DISUSUN OLEH:
Supervisor Pembimbing :
dr. Melda Warliani, Sp.KFR
1.7 Perencanaan.............................................................................................11
1.8 Tatalaksana..............................................................................................11
1
BAB I
STATUS PASIEN
1.1 ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. AMB
Umur : 64 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan Guru Olahraga
Alamat : Nusa Harapan Permai BTP blok D4 No.1, BTP
Status : Kawin
Tanggal Periksa : 02 April 2019
No RM : 877974
B. Keluhan Utama
Nyeri betis kanan hingga kelemahan tungkai
2
pagi-sewaktu yang dinyatakan negatif. Riwayat berat badan turun ada
yakni penurunan 3 kg dalam 1 bulan Riwayat hipertensi ada dan telah
diberikan catopril oleh puskesmas namun pasien menolak karena merasa
pusing dan membeli amlodipin sejak 1 tahun lalu , riwayat diabetes
disangkal. Riwayat kolesterol disangkal, riwayat stroke disangkal.
Riwayat Hiperurisemia ada.
3
1.2 PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum baik, compos mentis, gizi baik.
Kesadaran : GCS E4V5M6
Fungsi Luhur : normal
Fungsi Vegetatif : Inkotinensia urin dan alvi disangkal
Fungsi Sensorik : disangkal
B. Tanda Vital
Tekanan darah : 140/100 mmHg
Nadi : 96 kali/menit
Respirasi : 23 kali/menit
Suhu : 36,5o Celcius
BB : 51 kg
TB : 165 cm
IMT : 18,73 (normal)
Kepala & leher : Tidak ditemukan tanda icterus dan anemia
Thorax
Cor : Normal
Pulmo : Normal
Abdomen
Liver/Spleen : Tidak teraba pembesaran
C. Ekstremitas
4
D. Status Neuromuscular
Refleks Fisiologis :
Rf. Biceps Dextra et sinistra : +2
Rf. Triceps Dextra et sinistra : +2
Rf. Patella Dextra et sinistra : 0
Rf. Achilles Dextra et sinistra : 0
Refleks Patologis
Rf. Hoffman trommer dextra et sinistra: negatif
Rf. Babinsky dextra et sinistra : negative
Pemeriksaan Myotomes :
C5:Abduksi shoulder (m.deltoid ) : 5/5
C6 : Fleksi elbow ( m.biceps, m brachioradialis) ; 5/5
C7 :Ekstensi elbow ( m. triceps) : 5/5
C8 : Fleksi frist ( m. flexor digitorum superficialis) : 5/5
T1 : Abdusi jari tangan (m dorsalis interoseus abduction ) : 5/5
L2: Fleksi hip (m. iliopsoas) : 5/5
L3: Ekstensi knee (m. Quadriceps) : 5/5
L4: Dorso fleksi ankle (m. tibialis anterior): 2/5
L5: Ekstensi ibu jari kaki (m. ekstensor hallucis longus) : 5/5
S1: Plantar fleksi ankle (m. gastrocnemius, m. soleus) : 5/5
5
E. Barthel Index
No Kriteria Score
1 Makan 10
2 Aktivitas toilet 10
5 Mandi 10
8 Berpakaian 10
9 Mengontrol defekasi 10
10 Mengontrol berkemih 10
Total 98
Penilaian :
0-20 Ketergantungan
21-61 Ketergantungan berat (sangat tergantung)
62-90 Ketergantungan berat
91-99 Ketergantungan ringan
100 Mandiri
6
F. Resiko Jatuh (Sydney Score)
Keterangan Skor
Parameter Skrining Jawaban
Nilai
Apakah pasien datang ke rumah -
Tidak -
sakit karena jatuh?
Riwayat Jatuh Jika tidak, apakah pasien
mengalami jatuh 2 bulan terakhir Tidak - -
ini?
Apakah pasien delirium (tidak
dapat membuat keputusan, pola -
Tidak -
pikir tidak terorganisir, gangguan
daya ingat)?
Status Mental Apakah pasien disorientasi (salah
menyebutkan waktu, tempat, Tidak - -
orang)?
Apakah pasien mengalami agitasi ? -
Tidak -
(ketakutan, gelisah dan cemas)
macula?
Kebiasaan Apakah terdapat perubahan -
Tidak -
berkemih perilaku berkemih?
Mandiri (boleh menggunakan alat 0
Transfer (dari 0 0
bantu)
tempat tidur ke Memerlukan sedikit bantuan (1
- - -
kursi dan kembali orang)/dalam pengawasan
ke tempat tidur) -
Memerlukan bantuan yang nyata (2 - -
7
orang)
Tidak dapat duduk dengan -
- -
seimbang, perlu bantuan total
Mandiri (boleh menggunakan alat 0
Mobilitas 0 0
bantu)
Memerlukan dengan bantuan 1 -
- -
orang (verbal/fisik)
Imobilisasi - - -
Total Skor 2
Keterangan Skor :
0-5 = resiko rendah
6-16 = resiko sedang
17-30 = resiko tinggi
8
1.3 PEMERIKSAAN MUSCULAR
A. Range of Motion
Part of
Movement ROM Muscles MMT
body
Flexion Full/ Full (0-180°) Flexor 5/5
Extension Full /Full (0-60°) Extensor 5/5
Shoulder Abduction Full/Full (0-180°) Abductor 5/5
(D & S) Adduction Full /Full(0-45°) Adductor 5/5
External rotation Full /Full(0-70°) External Rotator 5/5
Internal rotation Full /Full (0-90°) Internal Rotator 5/5
Flexion Full/Full (0-135°) Flexor 5/5
Elbow Extension Full/Full (135-0°) Extensor 5/5
(D & S) Supination Full/Full (0-90°) Supinator 5/5
Pronation Full/Full (0-90°) Pronator 5/5
Flexion Full/Full (0-80°) Flexor 5/5
Wrist Extension Full/Full (0-70°) Extensor 5/5
(D & S) Radial Deviation Full/Full (0-20°) deviator radial 5/5
Ulnar Deviation Full/Full (0-35°) deviator ulnar 5/5
IP Full/Full (85-90°) 5/5
Flexion Flexor
MCP Full/Full (50-55°) 5/5
IP Full/Full (0-5°) 5/5
I Extension Extensor
MCP Full/Full (0°) 5/5
Abduction Full/Full (60-70°) Abductor 5/5
Adduction Full/Full (30°) Adductor 5/5
DIP Full/Full (80-90°) 5/5
Flexion PIP Full/Full (100-115°) Flexor 5/5
MCP Full/Full (85-90°) 5/5
DIP Full/Full (20°) 5/5
II
Extension PIP Full/Full (0°) Extensor 5/5
Finger MCP Full/Full (30-45°) 5/5
(D&S)
Abduction Full/Full (20-30°) Abductor 5/5
Adduction Full/Full (0°) Adductor 5/5
DIP Full/Full (80-90°) 5/5
Flexion PIP Full/Full (100-115°) Flexor 5/5
MCP Full/Full (85-90°) 5/5
DIP Full/Full (20°) 5/5
III
Extension PIP Full/Full (0°) Extensor 5/5
MCP Full/Full (30-45°) 5/5
Abduction Full/Full (20-30°) Abductor 5/5
Adduction Full/Full (0°) Adductor 5/5
IV Flexion DIP 0/ 80-90° (Pasif : Full/Full) Flexor 0/5
9
Dextra PIP 0/ 100-115°(Pasif : Full/Full) 0/5
MCP 0/ 85-90°(Pasif : Full/Full) 0/5
DIP Full/Full (20°) 5/5
Extension PIP Full/Full (0°) Extensor 5/5
MCP Full (30-45°) 5/5
Abduction Full/Full (20-30°) Abductor 5/5
Adduction Full/Full (0°) Adductor 5/5
DIP Full/Full (80-90°) 5/5
Flexion PIP Full/Full (100-115°) Flexor 5/5
MCP Full/Full (85-90°) 5/5
IV DIP Full/Full (20°) 5/5
Sinistra Extension PIP Full/Full (0°) Extensor 5/5
MCP Full/Full (30-45°) 5/5
Abduction Full/Full (20-30°) Abductor 5/5
Adduction Full/Full (0°) Adductor 5/5
DIP 0/ 80-90° 5/5
Flexion PIP 0/ 100-115° Flexor 5/5
MCP 20/ 85-90° 5/5
DIP Full/Full (20°) 5/5
V
Extension PIP Full/Full (0°) Extensor 5/5
MCP Full/Full (30-45°) 5/5
Abduction Full/Full (20-30°) Abductor 5/5
Adduction Full/Full (0°) Adductor 5/5
10
Part of
Movement ROM Muscles MMT
body
Flexion dextra Full (0-120°) Flexor 4/5
Flexion sinistra Full (0-120°) Flexor 5/5
Extension Full (0-30°) Extensor 5/5
Hip Abduction Full (0-45°) Abductor 5/5
(D&S)
Adduction Full (0-20°) Adductor 5/5
External rotation Full (0-45°) External Rotator 5/5
Internal rotation Full/Full (0-45°) Internal Rotator 5/5
Knee Flexion Full/Full (0-135°) Flexor 4/5
dextra Extension Full/Full (135-0°) Extensor 5/5
Knee Flexion Full/Full (0-135°) Flexor 5/5
sinistra Extension Full/Full (135-0°) Extensor 5/5
Plantar Flexion Full/Full (0-20°) Flexor 5/5
Ankle Dorsi Flexion 20°/Full ( pasif : 50°/50°) Extensor 3/5
dextra Inversion Full/Full (0-150°) deviator 5/5
Eversion Full/Full (0-35°) deviator 5/5
Plantar Flexion Full/Full (0-20°) Flexor 5/5
Ankle Dorsi Flexion Full/Full (0-50°) Extensor 5/5
Sinistra Inversion Full/Full (0-150°) deviator 5/5
Eversion Full/Full (0-35°) deviator 5/5
IP Full/Full (0-50°) 5/5
Toes Flexion Flexor
MTP Full/Full (0-30°) 5/5
(D&S)
Extension Full/Full (0-80°) Extensor 5/5
11
Tampak penyempitan discus CV L3-L4 dan vacuum disc pada CV L3-
L4, L4-L5 dan L5-S1
Tampak lesi yang hipointens di T1W1 dan hiperintens di T2W1 pada CV
L2-L5 sugestif inflamasi
Intensitas discus menurun pada level L2-L3, L3-L4, L4-L5 dan L5-S1
Tampak penebalan ligamentum flavum level L2-L3, L3-L4, L4-L5 dan
L5-S1. Ligamentum longitudinalis anterior, ligamentum longitudinalis
posterior dan ligamentum flavum lainnya tampak normal
Jaringan lunak paravertebral baik
MR Myelografi : Tampak stenosis canalis spinalis pada level L2-L3, L3-
L4, L4-L5 dan L5-S1
Kesan :
- Reverse spondylolisthesis CV L5 terhadap S1 grade 1 (Meyerding
Classification)
- Ekstrusio disc L2-L3, L3-L4, L4-L5 dan L5-S1 ke posterior yang
menekan thecal sac dan kedua nerve root disertai facet joint effusion
bilateral pada level tersebut
- Penyempitan discus CV L3-L4 dan vacuum disc pada CV L3-L4, L4-
L5 dan L5-S1
- Penebalan ligamentum flavum level L2-L3, L3-L4, L4-L5 dan L5-S1
- MR Myelografi : Tampak stenosis canalis spinalis pada level L2-L3,
L3-L4, L4-L5 dan L5-S1
12
b. Masalah dalam cakupan Rehabilitasi (ICF) :
1.6 DIAGNOSIS
13
1.7 PERENCANAAN
Perencanaan diagnostik : EMG-NCV (Electromyography-Nerve
Conduction Velocity)
Perencanaan terapi
- Ortesa/Protesa (OP) : Korset lumbosacral
- Fisioterapi (FT) : TENS Lumbosacral
Diatermi Lumbosacral
Electrosound Tibilais anterior dextra dan
Tibialis posterior dextra
- Terapi Okupasi (OT) : Core stability excercise
Perencanaan pengawasan : NPRS, ADL, MMT dan ROM
Perencanaan edukasi : Penjelasan kondisi pasien
Home exercise program
Goal jangka pendek : Mengurangi Nyeri
Menguatkan otot
Meningkatkan kemandirian
Goal jangka panjang : Mempertahankan stabilitas vertebra
Kemajuan mobilisasi ( pasien dapat berjalan tanpa
alat bantu )
14
1.8 TATALAKSANA
a. Tatalaksana Farmakologi
Manajemen nyeri :
Nonsteroidal anti inflammatory drugs (NSAIDs) : efektif dalam acute
and subacute low back pain1
Antidepressants dalam dosis rendah : dalam fase chronic low back
pain
Muscle Relaxants2
b. Tatalaksana Non-Farmakologi
Terapi Bedah : Spinal fusion1
Terapi Rehabilitasi
Fase akut dan subakut2
- Memberikan edukasi untuk tetap aktif dan menghindari
istirahat yang berlebih di tempat tidur
- Perawatan fisik konservatif primer yang berupa latihan,
superficial heat (low level laser therapy), dan terapi manual
- Progres harus ditinjau dalam 7-14 hari
Fase kronik1,2
- Konseling : sulit untuk mengiliminasi rasa nyeri akan tetapi
nyeri dapat dikurangi, hal ini dapat mempertahankan kuliatas
hidup dan mengurangi kecacatan, mengurangi stress, tubuh
harus tetap sehat, pekerjaan bukan hal yang harus dihindari dan
pekerjaan fisik sangat penting dan berguna dalam
pengembalian fungsi otot
- Pekerjaan dan intervensi Activity Daily Living (ADL) :
pekerjaan dapat dilanjutkan, kurangi aktivitas yang berat,
control postur tubuh, hindari jatuh
- Terapi TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation)
Lumbosacral : untuk mengurangi nyeri
Penggunaan Thoracolumbar Spinal Orthosis (TLSO)3
Kelemahan myotome : stengthening3
15
1.9 PROGNOSIS
Prognosis pada low back pain berdasarkan fase akut, sub akut dan kronik1
1. Fase akut : prognosis baik, biasanya membaik kurang dari 1
bulan
2. Fase sub-akut : prognosis baik apabila terapi berjalan dengan baik
3. Fase kronik : prognosis tergantung pada pemeriksaan penunjang
imaging dengan berdasarkan pada nerve injuri classification.
Pada kasus yang didapatkan pasien termasuk dalam fase kronik sehingga
membutuhkan pemeriksaan penunjang berupa EMG-NCV
(Electromyography-Nerve Conduction Velocity) untuk mengetahui
prognosis pasien.
1.10 RESUME
Seorang laki-laki 64 tahun datang ke poli Rehabilitasi Medik Rumah
Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo dengan keluhan nyeri betis kanan hingga
kelemahan tungkai sejak 5 tahun yang lalu. Bertambah berat sejak 1 tahun
terakhir Nyeri dirasakan seperti tertusuk – tusuk, disertai kebasa dan hilang
sensasi lainnya. Beberapa tahun lalu, nyeri bersifat hilang timbul namun sejak
1 tahun lalu nyeri menetap Nyeri deiperberat dengan adanya aktifitas dan
berdiri dan berkurang jika pasien berjongkok atau berbaring. NPRS saat
wawancara 3 namun bertambah hingga 7 jika beraktifitas. Pasien selama ini
berjalan dengan tongkat dan lebih banyak duduk. Pasien telah berobat ke
puskesmas sejak 2 tahun terakhir dan telah diberikan ibuprofen namun tidak
ada perbaikan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang,
compos mentis E4V5M6, gizi baik. Pada status neurologis didapatkan
kekuatan otot ekstremitas bawah dextra (4). Reflex fisiologis dan patologis
dalam batas normal.
16
Pada pemeriksaan motorik pasien didapatkan tidak ada keterbatasan
ROM pada sendi hip, knee, dan ankle serta interphalangeal, MMT 4/4.
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Stenosis kanalis spinalis merupakan penyakit kelainan pada tulang
belakang, yaitu penyempitan pada kanalis spinalis yang disertai penekanan
pada syaraf yang keluar pada foramen dan sering terjadi pada populasi yang
berusia lanjut dengan sindrom klinis berupa rasa sakit pada punggung bawah
hingga ekstremitas inferior4.
2.2 Epidemiologi
Pada sebuah penelitian berdasarkan populasi di Jepang ditemukan bahwa
insidensi Lumbar Spinal Stenosis ditemukan meningkat seiring dengan
18
bertambahnya usia, yakni 1.7-2.2% pada populasi yang berusia 40-49 tahun,
dan 10.3-11.2% pada populasi yang berusia 70-79 tahun. Dan dari hasul
penelitian lainnya, Lumbar Spinal Stenosis merupakan penyebab terbanyak
pasien yang berusia >65 tahun menjalani operasi tulang belakang. Di Amerika
Serikat sendiri diperkirakan 200,000 orang dewasa yang mengalami penyakit
Lumbar Spinal Stenosis dan sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Jepang
bahwa prevalensi penyakit tersebut meningkat seiring dengan bertambahnya
usia4.
2.3 Etiologi
Spondylosis degeneratif merupakan salah satu etiologi dari lumbar spinal
stenosis. Bertambahnya usia, degenerasi dan trauma dapat menyebabkan diskus
intervertebralis protrusi ke arah posterior yang akan menyebabkan
pembentukan osteofit pada bagian posterior vertebra (Uncinate spurs),
hipertrofi facet joint, kista sinovial facet joint dan hipertrofi ligamentum
flavum yang pada akhirnya dapat memyebabkan spinal stenosis5.
Spondilolisthesis juga merupakan penyebab lain dari stenosis spinalis pada
lumbal. Perubahan degeneratif pada vertebra dapat menyebabkan fraktur pars
interarticularis vertebra sehingga dapat menyebabkan listhesis pada vertebra,
umumnya padaa L4 terhadap L5 yang menyebabkan penyempitan canalis
spinalis dan pada akhirnya menjadi stenosis. Penyebab lain seperti fibrosis post
operasi, ankylosing spondylitis serta kelainan kongenital seperti achondroplasia
juga dapat menyebabkan canalis stenosis meskipun jarang5.
2.4 Patofisiologi
Penyempitan pada kanalis spinalis dapat diakibatkan oleh berbagai hal,
mulai dari degeneratif hingga trauma yang merubah struktur anatomis normal
dari vertebra maupun discus intervertebralis. Degenerasi discus intervetebralis
dapat menyebabkan protrusi hingga sekuestrasi yang dapat menyebabkan
penyempitan hingga menekan radix nervus spinalis, begitupun pada pergeseran
vertebra yang dapat diakibatkan oleh trauma menyebabkan penyempitan
19
kanalis spinalis yang pada akhirnya menekan medulla spinalis maupun radix
nervus spinalis hingga menyebabkan gejala neurologis4.
Penyebab dari gejala neurologis pada stenosis spinalis beras dari
kompresi/ penekanan dan iskemia langsung yang terjadi pada radix nervus
spinalis. Penekanan pada radix nervus spinalis dapat berasal dari kompresi
mekanik langsung maupun peningkatan tekanan intratekal yang disebabkan
oleh penyempitan dari kanalis spinalis. Inflamasi yang dapat terjadi pada
nervus spinalis yang diakibatkan oleh stenosis canalis spinalis juga
menyebabkan gejala neurologis. Gejala neurologis yang timbul dapat berupa
nyeri dan dapat merambat hingga ke ekstremitas inferior maupun kelemahan
otot sesuai pada dermatom terjadinya stenosis kanalis spinalis4.
20
dan berkurang dalam ekstensi, pasien dengan LSS mengalami eksaserbasi
gejala dengan ekstensi dan perbaikan dengan fleksi, yang berarti gejala dipicu
oleh tindakan berdiri tetapi lega ketika pasien duduk6.
2.6 Diagnosis
Kecenderungan dalam mendiagnosis LSS adalah fokus pada studi
pencitraan. Namun, telah dilaporkan bahwa sekitar 30% dari subyek tanpa
gejala kelainan tulang belakang lumbar dapat dilihat pada studi pencitraan.
Pada individu tanpa gejala, 60 tahun atau lebih, LSS terdeteksi pada MRI
dalam 21% kasus oleh Boden et al.
Dalam sebuah studi oleh Jensen et al, persentase kelainan tulang
belakang lebih dari 30% dilaporkan. Karena perbedaan antara gejala klinis
dan temuan pencitraan, ada perbedaan antara diagnosis klinis dan radiologis
dari LSS. Oleh karena itu, temuan klinis dan radiologis harus
dipertimbangkan bersama ketika mendiagnosis penyakit ini. Mengenai
riwayat pasien, faktor-faktor kunci yang tampaknya paling kuat terkait
dengan diagnosis LSS adalah usia yang lebih tinggi, nyeri hebat di
ekstremitas bawah, dan tidak adanya rasa sakit ketika duduk. Temuan fisik
yang paling kuat terkait dengan diagnosis adalah kiprah berbasis luas, tes
Romberg abnormal, nyeri paha setelah 30 detik ekstensi lumbar, dan defisit
neuromuskuler. Berjalan treadmill juga berguna untuk diagnosis: kombinasi
waktu untuk timbulnya gejala dan waktu pemulihan setelah berjalan
treadmill, atau waktu berjalan yang lebih lama selama treadmill berjalan
cenderung mengarah ke LSS. Kombinasi dari faktor-faktor diagnostik utama
ini telah diusulkan sebagai algoritma diagnostik untuk praktik klinis untuk
menilai kemungkinan LSS, untuk memandu dan memfasilitasi proses
pengambilan keputusan klinis. Setelah diagnosis LSS diduga karena riwayat
dan temuan klinis, struktur anatomi dapat dievaluasi melalui CT atau MRI,
yang, dalam meta-analisis baru-baru ini, tampaknya memiliki akurasi yang
sebanding. Mielografi harus dihindari karena sifat invasifnya dan kurangnya
akurasi superior dibandingkan CT atau MRI.
21
2.7 Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos x-ray Lumbosacral
Merupakan penilaian rutin untuk pasien dengan back pain. Dibuat dalam
posisi AP lateral dan obliq, dengan tampak gambaran kerucut
lumbosacral junction, dan spina dalam posisi fleksi dan ekstensi,
diharapkan untuk mendapat informasi ketidakstabilan segmen maupun
deformitas. Penemuan radiografi yang mengarahkan kecurigaan kepada
lumbal stenosis degeneratif adalah pada keadaan spondilolistesis
degeneratif dan skoliosis degeneratif. Untuk pasien dengan
spondilolistesis degeneratif foto polos posisi lateral dibuat dengan pasien
dalam posisi berbaring dan spina dalam keadaan fleksi dan ektensi,
bending kanan kiri, bertujuan untuk melihat pergeseran abnormal pada
segmen yang terlibat. Untuk skoliosis degenerative foto polos AP/lateral
dibuat pada plat yang panjang, pasien dalam posisi berdiri, bertujuan
untuk menentukan rentangan kurva S, dan keseimbangan antara bidang
coronal dan sagital, karena ketidakseimbangan di tiap segmen menjadi
tujuan terapi operatif7.
b. CT Scan
CT Scan sangat bagus untuk mengevaluasi tulang, khususnya di aspek
resesus lateralis. Selain itu dia bisa juga membedakan mana diskus dan
mana ligamentum flavum dari kantongan tekal (thecal sac). Memberikan
visualisasi abnormalitas facet, abnormalitas diskus lateralis yang
mengarahkan kecurigaan kita kepada lumbar stenosis, serta membedakan
stenosis sekunder akibat fraktur. Harus dilakukan potongan 3 mm dari L3
sampai sambungan L5-S1. Namun derajat stenosis sering tidak bisa
ditentukan karena tidak bisa melihat jaringan lunak secara detail7.
c. MRI
MRI adalah pemeriksaan gold standar diagnosis lumbar stenosis dan
perencanaan operasi. Kelebihannya adalah bisa mengakses jumlah
segmen yang terkena, serta mengevaluasi bila ada tumor, infeksi bila
22
dicurigai. Selain itu bisa membedakan dengan baik kondisi central
stenosis dan lateral stenosis. Bisa mendefinisikan flavopathy, penebalan
kapsuler, abnormalitas sendi facet, osteofit, herniasi diskus atau protrusi.
Ada atau tidaknya lemak epidural, dan kompresi teka dan akar saraf juga
bisa dilihat dengan baik. Potongan sagital juga menyediakan porsi spina
yang panjang untuk mencari kemungkinan tumor metastase ke spinal.
Kombinasi potongan axial dan sagital bisa mengevaluasi secara komplit
central canal dan neural foramen. Namun untuk mengevaluasi resesus
lateralis diperlukan pemeriksaan tambahan myelografi lumbar
dikombinasi dengan CT scan tanpa kontras7.
23
c. Capsular derangement and calcification
3. Sendi sakroiliaka
a. SI joint arthropathy
b. SI joint instability
4. Ligamentum flavum
5. Dura mater dan struktur arachnoid
6. fraktur insufisiensi pelvis
7. Vertebral bodies
a. Vertebral fractures
b. Spondylolysis, spondylolisthesis, and pars defects
8. Struktur muskuloligamen
a. Para-lumbar muscular conditions
b. Spinal ligament derangement
c. Instability of the lumbar structure
d. Piriformis syndrome
e. Myofascial etiology
9. Iatrogenik
a. Instrumentation
b. Lumbar surgery
II. Penyebab neurologis LBP8
1. Spinal stenosis
a. Central and foraminal spinal stenosis (degenerative)
i. Degenerative disc disease
ii. Facet hypertrophy and arthropathy
iii. Ligamentum flavum hypertrophy
iv. Vertebral fractures
v. Neoplastic
vi. Abscess formation
vii. Hematoma formation
viii. Iatrogenic because of leaked vetebro or kyphoplasty residue
b. Kongenital dan masa perkembangan
i. Incomplete vertebral arch closure
24
ii. Segmentation failure
iii. Achondroplasia
iv. Shortened pedicles
v. Spina bifida
vi. Thoracolumbar kyphosis
vii. Apical vertebral wedging
viii. Osseous exostosis
III. Penyebab extraspinal LBP8
1. Rheumatologic conditions
2. Gastrointestinal
3. Pelvic and gynaecological
4. Vascular
5. Infection
6. Neoplasms
7. Psychological
2.9 Penatalaksanaan
Berdasarkan gejala pasien seorang dokter dapat merujuk pasien
kepada ahli Rheumatologi, saraf, bedah saraf, orthopedi atau fisioterapi
untuk dilakukan terapi. Terapi yang dilakukan bisa konvensional (tanpa
bedah) atau dengan bedah. Ada beberapa peresepan/saran untuk kasus
spinal stenosis : Obat penurun bengkak, anti nyeri, membatasi aktivitas,
latihan/terapi fisik dan brace9.
Dokter akan menyarankan terapi konvensional setidaknya jika
pasien memiliki : gejala ketika berjalan, terdapat masalah pada saat miksi
atau defekasi dan masalah pada sistem saraf. Adapun pertimbangan
dilakukan bedah berdasarkan : evaluasi pengobatan konvensional,
perjalaran nyeri dan kecenderungan pasien9.
Beberapa penelitian tentang terapi non-bedah untuk lumbar spinal
stenosis (NASS,2011) :
1. Calcitonin intramuscular
2. Intravenous lipoprostaglandin
Hasil penelitian menunjukkan level IV therapeutic evidence I.V
lipoprostaglandin dapat memberikan keuntungan selama 10
hari tapi sedikit saja kesembuhan jangka panjang
3. Prostaglandin E
Memberikan kesembuhan jangka pendek
25
4. Gabapentin
Memberikan kesembuhan jangka pendek
Jika diagnosis LSS telah ditetapkan dengan hasil yang konsisten dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penilaian radiologis, pengobatan konservatif
harus diterapkan selama 3-6 bulan, dengan tujuan mencapai perbaikan gejala yang
memuaskan. Pada pasien dengan gejala berat yang bertahan dan gangguan fungsi
yang berkembang, pembedahan adalah pilihan yang disarankan, kecuali
pendekatan ini dikontraindikasikan untuk alasan lain. Dokter juga harus
mempertimbangkan bahwa beberapa pasien tidak ingin menjalani operasi,
meskipun telah memenuhi kriteria ini, sedangkan banyak lainnya memiliki
harapan yang tidak realistis tentang apa yang dapat dicapai dengan prosedur
26
bedah. semua prosedur bedah yang digunakan dalam LSS bertujuan untuk
mendekompresi elemen saraf yang terperangkap, tanpa mengganggu stabilitas
segmen. Pembedahan dekompresi seperti itu biasanya menyebabkan nyeri spontan
di kaki, dan, pada tingkat yang lebih rendah, dari LBP. Namun, kecepatan dan
luasnya pemulihan tidak dapat diprediksi, bahkan jika tekanan pada nerve roots,
dura, dan pembuluh darah cukup dieliminasi. Prosedur bedah dekompresi
termasuk laminektomi dan hemilaminektomi, hemilamino tomy, fenestrasi,
foraminotomi, dan implantasi alat interspinosus distraction10.
2.10 Prognosis
Hasil dari penelitian menunjukkan pada tahun ke empat dari stenosis
lumbaris simptomatik adalah sebesar 30% penurunan toleransi berjalan
tapi sisanya tetap meningkat atau stabil pada tahun-tahun berikutnya.
Prognosis pada pasien yang m
emulai dengan terapi medis atau fisik adalah bervariasi. penelitian
menunjukkan di antara pasien yang tanpa operasi, sekitar 50% tetap tidak
berubah, 25% membaik, dan 25% memburuk (rata-rata tindak lanjut
adalah 49 bulan, kisaran 10 hingga 103 bulan).
Beberapa studi prospektif telah menunjukkan hasil jangka panjang (4
sampai 6 tahun) yang meningkat secara signifikan pada pasien yang
dirawat dengan pembedahan dan bukan pembedahan. Dalam Maine
Lumbar Spine Study, pasien yang menjalani operasi karena perawatan awal
mereka memiliki penghilang rasa sakit kaki yang lebih baik dan status
fungsional terkait punggung yang lebih besar setelah 8-10 tahun masa
tindak lanjut. Namun, hasil jangka panjang yang menguntungkan hanya
dilaporkan oleh sekitar setengah dari pasien, terlepas dari perawatan awal
yang diberikan.
Hasil bedah jangka pendek dan menengah umumnya sangat baik.
Tingkat keberhasilan 78% hingga 88% ditemukan pada 6 minggu dan 6
bulan; tingkat ini turun menjadi 70% pada 1 tahun dan 5 tahun. Analisis
tindak lanjut 5 tahun pasien pasca-laminektomi menunjukkan hasil yang
sangat baik pada 2 tahun (67%), tetapi ini turun menjadi hanya 52% pada 5
tahun, dan 18% pasien menjalani operasi lain. Studi menunjukkan bahwa
pembedahan dapat dilakukan dengan aman dengan hasil yang memuaskan
pada banyak pasien di usia 70-an dan 80-an yang dapat menoleransi
prosedur. Kekambuhan nyeri punggung dapat terjadi setelah operasi.
Pasien awalnya mungkin mengalami peningkatan gejala dan kemudian
memburuk dari waktu ke waktu. Satu studi menemukan 27% kekambuhan
gejala setelah 5 tahun masa tindak lanjut. Stenosis ulang pada level
operasi, stenosis pada level baru, perkembangan herniated lumbar disk,
dan ketidakstabilan lanjut adalah beberapa alasan kegagalan operasi.
27
Secara umum, 75% dari kegagalan bedah ini merespons operasi lebih
lanjut (epocrates,2019)
28
DAFTAR PUSTAKA
29