Anda di halaman 1dari 5

Nama : Alfiyah Nadha Trianah

NIM : 071611733045

TUGAS MATA KULIAH ANTROPOGENESE (SOA223)

“HOMO FLORESIENSIS”

Homo Floresiensis merupakan spesies hominin primitif yang ditemukan pada endapan
Pleistosen Akhir di Liang Bua, Flores – Indonesia (Sutikna, 2016). Homo floresiensis ini
ditemukan pada tahun 2003 (Brown et al. 2004, Morwood et al. 2004, Lahr and Foley 2004).
Ini adalah penemuan Indonesia-Australia bersama: Thomas Sutikna dari Pusat Arkeologi
Indonesia di Jakarta, Mike Morwood dari University of New England di Armidale (New
South Wales) beserta timnya. Pencarian terhadap sisa-sisa manusia kerdil dari Liang Bua
sesungguhnya dimulai oleh Pastor Verhoeven pada tahun 1958. Para arkeolog dari Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) sejak tahun 1976 sudah melakukan penelitian
secara intensif di Liang Bua. Menjelang akhir tahun 1970-an, tim yang diketuai Prof. Dr.
Raden Panji Soejono itu bahkan telah mendapatkan temuan "spektakuler" berupa tengkorak
manusia dan kerangka tubuh manusia dewasa. Bersamaan dengan itu ditemukan pula kuburan
manusia purba, lengkap dengan bekal kuburnya yang masih relatif utuh. Juga ditemukan
lapisan budaya berupa berbagai artefak yang diyakini sebagai sisa pendukung keberadaan
mereka. Hanya saja, ketika itu para arkeolog Indonesia belum memiliki alat dan kemampuan
yang memadai untuk membuat suatu kesimpulan yang agak menyeluruh. Hanya dikatakan
bahwa ras manusia yang tinggal di sana paling tidak berasal dari sekitar 10.000 tahun lalu. Di
tengah ketiadaan dana, tahun 2001, datang tawaran kerja sama dari Australia. Mike Morwood
dari University of New England memimpin tim dari Australia, sedangkan RP Soejono
bertindak sebagai ketua tim dari Puslit Arkenas. Setelah melakukan serangkaian ekskavasi,
September 2003, tim gabungan ini berhasil mendapatkan temuan menghebohkan itu
(http://www.seasite.niu.edu/trans/indonesian/Memburu%20Spesies.htm). Temuan ini cukup
menggemparkan dunia arkeologi nasional maupun internasional dan cukup mengundang
kontroversi. Fosil ini ditemukan dalam kedalaman 5,9m. Pada lapisan ini kurang lebih 9 fosil
individu Homo Floresiensis, akan tetapi hanya ada satu yang ditemukan dalam keadaan
hampir utuh yakni (Liang Bua 1/LB1). Pada Oktober 2005, Morwood dan rekan-rekannya
mengumumkan penemuan lebih banyak spesimen dari Liang Bua. Lebih banyak bagian dari
LB1 telah ditemukan, serta sisa-sisa tujuh individu lainnya: (i) LB3, ulna kecil; (ii) LB4,
seorang anak yang diwakili oleh jari-jari dan tulang kering; (iii) LB5, vertebra dan metacarpal
dari orang dewasa; (iv) LB6, diwakili oleh beberapa tulang tangan, skapula (bahu blade) dan
sebuah mandibula; (v) LB7, tulang kecil, tapi dewasa, dari jempol; (vi) LB8, tibia lainnya;
(vii) dan LB9, tulang paha. Semua ini berukuran kecil, sebenarnya lebih kecil dari ukuran
rekan-rekan di LB1. Yang terpenting adalah rahang LB6, yang hampir persis menyerupai
mandibula LB1 (Groves, 2007). Dilihat dari ciri fisiknya kerangka LB1 tersebut berjenis
kelamin perempuan, diperkirakan usianya 25-30 tahun, tingginya 106 cm, tulang kaki dan
tangan sangat kekar, bagian tengkorak memiliki ciri arkaik seperti tulang kening menonjol
dengan dahi miring ke belakang, volume otak 380cm3 (diukur dengan mustard seed) dan
417cm3(diukur secara digital dari CT scan), bagian wajah menjorok ke depan (prognath)
dengan rahang yang kekar serta tidak memiliki dagu
(http://arkenas.kemdikbud.go.id/contents/read/article/x6gpu1_1466409914/situs-liang-bua-
dan-manusia-flores).

Hal ini sama dengan yang dijelaskan dalam jurnal Nature, H. floresiensis ini hanya
memiliki tinggi sekitar 1 meter dan sepenuhnya bipedal, dengan ukuran otak yang sangat
kecil 417cc. Tengkoraknya memiliki gigi mirip manusia dengan dahi yang surut dan tidak
ada dagu. Fosil floresiensis telah ditemukan dari 38.000 hingga 18.000 tahun yang lalu,
meskipun bukti arkeologis menunjukkan bahwa ia hidup di Liang Bua antara setidaknya
95.000 dan 13.000 tahun yang lalu. Fosil floresiensis paling lengkap, LB1, terdiri dari
tengkorak yang hampir lengkap dan kerangka parsial yang terdiri dari tulang kaki, bagian
pelvis, tangan dan kaki, dan beberapa fragmen lainnya. LB1 adalah seorang dewasa sekitar
30 tahun, kemungkinan perempuan jika dilihat dari bagian panggul. Laki-laki bisa saja lebih
besar, meskipun fosil lain yang ditemukan sejauh ini hanya menunjukkan individu dengan
ukuran yang sama seperti LB1. (http://www.talkorigins.org/faqs/homs/flores.html).
Menurut (Baab, 2012) Neurocranium Homo Floresiensis rendah (bagian yang
mengelilingi otak) dengan dahi datar dan miring, tulang tengkorak tebal, wajah pendek dan
datar, dan rincian anatomi tengkorak LB1 lainnya (misalnya, torus oksipital dan fisura
mastoid), serta bentuk otak memberikan tautan ke Homo erectus, tetapi ukuran tubuh kecil
dan ukuran otak berada di luar kisaran yang diharapkan untuk spesies itu. Oleh karena itu,
berdasarkan pada bukti tengkorak, deskripsi asli mengusulkan bahwa fosil-fosil ini mewakili
spesies baru, Homo floresiensis, yang merupakan keturunan kerdil Homo erectus. Aspek
tambahan anatomi juga menyerupai yang dikenal untuk Homo erectus, termasuk bentuk otak
dan bahu. Menurut teori ini, nenek moyang Homo floresiensis entah bagaimana membuat
penyeberangan air berbahaya untuk mencapai Flores dan seiring waktu ada pengurangan
ukuran tubuh (Meijer et al., 2010).
Untuk mengetahui pertanggalan Situs Liang Bua dilakukan serangkaian analisis
laboraturium melalui 7 teknik yang berbeda yaitu: Radiocarbon/C14, Luminescene
(Thermoluminescene/TL), Opticallystimulated Luminescene/OSL, Infrared-stimulated
Luminescene/IRSL, Electron Spin Resonance/ESR, Uranium-series/U-series, dan gabungan
ESR/U-series
(http://arkenas.kemdikbud.go.id/contents/read/article/x6gpu1_1466409914/situs-liang-bua-
dan-manusia-flores).
Dalam perdebatannya penemuan fosil oleh Peter Brown dan Mike Morwood dari
Australia ini menjadi spektakuler karena fosil tersebut dianggap berasal dari spesies baru
“manusia kerdil” yang dinamai Homo floresiensis. Namun menyusul diumumkannya
penemuan ini secara resmi di beberapa surat kabar, Prof. Teuku Jacob dari Laboratorium
Paleoantropologi UGM menyatakan bahwa identifikasi penemuan fosil diatas tidak benar.
Menurutnya, spesies baru manusia dari Flores itu sebenarnya manusia modern yang termasuk
dalam spesies Homo sapiens dari ras Australomelanisid. Hanya saja menurutnya, fosil
manusia Flores tampak istimewa karena menderita penyakit microchepali yang banyak
diderita oleh masyarakat Flores (https://ugm.ac.id/id/berita/1323-
kontroversi.homo.floresiensis:.perspektif.sains.dan.agama).
Namun pada tahun 2009, fakta tambahan menyudahi perdebatan terkait Homo
floresiensis. William Jungers, paleoantropolog asal Amerika Serikat menyebutkan bahwa
bentuk ruas jari tulang tersebut begitu identik dengan manusia purba. “Bentuk kaki Homo
floresiensis tidak dimiliki oleh manusia modern,” ungkap Jungers. Jungers juga
menambahkan bahwa ukuran kerdil Homo Floresiensis merupakan hal yang otentik jika
dibanding temuan manusia purba lainnya. Dalam pohon keluarga manusia purba, mulai dari
Australopiths hingga Homo erectus, ukuran kerdil jarang sekali ditemui. Hal ini disebabkan
fenomena Island Dwarfing, atau penyusutan ukuran badan akibat perubahan kondisi
lingkungan tempat makhluk tersebut hidup (https://kumparan.com/@kumparannews/homo-
floresiensis-manusia-kerdil-purba-dari-indonesia). Adam Brumm dari Griffith University di
Queensland mengatakan: “Pulau ini kecil dan memiliki sumber makanan yang terbatas dan
beberapa predator, selain komodo, mamalia berbadan besar akan berada di bawah tekanan
selektif langsung untuk mengurangi massa tubuh mereka. Menjadi besar tidak lagi menjadi
keuntungan ketika mencoba bertahan hidup di lingkungan yang terisolasi dan penuh
tantangan semacam ini.” (https://www.theguardian.com/science/2016/jun/08/flores-fossil-
discovery-provides-clues-to-hobbit-ancestors)
DAFTAR PUSTAKA

Baab, K. L. (2012) Homo floresiensis: Making Sense of the Small-Bodied Hominin


Fossils from Flores. Nature Education Knowledge 3(9):4.

Brown P., Sutikna T., Morwood M., Soejono R.P., Jatmiko, Saptomo E.W. et al. (2004): A
new small-bodied hominin from the late Pleistocene of Flores, Indonesia. Nature,
431:1055-61.

Groves, Colin. (2007). The Homo Floresiensis Controversy. Hayati Journal of Biosciences,
p 123- 126. Vol 14, No. 4.

Meijer, H. J. M. et al. (2010) The fellowship of the hobbit: the fauna surrounding Homo
floresiensis. Journal of Biogeography 37, 995-1006.

Sutikna, Thomas. et al. (2016). Revised stratigraphy and chronology for Homo
floresiensis at Liang Bua in Indonesia. Nature volume 532, pages 366–369.

http://arkenas.kemdikbud.go.id/contents/read/article/x6gpu1_1466409914/situs-liang-bua-
dan-manusia-flores. Diakses pada 22 Mei 2018 pukul 09:21 WIB.

http://www.seasite.niu.edu/trans/indonesian/Memburu%20Spesies.htm. Diakses pada 24 Mei


2018 pukul 07:59 WIB.

http://www.talkorigins.org/faqs/homs/flores.html. Diakses pada 22 Mei 2018 pukul 08:33


WIB.

https://kumparan.com/@kumparannews/homo-floresiensis-manusia-kerdil-purba-dari-
indonesia. Diakses pada 23 Mei 2018 pukul 07:24 WIB.

https://ugm.ac.id/id/berita/1323-kontroversi.homo.floresiensis:.perspektif.sains.dan.agama.
Diakses pada 23 Mei 2018 pukul 07:20 WIB.

https://www.theguardian.com/science/2016/jun/08/flores-fossil-discovery-provides-clues-to-
hobbit-ancestors. Diakses pada 24 Mei 2018 pukul 08:20 WIB.

Anda mungkin juga menyukai