Anda di halaman 1dari 16

IDENTIFIKASI POTENSI PURA TAMBA WARAS

SEBAGAI KAWASAN WISATA SPIRITUAL

I Putu Karunia
Program Pascasarjana Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Lingkungan,
Universitas Mahasaraswati (NPM : 1881103351010365)
email: karunarsitek@yahoo.com

ABSTRAK
Pura Tamba Waras merupakan salah satu Pura Catur Angga Batukaru dengan potensi yang belum
terindentifikasi dengan baik sehingga pengembangannya belum optimal. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi potensi Pura Tamba Waras untuk dikembangkan
menjadi kawasan wisata spiritual. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif
dengan teknik pengumpulan data berupa pemetaan situasi, wawancara, foto lapangan dan
klasifikasi potensi berdasarkan komponen utama kawasan wisata yaitu Atraksi wisata, Amenitas,
Aksesibilitas, Ancillary Service (4A). Dari hasil penelitian diperoleh bahwa Pura Tamba Waras
merupakan tempat memohon pengobatan/kesehatan yang masuk sebagai kawasan Cagar Budaya,
terletak dalam kawasan hutan konservasi Batukaru, dan memiliki berbagai potensi Atraksi wisata,
Amenitas, Aksesibilitas, dan Ancillary Service. Kesimpulan yang diperoleh bahwa Pura Tamba
Waras memiliki potensi yang sangat layak dikembangkan sebagai kawasan wisata spiritual.
Diperlukan peningkatan sarana prasarana terkait komponen 4A dan koordinasi yang lebih baik
antar para pihak terkait serta pengambil kebijakan agar Pura Tamba Waras dapat dikembangkan
sebagai kawasan wisata spiritual yang berkualitas.

Kata kunci : Pura Tamba Waras, Potensi Pura Tamba Waras, Wisata Spiritual

PENDAHULUAN
Bali memang identik dengan pariwisata. Dunia internasional mengakui Bali sebagai salah satu
destinasi wisata utama dunia. Namun kejenuhan pariwisata di Bali dapat terjadi apabila para
pemangku kepentingan (stakeholders) tidak kreatif. Hal ini diantisipasi para pelaku pariwisata
dengan menghadirkan berbagai produk pariwisata yang dikemas untuk memberikan pilihan
beragam bagi wisatawan. Beberapa paket wisata pilihan yang sering ditawarkan adalah paket
wisata menjelajah alam, seperti tracking di alam pedesaan sambil belajar memasak dan menikmati
kuliner lokal, mendaki gunung (biasanya Gunung Agung dan Gunung Batur), ataupun memetik
buah kopi di perkebunan kopi sambil mengolah dan menikmatinya (Sutama, 2013).
Paket wisata alternatif lain yang sedang populer di kalangan pelaku pariwisata di Bali adalah
“Wisata Spiritual”. Menurut (Sutama, 2013), wisata spiritual adalah jenis wisata atau perjalanan
wisata yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk mencari ketenangan, kedamaian dan
keharmonisan dengan alam. Wisata spiritual di Bali merupakan kombinasi antara wisata religius
dan wisata budaya. Hal ini dibuktikan dengan para wisatawan mancanegara banyak juga pergi
meditasi ke Gunung Batur, Gunung Batukaru, dan sebagainya. Potensi Bali untuk dikembangkan
menjadi destinasi wisata spiritual sangat besar karena baru sekitar lima persen dari jumlah total
turis asing di Bali yang berwisata dengan tujuan memperoleh pengalaman spiritual (Pitana, 2012).

Kepariwisataan Bali berkembang didukung oleh penerapan nilai-nilai agama, kepercayaan, dan
adat budaya. Nilai-nilai tersebut salah satunya tercermin dari keberadaaan Pura. Diantara
banyaknya pura yang berada di Bali, salah satu Pura yang memiliki nilai sejarah dan keunikan
tersendiri adalah Pura Tamba Waras. Pura Tamba Waras merupakan salah satu Pura Catur Angga
Batukaru yang terletak di dalam zona konservasi Batukaru. Tamba Waras berasal dari kata Tamba
yang berarti obat-obatan dan Waras yang berarti sembuh atau normal. Pura Tamba Waras
merupakan tempat pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi beliau sebagai
pelindung dan penyedia obat-obatan di alam semesta. Umat yang memuja di pura ini bertujuan
memohon kerahayuan, kesehatan dan kebijaksaan untuk mencapai kesejahteraan (Surata, 2013).

Pura Tamba Waras yang terletak di dalam kesejukan dan ketenangan hutan konservasi Batukaru
mampu menarik perhatian wisatawan, khususnya wisatawan yang mencari pengalaman spiritual
dan pengobatan. Kondisi ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan Pura Tamba Waras sebagai
kawasan wisata spiritual. Menurut (Utari, 2014), terdapat empat komponen utama dalam suatu
kawasan wisata yaitu atraksi wisata, amenitas, aksesibilitas, dan ancillary service (4A).
Berdasarkan hal tersebut, dalam menyusun perencanaan pengembangan Pura Tamba Waras
sebagai kawasan wisata spiritual, diperlukan adanya penelitian tentang identifikasi dan klasifikasi
potensi Pura Tamba Waras yang ditinjau dari komponen kawasan wisata “4A”. Hasil dari
penelitian ini diharapkan mampu memberikan sebuah gambaran awal dalam menyusun
perencanaan pengembangan Pura Tamba Waras secara lebih komperensif sebagai kawasan wisata
spiritual yang berkualitas.

TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi potensi yang dimiliki
Pura Tamba Waras sehingga nantinya dapat dijadikan dasar penyusunan perencanaan
pengembangan kawasan Pura Tamba Waras sebagai kawasan wisata spiritual yang berkualitas.
METODE
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan survey data primer dengan teknik
pengumpulan data berupa pemetaan situasi, wawancara, dan foto lapangan. Selanjutnya, data
dianalisis dengan metode analisis deskriptif kualitatif, dimana data yang ada diintepretasikan
secara deskriptif melalui kajian kritis terhadap suatu permasalahan pada penelitian ini. Kajian kritis
dan klasifikasi dilakukan berdasarkan komponen utama kawasan wisata yaitu Atraksi wisata,
Amenitas, Aksesibilitas, Ancillary Service (4A).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sejarah dan Lokasi Pura Tamba Waras
Menurut (Galang, 2000), Pura Tamba Waras berdiri sekitar abad ke-12. Dari beberapa catatan
sejarah, Raja Tabanan yakni Cokorda Tabanan sakit keras. Para abdi mencarikan obat sesuai
dengan petunjuk gaib yang diterima, di mana akan ada asap sebagai petunjuknya. Setelah berjalan
di dalam hutan Batukaru, dijumpai asap mengepul yang berasal dari sebuah kelapa di tanah di
dalam rumpun bambu. Setelah memohon di tempat itu, didapatkanlah obat. Setelah obat tersebut
diaturkan kepada raja, ternyata sang raja sembuh dan sehat kembali. Di tempat itu dibangunlah
tempat pemujaan yang dinamakan Tamba Waras. Tamba Waras berasal dari kata Tamba artinya
obat, sedangkan Waras artinya normal kembali. Pura Luhur Tamba Waras bermakna pemujaan
kekuatan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi dalam fungsi sebagai penyedia gudang farmasi alam
semesta (bhuwana agung). Dengan demikian permohonan kerahayuan, kesehatan, kebijaksanaan
untuk mencapai kesejahteraan merupakan objek pemujaan di pura ini.

Pura Tamba Waras termasuk salah satu Pura Catur Angga, berstatus sebagai Sad Kahyangan Jagat
Bali. Pura ini termasuk dalam jajar kemiri, yakni juringan yang membangun kekuatan. Adapun
pura jajar kemiri yang dimaksud adalah Pura Luhur Muncaksari dan Pura Tamba Waras yang
terletak di sebelah kanan Pura Luhur Batukaru. Sementara di sebelah kiri terdapat Pura Patali dan
Pura Besikalung. Kesempurnaan antara kedua sisi ini dapat memperkuat alam semesta. Dengan
demikian Pura Tamba Waras merupakan satu kekuatan penyangga keutamaan fungsi Ida Batara
Sang Hyang Tumuwuh yang berstana di Luhur Batukaru.
Pura Tamba Waras berlokasi di sebelah selatan Pura Luhur Muncak Sari atau di sebelah barat daya
Pura Luhur Batukaru. Pura Tamba Waras termasuk wilayah Desa Adat Sangketan, Kecamatan
Penebel, Kabupaten Tabanan. Mandala Pura Tamba Waras sebagai zona inti lanskap budaya
memiliki luas 0,25 hektar, yang dikelilingi dengan zona penyangga seluas 5,61 hektar (Surata,
2013). Pura ini terletak pada ketinggian sekitar 725 meter dari permukaan laut dan untuk
mencapainya harus menempuh jarak sekitar 22 km dari kota Tabanan. Di sepanjang perjalanan
yang peneliti tempuh menuju Pura Tamba Waras tersaji hamparan sawah begitu asri dan indah.
UTARA

Kabupaten Tabanan Tampak Atas Kawasan Pura Tamba Waras

Pulau Bali
Gambar 1. Peta lokasi Pura Tamba Waras
Sumber : Google satellite Maps, 2018

Identifikasi dan Klasifikasi Potensi Pura Tamba Waras


1. Atraksi Wisata
Atraksi wisata adalah segala bentuk daya tarik yang dimiliki oleh suatu objek wisata. Pemetaan
beberapa daya tarik yang dimiliki Pura Tamba Waras tampak pada gambar berikut ini :

UTARA

Gambar 2. Pemetaan atraksi/daya tarik wisata pada Pura Tamba Waras


Sumber : Google satellite maps dan hasil pemetaan peneliti, 2018
Pada gambar 2 dapat kita lihat potensi daya tarik dari Pura Tamba Waras meliputi Pura Tamba
Waras Kahyangan yang dipercaya sebagai tempat memohon kesehatan/pengobatan berupa tamba
minyak, Pancoran Sapta Gangga dengan tujuh buah pancoran sebagai tempat
penglukatan/pembersihan diri (nunas tamba tirta), adanya wantilan sebagai tempat
sangkep/rapat/pertemuan dan tempat menyajikan atraksi wisata berupa tari-tarian tradisonal/
hiburan rakyat saat piodalan di Pura, serta pemandangan alam dan kesejukan hutan yang
mengelilingi kawasan Pura Tamba Waras.

Gambar 3. Wawancara peneliti dengan Bapak Jero Mangku Dalem Solo


Sumber : Observasi lapangan, 2018

Dari hasil wawancara dengan Bapak Jero Mangku Dalem Solo (Gambar 3), Pancoran Sapta
Gangga lahir dari petuduh/petunjuk Ida Bhatara Dalem Solo untuk membuatkan tempat Beliau
ngicenin/memberi Tirta/air suci karena tamba/obat minyak dari Pura Tamba Waras Kahyangan
belum paripurna/sempurna tanpa adanya Tamba Tirta. Kehadiran Pancoran Sapta Gangga
sekaligus dimaksudkan untuk menjaga kesucian beji lainnya yang masih berada di kawasan
Batukaru, terutama beji sakral pada Pura Dalem Solo yang terletak kurang lebih 1 km di sebelah
Selatan Pancoran Sapta Gangga. Pancoran Sapta Gangga mulai mencuri perhatian sejak sepuluh
tahun yang lalu, kemudian mendapat pemugaran pada tahun 2016 dan mulai bisa digunakan sekitar
bulan Nopember tahun 2016. Semenjak inilah menurut Bapak Jero Mangku Dalem Solo
pengunjung yang datang ke Pura Tamba Waras semakin meningkat. Sebelum adanya Pancoran
Sapta Gangga, Tirta Tamba Waras tedun setiap bulan purnama dan setiap ada pujawali di pura.
Akan tetapi sejak adanya tempat penglukatan dan semakin banyaknya wisatawan yang datang ke
Pura, Tirta Tamba Waras tedun setiap hari. Selain itu Pura Tamba Waras juga memiliki keterkaitan
dengan subak yang ada disekitarnya. Hal ini terlihat dari keberadaan Pura Ulun Suwi di bagian
selatan Pancoran Sapta Gangga (lihat gambar 2). Setiap akan melaksanakan segala sesuatu yang
berkaitan dengan pekerjaan di subak, krama subak pasti selalu memohon restu dari Ida Bathara
yang beristana di Pura Tamba Waras dengan menghaturkan sesajen/pejati.
(a) (b)
Gambar 4. Situasi penglukatan di Pancoran Sapta Gangga (a) dan pengunjung yang sedang
nunas tamba minyak di Pura Tamba Waras Kahyangan (b)
Sumber : Observasi lapangan, 2018

Dari gambar 4 (a) tampak pengunjung yang sedang melakukan penglukatan di Pancoran Sapta
Gangga. Pengelukatan dilakukan dengan cara membasuh muka, berkumur, dan meminum tirta
yang keluar dari tujuh buah pancoran masing-masing sebanyak tujuh kali. Konon jika saat
meminum tirta ini pengunjung muntah-muntah, itu merupakan pertanda terdapat penyakit niskala
dalam tubuh dan tirta bereaksi untuk membersihkan penyakit tersebut. Setelah selesai, pengunjung
kembali dilukat dengan media bungkak nyuh gading sebelum keluar dari area pancoran.
Pengunjung yang telah selesai melukat di Pancoran Sapta Gangga kemudian melanjutkan untuk
nunas tamba minyak dengan media bungkak nyuh gading di Pura Tamba Waras Kahyangan
(gambar 4 b). Sebanyak tiga tetes minyak yang dipercaya sebagai obat diteteskan ke dalam
bungkak kemudian bersama air dalam bungkak diminum hingga habis.

(a) (b)
Gambar 5. Wisatawan mancanegara yang sedang berkunjung ke Pura Tamba Waras Kahyangan
(a) dan signage/papan informasi Pura Tamba Waras merupakan kawasan Cagar Budaya
Sumber : Observasi lapangan, 2018
Dari gambar 5 (a) tampak wisatawan mancanegara yang sedang melakukan wisata spiritual berada
di utama mandala dari Pura Luhur Tamba Waras Kahyangan. Mereka menikmati aura magis dari
pura yang dibalut dengan seni arsitektur tradisional Bali. Tidak jarang wisatawan mancanegara
yang datang berkunjung juga ikut mencoba melukat dan nunas tamba terlepas dari kepercayaan
dan agama yang mereka anut. Pada gambar 5 (b) tampak status dari Pura Tamba Waras yang
masuk ke dalam kawasan Cagar Budaya. Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan
berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar
Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya
karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau
kebudayaan melalui proses penetapan. Ini menjadi potensi tersendiri bagi Pura Tamba Waras
sehingga dalam eksistensi dan perawatannya harusnya mendapat prioritas lebih dari pemerintah.

(a) (b)
Gambar 6. Suasana entrance ke Pura Tamba Waras Kahyangan yang asri dan sejuk dikelilingi
pepohonan (a) dan Wantilan tempat perkumpulan dan pementasan hiburan rakyat (b)
Sumber : Observasi lapangan, 2018

Seperti tampak pada gambar 6 (a), suasana entrance menuju Pura Tamba Waras tampak asri, hijau
dan sejuk karena dikelilingi oleh hutan konservasi Batukaru. Suasana ini menjadi daya tarik
tersendiri bagi wisatawan yang mencari suasana tenang dan damai. Sedangkan untuk gambar 6
(b), terlihat keadaan wantilan yang kurang terawat dengan baik. Wantilan ini difungsikan sebagai
tempat pertemuan/sangkep, tempat pertunjukan seni, ataupun tempat peristirahatan bagi
pengunjung yang datang ke Pura Tamba Waras.
2. Amenitas
Seperti halnya objek wisata pada umumnya, Pura Tamba Waras memiliki berbagai sarana dan
prasarana penunjang (amenitas) diantaranya: kamar mandi/toilet, ruang ganti, lapak pedagang, pos
jaga, tempat sampah, dapur umum dan tempat peristirahatan pemangku seperti terangkum dalam
gambar 7 sebagai berikut :

UTARA

Gambar 7. Pemetaan sebaran sarana dan prasarana pada Pura Tamba Waras
Sumber : Google satellite maps dan hasil pemetaan peneliti, 2018
Dari hasil wawancara dengan Bapak Ketut Merdana (Jero Manik) yang merupakan Ketua BPD
Desa Sangketan (gambar 8 kiri) disampaikan bahwa jumlah pengunjung Pura Tamba Waras saat
ini telah mencapai kurang lebih 300 orang/hari. Jumlah pengunjung yang cukup tinggi dan
semakin bertambah ini diakui Beliau merupakan tantangan bagi pengempon pura untuk
menghadirkan sarana-prasarana yang memadai. Namun kendala dana, koordinasi, dan komunikasi
cukup menyulitkan mewujudkannya. Sehingga fasilitas penunjang yang ada terkesan kurang
pemeliharaan. Kedepan menurut Bapak Jero Manik, pengempon sedang mengupayakan
penambahan pagar keamanan disekeliling pura dengan mengandalkan proposal bantuan ke
Pemerintah. Selain itu juga pihak pengempon sudah merencanakan penambahan bale lantang di
area Pancoran Sapta Gangga yang diharapkan nantinya dapat menjadi bangunan serba guna yang
dilengkapi dengan loker dan ruang ganti yang lebih memadai. Dari segi pendapatan, menurut
Bapak Jero Manik diperoleh dari retribusi yang dipungut saat pengunjung memasuki kawasan Pura
Tamba Waras. Retribusi ini berjumlah Rp 2.000,- untuk sepeda motor dan Rp. 5.000,- untuk mobil.
Namun pengutan ini baru diberlakukan saat ada piodalan/upacara keagamaan di pura. Sedangkan
untuk lapak pedagang dikenakan retribusi kebersihan sebesar Rp 5.000,-/hari. Sedangkan saat
piodalan di pura terdapat retribusi tambahan sebesar Rp. 75.000,-/m untuk pedagang lokal, dan
Rp. 100.000,-/m untuk pedagang yang berasal dari luar desa.
Gambar 8. Wawancara Bapak Ketut Merdana (kiri) dan tas pengunjung yang berserakan (kanan)
Sumber : Observasi lapangan, 2018

Potensi sarana prasarana di Pura Tamba Waras cukup baik, hanya saja kurang terawat. Menurut
peneliti, fasilitas yang harus segera mendapat perbaikan adalah ruang ganti dan tidak adanya
tempat untuk menyimpan barang bagi pengunjung saat melakukan penglukatan di Pancoran Sapta
Gangga sehingga tas dan barang lainnya berserakan seperti tampak pada gambar 8 kanan.

Gambar 9. Fasilitas ruang ganti di Pancoran Sapta Waras


Sumber : Observasi lapangan, 2018

Pada gambar 9 tampak kondisi ruang ganti di Pancoran Sapta Gangga yang sangat
memprihatinkan. Tidak terdapat pintu, tidak terdapat gantungan baju, bahkan lantai yang hanya
plesteran tertutup tanah akibat terbawa air hujan masuk karena tidak ada tembok pembatas pada
bagian belakang ruang ganti. Ketinggian ruang ganti juga kurang aman dari pandangan. Aroma
pesing juga tercium akibat tidak adanya toilet disekitar area ruang ganti sehingga pengunjung
mungkin buang air kecil langsung d ruang ganti. Kondisi ruang ganti ini sangat tidak layak dan
harus segera diperbaiki kondisinya untuk menambah kenyamanan pengunjung.
Gambar 10. Fasilitas toilet/kamar mandi di Pura Tamba Waras
Sumber : Observasi lapangan, 2018

Pada gambar 10 tampak kondisi toilet/kamar mandi di Pura Tamba Waras yang cukup baik. Hanya
saja perawatan tetap menjadi kendala utama. Ada dua lokasi toilet, pertama disebelah barat pura
sebanyak 9 unit (gambar 10 kiri) dan kedua disebelah timur pura dekat area parkir sebanyak 5 unit
(gambar 10 kanan). Keberadaan total 14 unit toilet ini sebenarnya mampu mengakomodasi jumlah
pengunjung yang datang, namun beberapa unit mengalami kerusakan sehingga mengakibatkan
antrean penggunaan saat-saat tertentu seperti saat purnama atau saat piodalan.

Gambar 11. Kondisi Pos Jaga di Pura Tamba Waras


Sumber : Observasi lapangan, 2018
Gambar 11 memperlihatkan kondisi pos jaga pada jalan utama saat memasuki kawasan Pura
Tamba Waras (kiri). Secara umum kondisinya masih cukup baik, namun terkesan kurang bersih
dan terawat. Di pos inilah pungutan retribusi di tarik dari setiap pengunjung yang datang.
Sedangkan pada gambar 11 (kanan) tampak kondisi pos jaga yang lebih baik. Pos ini difungsikan
saat ada kegiatan piodalan di pura sebagai pos pecalang.
Gambar 12. Kondisi Lapak Pedagang di Pura Tamba Waras
Sumber : Observasi lapangan, 2018

Gambar 12 (kiri) memperlihatkan kondisi lapak pedagang yang berlokasi di sebelah timur pura
dekat dengan tempat parkir. Lapak-lapak pedagang pada sisi timur ini bersifat permanen dan
dimiliki oleh penduduk desa setempat. Sedangkan pada gambar 12 (kanan) adalah kondisi lapak
pedagang di sebelah barat pura yang sifatnya semi permanen. Lapak-lapak pada sisi barat ini
biasanya hanya berfungsi saat ada piodalan pada pura dan yang memanfaatkan adalah pedagang
pendatang dari luar desa. Lapak-lapak pedagang yang ada kurang tertata rapi dan bersih. Hal ini
harus segera mendapat perhatian dari stakeholder terkait agar keberadaan lapak-lapak pedagang
ini tidak mengurangi keindahan dari Pura Tamba Waras.

Gambar 13. Kondisi rumah peristirahatan pemangku/pendeta (kiri) dan dapur umum (kanan)
Sumber : Observasi lapangan, 2018

Pada gambar 13 (kiri) merupakan kondisi dari rumah peristirahatan dari pemangku/pendeta di Pura
Tamba Waras yang tampak sangat baik. Rumah ini juga difungsikan sebagai tempat konsultasi
lanjutan dari pengunjung yang memiliki keluhan penyakit. Sedangkan pada gambar 13 (kanan)
adalah bangunan yang difungsikan sebagai paon/dapur umum saat ada piodalan di pura. Tampak
kondisi dapur yang sangat sederhana dengan finishing plesteran pada lantai dan dinding.
Gambar 14. Kondisi tempat pembuangan sampah di Pura Tamba Waras
Sumber : Observasi lapangan, 2018
Salah satu masalah besar yang peneliti temui di Pura Tamba Waras adalah masalah sampah. Pada
gambar 14 (kiri) merupakan tempat pembuangan sampah pada bagian timur pura. Tampak tempat
pembuangan sampah dilengkapi papan petunjuk, namun tidak terdapat tempat sampah yang layak.
Sampah berserakan begitu saja tanpa adanya perhatian dari pengelola pura. Begitu juga dengan
tempat pembuangan sampah pada bagian barat pura seperti tampak pada gambar 14 (kanan).
Sampah dibuang begitu saja ke daerah aliran sungai (DAS). Jika kondisi ini dibiarkan, maka DAS
akan tertutup dengan sampah dan akan menyumbat aliran air menuju ke sawah yang berada di hulu
pura. Pihak pengelola pura harus segera memberi perhatian khusus kepada pengelolaan sampah
ini. Terlebih saat ini masalah sampah telah menjadi perhatian dunia. Minimal harus disediakan 2
buah box sampah pada tiap-tiap tempat pembuangan sampah sementara untuk dibedakan antara
sampah organik dan anorganik. Kedepan perlu dikembangkan tempat pengolahan sampah di desa
dengan melibatkan masyarakat setempat mengingat jumlah kunjungan wisatawan yang mencapai
300 orang/hari pasti akan menimbulkan sampah yang banyak pula. Selain itu perlu diperhatikan
keberadaan tempat sampah ini agar dikondisikan supaya tidak terlalu mencolok dan mengganggu
pemandangan. Pada beberapa sudut pura utamanya di Pancoran Sapta Gangga perlu ditambahkan
penempatan tong sampah yang mudah dijangkau oleh pengunjung.

3. Aksesibilitas
Aksesibilitas adalah tingkat kemudahan wisatawan untuk mencapai suatu objek wisata baik secara
jarak geografis atau kecepatan teknis, serta tersedianya sarana transportasi ke tempat tujuan. Dari
observasi lapangan yang peneliti lakukan didapati kondisi akses menuju Pura Tamba Waras sudah
cukup baik. Adapun akses jalan yang peneliti lalui mulai dari Desa Kesiman Kota Denpasar
menuju Pura Tamba Waras adalah sepanjang 40an km dengan memakan waktu tempuh kurang
lebih satu jam tiga puluh sekian menit seperti tampak pada gambar 15 (kiri). Selain itu disepanjang
jalan pada titik-titik persimpangan tertentu juga telah disediakan papan petunjuk arah yang cukup
jelas sehingga lebih memudahkan dalam mencapai lokasi dari Pura Tamba Waras seperti tampak
pada gambar 15 (kanan).

Gambar 15. Pemetaan jalan Menuju Pura Tamba Waras dimulai dari Desa Kesiman Kota
Denpasar (kiri) dan papan petunjuk arah menuju Pura Tamba Waras (kanan)
Sumber : Google Maps dan Observasi lapangan, 2018

Kondisi disepanjang jalan menuju Pura Tamba Waras yang sudah sangat baik utamanya pada ruas
jalan kewenangan provinsi. Sekitar kurang lebih 10 km dari pura kondisi jalan bagian permukaan
aspalnya tampak sudah tergerus dan rusak seperti terlihat pada gambar 16 (kanan) serta di beberapa
titik masih menggunakan beton. Namun kondisi jalan akses secara umum masih baik, terutama
pada ruas jalan di Desa Sangketan seperti tampak pada gambar 16 (kiri). Lebar jalan yang hanya
kurang lebih 4 meter terasa sempit saat berpapasan. Disepanjang jalan pengunjung akan disuguhi
pemandangan alam yang indah dengan hamparan sawah, gunung, dan pepohonan yang hijau.

Gambar 16. Kondisi jalan akses menuju Pura Tamba Waras di desa Sangketan (kiri) dan papan
petunjuk arah menuju Pura Tamba Waras (kanan)
Sumber : Observasi lapangan, 2018
Gambar 17. Kondisi tempat parkir di Pura Tamba Waras
Sumber : Observasi lapangan, 2018
Dari gambar 17 dapat kita lihat kondisi tempat parkir kendaraan pengunjung di Pura Tamba Waras.
Tempat parkir ini berlokasi di sebelah timur Pancoran Sapta Gangga (lihat gambar 7, warna biru).
Tempat parkir yang ada belum tertata rapi, belum jelas batas-batas tempat parkir mobil dan parkir
motor. Kondisi perkerasannya masih berupa tanah dan pasir sisa aspal namun sudah cukup layak
difungsikan sebagai tempat parkir. Daya tampungnya cukup banyak. Peneliti sudah dua kali
berkunjung dan tidak menemui kesulitan dalam memperoleh tempat parkir. Gambar 17 (kiri)
merupakan kondisi tempat parkir yang peneliti potret pada saat ada piodalan di Pura Tamba Waras
pada tanggal 29 Maret 2019. Sedangkan gambar 17 (kanan) peneliti potret saat hari biasa tanpa
adanya hari keagamaan pada tanggal 7 April 2019. Dalam gambar dapat kita lihat walau tidak ada
hari keagamaan, nyatanya jumlah pengunjung Pura Tamba Waras tetap tinggi.

4. Ancillary Service
Ancillary Service adalah pelayanan tambahan yang harus disediakan oleh suatu daerah tujuan
wisata, baik untuk wisatawan maupun untuk pelaku pariwisata. Termasuk dalam hal ini pemandu
wisata dan pelayanan kurir, agen periklanan, konsultan, pendidikan dan penyedia pelatihan serta
koordinasi kegiatan oleh dewan kepariwisataan lokal. Semua hal tersebut di atas akan lebih baik
jika suatu objek wisata memiliki lembaga pengelola. Dari hasil wawancara dengan Bapak Ketut
Merdana pada gambar 8 (kiri) diperoleh informasi bahwa Pura Tamba Waras saat ini hanya di
kelola oleh pengempon pura dari tujuh dusun/banjar. Belum terdapat lembaga pengelola resmi.
Kerjasama dengan lembaga subak juga belum ada. Hal ini turut menyulitkan promosi, penyediaan
informasi, maupun koordinasi antara para pihak terkait baik swasta ataupun pemerintah untuk
pengembangan dan pemeliharaan kondisi dari Pura Tamba Waras. Untuk keamanan hanya
mengandalkan tiga orang pecalang yang diambil dari tujuh dusun/banjar yang mengempon pura
secara bergantian yang diberikan gaji tiap enam bulan sekali dari panitia pengempon pura. Tujuh
dusun/banjar tersebut meliputi : Banjar Bun, Banjar Bungli, Banjar Pekandelan, Banjar Sangketan,
Banjar Bengkel Anyar, Banjar Puring, dan Banjar Munduk Dawa.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa potensi yang dimiliki Pura Tamba Waras
sebagai kawasan wisata spiritual setelah diklasifikasikan berdasarkan komponen 4A adalah :
1. Atraksi wisata, keberadaan Pura Tamba Waras sebagai kawasan cagar budaya yang terdiri dari
Pura Tamba Waras Kahyangan, Pancoran Sapta Gangga, Pura Ulun Suwi,
wantilan/pertunjukan kesenian, serta pemandangan alam dan kesejukan hutan konservasi
Batukaru yang mengelilingi kawasan pura.
2. Amenitas, memiliki fasilitas seperti kamar mandi/toilet, ruang ganti, lapak pedagang, pos jaga,
tempat sampah, dapur umum dan tempat peristirahatan pemangku/pendeta. Secara umum
kondisi amenitas kurang terawat. Masalah utama adalah buruknya pengelolaan sampah, ruang
ganti yang tidak layak, dan ketiadaan loker/tempat penyimpanan barang saat melukat.
3. Aksesibilitas, memiliki jalan akses yang sudah cukup baik, jarak tempuh dari Kota Denpasar
menuju lokasi sejauh 40 km dengan waktu 1 jam 30 menit. Telah ada papan petunjuk jalan
yang cukup jelas. Jalan utama di Desa Sangketan sampai ke Pura Tamba Waras memiliki lebar
4 meter. Kondisi tempat parkir cukup luas, namun belum tertata.
4. Ancillary Service/kelembagaan. Pengelolaan baru dilakukan oleh pengempon pura yang
berasal dari tujuh dusun/banjar. Tidak ada kerjasama dengan lembaga subak. Keamanan hanya
mengandalkan tenaga pecalang. Hal ini menyulitkan promosi, penyediaan informasi, maupun
koordinasi untuk pengembangan dan pemeliharaan Pura Tamba Waras.
Melihat dari potensi yang ada, Pura Tamba Waras sangat layak untuk dikembangkan sebagai
kawasan wisata spiritual. Namun diperlukan peningkatan sarana prasarana terkait komponen 4A
dan koordinasi yang lebih baik antar para pihak terkait serta pengambil kebijakan agar Pura Tamba
Waras dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata spiritual yang berkualitas.

SARAN
1. Melihat dari fungsi dan letak Pura Tamba Waras yang berada dalam kawasan hutan
konservasi Batukaru, sebaiknya arah pengembangan wisata lebih kepada kawasan wisata
spiritual yang bersifat quality tourism dengan perencanaan yang cermat, matang, dan hati-
hati sehingga pengembangan tidak malah merusak hutan.
2. Agar pemerintah dapat memberikan perhatian lebih terhadap kondisi pura mengingat posisi
Pura Tamba Waras sebagai kawasan Cagar Budaya serta turun tangan terutama dalam hal
pendampingan, pemberdayaan, dan subsidi untuk pengelola kawasan agar pengelolaan dan
arah pengembangan dapat menjadi lebih baik
3. Pihak pengempon pura selaku pengelola sebaiknya segera membentuk lembaga pengelola
resmi yang lebih profesional sehingga dalam hal melakukan kerjasama dengan pihak luar,
promosi, dan koordinasi dengan para pihak terkait menjadi lebih mudah dan efisien.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang lebih mendalam dan detail dengan pelibatan
unsur pemerintah, pengelola, dan masyarakat mengenai potensi dari Pura Tamba Waras
untuk menghasilkan perencanaan pengembangan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Galang, Bali. (2000). Pura Luhur Tamba Waras Tempat Memohon Kesehatan Lahir Batin. Diakses
pada 19 April 2019 dari https://www.babadbali.com/pura/plan/tamba-waras.htm.
Pitana, I Gde. (2012). “Keynote Speaker Seminar Spiritual Tourism”, 28 Juli 2012, Bali Hai Room
– Inna Grand Bali Beach Hotel, Sanur Bali. Diakses pada 16 April 2019 dari
http://bali.antaranews.com/berita/25650/spiritual-tourism-menuju-wisata-berkualitas.
Surata, Sang Putu Kaler. (2013). Lanskap Budaya Subak Belajar dari Masa Lalu untuk
Membangun Masa Depan, Denpasar: Unmas Pres.

Sutama, I Ketut. (2013). Pariwisata Spiritual di Bali dari Perspektif Stakeholders Pariwisata.
Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Vol. 3 No. 2, Hal. 1-14.
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010, tentang Cagar Budaya.

Utari, Shintani Utari, dkk. 2014. Perencanaan Fasilitas Pariwisata (Tourism Amenities) Pantai
Pandawa Desa Kutuh Kuta Selatan Badung. Jurnal Destinasi Pariwisata, Vol.2 No.1, Hal.
57-67

Anda mungkin juga menyukai