Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
International for Study of Pain (IASP) 2012, mendefinisikan nyeri sebagai
situasi tidak menyenangkan yang bersumber dari area tertentu, yang
disebabkan oleh kerusakan jaringan dan yang berkaitan dengan
pengalaman masa lalu dari orang yang bersangkutan. Nyeri bersifat
subjektif dan tidak ada individu yang mengalami nyeri yang sama. Tingkat
nyeri atau intensitas nyeri yang dirasakan juga berbeda-beda (Potter &
Perry, 2006).

Intensitas nyeri yang dirasakan berbeda oleh masing-masing individu.


Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan
oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual
dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat
berbeda oleh dua orang yang berbeda (Tamsuri, 2007). Penatalaksanaan
untuk mengurangi intensitas nyeri dapat dilakukan secara farmakologis
atau menggunakan obat-obatan dan dapat pula dengan terapi non-
farmakologis atau tanpa menggunakan obat-obatan, salah satunya teknik
relaksasi yang paling sering digunakan pada setiap keadaan nyeri adalah
teknik relaksasi nafas dalam (Potter & Perry, 2006).

Sembilan dari 10 orang Amerika berusia 18 tahun atau lebih dilaporkan


menderita nyeri minimal sekali dalam satu bulan dan sebanyak 42%
merasakannya setiap hari (Latief dalam Sinardja, 2013). Berdasarkan hasil
data yang diperoleh dari Word Health Organization (WHO) (2015),
jumlah pasien nyeri pembedahan meningkat dari tahun ke tahun, pada
tahun 2011 tercatat terdapat 140 juta pasien atau sekitar 1,9% di seluruh
dunia, pada tahun 2012 terjadi peningkatan sebesar 148 juta pasien atau
sekitar 2,1%.
Menurut Fabbian, dkk (2014), prevalensi nyeri di Italia di alami oleh 21%
pasien penyakit kanker, 33% pasien penyakit cardiovaskuler, 23% pasien
penyakit Pulmo, 24% pasien dengan penyakit pembuluh darah, 16%
pasien dengan gangguan musculoskeletal, 18% pasien dengan penyakit
saraf, 4% pasien penyakit kulit, 15% pasien penyakit ginjal, 16% pasien
dengan penyakit gangguan metabolik, 10% pasien penyakit hepatik, 9%
pasien dengan penyakit dan gangguan pankreas, 12% pasien dengan
penyakit dan gangguan lambung dan 11% pasien dengan penyakit dan
gangguan pada usus.

Jumlah prevalensi nyeri secara keseluruhan belum pernah di teliti di


Indonesia, namun diperkirakan nyeri kanker dialami oleh sekitar 12,7 juta
orang atau sekitar 5% dari penduduk Indonesia (WHO, 2014), angka
kejadian nyeri rematik di Indonesia mencapai 23,6-31,3% (Purastuti dalam
Fanada & Muda 2012), sedangkan nyeri punggung bawah (LBP) sebanyak
40% penduduk dengan jumlah prevalensi pada laki-laki sekitar 18,2% dan
wanita 13,6% (Wulandari, Maja & Khosama, 2013).

Menurut penelitian yang dilakukan Sommer et al (2008) prevalensi pasien


post operasi mayor yang mengalami nyeri sedang sampai berat sebanyak
41% pasien post operasi pada hari ke 0, 30 % pasien pada ke 1, 19 %
pasien pada hari ke 2, 16 % pasien pada hari ke 3 dan 14 % pasien pada
hari ke 4. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sandika et al,
(2015) yang menyatakan bahwa 50% pasien post operasi mengalami nyeri
berat dan 10% pasien mengalami nyeri sedang sampai berat.

Sampai saat ini nyeri tercatat sebagai keluhan yang paling banyak
membawa pasien keluar masuk untuk berobat ke Rumah Sakit,
diperkirakan prevalensi nyeri kronis adalah 20% dari populasi dunia,
Eropa tercatat jumlah pasien nyeri sebanyak 55% (JMJ, 2014). Murphy
dalam Lumunon, Sengkey & Angliadi (2015), melaporkan prevalensi
nyeri akut di inggris mencapai 42% dengan angka kejadian pada pria
sebanyak 17% dan wanita sebanyak 25%.

Untuk mengatasi nyeri diperlukan penatalaksanaan manajemen nyeri


melalui cara farmakologi dan non-farmakologi (Smeltzer& Bare, 2012).
Menurut Khan dan Weismann (2007), yang menyatakan bahwa
metode non-farmakologi merupakan bagian protokol standar instalasi
gawat darurat. Sebab, metode non-farmakologi sangat efektif
meminimalisir nyeri dan ketakutan pada anak di ruang instalasi gawat
darurat. Metode non-farmakologi adalah intervensi keperawatan yang
diberikan tanpa menggunakan obat. Berbagai macam metode non-
farmakologi dapat dilakukan, seperti guided imagery, distraksi,
hipnotis, teknik relaksasi, kontrol pernapasan, dan biofeedback exercise
(Srouji, et al, 2010). Selain itu, ada beberapa cara lain yang bisa
digunakan, seperti penggunaan panas dan dingin, masase, akupuntur,
pengaturan suhu dan lain-lain (Wente & Richfield, 2013).

Dapat disimpulkan bahwa dalam menangani mengurangi nyeri, dapat


dilakukan dengan cara farmakologi dan non-farmakologi. Non-
farmakologi dapat mengurangi nyeri seperti halnya sama dengan
menggunakan farmakologi untuk mengurangi rasa nyeri. Non-farmakologi
bisa mengurangi nyeri dengan cara dikstrasi, guided imagery, teknik
relaksasi dan bisa menggunakan cara pengunaan panas dan dingin.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengaplikasikan manajemen nyeri mengunakan
metode non-farmakologi.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu mengidentifikasi konsep manajemen nyeri.
b. Mahasiswa mampu mengidentifikasi metode non-farmakologi.
c. Mahasiswa mampu mengidentifikasi diagnosa keperawatan pada
manajemen nyeri.
d. Mahasiswa mampu mengidentifikasi rencana tindakan
keperawatan pada manajemen nyeri.
e. Mahasiswa mampu mengevaluasi tindakan keperawatan pada
manajemen nyeri.

C. Manfaat Penulisan
Hasil laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis
dalam keperawatan yaitu sebagai panduan perawat dalam pengelolaan
kasus manajemen nyeri. Juga diharapkan menjadi infromasi bagi tenaga
kesehatan lain terutama pengelolaan kasus yang bersangkutan. Dan bagi
pasien pasca bedah sendiri untuk meningkatkan pemahaman tentang cara
mudah dan efektif dalam mengatasi nyeri yang dialami, serta mengurangi
pemberian analgesik, sehingga bisa meminimalkan efek samping obatdan
menghemat biaya pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai