Anda di halaman 1dari 9

KATEKISASI VI : KASUS SISIPAN ”FILIOQUE” DAN KASUS AYAT-AYAT YANG MENYATAKAN

YESUS LEBIH RENDAH DARI ALLAH

DAFTAR ISI KATEKISASI VI:

a. Kasus Sisipan “Filioque”


b. Kasus Ayat-Ayat Yang Menyatakan Yesus Lebih Rendah dari Allah

KATEKISASI VI : KASUS SISIPAN ”FILIOQUE” DAN KASUS AYAT-AYAT YANG MENYATAKAN


YESUS LEBIH RENDAH DARI ALLAH

a. Kasus Sisipan “Filioque”

Telah kita singgung diatas mengenai masalah “filioque” dalam hal “keluarNya” Roh Kudus dari Bapa. Marilah kita
bahas masalah ini. Masalah Roh Kudus yang “keluar dari Sang Bapa” ini telah terjadi permasalahan yang
berkepanjangan antara Gereja Orthodox dengan Gereja Barat (baik Roma Katolik maupun Protestan), dimana
Gereja Barat dalam Konsili Toledo tahun 589 memberi tambahan kata “filioque” (dan “Sang Anak”) pada kata
anak kalimat itu, sehingga Pengakuan Iman yang sudah ditambah itu menjadi berbunyi “yang keluar dari Sang
Bapa dan Sang Anak/Putra”. Tambahan ini ditolak Gereja Orthodox dengan alasan sebagai berikut: Landasan
dari Pengakuan Iman Nikea akan hubungan Roh Kudus dengan Allah (Sang Bapa) itu adalah:“Jikalau Penghibur
yang akan kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, ia akan bersaksi tentang Aku.”
( Yohanes 15:26). Penambahan “ FILIOQUE ” dilihat berbahaya oleh Gereja Timur. Bahaya-bahaya yang dilihat
oleh Gereja Timur adalah bahwa penambahan ini akan mengkaburkan makna ke-Esa-an Allah, dan hubungan
yang seimbang antara Allah, Firman dan RohNya dalam dzat-hakekatNya yang serba Esa itu. Dalam Iman Kristen
Orthodox dijelaskan bahwa Allah Yang Esa itu identik dengan Sang Bapa (Wujud Allah) sendiri, sebagaimana
yang tertulis:“Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari padaNya berasal segala sesuatu
dan yang untuk Dia kita hidup,…...”( I Korintus 8:6 ).Karena “satu Allah” itulah Bapa, ini berarti bahwa ke-Esa-an
Allah itu terletak pada Esanya Pribadi Bapa. Karena Bapa itulah “satu Allah” tersebut, serta “dari padaNya berasal
segala sesuatu”, maka Bapa itu menjadi sumber, pokok, pusat, serta asal dari ke-Allah-anNya sendiri. Dengan
demikian Ia juga menjadi sumber, pokok, pusat, dan asal dari Firman dan RohNya sendiri yang kekal itu. Berarti
baik “Firman Allah” (“Anak Allah”), maupun “Roh Allah” ( Roh Kudus”) sendiri, dari zaman azali yang silam sampai
zaman abadi yang akan datang tetap berada pada dan melekat satu di dalam dzat-hakekat Allah yang serba Esa
itu. Dengan demikian berarti baik Firman Allah maupun Roh Allah itu memang haruslah keluar dari sumber yang
satu ini, Sang Bapa. Untuk keluarnya “Firman Allah” dari Bapa ini disebut sebagai “diperanakkan” yang makna
kata ini adalah bahwa Firman Allah yang terkandung dalam diri Allah yang Esa itu dinyatakan dalam diri Allah
sendiri sehingga Allahmengenal diriNya itu melalui FirmanNya itu sejak kekal, dan untuk “Roh Allah” diistilahkan
dengan “keluar dari Bapa”. Meskipun “Firman Allah” itu bukan Allah (Bapa) sendiri, serta “Roh Allah”pun, bukan
pula Allah (Bapa) itu, juga “Firman Allah” itu jelas bukan “Roh Allah”, dan sebaliknya, sehingga ciri-ciri masing-
masing hypostasis tetap terjaga, namun baik Firman Allah maupun Roh Allah itu berada dalam dzat-hakekat Allah
yang serba satu ini. Maka dzat-hakekat Bapa itulah juga dzat-hakekat Firman dan RohNya tadi. Sehingga baik
Firman Allah maupun Roh Allah berada dalam satu kemuliaan, satu kehendak, satu kekekalan, satu kuasa dan
satu dalam segala keberadaan ilahi yang lain yang dimiliki oleh Bapa (Wujud Allah Yang Esa itu). Namun “Firman”
tetap berciri sebagai Firman tak menjadi prinsip “Wujud Allah”, dan tak pula berubah menjadi ciri “Roh Allah”, juga
“Roh Allah” tetap berciri sebagai “Roh Allah” tak berubah mengambil ciri “Firman Allah” (“Anak”), maupun ciri dari
prinsip “Wujud Allah yang Esa” (“Bapa”). Sehingga ciri hypostasis yang satu tak boleh dikacaukan dengan ciri
hypostasis yang lain dalam diri Allah Yang Esa itu. Ciri-ciri khas dari masing-masing hypostasis dalam Diri Allah
Yang Esa itu adalah: 1.Sang Bapa (“Wujud Allah yang Esa”), sebagai asal-usul dan sumber serta beradanya
secara kekal dari “Firman Allah” dan “Roh Allah” yang dariNya baik “Firman Allah” itu “diperanakkan” maupun
“Roh Allah” itu “keluar”. Juga Sang Bapa ini bersifat berasal dari DiriNya sendiri serta berdiri pada diriNya sendiri,
tanpa diperanakkan dan tanpa awal, dari kekal sampai kekal. Sang Bapa pula yang menjadi prinsip dari Ke-Esa-
an Allah itu. 2. Sang Putra ( “Firman Allah”), adalah Akal-Budi Allah, Ilmu Allah yang kekal yang selalu berada
melekat dalam Dzat-Hakekat Allah yang kekal itu tanpa awal sejak zaman azali dan selalu abadi sampai
selamanya, yang melaluiNya Allah menciptakan dunia, dan juga menyatakan diriNya, sebagai Wahyu Ilahi.
Dengan demikian “Sang Putra” ini ciri khasnya adalah sebagai yang keluar dari Bapa untuk menyatakan diri
Bapa, dengan kata lain “diperanakkan” dari Sang Bapa.3. Roh Kudus ( “Roh Allah”), adalah prinsip Hidup dan
Kuasa Allah yang kekal yang selalu berada melekat dalam Dzat-Hakekat Allah kekal itu tanpa awal sejak zaman
azali dan selalu abadi sampai selamanya, bersama dengan “Firman Allah”. Melalui Roh Allah ini, Sang Bapa,
menyempurnakan dan membentuk segala ciptaan serta memberikan kehidupan terhadap segala ciptaan yang
telah Ia jadikan melalui “Firman Allah” (“Sang Putra”) yang kekal. Berarti bersamaan “Firman Allah” yang
menjadikan itu “Roh Allah” membentuk dan menghidupi apa yang telah dijadikan itu. Jadi Roh Allah berkarya
sekaligus –tanpa ada tenggang waktu - ketika Firman Allah berkarya, oleh kehendak tunggal dari Allah Yang Esa
(Bapa) itu. “Roh Allah” itu mengiringi, melengkapi, dan menyempurnakan serta menyatu- tanpa urutan waktu,
serempak dan serentak- dengan karya yang dilakukan Allah melalui “Firman”Nya itu. Memang hanya ada “satu
1
karya” oleh “satu ke-Mahakuasa-an” yang berasal dari kehendak tunggal Allah Yang Esa itu melalui Firman dan
didalam RohNya tadi. Jadi Roh Allah itu bukan untuk mewahyukan Diri Allah, sebagaimana karya dari “Firman
Allah” ( Yohanes 1:18) sehingga “Firman Allah” itu disebut “Gambar Allah” (Kolose 1:15) namun sebagai “Terang”
untuk dapat mengerti “Wahyu Allah” itu, dengan demikian Roh Allah bukan merupakan “Gambar Allah”namun
“Terang” untuk dapat memahami “Gambar Allah”, yaitu “ Anak Allah yang Tunggal….yang menyatakan” Bapa yang
Esa itu (Yohanes 1:18, I Kor.12:3, II Kor. 4:6), oleh sebab itu Roh Allah tak disebut “Anak Allah”, dan itulah
sebabnya Ia tak dikatakan “diperanakkan dari Sang Bapa”, namun “keluar dari Sang Bapa”. “Keluar dari Sang
Bapa” inilah ciri khas Roh Allah (“Roh Kudus”) itu. Untuk menjaga utuh ke-Esa-an Allah serta keseimbangan yang
ada antara hypostasis-hypostasis dalam Allah Yang Esa inilah, maka ciri-khas hypostasis-hypostasis itu harus
dijaga tak boleh dilanggar. Disamping itu, perlu pula ditegaskan bahwa Allah itu memiliki dua bentuk hubungan:
1. Hubungan kekal di dalam dirinya sendiri, dengan “FirmanNya” dan “RohNya”. 2. Hubungan dengan
makhlukNya yang telah diciptakan melalui “FirmanNya” dan disempurnakan serta dihidupi oleh “RohNya” itu,
dengan sarana “FirmanNya” yang sama itu: yang kemudian menjelma menjadi manusia, dan melalui “RohNya”
yang sama itu juga, yang dicurahkan kepada manusia melalui “Firman” setelah karyaNya selesai diatas bumi itu.
Jadi mengenai Roh Allah (“Roh Kudus”) ini ada dua bentuk hubungan dengan Allah, yaitu yang pertama adalah
hubungan kekal di dalam diri Allah Yang Esa itu, serta masalah filioque itu adalah berkaitan dengan hubungan
yang pertama ini, dan yang kedua adalah hubunganNya dengan makhluk, sesudah penjelmaan “Firman” itu
menjadi manusia, dan pihak non-Orthodox salah-faham bahwa filioque yang ditolak Gereja Orthodox itu berkaitan
dengan hubungan kedua ini. Mengenai dua bentuk hubungan Allah ini marilah kita lihat data-data Alkitab. Yaitu
mengenai hubungan Allah dalam diriNya sendiri sejak zaman azali dan hubungannya dengan dunia setelah ada
waktu dan setelah selesai karya penjelmaan FirmanNya, dan terutama mengenai dari mana asal RohNya di
zaman kekal-azali dan sesudah karya Sang Firman tadi:”……Roh yang kekal….” (Ibrani 9:14),”….Roh
menyelidiki…..hal-hal yang tersembunyi DALAM DIRI ALLAH…roh manusia sendiri yang ada didalam
dia….Demikian pulalah…..yang terdapat di dalam DIRI ALLAH….Roh Allah” ( I Kor. 2:10-11). “….Allah (Bapa)
mengaruniakan RohNya…..” ( Yohanes 3:34, berarti Roh Allah berasal dari Allah/Bapa,pent.).” Aku (“Anak Allah”,
“Firman Allah Menjelma”) akan minta kepada Bapa ( sesudah selesai karyaNya di bumi ini, pent)…seorang
Penolong yang lain….yaitu Roh Kebenaran …( ini berarti Roh itu sejak kekal-azali berasal dari Bapa, karena
untuk datangNya pada para murid setelah karya Sang Putra itu selesai, harus diminta kepada Bapa oleh Sang
Putra ini,pent.) “ …..Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa (berarti Roh Kudus itu keluar dari
Bapa dari kekal-azali karena dari Bapalah Roh itu diutus,pent) dalam namaKu (Yoh.14:25-26, “…akan diutus …
dalam NamaKu”, yaitu Nama Sang Putra, itu terjadi setelah karya Putra di dunia itu selesai, pent.) “ “Jikalau
Penghibur yang akan Kuutus ( sesudah selesai karyaNya di bumi ini, pent.), yaitu Roh Kebenaran yang keluar
dari Bapa (Yoh.15:26,“keluar dari Bapa” sejak kekal-azali, karena Ia memang berada dalam Diri Allah/Bapa sejak
kekal, pent), “Yesus inilah…..sesudah Ia ditinggikan oleh tangan kanan Allah dan menerima Roh Kudus (artinya,
sesudah kebangkitanNya Yesus menerima Roh Kudus, karena Ia “menerima” Roh tadi, berarti Roh itu berasal
dari “yang memberi” yaitu Allah/Bapa, dengan demikian jelas Roh itu keluar dari Allah/Bapa,pent) yang dijanjikan
itu, maka dicurahkanNya…. ( Roh yang diterima dari Bapa, yaitu yang keluar dari Bapa sejak kekal-azali itu, oleh
Yesus dicurahkan pada manusia sesudah kebangkitan dan naikNya ke sorga itu, pen, Kisah Para Rasul 2:32-33).
Dari ayat-ayat ini jelas bahwa Roh Allah itu sejak kekal berada di dalam Diri Allah, dan berasal “keluar” dari Allah
ini sejak kekal itu, -meskipun Ia bersemayam pada Putra sebagai sasaran akhir keluarNya dari Bapa itu-, namun
Roh yang sama ini sesudah selesainya karya Sang Putra yang menjelma itu dikirim kepada manusia “atas
permintaan dari” “dalam Nama” ,” diutus oleh”, serta “dicurahkan oleh” Sang Putra. Dengan demikian dari kekal
dalam Diri Allah sendiri Roh Kudus itu diam dan keluar dari Allah saja, serta dicurahkan pada Firman untuk
memantulkan Firman itu pada Bapa, namun dalam hubungannya dengan manusia setelah selesai karya Sang
Putra ini maka Roh Kudus yang sejak kekal keluar dari Bapa, ini diutus dari Bapa “melalui dan oleh” Sang Putra.
Jadi Roh Kudus itu hanya “keluar dari Bapa” saja serta bersemayam pada Putra jika keberadaan Allah yang kekal
itu yang kita maksud, namun Roh Kudus yang sama itu “keluar dari Bapa melalui/dan Putra” jika pengutusanNya
ke bumi ini yang kita maksud. Dalam kaitanNya dengan bersemayamNya pada Putra untuk memantulkan Putra
itu pada Bapa dalam kekekalan hakekat Allah yang satu, serta pengutusanNya ke bumi setelah selesai karya
Sang Putra, dari “Bapa melalui./ dan Putra” inilah maka Roh Kudus itu disebut sebagai “Roh Allah” dan
sekaligus“Roh Kristus” (Roma 8:9), “Roh AnakNya” (Galatia 4:6), “Roh Yesus” (Kisah Rasul 16: 7), dan lain-lain,
yang menunjukkan keterkaitan yang tak terpisah antara Roh Kudus dan Kristus dalam karyaNya di bumi ini. Jadi
Roh Kudus datang ke bumi bukan langsung dari Allah begitu saja, namun Ia datang dari Allah melalui Kristus,
bagi menterapkan Karya Kristus yang sudah selesai itu kepada manusia. Roh Kudus datang bukan untuk
menyatakan DiriNya sendiri, dan Ia datang bukan untuk menyatakan “segala macam kebenaran” namun untuk
menyatakan “Kebenaran” yang Tunggal, yaitu “Firman Yang Menjelma Manusia” : Yesus Kristus itu. Inilah posisi
Iman Orthodox yang lugas, jelas, dan tegas serta tanpa keraguan sedikitpun itu. Sedangkan terkaitNya “Roh
Allah” dengan “Firman Allah” yang nampak dalam karyaNya sesudah Penjelmaan Firman Allah itu memang
berasal dari kekal. Hal ini dapat dijelaskan demikian: Menurut Ibrani 9:14, Roh Kudus itu disebut “Roh yang
kekal”, berarti Ia bukan makhluk, dan azali bukan tercipta. “Roh yang kekal” itu menurut I Kor. 2:10-11 berada di
dalam Diri Allah, yaitu melekat satu dalam Dzat-Hakekat Allah. Pada saat dicurahkan ke bumi oleh Allah melalui
Yesus Kritus, salah satu diantara fungsi-fungsi dan karya-karya Roh Kudus di bumi ini adalah , sebagaimana yang
dikatakan:”…..kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus….” ( Roma 5:5). Jadi fungsi Roh
Kudus adalah mencurahkan kasih Allah kepada “sasaran” dan “obyek” dari yang dikasihi Allah. Karena Roh
Kudus itu kekal, berarti fungsi yang demikian ini adalah kekal juga. Jadi sejak zaman azali sampai dengan
keabadian Roh Kudus memang berfungsi untuk “mencurahkan kasih Allah kepada sasaran dan obyek yang
dikasihi Allah” itu. Pada saat manusia sudah diciptakan dan karya Kristus sudah selesai, kasih tadi sasarannya
2
adalah “kita” yaitu manusia. Namun dalam alam azali nan abadi itu, dimana tidak ada makhluk dan ciptaan yang
ada hanya Allah sendiri, maka sasaran dan obyek kasih Allah adalah Ia yang mengatakan :”…..Engkau
(Bapa/Allah) telah mengasihi Aku (Putra/Firman) sebelum dunia dijadikan” ( Yohanes 17:24). Jadi sasaran kasih
Allah secara azali yang kekal-abadi itu adalah FirmanNya sendiri yang ada di dalam DiriNya yang Esa itu. Karena
dimana kasih Allah tercurah, ini selalu terlaksana melalui Roh Kudus, berarti ketika di zaman azali yang kekal-
abadi itu kasih Allah tersebut tercurah pada FirmanNya maka “kasih Allah itu telah dicurahkan ke dalam Sang
Firman itu oleh Roh Kudus”. Berarti dalam proses kasih ini, Roh Kudus “yang keluar dari Bapa” itu, karena dari
Bapa Ia mencurahkan kasih itu, juga bersemayam dalam Firman untuk menyampaikan “kasih Bapa” tadi ke dalam
hakekat Firman itu. Demikianlah Roh Kudus yang bersemayam dan “keluar” dari Bapa untuk mencurahkan kasih
Bapa, itu juga akhirnya bersemayam dalam Firman. Sehingga Roh Kudus itu bersemayam dalam Bapa dan
Firman. Namun di zaman azali yang kekal tersebut"keluarNya” itu tetap dari Bapa sebagai “sumberNya”. Padahal
baik Firman maupun Roh itu sama-sama berada di dalam Diri Allah /Bapa Yang Esa itu. Dengan demikian Roh
yang “keluar dari Bapa” itu bersemayam dalam Bapa sekaligus dalam Firman /Putra yang ada pada Bapa, serta
baik Firman dimana Roh bersemayam maupun Roh yang “keluar dari Bapa” itu, bersemayam, yaitu melekat satu
di dalam dzat-hakekat Bapa. Sebagai “pencurah Kasih” Allah, berarti hakekat Bapa juga berada dalam Roh
“pembawa Kasih”itu, sebagai yang dituju dan didiami oleh Kasih tadi, berarti hakekat Bapa itu juga berada dalam
Firman itu. Dengan demikian jelas meskipun dalam zaman azali yang abadi itu “Roh Kudus” hanya keluar dari
Bapa sebagai “sumberNya”, namun dalam kasih abadi tadi, Bapa bersemayam dalam RohNya dan FirmanNya,
dan Firman bersemayam dalam Bapa dan RohNya, dan Roh bersemayam dalam Bapa dan Firman, karena
memang Allah itu hanya satu secara tak terbagi-bagi dan tak terpisah-pisah, meskipun ciri khas masing-masing
hypostasisnya dapat dilihat perbedaannya. Itulah sebabnya dalam arti ini juga Roh Kudus, dapat disebut Roh
Allah, Roh Bapa, Roh Yehuwah, sekaligus Roh AnakNya, Roh Anak Allah, Roh Yesus, Roh Kristus, Roh Yesus
Kristus, karena keberadaan Allah itu tak terbagi-bagi, dan tak tersusun-susun. Ia itu Esa secara sederhana, tanpa
terdiri dan tersusun dari bagian-bagian. Namun bagaimanapun juga jelas bahwa “Roh Kudus” itu “keluar dari
Bapa” sebagai sumberNya, di alam azali itu, meskipun terkait erat dengan Firman Allah/Anak Allah di dalam dzat-
hakekat Allah yang Esa dan satu tersebut. Setelah mengerti posisi Iman Kristen Orthodox dengan lebih rinci ini,
marilah kita melihat keberatan theologis Iman Kristen Orthodox atas faham yang diakibatkan oleh sisipan
“filioque” itu. Sisipan “filioque” mengimplikasikan bahwa Roh Kudus itu keluar bukan hanya dari Bapa tapi juga
dari Putra. Jika demikian maka Roh Kudus memiliki dua sumber asal-usul: Bapa dan Putra. Padahal sudah kita
lihat bahwa Allah itu Esa yaitu Bapa ( I Kor. 8:6). Bapa itu hanya satu dan menjadi “asal segala sesuatu”, berarti
hanya ada satu sumber dan hanya ada satu pokok di dalam Diri Allah Yang Esa itu. Jika pengertian sisipan
filioque ini kita ikuti, maka sumber dalam Allah itu bukan hanya satu saja, namun dua, karena Bapa/Allah dan
Putra/Firman menjadi sumber dari Roh Kudus, disebabkan Roh Kudus keluar dari Sang Bapa dan juga Sang
Putra. Faham ini dilihat oleh Iman Orthodox sebagai merusak akidah Tauhid (Ke-Esa-an Allah) menjadikan
adanya Dua Ilah yang menjadi asal-usul keilahian. Juga faham ini melanggar ciri khas masing-masing hypostasis
dalam Diri Allah yang Esa itu. Karena hanya Bapa saja yang ciri khasNya “memperanakkan” FirmanNya dan
sekaligus “mengeluarkan” RohNya, meskipun Bapa itu tak diperanakkan dan berdiri pada DiriNya sendiri tanpa
ada yang mengadakan. Putra/Firman Allah tidak ikut dalam ciri khas Bapa/Allah untuk “mengeluarkan” Roh ini,
sebab Putra/Firman bukan sumber Ke-Esa-an dalam Diri Allah. Ia adalah “Firman” dari Allah ini. Dengan demikian
keseimbangan pemahaman tentang hubungan yang ada antara Allah, Firman dan RohNya itu menjadi goyah.
Gereja Orthodox melihat “kemusyrikan” dalam faham semacam ini. Ketika Gereja Barat melihat keberatan Gereja
Timur tentang impplikasi adanya “dua Allah”, dengan adanya “dua sumber” dari Roh Allah ini, sangkalan Gereja
Barat adalah bahwa” Roh Kudus itu keluar dari Bapa/ Allah yang Esa dan Putra/Firman Allah seolah-olah berasal
dari satu sumber.” Pemahaman Gereja Barat yang demikian itu belum dapat meyakinkan Gereja Timur, sebab
dalam pandangan Gereja Orthodox, jika Roh Kudus keluar baik dari Bapa/Allah Yang Esa dan Putra/Firman
Allah seolah-olah dari satu sumber, realita yang berbeda antara Bapa/ Allah Yang Esa dan Putra/Firman Allah itu
jadi kacau. Jadi realita ciri khas Bapa/Allah Yang Esa itu tak berbeda dengan realitas dan ciri khas dari
Putra/Firman Allah karena kedua-duanya dianggap sebagai satu sumber. Jika betul demikian yang dimaksud,
Gereja Orthodox khawatir bahwa itu memunculkan kembali ajaran Sabelianisme, yang baik Gereja Barat maupun
Gereja Timur sama-sama mengutuknya dizaman purba yang telah lalu. Sabelius mengatakan bahwa sebenarnya
Allah/Bapa, Firman/Putra dan RohNya di dalam DiriNya Yang Esa itu tak memiliki realita dan ciri khas yang
berbeda-beda yang memang dapat dibedakan ciri-ciri dan realitanya tadi, meskipun tak dapat dipisahkan dalam
Ke-Esa-an Dzat-Hakekat Allah yang Tunggal itu. Namun Bapa/Allah, Anak/Firman Allah, Roh Kudus/Roh Allah itu
adalah sekedar “topeng-topeng” dalam cara Allah menyatakan diriNya saja.Menurut Sabelius, di dalam Perjanjian
Lama Allah yang satu itu menyatakan diriNya sebagai Bapa, dalam Perjanjian Baru Allah yang sama itu
menyatakan diri sebagai Putra. Sesudah Putra naik ke Sorga, Allah yang sama yang sebelumnya menyatakan
diri sebagai Bapa dan akhirnya menyatakan diri sebagai Putra itu, juga menyatakan diri sebagai Roh Kudus.
Jadi Bapa, Putra dan Roh Kudus itu sebenarnya hanyalah Allah yang satu itu, namun yang memakai topeng
secara berganti-ganti. Itu hanyalah fungsi-fungsi saja dari Allah yang Esa. Dengan mengatakan bahwa Roh
Kudus itu “keluar dari Bapa dan Putra” seolah-olah dari satu sumber, berarti Gereja Orthodox melihat bahwa
hypostasis dan ciri-ciri khas Bapa serta hypostasis dan ciri-ciri khas Putra itu tidak dapat dibedakan dan sekaligus
dikacaukan. Dari situlah mengapa Gereja Orthodox melihat argumentasi itu sebagai bersifat Sabelianisme,
meskipun jika bukan sepenuhnya, namun setidak-tidaknya bersifat semi Sabelianisme. Selanjutnya jika betul
bahwa Putra/Firman Allah yang diperanakkan oleh Bapa itu juga menjadi sumber Roh Kudus sebagaimana
halnya Bapa itu, dengan demikian juga memiliki ciri khas hypostasis Bapa, maka Ia juga haruslah memiliki fungsi
dari ciri khas sumber keilahian yaitu “memperanakkan” Firman dan “mengeluarkan” Roh Allah.Dengan demikian
tidakkah ini akan membuat Putra/Firman Allah itu bukan hanya “mengeluarkan Roh Kudus” tetapi juga
3
“memperanakkan Firman”? Bukankah ini akan berarti akan muncul Firman yang lain dari Firman ini? Dan Firman
yang lain ini juga akhirnya memiliki sifat yang sama dengan sifat “Firman” yang telah memperanakkanNya, yaitu
menjadi sumber Roh Kudus dan sekaligus memperanakkan Firman yang lain juga, demikian seterusnya ad
infinitum. Jika demikian hal itu akan mengakibatkan terjadinya bukan hanya satu sumber, atau dua sumber, tetapi
dapat terjadi beribu-ribu sumber atau pokok di dalam diri Allah , karena Firman yang diperanakkan Allah itu ikut
serta sebagai sumber atau pokok. Maka jika faham sisipan filioque ini secara konsisten difahami dan
dipertahankan, Gereja Orthodox melihat bahawa ajaran satu Allah (Tauhid) itu akan rusak menjadi ajaran
polytheisme (banyak Ilah), musyrik, karena terjadi banyak sumber keilahian yang dapat memperanakkan, yaitu
dari Firman yang satu, ke Firman yang lain secara terus-menerus. Itulah sebabnya sumber keilahian itu harus
hanya satu saja yaitu “Sang Bapa” bukan dua :”Sang Bapa dan Sang Putra” Karena memang menurut Alkitab
Roh Kudus di zaman azali yang abadi itu hanya “keluar dari Bapa” saja, bukan dari “Bapa dan Putra”
Keberatan theologis selanjutnya dari Gereja Orthodox atas faham yang diakibatkan oleh sisipan filioque ini adalah
sifat dari ke-Esa-an Allah itu sendiri. Jika dalam Allah itu ada dua sumber sebagaimana yang diimplikasikan
dalam faham Roh Kudus “keluar dari Bapa dan Putra” itu, pertanyaannya adalah dimana dasar ke-Esa-an Allah,
yang menurut Alkitab adalah dalam Diri Bapa, “satu Allah, yaitu Bapa” ( I Kor. 8:6). Karena sumber ke-ilahi-an
dari Allah itu difahami ada dua “Bapa dan Putra”, maka Gereja Barat tidak dapat melihat bahwa Allah yang Esa itu
identik dengan Hypostasis Bapa. Sebab Bapa itu bukan menjadi sumber satu-satunya dalam keilahian, karena
Bapa menjadi sumber bersama dengan Putra :” Bapa dan Putra”, maka tak mungkin Bapa itu dianggap sebagai
prinsip dan sumber ke-Esa-an sebagaimana yang diajarkan Alkitab. Ini nampak dalam pemahaman Gereja Barat
dimana ke-Esa-aan Allah lebih dilihat pada “Essensi” atau “Dzat-Hakekat” Allah., seperti di depan telah kita bahas.
Secara tradisionil dalam beberapa tulisan Katolik Roma, ini digambarkan sebagai satu payung (“satu-essensi”)
yang menaungi tiga orang (“ Bapa, Anak,Roh Kudus”), atau satu rumah (“ satu –esensi”) yang dihuni tiga orang (“
Bapa, Anak, Roh Kudus”), sedangkan di pihak Protestan sering digambarkan sebagai satu bidang segitiga (“satu
esensi”) yang memiliki tiga sudut A,B,C (“Bapa, Anak, Roh Kudus”), atau satu Zat Cair :H2O ( “satu-essensi”)
yang memiliki tiga bentuk: cair, padat/es, gas/uap (“Bapa, Anak, Roh Kudus), dan lain-lain. Dari semua
penggambaran ini jelas ke-Esa-an Allah sebagai akibat faham yang dimunculkan oleh sisipan filioque itu tidak
identik dengan Hypostasis Sang Bapa, namun pada Essensi atau Substansi atau Dzat-Hakekat Allah yang satu.
Jadi Ke-Esa-an Allah bukan lagi ke-Esa-an Pribadi, namun ke-Esa-an Esensi yang tak berpribadi. Disinilah letak
masalahnya. Sedangkan Gereja Orthodox sesuai dengan yang dikatakan Alkitab menegaskan Allah itu satu,
karena Bapa itu satu. Maka Ke-Esa-aan Allah dalam ajaran Orthodox adalah ke-Esa-an yang bersifat pribadi.
Allah yang Esa itu adalah Pribadi Allah yang Satu, itulah ajaran Alkitab dan itulah ajaran Iman Orthodox.
Sedangkan dalam Gereja Barat ke-Esa-an Allah itu adalah Essensi Allah yang satu. Itulah ajaran Filsafat Yunani,
dan itulah bukti Helenisasi yang terjadi dalam Gereja Barat. Essensi itu bukan Pribadi, namun hakekat dari
keberadaan. Dengan penekanan bahwa dasar ke-Esa-an Allah itu pada essensi ilahi dan bukan pada pribadi
Bapa akan terjadi suatu kontradiksi antara pemahaman theologis tentang ke-Esa-an Allah dan data Alkitab
mengenai hal yang sama tadi. Allah yang diajarkkan Alkitab adalah Pribadi dan bukan keberadaan mutlak
(essensi) yang tanpa pribadi. Sebab ajaran yang demikian akan mengubah Berita Alkitab menjadi ajaran Filsafat
Yunani, dan akan lebih mirip dengan ajaran Hindu yang mengajarkan bahwa Brahman adalah “Keberadaan
Mutlak yang Tak Bersifat dan Tak Berpribadi” (“ Impersonal Absolute, Nirguna.”), bukannya Allah Abraham, Ishak,
Yakub yang bertindak dan menyatakan diri serta mengatakan kepada Musa ”Aku adalah Aku” (Keluaran 3:14).
Selanjutnya pemahaman tentang ke-Esa-an Allah pada EssensiNya ini terkait dengan tujuan keselamatan
manusia. Iman Orthodox mengajarkan bahwa keselamatan itu telah terjadi akibat manunggalnya yang Manusiawi
dengan Yang Ilahi di dalam Pribadi Kristus yang satu itu, oleh Inkarnasi. Jadi manusia dipanggil untuk “ikut ambil
bagian dalam kodrat ilahi” (II Pet. 1:4). Ambil bagian dalam kodrat ilahi atau “theosis” ini terjadi karena
persekutuan antara pribadi manusia dengan Pribadi Allah melalui karya Yesus Kristus itu. Jika ke-Esa-an Allah
adalah Essensi, persekutuan manusia dan panunggalannya dengan Allah itu bukan lagi bersekutu antara pribadi
dengan pribadi, namun bersekutu atau manunggal dengan Essensi Allah, bersekutu dengan Dzat-Hakekat Allah.
Disini letak permasalahannya: karena jika manusia bersekutu dengan Essensi atau Dzat-Hakekat Allah, maka dia
akan berhenti sebagai manusia, serta akan melebur dalam Dzat-Hakekat Ilahi dan dengan demikian menjadi
Allah. Karena hanya Allah sendiri yang memiliki Dzat-Hakekat Allah atau Essensi Allah, maka dengan manusia
bersekutu atau manunggal dengan Allah yang satu yang adalah Essensi, maka manusia bersekutu dengan
Essensi Allah. Itu berakibat manusia memiliki Essensi Allah dan itu berarti manusia menjadi Allah sendiri. Inilah
ajaran “pentheisme” murni, mistikisme dalam bentuk yang sama sekali tak dapat diterima oleh Iman Orthodox. Ini
lebih sesuai dengan faham Hindu daripada ajaran Alkitab maupun Iman Kristen Orthodox., dimana dalam agama
Hindhu diyakini bahwa roh manusia (Atman) itu sebenarnya tak berbeda secara hakiki dengan Essensi Allah
( Brahman).Maka tujuan akhir manusia menurut agama Hindhu memang agar, jika manusia mati, rohnya kembali
kepada Brahman, kembali kepada Essensi Allah, mencapai Moksha. Memang posisi Orthodox ini sering disalah-
fahami oleh Gereja Barat (baik Roma Katolik maupun Protestan) seperti yang nyata dalam buku penulis Protestan
dari Belanda:Dr.Boland dan Dr. Niftrik dalam buku “Dogmatika Masa Kini”. Dr. Boland dan Dr.Niftrik menuduh
Gereja Orthodox sebagai mengajarkan mistikisme panteheistis, akibat dari penolakan sisipan filioque dalam
Pengakuan Nikea, dimana Essensi Allah dan essensi manusia lebur menjadi satu.. Kita tidak tahu darimana Dr.
Boland dan Dr. Niftrik mengambil kesimpulan semacam ini, barangkali ini hanya salah faham, atau memang betul-
betul tidak mengerti ajaran Iman Kristen Orthodox. Karena dalam Gereja Orthodox justru mistik semacam itu
sama sekali tidak memilki tempat, bahkan ditolak, dan dinyatakan sesat, seperti nyata dalam pengucilannya
terhadap sekte Bogomil di Serbia-Bulgaria. Namun anehnya justru mistik yang semacam ini, yaitu mengacaukan
Essensi Allah dengan essensi manusia itu, bukannya terjadi di Gereja Orthodox tetapi di Gereja Barat. Misalnya
dalam kasus Meister Eckhard, kelompok Anabaptis, kelompok Quaker, dan lain-lain. Dan dari kacamata Orthodox
4
memang itu akibat logis dari faham yang konsisten terhadap akibat sisipan filioque. Jadi penolakan kata filioque
dalam Pengakuan Iman Nikea oleh Gereja Orthodox justru untuk menghalangi masuknya spiritualisme mistik
yang palsu seperti yang kita bahas diatas.. Salah faham theologia Protestan itu dilanjutkan oleh Dr. Boland dan
Dr. Niftrik demikian: “Bahkan pun diskusi-diskusi dogmatika seperti persoalan, apakah Roh Kudus hanya keluar
dari Allah Bapa atau juga dari Anak ( filioque ) mempunyai arti serta akibat yang praktis bagi kehidupan Gereja”
Gereja Orthodox sangat membenarkan hal ini. Itulah sebabnya Gereja Orhodox menganggap sisipan filioque itu
bukanlah masalah remeh yang dapat dilupakan begitu saja. Karena salah mengenai ajaran Roh Kudus dalam
hubunganNya dengan Allah/Bapa dan FirmanNya/Putra (Tritunggal Maha Kudus) akan menimbulkan kesalahan
dalam mengerti keselamatan, sakramen, karunia-karunia Roh Kudus, Gereja, Kristologi, dan lain-lain ajaran.
Sebab semuanya itu sumbernya dari pengertian yang benar mengenai Tritunggal Maha Kudus ini. Dikatakan
selanjutnya:”Dengan ditambahkannya kata filioque maka Gereja Barat telah menekankan bahwa hanya satu saja
penyataan Allah yakni penyataanNya di dalam Yesus Kristus. Roh Kudus tidak menghasilkan kekacauan. Roh
Kudus memberikan kebenaran yang sesungguhnya dan membimbing manusia kepada kebenaran yang bernama
Yesus Kristus. Kotbah Petrus pada hari Pantakosta pertama adalah merupakan contoh dan patokan. Isi
pemberitaan itu kongkrit sekali yaitu Yesus Kristus yang telah disalibkan dan yang bangkit pula: ”Hai orang-orang
Israel, dengarlah perkataan ini: Yang aku maksudkan, ialah Yesus dari Nazaret, seorang yang telah ditentukan
Allah dan yang dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mujizat-mujizat dan tanda-tanda yang
dilakukan oleh Allah dengan perantaraan Dia di tengah-tengah kamu seperti yang kamu tahu. Dia yang
diserahkan Allah menurut maksud dan rencanaNya, telah kamu salibkan dan telah kamu bunuh oleh tangan
bangsa bangsa durhaka.Tetapi Allah membangkitkan Dia dengan melepaskan Dia dari sengsara maut, karena
tidak mungkin Ia tetap berada dalam kuasa maut itu.Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti, bahwa
Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus.” ( Kisah Para Rasul 2:22-24,36).
Justru filioque itu menjadi pernyataan bagi kita, bahwa juga pembicaraan kita tentang Roh Kudus harus bercorak
Kristosentris. Roh Kudus bukanlah merupakan Roh yang membuat kita bersemangat tetapi Roh Kudus adalah
Roh Kristus.” Boland dan Niftrik melanjutkan:”Pembicaraan tentang Roh Kudus menentukan dan mencirikan
pembicaraan tentang nisbah antara manusia dengan Allah. Apakah hanya dikatakan bahwa Roh itu keluar dari
Allah Bapa yang Khalik, maka nisbah manusia Allah terutama dipandang sebagai nisbah makhluk Khalik. Lagi
pula bahayanya ialah bahwa Roh kudus dianggap menjadi sesuatu atau suatu kekuatan yang ada terdapat di
dalam kosmos atau alam Khalik. Disitulah letaknya sumber bagi tumbuhnya Mistik di dalam Gereja Orthodox
( Gereja Yunani Katolik ) yang tak pernah menerima filioque itu. Maka kehidupan Gereja ini ditentukan oleh
pemujaan ( Worship ) tetapi kegiatan Gereja keluar tidak dapat berkembang.”. Demikian pemahaman Protestan,
yang juga mendukung filioque itu, tentang Gereja Orthodox mengenai penolakan sisipan filioque itu.. Untuk
meluruskan masalah ini kita hanya perlu membandingkan dengan posisi Orthodox diatas tadi akan hal ini. Dr.
Boland dan Dr, Niftrik sama seperti seluruh pemahaman Gereja Barat semuanya, mengacaukan filioque yang
ditolak Gereja Orthodox dalam kaitannya dengan hubungan yang ada di dalam Diri Allah sendiri sejak zaman
azali nan abadi, dengan karya Roh Kudus yang diturunkan kepada manusia dari Allah melalui Yesus Kristus itu.
Kedua penulis ini menuduh bahwa seolah-olah Roh Kudus itu tak terkait sama sekali dengan Kristus. Dan
“keluarNya” Roh Allah dari Sang Bapa ini, dianggapnya keluar secara liar tanpa tujuan atau berdiam di dalam
alam semesta ini secara mengambang ( berarti keluar ke alam dan berakitan dengan makhluk, padahal yang
dimaksud Iman Orthodox adalah hubungan dalam diri Allah sendiri), dan bukan pula tak terkait dengan Sang
Putra ( Kalimatullah).Padahal Iman Orthodox yang benar mengajarkan bahwa meskipun Roh Kudus itu keluar dari
Bapa saja dalam ke-Esa-an Diri Allah itu, namun Ia juga bersemayam dalam Putra sejak zaman azali sampai
kekal abadi. Dan ini jelas dari bunyi Pengakuan Iman Nikea itu sendiri:”…..Roh Kudus yang keluar dari Sang
Bapa……yang bersama Sang Bapa dan Sang Putra disembah dan dimuliakan…..” Jadi meskipun Roh Kudus itu
keluarNya dari Bapa namun bukan tak terkait dengan Sang Putra, karena Pengakuan Iman jelas mengatakan
“yang bersama…..Sang Putra “ . Jadi tak pernah penolakan akan “filioque” oleh Gereja Orthodox itu, membuat
Iman Orthodox menganggap Roh Kudus terpisah dari Sang Putra/Firman Allah, seperti yang dengan seriusnya
disalah-fahami oleh Dr. Boland dan Dr. Niftrik. Dan jika hubungannya dengan makhluk itu yang dimaksud maka
Roh Kudus itu diutus dari Bapa melalui Putra. Jadi tak ada ajaran Orthodox yang berbicara tentang Roh Kudus
tanpa terkait dengan Kristus itu. Kritik Iman Orthodox terhadap pemahaman Dr. Boland dan Dr. Niftrik yang keliru
itu adalah demikian: Memang perlu kita memberikan kehormatan yang tinggi atas keinginan kedua penulis
membela kebenaran Kristus itu, dimana mereka ingin menegaskan bahwa tujuan penambahan filioque yang
dibela oleh Dr. Boland dan Dr. Niftrik itu adalah untuk memberi corak Kristologis dalam pengertian akan Roh
Kudus. Hal ini jelas dari apa yang dikatakannya:”…..ditambahkannya kata filioque maka Gereja Barat telah
menekankan bahwa hanya satu saja penyataan Allah yakni penyataanNya di dalam Yesus Kristus Roh Kudus
tidak menghasilkan kekacauan. Roh Kudus memberikan kebenaran yang sesungguhnya dan membimbing
manusia kepada kebenaran yang bernama Yesus Kristus…”. Namun karena Iman Orthodox itu sangat
Kristosentris sebagaimana yang sudah kita lihat sejauh ini, penambahan “filioque” itu justru menjadikan
penyimpangan terhadap Kristosentrisisme, yang dimaksud. Dengan ditambahkannya “filioque” maka Anak itu
bersama Bapa menjadi sejajar sebagai sumber, dengan Roh Kudus yang keluar dari keduanya menjadi berada
dibawah Bapa dan Anak. Dengan demikian Roh Kudus berada dibawah Sang Putra. Karena Roh Kudus keluar
dan berada dibawah Sang Putra, maka Sang Putra tidak bersemayam dalam Roh Kudus, sehingga pneumatologi
terpisah dari Kristologi. Jadi tak bersifat Kristologis lagi. Inilah akibatnya membuat yang sudah bersifat Kristologis
ingin dijadikan lebih Kristologis melalui tambahan yang tak diperlukan itu. Akibatnya pembicaraan theologis
tentang Putra hanya akan bersifat spekulatif intelektual – sampai memunculkan theologia liberal, yang menolak
kebenaran kelahiran Kristus dari Perawan, menolak Kebangkitan dan mukjizat-mukjizat Kristus, dan bahkan
mempertanyakan existensi Kristus itu sendiri dalam wacana theologia Jerman dan Eropa Barat -, bukan
5
pemahaman sekaligus pengalaman akan Kristus dalam panunggalan oleh akibat karya Roh Kudus, sebagaimana
yang dihayati dalam Gereja Orthodox. Itulah sebabnya sering dikatakan oleh para theologiawan Gereja Barat
bahwa Gerakan Kharismatik dan Gerakan Pantekosta adalah hutang Gereja yang belum terbayar. Kata-kata yang
mana tak akan mungkin keluar dari mulut seorang theologiawan Gereja Timur. Ini diakibatkan karena selama ini
theologia, atau pemahaman tentang Kristus hanya bersifat logika, tak dibarengi dengan kuasa-kuasa dan
pengalaman energi Roh Kudus yang memanunggalkan manusia kepada Kristus. Pengalaman mistika dalam
Gereja Orthodox adalah pengalaman dalam Roh Kudus, yang menuntun manusia hanya kepada satu kebanaran
yaitu Kristus, karena untuk manunggal dengan Kristus itulah tujuan hidup dalam Roh Kudus itu. Disinilah
terjadinya kekeringan agamawi dalam Gereja Barat. Reaksi terhadap hal ini adalah munculnya “Gerakan
Kharismatik” dan “Pantekosta” yang merupakan reaksi keras yang berbalikan arah, dimana Gerakan ini sering
dicirikan sebagai Gerakan anti-intelektual, anti-theologia, anti-keilmuan. Kata yang sering muncul dalam Gerakan
ini adalah :” Tidak perlu theologia yang penting adalah Roh Kudus”. Akibat dari sikap ini justru apa yang
dituduhkan oleh kedua penulis itu tentang Gereja Timur, yang malah tidak terjadi disitu:” Roh Kudus bukanlah
merupakan Roh yang membuat kita bersemangat tetapi Roh Kudus adalah Roh Kristus.” Bukankah justru Gereja
Orthodox yang menolak “filioque” itu yang menegaskan dalam mengalami Roh Kudus sebagai “Roh Kristus” dan
bukan “Roh yang membuat kita bersemangat” yang justru itu ciri dari Gereja Barat dalam bentuk Gerakan
Kharismatiknya? Dalam bentuknya yang paling ekstrim Gerakan ini juga mempunyai ciri-ciri pantheisme dan
bahkan animisme, sehingga ketakutan lain dari kedua penulis itu justru menjadi kenyataan disitu bukan dalam
Gereja Orthodox: Lagi pula bahayanya ialah bahwa Roh kudus dianggap menjadi sesuatu atau suatu
kekuatan”..Disinilah bedanya dengan pendekatan Orthodox, karena Kristus dan Roh Kudus itu terkait karena
saling bersemayam, dan sama-sama memiliki hakekat keilahian yang satu dan yang sama di dalam Allah yang
Esa, maka menghayati Kristus itu selalu dalam pengalaman Roh Kudus, dan menghayati Roh Kudus itu selalu
dalam landasan Kristologis.Sehingga kritik berikutnya ini sungguh jauh dari kenyataan ajaran maupun praktek
Gereja Orthodox:” bahwa Roh kudus dianggap menjadi sesuatu atau suatu kekuatan yang ada terdapat di dalam
kosmos atau alam Khalik. Disitulah letaknya sumber bagi tumbuhnya Mistik di dalam Gereja Orthodox ( Gereja
Yunani Katolik ) yang tak pernah menerima filioque itu” Ini makin menunjukkan bahwa kedua penulis ini memang
tidak tahu Iman Orthodox. Tak pernah dalam Iman Kristen Orthodox “Roh Kudus” itu dianggap sebagai “ sesuatu
atau sesuatu kekuatan yang terdapat di dalam Kosmos”. Apalagi setiap hari umat Orthodox tak pernah lupa
mengucapkan Iman Nikea yang mengatakan bahwa “Aku percaya pada Roh Kudus, Tuhan, Sang Pemberi
Hidup”. Bagaimana yang “Tuhan” dan “Sang Pemberi Hidup” itu dapat dianggap umat Orthodox sebagai sesuatu
atau suatu kekuatan di dalam kosmos? Bukankah justru ide ini yang ditentang dalam Konsili Ekumenis pada
tahun 381 dalam Gereja Orthodox.Selanjutnya “Disitulah letaknya sumber bagi tumbuhnya Mistik dalam Gereja
Orthodox”, suatu salah faham yang amat serius memang. Mistika yang dimaksud dalam Gereja Orthodox
bukanlah karena Roh Kudus dianggap sesuatu atau suatu kekuatan dalam kosmos atau alam khalikah, sebab
tidak ada ajaran Iman Kristen Orthodox yang benar yang mengajarkan itu. Dan tak pula theologia mistika
Orthodox itu berasal dari ajaran tentang “Roh sebagai kekuatan dalam Kosmos” yang betul-betul bersifat
pantehistis dan pagan serta bertentangan dengan Iman Kristen Orthodox ini. Theologia Mistika dalam Gereja
Orthodox adalah Theologia persekutuan atau panunggalan dengan Allah melalui Kristus di dalam Roh Kudus,
yang dialami melalui GerejaNya dalam Sakramen-Sakramen serta pemberitaan Sabda Allah. Jadi tidak ada
theologia pantheisme ataupun animisme dalam Gereja Orthodox. Jadi theologia mistika itu tak bersangkut paut
dengan penolakan “filioque” namun bersangkut erat dengan perumusan Kristologis tentang manunggalnya dua
kodrat dalam satu hypostasis Kristus. Jadi ini theologia yang bersifat Kristosentris. Selanjutnya
dikatakan:” :”Pembicaraan tentang Roh Kudus menentukan dan mencirikan pembicaraan tentang nisbah antara
manusia dengan Allah” Dr. Boland dan Dr.Niftrik tidak membedakan akan hubungan Roh Kudus di zaman azali
yang abadi di dalam diri Allah, dan hubungan Roh Kudus sesudah ada dunia dengan manusia. “Filioque”
disisipkan oleh Gereja Barat bukan untuk menegaskan hubungan atau nisbah “antara manusia dengan Allah” ini
namun nisbah antara Roh Kudus dengan Allah dan FirmanNya, sebab itu disisipkan dalam usaha untuk
membendung pengaruh Arianisme yang menolak keilahian Kristus, dalam Gereja Barat. Supaya Kristus itu sama
ilahiNya dengan Sang Bapa, demikian kira-kira pemikiran orang-orang yang menyisipkanitu itu, maka Ia harus
pula menjadi sumber keluarNya Roh Kudus. Itulah asal mulanya “filioque” itu disisipkan secara sepihak oleh
Gereja Barat. Seandainya saja para penyisip dari Gereja Barat di zaman purba dan kedua penulis Protestan
modern itu memperhatikan anak-kalimat berikutnya dalam Pengakuan Iman Nikea “…Roh Kudus…yang bersama
Sang Bapa dan Sang Putra disembah” itu, pastilah tak akan khilaf menuduh bahwa penolakan “filioque”
menjadikan seolah-olah Kristus tidak ilahi seperti yang diyakini Arianisme dan seolah-olah menjadi pemahaman
Roh Kudus yang tidak Kristosentris. Jadi pembicaraan tentang Roh Kudus itu bukan hanya “menentukan dan
mencirikan” hubungan manusia Allah tadi, namun juga menentukan sifat ke-Esa-an Allah, dan hubungan yang
ada antara Allah, FirmanNya dan RohNya. Masalah “filioque” adalah masalah hubungan yang ada di dalam Diri
Allah itu, bukan nisbah antara Allah dan manusia, karena untuk menjelaskan hubungan antara Roh Kudus dengan
Allah dan FirmanNya/Sang Putra itulah sisipan itu dilakukan. .Salah faham selanjutnya dinyatakan dengan jelas
oleh Dr. Boland dan Dr. Niftrik diatas dalam kata-kata:“Pembicaraan tentang Roh Suci menentukan dan
mencirikan pembicaraan tentang nisbah manusia dan Allah. Apabila hanya dikatakan bahwa Roh itu keluar dari
Allah Bapa yang Khalik maka nisbah manusia - Allah terutama dipandang sebagai nisbah makhluk-Khalik.”
Pernyataan ini menunjukkan anggapan bahwa penolakan sisipan filioque menyebabkan Gereja Orthodox
mempercayai bahwa Roh Kudus itu keluar dari Allah (Sang Bapa) liar tanpa ada sangkut pautnya dengan Sang
Putra, karena tidak juga keluar dari Sang Putra. Akibatnya Roh Kudus itu tidak menyatakan Sang Putra (Firman
Allah) kepada manusia tetapi menyatakan diriNya sendiri.Jika demikian hubungan manusia dengan Allah itu
bukan lagi seorang anak ketebusan Allah, namun sebagai makhluk biasa, karena Roh Suci tidak menyatakan
6
Sang Putra yang menjadi penebus yang menyebabkan manusia diangkat menjadi anak Allah, demikian kritik itu
berlanjut. Kesalahan kritik dan kekeliruan pendapat ini kiranya tak perlu dibahas lagi, karena sudah jelas posisi
Orthodox akan masalah ini. Dikatakan pula oleh Niftrik dan Boland “Lagi pula bahwa bahayanya ialah bahwa Roh
Kudus dianggap sebagai sesuatu kekuatan yang terdapat di alam Kosmos atau Alam Khalik.” Memang jika
keluarnya Roh Kudus dari Sang Bapa itu secara liar, dan tanpa ada sangkut-pautnya dengan Sang Putra
(Kalimatullah), padahal tak ada ajaran Orthodox yang demikian, maka itu akan menjadi seolah-olah Roh Allah
terlepas bebas dari Sang Putra (Kalimatullah), Roh yang berdiri sendiri. Ini akan memunculkan anggapan Roh
Allah itu hanya sekedar kekuatan tanpa pribadi, seperti yang diajarkan sekte Saksi Yehuwah, atau beberapa
segmen tertentu dalam Gerakan Kharismatik yang mengidentikkan Roh Kudus dengan salah satu “karuniaNya”,
bahasa lidah misalnya, yang justru keduanya itu termasuk dalam lingkup Gereja Barat, yang bukan ajaran Iman
Orthodox. Karena Roh Kudus itu hanya dikirim keluar dari Bapa untuk menyatakan Yesus Kristus kepada
manusia Maka Roh Suci tidak menyatakan diri pribadiNya, sehingga menekankan Roh Suci yang tak bersifat
Kristologis akan mengidentikkan Roh Suci dengan semangat-semangat atau ilham-ilham, serta tanda-tanda heran
tertentu. Akhirnya bermacam-macam ajaran dan macam kebenaran muncul, yang ditandai dengan munculnya
begitu banyak aliran pengajaran yang berbeda satu dengan lainnya. Bukankah justru yang ditakutkan Dr. Boland
dan Niftrik itu tak terjadi dalam Gereja Orthodox yang menolak “filioque” karena dimana-manapun ajaran
Orthodox yang Kristosentris itu satu dan sama meskipun memiliki macam-macam Yuridiksi atau wilayah Hukum
Gerejawi, malah terjadinya dalam Gereja Barat yang memaksakan “filioque” itu?. Selanjutnya Dr. Boland dan Dr.
Niftrik menyatakan lagi:”Kehidupan Gereja Orthodox ditentukan oleh pemujaan atau worship tapi kegiatan keluar
tidak dapat berkembang”. Memang Gereja Orthodox terkenal dengan penyembahannya karena memang untuk
itulah kita dipanggil oleh Allah, untuk menyembah Dia. Penyembahan dalam Gereja Orthodox adalah sarana
panunggalan dengan Kristus dalam Roh Kudus, bukan karena akibat percaya pada “Roh sebagai sesuatu atau
suatu kekuatan dalam kosmos, atau alam Khalikah” seperti yang dipahami kedua penulis secara amat keliru itu.
Sedangkan tuduhan bahwa Gereja Orthodox itu “kegiatan keluar tidak dapat berkembang,” ini hanya pendapat
orang yang mengetahui sejarah Gereja Orthodox lebih mendalam saja.. Jadi dalam pandangan Iman Kristen
Orthodox penambahan “filioque” itu sangat serius sekali karena mengubah makna ke-Esa-an Allah, sifat ke-Esa-
an Allah, hubungan Allah dengan Firman dan RohNya secara azali, juga makna keselamatan serta panunggalan
manusia dengan Allah itu. Filioque telah mengubah ajaran Injil menjadi ajaran filsafat Yunani, dan menjadikan
ajaran Injil menjadi sesuatu yang lain daripada apa yang diajarkan Kitab Suci

b. Kasus Ayat-Ayat Yang Menyatakan Yesus Lebih Rendah dari Allah

Dari pembahasan kita diatas telah kita buktikan bahwa sebagai Firman Allah yang berada satu di dalam diri Allah
yang Esa dan memiliki dzat-hakekat ke-ilahi-an yang satu dan yang sama di dalam diri Allah yang satu itu, maka
dalam hakekat keilahianNya yang kekal Yesus Kristus adalah “setara dengan Allah” sebagaimana yang dikatakan
: ”…Yesus Kristus, yang walaupun DALAM RUPA ALLAH,tidak menganggap ke-SETARA-an DENGAN ALLAH itu
sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan MENGAMBIL RUPA
SEORANG HAMBA…” ( Filipi 2:5-7). Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa Yesus Kristus adalah “setara dengan
Allah”, yaitu dalam keberadaanNya sebagai “rupa Allah” atau “Gambar Allah”, yaitu Firman Allah yang kekal.
Namun dalam keberadaan “mengosongkan diriNya” Ia telah “mengambil rupa seorang Hamba” berarti Ia adalah
Hamba Allah. Sebagai “Hamba Allah” tentunya Ia tidak setara dengan Allah, lebih rendah dari Allah, dan adalah
makhluk ciptaan Allah.Karena itulah dalam Kitab Suci disamping terdapat ayat-ayat yang menunjukkan ke-setara-
an Yesus Kristus dengan Allah, dan berada satu di dalam diri Allah itu, terdapat juga ayat-ayat yang menunjukkan
bahwa Ia sama sekali berbeda dari Allah, lebih rendah dari Allah dan adalah makhluk Allah. Para penulis Muslim
biasanya menggunakan ayat-ayat jenis kedua ini untuk membuktikan bahwa Yesus Kristus hanya sekedar Rasul
dan manusia biasa saja, dalam polemiknya menentang keyakinan Kristen akan ke-ilahi-an Yesus Kristus itu..
Sedangkan kaum “Saksi Yehuwah” juga menggunakan ayat-ayat yang sama untuk membuktikan bahwa Yersus
Kristus meskipun telah ada sebelum dunia dijadikan namun Ia hanya sekedar makhluk pertama yang diciptakan
Allah untuk membantu Allah Yehuwah dalam menciptakan makhluk-makhluk yang lain.
Ayat-ayat yang dimaksud adalah sebagai berikut:

“…Engkau (Bapa) satu-satunya Allah yang benar, dan…Yesus Kristus yang telah Engkau utus….Oleh sebab itu
ya Bapa, permuliakanlah Aku pada-Mu sendiri dengan kemuliaan yang Ku-miliki di hadiratMu sebelum dunia ada”
(Yohanes 17:3,5)

Baik pengikut Saksi Yehuwah maupun polemikus Islam, sering mengutip Yohanes 17:3 untuk membuktikan
bahwa Yesus itu tak lebih dari seorang utsuan (Rasul) dari Allah yang Esa. Bagi pengikut Saksi Yehuwah Ia
hanyalah penjelmaan Ciptaan Pertama yang sudah ada sebelum dunia dijadikan, bagi kaum Muslimin, ini bukti
bahwa Yesus adalah manusia biasa yang diutus Allah, tak lebih dari itu. Tanpa menyangkal bahwa Yesuws
memang Utusan Allah dan bahkan “Rasul ..yang kita akui” ( Ibrani 3:1), kita harus melihat ayat ini dengan
kaitannya dengan Yohanes 17:5 sebagai konteksnya. Dalam Yohanes 17:5, Yesus mengatakan bahwa Ia telah
memiliki kemuliaan di hadirat Allah sebelum dunia dijadikan. Pengakuan Yesus dalam doanya itu telah
menggugurkan tafsiran bahwa Yesus hanya sekedar manusia biasa tak lebih dari itu. Sebab manusia biasa tak
mungkin sudah ada sebelum dunia dijadikan. Namun itu belum menjawab sanggahan Saksi Yehuwah, sebab
mereka juga percaya bahwa Yesus memang sudah ada sebelum dunia dijadikan, sebagai makhluk pertama yang
membantu Allah dalam menciptakan. Faham ini tersanggah oleh Yesaya 44:24 yang mengatakan bahwa Allah
hanya seorang diri dan tanpa pendamping ketika menciptakan dunia. Juga faham ini tersanggah oleh ajaran
7
“Tauhid Rububiyah” yaitu bahwa Allah sendirian saja dalam memiliki kuasa dan menciptakan dunia. Kalau
dewmikian dimana Yesus sebelum dunia dijadikan itu dalam “hadirat” Allah itu? Yohanes 8:42, menegaskan
“….Aku KELUAR….dari Allah…” Yesus menyatakan diri “keluar dari Allah”, berarti sebelumnya Ia berada dalam
diri Allah. Tentu saja keberadaanNya di dalam Diri Allah (“hadirat”) Allah, itu bukan wujud jasadNya yang keluar
dari rahim Maryam itu, namun dalam keberadaan “ruh/ghoib” sebelum menjadi manusia. Jika Ia nberada di dalam
diri Allah, berarti Ia itu satu dalam dzat-hakekat Allah. Sebagai apa Yesus dalam keberadaan non-manusiawi itu
berada dalam diri Allah? Sebagai hypostasis yang melaluiNya Allah menciptakan dunia ini ( Ibrani 1:2-3). Padahal
Allah menciptakan dunia ini melalui “Firman” ( Yohanes 1:1-3, Kejadian 1, Mazmur 33:6), berarti Ia berada dalam
diri Allah sebagai “Firman Allah” yang melekat dan berada satu di dalam dzat-hakekat Allah yang satu itu. Dalam
arti ini Firman memang menjadi “asal-usul dari segenap ciptaan Allah” atau sebagai “awal-mula dari ciptaan Allah”
atau sebagai “permulaan (mula-asalnya) dari ciptaan Allah” m( Wahyu 3:12). Jadi Yesus bukan “permualan dari
ciptaan Allah” sebagai “ciptaan Allah yang pertama sekali” seperti yang ditafsirkan kaum Saksi Yehuwah,, namun
sebagai “permulaan asal dari segenap ciptaan Allah”, sumber asalnya darimana ciptaan Allah itu dijadikan oleh
Allah. Dengan demikian ke-Esa-an Allah tak terlanggar, seperti yang dilakukan oleh Saksi-Saksi Yehuwah, dan
ke-ilahi-an Yesus dan kesatuanNya dalam dzat-hakekat Allah sebagai “Kalimatullah” tidak disangkal, seperti yang
dilakukan baik oleh Islam maupun oleh Saksi-Saksi Yehuwah. Dan karena “Firman itu telah menjadi manusia”
(Yoh. 1:124), maka Ia telah hadir ke dunia, dan turun dari sorga (Yohanes 6:38), Dan turunNya dari sorga serta
menjelma menjadi manusia ini adalah kehendak Allah, berarti Yesus memang diutus Allah untuk turun dari sorga
ke bumi sebagai “Firman yang menjadi manusia”. Jadi memang Yesus adalah “Utusan Allah” atau “Firman yang
diutus ke bumi oleh Allah”. Dengan demikian tidak ada kontradiksi antara ke-ilahi-an Yesus sebagai Firman yang
menjelma, dengan keberadaanNya sebagai “utusan” itu. Makna utusan disini bukan hanya sekedar Rasul yang
diangkat Allah untuk menyebarkan firman Allah saja, namun Ia adalah memang Firman itu yuang diutus turun ke
bumi, tanpa meninggalkan kesatuanNya dengan Allah.

“Bapa-Ku , yang memberikan mereka kepada-Ku, lebih besar dari siapapun (berarti termasuk Yesus Kristus
sendiri)….Aku dan Bapa adalah satu…..Engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diriMu
dengan Allah” ( Yohanes 10:30-31)

“…Aku pergi kepada Bapa-Ku, sebab Bapa lebih besar dari pada Aku” (Yohanes 14:28)

Kedua ayat diatas menegaskan bahwa “Bapa” (“Allah”), lebih besar dari Yesus. Dengan demikian Yesus tidak
sama dengan Allah, maka Yesus adalah sekedar makhluk saja: entahkah itu makhluk pertama yang membantu
Allah mencipta dunia seperti ajaran Saksi Yehuwah, ataukah hanya sekedar manusia biasa yang diangkat
menjadi rasul seperti yang ditekankan oleh Islam. Pernyataan Yesus ini tidak boleh dikutip secara terpisah dari
konteksnya. Dalam Yohanes 10:29 ketika Yesus menyatakan bahwa “Bapa lebih besar dari siapapun” termasuk
diriNya itu,: ditegaskan lagi bahwa “Aku dan Bapa adalah satu”, yang reaksi orang Yahudi langsung jelas mengerti
bahwa Yesus “menyamakan diri dengan Allah”.
Jikalau dalam konteksnya Yesus jelas dimengerti sebagai menyamakan diri dengan Allah, karena pernytaaNya
akan satuNya dengan Allah itu, mengapa Ia mengatakan bahwa Bapa lebih besar dari diriNya? Jawabanya ada
dua :1) dari titik pandang kekal, dimana hypostasis Bapa memang menjadi sumber dari asal FirmanNya sendiri.
Artinya “Firman Allah” itu dikeluarkan/diperanakkan dari Allah, dan Firman itu ada karena Allah itu ada. Dalam arti
inilah Allah dapat dikatakan sebagai Kepala Kristus, karena Allah adalah sumber dan asal-usul dari keberadaan
FirmanNya sendiri: “…Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan adalah laki-laki dan
Kepala dari Kristus ialah Allah” ( I Korintus 11:3). Sebagai hypostasis yang daripadaNya Firman itu berasal sejak
kekal abadi, dengan demikian Allah adalah Kepala dari Firman ini, maka dalam makna ini saja dapat dikatakan
Bapa lebih besar dari Anak. Namun dalam dzat-hakekat keilahian, tidak ada yang lebih besar atau lebih kecil
antara Allah dan FirmanNya, antara Bapa dan Anak..Sebab Firman Allah berada dalam dzat-hakekat Allah yang
satu dan yang sama, - serta tak ada duanya -, yang berada di dalam diri Allah yang Esa itu. Maka Bapa tidak lebih
Allah dari-pada Firman. “Kepenuhan Allah” yang ada pada Bapa itu sepenuhnya bersemayam dalam Anak
(Kolose 1:19- 2:9), karena Anak berada satu dalam diri Bapa. Jadi tidak ada “Allah kedua”, tidak pula ada “Allah
Yehuwah” dan “allah” Ciptaan Pertama, atau “seorang allah” sebagai Ciptaan yang dijadikan lebih dahulu, seperti
ajaran saksi Yehuwah. Ajaran Saksi Yehuwah ini adalah ajaran berhala, dan politheisme (musyrik) pada dasarnya.
2) dari titik pandang Inkarnasi (“Firman itu telah menjadi manusia”’). Sebagai yang telah mengambil “Rupa
Hamba”, Yesus jelas lebih rendah dari Allah, jadi Allah memang lebih besar dari Yesus, dari titik pandang karya
Inkarnasi ini. Dengan demikian dalam arti ini Allah memang AllahNya Yesus:“Kata Yesus kepadanya:’…..Aku akan
pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, Allah-Ku dan Allahmu “ ( Yohanes 20:17, Wahyu 3:12). Dan dalam arti
sebagai Hamba Allah ini Ia dapat mengatakan : “Tetapi tentang hari atau saat itu tidak seorangpun tahu, malaikat-
malaikat di sorga tidak, dan Anakpun tidak, hanya Bapa saja” ( Markus `13: 32). Meskipun ini tak berarti bahwa
dalam ke-ilahi-anNya sebagai Firman Allah yang kekal Ia tak tahu kapan datangnya kiamat. Sebab jikalau Ia
mengetahui tanda-tanda akan datangtNya kiamat, dan tanda-tanda akan kedatanganNya yang kedua kali, sertra
apa yang akan terjadi menjelang kliamat dan kedatanganNya yang begitu rinci dan mendalam itu, apakah sulitnya
Ia untuk mengetahui kapan datangnya Hari itu ( Matius 24). Perkataan diatas hanya diucapkan untuk memuliakan
Sang Bapa, karena untuk tujuan itu Ia datang ke dalam dunia. Dan karena Inkarnasi Kristus akan bersifat kekal,
maka dari siri kodrat kemanusianNya ini maka di Hari Kiamat nanti:”…..Anak akan menaklukkan diri-Nya dibawah
Dia, yang telah menaklukkan segala sesuatu dibawahNya, supaya Allah menjadi semua di dalam semua” ( I Kor.
15:29). Dan semua ayat manapun dalam seluruh Alkitab yang menunjukkan seolah-olah Yesus itu berbeda dan
8
lebih rendah dari Allah, harus dilihat dari dua titik pandang ini. Entahkah dalam titik pandang kekal, sebagai
“hypostasis Firman yang diperanakkan oleh Bapa” dimana Allah itu menjadi sumber dan asal-usulNya. Ataukah
dari tiik pandang Inkarnasi, dimana sebagai yang teklah mengambil “Rupa Hamba” Ia memang makhluk Allah dan
tidak sama serta lebih rendah dari Allah. Namun dalam keberadaanNya sebagai “Firman Allah”: ( Yohanes 1:1),
“Gambar Allah” ( Kolose 1:15, Ibrani 1:3). “Rupa Allah” ( Filipi 2:5-6), “Anak Allah yang tunggal” ( Yohanes 1:18), Ia
itu “setara dengan Allah”, artimnya melekat satu di dalam diri Allah, yang memiliki dzat0hakekat keilahian yang
identik satui dan sama di dalam diri Allah itu. Jadi semua mukjizat-mukjizat Yesus itu bukan enyebab” Ia dianggap
dan diper-ilah sebagai Allah oleh orang Kristen, namun justru sebaliknya, mukjizat-mukjizat itu bukti ke-ilahi-
anNya. Para polemikus Mulsim sering mempermaslahkan bahwa jika Adam lahir tanpa Bapak-Ibu padahal Yesus
hanya lahir tanpa Ibu saja mengapa Adam tidak dianggap Tuhan? Jika Musa bebuat mukjizat dan Yesus juga
berbuat mukjizat mengapa Musa tidak dianggap Tuhan? Jika Elia naik ke siorga dan Yesus juga naik ke siorga
mengapa Elia tidak dianggap Tuhan? Dan pertanyaan lain yang senada dengan itu,. Jawabannya: 1) Jika
masalah mukijzat yang dijadikan acuan: tak satupun dari Nabi-Nabi yang disebutkan tadi dapat melakukan
mukjizat seperti Yesus: Adam lahir tanpa bapak-ibu, namun Ia tak berbuat mukjizat,. Musa dan Elia berbuat
mukjizat, namun mereka tidak bangkit dari anatara orang mati, dan tidak dilahirkan tanpa bapak-ibu, masing-
masing ini hanya melakukan mukjizat-mukjizat sebagain saja, sedangkan tak satupun yang dapat mengalahkan
mukjizat Yesus. Lahirnya secara mukjizat, pelayanannya seluruhnya bersifat mukjizat, dalam kematianNya Ia
bangkit secara mukjizat, dan naik ke sorgaNya diberi segala kuasa di sorga dan diatas bumi . Tak seorang
Nabipun yang memiliki syarat-syata mukjizat seperti ini. Ini disebabkan karena para Nabi itu memang bukan
Tuhan Karena umat Kristen mengakui Yesus sebagai Tuhan bukan disebabkan oleh “mukjizat-mukjizat “ itu.
Mukjizat-mukjizat Yesus adalah bukti keberadaan kekalNya sebagai “Firman Allah” jadi bukan –“penyebab” Ia
diangkat menjadi Tuhan..2). Dari pengakuan-pengakuan Yesus sendiri. Ia megakui sudah ada sebelum dunia
dijadikan ( Yohanes 17:5,24, 8: 56-58), Ia menyatakan sudah berada di hadirat Allah sebelum dunia dijadikan
( Yohanes 17:5), Ia menyatakan “keluar dari Allah” ( Yohanes 8:42), Ia menyatakan diri telah turun dari sorga
( Yohanes 6:38), Ia menyatakan diri bukan berasal dari dunia ini ( Yohanes 17: 15) dan masih banyak lagi. Tak
seorang Nabipun yang mengaku demikian ini. Dan pengakuan-pengakuan tadi dibuktikan oleh mukjizat-mukjizat
tadi, yang berpuncak pada mukjizat kebangkitanNya dari antara orang mati. Tak ada seorangpun bangkit dari
maut dan hidup terus, apalagi bangkit dari kekuatan kuasaNya sendiri seperti yang dilakukan Yesus (Yohanes
10:17-18).. Peristiwa-peristiwa orang yang dihidupkan dari kematian baik oleh Nabi Elia, Elisa, maupun oleh
Yesus Kristus itu hanya bersifat sementara, dan akhirnya orang itu mati lagi, jadi sama sekali tak dapat disamakan
dengan kebangkitan Yesus Kristus. Juga kasus Elia (II Raja 1:9-12) dan Henokh (Kejadian 5: 24, Ibrani 11: 5)
yang diangkat ke sorga tak dapat disamakan dengan kasus kenaikan Kristus ke sorga. Karena mereka tidak
bangkit dari kematian, namun hanya sekedar diangkat ke sorga, untuk nantinya turun lagi ke bumi agar
mengalami kematian di tangan Anti-Kristus ( Maleakhi 4:5-6, Wahyu 11: 3-12), lalu dibangkitkan oleh kuasa Allah,
naik ke sorga. Jadi prosesnya sama dengan manusia lain yang akan dibangkitkan diakhir jaman nanti, namun
berbeda dengan kenaikan Yesus ke sorga yang diangkat dalam kemuliaan, diberikan segala kuasa baik di sorga
maupun di bumi, serta yang duduk di sebelah kanan Allah. Semua “kelemahan-kelemahan” Yesus: sebagai bayi
kecil yang lemah, merasa lapar, merasa haus, bersedih, takut, berteriak “Eli,Eli Lama Sabakhtani” ketuika
disalibkan, mengalami kematian, dan segenap ciri-ciri kemanusiaan yang lain, adalah bukti bahwa Yesus benar-
benar manusia sejati. Jika Ia tidak memiliki itu semua Ia justrui bukan manusia, dan ini bertentangan dengan
ajaran Alkitab bahwa Firman itu “TELAH MENJADI MANUSIA” (Yohanes), dan bahwa :”…DALAM SEGALA HAL
IA HARUS DISAMAKAN DENGAN SAUDARA-SAUDARANYA (:Manusia)…” ( Ibrani 2:17). Data-data
“kelemahan-kelemahan” Yesus secara manusia itu adalah bukti kebenaran Alkitab yang menytakan bahwa dalam
segala hal Yesus sama dengan manusia. Dan sering data-data kemanusiaan ini yang digunakan oleh para
polemikus Islam untuk menyangkal ke-ilahi-an Yesus. Kita juga akan menyangkal ke-ilahi-an Yesus dari data
kemanusiaan itu, karena iman kita mengatakan yang manusia dalam Yesus itu tak berbaur dengan yang ilahi.
Yang Ilahi adalah inti pribadi terdalam dari manusia Yesus yang adalah “Firman Allah” ( yang meskipun sedang
nuzul sebagai manusia, pada saat yang bersamaan tetap hadir satu di dalam dzat-hakekat Allah), dan itulah yang
kita sembah, bukan makhluk manusiaNya. Kita tak menyembah makhluk namun menyembah Allah dalam
FirmanNya.. Dalam jubah “daging kemanusiaanNya” itu pandangan iman orang Kristen tidak berhenti hanya
disitu saja, namun dapat menembus jauh ke dalam, yaitu melihat Firman yang menjadi inti pribadi Yesus sebagai
Firman Allah. KemanusiaanNya adalah jubah ke-ilahi-anNya dalam nuzulNya atau turunNya serta
penampakanNya kepada manusia. Kita tidak menyembah jubahNya, namun inti pribadi yang ada di dalam jubah
itu, yaitu “Firman Allah”, namun karena jubah itu tak dapat dilepaskan dari Sang Pemakai Jubah, maka
penyembahan kita harus melalui dan melewati jubah itu untuk sampai kepada Sang Pemakai Jubah itu, yaitu
Firman Allah sendiri, karena Ia berada dalam jubah itu, dan tak dipisah dari Jubah itu, karena Jubah itu berwujud
suatu kemanusiaan yang hidup dan berakal-pikiran secara sempurna... Itulah sebabnya mukjizat-mukjizat Yesus
memang tak dapat disamakan dengan mukjizat siapapun dari antara para Nabi, maka jelas tak mungkin seorang
Kristen dapat mengakui siapapun diantara para Nabi sebagai Tuhan dikarenakan mukjizat-mukjizat mereka,
karena mereka memang bukan Allah. Sedangkan Yesus menyatakan diri sebagai Tuhan ( Yohanes 13:13), karena
Ia memang adalah Firman Allah yang adalah “Allah” (Yohanes 1:1)

Anda mungkin juga menyukai