Anda di halaman 1dari 46

5

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Kerajaan Singosari


2.1.1 Awal Berdiri
Menurut Pararaton, Tumapel semula hanya sebuah daerah bawahan
Kerajaan Kadiri. Yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu
adalah Tunggul Ametung. Ia mati dibunuh dengan cara tipu muslihat oleh
pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok, yang kemudian menjadi akuwu
baru. Ken Arok juga yang mengawini istri Tunggul Ametung yang bernama Ken
Dedes. Ken Arok kemudian berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kerajaan
Kadiri. Pada tahun 1254 terjadi perseteruan antara Kertajaya raja Kerajaan Kadiri
melawan kaum brahmana. Para brahmana lalu menggabungkan diri dengan Ken
Arok yang mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel bergelar Sri Rajasa
Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kerajaan Kadiri meletus di desa Ganter
yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.
Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian
Kerajaan Tumapel, namun tidak menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam
naskah itu, pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang
Girinathaputra yang berhasil mengalahkan Kertajaya raja Kerajaan Kadiri.
Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara tahun 1255, menyebutkan kalau
pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Mungkin nama ini adalah gelar
anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri
kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa. Selain itu, Pararaton juga
menyebutkan bahwa, sebelum maju perang melawan Kerajaan Kadiri, Ken Arok
lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Siwa.

2.1.2 Raja-raja yang Memimpin


Kisah suksesi atau peralihan kekuasaan raja-raja Kerajaan
Singosari dijelaskan dalam Kitab Pararaton, selalu diwarnai pertumpahan darah
yang dilatari balas dendam. Ken Arok mati dibunuh Anusapati (anak tirinya).
6

Anusapati mati dibunuh Tohjaya (anak Ken Arok dari selir). Tohjaya mati akibat
pemberontakan Ranggawuni (anak Anusapati).
Hanya Ranggawuni yang digantikan Kertanagara (putranya) secara damai.
Kertanagara adalah raja terakhir dan Raja terbesar dalam sejarah Kerajaan
Singosari (1268 - 1292). Ia adalah raja pertama yang mengalihkan wawasannya ke
luar Jawa. Pada tahun 1275 ia mengirim pasukan Ekspedisi Pamalayu untuk
menjadikan Sumatra sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi
ekspansi bangsa Mongol.
Saat itu penguasa Sumatra adalah Kerajaan Dharmasraya (kelanjutan dari
Kerajaan Malayu). Kerajaan ini akhirnya dianggap telah ditundukkan, dengan
dikirimkannya bukti arca Amoghapasa yang dari Kerajaan Singosari, sebagai
tanda persahabatan kedua negara. Pada tahun 1284, Kertanagara juga
mengadakan ekspedisi menaklukkan Bali. Pada tahun 1289 Kaisar Kubilai
Khan mengirim utusan ke Kerajaan Singosari meminta agar Jawa mengakui
kedaulatan Mongol. Namun permintaan itu ditolak tegas oleh Kertanagara. Kitab
Nagarakretagama menyebutkan daerah-daerah bawahanKerajaan Singosari di
luar Jawa pada masa Raja Kertanagara antara lain, Melayu, Bali, Pahang,
Gurun, danBakulapura.

Versi Pararaton Versi Nagarakretagama

Ken Arok alias Rajasa Sang Amurwabhumi Rangga Rajasa Sang


(1222 – 1247) Girinathaputra (1222 – 1227)

Anusapati (1247 – 1249) Anusapati (1227 – 1248)

Tohjaya (1249 – 1250) Wisnuwardhana (1248 – 1254)

Ranggawuni alias Wisnuwardhana(1250-1272) Kertanagara (1254 – 1292)


Kertanagara (1272 – 1292)
Table 2.1.2.1 Tabel Urutan Raja-raja yang Memimpin Singasari

2.1.2.1 Ken Arok


7

Ketika di pusat Kerajaan Kediri terjadi pertentangan antara raja dan kaum
Brahmana, semua pendeta melarikan diri ke Tumapel dan dilindungi oleh Ken
Arok. Pada 1222, para pendeta Hindu kemudian menobatkan Ken Arok sebagai
raja di Tumapel dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi.
Adapun nama kerajaannya ialah Kerajaan Singasari. Berita pembentukan
Kerajaan Singasari dan penobatan Ken Arok menimbulkan kemarahan raja Kediri,
Kertajaya. la kemudian memimpin sendiri pasukan besar untuk menyerang
Kerajaan Singasari. Kedua pasukan bertempur di Desa Ganter pada 1222. Ken
Arok berhasil.
2.1.2.2 Anusapati (1227 – 1248)
Dengan meninggalnya Ken Arok maka takhta Kerajaan Singasari jatuh ke
tangan Anusapati. Dalam jangka waktu pemerintahaannya yang lama, Anusapati
tidak banyak melakukan pembaharuan – pembaharuan karena larut dengan
kesenangannya menyabung ayam.
Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai juga ke Tohjoyo
(putra Ken Arok dengan Ken Umang). Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati
gemar menyabung ayam sehingga diundangnya Anusapati ke Gedong Jiwa
(tempat kediamanan Tohjoyo) untuk mengadakan pesta sabung ayam. Pada saat
Anusapati asyik menyaksikan aduan ayamnya, secara tiba-tiba Tohjoyo menyabut
keris buatan Empu Gandring yang dibawanya dan langsung menusuk Anusapati.
Dengan demikian, meninggallah Anusapati yang didharmakan di Candi Kidal.
2.1.2.3 Raja Tohjaya (1248)
Dengan meninggalnya Anusapati maka takhta Kerajaan Singasari
dipegang oleh Tohjaya. Namun, Tohjaya memerintah Kerajaan Singasari tidak
lama sebab anak Anusapati yang bernama Ranggawuni berusaha membalas
kematian ayahnya. Dengan bantuan Mahesa Cempaka dan para pengikutnya
menuntut hak atas tahta kerajaan, tetapi Tohjaya mengirimkan pasukan untuk
menangkap Ranggawuidan dan Mahesa Cempaka. Rencara Tohjaya telah di
ketahui lebih dulu oleh Ranggawuni dan Mahesa Cempaka, sehingga keduanya
berhasil melarikan diri sebelum pasukan Tohjaya tiba di tempat kediamannya.
8

Lalu Ranggawuni berhasil menggulingkan Tohjaya dan kemudian menduduki


singgasana.
2.1.2.4 Ranggawuni (1248-1268)
Ranggawuni naik takhta Kerajaan Singasari pada tahun 1248 dengan gelar
Sri Jaya Wisnuwardana oleh Mahesa Cempaka (anak dari Mahesa Wongateleng)
yang diberi kedudukan sebagai ratu angabhaya dengan gelar Narasinghamurti.
Mereka memerintah secara bersama-sama. Wishnuwardhana menjadi raja dan
Nara Singhamurti sebagai ratu angabhaya. Pemerintahan Ranggawuni membawa
ketenteraman dan kesejahteran rakyat Singasari.Pada tahun 1254, Wisnuwardana
mengangkat putranya yang bernama Kertanegara sebagai yuwaraja (raja muda)
dengan maksud mempersiapkannya menjadi raja besar di Kerajaan Singasari.
2.1.2.5 Kartanegara (1268-1292)
Kertanegara adalah Raja Singasari terakhir dan terbesar karena
mempunyai cita-cita untuk menyatukan seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada
tahun 1268 dengan gelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Dalam
pemerintahannya, ia dibantu oleh tiga orang mahamentri, yaitu mahamentriihino,
mahamentriihalu, dan mahamenteriisirikan.
Untuk dapat mewujudkan gagasan penyatuan Nusantara, ia mengganti
pejabat-pejabat yang kolot dengan yang baru, seperti Patih Raganata digantikan
oleh Patih Aragani. Banyak Wide dijadikan Bupati di Sumenep ( Madura ) dengan
gelar Aria Wiaraja. Stabilitasi kerajaan yang di wujudkan pada amasa
pemerintahan Raja wishnuwardhana di sempurnakan lagi dengan tindakan-
tindakan yang tegas dan berani.
Setelah keadaan Jawa Timur di anggap baik, Raja Kertanegara melangkah
keluar wilayah Jawa Timur untuk mewujudkan cita-cita persatuan seluruh
Nusantara di bawah Panji Kerajaan Singasari. Memenangkan pertempuran dan
sejak itu wilayah kekuasaan Kerajaan Kediri dikuasai oleh Singasari.

2.1.3 Kehidupan Politik dan Perluasan Daerah


9

Ken Arok menyatakan diri sebagai raja baru dengan gelar Sri Ranggah
Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi. Nama Tumapel diganti menjadi Singosari.
Ken Arok hanya memerintah lima tahun (1222-1227). Dari perkawinannya
dengan Ken Dedes, Ken Arok mempunyai empat orang anak yaitu: Mahisa
Wongateleng, Panji Saprang, Agni Bhaya, dan Dewi Rimba. Kemudian dari
perkawinannya dengan istri yang lain, yaitu Ken Umang, Ken Arok mempunyai
anak bernama Panji Tohjaya.
Pada tahun 1227 M, Ken Arok dibunuh oleh seseorang atas perintah
Anusapati. Anusapati ternyata anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung atau anak
tiri Ken Arok. Setelah membunuh Ken Arok, Anusapati menjadi
raja Singosari (1227-1248). Sepak terjang Anusapati ini didukung oleh Mahisa
Wongateleng, anak Ken Dedes dari Ken Arok. Dengan meninggalnya Ken Arok,
Tohjaya sebagai anak Ken Arok dari Ken Umang ingin membalas kematian
ayahnya. Untuk itu, pada tahun 1248, Anusapati dibunuh oleh Tohjaya.
Dengan terbunuhnya Anusapati, Panji Tohjaya naik takhta menjadi Raja
Singosari. Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan yang dilakukan
oleh Ranggawuni serta Mahisa Campaka (anak Mahisa Wongateleng). Panji
Tohjaya berhasil melarikan diri, tetapi ia meninggal di Katang Lumbang.
Ranggawuni memberontak karena yang berhak atas kerajaan sepeninggal
Anusapati adalah Waninghyun, yaitu istrinya. Dengan jatuhnya Tohjaya, maka
Kerajaan Kediri yang dulunya merupakan bawahan Singosari berhasil disatukan
oleh Ranggawuni.
Ranggawuni memerintah Singosari dari tahun1248-1268. Ia bergelar Sri Jaya
Wisnuwardhana. Dalam menjalankan pemerintahannya, ia didampingi oleh
Mahisa Campaka (yang membantu Ranggawuni memberontak pada Panji
Tohjaya) yang berkedudukan sebagai perdana menteri dengan gelar
Narasingamurti. Pada tahun 1268 M, Raja Wisnuwardhana meninggal.
Sepeninggal Wisnuwardhana, tampuk pemerintahan kerajaan dipegang oleh
putranya yang bernama Kertanegara. Selanjutnya Kertanegara menjadi raja
Singosari (1268-1292). Dalam bidang politik, Kertanegara terkenal sebagai
seorang raja yang mempunyai gagasan untuk meluaskan kekuasaannya meliputi
10

seluruh wilayah Nusantara. Hal itu tampak, ketika pada tahun 1275 M
mengirimkan tentaranya ke Melayu. Ekspedisi itu dikenal dengan nama Ekspedisi
Pamalayu.
Adapun tujuan ekspedisi ini adalah untuk memperluas kekuasaannya di luar
Jawa yaitu termasuk Melayu dan Sriwijaya. Ekspedisi ini merupakan penjabaran
dari pelaksanaan politik luar negeri Kerajaan Singosari dalam rangka menahan
serbuan tentara Mongol dibawah pimpinan Kaisar Kubhilai Khan yang sedang
melakukan perluasan wilayah di Asia Tenggara.
Pada tahun 1280 dan 1281, datang utusan Kubhilai Khan ke Singosari untuk
meminta Singosari tunduk dan takluk pada Kubhilai Khan. Akan tetapi perintah
Kaisar Kubhilai Khan itu ditolak oleh Kertanegara dengan melakukan penghinaan
diplomatik (merusak muka Meng Chi, utusan dari Kubhilai Khan). Kubhilai Khan
sangat marah melihat tindakan Kertanegara kepada utusannya.
Ia lalu mengirimkan pasukannya ke Jawa untuk menyerang Singosari,
sekaligus menghukum Kertanegara. Keinginan Kubhilai Khan untuk menyerang
Kerajaan Singosari tidak terlaksana, karena pasukan Kubhilai Khan baru tiba
di Singosari pada tahun 1293 M, sementara Raja Kertanegara yang dicari-cari
telah meninggal pada tahun 1292 M akibat serangan dari Jayakatwang (keturunan
raja Kediri).
Menurut kitab Pararaton, serangan Jayakatwang dilakukan pada bulan Mei
dan Juni tahun 1292. Pasukan Singosari yang pada saat itu dipimpin oleh menantu
Kertanegara dan cucu Mahisa Cempaka, Raden Wijaya, berhasil dipancing
pasukan Jayakatwang keluar dari keraton. Pasukan Jayakatwang berhasil masuk
ke keraton dan membunuh Raja Kertanegara serta para pembesar keraton. Dengan
meninggalnya Raja Kertanegara, berakhirlah Kerajaan Singosari.
Menurut Prasasti Kudadu, setelah terbunuhnya Kertanegara, Raden Wijaya
dan keempat istrinya serta beberapa pengikutnya menyelamatkan diri dengan
menyeberang ke Madura. Di Madura, mereka diterima oleh Bupati Sumenep,
Arya Wiraraja. Raden Wijaya menyerang balik Jayakatwang, dengan
memanfaatkan pasukan Kubhilai Khan yang mendarat di Tuban yang bertujuan
membalas penghinaan Kertanegara terhadap utusan Kubhilai Khan.
11

Ia berhasil meyakinkan pasukan Cina bahwa Raden Wijaya mau mengakui


kedaulatan Kubhilai Khan, pasukan Cina bersedia bergabung dengan pasukan
Raden Wijaya untuk menghancurkan pasukan Jayakatwang. Bersama-sama
dengan pasukan Kubhilai Khan, Raden Wijaya berhasil mengalahkan
Jayakatwang. Jayakatwang sendiri ditawan oleh pasukan Mongol dan dibawa ke
markas mereka di Ujung Galuh. Di tempat itu, Jayakatwang akhirnya dibunuh.
Setelah sukses menghancurkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik
menyerang dan memukul mundur tentara Mongol di Daha dan Canggu. Akibat
serangan ini, lebih dari 3000 tentara Mongol tewas dan sisanya melarikan diri dari
Jawa untuk kembali ke negerinya.
Politik Dalam Negeri:
1. Mengadakan pergeseran pembantu-pembantunya seperti Mahapatih
Raganata digantikan oleh Aragani, dll.
2. Berbuat baik terhadap lawan-lawan politiknya seperti mengangkat putra
Jayakatwang (Raja Kediri) yang bernama Ardharaja menjadi menantunya.
3. Memperkuat angkatan perang.
Politik Luar Negeri:
1. Melaksanakan Ekspedisi Pamalayu untuk menguasai Kerajaan melayu
serta melemahkan posisi Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka.
2. Menguasai Malaka, Bali, Kalimantan dan Jawa Barat.

2.1.4 Kehidupan Ekonomi


Letak kerajaan Singosari di tepi sungai Bengawan Solo. Hal ini memberikan
kesimpulan bahwa masyarakatnya aktif dalam kegiatan perekonomian pelayaran.
Selain itu, dengan suburnya bumi Jawa, maka sektor pertanian pun menjadi
bagian dari aspek perekonomian yang maju di Singosari beserta hasil buminya.
Tidak banyak sumber prasasti dan berita dari negeri asing yang dapat
memberi keterangan secara jelas kehidupan perekonomian rakyat Singasari. Akan
tetapi, berdasarkan analisis bahwa pusat Kerajaan Singasari berada di sekitar
Lembah Sungai Brantas dapat diduga bahwa rakyat Singasari banyak
menggantungkan kehidupan pada sektor pertanian. Keadaan itu juga didukung
12

oleh hasil bumi yang melimpah sehingga menyebabkan Ekspedisi Pamalayu yang
dilakukan oleh Kertanegara yang menjadi salah satu bukti bahwa negara berusaha
meningkatkan kehidupan ekonominya dengan menguasai jalur perdagangan yang
strategis.
Keberadaan Sungai Brantas dapat juga digunakan sebagai sarana lalu lintas
perdagangan dari wilayah pedalaman dengan dunia luar. Dengan demikian,
perdagangan juga menjadi andalan bagi pengembangan perekonomian Kerajaan
Singasari.

2.1.5 Kehidupan Sosial


Ketika Ken Arok menjadi Akuwu di Tumapel, berusaha meningkatkan
kehidupan masyarakatnya. Banyak daerah – daerah yang bergabung dengan
Tumapel. Namun pada masa pemerintahan Anusapati, kehidupan kehidupan sosial
masyarakat kurang mendapat perhatian, karena ia larut dalam kegemarannya
menyabung ayam. Pada masa Wisnuwardhana kehidupan sosial masyarakatnya
mulai diatur rapi. Dan pada masa Kertanegara, ia meningkatkan taraf kehidupan
masyarakatnya.

2.1.6 Kehidupan Beragama dan Kepercayaan yang Dianut


Kerajaan Singasari adalah sebuah kerajaan Hindu Buddha di Jawa Timur
yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222 M. Lokasi kerajaan ini sekarang
diperkirakan di daerah Singosari, Malang. Kerajaan Singasari hanya sempat
bertahan 70 tahun sebelum mengalami keruntuhan. Kerajaan ini beribu kota di
Tumapel yang terletak di kawasan bernama Kutaraja. Pada awalnya, Tumapel
hanyalah sebuah wilayah kabupaten yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan
Kadiri dengan bupati bernama Tunggul Ametung. Tunggul Ametung dibunuh oleh
Ken Arok yang merupakan pengawalnya. Keberadaan Kerajaan Singosari
dibuktikan melalui candi-candi yang banyak ditemukan di Jawa Timur yaitu
daerah Singosari sampai Malang, juga melalui kitab sastra peninggalan zaman
Majapahit yang berjudul Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang
menjelaskan tentang raja-raja yang memerintah di Singosari serta kitab Pararaton
13

yang juga menceritakan riwayat Ken Arok yang penuh keajaiban. Kitab Pararaton
isinya sebagian besar adalah mitos atau dongeng tetapi dari kitab Pararatonlah asal
usul Ken Arok menjadi raja dapat diketahui. Sebelum menjadi raja, Ken Arok
berkedudukan sebagai Akuwu (Bupati) di Tumapel menggantikan Tunggul
Ametung yang dibunuhnya, karena tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul
Ametung. Selanjutnya ia berkeinginan melepaskan Tumapel dari kekuasaan
kerajaan Kadiri yang diperintah oleh Kertajaya. Keinginannya terpenuhi setelah
kaum Brahmana Kadiri meminta perlindungannya. Dengan alasan tersebut, maka
tahun 1222 M /1144 C Ken Arok menyerang Kediri, sehingga Kertajaya
mengalami kekalahan pada pertempuran di desa Ganter. Ken Arok yang
mengangkat dirinya sebagai raja Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang
Amurwabhumi.

2.1.7 Kejayaan
Kertanagara adalah raja terakhir dan raja terbesar dalam sejarah Singhasari
(1268 -1292). Ia adalah raja pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa.
Pada tahun1275 ia mengirim pasukan Ekspedisi Pamalayu untuk menjadikan
pulau Sumatra sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi
bangsaMongol. Saat itu penguasa pulau Sumatra adalah Kerajaan Dharmasraya
(kelanjutan dari Kerajaan Malayu). Kerajaan ini akhirnya tunduk dengan
ditemukannya bukti arca Amoghapasa yang dikirim Kertanagara sebagai tanda
persahabatan kedua negara. Pada tahun 1284, Kertanagara juga mengadakan
ekspedisi menaklukkan Bali.
Pada tahun 1289 Kaisar Kubilai Khan mengirim utusan ke Singhasari
meminta agar Jawa mengakui kedaulatan Mongol. Namun permintaan itu ditolak
tegas oleh Kertanagara. Nagarakretagama menyebutkan daerah-daerah bawahan
Singhasari di luar Jawa pada masa Kertanagara antara lain, Melayu, Bali, Pahang,
Gurun, dan Bakulapura.

2.1.8 Keruntuhan dan Faktor Penyebab


14

Kerajaan Singhasari yang sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar


jawa akhirnya mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi
pemberontakan Jayakatwang bupati Gelanggelang, yang merupakan sepupu,
sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanegara sendiri. Dalam serangan itu
Kertanegara mati terbunuh. Setelah runtuhnya Singhasari,Jayakatwang menjadi
raja dan membangun ibu kota baru di Kadiri. Riwayat Kerajaan Tumapel-
Singhasari pun berakhir.

2.1.9 Hasil Kebudayaan dan Kitab


2.1.9.1 Candi Singasari
Berdasarkan penyebutannya dalam kitab Pararaton dan dari prasasti Gajah
Mada yang ditemukan didepan komplek candi Singasari ini, candi Singasari
merupakan tempat pendharmaan atau makam dari Raja Kertanegara yang
meninggal pada tahun 1292 akibat diserang oleh pasukan gelang – gelang yang
dipimpin oleh Jayakatwang. Candi Singasari ini terletak di Desa Candirenggo,
Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Indonesia.

Gambar 2.1.9.1

2.1.9.2 Candi Jago


Candi jago merupakan candi yang digunakan untuk peribadatan oleh Raja
Kertanegara serta pendharmaan Raja Wisnuwarddhana yang dibangun pada tahun
1268 M atau kemungkinan 12 tahun sesudahnya (upacara sraddha). Arsitektur
Candi Jago disusun seperti teras punden berundak. Candi ini cukup unik,
15

dikarenakan bagian atasnya hanya tersisa sebagian dan menurut cerita setempat
karena tersambar petir. Relief Kunjarakarna yang menceritakan tentang usaha
seorang makhluk setengah dewa (Kunjarakarna) dalam mencapai jalan kebenaran
dapat ditemukan di candi ini. Dengan keseluruhan bangunan candi ini tersusun

atas bahan batu andesit. Candi ini terletak di Dusun Jago, Desa Tumpang,
Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Indonesia.
Gambar 2.1.9.2
2.1.9.3 Candi Sumberawan
Candi Sumberawan merupakan satu-satunya stupa yang ditemukan di
Jawa Timur. Dengan jarak sekitar 6 km dari Candi Singosari, Candi ini merupakan
peninggalan Kerajaan Singasari dan digunakan oleh umat Buddha pada masa itu.
Pemandangan di sekitar candi ini sangat indah dikarenaka terletak di dekat sebuah
telaga yang sangat bening airnya. Keadaan inilah yang memberi nama Candi
Rawan.

Gambar 2.1.9.3
2.1.9.4 Candi Jawi
Candi Jawi ( Jajawa) adalah candi yang dibangun sekitar abad ke-13 dan
merupakan peninggalan bersejarah Hindu-Buddha Kerajaan Singhasari yang
terletak di terletak di kaki Gunung Welirang, tepatnya di Desa Candi Wates,
16

Kecamatan Prigen, Pasuruan, Jawa Timur, Indonesia, sekitar 31 kilometer dari


kota Pasuruan. Candi ini terletak di pertengahan jalan raya antara Kecamatan
Pandaan - Kecamatan Prigen dan Pringebukan. Candi Jawi banyak dikira sebagai
tempat pemujaan atau tempat peribadatan Buddha, namun sebenarnya merupakan
tempat pedharmaan atau penyimpanan abu dari raja terakhir Singhasari,
Kertanegara. Sebagian dari abu tersebut juga disimpan pada Candi Singhasari.
Kedua candi ini ada hubungannya dengan Candi Jago yang merupakan tempat
peribadatan Raja Kertanegara.

Gambar 2.1.9.4
2.1.9.5 Candi Kidal
Candi Kidal adalah salah satu candi warisan dari kerajaan Singasari. Candi
ini dibangun sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, Raja kedua
dari Singhasari, yang memerintah selama 20 tahun (1227 - 1248). Candi Kidal
secara arsitektur, kental dengan budaya Jawa Timuran, telah mengalami
pemugaran pada tahun 1990. Candi kidal juga memuat cerita Garudeya, cerita
mitologi Hindu, yang berisi pesan moral pembebasan dari perbudakan. Sampai
sekarang candi masih terjaga dan terawat. Candi ini terletak di Kecamatan
Tumplang, Malang, Jawa Timur
17

Gambar 2.1.9.5
2.1.9.6 Prasasti Manjusri
Prasasti ini dipahat pada arca Mañjuśrī dengan aksara Jawa Kuno dan
bahasa Sanskerta. Pada awalnya ditemukan di Candi Jago di Desa/Kecamatan
Tumpang, Kabupaten Malang. Saat ini arca Manjusri ini tersimpan di Museum
Ethnology Berlin. Sedangkan duplikatnya tersimpan di Museum Nasional Jakarta
dengan nomor inventaris D. 214. Transkripsinya telah dibahas oleh H. Kern dan
diterbitkan dalam karya J.L.A. Brandes, Tjandi Singasari (1909). Prasasti ini
terdiri dari dua bagian, pertama terdapat di bagian muka di atas Boddhisattwa
yang terdiri dari tiga baris tulisan. Bagian kedua dipahat pada bagian belakang
arca dengan tujuh baris tulisan. Prasasti ini berangka tahun 1265 Śaka (sekitar 25
Januari 1343-14 Maret 1344 M). Prasasti ini telah dibahas oleh F.D.K. Bosch
dalam De Incriptie op net Maňjuçrī beeld van 1265 Çaka (BKI, 77, 1921: 194-
201). Peneliti lain yang telah membahas prasasti ini antara lain R. Pitono (1966)
dan Machi Suhadi (1990). Candi Jago tersebut mula-mula didirikan atas perintah
raja Kertanagara untuk menghormati ayahandanya, raja Wisnuwardhana, yang
mangkat pada tahun 1268 M.

Gambar 2.1.9.6
2.1.9.7 Prasasti Mula Malurung
Prasasti ini merupakan bukti pengesahan penganugrahan dari Desa Mula
dan Desa Malurung. Prasasti ini dibuat oleh Raja Kertanegara pada saat masih
18

muda atas perintah ayahnya, Wisnuwardhana. Prasasti ini berupa lempengan


tembaga.
Kumpulan lempengan Prasasti Mula Malurung ditemukan pada dua
waktu yang berbeda. Sebanyak sepuluh lempeng ditemukan pada tahun 1975 di
dekat kota Kediri, Jawa Timur. Sedangkan pada bulan Mei 2001, kembali
ditemukan tiga lempeng di lapak penjual barang loak, tak jauh dari lokasi
penemuan sebelumnya. Keseluruhan lempeng prasasti saat ini disimpan di
Museum Nasional Indonesia, Jakarta.

Gambar 2.1.9.7
2.1.9.8 Prasasti Singosari
Prasasti yang bertarikh tahun 1351 M. Prasasti yang ditulis dengan
menggunakan aksara jawa ini di Temukan di Kecamatan Singosari, Malang, Jawa
Timur. Namun sekarang, prasasti ini disimpan di dalam museum Gajah Mada.
Prasasti ini ditulis untuk mengenang pembangunan sebuah caitya atau
candi pemakaman yang dilaksanakan oleh Mahapatih Gajah Mada. Paruh pertama
prasasti ini merupakan pentarikhan tanggal yang sangat terperinci, termasuk
pemaparan letak benda-benda angkasa. Paruh kedua mengemukakan maksud
prasasti ini, yaitu sebagai pariwara pembangunan sebuah caitya.
19

Gambar 2.1.9.8
2.1.9.9 Prasasti Wurare
Prasasti Wurare adalah sebuah prasasti yang isinya memperingati
penobatan arca Mahaksobhya di sebuah tempat bernama Wurare (sehingga
prasastinya disebut Prasasti Wurare). Prasasti ditulis dalam bahasa Sansekerta, dan
bertarikh 1211 Saka atau 21 November 1289. Arca tersebut sebagai penghormatan
dan perlambang bagi Raja Kertanegara dari kerajaan Singhasari, yang dianggap
oleh keturunannya telah mencapai derajat Jina (Buddha Agung). Sedangkan
tulisan prasastinya ditulis melingkar pada bagian bawahnya.

Gambar 2.1.9.9
2.1.9.10Arca Dwarapal
Arca Dwarapala terletak di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari.
Areal situs hanya berjarak sekitar 200 meter di sebelah barat Candi Singosari.
Situs ini berbentuk dua arca dwarapala yang dibuat dari batu monolitik dengan
ketinggian 3,75 meter dan lebar 3,85 meter.
Dwarapala berasal dari kata Sanskerta dwara yang berarti pintu atau jalan
dan pala berarti penjaga. Ada dua arca dwarapala yang berseberangan di kiri dan
kanan jalan yang sekarang dinamakan Jalan Kertanegara. Kedua arca ini
memegang gada. Arca di sebelah kanan dalam posisi santai dan tangan kanan
memegang gada. Berbeda dengan dwarapala kanan, dwarapala kiri bertugas
mengingatkan rakyat Singhasari pada masa itu tentang keagamaan. Tangan
kanannya diangkat sejajar dengan dadanya dan dua jarinya dibuka sebagai tanda
kemenangan dalam menjalankan perintah keagamaan.
20

Gambar 2.1.9.10

Kitab pada zaman kerajaan singasari


1. Kitab Pararaton.
Serat Pararaton, atau Pararaton saja (bahasa Kawi: "Kitab Raja-Raja"),
adalah sebuah kitab naskah Sastra Jawa Pertengahan yang digubah dalam bahasa
Jawa Kawi. Naskah ini cukup singkat, berupa 32 halaman seukuran folio yang
terdiri dari 1126 baris. Isinya adalah sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit di
Jawa Timur. Kitab ini juga dikenal dengan nama "Pustaka Raja", yang dalam
bahasa Sanskerta juga berarti "kitab raja-raja". Tidak terdapat catatan yang
menunjukkan siapa penulis Pararaton.
Pararaton diawali dengan cerita mengenai inkarnasi Ken Arok, yaitu
tokoh pendiri kerajaan Singhasari (1222–1292).[1][2] Selanjutnya hampir
setengah kitab membahas bagaimana Ken Arok meniti perjalanan hidupnya,
sampai ia menjadi raja pada tahun 1222. Penggambaran pada naskah bagian ini
cenderung bersifat mitologis. Cerita kemudian dilanjutkan dengan bagian-bagian
naratif pendek, yang diatur dalam urutan kronologis. Banyak kejadian yang
tercatat di sini diberikan penanggalan. Mendekati bagian akhir, penjelasan
mengenai sejarah menjadi semakin pendek dan bercampur dengan informasi
mengenai silsilah berbagai anggota keluarga kerajaan Majapahit.
Penekanan atas pentingnya kisah Ken Arok bukan saja dinyatakan
melalui panjangnya cerita, melainkan juga melalui judul alternatif yang
ditawarkan dalam naskah ini, yaitu: "Serat Pararaton atawa Katuturanira Ken
Angrok", atau "Kitab Raja-Raja atau Cerita Mengenai Ken Angrok". Mengingat
tarikh yang tertua yang terdapat pada lembaran-lembaran naskah adalah 1522
Saka (atau 1600 Masehi), diperkirakan bahwa bagian terakhir dari teks naskah
21

telah dituliskan antara tahun 1481 dan 1600, dimana kemungkinan besar lebih
mendekati tahun pertama daripada tahun kedua.
2. Kitab Negarakertagama
Kitab Nagarakretagama (Nāgarakṛtâgama) , atau juga disebut dengan nama
Kitab Desawarnana (Deśawarṇana) bisa dikatakan merupakan kakawin Jawa
Kuno karya Empu Prapañca yang paling termasyhur. Kitab ini adalah yang paling
banyak diteliti pula. Kitab yang ditulis tahun 1365 ini, pertama kali ditemukan
kembali pada tahun 1894 oleh J.L.A. Brandes, seorang ilmuwan Belanda yang
mengiringi ekspedisi KNIL di Lombok. Kitab ini menguraikan keadaan di keraton
Majapahit dalam masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, raja agung di tanah
Jawa dan juga Nusantara.

2.1.10 Hubungan dengan Kerajaan Majapahit


Pararaton, Nagarakretagama dan prasasti Kudadu mengisahkan Raden
Wijaya, cucu Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanegara lolos dari maut.
Berkat bantuan Aria Wiararaja (penentang politik Kertanagara), ia kemudian
diampuni oleh Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa Majapahit. Pada
tahun 1293 datang pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan
Jawa. Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di
Kadiri. Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik ganti mengusir
tentara Mongol keluar dari tanah Jawa. Raden Wijaya kemudian mendirikan
Kerajaan Majapahit sebagai kelanjutan Singasari, dan menyatakan dirinya sebagai
anggota Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang didirikan oleh Ken Arok.

2.1 Kerajaan Majapahit


2.2.1 Awal Berdiri
Setelah mengalahkan Kerajaan Melayu di Sumatera pada tahun 1290,
Kerajaan Singasari menjadi kerajaan terkuat di daerah tersebut. Hal ini
menggelitik Khan dari Kekaisaran Mongol dan Kaisar dari Dinasti Mongol Yuan
yang bernama Kubilai Khan dimana ia mengirim beberapa utusan yang meminta
upeti. Raja Kertanegara yang saat itu adalah raja terakhir kerajaan Singasari
22

menolak untuk membayar upeti dan malah menghina serta menantang Kubilai
Khan, dan sebagai responnya dikirim lah 1.000 kapal ekspedisi menuju Jawa dari
Mongolia. Sayangnya, ketika pihak Mongol menyerang, Kertanagara telah tewas
di tangan Jayakatwang yang merupakan adipati Kediri. Ketika itu, Raden Wijaya
yang merupakan menantu Kertanegara diberikan sebuah tanah bernama Tarik
yang ia gunakan untuk membangun sebuah desa yang menjadi awal mula sejarah
Berdirinya kerajaan Majapahit. Ketika pasukan Mongol tiba, Raden Wijaya
langsung memilih untuk membantu mereka menghancurkan Jayakatwang. Setelah
kekuasaan Jayakatwang runtuh, Raden Wijaya menyerang pasukan Mongol.
Kebingungan, pasukan Mongol tersebut terpaksa mundur dan mengikuti tiupan
angin monsoon terakhir pada musim itu.
Pada tahun 1293, Raden Wijaya mendirikan benteng dan kota Majapahit.
Tahun ini juga menjadi tahun lahirnya Majapahit serta hari dimana Raden Wijaya
menjadi raja. Pada pengangkatannya, ia diberikan sebuah nama formal yaitu
Kertarajasa Jayawardhana. Raja Kertarajasa kemudian menjadikan keempat anak
perempuan Kertanegara menjadi istri-istrinya. Pendirian kerajaan ini dipenuhi
dengan kesulitan dimana beberapa orang terpercaya Kertarajasa termasuk
Ranggalawe, Sora, dan Nambi bersekongkol untuk melakukan pemberontakan
yang sayangnya gagal. Setelah diselidiki, ternyata mahapati Halayudha lah yang
disangka menjadi dalang konspirasi ini agar ia sendiri mampu menduduki posisi
yang paling tinggi di pemerintahan kerajaan Majapahit. Halayudha akhirnya
berhasil ditangkap dan dihukum mati sebagai balasan atas penipuan yang ia
lakukan.

2.2.2 Raja-raja yang Memimpin


Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga kerajaan Singhasari,
yang dirintis oleh Sri Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa Rajasa pada akhir abad ke-
13. Sejak akhir abad ke-19, setelah penemuan naskah Pararaton yang
menguraikan keluarga raja-raja Majapahit, para ahli sejarah mulai menyusun
sejarah kerajaan Hindu terbesar di Jawa itu secara ilmiah, sebab data Pararaton
ternyata banyak yang sesuai dengan prasasti-prasasti dari zaman Majapahit.
23

Sayangnya, uraian Pararaton mengenai keluarga raja-raja Majapahit sering


terlampau singkat, kurang lengkap, dan kadang-kadang membingungkan,
sehingga para ilmuwan harus jeli dalam membaca dan menafsirkannya. Itulah
sebabnya sampai awal abad ke-21 sekarang rekonstruksi sejarah Majapahit
belumlah tuntas. Tulisan ini khusus membahas hubungan kekeluargaan dinasti
Majapahit dan diharapkan dapat menjembatani perbedaan penafsiran naskah
Pararaton di kalangan para ahli sejarah.

Nama Raja Gelar Tahun


Raden Wijaya Kertarajasa Jayawardhana 1293 - 1309
Kalagamet Sri Jayanagara 1309 - 1328
Tribhuwana
Sri Gitarja 1328 - 1350
Wijayatunggadewi
Hayam Wuruk Sri Rajasanagara 1350 - 1389

Wikramawardhana 1389 - 1429

Suhita 1429 - 1447

Kertawijaya Brawijaya I 1447 - 1451


Rajasawardhana Brawijaya II 1451 - 1453
Purwawisesa atau
Brawijaya III 1456 - 1466
Girishawardhana
Bhre Pandansalas, atau
Brawijaya IV 1466 - 1468
Suraprabhawa
Bhre Kertabumi Brawijaya V 1468 - 1478
Girindrawardhana Brawijaya VI 1478 - 1498
Hudhara Brawijaya VII 1498-1518
Tabel 2.2.2.1Tabel Urutan Raja-raja yang Memimpin Majapahit

Majapahit tiga kali mengalami pertikaian tahta di antara keluarga kerajaan.


Pertikaian pertama berlangsung 30 tahun (1376–1406) ketika kadaton wetan
memisahkan diri dari pusat pemerintahan. Pertikaian kedua terjadi pada tahun
1453-1456 sehingga Majapahit tidak mempunyai raja selama tiga tahun.
Pertikaian terakhir tahun 1468–1478 menyebabkan keruntuhan Majapahit.
24

Penafsiran data Pararaton harus didasari pemahaman terhadap konsep


kosmogoni Siwa-Buddha yang menganggap suatu kerajaan sebagai perwujudan
Gunung Mahameru tempat kediaman Bhatara Indra. Itulah sebabnya keluarga
Majapahit menamakan diri mereka Girindrawangsa, dan berabad-abad
sebelumnya keluarga Sriwijaya juga mengklaim sebagai Sailendrawangsa, yang
sama-sama berarti ‘Keluarga Gunung Indra’. Pusat kerajaan Majapahit (di sekitar
Mojokerto sekarang) dikelilingi daerah-daerah bawahan (mandala-mandala) yang
meliputi delapan penjuru (lokapala), yaitu Kahuripan, Tumapel, Paguhan,
Wengker, Daha, Lasem, Pajang, dan Kabalan. Sebagaimana pernah dikemukakan
oleh Dr.Boechari, “While the kingdom is compared with Mount Meru and Indra’s
heaven, the king is thought to be Indra on earth, and that the eight Lokapala are
incorporated in his nature” (MIISI, V/1, 1973). Dua mandala utama, yaitu
Kahuripan (Janggala, Jiwana) dan Daha (Kadiri, Panjalu), merupakan poros yang
menyangga kestabilan sistem, dan hal ini sudah dibakukan sejak zaman raja
Airlangga pada abad ke-11. Itulah sebabnya kombinasi wilwatikta-janggala-kadiri
(Majapahit-Kahuripan-Daha) banyak dijumpai dalam prasasti-prasasti.
Sebagai kepala pemerintahan, raja atau ratu Majapahit bergelar Bhatara
Prabhu (Bhre Prabhu) atau Sri Maharaja. Para anggota keluarga kerajaan diberi
gelar Bhatara (Bhre) dari mandala tertentu, misalnya Bhre Kahuripan, Bhre Daha,
Bhre Tumapel, dan sebagainya. (Gelar apanage semacam ini sekarang masih
berlaku di Kerajaan Inggris: suami Ratu Elizabeth diberi gelar Duke of
Edinburgh, sedangkan putra mereka bergelar Prince of Wales.) Sesuai dengan
keseimbangan gender, gelar Bhre Tumapel, Bhre Paguhan dan Bhre Wengker
dijabat oleh pria, sedangkan gelar Bhre Lasem, Bhre Pajang dan Bhre Kabalan
jatah untuk wanita. Adapun gelar Bhre Kahuripan dan Bhre Daha, sebagai daerah
poros (axis region), boleh disandang pria atau wanita asalkan hubungan
kerabatnya dekat dengan sang prabhu. Sebagaimana ditegaskan oleh Prof.
Bertram Johannes Otto Schrieke, “Kahuripan and Daha were the regions assigned
to the most highly placed members of the royal family” (Ruler and Realm in Early
Java, 1957). Jika anggota keluarga kerajaan cukup banyak, mandala diperluas
25

menurut kebutuhan, misalnya Bhre Mataram, Bhre Matahun, Bhre Wirabhumi,


dan sebagainya.
1. Periode Awal Majapahit (1294–1375)
Kertarajasa Jayawardhana Dyah Sanggramawijaya, yang naik tahta pada
tahun 1294, beristri empat putri Kertanagara (raja terakhir Singasari), yaitu
Tribhuwaneswari, Mahadewi, Jayendradewi, Rajapatni Gayatri. Kertarajasa juga
beristri Dara Petak Sri Indreswari, putri dari Malayu. Dari Gayatri, Kertarajasa
memperoleh dua putri: Bhre Kahuripan(I) Tribhuwana Wijayottunggadewi Dyah
Gitarja dan Rajadewi Maharajasa Dyah Wiyat. Putri-putri Kertanagara yang lain
tidak berketurunan. Dari Dara Petak, Kertarajasa berputra Bhre Daha(I)
Jayanagara Raden Kalagemet, yang diakui sebagai putra permaisuri
Tribhuwaneswari. Setelah Kertarajasa wafat tahun 1309, Jayanagara menjadi raja
Majapahit, dan gelar Bhre Daha(II) disandang oleh Rajadewi.
Ketika Jayanagara wafat tanpa keturunan tahun 1328, Tribhuwana menjadi
ratu Majapahit. Dia bersuami Bhre Tumapel(I) Kertawardhana Raden Cakradhara,
dan memperoleh sepasang putra-putri: Bhre Kahuripan(II) Rajasanagara Dyah
Hayam Wuruk dan Bhre Pajang(I) Rajasaduhiteswari Dyah Nartaja.
Kertawardhana dari selir juga berputra Raden Sotor. Adapun Bhre Daha(II)
Rajadewi bersuami Bhre Wengker(I) Wijayarajasa Raden Kudamerta, dan
memperoleh putri Bhre Lasem(I) Rajasaduhita Indudewi. Wijayarajasa dari selir
juga berputri Sri Sudewi Padukasori. Pada tahun 1350 Hayam Wuruk
menggantikan sang ibunda di atas tahta Majapahit, dan Tribhuwana kembali
bergelar Bhre Kahuripan(I). Hayam Wuruk menikahi Sri Sudewi, dan berputri
Bhre Kabalan(I) Kusumawardhani. Dari selir, Hayam Wuruk memperoleh seorang
putra yang tidak jelas namanya. Bhre Pajang(I) Dyah Nartaja bersuami Bhre
Paguhan(I) Singawardhana Raden Sumana, memperoleh satu putra dan dua putri:
Bhre Mataram(I) Wikramawardhana, Bhre Wirabhumi(I) Nagarawardhani, dan
Bhre Pawanawan Surawardhani atau Rajasawardhani. Adapun Bhre Lasem(I)
Indudewi bersuami Bhre Matahun(I) Rajasawardhana Raden Larang. Oleh karena
pasangan ini tidak berketurunan, mereka mengadopsi putra Hayam Wuruk dari
selir.
26

Kemudian terjadilah pernikahan antar sepupu: Kusumawardhani bersuami


Wikramawardhana; Nagarawardhani bersuami putra Hayam Wuruk dari selir; dan
Surawardhani bersuami Bhre Pandansalas(I) Ranamanggala Raden Sumirat, putra
Raden Sotor. Setelah Bhre Daha(II) Rajadewi dan Bhre Kahuripan(I) Tribhuwana
wafat antara tahun 1372 dan 1375, terjadilah rotasi gelar: Indudewi menjadi Bhre
Daha(III); Nagarawardhani menjadi Bhre Lasem(II), dan suaminya menyandang
gelar Bhre Wirabhumi(II). Adapun gelar Bhre Kahuripan(III) paling layak
diwarisi putra mahkota Wikramawardhana, meskipun hal ini tidak disebutkan
dalam Pararaton. Wikramawardhana dan Kusumawardhani memperoleh tiga putra
dan satu putri: putra sulung Bhre Mataram(II) Rajasakusuma yang mewarisi gelar
ayahnya, putra kedua yang tidak jelas namanya, putri Suhita, dan putra bungsu
Kertawijaya. Ranamanggala dan Surawardhani memperoleh satu putra dan dua
putri: Ratnapangkaja yang menjadi suami Suhita, putri sulung yang menjadi istri
putra kedua Wikramawardhana, dan putri bungsu Jayeswari yang menjadi istri
Kertawijaya. Bhre Wirabhumi(II) dan Nagarawardhani memperoleh putra Bhre
Pakembangan yang wafat dalam ‘perburuan’ (ketika berburu di hutan ataukah
ketika menjadi buronan politik?) serta tiga orang putri.
2. Periode Kadaton Wetan (1376–1406)
Pertikaian tahta mulai terjadi ketika muncul kerajaan separatis yang dalam
Pararaton disebut kadaton wetan (istana timur), untuk membedakannya dari
kerajaan Majapahit yang disebut kadaton kulon (istana barat). Hal ini
diungkapkan oleh Pararaton dengan kalimat tumuli hana gunung anyar i saka
1298 (“lalu terjadi gunung baru pada 1298 Saka = 1376 Masehi”). Oleh karena
‘gunung’ melambangkan tahta kekuasaan, informasi ini mengisyaratkan
munculnya kerajaan baru. Kerajaan tandingan ini tercatat dalam kronik Cina
Ming-shih (Sejarah Dinasti Ming). Kronik Ming-shih menerangkan dua
rombongan utusan dari Jawa tahun 1377, yang diterjemahkan W.P.Groeneveldt
sebagai berikut: “In this country there is a western and an eastern king. The latter
is called Wu-lao-wang-chieh and the former Wu-lao-po-wu. Both of them sent
envoys with tribute”. Para ahli sejarah tidak sulit mengenali tokoh kerajaan barat,
Wu-lao-po-wu, sebagai ‘Bhatara Prabhu’, yaitu raja Hayam Wuruk. Akan tetapi
27

baru pada tahun 1964 Prof.George Coedes mampu mengidentifikasi tokoh


kerajaan timur, Wu-lao-wang-chieh, sebagai ‘Bhatara Wengker’.
Bhre Wengker pada zaman Hayam Wuruk adalah Wijayarajasa, suami
Rajadewi bibi Hayam Wuruk. Wijayarajasa juga mertua Hayam Wuruk sebab
merupakan ayah dari permaisuri Sri Sudewi. Dari kitab Nagarakretagama yang
ditulis pujangga Prapanca tahun 1365 kita memperoleh gambaran bahwa
Wijayarajasa memang mempunyai ambisi untuk berkuasa. Setelah Patih Gajah
Mada wafat tahun 1364, lalu disusul oleh wafatnya Tribhuwana dan Rajadewi
antara 1372 dan 1375, Wijayarajasa mewujudkan ambisinya sebab tokoh-tokoh
yang diseganinya tidak ada lagi. Pada tahun 1376 dia memproklamasikan kadaton
wetan yang lepas dari Majapahit. Tahun berikutnya Majapahit dan kadaton wetan
sama-sama mengirimkan utusan kepada Dinasti Ming di Cina.
Di manakah letak kadaton wetan? Menurut Pararaton dan prasasti Biluluk,
Wijayarajasa bergelar Bhatara Parameswara ring Pamotan (Yang Dipertuan di
Pamotan). Oleh karena kata muwat bersinonim dengan nanggung, maka Pamotan
(Pamuwatan) barangkali adalah Gunung Penanggungan di sebelah timur
Mojokerto sekarang. Wijayarajasa agaknya sengaja memilih tempat itu menjadi
pusat kerajaan sebagai pembenaran tindakan separatisnya. Daerah Penanggungan
atau Pamotan merupakan tempat suci raja Airlangga, sehingga Wijayarajasa
kiranya ingin menunjukkan bahwa pembentukan negara baru itu mengikuti tradisi
Airlangga yang pernah membagi dua kerajaannya.
Adanya kadaton wetan menyebabkan keluarga Majapahit pecah menjadi
dua kelompok. Sebagian besar tetap setia kepada Hayam Wuruk. Akan tetapi
mereka yang berkerabat dengan Wijayarajasa terpaksa hijrah memihak kadaton
wetan, yaitu Bhre Daha(III) Indudewi dengan suaminya Bhre Matahun(I) Raden
Larang, dan anak angkat mereka Bhre Wirabhumi(II) dengan istrinya Bhre
Lasem(II) Nagarawardhani, serta tiga orang putri Bhre Wirabhumi(II). Hayam
Wuruk segan bertindak tegas menghadapi negara separatis itu sebab Wijayarajasa
adalah mertuanya, Indudewi adalah sepupunya, dan Bhre Wirabhumi(II) adalah
putranya dari selir. Selagi tokoh-tokoh senior masih hidup, kadaton kulon dan
28

kadaton wetan saling menenggang rasa sehingga konfrontasi terbuka dapat


dihindari.
Akan tetapi keadaan seperti itu tidaklah dapat dipertahankan setelah para
tokoh senior meninggal dunia. Pada tahun 1386 Kertawardhana (ayah Hayam
Wuruk) wafat. Dua tahun berikutnya, 1388, wafat pula secara berturut-turut
permaisuri Sri Sudewi, Dyah Nartaja (adik Hayam Wuruk) dan suaminya Raden
Sumana. Dua tokoh kadaton wetan, Raden Larang dan Wijayarajasa sendiri, juga
wafat. Akhirnya mangkat pula raja Hayam Wuruk tahun 1389.
Wikramawardhana menjadi raja Majapahit dan kemudian dikenal dengan
Hyang Wisesa, sedangkan tahta kadaton wetan diwarisi Bhre Wirabhumi(II).
Gelar Bhre Kahuripan(IV) disandang Surawardhani, dan putra kedua
Wikramawardhana digelari Bhre Tumapel(II). Suhita dan suaminya,
Ratnapangkaja, masing-masing kiranya menjadi Bhre Pajang(II) dan Bhre
Paguhan(II), meskipun tidak disebutkan dalam Pararaton. Wikramawardhana
bertindak konfrontatif terhadap kadaton wetan dengan memberikan gelar Bhre
Lasem (padahal sedang disandang adiknya, Nagarawardhani) kepada
permaisurinya, Kusumawardhani. Dalam Pararaton, Kusumawardhani disebut
Bhre Lasem Yang Cantik (Sang Ahayu) dan Nagarawardhani disebut Bhre Lasem
Yang Gemuk (Sang Alemu).
Putra mahkota Rajasakusuma wafat tahun 1399 dan bergelar anumerta
Hyang Wekas ing Sukha. Tahun 1400 wafat pula Bhre Lasem(II) Nagarawardhani,
Bhre Lasem(III) Kusumawardhani, Bhre Kahuripan(IV) Surawardhani, dan Bhre
Pandansalas(I) Ranamanggala. Maka terjadilah regenerasi gelar bagi yang muda.
Ratnapangkaja menjadi Bhre Kahuripan(V), dan adiknya, istri Bhre Tumapel(II),
menjadi Bhre Lasem(IV). Gelar Bhre Pandansalas(II) disandang oleh Raden
Jagulu, adik Ranamanggala. Dua orang putra Bhre Tumapel(II) dengan Bhre
Lasem(IV) masing-masing diberi gelar Bhre Wengker(II) dan Bhre Paguhan(III).
Satu-satunya tokoh senior yang masih hidup saat itu adalah Bhre Daha(III)
Indudewi yang mendampingi anak angkatnya, Bhre Wirabhumi(II), di kadaton
wetan.
29

Konfrontasi antara Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi(II) akhirnya


menimbulkan Perang Paregreg tahun 1405–1406. Kadaton wetan mengalami
kekalahan dengan gugurnya Bhre Wirabhumi(II), sehingga Majapahit utuh
kembali setelah pecah 30 tahun. Untuk menghilangkan benih balas dendam, tiga
putri Bhre Wirabhumi(II) masing-masing dinikahi oleh Wikramawardhana, Bhre
Tumapel(II) putra Wikramawardhana dan Bhre Wengker(II) cucu
Wikramawardhana. Ketiga putri itu berturut-turut diberi gelar Bhre Mataram(III),
Bhre Lasem(V), dan Bhre Matahun(II). Sungguh suatu pernikahan yang sangat
unik: tiga putri bersaudara bersuamikan orang-orang tiga generasi.
3. Periode Pasca Paregreg (1406–1453)
Seusai Perang Paregreg, Bhre Daha(III) Indudewi diboyong pulang oleh
Wikramawardhana ke Majapahit dan dihormati sebagai sesepuh. Saudara sepupu
Hayam Wuruk ini wafat tahun 1415 bersama-sama Bhre Mataram(III) dan Bhre
Matahun(II). Gelar Bhre Daha(IV) paling layak diwarisi oleh Suhita, dan adiknya,
Kertawijaya, kiranya menjadi Bhre Mataram(IV). Istri Kertawijaya, Jayeswari,
pantas menjadi Bhre Kabalan(II).
Bhre Tumapel(II) dan putranya, Bhre Wengker(II), wafat tahun 1427. Dua
tahun kemudian, 1429, mangkat pula raja Wikramawardhana, dan Suhita menjadi
ratu Majapahit. Kertawijaya menjadi Bhre Tumapel(III), sedangkan gelar Bhre
Daha(V) diwarisi Jayeswari. Sekitar tahun 1430 wafat pula Bhre Lasem(IV), Bhre
Lasem(V), dan Bhre Pandansalas(II). Oleh karena Suhita tidak berketurunan,
maka yang mewarnai sejarah Majapahit selanjutnya adalah keturunan Bhre
Tumapel(II) dan Bhre Tumapel(III) Kertawijaya.
Bhre Tumapel(II) dengan istrinya Bhre Lasem(V) mempunyai tiga putri
dan satu putra: Bhre Jagaraga Wijayendudewi Dyah Wijayaduhita, Bhre
Tanjungpura Manggalawardhani Dyah Suragharini, Bhre Pajang(III) Dyah
Sureswari, dan putra bungsu Bhre Keling(I). Bhre Jagaraga dinikahi
Ratnapangkaja, sedangkan Bhre Tanjungpura dan Bhre Pajang(III) menjadi istri
Bhre Paguhan(III). Bhre Keling(I) beristri Bhre Kembangjenar Rajanandaneswari
Dyah Sudharmini, putri Bhre Pandansalas(II) Raden Jagulu. Menurut Pararaton,
semua pernikahan di atas tidak membuahkan keturunan.
30

Bhre Tumapel(III) Wijayaparakramawardhana Dyah Kertawijaya dengan


istrinya Bhre Daha(V) Jayawardhani Dyah Jayeswari mempunyai tiga putra, yaitu
Bhre Pamotan(I) Rajasawardhana Dyah Wijayakumara, Bhre Wengker(III)
Girisawardhana Dyah Suryawikrama, dan Bhre Pandansalas(III)
Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa. Setelah Bhre Paguhan(III) wafat
tahun 1440, Rajasawardhana menikahi Bhre Tanjungpura Manggalawardhani.
Girisawardhana beristri Bhre Kabalan(III) Mahamahisi Dyah Sawitri, putri Bhre
Wengker(II) dengan Bhre Matahun(II). Suraprabhawa menikahi Bhre Singapura
Rajasawardhanidewi Dyah Sripura, putri Bhre Paguhan(III) dari selir.
Bhre Kahuripan(V) dan Bhre Keling(I) wafat tahun 1446. Rajasawardhana
menjadi Bhre Keling(II). Setelah ratu Suhita mangkat tahun 1447, Kertawijaya
mewarisi tahta Majapahit, dan gelar Bhre Tumapel(IV) disandang Suraprabhawa.
Rajasawardhana yang kini putra mahkota kembali bertukar gelar menjadi Bhre
Kahuripan(VI) dan kelak dikenal dengan julukan Sang Sinagara. Daftar keluarga
Majapahit pada masa Kertawijaya tercantum lengkap dalam prasasti Waringin
Pitu tahun 1447.
Pararaton menyebutkan bahwa putra-putra Sang Sinagara ada empat
orang. Dalam prasasti Waringin Pitu tercantum nama-nama putra pertama dan
kedua, yaitu Bhre Matahun(III) Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya serta Bhre
Keling(III) Girindrawardhana Dyah Wijayakarana. Putra ketiga dan keempat
belum lahir pada tahun 1447. Menurut prasasti Waringin Pitu, Samarawijaya dan
Wijayakarana sejak kecil dijodohkan masing-masing dengan Bhre Wirabhumi(III)
Rajasawardhanendudewi Dyah Pureswari dan Bhre Kalinggapura
Kamalawarnadewi Dyah Sudayita, yaitu putri-putri Bhre Wengker(III)
Girisawardhana dengan Bhre Kabalan(III) Sawitri.
Bhre Kabalan(III) Sawitri dan Bhre Pajang(III) Sureswari wafat tahun
1450. Setahun kemudian mangkat pula raja Kertawijaya, dan Rajasawardhana
naik tahta Majapahit tahun 1451. Gelar Bhre Kahuripan(VII) diwarisi putra
mahkota Samarawijaya, sedangkan adiknya, Wijayakarana, menjadi Bhre
Mataram(V). Kiranya saat itu putra ketiga dan keempat Rajasawardhana sudah
lahir, yang masing-masing menyandang Bhre Pamotan(II) dan Bhre Kertabhumi.
31

Nama-nama dua orang yang terakhir ini tercantum dalam prasasti Trailokyapuri,
yaitu Singawardhana Dyah Wijayakusuma dan Girindrawardhana Dyah
Ranawijaya.
4. Periode Akhir Majapahit (1453–1478)
Ketika Rajasawardhana Sang Sinagara mangkat tahun 1453, terjadilah
pertikaian tahta antara Bhre Kahuripan(VII) Samarawijaya dan Bhre Wengker(III)
Girisawardhana. Kemelut paman dan keponakan ini menyebabkan Majapahit tiga
tahun tidak mempunyai raja (telung tahun tan hana prabhu, kata Pararaton).
Kevakuman tahta ini berakhir tahun 1456 tatkala Girisawardhana menjadi raja
dengan gelar Hyang Purwawisesa. Kiranya Samarawijaya yang masih muda
mengalah terhadap paman yang sekaligus mertuanya, dan rela menjadi putra
mahkota untuk kedua kalinya. Peranan ibu suri Bhre Daha(V) Jayeswari tentu
sangat besar dalam proses rekonsiliasi tersebut.
Bhre Daha(V) Jayeswari wafat tahun 1464, dan gelar Bhre Daha(VI)
disandang Manggalawardhani. Ketika Bhre Jagaraga Wijayaduhita dan raja
Girisawardhana wafat pula tahun 1466, sengketa kekuasaan muncul kembali.
Adik bungsu Sang Sinagara, Bhre Tumapel(IV) Suraprabhawa, ternyata
berambisi juga menjadi raja. Dia menduduki tahta Majapahit. Sudah tentu para
keponakannya sakit hati. Baru saja dua tahun Suraprabhawa bertahta (prabhu rong
tahun), yaitu tahun 1468, keempat putra Sang Sinagara memperlihatkan sikap
oposisi dengan ‘pergi dari istana’ (tumuli sah saking kadaton putranira sang
sinagara), yaitu Bhre Kahuripan(VII) Samarawijaya, Bhre Mataram(V)
Wijayakarana, Bhre Pamotan(II) Wijayakusuma, dan si bungsu Bhre Kertabhumi
Ranawijaya. Mereka menyingkir ke Jinggan (antara Mojokerto dan Surabaya
sekarang), menyusun kekuatan untuk merebut hak mereka atas tahta. Sejak itu
Samarawijaya disebut Sang Munggwing Jinggan (Yang Berdiam di Jinggan).
Pada tahun 1478 Sang Munggwing Jinggan Samarawijaya dan adik-
adiknya memimpin pasukan dalam penyerbuan ke ibukota Majapahit, yang
menyebabkan runtuhnya kerajaan Hindu terbesar di Jawa itu. Pararaton menutup
uraian sejarah Majapahit dengan kalimat kapernah paman, bhre prabhu sang
32

mokta ring kadaton i saka 1400 (“paman mereka, sang raja, mangkat di istana
tahun 1478”).
Ungkapan mokta ring kadaton (‘mangkat di istana’) mengisyaratkan
bahwa Suraprabhawa mati terbunuh. Jika kematiannya wajar, tentu dipakai
kalimat yang berbau surga, misalnya mokta ring wisnubhawana, mokta ring
somyalaya, dan semacamnya. Raja Jayanagara yang terbunuh tahun 1328
diungkapkan Pararaton dengan istilah mokta ring pagulingan (‘mangkat di tempat
tidur’). Kiranya Suraprabhawa bernasib serupa. Raja terakhir Majapahit ini gugur
di istana ketika bertempur melawan para keponakannya.
Kemenangan putra-putra Sang Sinagara ternyata harus ditebus dengan ikut
gugurnya Sang Munggwing Jinggan Samarawijaya. Prasasti Petak menyebutkan
kadigwijayanira sang munggwing jinggan duk ayun-ayunan yudha lawaning
majapahit (“kemenangan Sang Munggwing Jinggan yang naik-jatuh berperang
melawan Majapahit”). Ungkapan ayun-ayunan (‘naik-jatuh’) berarti meraih
kemenangan tetapi gugur dalam pertempuran (won the war but lost the battle).

2.2.3 Kehidupan Politik


Dari Pararaton dan Nagarakrtagama dapat diketahui bahwa sistem
pemerintahan dan politik Majapahit sudah teratur dengan baik dan berjalan lancar.
Konsep politik ini menyatu dengan konsep jagat raya, yang melahirkan
pandangan cosmoginos. Majapahit sebagai sebuah kerajaan mencerminkan
doktrin tersebut, kekuasaan yang bersipat teotorial dan disentralisasi dengan
birokrasi yang terinci.
Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa tertinggi, memegang otoritas
politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan.
Ada pun wilayah tinggal para dewa lokapala terletak di empat penjuru mata
angin. Untuk terlaksananya kekuasaan, raja dibantu oleh sejumlah pembantu,
yang tidak lain penjabat-penjabat birokrasi kerajaan.
Dalam susunan birokrasi demikian, semakin dekat hubungan seseorang
dengan raja maka akan semakin tinggi pula kedudukannya dalam birokrasi
kerajaan. Nagarakrtagama pupuh 89 : 2 memberitakan bahwa hubungan negara
33

dengan desa begitu rapat seperti singa dengan hutan. Jika desa rusak, negara akan
kekurangan bahan makanan.
Struktur birokrasi dalam hierarki Majapahit dari tingkat pusat ke jabatan
yang lebih rendah adalah:
1. Raja.
2. Yuwaraja/kumaraja (raja muda).
3. Rakryan mahamatri katrini.
4. Rakryan mantri ri pakirakiran.
5. Dharmadhyaksa.
2.2.3.1 Raja.
Raja adalah pemegang otoritas tertinggi, baik dalam kebijakan politik mau
pun istana lainnya. Kedudukannya diperoleh dari hak waris yang telah digariskan
secara turun-temurun. Di samping raja, ada kelompok yang disebut sebagai
Bhatara Sapta Prabu semacam Dewan Pertimbangan Agung. Dalam
Nagarakrtagama (Pupuh 73:2), dewan ini disebut pahom narendra yang
beranggotakan sembilan orang; sedangkan dalam Kidung Sundayana disebut
Sapta Raja.
Pada masa Raja Dyah Hayam Wuruk, mereka yang menduduki jabatan tersebut di
antaranya:
1. Raja Hayam Wuruk;
2. Kertawardhana (Ayah Sang Raja);
3. Tribhuwana Tunggadewi (Ibu Suri);
4. Rajadewi Maharajasa (Bibi Sang Raja);
5. Wijayarajasa (Paman Sang Raja);
6. Rajasaduhiteswari (Adik Sang Raja);
7. Rajasaduhitendudewi (Adik Sepupu Sang Raja);
8. Singawardhana (Suami Rajasaduhiteswari);
9. Rajasawardhana (R. Larang, Suami Rajasaduhitendudewi).
2.2.3.2 Yuwaraja/Rajakumara/Kumaraja (Raja Muda)
Jabatan ini biasanya diduduki oleh putra mahkota. Dari berbagai prasasti
dan Nagarakrtagama diketahui bahwa para putra mahkota sebelum diangkat
34

menjadi raja pada umumnya diberi kedudukan sebagai raja muda. Misalnya,
Jayanagara sebelum menjadi raja, terlebih dahulu berkedudukan sebagai
rajakumara di Daha. Hayam Wuruk sebelum naik takhta menjadi raja Majapahit,
terlebih dahulu berkedudukan sebagai rajakumara di Kabalan. Jayanegara
dinobatkan sebagai raja muda di Kadiri tahun 1295.
Pengangkatan tersebut dimaksud sebagai pengakuan bahwa raja yang
sedang memerintah akan menyerahkan hak atas takhta kerajaan kepada orang
yang diangkat sebagai raja muda, jika yang bersangkutan telah mencapai usia
dewasa atau jika raja yang sedang memerintah mangkat.
Raja muda Majapahit yang pertama ialah Jayanegara. Raja muda yang
kedua adalah Dyah Hayam Wuruk yang dinobatkan di Kahuripan (Jiwana).
Pengangkatan raja muda tidak bergantung pada tingkatan usia. Baik raja
Jayanegara mau pun Hayam Wuruk masih kanak-kanak, waktu diangkat menjadi
raja muda, sementara pemerintahan di negara bawahan yang bersangkutan
dijalankan oleh patih dan menteri.
2.2.3.3 Rakryan Mahamatri Katrini
Jabatan ini merupakan jabatan yang telah ada sebelumnya. Sejak zaman
Mataram Kuno, yakni pada masa Rakai Kayuwangi, jabatan ini tetap ada hingga
masa Majapahit. Penjabat-penjabat ini terdiri dari tiga orang yakni: rakryan
mahamantri i hino, rakryan mahamantri i halu, dan rakryan mahamantri i
sirikan. Ketiga penjabat ini memunyai kedudukan penting setelah raja, dan
mereka menerima perintah langsung dari raja. Namun, mereka bukanlah
pelaksana-pelaksana dari perintah raja; titah tersebut kemudian disampaikan
kepada penjabat-penjabat lain yang ada di bawahnya. Di antara ketiga penjabat
itu, rakryan mahamantri i hino-lah yang terpenting dan tertinggi. Ia memunyai
hubungan yang paling dekat dengan raja, sehingga berhak mengeluarkan piagam
(prasasti). Oleh sebab itu, banyak para ahli yang menduga jabatan in dipegang
oleh putra mahkota.
2.2.3.4 Rakryan Mantri ri Pakirakiran
Jabatan ini berfungsi semacam Dewan Menteri atau Badan Pelaksana
Pemerintah. Biasanya terdiri dari lima orang rakryan (para tanda rakryan), yakni:
35

1. Rakryan Mahapatih atau Patih Amangkubhumi.


2. Rakryan Tumenggung (Panglima Kerajaan).
3. Rakryan Demung (Kepala Rumah Tangga Kerajaan).
4. Rakryan Rangga (Pembantu Panglima).
5. Rakryan Kanuruhan (penghubung dan tugas-tugas upacara).
Para tanda rakryan ini dalam susunan pemerintahan Majapahit sering disebut
Sang Panca ring Wilwatikta atau Mantri Amancanagara.
Dalam berbagai sumber, urutan jabatan tidak selalu sama. Namun, jabatan
rakryan mahapatih (patih amangkubhumi) adalah yang tertinggi, yakni semacam
perdana menteri (mantri mukya). Untuk membedakan dengan jabatan patih yang
ada di Negara daerah (profinsi) yang biasanya disebut mapatih atau rakryan
mapatih, dalam Nāgarakṛtāgama jabatan patih amangkubhumi dikenal dengan
sebutan apatih ring tiktawilwadika. Gajah Mada sebagai patih adalah Sang
Mahamantri Mukya Rakyran Mapatih Gajah Mada
Berikut Nama Nama Patih Majapahit menurut Kitab Pararaton :
1. Mahapatih Nambi 1294 – 13162.
2. Mahapatih Dyah Halayuda (Mahapati) 1316 – 13233.
3. Mahapatih Arya Tadah (Empu Krewes) 1323 – 13344.
4. Mahapatih Gajah Mada 1334 – 1364
5. Mahapatih Gajah Enggon 1367 – 1394.
6. Mahapatih Gajah Manguri 1394 – 13987.
7. Mahapatih Gajah Lembana 1398 – 14108.
8. Mahapatih Tuan Tanaka 1410 – 1430
2.2.3.5 Dharmadhyaksa
Dharmadhyaksa adalah penjabat tinggi yang bertugas secara yuridis
mengenai masalah-masalah keagamaan. Jabatan ini diduduki oleh dua orang,
yaitu:
1. Dharmadhyaksa ring Kasaiwan untuk urusan agama Siwa,
2. Dharmadhyaksa ring Kasogatan untuk urusan agama Buddha.
Masing-masing dharmadhyaksa ini dalam menjalankan tugasnya dibantu
oleh sejumlah pejabat keagamaan yang disebut dharmaupapatti atau upapatti,
36

yang jumlahnya amat banyak. Pada masa Hayam Wuruk hanya dikenal tujuh
upapatti, yakni: sang upapatti sapta:
1. Sang pamget i tirwan.
2. Kandhamun.
3. Manghuri.
4. Pamwatan.
5. Jhambi.
6. Kandangan rare.
7. Kandangan atuha.
Di antara upapatti itu ada pula yang menjabat urusan sekte-sekte tertentu,
misalnya: bhairawapaksa, saurapaksa, siddahantapaksa, sang wadidesnawa,
sakara, dan wahyaka.
2.2.3.6 Paduka Bhatara (Raja Daerah)
Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan
Singasari, terdiri atas beberapa kawasan tertentu di bagian timur dan bagian
tengah Jawa. Daerah ini diperintah oleh uparaja yang disebut Paduka Bhattara
yang bergelar Bhre.Gelar ini adalah gelar tertinggi bangsawan kerajaan mereka
berada di bawah raja Majapahit sebagai raja-raja daerah yang masing-masing
memerintah sebuah negara daerah.Biasanya mereka adalah saudara-saudara raja
atau kerabat dekat.
Tugas mereka adalah untuk mengelola kerajaan mereka, memungut pajak,
dan mengirimkan upeti ke pusat, dan mengelola pertahanan di perbatasan daerah
yang mereka pimpin.Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389)
ada 12 wilayah di Majapahit, yang dikelola oleh kerabat dekat raja (Lihat pada
waosan berikutnya tentang Wilayah Kekuasaan Kerajaan Majapahit).
Melihat struktur pemerintahannya, sistem pemerintahan di Majapahit
bersifat teotorial dan disentralisasi, dengan birokrasi yang terinci. Raja yang
dianggap sebagai penjelmaan dewa, memegang otoritas politik tertinggi.
Hubungan antara raja dengan pegawai-pegawainya dalam birokrasi pemerintahan
kerajaan berbentuk clienship, yaitu ikatan seorang penguasa politik tertinggi dan
orang yang dikuasakan untuk menjalankan sebagian dari kekuasaan penguasa
37

tertinggi. Wilayah kerajaan yang berupa negara-negara daerah disamakan dengan


tempat tinggal para dewa lokapala yang terletak di empat penjuru mata angin.
Lingkaran pengaruh Kerajaan Majapahit. Saat Majapahit memasuki era
pemerintahan Prabu Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada, beberapa
negara bagian di luar negeri juga termasuk dalam lingkaran pengaruh Majapahit,
sebagai hasilnya, konsep teritorial yang lebih besar pun terbentuk:

1. Negara Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area awal Majapahit
atau Majapahit Lama selama masa pembentukannya sebelum memasuki era
kemaharajaan. Yang termasuk area ini adalah ibukota kerajaan dan wilayah
sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan pemerintahannya. Area ini
meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan semua provinsinya yang dikelola
oleh para Bhre (bangsawan), yang merupakan kerabat dekat raja.
2. Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung. Area ini secara
langsung dipengaruhi oleh budaya Jawa, dan wajib membayar upeti tahunan.
Akan tetapi, area-area tersebut biasanya memiliki penguasa atau raja pribumi,
yang kemungkinan membentuk aliansi atau menikah dengan keluarga kerajaan
Majapahit. Kerajaan Majapahit menempatkan birokrat dan pegawainya di tempat-
tempat ini dan mengatur kegiatan perdagangan luar negeri mereka dan memungut
pajak, namun mereka menikmati otonomi internal yang cukup penting. Termasuk
didalamnya daerah Pulau Jawa lainnya, Madura, Bali, dan juga Dramasraya,
Pagaruyung, Lampung dan Palembang di Sumatra.
3. Nusantara, adalah area yang tidak merefleksikan kebudayaan Jawa, tetapi
termasuk ke dalam koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan. Mereka
menikmati otonomi yang cukup dan kebebasan internal, dan Majapahit tidak
merasa penting untuk menempatkan birokratnya atau tentara militernya di sini;
akan tetapi, tantangan apa pun yang terlihat mengancam Majapahit akan
menghasilkan reaksi keras. Termasuk dalam area ini adalah kerajaan kecil dan
koloni di Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Semenanjung
Malaya.
38

2.2.4 Kehidupan Sosial


Kehidupan sosial masa Majapahit aman, damai, dan tenteram. Dalam kitab
Negarakrtagama disebutkan bahwa Hayam Wuruk melakukan perjalanan keliling
ke daerah-daerah untuk mengetahui sejauh mana kemajuan dan kesejahteraan
rakyatnya. Perlindungan terhadap rakyat sangat diperhatikan. Demikian juga
peradilan, dilaksanakan secara ketat; siapa yang bersalah dihukum tanpa pandang
bulu.

2.2.5 Kehidupan Ekonomi


Di bidang ekonomi, Hayam Wuruk menaruh perhatian pada pertanian dan
perdagangan dengan menjadikan Tuban sebagai salah satu pusat perdagangan
Majapahit. Berdasarkan berita Cina bernama Wng Ta-Yuan yang menggambarkan
pulau Jawa yang padat penduduknya, tanahnya subur dan banyak menghasilkan
padi, lada, garam, kain, dan burung kakatua yang semuanya merupakan barang
ekspor. Hayam Wuruk berusaha untuk menyejahterakan rakyatnya dengan
membuat saluran pengairan, pembuatan bendungan, dan pembukaan tanah baru
untuk perladangan.
Kegiatan ekonomi yang dijalankan oleh rakyat dan pemerintah Kerajaan
Majapahit adalah sebagai berikut.
1. Di Pulau Jawa dititikberatkan pada sektor pertanian rakyat yang banyak
menghasilkan bahan makanan.
2. Di luar Jawa, terutama bagian timur (Maluku), dititikberatkan pada
tanaman rempah-rempah dan tanaman perdagangan lainnya.
3. Di sepanjang sungai-sungai besar berkembang kegiatan perdagangan yang
menghubungkan daerah pantai dan pedalaman.
4. Di kota-kota pelabuhan, seperti Tuban, Gresik, Sedayu, Ujung Galuh,
Canggu, dan Surabaya, dikembangkan perdagangan antarpulau dan dengan luar
negeri, seperti Cina, Campa, dan India.
39

5. Dari kota-kota pelabuhan, pemerintah menerima bea cukai, sedangkan dari


raja-raja daerah pemerintah menerima pajak dan upeti dalam jumlah yang cukup
besar.
Perekonomian yang maju ini membuat rakyat hidup sejahtera dan keluarga
raja beserta para pejabat negara lebih makmur lagi.

2.2.6 Kejayaan
Hayam Wuruk juga disebut Rajasanagara memerintah Majapahit dari tahun
1350 hingga 1389. Pada masa Majapahit mencapai puncak kejayaan dengan
bantuan mahapatih Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364)
Majapahit menguasai lbh banyak wilayah. Pada tahun 1377 beberapa tahun
setelah kematian Gajah Mada Majapahit melancarkan serangan laut ke Palembang
menyebabkan runtuh sisa-sisa kerajaan Sriwijaya. Jenderal terkenal Majapahit lain
adl Adityawarman yg terkenal krn penaklukan di Minangkabau. Menurut
Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV daerah kekuasaan Majapahit meliputi
Sumatra semenanjung Malaya Borneo Sulawesi kepulauan Nusa Tenggara
Maluku Papua dan sebagian kepulauan Filipina. Namun demikian batasan alam
dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampak
tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit tetapi terhubungkan satu
sama lain oleh perdagangan yg mungkin berupa monopoli oleh raja. Majapahit
juga memiliki hubungan dgn Campa Kamboja Siam Birma bagian selatan dan
Vietnam dan bahkan mengirim duta-duta ke Tiongkok.Kerajaan Majapahit
disebut-sebut merupakan salah satu kerajaan terbesar di Indonesia pada masa
lampau yang kekuasaannya terbentang meliputi kepulauan nusantara sampai Asia
Tenggara dengan pusat yang berada di tanah Jawa. Kejayaan Majapahit
mengalami masa kejayaan di bawah kendali Hayam Wuruk. Kerajaan yang selalu
berada di buku-buku sejarah Indonesia ini berdiri pada tahun 1293 sampai 1500.
Sementara kejayaannya terjadi pada tahun 1350 hingga 1389. Pada masa yang
gemilang inilah, Kerajaan Majapahit mampu melebarkan kekuasaannya sampai
Asia Tenggara, mencakup Malaysia, Singapura, Brunai, Timor Timur, Manila dan
juga Thailand Selatan. Bahkan ekspedisi baharinya pernah mencapai Laut Cina
40

Selatan. Sejarah telah menyebutkan bahwa Kerajaan Majapahit merupakan


kerajaan terbesar dan terkuat, baik untuk sejarah Indonesia maupun Asia
Tenggara. Kitab Negarakertagama atau Dewawarnana merupakan salah satu bukti
bahwa Kerajaan Majapahit benar-benar ada. Kitab ini dibuat pada tahun 1365, di
mana Kejayaan Majapahit sedang terjadi. Kejayaan yang diraih tidak lepas dari
peran seorang patih, yaitu Gajah Mada yang ditunjuk pada tahun 1336 oleh Ratu
Tribhuwana Wijayatunggadewi yang merupakan ibunda Hayam Wuruk dan
kemudian takhtanya diwariskan pada putranya tersebut. Pada saat pelantikan,
Gajah Mada mengikrarkan sumpah palapa yang berisi bahwa ia akan memperluas
Majapahit serta mendirikan kekaisaran.
Akhirnya Gajah Mada pun menepati sumpahnya dan terbukti mampu
memperluas wilayah kekuasaan dan menjadikan Majapahit sebagai kerajaan
Hindu Budha terakhir dan terbesar yang pernah menguasai Semenanjung Malaya.
Kekuasaannya pada masa kejayaan Majapahit terbentang hampir meliputi seluruh
kepulauan Indonesia meskipun sesungguhnya hal ini masih diperdebatkan. Bukti-
bukti sejarah kerajaan Majapahit memang tidak banyak, sehingga masih ada saja
hal yang diperdebatkan hingga saat ini. Sumber utama yang menjadi rujukan oleh
para sejarawan adalah Pararaton atau Kitab Raja-Raja yang tertulis dalam bahasa
Kawi serta Kitab Nagarakertagama yang tertulis dalam bahasa Jawa Kuno.
Pararaton memuat berdirinya Majapahit dan menceritakan Ken Arok yang
merupakan pendiri kerajaan Singasari. Sedangkan Kitab Nagarakertagama
memuat puisi-puisi dalam bahasa Jawa kuno yang ditulis pada masa kejayaan
Majapahit. Setelah itu, apa yang terjadi tidak begitu jelas karena bukti fisik yang
otentik sulit untuk ditemukan, meskipun selain kedua kitab itu terdapat juga bukti
lain berupa prasasti dan catatan sejarah Tiongkok serta negara lainnya. Meski
demikian, naskah-naskah dalam bahasa Jawa itu pun tidak bisa ditentukan
keakuratannya sebab tidak lepas daripada unsur mitos dan juga non-historis.

2.2.7 Keruntuhan
Sesudah mencapai puncak pada abad ke-14 kekuasaan Majapahit berangsur-
angsur melemah. Tampak terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun
41

1405-1406 antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Demikian pula telah


terjadi pergantian raja yg dipertengkarkan pada tahun 1450-an dan pemberontakan
besar yg dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468. Dalam tradisi
Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yg berbunyi sirna ilang
kretaning bumi. Sengkala ini konon adl tahun berakhir Majapahit dan harus
dibaca sebagai 0041 yaitu tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini
adl “sirna hilanglah kemakmuran bumiâ€. Namun demikian yg sebenar
digambarkan oleh candrasengkala tersebut adl gugur Bre Kertabumi raja ke-11
Majapahit oleh Girindrawardhana. Ketika Majapahit didirikan pedagang
Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki nusantara. Pada akhir
abad ke-14 dan awal abad ke-15 pengaruh Majapahit di seluruh nusantara mulai
berkurang. Pada saat bersamaan sebuah kerajaan perdagangan baru yg
berdasarkan agama Islam yaitu Kesultanan Malaka mulai muncul di bagian barat
nusantara.Catatan sejarah dari Tiongkok Portugis (Tome Pires) dan Italia
(Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit
dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus penguasa dari Kesultanan
Demak antara tahun 1518 dan 1521 M.

2.2.8 Invasi Demak


Pada umumnya, perang antara Majapahit dan Demak dalam naskah-naskah
babad dan serat hanya dikisahkan terjadi sekali, yaitu tahun 1478. Perang ini
terkenal sebagai Perang Sudarma Wisuta, artinya perang antara ayah melawan
anak, yaitu Brawijaya melawan Raden Patah, tetapi cerita ini cenderung
bertentangan dengan fakta sejarah yang diperkuat oleh prasasti petak dan prasasti
Jiyu bahwa Brawijaya dijatuhkan oleh Girindrawardhana pada tahun 1478. Jadi
sesungguhnya terjadi adalah perang antara Demak dan Daha untuk
memperebutkan hegomoni sebagai penerus Majapahit.
Naskah babad dan serat tidak mengisahkan lagi adanya perang antara
Majapahit dan Demak sesudah tahun 1478. Padahal menurut catatan Portugis dan
kronik Cina kuil Sam Po Kong, perang antara Demak melawan Majapahit terjadi
lebih dari satu kali. Dikisahkan, pada tahun 1517 Pa-bu-ta-la bekerja sama dengan
42

bangsa asing di Moa-lok-sa sehingga mengundang kemarahan Jin Bun. Yang


dimaksud dengan bangsa asing ini adalah orang-orang Portugis di Malaka. Jin
Bun pun menyerang Majapahit. Pa-bu-ta-la kalah namun tetap diampuni
mengingat istrinya adalah adik Jin Bun. Perang ini juga terdapat dalam catatan
Portugis. Pasukan Majapahit dipimpin seorang bupati muslim dari Tuban bernama
Pate Vira. Selain itu Majapahit juga menyerang Giri Kedaton, salah satu sekutu
Demak di Gresik. Namun, serangan ini gagal di mana panglimanya akhirnya
masuk Islam dengan gelar Kyai Mutalim Jagalpati. Sepeninggal Raden Patah alias
Jin Bun tahun 1518, Demak dipimpin putranya yang bernama Pangeran Sabrang
Lor sampai tahun 1521. Selanjutnya yang naik takhta adalah Sultan Trenggana
adik Pangeran Sabrang Lor. Menurut kronik Cina, pergantian takhta ini
dimanfaatkan oleh Pa-bu-ta-la untuk kembali bekerja sama dengan Portugis.
Perang antara Majapahit dan Demak pun meletus kembali. Perang terjadi tahun
1524. Pasukan Demak dipimpin oleh Sunan Ngudung, anggota Wali Sanga yang
juga menjadi imam Masjid Demak. Dalam pertempuran ini Sunan Ngudung tewas
di tangan Raden Kusen, adik tiri Raden Patah yang memihak Majapahit. Perang
terakhir terjadi tahun 1527. Pasukan Demak dipimpin Sunan Kudus putra Sunan
Ngudung, yang juga menggantikan kedudukan ayahnya dalam dewan Wali Sanga
dan sebagai imam Masjid Demak. Dalam perang ini Majapahit mengalami
kekalahan. Raden Kusen adipati Terung ditawan secara terhormat, mengingat ia
juga mertua Sunan Kudus. Menurut kronik Cina, dalam perang tahun 1527
tersebut yang menjadi pemimpin pasukan Demak adalah putra Tung-ka-lo (ejaan
Cina untuk Sultan Trenggana), yang bernama Toh A Bo.
Dari berita di atas diketahui adanya dua tokoh muslim yang memihak
Majapahit, yaitu Pate Vira dan Raden Kusen. Nama Vira mungkin ejaan Portugis
untuk Wira. Sedangkan Raden Kusen adalah putra Arya Damar. Ibunya juga
menjadi ibu Raden Patah. Dengan kata lain, Raden Kusen adalah paman Sultan
Trenggana raja Demak saat itu. Raden Kusen pernah belajar agama Islam pada
Sunan Ampel, pemuka Wali Sanga. Dalam perang di atas, ia justru memihak
Majapahit.
43

Berita ini membuktikan kalau perang antara Demak melawan Majapahit


bukanlah perang antara agama Islam melawan Hindu sebagaimana yang sering
dibayangkan orang, melainkan perang yang dilandasi kepentingan politik antara
Sultan Trenggana melawan Dyah Ranawijaya demi memperebutkan kekuasaan
atas pulau Jawa. Menurut kronik Cina, Pa-bu-ta-la meninggal dunia tahun 1527
sebelum pasukan Demak merebut istana. Peristiwa kekalahan Girindrawardhana
Dyah Ranawijaya ini menandai berakhirnya riwayat Kerajaan Majapahit. Para
pengikutnya yang menolak kekuasaan Demak memilih pindah ke pulau Bali.

2.2.9 Hasil Kebudayaan dan Kitab


Besarnya wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit tentunya berimbas pula
pada betapa makmur dan majunya peradaban di wilayah Antawulan, Ibukota
kerajaan Majapahit yang sekarang dikenal dengan nama Trowulan. Istilah
Bhinneka Tunggal Ika, nama satelit Palapa adalah sebagian “Peninggalan
Majapahit” yang masih kita gunakan hingga saat ini. Surya Majapahit, lambang
dari kerajaan ini juga masih sering digunakan sebagai ornamen bangunan rumah
oleh sebagian penggemar langgam arsitektur Majapahit.
Banyak sekali bangunan-bangunan bersejarah yang masih dapat kita lihat
hingga saat ini, terutama di wilayah kecamatan Trowulan yang dulu merupakan
ibukota kerajaan Majapahit. Wujud bangunan yang masih tersisa antara lain
berupa bangunan candi, pintu gerbang kerajaan, kolam pemandian, bangunan
reservoir air, bangunan waduk, bangunan kanal, sumur kuno, makam kuno, sisa
bangunan pendapa, sisa pemukiman kuno hingga sisa bangunan rumah.
Selain peninggalan berupa bangunan, ratusan ribu artefak Majapahit berupa
koin mata uang, batu bata, batu umpak, batu lumpang, genting, pecahan tembikar,
celengan hingga keramik cina tersebar di seluruh penjuru Trowulan dalam
cakupan areal seluas kira-kira 10 x 11 km dan masih sering ditemukan oleh
penduduk sampai sekarang. Adapun beberapa peninggalan yaitu sebagai berikut :
2.2.9.1 Gapura Wringin Lawang
Gapura Wringin Lawang adalah sebuah gapura peninggalan kerajaan
Majapahit abad ke-14 yang berada di Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten
44

Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Bangunan ini terletak tak jauh ke selatan dari
jalan utama di Jatipasar. Gapura agung ini terbuat dari bahan bata merah dengan
luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter. Diperkirakan dibangun pada abad
ke-14. Gerbang ini lazim disebut bergaya candi bentar atau tipe gerbang terbelah.
Gaya arsitektur seperti ini diduga muncul pada era Majapahit dan kini banyak
ditemukan dalam arsitektur Bali. Kebanyakan sejarawan sepakat bahwa gapura ini
adalah pintu masuk menuju kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit.
Dugaan mengenai fungsi asli bangunan ini mengundang banyak spekulasi, salah
satu yang paling populer adalah gerbang ini diduga menjadi pintu masuk ke
kediaman Mahapatih Gajah Mada.
2.2.9.2 Candi Brahu
Candi Brahu merupakan salah satu candi yang terletak di dalam kawasan
situs arkeologi Trowulan, bekas ibu kota Majapahit. Tepatnya, candi ini berada di
Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto, Jawa Timur, atau sekitar dua kilometer ke arah utara dari jalan raya
Mojokerto—Jombang.
Nama candi ini, yaitu 'brahu', diduga berasal dari kata wanaru atau warahu.
Nama ini didapat dari sebutan sebuah bangunan suci yang disebut dalam Prasasti
Alasantan. Prasasti tersebut ditemukan tak jauh dari Candi Brahu.
Candi Brahu dibangun dengan batu bata merah, menghadap ke arah barat
dan berukuran panjang sekitar 22,5 m, dengan lebar 18 m, dan berketinggian 20
meter. Candi Brahu dibangun dengan gaya dan kultur Budha. Diperkirakan, candi
ini didirikan pada abad ke-15 Masehi meskipun masih terdapat perbedaan
pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan bahwa candi ini berusia jauh
lebih tua daripada candi-candi lain di sekitar Trowulan.
Dalam prasasti yang ditulis Mpu Sendok bertanggal 9 September 939 (861
Saka), Candi Brahu disebut merupakan tempat pembakaran (krematorium)
jenazah raja-raja. Akan tetapi, dalam penelitian tak ada satu pakar pun yang
berhasil menemukan bekas abu mayat dalam bilik candi. Hal ini diverifikasi
setelah dilakukan pemugaran candi pada tahun 1990 hingga 1995.
2.2.9.3 Candi Tikus
Candi Tikus adalah sebuah peninggalan purbakala yang terletak di dukuh
Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
45

Candi ini terletak di kompleks Trowulan, sekitar 13 km di sebelah tenggara kota


Mojokerto. Dari jalan raya Mojokerto-Jombang, di perempatan Trowulan,
membelok ke timur, melewati Kolam Segaran dan Candi Bajangratu yang terletak
di sebelah kiri jalan. Candi Tikus juga terletak di sisi kiri jalan, sekitar 600 m dari
Candi Bajangratu.
Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam tanah ditemukan kembali
pada tahun 1914. Penggalian situs dilakukan berdasarkan laporan bupati
Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro, tentang ditemukannya miniatur candi
di sebuah pekuburan rakyat. Pemugaran secara menyeluruh dilakukan pada tahun
1984 sampai dengan 1985. Nama ‘Tikus’ hanya merupakan sebutan yang
digunakan masyarakat setempat. Konon, pada saat ditemukan, tempat candi
tersebut berada merupakan sarang tikus.
Belum didapatkan sumber informasi tertulis yang menerangkan secara
jelas tentang kapan, untuk apa, dan oleh siapa Candi Tikus dibangun. Akan tetapi
dengan adanya miniatur menara diperkirakan candi ini dibangun antara abad ke-
13 sampai ke-14 M, karena miniatur menara merupakan ciri arsitektur pada masa
itu.
Bentuk Candi Tikus yang mirip sebuah petirtaan mengundang perdebatan
di kalangan pakar sejarah dan arkeologi mengenai fungsinya. Sebagian pakar
berpendapat bahwa candi ini merupakan petirtaan, tempat mandi keluarga raja,
namun sebagian pakar ada yang berpendapat bahwa bangunan tersebut merupakan
tempat penampungan dan penyaluran air untuk keperluan penduduk Trowulan.
Namun, menaranya yang berbentuk meru menimbulkan dugaan bahwa bangunan
candi ini juga berfungsi sebagai tempat pemujaan.
2.2.9.4 Gapura Bajang Ratu
Gapura Bajang Ratu atau juga dikenal dengan nama Candi Bajang Ratu
adalah sebuah gapura / candi peninggalan Majapahit yang berada di Desa Temon,
Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia.
Bangunan ini diperkirakan dibangun pada abad ke-14 dan adalah salah
satu gapura besar pada zaman keemasan Majapahit. Menurut catatan Badan
Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto, candi / gapura ini berfungsi sebagai
pintu masuk bagi bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara
yang dalam Negarakertagama disebut "kembali ke dunia Wisnu" tahun 1250 Saka
46

(sekitar tahun 1328 M). Namun sebenarnya sebelum wafatnya Jayanegara candi
ini dipergunakan sebagai pintu belakang kerajaan. Dugaan ini didukung adanya
relief "Sri Tanjung" dan sayap gapura yang melambangkan penglepasan dan
sampai sekarang di daerah Trowulan sudah menjadi suatu kebudayaan jika
melayat orang meninggal diharuskan lewat pintu belakang.

Sastra Zaman Majapahit Awal


 Kitab Negarakrtagama, karangan Empu Prapanca. Isinya tentang keadaan
kota Majapahit, daerah-daearah jajahan, dan perjalananan Hayam Wuruk
keliling ke daerah-daerah.
 Kitab Sotasoma, karangan Empu Tantular. Di dalam kitab ini terdapat
ungkapan yang berbuny "Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrawa"
yang kemudian dipakai sebagai motto negara kita.
 Kitab Arjunawijaya karangan EmpuTantular. Isinya tentang raksasa yang
dikalahkan oleh Arjuna Sasrabahu.
 Kitab Kunjarakarna, tidak diketahui pengarangnya.

Sastra Zaman Akhir Majapahit


 Kitab Pararaton, isinya menceritakan riwayat raja-raja Singasari dan
Majapahit.
 Kitab Sudayana, isinya tentang Peristiwa Bubat.
 Kitab Sorandakan, isinya tentang pemberontakan Sora.
 Kitab Ranggalawe, isinya tentang pemberontakan Ranggalawe.
 Kitab Panjiwijayakrama, isinya riwayat R.Wijaya sampai dengan menjadi
Raja Majapahit.
 Kitab Usana Jawa, isinya tentang penaklukan Bali oleh Gajah Mada dan
Aryadamar.
 Kitab Tantu Panggelaran, tentang pemindahan gunung Mahameru ke Pulau
Jawa oleh Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa.
47

2.2.10 Sumpah Palapa


Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Aryo Tadah (Mpu Krewes) ingin
mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri
sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui. Ia ingin
membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang
saat itu sedang melakukan pemberotakan terhadap Majapahit. Keta & Sadeng pun
akhirnya takluk. Patih Gajah Mada kemudian diangkat secara resmi oleh Ratu
Tribhuwanatunggadewi sebagai patih di Majapahit (1334).
Pada waktu pengangkatannya ia mengucapkan Sumpah Palapa, yakni ia
baru akan menikmati palapa atau rempah-rempah yang diartikan kenikmatan
duniawi jika telah berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam
kitab Pararaton berikut [1]: “ Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun
amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti
palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang,
Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa ”
(Gajah Mada sang Maha Patih tak akan menikmati palapa, berkata Gajah Mada
“Selama aku belum menyatukan Nusantara, aku takkan menikmati palapa.
Sebelum aku menaklukkan Pulau Gurun, Pulau Seram, Tanjungpura, Pulau Haru,
Pulau Pahang, Dompo, Pulau Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, aku takkan
mencicipi palapa.)
Walaupun ada sejumlah (atau bahkan banyak) orang yang meragukan
sumpahnya, Patih Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara.
Bedahulu (Bali) dan Lombok (1343), Palembang, Swarnabhumi (Sriwijaya),
Tamiang, Samudra Pasai, dan negeri-negeri lain di Swarnadwipa (Sumatra) telah
ditaklukkan. Lalu Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya, dan
sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga
(Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Samadang,
Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung,
Tanjungkutei, dan Malano.
48

Di zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang


menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Patih Gajah Mada terus mengembangkan
penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi,
Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makassar, Buton,
Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan
(Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.

2.2.11 Perkembangan Sastra dan Budaya


Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, bidang sastra mengalami
kemajuan. Karya sastra yang paling terkenal pada zaman Majapahit adalah
Kitab Negarakertagama. Kitab ini ditulis oleh Empu Prapanca pada tahun 1365
M. Di samping menunjukkan kemajuan di bidang sastra, Negarakertagama
juga merupakan sumber sejarah Majapahit. Kitab lain yang penting adalah
Sutasoma. Kitab ini disusun oleh Empu Tantular. Kitab Sutasoma memuat
kata-kata yang sekarang menjadi semboyan negara Indonesia, yakni Bhinneka
Tunggal Ika. Di samping itu, Empu Tantular juga menulis kitab Arjunawiwaha.
Bidang seni bangunan juga berkembang. Banyak bangunan candi telah
dibuat. Misalnya Candi Penataran dan Sawentar di daerah Blitar, Candi
Tigawangi dan Surawana di dekat Pare, Kediri, serta Candi Tikus di Trowulan.
Keruntuhan Majapahit lebih disebabkan oleh ketidakpuasan sebagian
besar keluarga raja, setelah turunnya Hayam Wuruk. Perang Paregrek telah
melemahkan unsur-unsur kejayaan Majapahit. Meskipun peperangan berakhir,
Majapahit terus mengalami kelemahan karena raja yang berkuasa tidak
mampu lagi mengembalikan kejayaannya. Unsur lain yang menyebabkan
runtuhnya Majapahit adalah semakin meluasnya pengaruh Islam pada saat itu.
Kemajuan peradaban Majapahit itu tidak hilang dengan runtuhnya
kerajaan itu. Pencapaian itu terus dipertahankan hingga masa perkembangan Islam
di Jawa. Peninggalan peradaban Majapahit juga dapat kita saksikan pada
perkembangan lingkup kebudayaan Bali pada saat ini. Kebudayaan yang
masih dikembangkan hingga masa Islam adalah cerita wayang yang berasal dari
epos India yaitu Mahabharata dan Ramayana, serta kisah asmara Raden Panji
49

dengan Sekar Taji (Galuh Candrakirana). Selain itu dapat kita saksikan juga
pada unsur arsitekturnya bentuk atap tumpang, seni ukir sulur-suluran dan
tanaman melata, senjata keris, lokasi keramat, dan masih banyak lagi.
Kakawin Arjuna Wijaya menguraikan peperangan antara Prabhu Arjuna
Sahasrabhahu dan pendeta Parasu Rama, berdasarkan Uttara Kanda, bagian
terakhir Ramayana (Sansekerta). Cerita ini sangat populer terbukti dari adanya
pelbagai naskah dalam bahasa Bali dan Jawa Kuna. Versinya dalam bahasa Jawa
Baru dalam bentuk tembang diusahakan oleh Raden Ngabehi Sindusastra dari
Surakarta, diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1930. Cerita ini dikenal
dengan Lampahan Arjuna Sasrabahu, banyak dipertunjukkan dalam seni
panggung wayang, baik wayang kulit maupun wayang orang. Naskah ini juga
pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dibahas dan diterbitkan sebagai
bahan thesis pada Universitas Nasional di Canberra, Australia oleh Dr. Supomo
pada tahun 1971. Karya Mpu Tantular yang kedua adalah Sutasoma, Purusada
Santa, sebuah cerita moralistik dan didaktik Budha tentang pahlawan Sutasoma
yang menyerahkan hidupnya dengan sukarela sebagai mangsa kepada raksasa
Kalmasa Pada. Raksasa Kalmasa Pada kagun akan kerelaan itu, dan tidak jadi
memakannya, bahkan malah bertobat dan memeluk agama Budha. Sutasoma
adalah Bodhisattwa. Naskah Sutasoma Purusada Santa ini banyak menarik
perhatian para sarjana, diantaranya Prof. J. Ensink, dalam tahun enampuluhan ia
datang ke Indonesia untuk mengadakan penelitian tentang Sutasoma di pulau Bali,
hasilnya adalah sebuah tulisan yang berjudul On the Old Javanese Cantakaparwa
and its tale of Sutasoma, VKI, 54, 1967. Teks Sutasoma ini juga dijadikan bahan
thesis pada Universitas Nasional di Canberra, Australia, oleh Dr. Suwito Santosa
pada tahun 1969.
Wretta Sancaya atau disebut juga Cakrawala Duta pada hakekatnya adalah
karya pengetahuan tentang matra kakawin India, yang banyak dipinjam dalam
kesusasteraan Jawa Kuna, tetapi diberi bentuk cerita romantis tentang seorang
gadis yang ditinggalkan oleh kekasihnya. Gadis itu memeinta bantuan kepada
burung cakrawala atau meliwis untuk mencarikan kekasihnya tersebut. Karya ini
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan diterbitkan oleh Prof. H. Kern
50

dengan judul Wretta-sancaya, Oud Javaansch leerdicht over versbouw, Leiden,


1875.
Sriwaratrikalpa atau Lubdaka bercerita tentang seorang pemburu yang
pada suatu malam menaburkan daun maja (wilwa) di atas lingga Dewa Siwa, yang
ada di bawah pohon maja. Sebagai tanda terima kasih, Dewa Siwa mengijinkan
pemburu itu masuk ke dalam taman surga. Cerita Lubdhaka adalah saduran dari
mithologi India yang bertalian dengan upacara keagamaan Shiwaratri. Mungkin
pada jaman Majapahit Shiwaratri itu juga dirayakan. Naskah ini telah diterbitkan
oleh Prof. A. Teeuw di bawah judul Sriwaratrikalpa dalam seri Bibliotheca
Indonesica no. 3 tahun 1969. Karya lainnya dari Mpu Tanakung adalah Pati Brata
atau Uddalaka, karya ini belum pernah diterbitkan.

Gambar 2.2.10.1

Anda mungkin juga menyukai