Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PENDIDIKAN PANCASILA

Pentingnya Pancasila Sebagai Sistem Filsafat

Dosen pengampu :

Rita Ahma Julda,S.Pd, M.Pd

Disusun oleh :

Wulandari Mulya Siska (18003171)

Yufilda Vandini (18003172)

PENDIDIKAN LUAR BIASA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan
karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam
kepada nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman jahiliah menuju zaman yang
penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.
Ucapan terima kasih kepada Ibu Rita Ahma Julda,S.Pd, M.Pd selaku dosen mata kuliah
Pendidikan Pancasila yang telah memberikan tugas kepada penulis selaku peserta didik. Hal ini
dapat menjadi bekal dan pengalaman penulis untuk waktu yang akan datang.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun sehingga
dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi yang membutuhkan dan khususnya bagi
penulis untuk memperbaiki makalah kedepannya.

Padang, April 2019

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... …………………...i

DAFTAR ISI................................................................................................... …………………..ii

BAB I PENDAHULUAN………………………….....................................................................1

A. Latar belakang…………………………………………………………………………….1
B. Rumusan masalah…………………….…………………….…………………….……….2
C. Tujuan .................................................................................................. …………………..2.

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………..3

A. Pengertian Pancasila sebagai suatu filsafat?.................................................................3


B. Filsafat Pancasila sebagai Genetivus Objectivus dan Genetivus Subjectivus? ....................4
C. Landasan Ontologis Filsafat Pancasila? ...................................................................................5
D. Landasan Epistemologis Filsafat Pancasila? ............................................................................6
E. Landasan Aksiologis Pancasila? ................................................................................................8

BAB III PENUTUP……………………………………………………………………………..9

A. Kesimpulan………………………………………………………………………………9
B. Saran………………………………………………………………………………………9
.

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada umumnya di dunia ini terdapat berbagai macam dasar negara yang
menyokong negara itu sendiri agar tetap berdiri kokoh, teguh, serta agar tidak terombang
ambing oleh persoalan yang muncul pada masa kini. Pada hakikatnya ideologi merupakan
hasil refleksi manusia berkat kemampuannya mengadakan distansi terhadap dunia
kehidupannya. Maka terdapat sesuatu yang bersifat dialektis antara ideologi dengan
masyarat negara. Di suatu pihak membuat ideologi semakin realistis dan pihak yang lain
mendorong masyarakat mendekati bentuk yang ideal. Idologi mencerminkan cara berpikir
masyarakat, bangsa maupun negara, namun juga membentuk masyarakat menuju cita-
citanya. Indonesia pun tak terlepas dari hal itu, dimana Indonesia memiliki dasar negara
yang sering kita sebut Pancasila.
Pancasila sebagai ideologi menguraikan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi
negara dan karakteristik Pancasila sebagai ideologi negara. Sejarah indonesia menunjukan
bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang memberi kekuatan hidup
kepada bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam mengejar kehidupan yang layak dan
lebih baik, untuk mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Pancasila sebagai sistem filsafat, dimana nilai nilai pancasila yang terkandung
didalamnya adalah hasil dari pemikiran-pemikiran para pejuang kemerdekaan bangsa kita
terdahulu. Dalam penerapannya Pancasila digunakan sebagai paradigma pembangunan tata
hukum nasional. Pancasila merupakan inti dari pembangun tata hukum nasional dan
kesuksesan pembangunan tata hukum sendiri juga dilihat dari seberapa besar akan
kesadaran hukum bagi masyarakat itu sendiri. Keterkaitan aspek dalam membangun tata
hukum bernegara yang harus dijiwai dan diterapkan nilai – nilainya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, karena Pancasila merupakan aturan / norma-norma yang tidak
bisa dipisahkan dalam berbagai kegiatan penegakkan hukum agar sesuai nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Cerminan dari Pancasila itu sendiri telah tertuang dalam lima
sila dan sebagai bangsa yang taat hukum Negara kita sudah sepatutnya menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari.

1
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan beberapa permasalahan beberapa
permasalahan sebagai berikut:

1. Apa pengertian Pancasila sebagai suatu filsafat?


2. Bagaimana Filsafat Pancasila sebagai Genetivus Objectivus dan Genetivus
Subjectivus?
3. Bagaimana Landasan Ontologis Filsafat Pancasila?
4. Bagaimana Landasan Epistemologis Filsafat Pancasila?
5. Bagaimana Landasan Aksiologis Pancasila?

C. TUJUAN
Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan, maka tujuan penulis makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Menjelaskan Pengertian Pancasila sebagai Sistem Filsafat
2. Menjelaskan Filsafat Pancasila sebagai Genetivus Objectivus dan Genetivus
Subjectivus
3. Menjelaskan Landasan Ontologis Filsafat Pancasila
4. Menjelaskan Landasan Epistemologis Filsafat Pancasila
5. Menjelaskan Landasan Aksiologis Pancasila

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pancasila sebagai system filsafat


Secara etimologis sitilah filsafat berasal dari bahasa yunani ”Philein” yang artinya
cinta dan sophos yang artinya hikmah atau kebijaksanaan atau wisdom. Dalam pengertian
lain, dijelaskan bahwa kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, Philosophia. Terbentuk
dalam dua kata yaitu philos dan sophos atau philein dan sophia. Philos dapat diartikan
"teman" atau “sahabat", sedang sophos berarti "kebijakan/kearifan”. Sementara itu,
philein adalah "mencintai" dan Sophia adalah "kebijaksanaan" . Jadi, berfilsafat dapat di
artikan ”mencintai kebijaksanaan” atau ”bersahabat dengan kearifan (Antoni, 2012.1).
Berdasarkan makna kata tersebut maka mempelajari filsafat berarti merupakan upaya
manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup yang nantinya bisa menjadi konsep yang
bermanfaat bagi peradaban manusia.
Menurut Ruslan Abdulgani dalam (Astawa, 2017) Pancasila adalah filsafat negara
yang lahir sebagai ideologi kolektif (cita-cita bersama) seluruh bangsa Indonesia. Pancasila
dikatakan sebagai filsafat dikarenakan pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang
mendalam yang dilakukan oleh para pendahulu, yang kemudian dituangkan dalam suatu
sistem yang tepat dan dijadikan pedoman hidup bagi manusia untuk kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Pengertian filsafat pancasila secara umum adalah hasil berfikir atau pemikiran yang
sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai
kenyataan, norma-norma dan nilai-nilai yang benar, adil, bijaksana dan paling sesuai
dengan kehidupan dan kepribadian bangsa Indonesia. Filsafat pancasila kemudian
dikembangkan oleh Soekarno sejak 1955 sampai kekuasaannya berakhir pada 1965. Pada
saat itu Soekarno selalu menyatakan bahwa pancasila merupakan filsafat asli Indonesia
yang diambil dari budaya dan tradisi Indonesia, serta merupakan akulturasi budaya India
(hindu-buddha), Barat (Kristen), Arab (Islam). Filsafat Pancasila menurut Soeharto telah
mengalami Indonesianisasi. Semua sila dalam Pancasila adalah asli diangkat dari budaya
Indonesia dan selanjutnya dijabarkan menjadi lebih rinci ke dalam butir-butir Pancasila.

3
Filsafat pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat praktis sehingga filsafat
pancasila tidak hanya mengandung pemikiran yang sedalam-dalamnya atau tidak hanya
bertujuan mencari, tetapi hasil pemikiran yang berwujud filsafat pancasila tersebut
dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari (way of life atau weltanschauung) agar
hidup bangsa Indonesia dapat mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik dunia maupun
di akhirat (Salam, 1988:23-24).

B. Filsafat Pancasila sebagai Genetivus Objectivus dan Genetivus Subjectivus

Pancasila sebagai genetivus-objektivus, artinya nilai-nilai Pancasila dijadikan


sebagai objek yang dicari landasan filosofisnya berdasarkan sistem-sistem dan cabang-
cabang filsafat yang berkembang di Barat. Misalnya, Notonagoro menganalisis nilai-nilai
Pancasila berdasarkan pendekatan substansialistik filsafat Aristoteles sebagaimana yang
terdapat dalam karyanya yang berjudul Pancasila Ilmiah Populer. Adapun Drijarkara
menyoroti nilai-nilai Pancasila dari pendekatan eksistensialisme religious sebagaimana
yang diungkapkannya dalam tulisan yang berjudul Pancasila dan Religi.
Pancasila sebagai genetivus-subjectivus, artinya nilai-nilai Pancasila dipergunakan
untuk mengkritisi berbagai aliran filsafat yang berkembang, baik untuk menemukan hal-
hal yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila maupun untuk melihat nilai-nilai yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Selain itu, nilai-nilai Pancasila tidak hanya dipakai
dasar bagi pembuatan peraturan perundang-undangan, tetapi juga nilai-nilai Pancasila
harus mampu menjadi orientasi pelaksanaan sistem politik dan dasar bagi pembangunan
nasional. Misalnya, Sastrapratedja dalam (RISTEKDIKTI, 2016) mengatakan bahwa
Pancasila adalah dasar politik, yaitu prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan bernegara,
berbangsa, dan bermasyarakat. Adapun Soerjanto dalam (RISTEKDIKTI, 2016)
mengatakan bahwa fungsi Pancasila untuk memberikan orientasi ke depan mengharuskan
bangsa Indonesia selalu menyadari situasi kehidupan yang sedang dihadapinya.

C. Landasan Ontologis Filsafat Pancasila

4
Ontologi menurut Aritoteles merupakan cabang filsafat yang membahas tentang
hakikat segala yang ada secara umum sehingga dapat dibedakan dengan disiplin ilmu-ilmu
yang membahas sesuatu secara khusus. Ontologi membahas tentang hakikat yang paling
dalam dari sesuatu yang ada, yaitu unsur yang paling umum dan bersifat abstrak, disebut
juga dengan istilah substansi.
Dasar-dasar ontologis Pancasila menunjukkan secara jelas bahwa Pancasila itu
benar-benar ada dalam realitas dengan identitas dan entitas yang jelas. Melalui tinjauan
filsafat, dasar ontologis Pancasila mengungkap status istilah yang digunakan, isi dan
susunan sila-sila, tata hubungan, serta kedudukannya. Dengan kata lain, pengungkapan
secara ontologis itu dapat memperjelas identitas dan entitas Pancasila secara filosofis.
Kaelan (2002: 69) menjelaskan dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia
yang memiliki hakikat mutlak mono-pluralis. Manusia Indonesia menjadi dasar adanya
Pancasila. Manusia Indonesia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara
ontologis memiliki hal-hal yang mutlak,yaitu terdiri atas susunan kodrat raga dan
jiwa,jasmani dan rohani, sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial, serta
kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa.
Landasan ontologis Pancasila artinya sebuah pemikiran filosofis atas hakikat dan
raison d’etre sila-sila Pancasila sebagai dasar filosofis negara Indonesia. Oleh karena itu,
pemahaman atas hakikat sila-sila Pancasila itu diperlukan sebagai bentuk pengakuan atas
modus eksistensi bangsa Indonesia. Sastrapratedja (2010: 147--154) menjabarkan prinsip-
prinsip dalam Pancasila sebagai berikut:
1) Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan pengakuan atas kebebasan
beragama, saling menghormati dan bersifat toleran, serta menciptakan
kondisi agar hak kebebasan beragama itu dapat dilaksanakan oleh masing-
masing pemeluk agama.
2) Prinsip Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab mengakui bahwa setiap
orang memiliki martabat yang sama, setiap orang harus diperlakukan adil
sebagai manusia yang menjadi dasar bagi pelaksanaan Hak Asasi Manusia.
3) Prinsip Persatuan mengandung konsep nasionalisme politik yang
menyatakan bahwa perbedaan budaya, etnis, bahasa, dan agama tidak

5
menghambat atau mengurangi partsipasi perwujudannya sebagai warga
negara kebangsaan. Wacana tentang bangsa dan kebangsaan dengan
berbagai cara pada akhirnya bertujuan menciptakan identitas diri bangsa
Indonesia.
4) Prinsip Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan mengandung makna bahwa sistem
demokrasi diusahakan ditempuh melalui proses musyawarah demi
tercapainya mufakat untuk menghindari dikotomi mayoritas dan minoritas.
5) Prinsip Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagaimana yang
dikemukakan Soekarno, yaitu didasarkan pada prinsip tidak adanya
kemiskinan dalam Negara Indonesia merdeka, hidup dalam kesejahteraan
(welfare state).

D. Landasan Epistemologis Filsafat Pancasila


Epistemologi adalah cabang filsafat pengetahuan yang membahas tentang sifat
dasar pengetahuan, kemungkinan, lingkup, dan dasar umum pengetahuan. Epistemologi
terkait dengan pengetahuan yang bersifat sui generis,berhubungan dengan sesuatu yang
paling sederhana dan paling mendasar. Littlejohn and Foss menyatakan bahwa
epistemologi merupakan cabang filosofi yang mempelajari pengetahuan atau bagaimana
orang-orang dapat mengetahui tentang sesuatu atau apa-apa yang mereka ketahui.
Epistemologi Pancasila terkait dengan sumber dasar pengetahuan Pancasila.
Eksistensi Pancasila dibangun sebagai abstraksi dan penyederhanaan terhadap realitas
yang ada dalam masyarakat bangsa Indonesia dengan lingkungan yang heterogen,
multikultur, dan multietnik dengan cara menggali nilai-nilai yang memiliki kemiripan dan
kesamaan untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat bangsa Indonesia
(Salam, 1998: 29).
Pancasila memiliki kebenaran korespondensi dari aspek epistemologis sejauh sila-
sila itu secara praktis didukung oleh realita yang dialami dan dipraktekkan oleh manusia
Indonesia. Pengetahuan Pancasila bersumber pada manusia Indonesia dan lingkungannya.
Pancasila dibangun dan berakar pada manusia Indonesia beserta seluruh suasana kebatinan
yang dimiliki.

6
Landasan epistemologis Pancasila artinya nilai-nilai Pancasila digali dari
pengalaman (empiris) bangsa Indonesia, kemudian disintesiskan menjadi sebuah
pandangan yang komprehensif tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Penjabaran sila-sila Pancasila secara epistemologis dapat diuraikan sebagai
berikut:
1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa digali dari pengalaman kehidupan
beragama bangsa Indonesia sejak dahulu sampai sekarang.
2) Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab digali dari pengalaman atas
kesadaran masyarakat yang ditindas oleh penjajahan selama berabad-abad.
Oleh karena itu, dalam alinea pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa penjajahan itu
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
3) Sila Persatuan Indonesia digali dari pengalaman atas kesadaran bahwa
keterpecahbelahan yang dilakukan penjajah kolonialisme Belanda melalui
politik Devide et Impera menimbulkan konflik antarmasyarakat Indonesia.
4) Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan digali dari budaya bangsa Indonesia yang
sudah mengenal secara turun temurun pengambilan keputusan berdasarkan
semangat musyawarah untuk mufakat. Misalnya, masyarakat Minangkabau
mengenal peribahasa yang berbunyi ”Bulek aie dek pambuluh, bulek kato
dek mufakat”, bulat air di dalam bambu, bulat kata dalam permufakatan.
5) Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia digali dari prinsip-
prinsip yang berkembang dalam masyarakat Indonesia yang tercermin
dalam sikap gotong royong.

E. Landasan Aksiologis Pancasila


Littlejohn and Foss mengatakan bahwa aksiologi merupakan cabang filosofi yang
berhubungan dengan penelitian tentang nilai-nilai. Dari aspek aksiologi, Pancasila tidak
bisa dilepaskan dari manusia Indonesia sebagai latar belakang, karena Pancasila bukan

7
nilai yang ada dengan sendirinya (given value) melainkan nilai yang diciptakan (created
value) oleh manusia Indonesia. Nilai-nilai dalam Pancasila hanya bisa dimengerti dengan
mengenal manusia Indonesia dan latar belakangnya.
Pancasila mengandung nilai,baik intrinsik maupun ekstrinsik atau instrumental.
Nilai intrinsik Pancasila adalah hasil perpaduan antara nilai asli milik bangsa Indonesia
dan nilai yang diambil dari budaya luar Indonesia, baik yang diserap pada saat Indonesia
memasuki masa sejarah abad IV Masehi, masa imperialis, maupun yang diambil oleh para
kaum cendekiawan Soekarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan para pejuang
kemerdekaan lainnya yang mengambil nilai-nilai modern saat belajar ke negara Belanda.
Landasan aksiologis Pancasila artinya nilai atau kualitas yang terkandung dalam
sila-sila Pancasila.
Penjabaran sila-sila pancasila secara aksiologis yaitu :
1) Sila pertama mengandung kualitas monoteis, spiritual, kekudusan, dan
sakral.
2) Sila kemanusiaan mengandung nilai martabat, harga diri, kebebasan, dan
tanggung jawab.
3) Sila persatuan mengandung nilai solidaritas dan kesetiakawanan.
4) Sila keempat mengandung nilai demokrasi, musyawarah, mufakat, dan
berjiwa besar.
5) Sila keadilan mengandung nilai kepedulian dan gotong royong.

8
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pancasila dikatakan sebagai filsafat dikarenakan pancasila merupakan hasil


perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh para pendahulu kita, yang kemudian
dituangkan dalam suatu sistem yang tepat, dimana pancasila memiliki hakekatnya
tersendiri yang terbagi menjadi lima sesuai dengan kelima sila-silanya tersebut. Adapun
yang mendasari Pancasila adalah dasar Ontologist (Hakikat Manusia), dasar Epistemologis
(Pengetahuan), dasar Aksiologis (Pengamalan Nilai-Nilainya)

B. SARAN

9
DAFTAR PUSTAKA

Astawa, I. P. A. R. I. (2017). Makalah_Pancasila_Sebagai_Filsafat.

Monjelat, N., Carretero, M., ‫عباس‬, • ‫التميمي‬، ‫خضير شراد الفتاح عبد‬, Implicada, P., La, E. N., Fairstein,
G. A., … Motivaci, L. (2018). No Title‫بغداد جنوبي وديالى دجلة نهري لمياه وبكتيرية بيئية دراسة‬.
Director, 15(2), 2017–2019. https://doi.org/10.22201/fq.18708404e.2004.3.66178

RISTEKDIKTI. (2016). Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi. Direktorat Jenderal


Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
https://doi.org/10.1007/s12032-011-9855-6

10

Anda mungkin juga menyukai