Anda di halaman 1dari 11

PERANAN BUDAYA DEMOKRASI DALAM MEMBANGUN

POLITIK

Disusun oleh :

1. Muhammad Fadhil Ilham : C54180044 (Penyaji)

2. Muhammad Luthfi Syah R. : C54180070 (Ketua)

3. Meilini Rahmani : G74180051 (Moderator)

4. Pendiyan Denika : G74180035 (Notulen)

5. Salsabila Firdaus : G54180041 (Notulen)

Kolokium Pendidikan Pancasila

Dosen Pembimbing: Dr. Ir. Parlaungan Adil Rangkuti, M.Si

PROGRAM PENDIDIKAN KOMPETENSI


UMUM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia telah menganut beberapa sistem pemerintahan sejak
merdeka sampai sekarang. Sistem yang bertahan paling lama dan berlaku
sejak 1998 sampai saat ini adalah pemerintahan demokrasi. Pemerintahan
demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana seluruh rakyatnya ikut serta
mengambil keputusan yang dapat mengubah hidup mereka, yang berarti
kedaulatan berada di tangan rakyat. Demokrasi mewadahi setiap warga
negara untuk berpartisipasi baik secara langsung maupun perwakilan.
Demokrasi berlaku pada setiap bidang dalam kehidupan sehari-hari seperti
sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik
kebebasan politik secara bebas. Demokrasi merupakan sistem yang paling
cocok dengan Indonesia, karena sistem ini membantu rakyat unuk
melindungi kepentingan dasarnya.
Di samping itu, Indonesia adalah negara kepulauan yang strategis
dan rakyatnya tersebar dari Sabang sampai Merauke. Untuk mencapai
kesejahteraan rakyat yang cukup banyak, pelaksanaan otonomi daerah
berupaya melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan sesuai dengan
keinginan dan kepentingan masyarakat. Menurut UU No. 32 Tahun 2004,
otonomi daerah memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya,
meningkatkan kesejahteraan rakyat, serta mengutangi beban pemerintah
pusat dan campur tangan di daerah.
Hal yang tak kalah penting dari demokrasi dan otonomi adalah nilai
kebangsaan, kebudayaan, dan moral. Indonesia memiliki 34 provinsi yang
masing-masing memiliki kebudayaannya. Mulai dari segi kebudayaan
material, nonmaterial, sosial, kepercayaan, estetika, dan seni. Namun
seiring berkembangnya era globalisasi, perlahan-lahan budaya Indonesia
menghadapi uniformasi keberagaman budaya serta semakin punah. Di
samping itu, ada beberapa budaya negara kita diakui oleh negara lain. Oleh
karena itu, kita sebagai kaum millenial harus membantu untuk melestarikan
dan mempopulerkan kembali warisan budaya.
Pada bidang sosial budaya, otonomi daerah dapat menciptakan serta
memelihara harmoni sosial, mengembangkan, dan menjaga nilai dan
budaya lokal. Beragamnya budaya Indonesia, bukan merupakan halangan
hubungan antar daerah. Sifat demokrasi lah yang mampu menurunkan ego
dan menyatukan budaya yang ada tanpa harus saling bertentangan.

1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut :
1. Untuk mengenal lebih dekat demokrasi dan otonomi daerah di
Indonesia,
2. Mengetahui dan memahami peranan-peranan budaya dalam
membangun politik di Indonesia
3. Mengetahui konflik dalam otonomi daerah
4. Menemukan solusi dari konflik otonomi daerah

1.3. Ruang Lingkup


Ruang lingkup ini mencakup :
1. Peranan budaya berdemokrasi dalam membangun politik di Indonesia
2. Konflik dalam otonomi daerah.

1.4. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka kami merumuskan
beberapa masalah yang perlu didiskusikan, antara lain :
1. Apa peran masyarakat daerah mempertahankan kebudayaan
daerah?
2. Bagaimana cara menjaga kebudayaan daerah agar tidak dicuri
oleh negara lain?
3. Bagaimana konflik dalam otonomi daerah terbentuk?
4. Apa solusi dari konflik otonomi daerah tersebut?
BAB II
STUDI PUSTAKA

Secara harfiah, makna demokrasi adalah rule by the people (Birch 2001,
71). Demokrasi berasal dari bahasa Yunan, yang berarti pemerintah di bawah
kendali rakyat. Kemunculan konsep pemerintahan ini ditandai dengan sejarah
kolonialisme dan immperialism negara Eropa ke Asia dan Afrika. Kemudian
konsep demokrasi digunakan oleh negeri taklukan penjajah. Pada abad ke-20
konsep demokrasi dibagi menjadi dua aspek yaitu sistem pemerintahan dan relasi
sosial masyarakat. Pada aspek sistem pemerintahan, dapat dibuktikan dengan
hampir seluruh negara di dunia berusaha agar menjadi negara yang paling
demokratis dalam menjalani roda pemerintahan. Sedangkan aspek relasi sosial
masyarakat dapat dilihat dari sikap dan hubungan antar masyarakat yang saling
menghormati dan menghargai. Karena itu, negara yang demokratis akan
membentuk masyarakat yang demokratis pula.
Dari beberapa kasus pertentangan di Indonesia, dapat disimpulkan nilai
demokrasi dari Barat tidak mampu dipertemukan dengan sistem kebudayaan di
dalam masyarakat Indonesia. Kosnep yang dapat digunakan adalah pemimpin harus
menjadi tokoh utama, yang kita kenal sebagai Demokrasi Terpimpin. Demokrasi
Terpimpin ini berlaku pada masa pemerintahan Soekarno yang seolah-olah
masyarakat Indonesia membutuhkan seorang Bapak. Pola kebudayaan yang
bersifat terpimpin dilanjutkan pada masa orde baru yang berganti istilah menjadi
Demokrasi Pancadila. Pada prinsipnya bertujuan agar nilai-nilai Pancasila di dalam
tradisi masyarakat dijadikan sebagai pedoman dan tidak bertentangan. Dengan
demikian, kebudayaan di Indonesia telah memberikan konstribusi yang baik bagi
sejarah demokrasi di negara ini.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:992), otonomi adalah
pola pemerintahan sendiri. Sedangkan pengertian otonomi daerah berdasarkan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Semangat otonomi daerah yang tertulis pada
Undang-Undang No. 22 Tahun 1992 adalah pengalihan kewenangan pusat kepada
daerah yang mengelola kegiatan secara otonom. Pengalihan kewenangan ini
bertujuan untuk mendorong proses kebijakan publik menjadi lebih partisipatif,
transparan, dan akuntabel, serta membuat pemerintah daerah menjadi lebih
responsif terhadap kebutuhan dan dinamika lokal. Pada umumnya masyarakat
daerah masih memegang teguh adat dan budaya lokal. Jika pemerintah daerah lebih
peka terhadap apa yang dibutuhkan dan diinginkan masyarakatnya, maka
partisipasi masyarakat akan meningkat.
Pengertian budaya secara etimologis yaitu peradaban atau budi. Kata
kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhaya yang merupakan bentuk
jamak dari buddhi, artinya akal. Kemudian dikembangkan menjadi kata budidaya
yang artinya kemampuan akal budi seseorang ataupun sekelompok orang.
Keragaman budaya merupakan potensi untuk perkembangan nasional.
Budaya nasional adalah budaya yang dihasilkan masyarakat suatu bangsa sebagai
sebuah karya yang dibanggakan serta memiliki kekhasan dan identitas bangsa
tersebut. Contohnya yaitu pakaian batik. Yang semula batik adalah pakaian khas di
beberapa daerah dan memiliki corak khas berbeda-beda. Kemudian batik dijadikan
salah satu pakaian nasional.
Ideologi politik yang diterapkan Indonesia di bawah pemerintahan
Soekarno dan Soeharto berpandangan bahwa budaya merupakan unsur nyata
dibandingkan dengan sistem politik apapun. Konsep politik dianggap paling sesuai
dan mampu menggambarkan nilai-nilai dasar dan karakteristik masyarakat
Indonesia. Para pakar menyimpulkan bahwa budaya memberikan pengaruh tertentu
bagaimana demokrasi diadopsi oleh berbagai bangsa.
BAB III
PEMBAHASAN

Munculnya sengketa tanah bukan hanya sekedar insiden, tetapi merupakan


tragedy. Sayangnya, tragedy ini terjadi secara berulang-ulang sehingga semakin
bertambahnya daftar korban dari berbagai kasus yang berawal dari sengketa tanah
di Indonesia. Sengketa tanah dan sumber-sumber agrarian pada umumnya
merupakan konflik laten. Dari berbagai kasus yang terjadi, bangkit dan
manajamnya sengketa tanah tidaklah terjadi seketika, namun tumbuh dan terbentuk
dari benih-benih yang sekian lama telah terendap.
Konflik yang ada dan tampak pada masyarakat Sumatera Utara terlihat
dalam dua hal, yaitu: bentuk pemunculan menyangkut kadar atau intensitas konflik
yang tidak jelas (latent), seolah-olah tidak ada konflik. Namun seperti api dalam
sekam yang tiba-tiba bisa meledak dan cara penyelesaiannya. Dari segi
pemunculannya, temuan GDS 2002 mengemukakan bahwa kondisi konflik di
Sumatera Utara hanya berada pada kategori potensial konflik yang merupakan
kategori terendah dari kategori-kategori konflik yang digunakan dalam penelitian
tersebut. Dalam ungkapan yang lebih lugas dan sederhana dapat dinyatakan bahwa
di wilayah Sumatera Utara hampir tidak ada konflik yang berarti atau signifikan
jika dibandingkan dengan provinsi lain. Dengan kondisi semacam ini, dapat pula
dinyatakan bahwa konflik yang ada belum sampai pada tingkat yang mengancam
terhadap pelaksanaan pemerintahan dan implementasi otonomi daerah. Data-data
tentang keberadaan konflik menurut variasi kasus maupun keterlibatan aktor
menunjukkan kecenderungan yang konsisten dengan gambaran tersebut. Sebagian
besar responden menyatakan bahwa berbagai bentuk konflik yang ditanyakan tidak
ada terjadi dengan proporsi yang mencolok. Hanya menyangkut sengketa tanah
terdapat angka yang lumayan yakni 62,41% untuk sengketa tanah antar warga dan
36,81% untuk sengketa tanah antara pemerintah dan masyarakat dilaporkan
responden tentang adanya konflik . Angka ini kemudian disusul oleh angka pada
kekerasan antar warga yang mencapai 31,83%. Demikian pula halnya menyangkut
keberadaan menurut konflik keterlibatan aktor. Sebahagian besar responden
menggambarkan bahwa tidak ada konflik. Namun, proporsi jawaban responden
yang menganggap konflik tersebut ada -untuk konflik antara pengusaha dan buruh
(43,79%), konflik antara pemerintah dan masyarakat mencapai 35,48 %, dan untuk
konflik antar warga mencapai angka 34,19. Menyangkut cara penyelesaian konflik,
kecenderungan-kecenderungan yang diperlihatkan di Sumatera Utara, bahwa
umumnya konflik diselesaikan secara musyawarah dan berakhir di kepolisian
namun tidak dibawa ke pengadilan. Selanjutnya, tidak adanya deteksi dini terhadap
konflik dan tidak ada kelembagaan yang mengatasi konflik, namun terdapat
kelembagaan yang menangani setelah konflik terjadi. Dengan gambaran tersebut,
dapat dinyatakan bahwa belum ada upaya pencegahan atau tindakan preventif
terhadap konflik, melainkan lebih merupakan tindakan kuratif yakni penanganan
post-conflict. Sebagian besar kasus konflik berakhir di tangan kepolisian. Kasus
perselisihan pengelolaan SDA 54,05% berakhir di Kepolisian, 63,83% kasus
kekerasan warga juga berakhir di Kepolisian. Demikian juga akhir dari 41,94%
kasus perselisihan parpol. Hanya kasus/sengketa bangunan antar masyarakat yang
sebagian besar berakhir melalui musyawarah, dan sisanya berakhir di pengadilan.
Tidak ada kasus semacam ini yang berakhir di kepolisian, atau berakhir dengan
kekerasan. Berdasarkan gambaran ini, dapat dilihat bahwa kasus sengketa
tanah/bangunan antara masyarakat, institusi kemasyarakatan berupa musyawarah,
dan pengadilan dipercaya sebagai institusi yang paling mampu menyelesaikan
konflik. Bagaimana Pemerintah Daerah Sumatera Utara memagemeni konflik di
wilayahnya dapat dilihat dari ketersediaan anggarannya untuk mediasi konflik.
Berdasarkan data yang diperoleh, cenderung dilaporkan bahwa hanya untuk
mediasi konflik antara pemerintah dan masyarakat, dan konflik antara
Bupati/Walikota dengan DPRD disediakan anggaran. Data ini tentu memerlukan
penafsiran lebih lanjut, bahwa anggaran yang dimaksud bukan merupakan anggaran
yang tertulis dalam APBD. Para responden melihat bahwa pada pokoknya kedua
konflik tersebut lebih menyita perhatian PEMDA daripada konflik-konflik lainnya.
Penyalahgunaan kekuasaan pada era otonomi daerah dalam banyak hal berkaitan
dengan tidak efektifnya fungsi pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif dan
legislatif, serta buruknya kinerja aparat peradilan dalam menjalankan fungsinya.
Peluang kolusi antara pihak ekskutif daerah dan legislatif daerah untuk
memanfaatkan keuangan daerah maupun mengeluarkan kebijakan publik untuk
kepentingannya sendiri kian besar terjadi. Kasus money politics untuk Otonomi
Daerah dan Eskalasi Konflik meluluskan laporan pertanggungjawaban
Bupati/Walikota maupun tender proyek pemerintah yang tertutup dan tidak fair
sudah menjadi kasus yang jamak dirasakan dan diketahui masyarakat. Kasus
perambahan hutan di Kabupaten Karo oleh perusahaan swasta yang ditengarai
dibackingi oleh Bupati telah menyebabkan konflik antara anggota masyarakat
dengan Bupati. DPR seolah-olah tidak memiliki kemampuan untuk mempersoalkan
perambahan tersebut, sehingga masyarakat dengan caranya sendiri melakukan
protes, termasuk dengan membakar berbagai alat berat yang dipergunakan oleh para
perambah. Wacana tentang etnisitas juga telah semakin terbuka dibicarakan,
sesuatu yang sangat langka pada masa lalu. Di masa depan heterogenitas
masyarakat tetap dapat dipandang sebagai potensi konflik. Sehingga, penanganan
aspek-aspek etnisitas dalam kelembagaan pemerintah perlu di perhatikan dalam
pembuatan kebijakan publik.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai