Materi Pembinaan Pengamanan Ideologi Pancasila Bagi Siswa/siswi dan Santriwan/wati wilayah
Bojonegoro bagian Barat.
Pertama, aktualisasi Pancasila secara obyektif, yaitu melaksanakan Pancasila dalam setiap aspek
penyelenggaraan negara, meliputi bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif, serta dalam bidang
kehidupan kenegaraan lainnya. Seluruh kehidupan kenegaraan dan tertib hukum Indonesia didasarkan
atas filsafat negara Pancasila, asas politik kedaulatan rakyat, dan tujuan negara berdasar asas
kerohanian Pancasila.
Kedua, aktualisasi Pancasila secara subyektif, yaitu pelaksanaan Pancasila dalam setiap pribadi,
perseorangan, warganegara, dan penduduk. Aktualisasi ini sangat ditentukan oleh kesadaran, ketaatan
serta kesiapan individu untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila. Sikap dan tingkah laku
seseorang sangat menentukan terlaksananya nilai-nilai Pancasila yang sesungguhnya dalam segala
aspek kehidupan.
Pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa sekurang-kurangnya dapat dipahami dari
pemahaman yang benar terhadap cita-cita dan tujuan bangsa, kondisi masyarakat bangsa yang
majemuk dan pluralistik, wawasan kebangsaan/wawasan nusantara, dan pengamalan atau aktualisasi
nilai-nilai Pancasila, khususnya sila ketiga.
Beberapa penjelasan secara ringkas terhadap hal-hal tersebut telah pernah disampaikan dalam
berbagai kesempatan forum yang sama, sebagaimana beberapa materi yang terlampir, sehingga tidak
perlu ditulis lagi pada materi ini.
Dalam menghadapi era globalisasi, kita harus melihat dua karakteristik masyarakat Indonesia untuk
pembangunan bangsa. Pertama, kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman budaya. Kedua,
dinamika masyarakat dan keterbukaan budaya terhadap perubahan dan pembaruan. Masyarakat
majemuk Indonesia yang sedang mengalami perkembangan yang amat pesat karena dampak
pembangunan nasional maupun karena rangsangan globalisasi, memerlukan pedoman bersama
(common frame of reference) dalam menghadapi berbagai tantangan demi keutuhan dan masa depan
bangsa.
Peran Pemuda/Pelajar
Pemuda/Pelajar menduduki posisi dan peran amat penting dalam upaya memperkokoh persatuan dan
kesatuan bangsa. Oleh sebab itu proses pewarisan nilai-nilai Pancasila, baik secara vertikal maupun
horizontal, utamanya melalui proses pendidikan, amatlah penting. Dalam hal ini, pemuda, khususnya
pelajar, dapat mengambil peran sesuai dengan statusnya sebagai pelajar, dengan mempersiapkan dan
membekali diri sebaik-baiknya untuk pada waktunya nanti menerima tongkat estafeta dari generasi
tua untuk mengisi kemerdekaan bangsa di era globalisasi dan era informasi ini.
Perlu senantiasa disadari bahwa globalisasi yang dibarengi dengan kemajuan luar biasa di bidang
teknologi informasi sekarang ini, lebih-lebih di masa datang, di samping banyak membawa manfaat,
juga tidak sedikit membawa dampak negatif dalam semua aspek kehidupan, pengaruh budaya asing
masuk dengan bebasnya ke setiap kota, setiap desa, bahkan setiap ruang di rumah-rumah penduduk.
Disadari atau tidak, pengaruh kemajuan teknologi informasi itu amatlah besar dan membawa banyak
perubahan. Oleh sebab itu, memperkokoh ketahanan nasional dalam berbagai aspek kehidupan,
khususnya ketahanan ideologi, menjadi kebutuhan primer dalam menjaga integritas dan eksistensi
bangsa, dengan tetap mengindonesiakan manusia Indonesia.
Khusus untuk para kawula muda dan pelajar dapat ditambahkan, bahwa pada era sekarang ini, agar
pada masa mendatang tidak hanya menjadi penonton di negeri sendiri, setidak-tidaknya setiap pelajar
harus menguasai beberapa kemampuan dasar, yang dapat diperoleh dari bangku sekolah atau dari luar
sekolah, yang mencakup: komunikasi (khususnya penguasaan bahasa internasional, minimal bahasa
Inggris), teknologi informasi/komputer (termasuk penguasaan dunia maya atau internet) serta
manajemen (termasuk manajemen investasi). Sudah barang tentu, dengan tetap menjaga dan
mempertebal keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, sehingga dapat menjadi hamba Allah yang
shaleh sekaligus menjadi warganegara Indonesia yang Pancasilais.
Selamat Belajar!
Suprapto Estede
Dosen PPKN STIE Cendekia Bojonegoro
* Disampaikan dalam forum Pembinaan Ideologi Pancasila yang diselenggarakan oleh Badan
Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbang Linmas) Kabupaten Bojonegoro, tanggal
13 Juni 2006 di Aula SMAN 1 Kalitidu, Bojonegoro.
Pada era globalisasi, ancaman terhadap negara tidak dapat lagi diterjemahkan sebagai ancaman militer
saja. Melainkan banyak ancaman non militer di bidang idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya yang
juga perlu diperhitungkan dan menuntut kepekaan serta kewaspadaan dari semua pihak.
Kondisi itu menyebabkan sebagian masyarakat Indonesia berfikir dan bersikap sedemikian liberal.
Nuansa kebebasan yang terjadi juga mendorong berkembangnya paham radikal dan penyimpangan
terhadap keyakinan beragama maupun hadirnya budaya asing yang menggusur budaya asli Indonesia.
Pada akhirnya mendegradasi nilai Pancasila. Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara menjadi
terabaikan dan kurang bermakna dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai
luhur yang terkandung di dalamnya seperti gotong royong, musyawarah untuk mufakat, dan toleransi
dalam kemajemukan telah ditinggalkan dan banyak masyarakat menjadi lebih individualistis,
kapitalistis, dan fanatis.
Pertanyaan seputar Dimanakah Pancasila kini berada, penting dikemukakan karena sejak reformasi
1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk
disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa.
Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dibahas, dan apalagi diterapkan, baik dalam konteks
kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan.
Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi, justru di tengah denyut kehidupan bangsa
Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.
Ada sejumlah penjelasan, mengapa Pancasila seolah “lenyap” dari kehidupan kita. Pertama,situasi
dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional maupun
global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945, 66 tahun yang lalu telah
mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah pada masa
yang akan datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain:
(2) perkembangan gagasan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diimbagi dengan kewajiban
asasi manusia (KAM);
(3) lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi
kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan
terhadap “manipulasi” informasi dengan segala dampaknya.
Ketiga perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa
Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam
corak perilaku
kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut
diperlukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia
dalam menjawab
berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari
dalam maupun dari luar. Kebelum-berhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai
Pancasila tersebut menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.
Kedua, terjadinya euphoria reformasi (perasaan sangat bahagia atau gembira) sebagai
akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu
yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang
dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru,
berimplikasi pada munculnya ‘amnesia nasional’ tentang pentingnya kehadiran Pancasila
sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi
seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi
politik.
Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar
dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini. Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan
terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini
absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang
terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan masif(banyak) yang
tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak
sepaham dengan pemerintah sebagai “tidak Pancasilais” atau “anti Pancasila”. Pancasila diposisikan
sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan
untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era
reformasi, muncullah demistifikasi (penolakan mistik atau mitos) dan dekonstruksi (memahami
secara lebih mandiri, tanpa didominasi pemikiran yang sudah tertanam dalam masyarakat) Pancasila
yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya.
Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan
bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.
Untuk itu perlu kita melakukan reaktualisasi (membumikan kembali), restorasi (mengembalikan)
atau revitalisasi (proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya
kurang terberdaya) nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama
dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang.
Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional
maupun global, memerlukan solusi yang tepat, terencana dan terarah dengan menjadikan nilai-
nilai Pancasila sebagai pemandu arah menuju hari esok Indonesia yang lebih baik.
Oleh karena Pancasila tak terkait dengan sebuah era pemerintahan, termasuk Orde Lama, Orde Baru
dan orde manapun, maka Pancasila seharusnya terus menerus diaktualisasikan dan menjadi jati
diri bangsa yang akan mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan, dari waktu ke waktu.
Tanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan bangsa dalam
memasuki era globalisasi di berbagai bidang yang kian kompleks dan rumit.
Reformasi dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan arah yang tepat
manakala kita menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan berbangsa dan
bernegara yang penuh toleransi di tengah keberagaman bangsa yang majemuk ini. Reaktualisasi
Pancasila semakin menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme,
fanatisme kelompok dan kekerasan yang mengatasnamakan agama yang kembali marak
beberapa waktu terakhir ini. Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap
intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan
perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa
yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan dan
tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi
yang beradab, etis dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan
masih jauh dari kenyataan.
Krisis ini terjadi karena luluhnya kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik
sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi bersama atas dasar solidaritas
warganegara. Demokrasi kemudian hanya menjadi jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme
kelompok dan partisipasi politik atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian
terhadap hak-hak sipil warganegara serta pelecehan terhadap supremasi hukum.
Sebagai ilustrasi misalnya, kalau sila kelima Pancasila mengamanatkan terpenuhinya “keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”, bagaimana implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah
mengglobal sekarang ini?
Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan
sikap suatu Negara dalam merespon fenomena tersebut. Salah satu manifestasi globalisasi
dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan suatu Negara ke Negara lain, yang
setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke manca negara,
sedemikian rupa sehingga rakyat harus “membeli jam kerja” bangsa lain.
Implementasi sila ke-5 untuk menghadapi globalisasi dalam contoh kasus di atas adalah bagaimana
kita memperhatikan dan memperjuangkan “jam kerja” bagi rakyat Indonesia sendiri, dengan
cara meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai kebijakan dan strategi yang berorientasi
pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan usaha meningkatkan “Neraca Jam
Kerja” tersebut, kita juga harus mampu meningkatkan “nilai tambah” berbagai produk kita
agar menjadi lebih tinggi dari “biaya tambah”; dengan ungkapan lain, “value added” harus lebih
besar dari “added cost”. Hal itu dapat dicapai dengan peningkatan produktivitas, daya saing
dan lapangan kerja untuk SDM di Indonesia dengan mengembangkan serta menerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang didorong oleh kebutuhan pasar global dan domestik. Pasar
domestik nasional harus menjadi pendorong utama.
Maka dari itu, kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya para tokoh dan cendekiawan di
kampus-kampus serta di lembaga-lembaga kajian lain untuk secara serius merumuskan implementasi
nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam lima silanya dalam berbagai aspek kehidupan
bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan. Yang juga tidak kalah penting adalah
peran para penyelenggara Negara dan pemerintahan untuk secara cerdas dan konsekuen serta
konsisten menjabarkan implementasi nilai-nilai Pancasila tersebut dalam berbagai kebijakan yang
dirumuskan dan program yang dilaksanakan. Hanya dengan cara demikian sajalah, Pancasila sebagai
dasar Negara dan sebagai pandangan hidup akan dapat ‘diaktualisasikan’ lagi dalam kehidupan kita.
Memang, reaktualisasi Pancasila juga mencakup upaya yang serius dari seluruh komponen bangsa
untuk menjadikan Pancasila sebagai sebuah visi yang menuntun perjalanan bangsa di masa
datang sehingga memposisikan Pancasila menjadi solusi atas berbagai macam persoalan
bangsa. Melalui reaktualisasi Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru,
semangat baru dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat Indonesia.
Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi gerakan nasional yang terencana dengan baik sehingga
tidak menjadi slogan politik yang tidak ada implementasinya. Meskipun kita berbeda suku, agama,
adat istiadat dan afiliasi politik, kalau kita mau bekerja keras kita akan menjadi bangsa besar yang
kuat dan maju di masa yang akan datang.
Melalui gerakan nasional reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, bukan saja akan menghidupkan
kembali memori publik tentang dasar negaranya tetapi juga akan menjadi inspirasi bagi para
penyelenggara negara di tingkat pusat sampai di daerah dalam menjalankan roda pemerintahan yang
telah diamanahkan rakyat melalui proses pemilihan langsung yang demokratis. Demokratisasi
yang saat ini sedang bergulir dan proses reformasi di berbagai bidang yang sedang berlangsung
akan lebih terarah manakala nilai-nilai Pancasila diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Gerakan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, dapat dilakukan jika kesadaran masing masing individu
cukup tinggi. Untuk itulah, kita mulai dari segala hal demi terus memberadakan pancasila dari diri
kita sendiri, terhadap hal yang kecil, dan dimulai dari sekarang. Dengan demikian, keterbiasaan kita
memudahkan nilai nilai pancasila agar tetap ada dalam setiap dimensi kehidupan.
Reaktualisasi dan Revitalisasi Pancasila
SEBAGAI warga negara tentu kita tidak lupa dinamika sejarah kelahiran Pancasila sebagai ideologi
atau dasar Negara Republik Indonesia, di mana pada Jumat, 1 Juni 1945, di Pejambon, Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) yang
diketuai Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat bersama para anggota melakukan sebuah rapat besar dan
penting sebagai lanjutan rapat sebelumnya yang sudah pernah digelar.
Agenda rapat membicarakan dasar negara bagi Indonesia, sebuah negara dan bangsa yang sedang
dipersiapkan kelahirannya oleh BPUPKI. Berbagai penggalian dan usulan pemikiran, ide dan gagasan
tentang cikal bakal Pancasila dihimpun dari berberapa tokoh nasional saat itu.
Kelima sila itu disebut Pancasila. Sila artinya asas atau dasar. Atas kelima dasar tersebut bangsa
Indonesia didirikan kekal dan abadi. Urutan sila Pancasila yang diucapkan Ir Soekarno pada 1 Juni
1945 tidak persis sama seperti urutan sila Pancasila saat sekarang yang susunan silanya sudah
diurutkan mulai dari ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Tetapi hal
itu tidak perlu terlalu dipertentangkan, sebab yang terpenting makna ataupun substansi pemikiran dan
nilai-nilai yang terkandung pada sila-sila Pancasila tersebut.
Nilai-nilai Pancasila lahir dari jiwa seluruh rakyat Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara yang
mengkristal bisa diterima semua elemen masyarakat Indonesia sekaligus menjadi perekat dan pelita di
tengah bangsa yang plural dan majemuk. Pancasila dilahirkan sebagai ideologi yang menjadi sumber
dari segala sumber hukum di Indonesia dan menjadi salah satu bukti negara berdaulat, merdeka dan
bebas dari segala penjajahan. Pancasila telah digunakan sebagai instrumen perjuangan hingga saat ini
(reformasi) untuk mempererat dan mempersatukan seluruh komponen bangsa dari Sabang sampai
Merauke.
Yang jadi pertanyaan adalah, apakah pemerintah sejak masa reformasi sudah menjalankan ideologi
Pancasila secara benar? Pemerintah era reformasi masih berafiliasi dengan kapitalisme global dan
koruptif, serta melupakan sekaligus memuseumkan Pancasila.
Cita-cita mendirikan negara melalui sitem politik dan ekonomi yang bisa mewujudkan kesejahteraan
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum bisa diwujudkan.
Rakyat Indonesia mengetahui dan merasakan, pada masa reformasi sekarang Indonesia belum
sepenuhnya berdaulat. Bangsa kita belum mandiri/berdaulat dalam bidang pangan, energi,
pertambangan, perkapalan dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) masih dikuasai pihak asing.
Kita hanya mampu berafiliasi dengan kapitalisme global yang dijalankan negara-negara maju. Negara
kita belum bisa sejajar dengan negara-negara maju, misalnya Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Jerman,
Jepang, Cina dan Singapura, yang mandiri dan berdaulat dalam semua bidang. Negara Cina misalnya,
tetap mempertahankan ideologi komunis tapi mampu mandiri dalam bidang ekonomi di tengah arus
globalisasi, serta mensejajarkan dirinya dengan negara-negara maju. Sumber daya manusia warganya
dipersiapkan secara matang dengan keterampilan yang mumpuni dan mampu bersaing pada lingkup
global. Bagaimana dengan negara kita?
Merenungkan, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai (intrinsik dan instrumental) yang terkandung
di dalam Pancasila menjadi suatu keniscayaan. Karena, realitanya sudah lama Pancasila dilupakan
sehingga berimplikasi terjadinya erosi pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara
disebabkan ketidakseriusan pemerintah memahami dan menjalankan makna nilai-nilai yang
terkandung di dalam Pancasila.
Terbukti, pada setiap pengambilan kebijakan ataupun keputusan yang berpihak pada kepentingan
masyarakat sering melanggar dan menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. Tentu, masyarakatlah yang
jadi korban kebijakan/keputusan salah tersebut. Akibatnya, masyarakat putus asa, apatis, tidak
berpengharapan dan sering melakukan tindakan anarkis. Sebab, tidak ada gunanya bicara tentang
Pancasila kalau perut lapar dan terus dililit kemiskinan.
Bukti lain adalah tingginya angka pengangguran (kurang lebih 7,5 juta jiwa) akibat minim dan tidak
tersedianya lapangan kerja, putus sekolah, gelandangan dan pengemis, jatuh sakit akibat pelayanan
kesehatan yang tidak serius, serta maraknya korupsi di lembaga pemerintahan, legislatif dan yudikatif.
Pemerintah menjanjikan pengobatan gratis, tapi kenyataanya di tingkat bawah (daerah) sering
menyimpang.
Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut rakyat Indonesia merindukan sosok pemimpin (presiden
dan wakil presiden) melalui Pilpres 9 Juli 2014, yang berwibawa, serta betul-betul menjalankan
substansi nilai-nilai Pancasila dan berjuang bagi rakyat.
Terkait dengan reaktualisasi Pancasila sebagai dasar negara, memang tidak hanya tugas pemerintah,
legislatif, dan yudikatif, tetapi tugas bersama seluruh elemen masyarakat Indonesia. Namun,
pemerintah sebagai penyelenggara negara perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat, apa
sebenarnya makna hakiki Pancasila sebagai dasar negara.
Pemerintah harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa Pancasilalah satu-satunya ideologi yang ada
di negara ini. Pancasilalah ideologi yang mampu merekatkan persatuan dan kesatuan masyarakat
Indonesia yang plural dan majemuk. Segala kebijakan pemerintah haruslah berlandaskan ideologi
Pancasila dan UUD 1945. Jadikan Pancasila sebagai pelita besar dan referensi untuk kepentingan
hukum, ekonomi, sosial, politik, pertahanan keamanan dan budaya tanpa memberikan sedikit pun
ruang gerak bagi kelompok-kelompok tertentu yang ingin mengganti dan merongrong Pancasila.
Pancasila semestinya menjadi moral bersama yang mempertautkan elemen semua agama dalam
pengaturan ruang publik di Indonesia. Pancasila harus dijadikan titik temu yang mampu menjawab
tantangan lokalisasi dan arus globalisasi, sehingga perlu dipersiapkan sumber daya manusia yang siap
pakai melalui pelatihan-pelatihan keahlian dan keterampilan sejak dini. Sebab, di era globalisasi ini
dunia semakin sempit karena faktor ilmu pengetahuan, teknologi dan informatika yang kian maju dan
canggih.
Sedangkan untuk merespon perkembangan demokrasi dan globalisasi, Pancasila sebagai dasar negara
harus terbuka dan tidak kaku. Pancasila harus mampu beradaptasi dan mengakomodasi perubahan-
perubahan sepanjang zaman. Pancasila sebagai ideologi yang bukan dogmatis harus siap direvitalisasi
setiap saat sesuai kebutuhan dan perkembangan masyarakat Indonesia.
Revitalisasi dilakukan bukan untuk mengganti Pancasila sebagai ideologi negara, tapi demi pelurusan
makna nilai-nilai yang dikandungnya secara efektif dan tidak diragukan, serta bisa mengakomodasi
hal-hal yang belum diatur untuk kesejahteraan masyarakat.
Hal paling perlu direvitalisasi adalah nilai-nilai intrinsik dan instrumental, misalnya eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Sebab, di dalamya terkandung nilai nalar, nilai ilmu pengetahuan, nilai
sumber daya manusia dan kehidupan, yang pengelolaannya juga harus bernilai. Nilai-nilai yang
terkandung pada kelima sila Pancasila harus benar-benar diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pancasila seyogianya dijadikan sebagai referensi untuk tata kelola kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, karena Pancasila menjadi keniscayaan dalam pembinaan
seutuhnya karakter warga negara Indonesia.
# KAMUS BAHASA
Globalisasi merupakan fenomena yang menjadikan dunia mengecil dari segi
perhubungan manusia. Hal ini dimungkinkan karena perkembangan tekhnologi
yang sangat cepat
# CENDEKIAWAN BARAT
Globalisasi adalah satu proses kehidupan yang serba luas, tidak terbatas, dan
merangkum segala aspek kehidupan, seperti politik, sosial, dan ekonomi yang
dapat dinikmati oleh seluruh umat amnusia di dunia ini
2. Aktualisasi Pancasila
Aktualisasi sendiri mempunyai pengertian bahwa nilai nilai yang terkandung
dalam Pancasila diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Ini merupakan
salah satu cara yang ampuh untuk menghadapi arus globalisasi yang kuat yang
menyerang berbagai bidang di Indonesia.
Dengan aktualisasi Pancasila bisa untuk diterapkan dalam setiap
pengambilan keputusan.Dan perkembangan era globalisasi bukan merupakan
penghalang untuk tetap memakai pancasila sebagai dasar Negara, karena
pancasila menganut ideology terbuka yang bisa menerima perkembangna
zaman.
Sehingga dengan mengaktualisasikan Pancasila, ini bisa membangun nilai
moral bangsa kita dan masyarakat Indonesia menjadi kuat dan tidak kalah pada
era Globalisai.Dan negara kita menjadi makmur dan menjadi negara yang
terpandang Aktualisasi Pancasila juga akan membuat tercapainya tujuan
nasional,yang terdapat dalam UUD ’45 alinea ke 4.Walaupun sulit untuk
mencapainya tetapi harus terus untuk teap mengusahakannya.
3. Paradigma Baru
Dengan mengaktualisasikan Pancasila maka akan melahirkan paradigam baru
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Istilah paradigma pada
mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Thomas
Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan
bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang
menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah paradigma
makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi
pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi.
Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau
pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat
manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan
martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai
subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan
adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang
sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan
otoriter.
Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas
kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik
didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena
itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral
ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral
keadilan.Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara
dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik
yang santun dan bermoral.
Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal
yang hanyamenguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia
lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam
sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu.
Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek.
Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan
pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara
keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi
kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak
dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan.
Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah koperasi.
Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan program-program kongkrit
pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih mampu
mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah.
Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan
daerah/rakyat dalam berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis, transparan,
dan partisipatif. Dalam
Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan
memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga
atau meningkatkan kepastian hukum.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial
berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan
diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya
tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan
sosial. Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa paradigma
pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya
perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti
yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan
hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua).
(1) Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan
sosial dan komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
(2) Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap
warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan,
kedaerahan, maupun golongannya;
(3) Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad
masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai
satu bangsa yang berdaulat;
(4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan
masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui
musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya
yang mendahulukan kepentingan perorangan;
(5) Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang
membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
4. Paham Kebangsaan
Paham Kebangsaan merupakan pengertian yang mendalam tentang apa dan
bagaimana bangsa itu mewujudkan masa depannya. Dalam mewujudkan paham
tersebut belum diimbangi adanya legitimasi terhadap sistem pendidikan secara
nasional, bahkan masih terbatas muatan lokal, sehingga muatan nasional masih
diabaikan. Tidak adanya materi pelajaran Moral Pancasila atau Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) atau sertifikasi terhadap Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di setiap strata pendidikan, baik
formal, nonformal, maupun di masyarakat luas.
Paham kebangsaan kita adalah bahwa ideologi bangsa kita
adalahPancasila.Dan semua harus bersumber dan sesuai dengan pacasila.karena
dengan Pancasila akan mempersatukan kita dan membuat Bangsa kita tetap utuh
dan menjadi satu .Dengan paham ini akan membauta bangsa kita tidak ada
perpecahan satu sama lain.
Bab 3. Penutup
1. Kesimpulan
Jadi globalisasi adalah dunia yang tanpa batas.Dan merupakan sebuah momok
yang ada pada Zaman sekarang ini.Globalisasi mencakup berbagai macam
bidang kehidupan semua negara di dunia termasukIndonesia.Cara untuk
menghadapinya adalah denga aktualisasiPancasila.Ini merupakan cara yang
ampuh untuk menghadapi arus globalisasi.Dengan cara ini bangsa Indonesia
akan mencapai tujuan Nasionalnya.Pancasila juga dapat diterapkan dalam
berbagai bidang sehingga dapa tmelahirkan sebuah paradigma baru dalam
Bangsa ini yang berguna untuk kemajuan bangsa ini sendiri.Dan akan menjadi
sebuah pemahaman baru bagi bagnsa kita yang mencirikan bangsa kita dengan
negara lain
2.Saran
Diharapkan bagi para pembaca agar dapat menerapkan yang dibahas
dikehidupan sehari – hari agar menciptakan bangsa yang lebih baik lagi dan
mewujudkan cita – cita bangsa ini.Dan menjadikan bangsa indonesia menjadi
lebih baik dan kuat dalam menghadapi arus globalisasi dan mencapai tujuan
nasionalnya.