Anda di halaman 1dari 70

TUGAS RANGKUMAN FARMAKOTERAPI SYARAF DAN PSIKIATRI

Nama : Vicania Raisa Rahman


NPM : 260110170157
Shift : C-2

ALZHEIMER

A. Pengertian
Gangguan pada fungsi otak yang mempengaruhi memori, pemikiran,
orientasi, dan kemampuan intelektual lainnya yang bersifat progresif. Biasanya
gangguan ini terjadi pada orang dengan usia di atas 65 tahun. Alzheimer merupakan
kumpulan dari beberapa sindrom yang akhirnya dapat menyebabkan demensia
(Korolev, 2014).

B. Anatomi dan Fisiologi


Secara garis besar, sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat dan
sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat (SSP) terbentuk oleh otak dan medulla spinalis.
Sistem saraf disisi luar SSP disebut sistem saraf tepi (SST) (Guyton dan Hall, 2006).
Otak adalah organ vital yang terdiri dari 100-200 milyar sel aktif yang saling
berhubungan dan bertanggung jawab atas fungsi mental dan intelektual kita. Otak
terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron (Guyton dan Hall, 2006).

Secara umum, otak juga dibagi atas:


1. Otak besar
a. Kortek serebri
b. Komponen-komponen bagian dalam: basal ganglia (kaudat, putamen, & globus
palidus), hipokampus, amigdala, & septum.

2. Otak kecil

3. Batang otak : medula oblongata, pon, dan otak tengah.


 CEREBRUM
Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar yang terdiri dari sepasang
hemisfer kanan dan kiri dan tersusun dari korteks. Korteks ditandai dengan
sulkus (celah) dan girus (Ganong, 2003). Korteks serebral dilapisi oleh selaput
meninges yang tersusun dari ratusan hingga ribuan sel saraf yang saling
berdempetan. Sebagian besar pemrosesan informasi sensorik dari lima indera
terjadi di korteks serebral. Korteks Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus,
yaitu:
- Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih tinggi,
seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di hemisfer
kiri), pusat penghidu, dan emosi (Ganong, 2003).
- Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum. Lobus ini berfungsi
untuk mengatur daya ingat verbal, visual, pendengaran dan berperan dalam
pembentukan dan perkembangan emosi (Ganong, 2003).
- Lobus parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di gyrus
postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran (Ganong,
2003).
- Lobus oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi
penglihatan : menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan dari nervus
optikus dan mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf lain &
memori (Ganong, 2003).
- Lobus Limbik berfungsi untuk mengatur emosi manusia, memori emosi dan
bersama hipothalamus menimbulkan perubahan melalui pengendalian atas
susunan endokrin dan susunan otonom (Ganong, 2003).

 CEREBELLUM
Cerebellum merupakan pusat koordinasi untuk keseimbangan dan tonus
otot. Mengendalikan kontraksi otot-otot volunter secara optimal. Cerebellum
terdiri dari tiga bagian fungsional yang berbeda yang menerima dan
menyampaikan informasi ke bagian lain dari sistem saraf pusat. Bagian-bagian
dari cerebellum adalah lobus anterior, lobus medialis dan lobus fluccolonodularis
(Ganong, 2003).
 BRAINSTEM
Batang otak berada di pangkal otak. Ini mengontrol fungsi tubuh dasar
seperti detak jantung dan pernapasan. Otak kecil di dekatnya mengendalikan
keseimbangan dan postur. Bernafas dan tetap tegak adalah hal-hal yang biasanya
kita lakukan secara otomatis (Alzheimer’s Society, 2019)
 SISTEM LIMBIK
Sistem limbik ada jauh di dalam otak. Ini menghubungkan batang otak
dan belahan otak. Sistem limbik mencakup struktur dengan peran kunci dalam
ingatan (hippocampus) dan emosi (amigdala) (Alzheimer’s Society, 2019).
Bagian tubuh yang terganggu adalah lesi tanda pada Alzheimer adalah
plak neuritik dan neurofibrillary tangles (NFTs) yang terletak di area kortikal dan
struktur lobus temporal medial otak. Degenerasi neuron & sinapsis, dan atrofi
kortikal juga terjadi (DiPiro, et al., 2015).
 Plak neuritik (plak amiloid atau pikun) adalah lesi ekstra seluler yang
ditemukan di korteks serebral dan pembuluh darah serebral akibat adanya
penggumpalan protein β-amiloid (Aβ) (DiPiro, et al,. 2015).
 Neurofibrillary tangles (NFTs), filamen heliks berpasangan yang terdiri dari
protein tau hiperfosforilasi yang tidak normal, umumnya ditemukan dalam
sel-sel hipokampus dan korteks serebral (DiPiro, et al., 2015).
 Pada onset lambat alzheimer, jumlah neuron kolinergik berkurang, dan ada
kehilangan reseptor nikotinik dalam hippocampus dan korteks (DiPiro, et al.,
2015).
 Kelainan muncul pada jalur glutamat dari korteks dan struktur limbik, di
mana hilangnya neuron mengarah ke fokus pada model eksitotoksisitas,
yang akan berkontribusi pada pathol AD (DiPiro, et al., 2015).

C. Tanda dan Gejala

 Gejala kognitif:
 Gangguan memori.

 Disorientasi tempat dan waktu.

 Aphasia (kesulitan dengan kata-kata baru dalam membaca, berbicara, dan


menulis).

 Apraxia (kehilangan keterampilan yang biasanya dapat dilakukan).

 Sulit dalam melakukan pembelajaran dan sulit dalam mengingat tempat.

 Sulit memecahkan masalah


(PDSSI, 2015).

 Gejala non-kognitif.

 Agitasi (suka menghasut).

 Depresi dan perubahan emosi.

 Gangguan tidur.

 Gejala psikis (delusi, halusinasi).

 Gangguan sosial (sulit berjalan).

 Menarik diri dari sosial.


(PDSSI, 2015).

 Gejala fungsional:
 Sulit dalam mengurus diri sendiri (sulit dalam berpakaian, mandi, makan,
dll).
(PDSSI, 2015).

D. Etiologi dan Faktor Resiko


- Intoksikasi logam.
- Gangguan fungsi imun.
- Trauma.
- Kelainan neuronal (seperti kematian daerah spesifik pada jaringan otak).
(Nisa dan Rika, 2016).

E. Patofisiologi
- Amyloid Cascade Hypothesis
1. Terjadi pembentukan plak yang mengandung protein amyloid β pada otak.
2. Protein amyloid β diproduksi oleh protein induknya yaitu APP (Amyloid
Precursor Protein).
3. Protein amyloid β adalah peptida pendek dimana merupakan produk samping
proteolitik abnormal dari APP.
4. Gen yang mengkode APP adalah kromosom 21.
(Medscape, 2019).

- Neurofibrillary Tangles
1. Protein tau berfungsi dalam menstabilkan mikrotubulus di sitoskeleton sel dan
diatur oleh fosfolirasi.
2. Pada pasien AD, hiperfosforilasi protein tau terakumulasi sebagai filamen heliks
berpasangan dan akan beragregrasi menjadi massa di dalam badan sel saraf yang
dikenal sebagai neurofibrillary tangles dan sebagai neuro distrofi (Swardfager, et
al., 2012).

- Inflammatory Mediators
1. Terjadinya desposisi amyloid pada otak berhubungan dengan inflamasi lokal dan
perubahan sistem imun dimana inflamasi yang terjadi relevan dengan
neurodegenerasi.
2. Respon inflamasi berkaitan dengan pelepasan sitokin, nitric oxide, dan radikal
yang lain).
(Dipiro, et al., 2015).
- The Cholinergik Hypothesis
1. Penurunan memori dan kemampuan kognitif pada AD dikarenakan hilangnya sel
kolinergik.
2. Sehingga fungsi kolinergik perlu ditingkatkan agar gejala dapat dikurangi.

- Other Neurotransmitter Abnormallitie


Selain di sistem kolinergik, terjadi defisit di jalur neuronal lainnya, contoh:
1. Neuron serotonergik dari nukleus raphe dan sel noradrenergik dari locus ceruleus
hilang, sementara aktivitas tipe B monoamine oksidase meningkat.
2. Monoamine oksidase tipe B ditemukan terutama di otak dan trombosit, dan
berperan untuk memetabolisme dopamine.
3. Ada juga kelainan di jalur glutamate dari korteks dan struktur limbik, yaitu
hilangnya neuron mengarah ke fokus pada model eksitotoksisitas sebagai faktor
yang berkontribusi pada patologi AD.
4. Glutamat dan neurotransmiter asam amino rangsang lainnya terlibat sebagai
neurotoksin potensial pada DA.
5. Jika glutamat dibiarkan tetap di sinaps untuk waktu yang lama, ia dapat
menghancurkan sel-sel saraf (Dipiro, et al., 2015).

- Brain Vascular Disease and High Cholestrol


1. Ada hubungan sebab akibat antara penyakit kardiovaskular dan faktor resiko
AD.
2. Faktor risiko kardiovaskular yang juga merupakan faktor risiko demensia
termasuk hipertensi, peningkatan kolesterol lipoprotein densitas rendah,
kolesterol lipoprotein densitas tinggi rendah, dan, khususnya diabetes.
3. Penyakit pembuluh darah dapat mempercepat deposisi amiloid dan
meningkatkan toksisitas amiloid pada neuron.
4. Diabetes dapat meningkatkan risiko demensia melalui faktor-faktor yang
berkaitan dengan "sindrom metabolik" (dislipidemia dan hipertensi), efek
metabolit glukosa berpotensi toksik pada otak dan pembuluh darah.
5. Peningkatan kadar kolesterol dalam neuron otak dapat mengubah fungsi
membran dan menghasilkan kaskade yang mengarah ke pembentukan plak dan
AD).
(Dipiro, et al., 2015).
- Disfungsi Mitokondria
1. Disfungsi mitokondria dapat mengurangi aktivitas kompleks piruvat
dehidrogenase, alfa ketoglutarat dehidrigenasi, dan sitokrom oksidase.
2. Pada spektrum analisis terhadap otak pasien alzheimer menunjukkan bahwa
sitokrom oksidase normal, tetapi enzim sitokrom oksidase mengalami
perubahan struktur.
3. Faktor penyebab disfungsi mitokondria adalah stress oksidatif dan disfungsi
proteasom.
(Swerdlow, 2007).

F. Diagnosis Alzheimer

MMSE (Mini Mental State Examination) adalah pemeriksaan awal yang


berguna untuk mengetahui adanya disfungsi kognisi, menilai efektivitas pengobatan
dan untuk menentukan progresivitas penyakit (Kaplan dan Sadock, 2007).
Interpretasi MMSE didasarkan pada skor yang diperoleh pada saat pemeriksaan:
1. 27 – 30 : fungsi kognitif normal

2. 21 – 26 : gangguan fungsi kognitif ringan

3. 10 – 20 : gangguan fungsi kognitif sedang

4. <10 : gangguan fungsi kognitif berat

(Folstein, 1990).
(DiPiro, et al., 2013).

Pemeriksaan lanjutan diantaranya:

1. Riwayat kesehatan–dokter akan bertanya mengenai persoalan di masa lalu dan


sekarang, keadaan kesehatan keluarga, obat-obat yang dipakai, dan persoalan
dengan ingatan, pemikiran atau kelakuan yang menimbulkan kekhawatiran.

2. Pemeriksaan fisik–meliputi tes indra dan fungsi gerak tubuh, selain fungsi
jantung dan paru-paru, untuk membantu menunjukkan tidak ada penyakit lain.
3. Tes laboratorium – termasuk tes darah dan air kencing untuk menentukan
apakah ada penyakit yang mungkin menjadi penyebab gejala-gejala itu.
4. Tes neuropsikologi atau kognitif – digunakan untuk mengukur kemampuan
berfikir termasuk mengingat, memakai 10ahasa, memperhatikan, atau
memecahkan persoalan.
5. Pemotretan otak (brain imaging) – scan tertentu yang melihat struktur otak dan
digunakan untuk melihat apakah ada tumor otak atau gumpalan darah di otak
sebagai sebab dari gejala-gejala itu.
6. Pemeriksaan kejiwaan – mengidentifikasi penyakit-penyakit yang dapat diobati,
misalnya depresi, dan untuk menangani gejala-gejala kejiwaan seperti rasa
kegelisahan atau delusion (fantasi) yang dapat terjadi bersamaan dengan
demensia.
(NDO, 2019).

G. Tujuan Pengobatan
 Tujuan utama : Mengobati gejala, mempertahankan fungsi otak selama mungkin,
memperbaiki kemampuan berpikir (DiPiro et al, 2015).
 Tujuan sekunder : mengobati gejala sisa psikiatri dan gangguan perilaku (DiPiro
et al, 2015).

H. Terapi Farmakologi

Terapi untuk alzheimer ringan sampai sedang (mild to moderate) yaitu


menggunakan inhibitor kolinesterase, dan mempertahankan dosis yang diberikan.
Sedangkan terapi untuk alzheimer sedang hingga berat (moderate to severe) yaitu
menggunakan memantine dan mengontrol ke dosis yang diberikan pada pasien.
Sebagai alternatif, pertimbangkan penggunaan inhibitor memantine atau
cholinesterase saja (DiPiro, et al., 2013).

Untuk terapi kognitif digunakan:


1. Kolinesterase inhibitor

2. NMDA reseptor antagonist

(DiPiro, et al., 2013).


(DiPiro, et al., 2013).

Farmakoterapi gejala non kognitive dilakukan dengan tujuan menargetkan gejala


psikotik, perilaku yang tidak stabil atau perilaku yang mengganggu, dan depresi.

Obat yang digunakan diantaranya

1. Antipsikotik

2. Anti depresan

3. Anti konvulsan

(DiPiro, et al., 2013).


I. Terapi non farmakologi
 Menjaga kondisi di rumah.
 Hindari pekerjaan yang dapat menyebabkan frustasi.
 Ajak untuk melakukan aktivitas-aktivitas sederhana yang berpusat pada minat pasien
untuk mengurangi gejala perilaku.
 Communication Methods: Berinteraksi dengan pasien sesuai dengan dunianya dan jangan
menentang atau mengorekai pandangan pasien tentang kenyataan, gunakan kata-kata
dan visual untuk memberi ingatan lama atau baru-baru ini.
 Menjaga kesehatan secara keseluruhan (diet dan olahraga).

(DeDee, 2009).

J. Fitoterapi

1. Ginkgo biloba

Ginkgo biloba bekerja dengan meningkatan toleransi terhadap hipoksia,


menunjukkan efek anti-istemik, melindungi eritrosit dari hemolisis, serta meningkatkan
aliran darah ke otak, meningkatkan aliran darah ke otak ini dapat mencegah perkembangan
dimensia ke tingkat yang lebih serius. Diberikan dalam dosis 80-600mg/hari 2 kali sehari
Selama 12 minggu (Yang et.al., 2016).

Mekanisme ginkgo biloba adalah ekstrak terstandarisasi daun Ginkgo biloba


EGb761 dapat digunakan sebagai terapi atau dalam mencegah alzheimer dan
meningkatkan kognisi. EGb761 mempunyai zat aktif flavonoid dan terpenoid yang
bekerja sebagai antioksidan, anti-inflamasi, dan mencegah agregasi amiloid beta (Dash
SK, 2015).

Dosis ginkgo biloba untuk mengobati kerusakan memori adalah 40 mg (Rai, et al.,
1991). Sedangkan dosis untuk mengobati alzheimer adalah 240 mg (Zhang dan Xue,
2012). Dan dosis untuk mengobati demensia adalah 240 mg (Mazza, et al., 2006).

2. Salvia officinalis

Salvia officinalis bekerja dengan meningkatkan kognitif dan aktivitas otak. Apabila
aktivitas otak meningkat, maka laju perkembangan dimensia pun dapat dikendalikan.
Diberikan dalam dosis 3000 mg/hari selama 16 minggu (Loprest, 2016).

3. Huperzine A
Mekanisme huperzine A adalah alkaloid seskuiterpen alami yang berasal dari
huperzia serrata digunakan sebagai efek perlindungan syaraf. Bekerja sebagai inhibitor
asetilkolinesterase atau penghambat asetilkolinesterase yang mencegah hidrolisis
asetilkolin (Web MD, 2019).
Dosis oralnya adalah 50-200 mcg / 2 kali sehari untuk demensia vaskular, 30 mcg
/ 2 kali sehari untuk demensia presenil/pikun, dan 100 mcg / 2 kali sehari untuk daya ingat
remaja (Web MD, 2019).

4. Melissa officinalis
Melissa officinalis bekerja dengan mengurangi gejala nonkognitif seperti
antidepresan dan dapat meningkatkan performa memori serta meningkatkan ketenangan.
Diberikan dalam dosis 1,5 g/hari selama 16 minggu (Akhondzadeh et al., 2003).
Mekanisme lemon balm adalah dapat berguna dalam pencegahan dan pengobatan
penyakit Alzheimer karena kemampuannya yang dapat menghambat asetilkolinesterase
dan aktivitas antioksidan. Lemon Balm dapat meningkatkan mood untuk pasien Alzheimer
(Singhal, et al., 2012).
Dosis oralnya adalah 60 tetes ekstrak lemon balm standar per hari yang
telah digunakan selama 4 bulan. Dan dosis aromaterapi adalah lotion mengandung 10%
lemon balm dioles dan dipijat ke tangan dan lengan atas selama 1-2 menit dua kali sehari
selama 4 minggu (Web MD, 2019).
DAFTAR PUSTAKA

Adefunmilayo, E. T., Franco, B. L., Greice, M. L., Marilia, B., Damaris, S., Monica, V. S., dan Vania,
M. F. 2012. Anxiolytic and Antidepressant-Like Effects of Melissa officinalis (Lemon Balm)
Extract in Rats: Influence of Administration and Gender. Indian J Pharmacol. Vol. 44(2):
189-192.

Adelina, R. 2013. Kajian Tanaman Obat Indonesia yang Berpotensi sebagai Antidepresan. Jurnal
Kefarmasian Indonesia. Vol. 3(1): 9-1

Akhondzadeh, S., Noroozian, M., Mohammadi, M., Ohadinia, S., Jamshidi, A. H., Khani, M. 2003.
Melissa officinalis extract in the treatment of patients with mild to moderate Alzheimer’s disease:
A double blind, randomised, placebo controlled trial. J Neurol Neurosurg Psychiatry. Vol. 74(7):
863.

Alzheimer’s Society. 2019. Parts of The Brain. Available at


https://www.alzheimers.org.uk/about-dementia/symptoms-and-diagnosis/how-dementia-progress
es/parts-brain#content-start [Diakses pada12 Juni 2019]
Dash SK. 2015. Ginkgo Biloba in Alzheimer’s Disease. Austin Journal of Clinical Neurology, Vol. 2
(3) : 1028.
Dipiro, J. T., Wells, B. G., Schwinghammer, T. L., DiPiro, C. V. 2015. Pharmacotherapy Handbook.
Edisi 9. United States:McGraw-Hill Education.
DiPiro, J. T., Wells, B. G., Schwinghammer, T. L., dan DiPiro, C. V. 2013. Pharmacotheraphy
Principles & Practice, 10th Edition. New York: McGraw-Hill.
DeeDee, H. 2009. Non-pharmacological Approach to the Alzheimer’s Disease Patient. Abailable at
http://www.capcog.org/documents/Aging/Ombudsman/ContinuingEdu/NonPharmApproachAD.
pdf [Diakses pada 12 Juni 2019]
Ganong, William F, 2003. Fisiologi Saraf & Sel Otot. Dalam H. M. Djauhari Widjajakusumah: Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta: EGC. Hal.49

Guyton, A.C. and Hall, J.E., 2006. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia, PA, USA:
Elsevier Saunders.
Korolev, I, O. 2014. Alzheimer’s Disease: A Clinical and Basic Science Review. Medical Student
Research Journal, Vol. 04.
Loprest, A. 2016. Salvia (Sage): A Review of its Potential Cognitive-Enhancing and Protective Effects.
Drugs R D. Vol. 17(1): 53–64.
Mazza, M., et al. 2006. Ginkgo Biloba and Donepezil : Comparison Treatment of Alzheimer Dementia
in a Randomized Placebo Controlled Double-blind Study. European Journal of Neurology, Vol.
13 (9) : 981-985.
Medscape. 2019. Alzheimer Disease. Diakses secara online di
https://emedicine.medscape.com/article/1134817-overview#a4 [diakses tanggal 12 Juni 2019].
National Dementia Organization. 2019. Diagnosing Dementia. Diakses secara online di
https://www.dementia.org.au/files/helpsheets/Helpsheet-AboutDementia02-
Diagnosing-Dementia_indonesian.pdf (Pada 12 Juni 2019).

Nisa, K, M., dan Rika L . 2016 . Dimensia Alzheimer. Majority . Vol 5(4) : 86-90.
Rai, G.S., Shovlin, C., dan Wesnes, K.A.1991. A Double Blind, Placebo Controlled Study of Ginkgo
Biloba Extract (‘Tanakan’) in Elderly Outpatients with Mild to Moderate Memory Impairment.
Current Medical Research and Opinion, Vol. 12 (6) : 350-355.
Singhal, Anil Kumar, Vijay Naithani dan Om Prakash Bangar. 2012. Medicinal plants with a potential to
treat Alzheimer and associated symptoms. International Journal of Nutrition,Pharmacology,
Neurological Diseases. Vol.2 (2) : 84-91
Swardfager, W., Lancot, K., Rothenburg, L., Wong, A., Capell, J., Herrmann, N. 2012. A
Meta-Anaylisis of Cytokines in Alzheimer Disease. Biol Psychiat. Vol. 68 (10): 930-941
Swerdlow, R.H. 2007. Pathogenesis of Alzheimer’s Disease. Available online at
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2685260/ [di akses pada tanggal 12 Juni 2019].
Web MD. 2019. Huperizine A. Tersedia Secara Online di
https://www.webmd.com/vitamins/ai/ingredientmono-764/huperzine-a#. [Di Akses Pada
Tanggal 12 Juni 2019].
Web MD. 2019. Lemon Balm. Tersedia Secara Online di
https://www.webmd.com/vitamins/ai/ingredientmono-437/lemon-balm [Di Akses Pada Tanggal
12 Juni 2019].
Yang, G., Wang, Y., Sun, J., Zhang, K., Liu, J. 2016. Ginkgo Biloba for Mild Cognitive Impairment and
Alzheimer’s Disease: A Systematic Review and Meta-Analysis of Randomized Controlled Trials.
Curr Top Med Chem. Vol. 16(5): 520-8.

Zhang, S.J., dan Xue, Z.Y. 2012. Effect of Western Medicine Therapy Assisted by Ginkgo biloba Tablet
on Vascular Cognitive Impairment of None Dementia. Asian Pacific Journal of Tropical
Medicine, Vol. 5 : 661-664.
PARKINSON

A. Definisi
Penyakit parkinson merupakan proses degeneratif (degeneratif adalah penyakit
yang menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan atau organ tubuh) progresif yang
melibatkan neuron dopaminergik dalam substansia nigra (daerah ganglia basalis
(berperan dalam mengendalikan postur tubuh dan koordinasi gerakan motorik) yang
memproduksi dan menyimpan neurotransmitter dopamin). Gejala parkinson diantaranya
gejala motorik dan yang gejala non- motorik (Standaert, et al., 2019).
B. Anatomi dan Fisiologi

Bagian tubuh yang rusak dalam penyakit parkinson ini adalah otak bagian
tengah (Mesencephalon-Midbrain) atau pada bagian substansi nigra. Dimana pada bagian
itu mengalami penurunan produksi dopamin karena banyak neuron mati yang
menyebabkan hilangnya pigmentasi. Selain itu karena penumpukan protein
alpha-synuclein yang mengakibatkan kematian sel (Gunawan dkk, 2017).

C. Patofisiologi
Parkison disebabkan oleh degradasi neuron dopamin pada bagian subtansi nigra
pars kompakta yang merupakan bagian dari basal ganglia (bagian otak yang berhubungan
dengan motorik atau pengatur gerakan). Dan adanya lewy body pada neuron disubstansi
nigra (agregat filamen sitoplasma neuron yang tersusun dari protein presinaptik
α-synuclein) (Dipiro, et al., 2015).
Pada parkinson terjadi abnormalitas pada basal ganglia sehingga pembentukan
dopamin menurun sehingga hubungna antara sel saraf dan otot lainya juga sedikit. Pada
beberapa kasus, parkinson merupakan komplikasi yang sangat lanjut dari ensefalitis
karena virus (suatu infeksi yang menyebabkan peradangan otak). Kasus lainnya terjadi
jika penyakit degeneratif lainnya, obat-obatan atau racun memengaruhi atau menghalangi
kerja dopamin di dalam otak. Misalnya obat anti psikosa yang digunakan untuk
mengobati paranoia berat dan skizofrenia menghambat kerja dopamin pada sel saraf.
(Gunawan G, 2017)

 Jalur normal thalamocortical yaitu substansia nigra mengirim sinyal ke striatum


berupa neurotransmitter dopamine. striatum akan menyampaikan pesan ke
talamus melalui neuron yang kaya akan GABA neurotransmitter (Dipiro, 2015).
 Neuron pada substansia nigra pars kompakta (basal ganglia) berkurang sehingga
jumlah dopamine yang dihasilkan ke striatum berkurang (degenerasi jalur
nigostriatal (garis putus-putus)
 Hilangnya inhibisi GPi dengan jalur langsung dan aktivasi GPi melalui jalur tidak
langsung yang mengakibatkan penurunan aktivitas thalamus
 Aktivitas thalamus berkurang mengakibatkan aktivitas korteks motorik (pengatur
gerakan) berkurang sehingga penderita parkinson bergerak lambat (Dipiro, et al.,
2015).
 Beberapa jalur neuron transmiter
1. Jalur nigrostrial : dari substantia nigra ke basal ganglia yang
mempengaruhi fungsi gerakan.
2. Jalur mesolimbik : dari tagmental area menuju ke sistem limbik
yang mempengaruhi memori, sikap, kesadaran, proses stimulus.
3. Jalur mesocortical : dari tagmental area menuju ke frontal korteks
yang mempengaruhi kognisi, fungsi sosial, komunikasi, dan respon terhadap
stress.
4. Jalur tuberoinfendibular : dari hipotalamus ke kelenjar pituitari yang
mempengaruhi pelepasan prolaktin

D. Faktor resiko parkinson


1. Usia
Prevalensinya kira-kira 1% pada umur 65 tahun dan meningkat 4-5% pada usia 85
tahun (Silitonga, 2007)
2. Genetik
Penelitian menunjukkan adanya mutasi genetik yang berperan pada penyakit
Parkinson. Yaitu mutasi pada gen α-sinuklein pada lengan panjang kromosom 4
(PARK 1) pada pasien dengan Parkinsonism autosomal dominan. Pada pasien dengan
autosomal resesif parkinson, ditemukan delesi dan mutasi point pada gen parkin
(PARK 2) di kromosom 6. Selain itu juga ditemukan adanya disfungsi mitokondria
(Baehr and Michael, 2005)
3. Periode
Fluktuasi jumlah penderita penyakit Parkinson tiap periode mungkin berhubungan
dengan hasil pemaparan lingkungan yang episodik, misalnya proses infeksi,
industrialisasi ataupun gaya hidup (Baehr and Michael, 2005)
4. Xenobiotik
Berhubungan erat dengan paparan pestisida yang dapat menimbulkan kerusakan
mitokondria.
5. Pekerjaan
Lebih banyak pada orang dengan paparan metal yang lebih tinggi dan lama.
6. Infeksi
Paparan virus influenza intrautero diduga turut menjadi faktor predisposisi penyakit
parkinson melalui kerusakan substansia nigra. Penelitian pada hewan menunjukkan
adanya kerusakan substansia nigra oleh infeksi Nocardia astroides.
7. Diet
Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan stres oksidatif, salah satu
mekanisme kerusakan neuronal pada penyakit parkinson. Sebaliknya, kopi
merupakan neuroprotektif.
8. Ras
Angka kejadian Parkinson lebih tinggi pada orang kulit putih dibandingkan kulit
hitam.
9. Trauma kepala
Cedera kranio serebral bisa menyebabkan penyakit parkinson, meski peranannya
masih belum jelas benar.
10. Stress dan Depresi
Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat mendahului gejala motorik. Depresi
dan stres dihubungkan dengan penyakit parkinson karena pada stres dan depresi
terjadi peningkatan turnover katekolamin yang memacu stres oksidatif

E. Gejala parkinson
 Gejala motorik
o Tremor.
o Rigiditas / kekakuan (bagian pangkal hingga ujung tungkai).
o Tidak dapat menggerakan bagian tubuh.
o Bradikinesia atau akinesia.
o Instabilitas postural.
o Dysarthria (gangguan berbicara).
o Dysphagia (gangguan menelan).
o Hypophonia (suara kecil).
o Micrographia (kegagalan kemampuan menulis).
o Festinating gait (kesulitan berlari dari berjalan.
o Kesulitan bangun dari posisi duduk.
(DiPiro, et al., 2015).
 Gejala non mototik (Otonom dan Sensorik)
o Gangguan saluran urinari dan defekasi.
o Konstipasi.
o Diaforesis.
o Lelah.
o Gangguan olfaktorik (mata).
o Perubahan tekanan darah ortostatik.
o Nyeri.
o Paresthesia.
o Paroxysmal vascular flushing.
o Seborrhea.
o Disfungsi seksual.
o Sialorrhea.
(DiPiro, et al., 2015).
 Gejala non mototik (Mental)
o Depresi.
o Mood disorder.
o Halusinasi/delusi (psikosis, umumnya disebabkan obat).
o Demensia.
o Sleep disorder (kantuk di siang hari, insomnia, sleep apnea, gangguan REM).
o Konstipasi.
o Ansietas.
o Apathy.
o Bradyphrenia (berpikir lambat).
o Linglung.
(DiPiro, et al., 2015).

F. Tingkat keparahan parkinson


 Stadium 1 : gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala ringan, terdapat gejala
yang mengganggu tetapi tidak menimbulkan kecacatan, biasanya
terdapat tremor pada satu anggota gerak, gejala yang timbul dapat
dikenali orang terdekat.
 Stadium 2 : terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal, sikap/cara
berjalan terganggu.
 Stadium 3 : gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu saat
berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang.
 Stadium 4 : terdapat gejala yang berat, masih dapat berjalan hanya untuk jarak
tertentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berdiri sendiri, tremor
dapat berkurang dibandingkan stadium sebelumnya.
 Stadium 5 : stadium kakhetik, kecacatan total, tidak mampu berdiri/berjalan,
memerlukan perawatan intensif).

G. Diagnosis
1. Skor HAM-D
 Tes HAM-D merupakan skala berdasarkan klinis dengan indikasi utama untuk
mengukur keparahan dari gejala depresi.
 Tujuan dari penilaian ini adalah untuk memantau perubahan pada gejala depresi
selama terapi dan dibandingkan efikasi dari intervensi yang berbeda.
 Penilaian dilakukan oleh dokter yang telah dilatih atau profesional kesehatan
mental dengan dasar observasi selama wawancara dilakukan.
 Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penilaian: 15 – 20 menit
merupakan wawancara semi-struktur.
(Serenity Programme, 2015).
2. Skor ADL
 Tes ADL merupakan serangkaian tes yang bertujuan untuk mengukur parameter
fungsi dari fisik dan psikis seseorang terhadap beberapa aspeks eperti cara
berpakaian, cara berjalan, dan cara melakukan aktivitas-aktivitas di dalam
maupun di luar rumah. (Andersen, et al., 2004).

H. Treatment (terapi farmakologi)


1. Algoritma
(Dipiro, et al., 2015).
(Dipiro, et al., 2015).
2. Antikolinergik
 Obat antikolinergik dapat mengatasi tremor dan distonil secara efektif pada
beberapa pasien (Dipiro, et al., 2015).
 Dapat digunakan secara tunggal ataupun dikombinasikan dengan obat
antiparkinson yang lain (Dipiro, et al., 2015).
 Efek sampingnya meliputi mulut kering, penglihatan kabur, sembelit, dan
retensi urin. Reaksi yang lebih serius meliputi mudah lupa ,sedasi, depresi,
dan kecemasan (Dipiro, et al., 2015).
 Amantadin bekerja dalam terapi parkinsonisme dengan cara yaitu dapat
mempotensiasi fungsi dopaminergik dengan mempengaruhi sintesis,
pelepasan, atau reuptake dopamine. Telah dilaporkan juga memiliki efek
antagonis adenosine pada reseptor adenosin A2A, yang merupakan reseptor
yang dapat menghambat fungsi reseptor D2 (Katzung, et al., 2013).
 Efektif untuk gejala ringan terutama tremor Amantadin diduga meningkatkan
aktivitas dopaminergik serta menghambat aktivitas kolinergik di korpus
striatum (Dipiro, et al., 2015).
 Amantadine sering memberikan manfaat sederhana untuk tremor, rigiditas,
dan bradikinesia. Ini juga dapat mengurangi diskinesia (Dipiro, et al., 2015).
 Efek samping termasuk sedasi, mulut kering, halusinasi, pusing, dan
kebingungan. Livedoreticularis (bercak kulit yang menyebar di ekstremitas
atas atau bawah) adalah efek samping yang umum tetapi reversibel (Dipiro, et
al., 2015).
 Dosis harus dikurangi pada pasien dengan disfungsi ginjal (100 mg / hari
dengan klirens kreatinin 30–50 mL / menit [0,50–0,84 mL / s], 100 mg setiap
hari untuk klirens kreatinin 15–29 mL / menit [ 0,25-0,49 mL / s], dan 200 mg
setiap 7 hari untuk pembersihan kreatinin kurang dari 15 mL / menit [0,25 mL
/ s]) dan mereka yang menjalani hemodialisis (Dipiro, et al., 2015).
(Dipiro, et al., 2015).
3. Levodopa dan karbidopa
 L-dopa merupakan obat paling efektif yang tersedia sebagai prekusor dopamin
yang dapat menembus sawar otak. Digunakan ketika gejala sudah
mengganggu kehidupan sosial, pekerjaan, atau psikologis
 Mekanisme: Dalam sistem saraf pusat (SSP) dan perifer, l-dopa diubah oleh
l-amino acid decarboxylase (l-AAD) menjadi dopamin. Di perifer, carbidopa
dapat memblokir l-AAD, sehingga meningkatkan penetrasi SSP dari l-dopa
yang diberikan dan mengurangi efek buruk dopamin (misalnya, mual, aritmia
jantung, hipotensi postural, dan mimpi yang jelas) Dosis : l-dopa 300 mg hari
(dalam dosis terbagi) sering dikombinasikan dengan carbidopa (75 mg/hari)
mencapai bantuan yang memadai.
 Dosis maksimal l-dopa yang maksimal adalah 800 hingga 1000 mg / hari.
Tersedia dalam bentuk tablet carbidopa/l-dopa 25/250 mg dan 10/100 mg.
Tablet controlled-release tersedia dalam dosis 50/200 mg dan 25/100 mg.
 Komplikasi : Risiko fluktuasi motorik atau diskinesia sekitar 10% per tahun
terapi l-dopa. Namun, komplikasi motorik dapat terjadi 5 hingga 6 bulan
setelah memulai l-dopa, terutama ketika dosis berlebihan digunakan pada
awalnya.
(Dipiro, et al., 2015).
4. Monoamin Oxidase Inhibitors
 Pada dosis terapi, selegilin dan rasagilin, selektif, inhibitor MAO-B
irreversible, kemungkinan tidak memicu "reaksi keju" (hipertensi, sakit kepala)
kecuali jika dikonsumsi dengan jumlah tyramine diet yang berlebihan. Namun,
menggabungkan inhibitor MAO-B dengan meperidine dan analgesik opioid
lainnya dikontraindikasikan karena risiko kecil sindrom serotonin.
 Selegilin menghambat kerusakan dopamin dan dapat memperpanjang durasi
kerja l-dopa hingga 1 jam. Ini sering memungkinkan pengurangan dosis
l-dopa sebanyak satu setengah.
 Selegilin juga meningkatkan efek puncak l-dopa dan dapat memperburuk
diskinesia atau gejala kejiwaan yang sudah ada sebelumnya, seperti delusi.
Metabolit selegilin adalah l-metamfetamin dan l-amfetamin. Tablet
disintegrasi oral dapat memberikan respons yang lebih baik dan efek samping
yang lebih sedikit daripada formulasi konvensional.
 Rasagilin juga meningkatkan efek l-dopa dan sedikit bermanfaat sebagai
monoterapi. Inisiasi dini dapat dikaitkan dengan hasil jangka panjang yang
lebih baik. Rasagiline dapat menyediakan 1 jam waktu "on" tambahan di siang
hari. Ini dianggap sebagai agen lini pertama (seperti halnya entacapone) untuk
mengelola fluktuasi motor l-dopa. Tidak ada bukti kuat bahwa selegilin atau
rasagilin memperlambat neurodegenerasi.
(Dipiro, et al., 2015).
5. Catechol-O-Methyltransfarase Inhibitors
 Tolcapone dan entacapone digunakan bersama dengan carbidopa / l-dopa
untuk mencegah konversi perifer dari l-dopa menjadi dopamin (meningkatkan
area di bawah kurva l-dopa sekitar 35%). Dengan demikian, waktu "on"
meningkat sekitar 1 hingga 2 jam, dan persyaratan dosis l-dopa menurun.
Hindari penggunaan inhibitor MAO nonselektif bersamaan untuk mencegah
penghambatan jalur untuk metabolisme katekolamin normal.
 Penghambatan COMT lebih efektif daripada carbidopa / l-dopa yang terlepas
secara terkontrol dalam memberikan perluasan efek yang konsisten.
 Penggunaan Tolcapone dibatasi oleh potensi toksisitas hati yang fatal.
Diperlukan pemantauan ketat terhadap fungsi hati. Cadangan tolcapone untuk
pasien dengan fluktuasi yang tidak responsif terhadap terapi lain.
 Karena entacapone memiliki waktu paruh yang lebih pendek, 200 mg
diberikan dengan masing-masing dosis carbidopa / l-dopa hingga delapan kali
sehari. Efek samping dopaminergik dapat terjadi dan dikelola dengan
mengurangi dosis carbidopa / l-dopa. Perubahan warna urine oranye
kecoklatan dapat terjadi (seperti pada tolcapone), tetapi tidak dilaporkan
adanya hepatotoksisitas entacapone.
(Dipiro, et al., 2015).
6. Agonis Dopamin
 Efek samping umum: Mual, Kebingungan, halusinasi, Sedasi, vivid dream,
edema dn pusing.
 Pramipexole dimulai dengan dosis 0,125 mg tiga kali sehari dan meningkat
setiap 5 sampai 7 hari. Dieksresi melalui ginjal dan pada dosis awal
disesuaikan dengan insufiensi ginjal.
 Rotigotine (transdermal) diadministrasikan sehari sekali dimulai 2 mg/hari
dan meningkat sebesar 2 mg setiap minggu.
 Ropinirol dimulai dengan dosis 0,25 mg tiga kali sehari dan meningkat 0,25
tiga kali sehari setiap minggu sampai maksimal 24 mg / hari. Dimetabolisme
oleh sitokrom P450 1A2.
 Apomorphine dengan diinjeksikan. Umumnya dosis 0,06 mg/kg dengan waktu
mencapai respon 20 menit. Sebelum diinjeksikan, harus premedikasi dengan
trimetholbenzamide antiemetik. Kontraindikasi dengan bloker serotonin 3
reseptor.
(Dipiro, et al., 2015).

I. Terapi Non Farmakologi


o Olahraga
o Diet
o Terapi fisik
o Terapi wicara
o Suplemen gizi
(Rabin, 2006).

J. Fitoterapi
a. Teh hijau (camelia sinensis)
dikarenakan adanya komponen utama yang disebut katekin yang berfungsi sebagai
zat antioksidan. terjadinya parkinson. Antioksidan dipercaya mampu mencegah
perkembangan penyakit parkinson karena antioksidan mampu mencegah stress
oksidatif berlebihan yang biasa dialami oleh penderita parkinson. •Dengan meminum
teh hijau secara rutin maka kandungan antioksidan didalamnya akan membantu
meringankan bahkan mencegah perkembangan gejala-gejala pada penderita parkinson
•Konsumsi sebanyak 3 kali sehari. (John et,.al, 2008).
b. Kopi Arabika (Coffea arabica)
Menurut penelitian ditunjukan bhawa kafei pada kopi dapatdigunakan untuk
memperbaiki kondisi penderita parkinson •Bekerja dengan cara mengurangi tremor
dan mengatasi kekakuan otot serta mampu menghambat sinyal sinyal yang merusak
di otak. (Baum, 2012).
c. Ginko biloba
Berdasarkan penelitian mengenai ekstrak gingko biloba dimana pada penlitian
tersebut ekstrak menunjukan kerja pada sistem saraf dan penyembuhan terhadap
kerusakan dopamin neuron otak tengah dan pada kerusakan sistem gerak tubuh.
Selain itu merupakan antioksidan yang secara susbtansial meningkatkan kewaspadaan
dan meningkatkan memori otak. Dan menigkatkan sirkulasi darah pada otak.
Dikonsumsi 1 x sehari 1 (NINN, 2012).
d. Kunyit
Curcumin merupakan polifenol hidrofobik yang bersal dari rimpang tanaman kunyit
memiliki aktibitas farmakologi yang luas yang dimanfaatkan dalam penyembuhan
penyakit diantaranya aktivitas antioksidan, anti kanker dan anti parkinson •Curcumin
pada tanaman kunyit dapat membantu melawan penyakit parkinson dengan
mengurangi protein pemicu penyakit parkinson •Dikonsumsi 400-600mg 3 kali sehari.
(Arwansyah,.et.al, 2014).

K. Monitoring
o Tentukan obat, waktu pemberian obat, hubungankan dengan makanan, dan saat
dosis terakhir. Ajarkan pada pasien bahwa carbidopa / L-dopa diserap terbaik pada
perut kosong.
o Menilai kesan umum pasien dari fungsi motorik dan mengatasi setiap masalah
spesifik yang mungkin dimiliki pasien.
o Menanyakan secara khusus tentang dosis ke efek obat, penggunaan obat , respon
yang tidak memadai untuk dosis tunggal obat-obatan, kekakuan, gerakan yang
tidak normal secara paksa, kram atau kejang, halusinasi (khususnya halusinasi
visual), dan mual, muntah, atau pusing. Menawarkan saran untuk membantu
meringankan efek tersebut.
o Menanyakan tentang gejala-gejala sebelumnya pada keluarga, dan mengatasi
masalah apapun yang mungkin perlu perhatian khusus seperti gangguan tidur,
depresi, ciri-ciri psikotik, dan diskinesia (gerakan yang tidak normal) yang mungkin
tidak disadari bagi pasien.
o Amati pasien dan menentukan apakah ada gerakan diskinesia dan pasien tidak
menyadarinya dan rekomendasikan intervensi yang tepat.
o Pastikan bahwa pasien dan / atau keluarga memahami regimen obat yang
direkomendasikan.
(Dipiro, et al., 2015).
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I. K., Andrajati, R., Setiadi, A. P., Sigit, J. I., Sukandar, E. Y. 2008. ISO
Farmakoterapi. Jakarta : PT. ISFI Penerbitan
Andersen, Christian K. 2004. Ability To Perform ADL Is The Main Factor Affecting Quality Of
Life In Patients With Dementia. Available online at
https://hqlo.biomedcentral.com/articles/10.1186/1477-7525-2-52 [Diakses 31 Mei 2019].
Arwansyah,et.l, 2014. simulasi docking senyawa Curcumin dan analoginya sebagai inhibitor
reseptor androgen pada kanker prostat. Bogor : IPB
Baehr, M. F., Michael. 2005. Duu’s Topical Diagnosis in Neurology 4th ed. United States of
America: Thieme
Baum,C.,Robert.,et.al. 2012. The montreal Cognitive Assesment (MoCA). Diakses pada 12
Mei 2019 Available at
http://strokengine.ca/asses/module_moca_Indepth-en.html#section2 [Diakses 31 Mei
2019].
Dipiro.JT., et al., 2015. Pharmacoterapy Handbook 8th edition. New York : Mc Graw Hill
Gunawan, G., Mochamad, D., Shahdevi, N.K.2017. Parkinson and Stem Cell Therapy. MNJ. Vol
3(1):39-46.
John C, Morgan,M.D. 2008. Parkinson Disease and all movement disorder. Medical Collage of
Georgia 63(6)
Katzung, B.G., Masters, S. B., dan Trevor, A. J. 2013. Basic & Clinical Pharmacology 12th
Edition. United States : McGraw-Hill Companies, Inc.
NINN. 2012. Parkinsosn Disease and observation of gingkobiloba ekstract. National Insitute of
neurology and Neurosurgery
Rabin, Sara. 2006. Nonpharmacologic Treatment of Parkinson’s Disease.
http://movementdisorderscenter.org/files/2013/06/6
Nonpharmacologic-Treatment-of-PD-2-CORRECTEDD.pdf. [diakses tanggal 31 Mei
2019]
Setiabudi, Rianto. 2012. Pengajar Antimikroba. Dalam: Ganiswarna, Sulistia G, editor.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Serenity programme. 2015. Hamilton Depression Rating Scale. Tersedia online di
www.serene.me.uk. [diakses tanggal 31 Mei 2019]
Silitonga, R. 2007. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kualitas Hidup Penderita Penyakit
Parkinson Di Poliklinik Saraf Rs Dr Kariadi. Semarang: Universitas Diponegoro

Standaert, D. G., Marie, H. S., Cathi, A. T., Joan, dan Ross, C. 2019. Parkinson’s Disease.
Diakses secara online di apdaparkinson.org (Pada 31 Mei 2019).
SKIZOFRENIA

A. Definisi
Skizofrenia merupakan penyakit gangguan mental yang parah dan kronis sehingga
dapat mempengaruhi cara seseorang dalam berpikir, bertingkah laku, maupun berperasaan
(merasakan terhadap suatu hal). Pasien yang menderita skizofrenia mengalami kehilangan
kontak dengan kenyataan yang ada dan gejalanya dapat sampai membuat pasien mengalami
kelumpuhan (The National Institute of Mental Health Information Resource Center, 2016).

B. Anatomi Fisiologi
Pada kondisi normal, kondisi otak dapat dilihat pada gambar berikut:

Terdapat 4 jalur dopamine pada otak


1. Jalur nigrostriatal : dari substantia nigra ke basal ganglia. Mempunyai fungsi dalam gerak
motorik.
2. Jalur mesolimbik : dari tegmental area menuju ke sistem limbik. Mempunyai fungsi
dalam memori, sikap, kesadaran, proses stimulus.
3. Jalur mesocortical : dari tegmental area menuju ke frontal cortex. Mempunyai fungsi
dalam kognisi, fungsi sosial, komunikasi, respons terhadap stress.
4. Jalur tuberoinfendibular : dari hipotalamus ke kelenjar pituitari. Mempunyai fungsi dalam
pelepasan prolactin.
(Baehr, 2005).
Pada pasien penderita skizofrenia, terdapat perubahan struktur otak seperti pada gambar
berikut:

(DeLisi, et al, 2006).


Penderita mengalami: pengurangan volume seluruh otak (materi abu - abu dan materi putih);
penurunan volume lobus frontal dan temporal kanan kiri; peningkatan volume ventrikel
lateral (Medscape, 2019).

C. Patofisiologi
Pada penderita schizophrenia beberapa kondisi anomali pada anatomi tubuhnya,
seperti ventrikel agak lebih besar dari normal; penurunan volume otak di daerah temporal
medial; dan ada perubahan pada daerah hipokampus. Terdapat pula kelainan anatomi dalam
jaringan neokortikal dan daerah limbik serta saluran substansi putih, dimana 2 jaringan
saluran substansi putih pada penderita schizophrenia berkurang. Penderita juga mengalami
penurunan volume lobus prefrontal dan temporal kiri dan kanan (Medscape, 2019).
Penderita juga mengalami anomali pada sistem neurotransmitter, lalu mengakibatkan
terjadinya beberapa gejala dan dampak, diantaranya:
1. Gejala positif
Akibat dari gangguan fungsi neurotransmiter, utamanya pada produksi dopamin yang
berlebih atau terhambatnya proses reuptake dopamin (aktivitas hiperdopaminergik).
Dopamin berperan dalam kognitif, mood, perhatian dan proses belajar. Sehingga dapat
menyebabkan gangguan pada pola pikir, pergerakan, delusi, halusinasi dan paranoid
(American Psychiatric Association, 2000).
2. Gejala Negatif
Dapat terjadi karena kurangnya aktivitas dopamin (hipodopaminergik). Tetapi juga
dapat disebabkan oleh gangguan neurotransmitter gamma aminobutyric acid (GABA),
serotonin dan asetilkolin. Dimana GABA adalah inhibitor neurotransmitter utama pada
sistem saraf dan berperan dalam produksi endorfin. Pada kondisi normal GABA
memberikan efek relaksasi, tetapi dalam keadaan abnormal pada produksi atau
distribusinya dapat menyebabkan gejala negatif yaitu berkurangnya fungsi emosi,
berkurangnya kemampuan berbicara, hilangnya minat / ketertarikan (American
Psychiatric Association, 2000).
3. Glutamatergik dsyfunction
“glutamate excito-toxicity” dimana kadar glutamat berlebihan dapat menyebabkan
degenerasi dan disfungsi neuronal (Anurogo et al, 2014). Selain itu, defisiensi glutamat
juga dapat memproduksi gejala yang mirip dengan hiperaktifitas dopaminergic (Dipiro et
al, 2015).
4. Serotonin Abnormalities
Penurunan aktivitas serotonin berkaitan dengan peningkatan aktivitas dopamin.
Kekurangan serotonin akan menyebabkan berbagai gejala perilaku.Pasien skizofrenia
yang mempunyai scan otak abnormal, mempunyai konsentrasi 5-HT yang tinggi pada
darah yang menyebabkan meningkatnya ukuran pembuluh darah (Dipiro et al, 2015).
Penderita skizofrenia juga akan mengalami penurunan kekebalan tubuh. Pasien
skizofrenia mengalami peningkatan kadar sitokin proinflamasi yang mengaktifkan jalur
kynurenine, dimana tryptophan dimetabolisme menjadi asam kynurenic dan quinolinic;
asam-asam ini mengatur aktivitas reseptor NMDA dan mungkin juga terlibat dalam
regulasi dopamin. Resistensi insulin dan gangguan metabolisme, yang umum terjadi pada
pasien skizofrenia, berkaitan dengan peradangan. Dengan demikian, peradangan
berkaitan dengan psikopatologi skizofrenia dan gangguan metabolisme yang terlihat pada
pasien dengan skizofrenia (Medscape, 2019).
D. Gejala
Terdapat beberapa jenis gejala pada penderita skizofrenia, diataranya:
1. Gejala Episodik Akut
 Out of Touch (Tidak berhubungan dengan dunia luar).
 Halusinasi.
 Delusi (Memegang keyakinan yang salah).
 Tindakan dipengaruhi pengaruh luar.
 Proses berpikir terputus.
 Ambivalensi (Pikiran kontradiktif).
 Autisme (pemikiran yang ditarik dan diarahkan ke dalam).
 Tidak kooperatif.
 Sulit merawat diri sendiri.
 Tidur dan nafsu makan terganggu.
(Dipiro, et al., 2015).
2. Gejala positif
 Delusi atau waham (suatu keyakinan yang salah karena bertentangan dengan
kenyataan).
 Halusinasi.
 Muncul kebiasaan aneh.
 Gaduh, gelisah, tidak dapat diam.
 Merasa dirinya hebat dan serba bisa.
 Selalu merasa curiga.
 Menyimpan rasa permusuhan.
(Dipiro, et al., 2015).
3. Gejala negatif
 Alam perasaan yang datar (wajah tidak berekspresi).
 Menarik diri, sukar diajak bicara, pendiam, pasif dan apatis.
 Kehilangan dorongan kehendak dan tidak ada inisiatif.
 Berpikiran stereotip (berpikiran berdasarkan persepsi).
 Alogia (menurunnya kefasihan berpikir dan berbicara).
 Avolition (hilangnya motivasi).
 Anhedonia (menurunnya kemampuan untuk merasakan kesenangan).
 Menurunnya kemampuan untuk fokus terhadap sesuatu.
(Dipiro, et al., 2015).
E. Terapi Farmakologi
Algoritma Farmakoterapi skezofrenia dapat dilihat pada bagan berikut:

(Dipiro, et al., 2017).


(Dipiro, et al., 2015).
Penatalaksanaan penyakit skizofrenia antara lain:
1. Terapi Awal
Tujuan terapi selama 7 hari pertama untuk menurunkan agitasi, rasa curiga,
kecemasan, dan agresi serta mengembalikan pola makan dan tidur. Setelah 1 minggu
diberi dosis yang stabil, dan dapat ditingkatkan. Jika tidak ada perbaikan terapi selama
3-4 minggu maka dapat dipertimbangkan untuk pindah tahap (Dipiro, et al., 2015).
2. Terapi Stabilisasi
Tujuan terapi selama minggu ke 2-3 adalah untuk meningkatkan
sosialisasi, kebiasaan untuk merawat diri sendiri dan kestabilan suasana hati. Perbaikan
dalam hal gangguan pemikiran formal memerlukan waktu tambahan 6
hingga 8 minggu (Dipiro, et al., 2015).
3. Terapi Penjagaan
Pengobatan tetap dilanjutkan setidaknya untuk 12 bulan setelah
membaiknya episode pertama psikotik. .Antipsikotik harus dikurangi secara
pelan-pelan sebelum dihentikan (Dipiro, et al., 2015).
Secara umum obat skizofrenia terbagi menjadi dua jenis, yaitu: (1)
Antipsikotik Generasi Pertama (AGP/Tipikal) dan (2) Antipsikotik Generasi Kedua
(AGK/Atipikal). Pada pengobatan zaman sekarang lebih banyak digunakan
generasi kedua karena mempunyai efek samping yang lebih sedikit. Hal ini terjadi
karena pada AGP memblokade hampir semua jalur dopamine, sehingga efek
samping yang dihasilkan lebih banyak (Dipiro, et al., 2015).

F. Terapi Non-Farmakologi
Terdapat beberapa upaya non-farmakologi yang dapat dilakukan untuk membantu pasien
skizofrenia menghadapi penyakitnya, antara lain:
 Social skills training : Terapi yang fokus untuk meningkatkan komunikasi dan interaksi
sosial.
 Rehabilitation: Untuk peningkatan fungsi adaptif pasien dan memberikan dukungan
emosional kepada pasien.
 Family education: Penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mendapatkan dukungan
kuat dapat melakukan lebih baik daripada yang tidak mendapatkan dukungan dari
keluarga dan teman.
 Coordinated specialty care (CSC): Untuk penderita yang baru pertama kali mengalami
episode psikosis. Pada terapi ini dibuat tim yang menggabungkan pengobatan dan terapi
psikologis, mencakup layanan sosial dan ketenagakerjaan dan peran serta keluarga.
 Assertive community treatment (ACT): Bantuan personal untuk membantu penderita
skizofrenia menghadapi tantangan hidup sehari-hari, seperti minum obat. Para profesional
ACT juga membantu mereka menangani masalah secara proaktif dan bekerja untuk
menghindari krisis.
 Social recovery therapy: Perawatan ini membantu penderita menetapkan dan mencapai
tujuan serta membangun rasa optimisme dan keyakinan positif tentang diri mereka sendiri
dan orang lain.
(WebMD, 2019).

G. Monitoring dan Evaluasi


Monitoring yang dapat dilakukan terhadap pasien antara lain:
1. Pemberian obat antipsikotik atau obat untuk mengobati gejala-gejala depresi
dan kecemasan.
2. Dilakukannya konseling Keluarga pasien untuk mengerti tentang penyakit pada
pasien
3. Dapat dirawat dirumah dengan keluarga dan diberikan perhatian khusus ke
pasien
4. Jika pasien sudah mulai meresahkan atau membahayakan, dapat di rawat inap
di rumah sakit jiwa
5. Diberikan terapi individu agar pasien dapat mengendalikan skizofrenia
6. Diajarkan kembali cara untuk bersosialisasi dengan masyarakat
7. Monitoring kondisi tubuh: BMI, glukosa plasma, lemak, dan peningkatan
prolaktin atau disfungsi seksual dan cardiac monitoring
(Gaebel, et al., 2012).
Catatan :
Monitoring berat badan setiap bulan selama 3 bulan, monitoring indeks massa tubuh (BMI),
lingkar pinggang, tekanan darah, glukosa plasma puasa, dan profil lipid puasa pada akhir 3
bulan dan setiap tahun (Dipiro, et al., 2015)

Evaluasi pengobatan pasien skizofrenia antara lain:


1. Medication Event Monitoring System (MEMS®)
Standar utama yang digunakan untuk mengevaluasi efek obat yang digunakan pasien
skizofrenia (Misdahri et al, 2018).
2. Medication Adherence Rating Scale (MARS)
Kuisioner berisikan pertanyaan “Ya” atau “Tidak” sebanyak 10 poin yang menunjukkan
kebiasaan, kepatuhan, serta dampak negatif dari obat yang digunakan oleh pasien (Saba
et al, 2019).

H. Fitoterapi
Terdapat beberapa tanaman herbal yang dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan
skizofrenia, diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Ginko Biloba
2. Ginseng
3. Daun Ashwaganda
4. Akar Kava
(WebMD, 2019).
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I. K., Andrajati, R., Setiadi, A. P., Sigit, J. I., Sukandar, E. Y. 2008. ISO
Farmakoterapi. Jakarta : PT. ISFI Penerbitan
American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(DSM-IV-TR). 4th ed. Washington, DC: American Psychiatric Press.
DeLisi, L.E., Szulc, K.U., Bertisch, H.C., Magda, M., and Kyle, B. 2006. Understanding
Structural Brain Changes in Schizophrenia. Dialogues Clin Neurosci. Vol. 8 (1) : 71 - 78.
Dipiro, J.T., Wells, B.G., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Posey, L.M.,
2015,Pharmacotherapy, 6th Edition, Appleton ang Lange, New York.1-13.
DiPiro,J.T., Robert L.T., Gary C.Y.e, Gary R.M., Barbara G.W., L. Michael P. 2012.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. 8th Edition. New York : McGraw-Hill
DiPiro,J.T., Robert L.T., Gary C.Y.e, Gary R.M., Barbara G.W., L. Michael P. 2017.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. 10th Edition. New York : McGraw-Hill
DrugBank. 2019. Risperidone. Available at: https://www.drugbank.ca/drugs/DB00734
[Accessed 21 May 2019].
DrugBank. 2019. Ziprasidone. Available at: https://www.drugbank.ca/drugs/DB00246 [Diakses
pada 21 Mei 2019]
Food and Drug Association (FDA). 2019. ABILIFY (Aripiprazole). Available at:
https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2005/021713s004,021436s007lbl.pd
f [Accessed 21 May 2019].
Gaebel, W., Becker, T., Janssen, B., Munk-Jogersen, P., Musalek, M., Rossler, W., et al., 2012.
EPA Guidance on The Quality of Mental Health Services, European Psychiatry 27:
87-113.
Medscape. 2019. Schizophrenia. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/288259-overview#a3. [Accessed 19 Mei 2019].
Pusat Informasi Obat Nasional (PIONas). 2015. Aripiprazol. Tersedia di:
http://pionas.pom.go.id/monografi/aripiprazol [Diakses pada 21 Mei 2019].
Pusat Informasi Obat Nasional (PIONas). 2015. Risperidon. Tersedia di:
http://pionas.pom.go.id/monografi/risperidon [Diakses pada 21 Mei 2019].
Pusat Informasi Obat Nasional (PIONas). 2015. Ziprasidon. Tersedia di:
http://pionas.pom.go.id/monografi/ziprasidon [Diakses pada 21 Mei 2019]
Thompson K, Kulkarni J, Sergejew AA. Reliability and validity of a new Medication Adherence
Rating Scale (MARS) for the psychoses. Schizophr Res 2000;42:241–7.
The National Institute of Mental Health Information Resource Center. 2016. Schizophrenia.
Available at https://www.nimh.nih.gov/health/topics/schizophrenia/index.shtml. [Accessed
20 May 2019].
ANXIETAS

A. Pengertian
Anxietas atau gangguan kecemasan merupakan keadaan emosional yang
menyebabkan ketegangan, rasa tidak aman karena persepsi bahwa ada bahaya yang
mengancam (DiPiro, et al., 2009).

B. Anatomi dan Fisiologi

Otak dikelempokkan menjadi beberapa bagian seperti: Cerebrum, Cerebellum,


Batang Otak dan Sistem Limbik (Muttaqin, 2008). Berdasarkan penyakit yang akan dibahas,
penjelasan mengenai klasifikasi akan fokus kepada sistem limbik.
Sistem limbik terdiri dari beberapa komponen yakni: Hipotalamus, thalamus,
amigdala, hipokampus, dan korteks limbik (Muttaqin, 2008). Bagian-bagian ini terdapat di
daerah tertentu di sistem limbik yakni Sirkuit Prefrontal Limbic-Medial yang
diklasifikasikan lagi menjadi Core limbik, prefrontal medial dorsal, dan Cingulate aterior
rostal & subgenual (rACC & sgACC) dan korteks prefrontal ventromedial (vmPFC)
(Muttaqin, 2008).
Amigdala, Insula, serta daerah subkortikal seperti hipotalamus, hipokampus dan
periaqueductal gray) terdapat di bagian Core Limbik dan berfungsi untuk mendaftarkan
rangsangan emosional dan memulai respons fisiologis dan perilaku spesifik yang
terkoordinasi (Muttaqin, 2008).
Amigdala bertanggung jawab untuk mendeteksi rasa takut dan mempersiapkan diri
untuk kejadian darurat. Hipothalamus berfungsi untuk mengendalikan fungsi tubuh misal
merespon berbagai sinyal dari lingkungan internal dan eksternal termasuk suhu tubuh, lapar,
kenyang, tekanan darah dan kadar hormon dalam sirkulasi, juga merespon stres dan
mengatur ritme tubuh kita sehari-hari. Hipotalamus berfungsi untuk mengumpulkan dan
menggabungkan informasi ini untuk memperbaiki ketidakseimbangan. Thalamus Bekerja
untuk mengkorelasikan beberapa proses penting, termasuk kesadaran, tidur, dan interpretasi
sensorik. Hipokampus memainkan peran yang sangat penting dalam menyimpan ingatan
serta menghubungkan ingatan dengan emosi (Sridianti, 2016).
Prefrontal Medial Dorsal termasuk dingal anterior cingulate (Dacc) dan korteks
prefrontal dorsomedial (dmPFC) Terlibat dalam evaluasi emosi yang lebih luas dan
memungkinkan aksesnya ke kesadaran. Cingulate anterior rostal dan subgenual (rACC dan
sgACC) dan korteks prefrontal ventromedial (vmPFC) terlibat dalam pengaturan emosional
dan pengolahan limbik yang sesuai konteks (Muttaqin, 2008).

C. Patofisiologi

Model Noradrenergik. Model ini menunjukkan bahwa sistem saraf otonom dari
pasien yang mengalamikecemasan adalah hipersensitif dan bereaksi berlebihan terhadap
berbagai rangsangan. Lokus seruleus mungkin memiliki peran dalam mengatur kecemasan,
dengan mengaktifkan pelepasan norepinefrin dan menstimulasi sistem saraf simpatetik dan
parasimpatik. Kronis overaktivitas noradrenergik menurunkanregulasi α2 -adrenoreseptor
pada pasien dengan generalized anxiety disorder (GAD) dan gangguan stres pasca trauma
(PTSD). Pasien dengan gangguan kecemasan sosial (SAD) tampaknya memiliki
adrenocortical hiperrespektif Menanggapi stres psikologis.
Gejala kecemasan mungkin terkait dengan kurangnya aktivitas sistem GABA atau
reseptor benzodiazepine sentral yang diregulasi. Pada pasien dengan GAD, benzodiazepine
yang mengikat pada lobus temporal kiri berkurang. Sensitivitas abnormal ke antagonisme
dari situs pengikatan benzodiazepine dan penurunan pengikatan terjadi di gangguan panik.
Dalam SAD umum mungkin ada reseptor GABAB sentral yang abnormal fungsi.
Abnormalitas penghambatan GABA dapat menyebabkan peningkatan respons terhadap stres
di PTSD.
Di GAD, ada peningkatan abnormal di sirkuit ketakutan otak dan peningkatan
aktivitas di korteks prefrontal. Pasien dengan gangguan panik memiliki kelainan struktur
otak tengah. Pasien dengan SAD memiliki aktivitas yang lebih besar di amigdala dan insula.
Dalam PTSD, amigdala memainkan peran dalam kegigihan memori traumatis (Wells, et al.,
2015).

D. Jenis jenis Anxietas


1. Generalized Anxiety Disorder
Gangguan Cemas Menyeluruh/ Umum adalah kekhawatiran yang berlebihan
dan bersifat pervasif, disertai dengan berbagai simtom somatik, yang menyebabkan
gangguan signifikan dalam kehidupan sosial atau pekerjaan pada penderita, atau
menimbulkan stres yang nyata. Diagnosis GAD menunjukkan kecemasan yang
berlebihan dan mengkhawatirkan setidaknya selama 6 bulan (Dipiro, et al., 2015).
Gejala: gelisah, mudah lelah, kesulitanberkonsentrasi, iritasi, ketegangan otot, dan
gangguan tidur, gangguan signifikan atau gangguan dalam fungsi hadir, dan gangguan
tidak disebabkan oleh zat atau kondisi medis lain (Dipiro, et al., 2015).
2. Obsessive-Compulsive Disorder (OCD)
Obsessive adalah perasaan takut terkontaminasi oleh benda yang disentuh orang
lain, keraguan sudah mengunci pintu, stres intens ketika melihat benda menghadap ke
arah tertentu, pikiran tentang bertindak tidak pantas yang membuat tidak nyaman,
menghindari sesuatu yang dapat memicu obsesi (MayoClinic, 2019).
Sedangkan complusive ditandai dengan gejala terus menerus cuci tangan,
memeriksa pintu berulang kali, memeriksa kompor berulang kali, menghitung dalam pola
tertentu, diam-diam mengulangi doa, kata atau frasa, mengatur barang-barang
(MayoClinic, 2019).
3. Panic Disorder
Ditandai dengan gejala psikologis berupa : depersonalisasi, derealisasi, takut
kehilangan kendali/kontrol takut menjadi gila, takut meninggal. Sedangkan gejala fisik
dapat berupa: gelisah, sakit perut, sakit dada, kedinginan, pusing, rasa tercekik, wajah
menjadi merah, palpitasi, mual, parestesia, nafas pendek, berkeringat, takikardia, gemetar
(Sukandar et al, 2008).
4. Post-Traumatic Stress Disorder
Post traumatic disorder merupakan gangguan kecemasan yang timbul setelah
terpapar suatu peristiwa yang bersifat traumatik. Gejala: Re-experiencing symptoms,
avoidance, negative alternations, hyperarousal symptoms (Astuti, et al., 2018).
Re-experiencing adalah perasaan teringat kembali kejadian traumatik yang pernah
dialami. ditandai dengan mimpi buruk, timbul pikiran yang mengganggu, flashback.
Avoidance adalah keadaan menghindari hal-hal atau pikiran-pikiran yang dapat memicu
kenangan tentang trauma yang pernah dialami. Negative alternations ialah ketika
seseorang memiliki pikiran negatif terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar dimana
pikiran negatif ini semakin parah setelah terjadinya trauma. Hyperarousal terjadi ketika
adanya peningkatan reaktivitas fisiologis, seperti sulit tidur dan berkonsentrasi, waspada
berlebihan (Astuti, et al., 2018).
5. Social Phobia/Social Anxiety Disorder (US Department of Health & Human Services,
2019).

E. Faktor resiko
- Trauma
- Stress karena memiliki penyakit
- Stress karena masalah yang berlaurt-larut
- Obat dan alkohol
- Personal
- Memiliki keluarga yang mengalami anxiety disorder
- Memiliki health mental disorder lain
F. Gejala
1. Gejala Somatik: gejala somatik adalah gejala yang timbul dari keadaan
fisik penderita (motorik dan otonomik)
- Gemetar
- Nyeri punggung dan nyeri kepala
- Ketegangan otot
- Napas pendek, hiperventilasi
- Mudah lelah, sering kaget
- Hiperaktivitas otonomik (wajah merah dan pucat, takikardia, palpitasi,
tangan rasa dingin, diare, mulut kering, sering kencing)
- Parestesia
- Sulit menelan
.
2. Gejala Psikologik: Gejala Psikologi adalah gejala yang timbul dikarenakan pola pikir atau
kejiwaan si penderita
- Rasa takut yang berlebihan
- Sulit konsentrasi
- Insomnia
- Libido menurun
- Rasa mual di perut
- Hipervigilance (siaga berlebih).
(Saddock, 2007).

G. Tingkat Keparahan
- Kecemasan ringan adalah cemas yang normal menjadi bagian sehari-hari dan
menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan, tetapi individu masih
mampu memecahkan masalah → terlihat tenang percaya diri, waspada,
memperhatikan banyak hal, sedikit tidak sabar, ketegangan otot ringan, sadar akan
lingkungan, rilex atau sedikit gelisah.
- Kecemasan sedang adalah cemas yang memungkinkan seseorang untuk
memusatkan pada hal-hal yang penting dan mengesampingkan yang tidak penting
atau bukan menjadi prioritas yang ditandai dengan perhatian menurun penyelesaian
masalah menurun, tidak sabar, mudah tersinggung, ketegangan otot sedang, mulai
berkeringat, sering mondar-mandir, sering berkemih dan sakit kepala.
- Kecemasan berat, mengurangi persepsi individu, cenderung untuk memusatkan
pada sesuatu yang terinci dan spesifik, dan tidak dapat berfikir tentang hal yang lain.
Semua perilaku ditunjukkan untuk mengurangi ketegangan individu memerlukan
banyak pengesahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain ditandai dengan
sulit berfikir , penyelesaian masalah buruk, takut, bingung, menarik diri, sangat
cemas, kontak mata buruk, berkeringat, bicara cepat, rahang menegang,
menggertakkan gigi, mondar mandir dan gemetar.
- Panik, ketakutan, teror, mengalami kehilangan kendali → tidak mampu melakukan
sesuatu walaupun dengan pengarahan, panik melibatkan disorganisasi kepribadian
→ peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan
dengan orang lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan pemikiran yang tidak
dapat rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan dan jika
berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat
bahkan kematian.
(Stuart, 2007).
H. Diagnosis
- Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)
HARS merupakan salah satu kuesioner yang mengukur skala ansietas
yang masih digunakan sampai saat ini. Kuesioner terdiri atas 14 item.
Masing-masing item terdiri atas 0 (tidak terdapat) sampai 4 skor (terdapat).
0 = Tidak ada gejala atau keluhan
1 = Gejala ringan
2 = Gejala sedang
3 = Gejala berat
4 = Gejala berat sekali atau panik
Apabila jumlah skor <17 tingkat ansietas ringan, 18-24 tingkat ansietas
sedang, dan 25-30 tingkat stres berat (Nursalam, 2013).
- Taylor Manifest Anxiety Scale (T-MAS)
T-MAS merupakan kuesioner yang dirancang untuk mengukur skala
ansietas pada individu (Oxford Index, 2017). T-MAS terdiri atas 38
pernyataan yang terdiri atas kebiasaan dan emosi yang dialami.
Masing-masing item terdiri atas “ya” dan “tidak” (Psychology tools, 2017).
- Depression, Anxiety Stress Scale (DASS)
DASS terdiri atas pertanyaan terkait tanda dan gejala depresi, ansietas
dan stres. Kuesioner DASS ada dua jenis yaitu DASS 42 dan DASS 21 (hanya
di bedakan dari jumlah pertanyaan). Masing-masing gangguan (depresi,
ansietas, dan stres) terdapat 7 pertanyaan. Masing-masing item terdiri atas 0
(tidak terjadi dalam seminggu terakhir) sampai 3 (sering terjadi dalam waktu
seminggu terakhir)
(Psychology Foundation of Australia, 2014).
- Zung Self-Rating Anxiety Scale (SAS)
Merupakan diagnosis dalam bentuk kuesioner. Kuesioner SAS terdiri
atas 20 pernyataan terkait gejala ansietas. Masing-masing pernyataan
terdapat 4 penilaian yang terdiri dari
1 : tidak pernah
2 : jarang
3 : kadang-kadang
4 : sering
Klasifikasi tingkat ansietas berdasarkan skor yang diperoleh yaitu
20-40 (tidak cemas), 41-60 (ansietas ringan), 61-80 (ansietas sedang), dan
81-100 (ansietas berat) (Sarifah, 2013).

I. Terapi Farmakologi
a. Antidepresan
Antidepresan berkhasiat untuk manajemen jangka panjang akut dari GAD.
Berupa pengobatan pilihan untuk manajemen jangka panjang kecemasan kronis,
terutama di gejala depresi. Respons efek anti ansietas akan terlihat pada minggu
ke 2-4. Inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI), venlafaxine XR, dan
duloxetine efektif dalam terapi akut (tingkat respons 60-68%) Antidepresan
trisiklik (TCA) umumnya menyebabkan sedasi, hipotensi ortostatik, efek
antikolinergik, dan penambahan berat badan, dan sangat beracun pada overdosis
(Dipiro,2015 ).
b. Benzodiazepine
Benzodiazepin adalah obat yang paling efektif dan sering digunakan untuk
pengobatan kecemasan akut. Sekitar 65-75% pasien dengan gangguan kecemasan
umum telah ditandai dengan respon sedang, dan sebagian besar perbaikan terjadi
pada 2 minggu pertama terapi. Obat ini lebih efektif untuk gejala somatik
dan otonom dari gangguan kecemasan umum, sedangkan antidepresan lebih efektif
untuk gejala psikis (misalnya ketakutan dan kekhawatiran) (Dipiro,2015 ).
c. Hydroxyzine
Hydroxyzine efektif pada 88% pasien dengan durasi selama 3 bulan
digunakan hanya saat dibutuhkan. Menyediakan kelegaan simtomatik
kecemasan dan ketegangan yang terkait dengan psikoneurosis; Pengobatan
tambahan pada keadaan penyakit organik di mana kecemasan termanifestasi
(Dipiro,2009)

J. Terapi Non Farmakologi


- Meditasi
Meditasi adalah kondisi rileks dengan membebaskan pikiran dari
segala macam yang melelahkan dan berfokus dengan konsentrasi tinggi
(Vitahealth, 2006). Meditasi dapat menekan produksi hormon epinefrin,
kortisol, steroid dan aldosteron sehingga menurunkan tekanan darah, stres,
depresi, dan kecemasan (Ramaiah, 2007).
- Yoga
Yoga merupakan kegiatan yang terdiri dari tiga komponen, yaitu :
streching, latihan pernapasan dan meditasi. Dua orang peneliti, Berger dan
Owen pada tahun 1988 membuktikan berenang, body conditioning dan yoga
yang memiliki efek yang signifikan terhadap anxiety ialah yoga (Kirkwood, et
all, 2005).
- Deep Breathing Exercise
Tujuannya memberikan asupan oksigen segar ke otak dan membantu
meremajakan sel-sel melalui pasokan oksigen dari aliran darah. Cara:
mengambil napas dalam secara perlahan, tahan beberapa detik, hembuskan
lebih lambat dari menarik napas (Sellakumar, 2015).
- Guided Imagery
Guided Imagery adalah bentuk relaksasi terfokus yang membantu
menciptakan harmoni antara pikiran dan tubuh. Terapi ini dilakukan dengan
memfokuskan imajinasi untuk menciptakan suasana tenang, damai yang
tergambarkan dalam pikiran, sehingga dapat disebut 'mental escape' (Clevelad
Clinic, 2019).
- Akupuntur
Akupunktur terbukti dapat mengatasi kecemasan dengan meningkatkan
ekspresi neuropeptida Y (NPY) di hipotalamus. NPY berperan pada regulasi
kecemasan (Lee et.al, 2009
- Essential Oil
Aromaterapy adalah suatu metode pengobatan menggunakan minyak
atisiri. Minyak atsiri adalah cairan mudah menguap yang berasal dari sumber
alami, biasanya tanaman. Essential oil dapat mempengaruhi psikologi dan
meregulasi emosi seseorang. Menurut literatur terdapat beberapa essential oil
yang dapat mengurangi anxiety seperti piper methystucum dan bacopa
monniera (Fradelos & Komini, 2015).
- Homeopathy
Homeopati merupakan pengobatan alternatif menggunakan
bahan-bahan dari alam, sediaannya dapat berbentuk tablet, sirup, maupun
bubuk. Metode ini sudah dibuat oleh Samuel Hahnemann (Jain, 2011)
- Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
CBT merupakan terapi agar pasien dapat lebih mengetahui penyebab
dan cara mengatasi masalahnya sehingga pasien dapat lebih nyaman dalam
menghadapi masalahnya dan menjalani hidupnya. CBT terdiri dari strategi
relaksasi dan berpikir realistik. CBT dapat dilakukan sendiri dan dengan
seorang terapis (Anxiety Canada, 2019).
- Counseling / Psychoterapy
Konseling adalah bentuk komunikasi interpersonal yang dilakukan
secara sistematik sebagai proses pemberian informasi. Terapi konseling.
Konseling untuk menangani ansietas dilakukan dengan memperkuat rasa
percaya diri, ketahanan dan kekebalan fisik maupun mental, dan kemampuan
beradaptasi (Yunitawati dan Santi, 2014)
- Support Groups
Suatu komunitas yang dapat menjamin keamanan para penderita
anxietas untuk bercerita pada orang lain yang lebih mengerti (Anxiety And
Depression Association of America (AADA, 2018).

K. Fitoterapi
- Kava (Piper Methyscticum)
Bagian tanaman yang digunakan adalah akar rimpang. Mekanisme
penyembuhannya dengan memblok voltage-gated sodium ion channels,
peningkatan ikatan ligand dengan γ-aminobutyric acid (GABA) reseptor
tipe A, berkurangnya pelepasan neurotransmitter karena blokade saluran ion
kalsium, mengurangi reuptake neuron noradrenaline (norepinephrine),
penghambatan reversibel monoamine oxidase B and penekanan sintesis
eicosanoid thromboxane A2 sebagai antagonis GABAA receptor (Singh,
2002).
- Citrus
Adanya bahan aktif berupa linalool yang merupakan salah satu minyak
atsiri yang berada dalam tumbuhan Citrus L aurentium. Linalool berfungsi
sebagai anxiolitic atau zat yang dapat menurunkan ansietas, aktifitas utamanya
adalah meningkatkan kekebalan tubuh serta melancarkan sirkulasi dan
meningkatkan respon eksitasi sel (Buckle, 2003)
- Passion Flower
Terdiri atas bunga yang dikeringkan dan buah atas pada tumbuhan
merambat yang tetap berwarna hijau. Tanaman ini telah diakui memiliki efek
pengobatan untuk terapi kegelisahan dan gangguan tidur, walaupun belum ada
studi klinis lebih lanjut. Dosis : dalam bentuk teh dibuat 4-8 obat mentah
dalam 150 ml, 3 kali sehari (Baek, et al., 2014)
- Gingko Biloba
Ginkgo Biloba memiliki sifat antioksidan dan obat penenang. Ekstrak
daun Ginkgo Biloba mengandung glikosida flavonoid dan terpenoid, yang bisa
meredakan kecemasan dan stres. Pasien dianjurkan berkonsultasi ke dokter
sebelum menggunakannya apabila sedang mengkonsumsi obat antidepresan
(Tuso, 2002).
- Valerian
Tanaman ini mengandung minyak atsiri, valepotriat, lignin, dan
alkaloid/asam amino pada bagian rimpang, akar, dan stolon kering. Valerian
memiliki aktivitas pada reseptor GABA A (menstimulasi sintesis dan
pelepasan GABA). Dosis yang digunakan 2-3 g bahan obat mentah (2-3 Kali
sebelum tidur) (Tuso, 2002).

L. Monitoring
Beberapa parameter pemantauan (sebagai tambahan dari
monitoring konsentrasi plasma) akan memberikan manfaat dalam menangani pasien.
Pasien harus di pantau terhadap efek samping, teratasinya gejala yang di alami
sebelumnya, dan adanya perubahan perilaku dan fungsi sosial.
- Monitoring berkala harus dilakukan sampai beberapa bulan setelah
penghentian antidepresan.
- Pasien yang mendapatkan venlafaksin dan antidepresan trisiklik
bersamaan dengan antihipertensi yang menghambat adrenergik harus dipantau
tekanan darahnya secara teratur.
- Pasien yang berusia lebih dari 40 tahun harus menjalankan
pemeriksaan EKG sebelum memulai terapi antidepresan trisiklik, dan
pemeriksaan EKG selanjutnya perlu di lakukan secara berkala.
- Pemantauan keinginan untuk bunuh diri setelah pemberian obat antidepresan,
terutama dalam beberapa minggu pertama pengobatan.
- Melakukan wawancara klinis, menggunakan instrumen penilaian psikometri ,
mengukur sifat dan tingkat keparahan gejala depresi dan gejala yang terkait.
- Jika diberikan obat antidepresan dengan nama dagang yang berbeda
dari sebelumnya, pasien harus di pantau secara ketat terhadap kekambuhan dan
kemunculan kembali penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, R.T., M. K. Amin, N. Purborini. 2018. Manajemen Penanganan Post


Traumatic Disorder. Magelang: Universitas Muhammadiyah Magelang.
Anxiety And Depression Association of America (AADA). 2018. Support Groups.
Tersedia online di https://adaa.org/supportgroups [Diakses pada 22 mei
2019].
Anxiety Canada. 2019. Self Help – Cognitive-Behavioural Therapy (CBT). Tersedia
online di https://anxietycanada.com/articles/self-help-cognitive-behaviour
al-therapy-cbt/ [Diakses pada 22 Mei 2019]
Baek, J, H., Andrew, A., Gustavo, K. 2014. Clinical Applications of Herbal
Medicines for Anxiety and Insomnia Targeting Patients with Bipolar
Disorder. Journal of Psychiatry. 48(8) : 705-714
Buckle, J. 2003. Clinical Aromateraphy: Essential Oil in Practice. London: Churcill
Livingstone.
Cleveland Clinic. 2019. Guided Imagery. Tersedia online di
https://my.clevelandclinic.org/departments/wellness/integrative/treatments
services/guided-imagery [Diakses pada 22 mei 2019]
Drugs. 2018. Hydroxyzine. Diakses secara online di
https://www.drugs.com/hydroxyzine.html. [Diakses pada tanggal 18 Mei
2019].
Fradelos E.,dan Komini A.. 2015. The Use of Essential Oils as a Complementary
Treatment for Anxiety. American Journal of Nursing Science Vol 4(1) : 1-5.
Jain, R. 2011. Pengobatan Alternatif untuk Mengatasi Tekanan Darah. Jakarta:
Gramedia
Kirkwood, G., Rampes, H., Tuffrey, V., Rchardson, J., dan Pilkington, K. 2005. Yoga
for Anxiety : A Systematic Review of The Research Evidence. Br J Sport
Med vol 39 : 884 891.
Lee, Shim, dan Yang. 2009. Effects of acupuncture on chronic corticosterone-induced
depression-like behavior and expression of neuropeptida Y in the rats.
Neuroscience letters. Vol. 453:151-6.
Locke, B. L., Nell, K., and Cameron, G. S. 2015. Diagnosis and Management of
Generalized Anxiety Disorder and Panic Disorder in Adults. American
Family Physician, 91(9).
Mao, J., Qing, S., Irene, S., Kenneth, R dan Sharon,X. 2014. Long-Term Chamomile
Therapy of Generalized Anxiety Disorder : A Study Protocol for A
Randomized, Double-Blind, Placebo-Controlled Trial. J Clin Trials. 4(5) :
1-8.
MayoClinic. 2019. OCD. Accessed at https://www.mayoclinic.org/diseases
conditions/obsessive-compulsive disorder/symptoms-causes/syc-20354432
[21 May 2019]
Nursalam. 2013. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis.
Jakarta : SalembaMedika.
Pionas. 2018. Pemberian Informasi Obat untuk Meningkatkan Kepatuhan Pasien.
Diakses secara online di
http://pionas.pom.go.id/ioni/lampiran-6-petunjuk-praktis-penggunaan-obat
yang-benar/pemberian-informasi-obat-untuk. [Diakses pada tanggal 18 Mei
2019].
Ramaiah, 2007. All you wanted to know about hypertension. Jakarta: PT Bhuana Ilmu
Populer Kelompok Gramedia
Sarifah, S. N. 2013. Gambaran Tingkat Kecemasan Mahasiswa Keperawatan saat
Menghadapi Ujian Skill Lab di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
UIN Sarif Hidayatullah : Program Studi Ilmu Keperawatan
Sellakumar, GK. 2015. Effect Of Slow-Deep Breathing Exercise To Reduce Anxiet
Among Adolescent School Students In A Selected Higher Secondary
School In Coimbatore, India. Journal of Psychological and Educational
Research Vol. 23(1):54-72.
Singh, Y.N. 2002. Therapeutical Potential of Kava in The Treatment of Anxiety
Disorders. CNS Drugs, Vol 16: 731-743.
Shelton, C. I. 2004. Diagnosis and Management of Anxiety Disorders. Tersedia di
online https://jaoa.org/article.aspx?articleid=2092999 [Diakses pada
tanggal 22 Mei 2019].
Stuart, G. W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta : EGC.
Sukandar, Elin., Retnosari A., Joseph I., I Ketut A., Adji P., Kusnandar. 2008. ISO
Farmakoterapi. Jakarta: PT ISFI.
Tuso, P.J. 2002. The Herbal Medicine Pharmacy Update. The Permanente Journal.
6(4).
US Department of Health & Human Services. 2019. What Are Major Types of
Anxiety Disorder. Accessed at
https://www.hhs.gov/answers/mental-health-and-substance-abuse/what-are
the-five-major-types-of-anxiety-disorders/index.html [21 May 2019]
U.S. Preventive Services Task Force Ratings. Tersedia Online di
https://www.uspreventiveservicestaskforce.org/Page/Name/us-preventive-service
s-task force-ratings [Diakses pada 22 Mei 2019]
Vitahealth. 2006. Hipertensi. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum
Yunitawati dan Santi. 2014. Konseling Psikologi dan Kecemasan Pada Penderita
Hipertiroid Di Klinik Litbang Gaki Magelang. MGMI Vol. 6(1):53-62.
DEPRESI

A. Pengertian
Depresi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami gangguan pada
perasaannya yang menyebabkan perasaan sedih yang berulang dan hilangnya
minat terhadap kegiatan sehari-hari. Hal ini akan mempengaruhi perasaan, cara
pikir, serta perilaku dan dapat menyebabkan berbagai masalah emosional dan
fisik (Mayo Clinic, 2019).

B. Klasifikasi
1) Gangguan depresi mayor
Gejala-gejala dari gangguan depresi mayor adalah perubahan dari nafsu
makan dan berat badan, perubahan pola tidur dan aktivitas, kekurangan energi,
perasaan bersalah, dan pikiran untuk bunuh diri yang berlangsung setidaknya
± 2 minggu (Kaplan, et al., 2010).
2) Gangguan dysthmic
Dysthmia yang bersifat ringan tetapi kronis (berlangsung lama).
Gejala-gejala dysthmia berlangsung lama dari gangguan depresi mayor yaitu
selama 2 tahun atau lebih. Dysthmia bersifat lebih berat dibandingkan dengan
gangguan depresi mayor, tetapi individu dengan gangguan ini masih bisa
berinteraksi ataupun menjalani aktivitas sehari-harinya (Kaplan, et al., 2010).
3) Gangguan depresi minor
Gejala-gejala dari depresi minor hampir sama dengan gangguan depresi
mayor dan dysthmia, tetapi gangguan ini bersifat lebih ringan dan atau
berlangsung lebih singkat (Kaplan, et al., 2010).

C. Bagian tubuh yang mengalami gangguan


1) Amigdala
Amigadala adalah bagian dari sistem limbik, berkaitan dengan emosi
seperti marah, senang, sedih, dan ketakutan. Amigdala diaktifkan ketika
seseorang mengingat kembali ingatan emosional. Aktivitasnya lebih tinggi
saat seseorang sedih atau depresi (Harvard Health Publishing, 2019).
2) Thalamus
Thalamus menerima sebagian besar informasi sensorik dan
menyampaikannya ke bagian yang sesuai dari korteks serebral, yang
mengarahkan beberapa fungsi seperti bicara, reaksi perilaku, gerakan,
berpikir, dan belajar. Gangguan bisa timbul di thalamus, yang membantu
menghubungkan input sensorik dengan perasaan menyenangkan dan tidak
menyenangkan (Harvard Health Publishing, 2019).
3) Hippocampus
Hippocampus mempunyai peran sentral dalam memproses memori dan
ingatan jangka panjang, dan produksi hormon cortisol. Hipokampus lebih
kecil pada beberapa orang yang mengalami depresi (Harvard Health
Publishing, 2019).

D. Patofisiologi
Ada beberapa teori yang menjelaskan proses terjadinya depresi
 Hipotesis Biogenik Amin
Penurunan kadar neurotransmitter norepinephrine, serotonin (5HT),
dan dopamine dapat menyebabkan depresi (DiPiro et.al, 2015).
 Perubahan postsynaptic pada reseptor sensitivitas
Penurunan neurotransmitter norepinephrine atau 5-HT1A dapat
menyerang efek dari antidepresan (DiPiro et.al, 2015).
 Hipotesis disregulasi
Teori ini menekankan pada kegagalan regulasi homeostatis dari sistem
neurotransmitter, hal ini menyebabkan depresi, daripada meningkatnya atau
menurunnya aktivitas neurotransmitter itu sendiri (DiPiro et.al, 2015).
 Hipotesis hubungan neurotransmitter 5-HT/noreinephrine
Teori ini menduga bahwa aktivitas dari neurotransmitter 5-HT dan
norepinephrine saling berhubungan, dan sistem serotonergik dan adrenergik
keduanya terlibat dalam respon antidepressan (DiPiro et.al, 2015).
 Peran dopamine
Beberapa studi menjelaskan bahwa meningkatnya aktivitas dopamine
pada jalur mesolimbik berperan pada aktivitas antidepresan. Karena itu,
apabila aktivitas dopamine pada jalur mesolimbik menurun dapat menjadi
salah satu penyebab terjadinya depresi mayor. Gangguan pada ekspresi
brain-derived neurotrophic factor (BDNF) pada hippocampus dapat
berhubungan dengan terjadinya depresi mayor (DiPiro et.al, 2015).

E. Gejala
1. Psikologis
 Suasana hati yang tertekan atau mudah marah apabila depresi dialami
oleh anak-anak atau remaja.
 Minat berkurang atau hilangnya kesenangan di hampir semua kegiatan
(anhedonia).
 Pikiran berulang tentang kematian seperti ide bunuh diri yang berulang
tanpa rencana khusus, atau upaya bunuh diri atau rencana spesifik
untuk bunuh diri.
2. Fisik
 Gangguan tidur (insomnia atau hypersomnia).
 Perubahan berat badan yang signifikan atau gangguan nafsu makan:
Untuk anak-anak, ini bisa menjadi kegagalan untuk mencapai kenaikan
berat badan yang diharapkan.
 Agitasi atau keterlambatan psikomotor.
 Kelelahan secara kontinu.
3. Sosial
 Cenderung menghindari kontak dengan teman dan kegiatan sosial.
(Medscape, 2019).

F. Terapi Farmakologi
a) Selectif Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
Umumnya dipilih sebagai antidepresan lini pertama. Mekanisme SSRI
adalah dengan menghambat pengambilan serotonin yang telah disekresikan
dalam sinap (gap antar neuron), sehingga kadar serotonin di dalam otak
meningkat (Prayitno, 2008).
b) Serotonin Norephinephrine Reuptake Inhibitor (SNRI)
Mekanisme kerja dari SNRI adalah memblok monoamine. SNRI lebih
selektif daripada antidepresan trisiklik dan tidak mengakibatkan efek yang
ditimbulkan antidepresan trisiklik (Prayitno, 2008).
c) MAO inhibitor
Obat golongan MAOI bekerja dengan mengurangi kerja monoamin
oksidase di neuron dan meningkatkan kandungan monoamine (Katzung et al.,
2014).

d) Antidepresan Trisiklik
Antidepresan trisiklik (TCA) adalah antidepresan yang mekanisme
kerjanya menghambat pengambilan kembali amin biogenik seperti
norepinerin (NE), Serotonin (5–HT) dan dopamin didalam otak, karena
menghambat ambilan kembali neurotransmitter yang tidak selektif. Contoh
obat antara lain Amitripilin, Clomipramine, Doxepin, Imipramine,
Desipiramine, Nortriptyline (Prayitno, 2008).
e) Antidepresan Atipikal Antipsikotik
Mekanisme antidepresan atipikal antipsikotik adalah memblokir
reseptor dalam jalur dopamin otak, tetapi antipsikotik atypicals berbeda dari
antipsikotik tipikal karena cenderung dapat mengakibatkan gangguan
ekstrapiramidal pada pasien, yang meliputi penyakit gerakan parkinsonisme,
kekakuan tubuh dan tremor tak terkontrol (Prayitno, 2008).
(DiPiro, et al., 2011).

G. Terapi Non Farmakologi


1. Terapi Fisik dan Perubahan Perilaku
a. ECT (Electro Convulsive Therapy)
Terapi ECT adalah terapi dengan melewatkan arus listrik ke otak,
sering digunakan pada kasus depresif berat atau memiliki risiko bunuh
diri yang besar, dan respon terapi dengan obat antidepresan kurang baik
(Depkes RI, 2007).
b. Terapi Perubahan Perilaku
Terapi perubahan perilaku juga berguna untuk menghilangkan
perilaku yang mendorong terjadinya depresi, pembiasaan perilaku baru
yang lebih sehat. Berbagai metode dapat dilakukan seperti CBT
(Cognitive Behaviour Therapy) yang biasanya dilakukan oleh konselor,
psikolog dan psikiater (Depkes RI, 2007).
2. Terapi Cahaya Terang
Pada terapi cahaya terang, pasien melihat kotak cahaya intensitas
10.000 lux sekitar 30 menit / hari. Dapat dimanfaatkan untuk pasien dengan
gangguan afektif musiman dan sebagai penggunaan tambahan untuk depresi
berat (Dipiro, et al., 2009).
3. Psikoterapi
Psikoterapi dimanfaatkan untuk menghilangkan atau mengurangi
keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan psikologik atau pola
perilaku maladaptif. Terapi dilakukan dengan jalan pembentukan hubungan
profesional antara terapis dengan penderita (Depkes RI, 2007).

H. Fitoterapi
 St Jhon’s Wort (Hypercum perforatum L)
Mengandung derivat antrakuinon (hiperisin, hiperforin,
pseudohiperisin), flavonoid, derivat florogusinol (hiperforin, adiperforin).
Hiperforin menghambat pengambilan sinoptosomal dari serotonin (5-HT),
noradrenalin, dopamin, glutamat dan GABA pada sistem saraf pusat.
Peningkatan kadar neurotransmitter timbal, setelah pengobatan kronik,
meningkatkan regulasi dari reseptor 5-HT1 dan 5HT2 dan menurunkan
regulasi dari reseptor adrenergik β1. perubahan reseptor tersebut dipercaya
bertanggungjawab untuk memberikan efek antidepresan pada St John’s Wort
(Adelina, 2013).
 Lemon Balm (Melissa officinalis)
Daun dari Melissa officinalis yang mengandung minyak atsiri,
glikosida, turunan asam kafeat dan flavonoid. Minyak esensial yang
bertanggung jawab atas manfaat emosional dan neurologis (Adelina, 2013).
 Kunyit (Curcuma domestica)
Kurkumin pada kunyit merupakan Monoamine Oxidase Inhibitor
(MAOI), baik MAO-A maupun MAO-B. Selain itu kurkumin juga mengatur
tingkat norepinefrin, dopamin, dan serotonin. Kurkumin juga berfungsi
sebagai antiinflamasi mempunyai peran penting dalam patofisiologi penyakit
depresi (Adelina, 2013).

I. Monitoring
Monitoring efektivitas terapi
Dilakukan monitoring terhadap gejala dan tanda klinis setelah pemberian obat
dengan melihat apakah ada perbaikan fungsi sosial dan okupasional, ada tidaknya
keinginan dan ide bunuh diri.
Monitoring reaksi obat yang tidak dikehendaki
Dilakukan monitoring terhadap efek samping yang dimiliki obat.
Monitoring ketaatan
Memastikan pasien mendapat dosis yang cukup dari obat.
(Ikawati, 2011).

J. Evaluasi
Pasien dipantau efek samping, perubahan gejala, dan adanya perubahan fungsi
sosial dan pekerjaan.
Pemantauan dilakukan secara teratur hingga beberapa bulan setelah terapi
antidepresan dihentikan.
Pasien yang mendapatkan venlafaksin atau antidepresan trisiklik bersamaan
dengan antihipertensi harus dipantau tekanan darahnya secara teratur.
Pasien usia lebih dari 40 tahun harus melakukan tes elektrokardiogram(EKG)
sebelum memulai terapi antidepresan trisiklik, dan pemeriksaan EKG dilakukan
secara berkala.
Pasien dipantau mengenai ide bunuh diri setelah pemberian terapi.
Selain dengan wawancara klinis, dapat menggunakan alat skala psikometrik
untuk memberikan hasil yang akurat mengenai tingkat keparahan dan gejala.
Jika diberikan obat dengan nama dagang berbeda dari sebelumnya, maka harus
dipantau secara ketat terhadap kekambuhan penyakit.
(Dipiro, et al., 2015).
Daftar Pustaka

Adelina, R. 2013. Kajian Tanaman Obat Indonesia yang Berpotensi sebagai


Antidepresan. Jurnal Kefarmasian Indonesia. Vol. 3 (1) : 9-18.
Depkes RI. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penderita Gangguan Depresif. Jakarta :
Depkes RI.
Dipiro J.T., Talbert R.L., Yee G.C., Matzke G.R., Wells B.G. and Posey L.M., 2011.
Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach. 8th ed. Mc Graw Hill,
United State of America.
Dipiro, J. T., Barbara, G. W., Terry, L. S., dan Cecily, V. D. 2009. Pharmaceutical
Handbook. 7th Edition. Philadelphia : McGraw Hill.
DiPiro, J. T., Wells, B. G., Schwinghammer, T. L., dan DiPiro, C. V. 2015.
Pharmacotherapy Handbook. 9th Edition. Inggris : McGraw-Hill Companies.
Harvard Health Publishing. 2019. What Causes Depression?. Diakses secara online di
https://www.health.harvard.edu/mind-and-mood/what-causes-depression
[Diakses pada 12 Juni 2019].
Ikawati, Z. 2011. Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat. Yogyakarta : Bursa
Ilmu.
Kaplan, H. I., Sadock, B. J., dan Grebb, J. A. 2010. Sinopsis Psikiatri. Jilid 2. Jakarta :
Binarupa Aksara.
Katzung, B.G., Masters, S.B. dan Trevor, A.J. 2014. Farmakologi Dasar & Klinik.
Vol.2, Edisi 12. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
MayoClinic. 2019. Depression (Major Depressive Disorder). Diakses secara online di
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/depression/symptoms-causes
/syc-20356007 [Diakses pada 12 Juni 2019].
Prayitno. 2008. Farmakologi Dasar, Lilian Batubara (eds). Jakarta : Penerbit
Lenskopi.

Anda mungkin juga menyukai