mendapat pencahayaan dengan cahaya lampu incandescent
tanpa filter dengan suhu 28000-31000 memberi pencahayaan spot pada objek
individual, maupun pencahayaan flood dilokasi tertentu.
Pencahayaan ruangan diharapkan tidak melebihi terangnya pencahayaan
terhadap objek. Akan tetapi pencahayaan ruanagan juga tidak diharapkan terlalu
gelap sehingga objek yang dipamerkan terlalu contrast.
2.2.9. Akustik
Akustik bervariasi pada tiap museum. Akustik pada tiap ruang haruslah
nyaman bagi perorangan maupun kelompok. Sangat penting bagi pembimbing tur
agar dapat didengar oleh kelompoknya tanpa mengganggu pengunjung yang lain.
auditorium harus dirancang oleh ahlinya. Ruang lainnya seperti area sirkulasi utama
dan ruang pameran memerlukan penataan akustik tertentu untuk mencegahnya
museum.
METODE PELAKSANAAN
KONSEP DESAIN
Hotel aston berawal dari hotel kecil di Hawaii yang di dirikan pada
1948 dengan 14 kamar dan 250 tamu di tahun pertamanya, yang lalu
berkembang menjadi perusahaan hotel pasifik dan menjadi cikal dari
Aston Hotel & Resorts atau di kenal sekarang dengan Archipelago
International.
Aston merupakan hotel dan apartermen yang selalu menyediakan
fasilitas terlengkap dan nilai lebih dari apa yang di bayarkan pengunjung
dengan menggabungkan unsur lokal.
Salah satu dari komitmen kunci Aston adalah untuk memberikan semua
tamunya saat tidur yang nyenyak setelah melalui perjalanan Panjang
ataupun setelah hari kerja yang Panjang. Untuk memenuhi komitmen ini
dan memastikan sebuah ketenangan hotel Aston selalu memiliki fasilitas
dan nilai lebih di bandingkan kompetitor.
a) Visi Perusahaan
Visi Aston adalah untuk menjadi pemimpin di masa mendatang dalam dunia
perhotelan dengan cara memposisikan Aston sebagai produk yang inovatif,
nyaman, dan jasa pelayanan yang ramah. Aston menjaga para tamu dengan
menyediakan pelayanan yang terbaik dengan cara Aston sendiri untuk
membangun hubungan jangka panjang dan kompetitif dibenak para tamu.
b) Misi Perusahaan
4.5 Lokasi
Jl. Braga no. 99-101, Braga, Sumur Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat
40111
letak hotel yang persis di pinggir jalan Braga menjadikan hotel ini
sebagai ikon hotel di Braga karena nama hotel yang sudah besar dan
memiliki pelayanan terbaik serta terlengkap akan menjadikan hotel ini
sebagai tujuan menginap bagi para wisatawan, oleh karena itu, perancangan
desain interior hotel Aston Braga ini harus merepresentasikan daerah Braga
yang menjadi bagian dari hotel ini dengan tetap mengutamakan
kenyamanan, efisiensi, dan menciptakan suasana yang elegan, klasik, dan
tidak lekang oleh waktu di dalam ruangan.
4.7 Tema
Penerapan gaya ini dilatar belakangi oleh ciri yang menonjol dari braga
yang ditambah dengan balutan aksen-aksen lokal dengan warna yang terang
hingga menimbulkan kesan ramah, dan luas serta tanpa menghilangkan
keunikan dari Braga itu sendiri.
4.9 Konsep Warna
ruangan akan di dominasi warna warna terang dan ringan seperti warna putih,
abu-abu, cokelat muda dengan aksen kontras furniture berwarna gelap serta
aksen hijau dari tanaman tropis, yang juga merupakan asal permulaan hotel
Aston di Hawaii.
4.14 Moodboard
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Dengan adanya perancangan ulang hotel Aston Braga yang di
rancang dengan suasana baru yang jauh berbeda dengan keadaan sekarang,
sesuai dengan konsep perancangan yang menggabungkan unsur colonial
yang kental di Braga dengan unsur lokal seperti furniture dari kayu dan
rotan, akan memberi suasana baru bagi para pengunjung hotel untuk
berelaksasi dan berkreasi.
5.2 Saran
Tarmoezi. (2000). Hotel Front Liner, cetakan pertama, Jakarta, Kesaint Blanc
Danisworo. (2002). Sejarah, Makna, dan Keunikan Tempat. Sejarah, Makna, dan
Keunikan Hotel.
Tim Pustaka Phoenix. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta:
Balai Pustaka.
https://www.hotel-
online.com/News/PressReleases1998_2nd/Aston50Years_Apr98.html
https://www.archipelagointernational.com/id/brand/aston/
https://www.oceanhomemag.com/outdoor-living/bring-british-colonial-style-into-
your-home/