F4 LP Dan Instek Appendiktomi
F4 LP Dan Instek Appendiktomi
Oleh :
Asharini Dwi Juniarti
NIM. 1501460006
Appendicitis adalah
peradangan pada usus buntu
(appendiks), atau radang pada
appendiks vermiformis yang
terjadi secara akut. Usus
buntu merupakan penonjolan
kecil yang berbentuk seperti
jari, yang terdapat di usus
besar, tepatnya di daerah
perbatasan dengan usus halus.
Usus buntu mungkin
memiliki beberapa fungsi pertahanan tubuh, tapi bukan merupakan organ yang
penting. Appendiks atau umbai cacing hingga saat ini fungsinya belum diketahui
dengan pasti, namun sering menimbulkan keluhan yang mengganggu. Appendiks
merupakan tabung panjang, sempit (sekitar 6 – 9 cm), menghasilkan lendir 1-2
ml/hari. Lendir itu secara normal dicurahkan dalam lumen dan selanjutnya
dialirkan ke sekum. Bila ada hambatan dalam pengaliran lendir tersebut maka
dapat mempermudah timbulnya appendicitis (radang pada appendiks). Di dalam
appendiks juga terdapat imunoglobulin, zat pelindung terhadap infeksi dan yang
banyak terdapat di dalamnya adalah Ig A. Selain itu pada appendiks terdapat
arteria apendikularis yang merupakan endartery. Appendicitis sering terjadi pada
usia antara 10-30 tahun.
2. Etiologi Apendisitis
Apendisitis merupakan infeksi bakteri yang disebabkan oleh obstruksi atau
penyumbatan akibat :
a. Hiperplasia dari folikel limfoid
b. Adanya fekalit (masa keras dari feses) dalam lumen appendiks
c. Tumor appendiks
d. Adanya benda asing seperti cacing askariasis
e. Erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histilitica. Menurut penelitian,
epidemiologi menunjukkan kebiasaan makan makanan rendah serat akan
mengakibatkan konstipasi yang dapat menimbulkan apendisitis. Hal tersebut
akan meningkatkan tekanan intra sekal, sehingga timbul sumbatan fungsional
appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman flora pada kolon.
3. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa appendiks
mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun
elasitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intra lumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan edema dan ulserasi mukosa. Pada saat itu terjadi apendisitis akut
fokal yang ditandai dengan nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan
akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema
bertambah dan bakteri akan menembus dinding sehingga peradangan yang timbul
meluas dan mengenai peritoneum yang dapat menimbulkan nyeri pada abdomen
kanan bawah yang disebut apendisitis supuratif akut. Apabila aliran arteri terganggu
maka akan terjadi infrak dinding appendiks yang diikuti ganggren. Stadium ini
disebut apendisitis ganggrenosa. Bila dinding appendiks rapuh maka akan terjadi
prefesional disebut appendikssitis perforasi. Bila proses berjalan lambat, omentum
dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah appendiks hingga muncul infiltrat
appendikkularis. Pada anak-anak karena omentum lebih pendek dan appendiks lebih
panjang, dinding lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang memudahkan untuk terjadi perforasi, sedangkan pada orang tua
mudah terjadi karena ada gangguan pembuluh darah.
4. Klasifikasi
Apendik dapat dibagi atas dua bagian yaitu.
a. Apendik Akut : jarang ditemui pada anak dibawah 5 tahun dan orang tua diatas
50 tahun. Apendicitis akut dapat dibagi atas tiga bagian :
1) Apendicitis acut focalik atau segmentalis Terjadi pada bagian distal yang
meradang seluruh rongga apendiks sepertiga distal berisi nanah.
2) Apendicitis acut purulenta diffusa Pembentukan nanah yang berlebihan jika
radangnya lebih hebat dan dapat terjadi mikrosis dan pembusukan yang
disebut appendicitis gangrenous. Pada appendicitis gangrenous dapat terjadi
perfulasi akibat mikrosis kedalam rongga perut dan mengakibatkan
peritonitis.
3) Apendicitis acut traumatic. Disebabkan oleh karena trauma karena
kecelakaan pada operasi didapatkan tampak lapisan eksudat dalam rongga
maupun permukaan.
b. Appendicitis kronik. Appendicitis kronik dibagi atas dua bagian antara lain :
1) Appendicitis cronik focalis Secara mikroskopis nampak fibrosis setempat
yang melingkar, sehingga dapat menyebabkan stenosis.
2) Appendicitis cronik obliterative Terjadi fibrosis yang luas sepanjang
appendiks pada jaringan sub mukosa dan sub serosa, sehingga terjadi
obliterasi (hilangnya lumen) terutama dibagian distal dengan menghilangnya
selaput lender pada bagian tersebut.
5. Gejala Klinis
Ada beberapa gejala awal yang khas yakni nyeri yang dirasakan secara samar
(nyeri tumpul) di daerah sekitar pusar. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan
kadang muntah, kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan
tanda-tanda yang khas pada appendicitis akut yaitu nyeri pd titik Mc Burney. Nyeri
perut ini akan bertambah sakit apabila terjadi pergerakan seperti batuk, bernapas
dalam, bersin, dan disentuh daerah yang sakit. Nyeri yang bertambah saat terjadi
pergerakan disebabkan karena adanya gesekan antara visera yang meradang sehingga
menimbulkan rangsangan peritonium. Selain nyeri, gejala appendicitis akut lainnya
adalah demam derajat rendah, mules, konstipasi atau diare, perut membengkak dan
ketidakmampuan mengeluarkan gas. Gejala-gejala ini biasanya memang menyertai
appendicitis akut namun kehadiran gejala-gejala ini tidak terlalu penting dalam
menambah kemungkinan appendicitis dan begitu juga ketidakhadiran gejala-gejala ini
tidak akan mengurangi kemungkinan appendicitis. Pada kasus appendicitis akut yang
klasik, gejala-gejala permulaan antara lain :
a. Rasa nyeri atau perasaan tidak enak disekitar umbilikus ( nyeri tumpul).
Beberapa jam kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dan
mungkin terdapat nyeri tekan disekitar titik Mc Burney. Rasa sakit semakin
meningkat, sehingga pada saat berjalan pun penderita akan merasakan sakit yang
mengakibatkan badan akan mengambil sikap membungkuk pada saat berjalan.
Nyeri yang dirasakan tergantung juga pada letak appendiks, apakah di rongga
panggul atau menempel di kandung kemih sehingga frekuensi kencing menjadi
meningkat. Nyeri perut juga akan dirasakan bertambah oleh penderita bila
bergerak, bernapas dalam, berjalan, batuk, dan mengejan. Nyeri saat batuk dapat
terjadi karena peningkatan tekanan intra-abdomen.
b. Muntah, mual ,dan tidak ada nafas umakan. Secara umum setiap radang yang
terjadi pada sistem saluran cerna akan menyebabkan perasaan mual sampai
muntah. Meskipun pada kasus appendicitis ini, tidak ditemukan mekanisme pasti
mengapa dapat merangsang timbulnya muntah.
c. Demam ringan ( 37,5° C – 38,5° C ) dan penderita umumnya merasa sangat
lelah. Proses peradangan yang terjadi akan menyebabkan timbulnya demam,
terutama jika kausalnya adalah bakteri. Inflamasi yang terjadi mengenai seluruh
lapisan dinding appendiks. Demam ini muncul jika radang tidak segera mendapat
pengobatan yang tepat.
d. Diare atau konstipasi. Peradangan pada appendiks dapat merangsang peningkatan
peristaltik dari usus sehingga dapat menyebabkan diare. Infeksi dari bakteri akan
dianggap sebagai benda asing oleh mukosa usus sehingga secara otomatis usus
akan berusaha mengeluarkan bakteri tersebut melalui peningkatan peristaltik.
Selain itu, appendicitis dapat juga terjadi karena adanya feses yang keras
(fekolit). Pada keadaan ini justru dapat terjadi konstipasi. Pada beberapa keadaan,
appendicitis agak sulit didiagnosis sehingga dapat menyebabkan terjadinya
komplikasi yang lebih parah.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,
sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
b. Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan
bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah
akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing
(Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan
terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg
Sign).
c. Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk
menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan
pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang
terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada
apendisitis pelvika.
d. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan untuk
mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif
sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang
meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang
kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil,
maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada
apendisitis pelvika.
8. Kriteria Diagnosis
Diagnosis apendisitis akut biasanya berdasarkan gejala klinis dan tes
laboratorium. Diagnosis ditegakkan bila memenuhi:
a. Gambaran klinis yang mengarah ke appendicitis seperti Nyeri di sekitar
umbilikus dan epigastrium disertai anoreksia (nafsu makan menurun), nausea,
dan sebagian dengan muntah. Beberapa jam kemudian nyeri berpindah ke kanan
bawah ke titik Mc Burney disertai kenaikan suhu tubuh ringan
b. Demam lebih dari 37,50C
c. Laboratorium : lekositosis yaitu lekosit > 10.000 /dl biasanya pada perforasi
terdapat pergeseran ke kiri (netrofil segmen meningkat).
d. USG yang mungkin di temukan pada pemeriksaan ini :
1) Lampiran buncit berisi cairan dengan diameter lebih dari 5 mm
2) Ketebalan dinding 3 mm atau lebih besar
3) Tidak adanya gerak peristaltik dan noncompressibility usus buntu
4) Perubahan pericaecal.
5) Massa pada appendix
e. Laporoskopi biasanya digunakan untuk menyingkirkan kelainan ovarium
sebelum dilakukan apendiktomi pada wanita muda.
f. CT scan : dilakukan jika di duga terdapat perforasi atau pembentukan abses
karena akan memberikan karakteristik yang yang tepat terhadap massa inflamasi,
luas dan lokasinya.
9. Penatalaksanaan
Terdapat dua tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi apendisitis
diantaranya :
a. Konserfatif
1) Pemenuhan cairan dan elektrolit dengan pemasangan infus.
2) Antibiotik
3) Pengisapan cairan melalui pipa nasogastrik
b. Operatif Dilakukan pembedahan pada apendiks (Apendiktomi)
1) Sebelum operasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis
seringkali masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu
dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan.
Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun
peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rectal serta pemeriksaan
darah (leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodic. Foto abdomen
dan toraks tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit
lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi
nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
Intubasi bila perlu
Antibiotik
2) Operasi apendiktomi/ laparotomy
3) Pascaoperasi Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuki mengetahui
terjadinya pendarahan di dalam, syok, hipertermia, atau gannguan
pernafasan. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi
cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien
dikatakan baik dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien di
puasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya dalam perforasi atau
peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.
Kemudian berikan minum mulai 15ml/jam selama 4-5jam lalu naikkan
30ml/ja. Keesokan harinya diberikan makanan saring, dan hari berikutnya
diberikan makanan lunak. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk
duduk tegak di tempat tidur selama 2x30 menit. Pada hari kedua pasien
dapat berdiri dan duduk diluar kamar. Hari ketujuh jaritan dapat diangkat
dan pasien diperbolehkan pulang.
c. Penatalaksanaan gawat darurat non-operasi Bila tidak ada fasilitas bedah berikan
penatalaksanaan bedah dalam peritonitis akut. Dengan demikian gejala
apendisitis akut akan mereda, dan kemungkinan terjadinya komplikasi dapat
berkurang.
10. Komplikasi
a. Komplikasi utama apendiksitis adalah perforasi apendiks, yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah 10% sampai
32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum
terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala menyangkut demam sampai 37,7
derajat celcius atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri abdomen secara
kontinyu.
b. Tromboflebitis supuratif adalah invasi/perluasan mikroorganisme patogen yang
mengikuti aliran darah disepanjang vena dan cabang-cabangnya yang bersifat
akut.
c. Abses subfrenikus merupakan pengumpulan cairan antara diafragma dan hati
atau limfa.
d. Obstruksi intestinal dalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang
disebabkan oleh sumbatan mekanik Potensial komplikasi post op. Apendesitis
dan pencegahan
e. Peritonitis Observasi terhadap adanya nyeri tekan abdomen, demam, muntah,
kekakuan abdomen, takikardia, lakukan penghisapan nasogastrik konstan,
perbaiki dehidrasi sesuai program, berikan preparat antibiotik sesuai program.
f. Abses pelvis dan lumbal Evaluasi adanya anoreksia, demam menggigil dan
diaforesis. Observasi adanya diare, yang dapat menunjukan abses pelvis, siapkan
pasien untuk pemeriksaan rektal, siapkan pasien untuk prosedur drainase
operatif.
g. Abses subfrenik (abses bawah diafragma) Kaki pasien terhadap adanya
menggigil, demam dan diaforesis, siapkan untuk pemeriksaan sinar-x, siapkan
drainasi bedah terhadap abses.
h. Illeus (paralirik dan mekanis) Kaji bising usus, lakukan intubasi dan pengisapan
nasogastrik, ganti cairan dan elektrolit dengan rute intravena sesuai program,
siapkan pembedahan bila ileus mekanis ditegakan
perangsangan baroreseptor
Stimulasi nociseptor
Tindakan pembedahan
Gangguan rasa nyaman
Nyeri
Terputusnya kontinuitas jaringan (luka)
kurang pengetahuan
Port dientere kuman
cemas
Penggunaan alat
yang tidak steril/
Penggunaan tehnik aseptik
alat-alat elektro yang tidak tepat
surgical
Resti infeksi
Resti cidera
2. Diagnosa Keperawatan
a. Sebelum operasi :
1) Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dan atau devicit
volume cairan berhubungan dengan output yang berlebihan (mual, muntah).
2) Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan.
b. Intraoperasi
1) Resti Infeksi berhubungan dengan tindakan aseptik yang tidak tepat/
kesterilan alat yang tidak dijaga.
2) Resti cidera berhubungan dengan penggunaan alat electro surgical.
c. Setelah operasi :
1) Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan.
2) Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak
adekuat (integritas kulit yang tidak utuh)
3. Intervensi Keperawatan
a. Sebelum operasi :
b. Intra operasi
Resti infeksi b.d. tindakan aseptik yang tidak tepat/ kesterilan alat yang tidak dijaga.
Tujuan: klien akan menunjukan bebas dari resiko infeksi setelah dilakukan tindakan selama
30 menit dengan kriteria:
a. Memastikan indikator steril sudah sesuai.
b. Malakukan tehnik aseptik.
c. Penutupan luka secara steril.
1. Perhatikan indikator yang ditempel pada Indikator akan berubah warna pada proses
packing instrumen sebelum membuka atau pensterilan alat. Memastikan kesterilan
menggunakan. alat.
2. Pastikan urutan dan tata cara scrubing, Menjaga keadaan aseptik dan mencegah
gawning dan glowing secara tepat. terjadinya infeksi silang pada pasien.
3. Buka packing dengan posisi steril setelah Menjaga kesterilan alat tetap terjaga.
mengenakan gaun dan sarung tangan steril.
4. Pastikan meja instrumen telah dialas Menjaga kesterilan alat.
dengan linen steril sekurang2nya dua lapis
5. Perhatikan agar alat tidak terkontaminasi Menjaga kesterilan alat.
atau tersentuh benda lain yang tidak steril,
tutup instrumen yang telah ditata dengan
linen steril.
6. Kolaborasi pemberian antibiotika yang Antibiotika sebagai anti kuman yang
sesuai. mencegah infeksi.
c. Setelah operasi
1. Kaji dan catat kualitas, lokasi, dan Sebagai data dasar dalam menentukan
durasi nyeri. intervensi penangan nyeri yang sesuai
2. Kaji dan pantau vital sign Data dasar pembanding terhadap repon
nyeri.
3. Ajarkan terhnik distraksi dan relaksasi Tehnik distraksi diharapkan dapat
mengalihkan perhatian dari
konsentrasiterhadap nyeri dan relaksasi
diharapkan dapat mengontrol nyeri.
4. Ajarkan tehnik mobilisasi efektif. Mengurangi nyeri akibat kompresi.
5. Kolaborasi pemberian analgetik Analgetik igunakan sebagai anti nyeri
maupun sedatif yang sesuai. dan sedasi digunakan untuk merelaksasi
dan meningkatkan kenyamanan klien.
Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat
(integritas kulit yang tidak utuh)
Tujuan: klien akan menunjukan pertahanan tubuh adekuat dengan kriteria:
a. Suhu tubuh normal
b. Tidak ada pus atau nanah pada luka
c. Luka kering
d. Leukosit normal
KONSEP DASAR
A. Definisi
Appendicitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam
kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan
laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat,
angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai
cacing yang terinfeksi hancur.
Appendicitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai
cacing (apendiks).
Appendicitis kronis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada
kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah
abdomen darurat (Brunner and Sudarth, 2010).
Appendicitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran
bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen
(Brunner and Sudarth, 2010).
Apendictomy adalah suatu tindakan operasi yang bertujuan untuk mengangkat
apendiks.
B. Etiologi
Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetus apendisitis, yaitu :
1. Sumbatan pada lumen apendiks merupakan faktor penyebab dari apendisitis
akut
2. Hiperplasia (pembesaran) jaringan limfoid
3. Timbuan tinja/feces yang keras (fekalit)
4. Tumor apendiks
5. Cacing ascaris
6. Benda asing dalam tubuh (biji cabai, biji jambu, dll) juga dapat menyebabkan
sumbatan.
C. Penatalaksanaan
Tidak ada penatalaksanaan appendicsitis, sampai pembedahan dapat di
lakukan. Cairan intra vena dan antibiotik diberikan intervensi bedah meliputi
pengangkatan appendics dalam 24 jam sampai 48 jam awitan manifestasi.
Pembedahan dapat dilakukan melalui insisi kecil/laparoskop. Bila operasi
dilakukan pada waktunya laju mortalitas kurang dari 0,5%. Penundaan selalu
menyebabkan ruptur organ dan akhirnya peritonitis. Pembedahan sering ditunda
namun karena dianggap sulit dibuat dan klien sering mencari bantuan medis tapi
lambat. Bila terjadi perforasi klien memerlukan antibiotik dan drainase.
Komplikasi yang dapat terjadi akibat apendisitis yang taktertangani yakni:
1. Perforasi denganpembentukan abses.
2. Peritonitis generalisata
3. Pieloflebitis dan abses hati, tapi jarang.
PERSIAPAN
A. Persiapan Lingkungan ( Ruangan dan Elektronik/Elektromedik )
1. Ruangan sudah bersih dan siap pakai
2. Meja operasi siap pakai
3. Lampu operasi siap pakai
4. Suction siap pakai
5. Meja instrumen disiapkan
6. Meja mayo disiapkan
7. Suhu ruangan diatur
8. Tempat sampah medis dan non medis
D. Persiapan Pasien
1. Persetujuan operasi (informed consent)
2. Pasien dipuasakan 6-8 jam sebelum operasi
3. Vital sign dalam batas normal
4. Marking area operasi
5. Posisi pasien supine
6. Pastikan pasien tidak memakai perhiasan ( yang berhubungan dengan
logam ) dan gigi palsu.
Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah.