Anda di halaman 1dari 10

AMORF

Amorf merupakan kata dasar yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti
“tidak teratur”. Solid amorf tidak menampilkan partikel struktur tiga dimensi yang
beraturan. Solid amorf yang umum dikenali adalah gelas. Berikut struktur
molekular tiga dimensi antara kristal pada intan dan amorf grafit.

Gambar 1. Perbedaan struktur intan dan grafit (Sunarya dan Setiabudi, 2007)

Klasifikasi zat terkondensasi dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu


1. Cairan, di mana strukturnya tidak teratur dan stabil terhadap suhu, disadari
bahwa suhunya lebih tinggi dari suhu titik leleh.
2. Kristal, di mana strukturnya teratur dan stabil terhadap suhu, disadari
bahwa suhunya lebih rendah dari suhu titik beku.
3. Padatan amorf, di mana strukturnya tidak teratur dan metastabil terhadap
suhu, disadari bahwa suhunya lebih rendah dari pada suhu transisi kaca
atau suhu kristalisasi ( suhu di mana padatan amorf dipanaskan, berubah
menjadi kristal.
(Ehrenreich dan Turnbull, 1992)
Amorf disebut juga gelas metalik (metalic glasses) yang secara
termodinamik bahan gelas metalik berada pada keadaan metastabil, artinya
struktur ini akan mudah bertansformasi menuju ke keadaan yang lebih stabil
melalui kristalisasi baik penuh (kristalisasi sempurna) maupun sebagian
(kristalisasi sebagian). Struktur gelas metalik pertama ka1i ditemukan oleh P.
Duwez untuk paduan Au-Si pada tahun 1960 (Triwikantoro dan Sukendar, 2007).
Padatan amorf adalah padatan yang partikel penyusunnya tidak memiliki
keteraturan yang sempurna. Susunan partikel dalam padatan amorf sebagian
teratur dan sedikit agak mirip dengan padatan kristalin. Namun, keteraturan ini
terbatas dan tidak muncul di keseluruhan padatan. Banyak padatan amorf di
sekitar kita yaitu gelas, karet dan polietena memiliki keteraturan sebagian. Fitur
padatan amorf dapat dianggap intermediet antara padatan dan cairan. Baru-baru
ini perhatian telah difokuskan pada bahan buatan seperti fiber optik dan silikon
amorf (Yashito, 2008).
Padatan yang kaku, tetapi tidak memiliki karakteristik kristal disebut non-
kristal atau padatan amorf. Sebuah padatan amorf di mana partikel-partikel
penyusunnya tidak memiliki susunan tiga dimensi yang teratur. Beberapa contoh
padatan amorf adalah kaca, karet, banyak jenis plastik, dan lain-lain. Kuarsa
adalah contoh dari padatan kristal yang memiliki susunan teratur dari SiO4
tetrahedra. Jika kuarsa meleleh dan lelehan didinginkan cukup cepat untuk
menghindari kristalisasi padatan amorf disebut kaca. Padatan amorf kadang-
kadang digambarkan sebagai cairan dingin karena molekul-molekul tersusun
secara acak seperti dalam cairan (Tyagi, 2000).

Gambar 2. Perbedaan struktur kuarsa (kristal) dan gelas silika (amorf) (Myers,
2006)
Beberapa sifat amorf:
a. Absorbsi zat berbentuk amorf lebih besar daripada bentuk kristal karena
zat yang amorf lebih mudah larut. Sebagai contoh, kloramfeikol palmitat
dan novobiosin akan tidak aktif apabila diberikan dalam bentuk kristal.
Contoh lainnya, insulin. Insulin (hormon kelenjar pankreas sapi/kambing)
yang penting untuk metabolisme glukosa memiliki tiga bentuk, yaitu :
1. Amorf (semilente): cepat diabsorbsi
contoh: prompt Insulin zinc. Susp. USP
2. Kristal (ultralente): lambat diabsorbsi
contoh: Extended Insulin Zinc. Susp. USP
3. Campuran 70% Kristal dan 30% amorf (lente)
contoh: Insulin Zinc. Susp. USP
b. Stabilitas produk berbentuk amorf lebih kecil daripada bentuk kristal.
Contoh: penisilin G natrium
(Syamsuni, 2006)

Gambar 3. Struktur Kristalin dan Amorf (Atwood dan Florence, 2008).


Di samping bentuk-bentuk polimorfisme dimana senyawa-senyawa
mungkin ada, mereka juga dapat terjadi dalam bentuk non-kristal atau bentuk
amorf. Energi yang dibutuhkan untuk suatu molekul obat untuk bebas dari suatu
serbuk amorf. Oleh karena itu bentuk amorf dari suatu senyawa selalu lebih
mudah larut dibandingkan dengan bentuk kristalnya yg sesuai (Ansel, 1989).
Sifat padatan amorf yang lainnya adalah:
a. Kurangnya panjang susunan jangkauan. Padatan amorf tidak memiliki
partikel penyusun yang panjang susunan jangkauannya. Namun, mereka
mungkin memiliki bagian susunan pengatur. Bagian-bagian kristal padatan
amorf dikenal sebagai kristalit.
b. Tidak ada titik leleh yang tepat. Padatan amorf tidak memiliki titik leleh
yang tepat namun meleleh selama rentang suhu tertentu. Misalnya, kaca
pada pemanasan pertama menjadi lembek dan kemudian meleleh pada
rentang suhu tertentu. Kaca, oleh karena itu, dapat dibentuk dalam
berbagai bentuk. Padatan amorf tidak memiliki ciri - ciri panas fusi.
c. Konversi ke dalam bentuk kristal. Padatan amorf ketika dipanaskan dan
didinginkan perlahan-lahan, misalnya sebuah anealing menjadi kristal
pada temperatur tertentu. Itulah sebabnya benda kaca pada dahulu kala
terlihat seperti susu karena beberapa kristalisasi telah terjadi.
(Tyagi, 2000)
Perbedaan antara Kristal dan Padatan Amorf yaitu:

a. Menurut strukturnya : Kristal, partikel penyusunnya, atom, ion atau


molekulnya tersusun teratur dan dalam tiga dimensi, contohnya natrium
klorida, gula. Sedangkan padatan amorf, partikel penyusunnya tidak
beraturan.
b. Menurut dipotong dengan sebuah pisau : Kristal, memberikan hasil yang
bersih dan pembelahan yang beraturan. Sedangkan padatan amorf,
pembelahan yang tidak beraturan.
c. Menurut Titik leleh : Kristal, terdapat titik leleh yang pasti. Sedangkan
padatan amorf, tidak memiliki titik leleh yang pasti, titik lelehnya pada
rentang suhu tertentu.
d. Menurut bentuk fisiknya : Kristal, anisotropik, yaitu bentuk fisiknya tidak
dapat diidentifikasi pada semua arah. Sedangkan padatan amorf, isotropik,
yaitu bentuknya dapat diidentifikasi pada semua arah.
(Tyagi, 2000)

Susunan partikel dalam padatan amorf sebagian teratur dan sedikit agak
mirip dengan padatan kristalin. Namun, keteraturan ini, terbatas dan tidak muncul
di keseluruhan padatan. Banyak padatan amorf di sekitar kita-gelas, karet dan
polietena memiliki keteraturan sebagian. Fitur padatan amorf dapat dianggap
intermediate antara padatan dan cairan. Baru-baru ini perhatian telah difokuskan
pada bahan buatan seperti fiber optik dan silikon amorf (Hougen and Watson,
1954).

Gambar 4. Padatan kristalin dan amorf (Hougen and Watson, 1954).

Terdapat perbedaan besar dalam keteraturan partikel penyusunnya.


Beberapa ilmuwan bertahan dengan pendapat bahwa padatan amorf dapat
dianggap wujud keempat materi.
Tabel 1. Beberapa contoh padatan amorf fungsional (Hougen and
Watson, 1954).
Amorf Penggunaan material

Gelas kuarsa
Serat optik
Silikon amorf Membran selenium untuk mesin
fotocopy

Logam besi/kobal amorf Sel surya

polimer polistrine

Karbon amorf Karbon hitam

Silika gel gel

Zat padat dapat dibedakan menjadi 2, yaitu kristal dan amorf. Dalam
padatan kristal, atom-atom berikatan secara teratur membentuk struktur yang
sangat cantik. Keteraturan susunan atom-atom itu sungguh luar biasa rapinya.
Setiap unit kristal terkecil, memiliki sudut tertentu dan unit-unit itu tersusun rapi
dengan sudut-sudut yang semuanya sama. Contoh kristal unsur adalah intan dan
kristal senyawa adalah natrium khlorida, NaCl yang kita kenal sebagai garam
dapur. Untuk kristal logam, memiliki ciri khas yang berbeda dengan kristal yang
lain. Dalam logam, ion-ion positif logam teratur rapi yang terikat kuat menjadi
satu yang dikelilingi oleh arus elektron. Kejadian inilah yang menyebabkan kristal
logam dapat menghantar listrik atau sebagai konduktor listrik. Kristal-kristal yang
dibahas ini tergolong kristal tunggal, karena semua atom-atom atau ion-ion terikat
menjadi satu (Hougen and Watson, 1954).
Lain halnya dengan polikristal, yang memiliki pola berbeda-beda. Dalam
suatu padatan polikristal, terdapat kelompok-kelompok kristal yang berbeda
namun memadat bersama. Kaca adalah contoh zat padat amorf. Ketika kaca
terjatuh dan pecah, tampak pecahannya tak menentu. Pecahan ini dapat
menunjukkan keadaan dari struktur zat padat amorf. Partikel-partikelnya tersusun
acak tidak menentu. Inilah penyebabnya zat padat amorf tidak memiliki bentuk
tertentu (Hougen and Watson, 1954).
Padatan amorf menemukan banyak aplikasi karena sifat mereka yang unik.
Misalnya, kacamata menemukan aplikasi dalam konstruksi, peralatan rumah
tangga, laboratorium. Karet, padatan amorf lainnya digunakan dalam pembuatan
tabung, ban, sol sepatu, dan lain – lain. Plastik yang digunakan dalam rumah
tangga dan industri (Tyagi, 2000).
Sebagai contoh salah satu jurnal yang menunjukkan pengaruh suhu
terhadap pembentukan material zat padatan (kristalin, amorf). Pada jurnal ini
dijelaskan tentang pemanfaatan ampas tebu menjadi abu silika. Dimana
pengujiannya dilakukan dengan menambahkan abu silika ke dalam adonan
keramik untuk mengetahui kualitas keramiknya. Dari data yang diperoleh kualitas
keramik dapat ditingkatkan dengan penambahan senyawaan silika. Silika dapat
berupa kristal maupun amorf tergantung dari suhu pembakaran. Pada proses
pembakaran adonan keramik yang terdiri dari lempung, kapur dan pasir, silika
dari pasir berfungsi sebagai penguat badan keramik dimana pada kondisi
temperatur titik leburnya silika akan mengisi ruang kosong (pori) yang dibentuk
antara partikel tanah liat dan mineral akibat adanya penguapan air dan bahan
lainnya sedemikian hingga produk menjadi lebih rapat.
Sampel bagasse dibersihkan dari kotoran yang terbawa dari pabrik. Lalu
dicuci dengan air, dikeringkan dibawah sinar matahari. Diambil sebagaian contoh
untuk dianalisa Kadar Abunya dengan Suhu pengabuan 550oC, selama 1 malam.
Sejumlah bagasse bersih kemudian dibakar sehingga menghasilkan arang sekam
pada suhu 350oC. Arang yang terbentuk dimasukkan kedalam cawan porselen lalu
diabukan dalam tungku pemanasan pada suhu 500oC, 600oC, 700oC dan 800oC
selama 4 jam. Abu bagasse yang dihasilkan digerus dan diayak sehingga
diperoleh serbuk abu yang lolos pada ayakan 200 mesh. Hasil ayakan yang
diperoleh dikarakterisasi dengan XRD untuk mengetahui sifat kekristalannya dan
dianalisis dengan AAS untuk mengetahui kadar silika-nya (SiO2). Adonan
keramik dirancang dengan penambahan abu bagasse 10% dari berat tanah liat dan
kemudian dilakukan pembakaran pada suhu 900oC selama 3 jam. Produk keramik
yang dihasilkan diukur kekuatan patahnya.
Gambar 1 adalah pola difraksi XRD abu baggase hasil pengabuan pada
suhu 500, 600, 700 dan 800oC pada daerah 2 = 10–50o. Bentuk dari puncak
SiO2 yang memiliki kekristalan tinggi ditunjukkan dengan bentuk puncak yang
menajam pada 2 = 20– 25o, puncak ini akan semakin tinggi ketika suhu
pengabuan dinaikkan. Hal ini sesuai dengan teori pertumbuhan kristal yang akan
naik dengan peningkatan suhu pemanasan sampai terbentuknya kristal secara
sempurna. Dengan demikian, kenaikkan intensitas puncak SiO2 menandakan
adanya pertumbuhan kristal. Derajat kekristalan bentuk SiO2 pada suhu
pengabuan 500 dan 600oC adalah rendah dibandingkan dengan kekristalan pada
suhu pengabuan 700 dan 800oC, artinya pada daerah ini fasa SiO2-amorf masih
mendominasi bentuk SiO2 yang dihasilkan. Demikian juga sebaliknya derajat
kekristalan bentuk SiO2 pada suhu pengabuan 700 dan 800oC adalah tinggi
dibandingkan dengan kekristalan pada suhu pengabuan 500 dan 600oC, artinya
pada daerah ini fasa SiO2-kritalin mendominasi bentuk kristal yang dihasilkan.
Gambar 2. Pengaruh bentuk dominasi SiO2 terhadap kuat patah keramik
penambahan 10% abu ampas tebu.
Dari Gambar ini terlihat bahwa terjadi penurunan nilai kuat patah dari keramik
dengan
10% abu ampas tebu berturut-turut dari kuat patah yang tinggi ke kuat patah yang
rendah Amorf-500, Amorf-600, Kristal-700 dan Kristal-800. Secara umum dapat
dikatakan bahwa dominasi bentuk Kristal amorf memberi pengaruh peningkatan
kekuatan keramik yang lebih besar dibanding dengan bentuk kristalnya. Kuat
patah maksimum diberikan oleh bentuk amorf-500 sebesar 940 N/cm2 yang lebih
tinggi dari kuat patah tanpa penambahan abu bagasse sebesar 517 N/cm2 maupun
hasil penelitian Mulyadi10 untuk keramik Indonesia yaitu 550 N/cm2. Data ini
dapat menerangkan bahwa silika yang terdapat dalam
abu akan mengisi ruang dalam pori, yang terbentuk akibat menguapnya air,
sehingga keramik menjadi lebih padat. Padatnya keramik akan menyebabkan nilai
porositas menurun, sehingga nilai kuat patah menjadi tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Hougen and Watson. 1954. Chemical Process Principles, part I. USA:


Goodreads.

Triwikantoro dan S. Sukendar. 2007. Nanokristalisasi Material Amorf. Available


at: http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Article-9159-Triwikantoro-
NanokristaHsasi Material Amorf.pdf.

Tyagi, V. P. 2000. Essential Chemistry. Nw Delhi: Ratna Sasar P. Ltd

Partana, C.F. 2008. Seri IPA Kimia I. Jakarta: Penerbit Quadra

Syamsuni,H. 2006. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai