Therapy)
Siapa, Kapan, Mengapa dan Bagaimana
Abstrak
KATA KUNCI: cedera ginjal akut; terapi penggantian ginjal terus menerus; dialisis;
hemodialisis; hemofiltrasi
Gagal Ginjal Akut (AKI) adalah komplikasi umum pada pasien sakit kritis dan
berhubungan dengan morbiditas yang cukup besar dan risiko kematian. Sekitar 5%
sampai 10% dari pasien dengan AKI memerlukan terapi pengganti ginjal (RRT) selama
mereka tinggal ICU, 1 dengan tingkat kematian dari 30% sampai 70%. 2-4 Selama 2
dekade terakhir, kejadian AKI yang memerlukan RRT telah meningkat sekitar 10% per
tahun. Faktor risiko untuk AKI yang memerlukan RRT adalah usia yang lebih tua, jenis
kelamin laki-laki, ras Afrika-Amerika, tingkat keparahan yang lebih tinggi, sepsis,
gagal jantung dekompensasi, operasi jantung, gagal hati, dan penggunaan ventilasi
mekanik. Sementara pernah dianggap sebagai ukuran yang luar biasa, kemampuan
untuk memberikan RRT, bahkan dalam pengaturan ketidakstabilan hemodinamik
ditandai, telah menjadi rutinitas. Namun, ketidakpastian substansial tetap mengenai
banyak aspek fundamental dari manajemen RRT, termasuk waktu yang optimal
inisiasi dan penghentian, serta pemilihan modalitas. Acuan ini memberikan
gambaran tentang isu-isu kunci manajemen RRT pada pasien sakit kritis, berfokus
terutama pada penggunaan terapi penggantian ginjal berkelanjutan (CRRT).
Modalitas RRT
Berbagai modalitas terapi renal support dapat digunakan sebagai manajemen pada
pasien kritis dengan gagal ginjal; seperti CRRT, hemodialisa konvensional intermitten
dan prolonged intermittent renal replacement therapies (PIRRTs), yang merupakan
bentuk hybrid dari CRRT dan IHD. Semua tipe terapi ini menggunakan sirkuit darah
1
ekstrakorporeal yang sama, namun berbeda pada durasi terapi dan kecepatan
ultrafiltrasi serta pembersihan solute. Selain itu, terapi dialisa lebih mengandalkan
pada proses difusi solute, sedangkan pembersihan zat pada hemofiltrasi terjadi
secara konvensional.
Meskipun CRRT dan PIRRT yang paling sering digunakan pada pasien yang tidak stabil
hemodinamiknya, ada beberapa variasi dalam prakteknya. Beberapa pusat
menggunakan CRRT (atau PIRRT) pada semua pasien ICU dengan gagal ginjal tanpa
memandang status hemodinamik, sedangkan yang lain menggunakan IHD, meskipun
dengan penyesuaian dalam resep, bahkan pada pasien yang dependent terhadap
vasopressor. Meskipun manfaat dari lambatnya, modalitas terapi ginjal
berkelanjutan, pada pasien dengan hemodinamik stabil mungkin tampak terbukti,
studi percobaan acak telah gagal untuk menunjukkan perbedaan mengenai
mortalitas dan pemulihan fungsi ginjal antara penggunaan CRRT ataupun IHD
ataupun PIRRT. Harus diakui, bagaimanapun, bahwa memberikan IHD pada
hemodinamik pasien yang stabil, resep standar mungkin memerlukan modifikasi,
seperti perpanjangan waktu perawatan untuk memungkinkan ultrafiltrasi yang lebih
bertahap, penggunaan konsentrasi natrium dialisat yang lebih tinggi, dan
menurunkan suhu dialisat. Meskipun pedoman praktik klinis untuk GGA, The Kidney
Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO), merekomendasikan penggunaan CRRT
pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, tingkat rekomendasinya adalah
rendah. Penelitian observasional, menyatakan bahwa CRRT lebih efektif dalam
mencapai keseimbangan cairan negative dibandingkan IHD. Selain itu pasien dengan
2
gagal hepar fulminant atau trauma kepala dengan peningkatan TIK, CRRT dianggap
berefek lebih baik untuk perfusi serebral dibandingkan IHD.
Pada CVVH, ultrafiltrasi yang tinggi dapat menembus membran hemofilter yang
semipermeable, yang terbentuk oleh gradient hidrostatik dan zat tertransport
melalui konveksi (gambar 2a). Solute berada di dalam aliran air yang menembus
membrane, proses ini disebut tertariknya pelarut, “solvent drag”. Tingginya kadar
ultrafiltrasi dibutuhkan agar pembersihan solute dapat tercapai maksimal dan
volume ultrafiltrat yang hilang dapat digantikan dengan pemberian larutan kristaloid
IV. Penggantian larutan ini dilakukan dengan menginfuskan ke dalam sirkuit
ekstrakorporal. Akibat hemokonsentrasi ultrafiltrasi meninggi, darah akan mengalir
melalui serat hemofilter, resiko terjadinya oklusi akan meningkat. Infus prefilter
sebagai pengganti cairan dapat mendilusikan darah sebelum memasuki hemofilter,
akan memperingan terjadinya hemokonsentrasi. Namun, pemberian prefilter ini
sebagai cairan pengganti untuk mendiluasikan solute yang ada di dalam darah, akan
menurunkan keefektifan pembersihan solute (solute clearance) pada ultrafiltration
rate. Pemberian cairan infus postfiltrasi tidak memiliki efek
Pada CVVHD, dialysate akan perfusi menembus bagian terluar dari membrane dialisa
dan solute keluar dari darah bersamaan dengan dialysate melalui proses difusi,
karena dialysate dan solute memiliki gradient konsentrasi yang rendah. Kadar
ultrafiltrasi cenderung rendah dibandingkan CVVH, dengan menjaga keseimbangan
cairan negative tanpa bantuan cairan pengganti IV. Meskipun umumnya lebih
dikenal sebagai terapi difusi murni, filtrasi 2 arah yang tak terukur, yang terjadi pada
kompartemen dialysate dan filtrasi balik dari dialysate ke darah (akibat dari tekanan
hemodinamik yang berbeda pada hemodialisa) menghasilkan transport solute
3
konvensional yang signifikan. CVVHDF adalah terapi peranakan atau campuran,
dengan mengkombinasikan aliran dialysate pada CVVHD dengan tingkat ultrafiltrasi
yang tinggi dan menggunakan terapi pengganti cairan seperti pada CVVH.
Banyaknya mekanisme solute clearance yang ada di CVVH dan CVVHD dapat
menghasilkan profil solute removal yang berbeda pada tiap modalitas. Difusi
mendukung efisiensi pembersihan pada zat yang memiliki berat jenis rendah ( < 500
– 1500 Dalton ); namun pembersihan secara difus akan menurun jika berat jenis zat
tinggi. Sedangkan pergerakan solute pada metode konvensional, tergantung pada
ukuran pori-pori membrane hemofilter. Berat jenis yang rendah dan tinggi, kadar
clearance-nya akan sama, hingga ukuran dari solute mendekati ukuran pori-pori
membrane. Oleh karena itu, pada rasio aliran yang setara, CVVH akan memiliki
proses clearance yang lebih tinggi dibandingkan CVVHD dengan range solute 1000-
20.000 Dalton atau bahkan bisa lebih tinggi jika batas paling tinggi dengan pori-pori
yang lebih besar digunakan. Meskipun telah disarankan untuk penambahan
clearance pada solute dengan massa jenis tinggi (misalnya, pro-sitokin inflamasi)
yang disediakan oleh CVVH mungkin memperoleh manfaat, hal ini belum dapat
dipertanggung jawabkan dalam praktek klinis. Difusi secara independen dan
konveksi, adsorpsi solute di sirkuit CRRT, subjek pada saturasi membrane ikat, juga
dapat berkontribusi untuk pembersihan solute secara keseluruhan. Dengan
demikian, pilihan modalitas CRRT (CVVH, CVVHD, atau CVVHDF) adalah fungsi primer
dari preferensi penyedia daripada karakteristik pasien atau data hasil obyektif.
Indikasi insiasi CRRT umumnya sama dengan indikasi RRT, seperti overload cairan,
asidosis metabolic dan keseimbangan elektrolit yang parah, dan gejala uremia yang
jelas. Walaupun indikasi ini lebih banyak digunakan, subjek indikasinya memiliki
maknya yang luas dan sebaiknya dipertimbangkan sebagai semi-objektif. Selain itu,
pada beberapa pasien, RRT dapat diinisiasi pada pasien AKI persisten atau progresif
tanpa adanya kriteria tersebut.
Overload cairan
Overload cairan pada AKI biasanya terjadi akibat menurunnya fungsi ginjal dalam
mempertahankan keseimbangan cairan, baik saat pemberian cairan IV, produk
darah, dan atau proses medikasi lainnya yang memerlukan resusitasi dan terapi
suportif pada pasien kritis dan dapat berkembang pula pada pasien yang tidak
mengalami oligouri ataupun anuria. Tidak data prospektif yang mendukung secara
spesifik untuk inisiasi RRT. Indikasi RRT umumnya pada saat overload cairan
menggangu fungsi organ dan dapat berulang meskipun telah diberi obat diuretic.
Walaupun studi observasional pada anak dan dewasa menunjukkan asosiasi yang
4
kuat antara tingkat keparahan overload cairan dengan inisiasi RRT dan tingkat
mortalitas, hubungan kausalitasnya belum diteliti lebih lanjut. Masih belum ada uji
prospektif yang menunjukkan bahwa inisiasi ultrafiltrasi ekstrakorporal pada ambang
batas overload cairan yang spesifik dapat menurunkan mortalitas.
Keseimbangan asam-basa
Asidosis metabolic yang progresif tidak dapat terhindarkan pada pasien dengan gagal
ginjal, akibat dari ketidakmampuan ginjal dalam mengeksresi asam. Pada pasien
dengan asidosis yang parah dan berulang, meskipun telah diterapi medikasi, seperti
pasien dengan overload cairan yang tidak dapat menoleransi pemberian alkali,
pemberian RRT baik yang berkela ataupun berkelanjutan diduga efektif. Umumnya
ambang batas untuk memulai RRT adalah ph < 7.1 atau 7.2 atau kadar serum
bikarbonat < 12 – 15 mmol/L. Pemberian RRT secara awal diperlukan bila pada
pasien dengan cedera pulmo akut yang memakai ventilator, karena asidemia dapat
lebih parah terjadi akibat kombinasi dari asidosis metabolic dan respiratorik.
Although RRT augments lactate clearance, there is scant evidence that initiation of
RRT to augment lactate clearance alters clinical outcomes in patients with lactic
acidosis not associated with drug toxicity (eg, metformin).
Gangguan elektrolit dapat terjadi pada pasien AKI. Hiperkalemia yang serius
merupakan kejadian yang mengancam nyawa dan membutuhkan terapi yang tepat
untuk mencegah kardiotoksisitas dan aritmia. Inisiasi RRT dapat dilakukan jika
hyperkalemia tetap berulang meski diberikan terapi medikasi. Meskipun ambang
batas potassium belum dapat ditentukan, RRT tidak terlalu diperlukan jika, kadar
potassium < 6 mmol/L. Sebaliknya RRT tepat dilakukan jika kadar potassium masih >
6.5 mmol/L meski dengan pemberian terapi medikasi. Walaupun IHD dapat
mengkoreksi hyperkalemia secara cepat dan memiliki modalitas yang tinggi pada
kasus ini, CRRT diketahui lebih efektif, meskipun lambat, dapat mengontrol
konsentrasi plasma potasiym. Gangguan elektorlit lainnya, seperti hiponatremi yang
parah ataupun hipernatremi dan hiperfosfatemia yang parah, dapat memperparah
kondisi AKI dan sebaiknya dapat digunakan sebagai factor penentu untuk memulai
terapi RRT. Pasien AKI dengan hiponatremi yang parah, CRRT dapat memperlambat
dan lebih mengontrol kadar sodium yang dibutuhkan untuk mencegah sekuel
neurologis demyelinisasi osmotic, dibandingkan dengan penggunaan IHD.
Penggunaan RRT sebagai terapi gejala uremia yang jelas, seperti ensefalopati dan
pericarditis, adalah sangat dianjurkan. Walaupun, hal tersebut merupakan
komplikasi jangka panjang dari AKI, manifestasi lain dari uremia seperti disfungsi
platet, nutrisi yang kurang, rentan terhadap infeksi dan sepsis, gagal jantung serta
5
edem pulmo, dapat sulit untuk dibedakan dari penyebab lain jika pada pasien kritis
dengan gagal organ multiple. Indikasi spesifik dan waktu yang tepat memulainya RRT
untuk mencegah terjadinya azotemia yang persisten atau progresif akibat dari
berkembangnya manifestasi gejala uremia, masih diperdebatkan dan didiskusikan di
bawah ini.
Berbagai macam toksin dan obat, seperti alcohol, lithium, salisilat, asam valproate,
dan metformin dapat didialisis, dan penggunaan RRT pada waktu yang tepat pada
kasus keracunan dan intoksikasi obat dapat meminimalisir komplikasi yang serius.
Kemampuan RRT dalam menghilangkan sebagian obat dan toksin dari sirkulasi
adalah volume distribusi, fungsi dan proses ikat protein. Oleh karena itu, RRT efektif
dalam menghilangkan partikel atau zat yang berukuran lebih kecil, molekul yang
tidak terikat dengan protein dengan distribusi volume < 1 L/kgBB. Namun, karena
tujuan dari terapi intoksikasi dan keracunan ini adalah menghilangkan secara cepat
agen tersebut, IHD merupakan pilihan terbaik dibandingkan CRRT, bahkan pada
pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil.
Peran RRT sebagai terapi hiperamonia masih belum jelas. Berdasarkan berat
jenisnya, ammonia dapat secara cepat dihilang dengan difusi dan konveksi.
Berdasarkan tujuan terapi intoksikasi dan kercunan, IHD dapat menurunkan kadar
ammonia darah secara cepat. Namun, untuk beberapa kasus, CRRT dengan dosis
tinggi nampak lebih memiliki efikasi pada manajemen hiperamonemia berat (>400
µmol/L) pada bayi dengan gangguan metabolism sejak lahir. Peran CRRT pada pasien
dewasa dengan hiperamonemia diperberat oleh gagar hepar, masih belum jelas.
CRRT dapat mereduksi kadar ammonia dalam darah. Pada analisis retrospektif, CRRT
diketahui dapat meningkatkan jangka waktu hidup 21 hari pada pasien dengan gagal
hepar tanpa transplantasi dibandingkan dengan IHD atau tanpa RRT. Namun data ini
tidak dapat memberikan hubungan kausalitas secara jelas dan tidak ada uji
prospektif lainnya yang secara spesifik dapat mengevaluasi penggunaan CRRT pada
pasien hiperamonemia disertai penyakit hepar.
Akibat indikasi spesifik masih belum dapat ditentukan, waktu yang optimal untuk
memulai RRT pasien dengan AKI masih tidak jelas. Pemberian awal pada AKI dapat
mengoptimisasi status volume, korekasi awal asam-basa dan gangguan elektrolit,
dan control azotemia sebagai perkembangan dari gangguan metabolic yang serius.
Namun, manfaat potensial sebagai hasil dari pemberian awal perlu diseimbangkan
dengan resiko yang mungkin terjadi dengan penggunaan RRT seperti akses vaskuler
(perdarahan, thrombosis, cedera vaskuler, infeksi), hipotensi intradialisa dan
pemanfaatan sumber daya lainnya yang dikhawatirkan berpotensi untuk
6
mengganggu fungsi ginjal setelah pemulihan. Selain itu, masih tidak jelas apakah
pasien dapat pulih fungsi ginjalnya atau tetap dengan AKI persisten, dan tidak ada
alat yang dapat memprediksi perjalanan klinis pada pasien AKI.
Hasil dari studi Initiation of Dialysis Early Versus Delayed in the Intensive Care Unit
(IDEAL-ICU) hamper sama dengan AKIKI. IDEAL-ICU dengan subjel 488 pasien dengan
sepsis dan AKI pada 29 ICU di Prancis. Pasien yang tidak memiliki indikasi mergensi
7
untuk RRT dilakukan randomisasi untuk inisiasi RRT dalam waktu 12 jam jika telah
memenuhi kriteria RIFLE-F atau tunda terapi hingga terjadi indikasi emergensi atau
48 jam. Dari 246 pasien yang dirandomisasi untuk terapi dini RRT, 239 (97%) pasien
diinisiasi RRT dengan median 7.6 jam setelah memenuhi kriteria RIfLE-F, sedangkan
149 dari 242 (62%) pasien yang dirandomisasi untuk menerima tunda terapi,
mendapatkan terapi RRT dengan median 51.5 jam. 90 hari mortalitas pada terapi
dini adalah 58% sedangkan pada tunda 54% dengan P .38.
Perbedaan yang penting antara ELAIN dan AKIKI serta IDEAL-ICU harus diperhatikan.
Kunci utama kriteria baik AKIKI dan IDEAL ICU adalah kriteria untuk tunda inisiasi RRT
di studi ELAIN. Selain itu, baik AKIKI maupun IDEAL ICU, modalitas RRT dapat
digunakan, sedangkan, ELAIN, hanya CVVHDF yang digunakan. Akan tetapi, AKIKI dan
IDEAL ICU mengeksklusi pasien dengan kriteria emergensi untuk inisiasi dini RRT
seperti hyperkalemia yang serius atau edem pulo, sedangkan mayoritas pasien ELAIN
mengalami overload cairan edem pulmo. Walapun uji klinis selanjutnya, perlu
menjelaskan lebih lanjut signifikansi waktu yang optimal untuk RRT, penulis percaya
bahwa, tanpa indikasi emergensi pun seperti hyperkalemia ataupun overload cairan
yang berat, penundaan pemberian RRT tidak dapat diterima.
Dosis CRRT
Kontrol Solute
Dosis CRRT ditentukan berdasarkan tingkat aliran, jumlah dialysate, dan total aliran
ultrafiltrat. Selama CVVH, konsentrasi massa jenis solute yang rendah seperti urea
pada ultrafiltrat sangatlah mirip dengan air. Begitu pula dengan CVVHD, karena
aliran dialysate umumnya lebih rendah dibandingkan aliran darah, maka
keseimbangan solute dengan massa jenis yang rendah akan tercapai antara plasma
dan dialysate. Oleh karena itu, bagaimanapun modalitas CRRT, klirens urea dan
solute massa jenis rendah lainnya akan hamper sama dengan alirannya.
Walaupun studi 15-20 tahun yang lalu menyatakan bahwa semakin tinggi alirannya
maka semakin meningkatkan tingkat kelangsungan hidup, hasilnya tidak konsisten,
dan hubungan ini tidak terkonfirmasi pada 2 multicenter RCT. Pada studi ATN, 1.124
pasien kritis dengan AKI dirandomisasi untuk menerima RRT dengan CVVHDF tingkat
aliran 35ml/kg/jam atau IHD atau PIRRT 6x/minggu atau CVVHDF dengan tingkat
aliran 20ml/kg/jam atau IHD, atau PIRRT 3x/minggu. Setiap terapi, pasien akan
bergantian antara CVVHDF atau PIRRT atau IHD berdasarkan status hemodinamik.
Terapi pengganti ginjal yang lebih intensif tidak memiliki perbedaan yang berarti,
baik dalam mortalitas, pemulihan fungsi ginjal ataupun tingkat kegagalan organ non-
renal, berdasarkan peresentasi waktu saat diterapi menggunakan CVVHDF atau
PIRRT. The Randomized Evaluation of Normal versus Augmented Level (RENAL)
8
Replacement Therapy Study, merandomisasi 1.508 pasien dengan AKI di 31 ICU di
Australia dan New Zealand dengan CVVHDF menggunakan tingkat aliran 25 atau 40
cc/kg/jam. Pada studi ATN, pemberian intensif klirens solute diketahui tidak
menghasilkan perbaikan klinis yang signifikan. Berdasarkan sumber data ini, Panduan
KDIGO merekomendasikan dosis target CRRT adalah 20-25ml/kg/jam, dengan
catatan, pemberian dosis tinggi dapat dilakukan untuk menjamin kesesuaian dengan
dosis target.
Manajemen Volume
Dimensi kedua dalam preskripsi RRT adalah manajemen volume. Ultrafiltrasi dapat
disesuaikan tergantung dengan klirens solute. Peningkatan overload cairan yang
serius beresiko untuk meningkatkan mortalitas baik pada anak ataupun dewasa pada
AKI yang membutuhkan RRT. Namun strategi oprimal untuk manajemen volume
masih belum jelas, perlunya keseimbangkan antara ultrafiltrasi, optimisasi status
kardiopulmoner dan resiko hipotensi eksaserbasi. Manajemen harus dibedakan tiap
pasien, dengan penilaian ulang target ultrafiltrasi secara periodic. Perubaha
fluktuatif pada tekanan darah umumnya tidak berhubungan status volume, hipotensi
yang terjadi pada saat CRRT harus diperhatikan sebagai factor mediasi nonvolume
dan memerlukan terapi tersendiri saat ada perubahan target ultrafiltrasi.
Meskipun modulasi sitokin pada CVVH dinilai sebagai terapi ajuvan pada sepsis, uji
klinis belum menemukan manfaat yang berarti. Dalam percobaan 80 pasien yang
dirandomisasi, dilakukan hemofiltrasi isovolemik atau penanganan biasa pada
umumnya, tidak ditemukan adanya perbaikan parameter klinis ataupun mortalitas
dengan dilakukannya hemofiltrasi. Begitu pula, dengan uji the High-Volume Versus
Standard-Volume Haemofiltration for Septic Shock Patients With Acute Kidney Injury
(IVOIRE) yang membandingkan CVVH 35 dan 70 cc/kg/jam pada pasien AKI sepsis,
penggunaan hemofiltrasi dosis tinggi tidak ditemukan manfaat. Oleh karena itu, data
ini tidak mendukung penggunaan CRRT sebagai terapi ajuvan pada pasien sepsis, di
luar perannya sebagai renal support.
Akses vascular
9
dibandingkan sinistra, karena mengarah langsung ke atrium dekstra. Meskipun
kateter femoral biasanya berhubungan dengan tingginya bacteremia dibandingkan
kateter jugular interna, perbandingan kolonisasi, bacteremia dan thrombosis pada
penggunaan kateter dialysis femoral dan jugular interna diteliti secara randomisasi
pada 750 pasien AKI yang membutuhkan RRT. Relative risk kolonisasi pada kateter
femoral, lebih tinggi pada pasien dengan BMI > 28.4 kg/m2. Kanulasi subklavia jarang
dilakukan karena tingginya resiko komplikasi saat pemasangan dan stenosis vena.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, KDIGO merekomendasikan kateter vena jugular
interna dekstra sebagai lokasi terbaik, diikuti dengan kateter femoral dan vena
jugular interna sinistra.
Posisi ujung kateter yang tepat adalah penting sekali agar fungsi kateter dapat
adekuat. PAda kateter jugular interna, ujung kateter harus berada di pertemuan
antara vena kava superior dan atrium dekstra atau tepat berada di atrium dekstra.
Agar posisi yang lebih tepat lagi, kateter yang lebih panjang diperlukan jika dilakukan
pemasangan kanulasi pada vena jugular interna sinistra. Bahkan kateter yang lebih
panjang juga diperlukan pada kateter femoral agar posisi ujung kateter dapet
berdekatan dengan vena kava inferior. Malposisi kateter dapat meningkatkan resiko
aliran darah tertahan dan resirkulasi. Selain itu, dapat menyebabakan clotting pada
filter dan aliran sirkuit. Fungsi kateter yang adekuat harus dinilai selagi ada
kemungkinan clotting berulang. Kateter tunel tidak direkomendasikan dalam
penggunaan rutin, namun diketahui bahwa penggunaannya dapat menurunkan
resiko infeksi dan meningkatkan aliran darah sehingga perlu dipertimbangkan
apabila kebutuhan pemakaian RRT lebih dari 1-3 minggu.
Clotting pada sirkuit ekstrakorporal adalah komplikasi tersering saat CRRT. Pola
pemberian antikoagulasi sangatlah beragam, pasien CRRT tanpa pemberian
antikoagulan adalah sebesar 30-60%. Walaupun penggunaan antikoagulan tidak
diperbolehkan pada pasien yang memiliki koagulopati, trombositopeni ataun
perdarahan aktif, terapi antikoagulan dapat berguna apabila tidak ada koagulopati
dan trombositopeni. Untuk meminimalisir resiko clotting dari sirkuit ekstrakorporal:
meningkatkan aliran darah, meminimalisir fraksi filtrasi dengan menggunakan
CVVHD dibandingkan CVVH atau menggunaan terapi pengganti cairan prefilter saat
CVVH dan CVVHDF, memastikan optimalisasi fungsi kateter, dan berespon cepat
pada alarm mesin untuk meminimalisir interupsi aliran darah serya meningkatkan
frekuensi penggantian sirkuit ekstrakorporal. Kewaspadaan harus ditingkatkan jika
tidak menggunakan antikoagulan agar tidak terjadi kesalahan pemberian dosis.
Antikoagulan yang diberikan pada umumnya adalah heparin atau sitrat. Entah
dengan UFH atau heparin yang tidak terfraksi atau heparin dengan jenis molekul
yang rendah dapat digunakan. Panduan dosis UFH untuk CRRT sangat beragam,
10
mulai dari yang paling rendah yaitu dosis inisial 500-1000 U diikuti dengan dosis
maintenance 300-500 U/jam, untuk meminimalisis efek sistemik, hingga dosis bolus
30 U/kg diikuti dengan dosis lanjutan 5-10 U/kg/jam dengan target sistemik APTT 1.5
– 2 kali dari normal. Heparin dengan berat molekul rendah dapat digunakan sebagai
alternative dari UFH, karena dapat memberikan aktivitas antifaktor Xa lebih tinggi,
respon antikoagulan yang lebih konsisten, dan menurunkan insidensi trombositopeni
akibat heparin. Namun, konsistensi bahwa heparin dengan berat jenis rendah lebih
baik drpd UFH masih belum ditemukan. Pada pasien dengan trombositopeni akibat
heparin, penggunaan heparin harus segera dihentikan dan perlu diberikan inhibitor
thrombin. Argatroban adalah yang paling sering dianjurkan, namun karena
metabolismenya melalui hati, pasien dengan gagal hepar dan AKI, dianjurkan untuk
diberikan bivalirudin.
Dosis medikasi saat CRRT bisa jadi membingungkan karena perhitungan dosis harus
memperkirakan berbagai factor seperti, klirens obat ekstrakorporal, klirens non
11
renal, fungsi residual ginjal, dan perubahan volume distribusi dan protein pengikat.
Kesalahan pada pemilihan dosis dapat meningkatkan toksisitas dari reduksi dosis
yang kurang adekuat dan kegagalan terapi karena kurang dosis. Sehingga sangatlah
diperlukan pemilihan dosis antibiotic pada pasien sepsis dengan AKI.
Diskusi detail mengenai dosis obat saat CRRT berada di luar jangkauan dari studi ini;
namun banyak panduan yang tersedia. Untuk pengobatan seperti analgesic, sedative
dan vasopressor yang memiliki efek klinis yang dapat diobservasi, dosis harus
dititrasi sesuai dengan respon klinis. Obat yang memiliki massa jenis lebih tinggi,
bergantung pada protein, atau yang memiliki ukuran distribusi yang besar, akan sulit
untuk dibersihkan oleh CRRT. Klirens ekstrakorporal pada obat dengan massa jenis
yang rendah, tidak tergantung dengan protein sehingga perkiraan klirens perlu
dihitung sebagai persen fraksi yang tak terikat. Untuk seluruh medikasi yang dapat
diukur menggunakan kada darah, dosis harus disesuaikan berdasarkan monitoring
farmakokinetik. Akhirnya, meskipun banyak studi yang mendukung untuk
memperkirakan dosis berbagai agen, studi tersebut hanya menggunakan parameter
umum yang bisa saja tidak berespon terhadap CRRT dan dosis yang digunakan.
Manajemen Nutrisi
Pasien AKI yang sedang diterapi CRRT biasanya memiliki kadar katabolic protein yang
tinggi. Selain itu, CRRT menyebabkan hilangnya asam amino, vitamin larut air dan
mikronutriens lainnya. Intake kalori yang dianjurkan adalah 35kcal/kg/hari, dengan
target protein 1.5g/kg/hari dan juga diberikan suplemen vitamin larut air.
Komplikasi CRRT
12
clotting. Jika tidak terjadi gangguan pada kateter, aliran darah maksimal, dan filtrasi
fraksi < 20%, penggunaan antikoagulan lebih awal dapat dipertimbangkan.
Komplikasi penggunaan heparin adalah perdarahan dan trombositopeni. Sitrat juga
dapat menyebabkan toksisitas akibat akumulasi sitrat, hipokalsemi akibat
penggantian kalsium yang kurang adekuat, asidosis metabolic dan alkalosis
metabolic.
Tidak seperti IHD yang konvensional, dialysate dan pengganti cairan tidak harus
dihangatkan. Akibatnya dapat terjadi vasokontriksi yang dipercaya berkontribusi
dalam meningkatkan stabilitas hemodinamik dengan gejala klinis yang ditunjukkan
adalah demam. Jika panasnya hilang, gejala substansial yang dapat terjadi adalah
hipotermi dan perlu dilakukan penghangatan secara cepat.
Hipotensi saat CRRT juga umum terjadi pada 1/3 kasus pasien. Ultrafiltrasi dapat
menyebabkan eksaserbasi hemodinamik tidak stabil dan merupakan penyebab
paling umum hipotensi. Inotropik negative dan vasodilator yg berhubungan dg
larutan asetat dan buffer laktat juga dapat menyebabkan hipotensi, namun karena
sudah tersedia larutan bikarbonat dan terapi pengganti cairan, penyebab ini dapat
diminimalisir. Hipotensi juga dapat terjadi saat awal terapi, terutama ketika sirkuit
primer tidak terinfus, hal ini dapat diperingan dengan pemberian albumin pada
sirkuit. Walaupun peningkatan aliran darah pada sirkuit ekstrakorporal berhubungan
dengan peningkatan volume sirkuit dan hipotensi dengan system dialisa dahulu, hal
ini dapat diabaikan karena sekarang telah menggunakan teknologi CRRT dan serat
filter berongga. Ketika hipotensi timbul bersamaan dengan pengurangan volume,
harus diatasi dengan reinfusi volume dan pengaturan target ultrafiltrasil; selain itu,
etiologi lain juga harus dipertimbangkan, hipotensi dapat diatasi dengan pemberian
titrasi vasopressor.
Tidak ada kriteria yang spesifik untuk menghentikan CRRT karena adanya pemulihan
fungsi ginjal atau transisi modalitas RRT lainnya. Gejala awal sebagai tanda
pemulihan fungsi ginjal adalah meningkatnya urin output. Pada studi yang dilakukan
13
oleh the observational Beginning and Ending Supportive Therapy for the Kidney (BEST
Kidney), urin output > 400 ml/hari tanpa bantuan diuretic merupakan predictor yang
sukses untuk henti CRRT. Studi observasional kohort, pasien yang sukses berhenti
CRRT tanpa memerlukan renisiasi memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih
baik setelah keluar dari rumah sakit dibandingkan yang perlu reinisiasi. Studi lain
menyatakan bahwa urin output > 500ml/hari adalah kriteria untuk henti RRT pada
pasien AKI. Kegunaan kriteria ini masih belum jelas, namun klinisi yang melanjutkan
penerapan RRT karena rekomendasi ini, dari 2/3 kasus yang tertangani, menyatakan
bahwa overload cairan adalah penyebab berlanjutnya RRT. Studi ATN, urin yang
terkumpul selama 6 jam, urin outputnya adalah > 750 ml/hari. RRT dapat dilanjutkan
jika kliren kreatinin < 12 ml/min, dan dapat dihentikan jika sudah > 20 ml/min.
Meskipun kriteria ini dapat digunakan untuk penentuan klinis, kriteria untuk
pemberhentian terapi RRT masih kurang.
Transisi pasien dari status hemodinamik yang membaik tapi dengan AKI persiten ke
modalitas RRT lain sangatlah bervariasi. PIRRT dapat digunakan sebagai terapi
transisional atau IHD dapat dipertimbangkan bila berdasar status klinis. Perubahan
CRRT ke PIRRT atau IHD dapat menginisiasi terapi fisik dan mobilisasi dari tempat
tidur. Secara umum, pasien dengan persisten AKI dan tergantung terhadap RRT
harus dipindahkan ke IHD sebelum keluar dari ICU.
Isu ini berkaitan dengan klinis dan ketepatan etik mengenai inisiasi atau berlanjutnya
RRT yang sering terjadi pada pasien dengan AKI. Diskusi mengenai inisiasi dan
pemberhentian terapi pada pasien dan keluarga atau wali harus dijelaskan secara
menyeluruh mulai dari prognosis dan tujuan teapi, serta perlu untuk
mempertimbangkan terapi lainnya. Sangatlah penting untuk memastikan bahwa
pelayanan primer dan konsultan nefrologi untuk mengelola RRT dengan penilaian
prognosis yang konsisten dan pemilihan terapi, dijelaskan secara baik tapi dengan
cara simpati, agar mempermudah proses dalam penentuan keputusan. Mortalitas
yang tinggi pada AKI dengan tingkat sakit yang kritis dan tingkat kompleksitas serta
aspek emosional dapat mempengaruhi keputusan dari inisiasi dan pemberhentian
renal support sehingga disarankan pelayanan paliatif sejak dini dilakukan. Percobaan
RRT dalam waktu tertentu mungkin dapat berguna pada beberapa kondisi dimana
prognosis masih belum jelas atau pasien, keluarga/wali masih belum siap untuk
menentukan keputusan inisiasi atau pemberhentian RRT dan terapi insentif lainnya.
14
Konklusi
CRRT telah menjadi pilihan pertama pada pasien AKI yang kritis. Pada pasien yang
tidak memiliki indikasi objektif untuk memulai renal support, waktu yang optimal
untuk RRT masih kontroversial. Walaupun penggunaan terapi berkelanjutan dapat
memfasilitasi manajemen pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, data
yang ada tidak menunjukkan CRRT dapat meningkatkan tingkat kelangsungan hidup
ataupun pemulihan dari fungsi ginjal dibandingkan konvensional IHD dan PIRRT.
Studi skala besar menyatakan bahwa mayoritas pasien dengan klirens solute > 20 –
25 ml/kg/jam tidak berhubungan dengan peningkatan hasil; namun strategi yang
optimal untuk manajemen volume harus dikaji. Begitu pula manajemen CRRT
memiliki variasi substansial dalam prakteknya, termasuk penggunaan antikoagulan.
Akhir kata, peran CRRT dapat dipertimbangkan secara keseluruhan mulai dari tujuan
terapi dan penggunaan terapi insentif lainnya.
15