Anda di halaman 1dari 28

PRODUKSI DAN KENDALI MUTU

PROTOKOL KUALIFIKASI DAN VALIDASI


INJEKSI AMPISILIN DAN SULBAKTAM

DOSEN : DEDI NOFIANDI, M. Farm, Apt

DI SUSUN OLEH

KELOMPOK 1

RANI NOVIA (2905001)


MUTIARA DITA PUTRI (2905002)
LIZA EFNI HARYANI (2905003)
AISA DINDA MITRA (2905004)
ELSA FEBRIANTI (2905005)
AULIA MAIZORA (2905006)
JUWITA MEILANI (2905007)
HUSNUL FIJRIAH (2905008)

PROGRAM PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA
YAYASAN PERINTIS
PADANG
2019
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 AMPISILIN

Sumber : British Pharmacopoeia 2009


Gambar Struktur Ampisilin Natrium

Ampisilin merupakan antibiotik golongan penisilin yang luas spektrum


kerjanya meliputi banyak kuman gram-negatif yang hanya peka bagi penisilin G
dalam dosis i.v tinggi sekali. Obat ini banyak digunakan untuk mengatasi infeksi
antara lain saluran napas, saluran cerna dan saluran kemih, telinga, gonore, kulit
dan jaringan bagian lunak (Tjay dan Kirana, 2007). In-vitro ampisilin aktif
terhadap berbagai kuman Gram-positif dan Gramnegatif dan beberapa jenis
kuman anaerob. Kombinasi dengan sulbaktam tidak mengubah aktivitas ampisilin,
tetapi memperluas spektrumnya mencakup kuman penghasil β-laktamase intrinsik
termasuk galur peka terhadap ampisilin dan kuman anaerob temasuk B.fragilis
(Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI, 2007). Garam natrium ampisiln dan
sulbaktam dapat diberikan secara i.m atau i.v untuk pengobatan infeksi pada
organisme yang memproduksi β-laktamase (Sweetman, 2009).
Ampisilin stabil dalam suasana asam dan diabsorpsi dengan baik setelah
pemberian oral. Injeksi intramuskular 0,5 g natrium ampisilin menghasilkan
konsentrasi puncak dalam plasma sekitar 7 μg/ml, atau 1 g natrium ampisilin
menghasilkan konsenrasi puncak dalam plasma 10 μg/ml masing-masing dalam
waktu 1 jam dan akan menurun secara eksponensial dalam waktu paruh sekitar 80
menit. Penyesuaian dosis ampisilin diperlukan bila terdapat disfungsi ginjal
(Goodman & Gilman, 2012).
2.2 SULBAKTAM
Sulbaktam, suatu sulfon asam penisilinat, merupakan derivat sintesis 6-
aminopenisilinat. Sulbaktam merupakan penghambat β-laktamase yang telah lama
digunakan dalam pengobatan. Penghambatan tersebut tidak memperlihatkan
aktivitas antibakteri, sehingga tidak dapat digunakan sebagai obat tunggal untuk
menanggulangi penyakit infeksi (Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI,
2007).

Sulbaktam merupakan inhibitor β-laktamase lainnya dengan struktur mirip


dengan asam klavulanat. Obat ini dapat diberikan secara oral atau parenteral
bersama antibiotik β-laktam. Tersedia untuk penggunaan intravena atau
intramuskular dalam bentuk kombinasi dengan ampisilin. Dosis harus disesuaikan
untuk pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal. Kombinasi tersebut
memiliki aktivitas yang baik terhadap galur S.aureus penghasil β-laktamase aerob
gram-negatif dan anaerob (Goodman & Gilman, 2012).
1.3. Injeksi Rekonstitusi Ampisilin dan Sulbaktam
In-vitro ampisilin aktif terhadap berbagai kuman Gram-positif dan Gram-
negatif dan beberapa jenis kuman anaerob. Kombinasi dengan sulbaktam tidak
mengubah aktivitas ampisilin, tetapi memperluas spektrumnya mencakup kuman
penghasil betalakamase intrinsik termasuk galur peka terhadap ampisilin dan
kuman anaerob temasuk B.fragilis (Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI,
2007). Garam natrium ampisiln dan sulbaktam dapat diberikan secara i.m atau i.v
untuk pengobatan infeksi pada organisme yang memproduksi betalaktamase
(Sweetman, 2009)
Ampisilin dan Sulbaktam untuk Injeksi adalah suatu campuran ampisilin
natrium dan sulbaktam natrium kering dan steril. Mengandung ampisilin,
C16H19N3O4S, dan sulbaktam, C8H11NO5S, setara dengan tidak kurang dari
90,0% dan tidak lebih dari 115,0% dari jumlah yang tertera pada etiket.
Perbandingan ampisilin dan sulbaktam pada etiket adalah 2:1. Mengandung
ampisilin dan sulbaktam, berturut-turut tidak kurang dari 563 dan 280 μg/mg,
dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan (Depkes RI, 2014).
1.4. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan suatu metode
pemisahan canggih dalam analisis farrnasi yang dapat digunakan sebagai uji
identitas, uji kemurnian dan penetapan kadar. Titik beratnya adalah untuk analisis
senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap dan tidak stabil pada suhu tinggi,
yang tidak bisa dianalisis dengan Kromatografi Gas. Banyak senyawa yang dapat
dianalisis dengan KCKT mulai dari senyawa ion anorganik sampai senyawa
organik makromolekul (Putra, 2004).
Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa
organik, anorganik, maupun senyawa biologis; analisis ketidakmurnian
(impurities); analisis senyawa-senyawa tidak mudah menguap (non-volatil);
penentuan molekul-molekul netral, ionik, maupun zwitter ion; isolasi dan
pemurnian senyawa; pemisahan senyawa-senyawa yang strukturnya hampir sama;
pemisahan senyawa-senyawa dalam jumlah sekelumit (trace elements), dalam
jumlah banyak, dan dalam skala proses industri (Gandjar, 2012).
1.5. Validasi
Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap
parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan
bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita,
2004).
Validasi suatu metode menurut United State Pharmacopeia (USP)
dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis adalah akurat, spesifik,
reproducible, dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis. Secara singkat,
validasi merupakan aksi konfirmasi bahwa metode analisis yang akan diigunakan
sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Menurut International Conference on
Harmonization (ICH), suatu metode analisis harus divalidasi untuk melakukan
verifikasi bahwa parameter-parameter kinerjanya cukup mampu untuk mengatasi
problem analisis. Oleh karena itu suatu metode harus divalidasi ketika (Rohman,
2004). :
1. Metode harus dikembangkan untuk mengatasi problem analisis tertentu
2. Metode yang sudah baku direvisi untuk menyesuaikan perkembangan atau
karena munculnya suatu masalah yang mengarah pada perevisian metode
baku.
3. Penjaminan mutu yang mengindikasikan bahwa metode baku telah
berubah seiring dengan berjalannya waktu.
4. Metode baku digunakan dilaboratorium berbeda, dikerjakan oleh analis
yang berbeda, atau dikerjakan dengan alat yang berbeda.
5. Untuk mendemonstrasikan kesetaraan antara dua metode, misalnya antara
merode baru dan metode baku
Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi
metode analisisi anatar lain:
1. Linieritas
Linieritas merupakan kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasil-
hasil uji secara langsung proporsional dengan konsentrasi analit pada kisaran yang
diberikan. Linieritas suatu metode merupakan ukuran seberapa baik kurva
kalibrasi yang menghubungkan respons (y) dengan konsentrasi (x). Linieritas
dapat diukur dengan melakukan pengukuran tunggal pada konsentrasi yang
berbeda-beda. Data yang diperolah kemudian diproses dengan kuadrat terkecil,
untuk selanjutnya dapat di tentukan nilai kemiringan (slope), intersep, dan
koefesien korelasinya (Rohman, 2004).
Linieritas biasanya ditunjukan secara langsung dengan mengencerkan
larutan baku induk. Dianjurkan untuk melakukan pengenceran secara serial
terhadap larutan baku induk pada uji linieritas. Linieritas paling baik dievaluasi
dengan pengamatan visual terhadap suatu plot yang menyatakan hubungan antara
fungsi konsentrasi analit dengan sinyal yang diukur (adsorbansi, luas puncak,
tinggi puncak, luas dibawah kurva, dan sebagianya). Pada uji linieritas, paling
tidak 5 konsentrasi yang berbeda digunakan pada pengujian (Rohman, 2004).
2. Batas Deteksi (LoD)
Batas deteksi didefiniskan sebagai konsentrasi analit terendah dalam
sampel yang masih dapat dideteksi meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi.
Batas deteksi yang paling umum digunakan dalam kimia analisis adalah bahwa
batas deteksi merupakan kadar analit yang memberikan respon sebesar blanko
(yb) ditambah tiga simpangan baku blanko (3Sb) (Rohman, 2004).
LoD sering kali diekspresikan sebagai suatu konsentrasi pada rasio sinyal
terhadap derau (signal to noise ratio, S/N) yang biasanya rasionya 2 atau 3
dibanding 1. ICH mengenalkan suatu konversi metode signal to noise ratio ini.
LoD juga dapat dihitung berdasarkan pada nilai simpanga baku (SD) respons dan
kemiringan (slope,S) kurva baku pada level yang mendekati LoD sesuai dengan
rumus, LoD = 3,3 (SD/S). Simpangan baku respons dapat ditentukan berdasarkan
simpangan baku blanko, simpangan baku residual dari garis regresi, atau
simpangan baku intersep y pada garis regresi (Rohman, 2004).
3. Batas Kuantifikasi (LoQ)
Batas kuantifikasi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam
sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima
pada kondisi operasional metode yang digunakan. Kadang- kadang rasio signal to
niose 10:1 digunakan untuk menentukan LoQ. Perhitungan LoQ dengan signal to
noise 10:1 merupakan aturan umum. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa
LoQ merupakan suatu kompromi antara konsentrasi dengan presisi dan akurasi
yang dipersyaratkan. Jadi, jika konsentrasi LoQ menurun, maka presisi juga
menurun (Rohman, 2004).
4. Akurasi
Akurasi merupakan kedekatan nilai terukur (measured value) dengan nilai
sebenarnya yang diterima (accepted true value), baik nilai konversi, nilai
sebenarnya, maupun nilai rujukan. Akurasi diukur sebagai banyaknya analit yang
diperoleh kembali pada suatu pengukuran dengan melakukan spiking pada suatu
sampel. Ada tiga pendekatan yang umum digunakan ketika melakukan uji akurasi
yaitu :
(1) menggunakan SRM (Standard Reference Material),
(2) melakukan spiking terhadap plasebo, dan
(3) menggunakan metode penambahan standar (Standard Addition Method)
(Rohman, 2004).
Akurasi dapat ditentukan dengan cara membuat sampel plasebo (eksepien
obat, cairan biologis) kemudian ditambah analit dengan konsentrasi tertentu
(biasanya 80% sampai 120% dari kadar analit yang diperkirakan), kemudian
dianalisis dengan metode yang akan divalidasi (Riyanto, 2014)
Pada senyawa obat, metode yang umum digunakan untuk menentukan
akurasi adalah dengan melakukan prosedur analisis terhadap senyawa obat
tersebut dan menganalisisnya secara kuantitatif, lalu membandingkan hasilnya
dengan senyawa standar rujukan dengan kemurnian yang sudah diketahui. Untuk
produk obat, akurasi biasanya dilakukan dengan mengaplikasikan prosedur
analisis terhadap campuran sintetik yang merupakan komponen-komponen
produk obat atau suatu plasebo yang ditambah dengan zat aktif senyawa obat
dengan tingkat kemurnian yang telah diketahui (Rohman, 2004).
Untuk mendokumetnasikan akurasi, ICH merekomendasikan
pengumpulan data dari 9 kali penetapan kadar dengan 3 konsentrasi yang berbeda,
misalnya 3 konsentrasi berbeda dengan 3 kali replikasi. Data harus dilaporkan
sebagai presentase perolehan kembali. Akurasi yang diekspresikan dengan nilai
perolehan kembali yang umum untuk senyawa obat mayor dalam suatu campuran
adalah kurang lebih 98-102%. Jika nilai perolehan kembalinya diluar kisaran ini,
prosedur analisis harus diinvestigasi. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa
presentase perolehan kembali pada studi akurasi merupakan fungsi dari level
analit (Rohman, 2004).
5. Presisi
Presisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil
uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika
prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari
campuran yang homogen (Harmita, 2004).
Presisi mencerminkan kesalahan acak yang terjadi dalam sebuah metode.
Dua set diterima secara umum kondisi di mana presisi diukur adalah kondisi
berulang dan reprodusibilitas. Kondisi pengulangan terjadi ketika analis yang
sama analisis pada sampel yang sama, hari dan instrumen yang sama (misalnya
kromatografi gas) atau bahan (uji misalnya tempat reagen) di laboratorium yang
sama. Setiap variasi dari kondisi ini (misalnya berbeda analis, hari yang berbeda,
instrumen yang berbeda, laboratorium yang berbeda) merupakan reprodusibilitas
(Riyanto, 2014).
Presisi merupakan keterulangan metode analisis dan biasanya
diekspresikan sebagai simpangan baku relatif (Relative Standard Deviation,
RSD). Nilai RSD juga sering disebut koefisien variasi atau KV dari sejumlah
pengukuran sampel (Rohman, 2004).
Kriteria presisi diberikan jika metode memberikan simpangan baku relatif
(RSD) atau koefisien variasi (CV) 2% atau kurang. Akan tetapi kriteria ini sangat
fleksibel tergantung pada konsentrasi analit yang diperiksa, jumlah sampel, dan
kondisi laboratorium. Dari penelitian dijumpai bahwa koefisien variasi meningkat
dengan menurunnya kadar analit yang dianalisis (Riyanto, 2014).
Percobaan keseksamaan dilakukan terhadap paling sedikit enam replika
sampel yang diambil dari campuran sampel dengan matriks yang homogen.
Sebaiknya keseksamaan ditentukan terhadap sampel sebenarnya yaitu berupa
campuran dengan bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo) untuk melihat
pengaruh matriks pembawa terhadap keseksamaan ini (Riyanto, 2014).
6. Selektivitas
Selektivitas adalah kemampuan suatu metode analisis untuk mengukur
analit yang dituju secara tepat dan spesifik dengan adanya komponen-komponen
lain dalam matriks sampel seperti pengotor (impurities), produk degradasi, dan
komponen matriks. Penentuan spesifitas metode dapat diperoleh dengan dua jalan.
Yang pertama (dan yang paling diharapkan) adalah dengan melakukan optimasi
sehingga diperoleh senyawa yang dituju terpisah secara sempurna dari senyawa-
senyawa lain (resolusi senyawa yang dituju dengan senyawa di sebelah kiri dan
kanan kromatogram ≥ 2) (Rohman, 2004).
Selektivitas suatu metode ditentukan dengan membandingkan hasil-hasil
uji dari suatu analisis sasmpel yang mengandung pengotor-pengotor, produk-
produk degradasi, atau komponen-komponen plasebo dengan hasil-hasil yang
diperoleh dari suatu komponen-komponen plasebo dengan hasil-hasil yang
diperoleh dari suatu analisis yang tidak mengandung pengotor-pengotor, produk-
produk degradasi, atau komponen-komponen plasebo (Rohman, 2004)
Definisi Operasional
BAB II
METODE VALIDASI
A. Bahan
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini antara lain : Ampisilin natrium,
Sulbaktam natrium, sediaan kombinasi injeksi rekonstitusi ampisilin dan
sulbaktam, Asetonitril, Akuabides, Natrium posfat dibasic, Narium posfat
monobasic, Water for Injection (WFI).
B. Alat
Peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi : KCKT (Shimadzu
Priminance), pH meter, Syringe filter, Neraca analitik (Metler Tolledo), Sonikator,
Alat gelas lainnya yang biasa digunakan di laboratorium kimia farmasi
C. Cara Kerja
1. Preparasi Larutan Standar
a. Penyiapan Fase Gerak
Fase gerak yang digunakan adalah campuran akuabides dan asetonitril.
b. Pembuatan Larutan Induk Baku
Ampisilin natrium baku dan sulbaktam natrium baku ditimbang secara
tepat masing-masing sebanyak 10 mg dan 5 mg kemudian dimasukkan ke dalam
labu ukur 10 ml. Ditambahkan akuabides hingga tanda batas, dikocok hingga
homogen sehingga didapat larutan dengan kadar 100 ppm untuk ampisilin dan 50
ppm untuk sulbaktam.
2. Optimasi Kondisi Analisis
Optimasi kondisi analisis dilakukan terhadap larutan standar ampisilin dan
sulbaktam dengan cara merubah fase gerak dan laju alir hingga didapatkan
kondisi analisis yang optimal dan menghasilkan kurva yang simetris dan terpisah.
3. Uji Kesesuaian Sistem
Uji kesesuaian sistem dilakukan dengan cara menyuntikaan campuran
ampisilin dan sulbaktam dengan konsentrasi masing-masing 30 ppm dan 15 ppm
menggunakan panjang gelombang 230 nm dengan fase gerak terdiri dari
akuabides : asetonitril kedalam sistem KCKT. Bandingkan efisiensi kolom, dan
tailing factor yang didapatkan dengan monografi. Pada farmakope edisi V
efisiensi kolom puncak sulbaktam tidak kurang dari 3500 lempeng teoritis, faktor
ikutan tidak lebih dari 1,5, dan simpangan baku relatif pada penyuntikan ulang
tidak lebih dari 2,0 %. Volume injeksi adalah 20 μl untuk semua suntikan. Jenis
elusi yang digunakan adalah elusi isokratik. Setelah alat KCKT dihidupkan, maka
pompa dijalankan dan fase gerak dibiarkan mengalir selama ± 15 menit sampai
diperoleh base line yang menandakan alat KCKT telah stabil.
4. Validasi metode Analisis
a. Linearitas
Larutan baku ampisilin dan sulbaktam dipipet sebanyak 100 μl, 200 μl,
300 μl, 400 μl, 500 μl, dan 600 μl, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml. Di
encerkan dengan akuabides sampai tanda batas dan dikocok sampai homogen
hingga didapat larutan dengan konsentrasi 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, 50
ppm, dan 60 ppm untuk ampisilin dan konsentrasi 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, 20
ppm, 25 ppm, dan 30 ppm untuk sulbaktam.
Masing-masing larutan disonikasi selama 10 menit dan disaring
menggunakan membran filter 0.45 μm, kemudian disuntikkan ke dalam KCKT
melalui injektor sebanyak 20μl. Deteksi menggunakan detektor UV dengan
panjang gelombang 230 nm menggunakan kombinasi fase gerak larutan akuabides
dan asetonitril dengan perbandingan 85:15. Kromatogram hasil pembacaan dibuat
kurva kalibrasi dari luas area puncak, lalu dibuat persamaan regresi dan koefisien
korelasinya.
b. Batas Deteksi (LoD)
Batas deteksi dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari
kurva kalibrasi yang telah dibuat, pengukuran dilakukan dengan menghitung nilai
slope (b) dari persamaan garis linier y = a + bx dan nilai respon simpangan baku
residual s(y/x). Rumus simpangan baku residual yaitu :

Nilai s(y/x) kemudian dimasukkan kedalam rumus batas deteksi berikut :


c. Batas Kuantifikasi (LoQ)
Batas kuantifikasi dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari
kurva kalibrasi yang telah dibuat, pengukuran dilakukan dengan menghitung nilai
slope (b) dari persamaan garis linier y = a + bx dan nilai respon simpangan baku
residual s(y/x).
Nilai s(y/x) kemudian dimasukkan kedalam rumus batas deteksi berikut :

d. Akurasi
Akurasi dilakukan dengan metode simulasi (spiked-placebo recovery),
yaitu sampel sediaan injeksi ampisilin dan sulbaktam yang mengandung ampisilin
1000 mg dan sulbaktam 500 mg. ditimbang sebanyak 15 mg sampel sediaan
injeksi kemuian dimasukkan kedalam labu ukur 10 ml, ditambahkan akuabides
hingga tanda batas dan dikocok hingga larut. Larutan yang telah dibuat tersebut
kemudian disebut larutan stok dengan kandungan 1000 ppm ampisilin dan 500
ppm sulbaktam.
Larutan stok yang mengandung 1000 ppm ampisilin dan 500 ppm
sulbaktam tersebut dibuat menjadi tiga konsentrasi yaitu 80%, 100%, dan 120%.
Untuk akurasi 80% dipipet larutan stok sebanyak 240 μl, di masukkan kedalam
labu ukur 10 ml dan ditambahkan akuabides hingga tanda batas lalu dikocok
hingga homogen, untuk akurasi 100% dipipet larutan stok sebanyak 300 μl,
dimasukkan kedalam labu ukur 10 ml dan ditambahkan akuabides hingga tanda
batas lalu dikocok hingga homogen, untuk akurasi 120% dipipet larutan stok
sebanyak 360 μl, dimasukkan kedalam labu ukur 10 ml dan ditambahkan
akuabides hingga tanda batas lalu dikocok hingga homogen. Larutan tersebut
kemudian disonikasi selama 10 menit dan di saring menggunakan membran filter
0,45 μm kemudian disuntikkan sebanyak 20 μl ke dalam KCKT, pengukuran
dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan untuk masing-masing konsentrasi.
Dilakukan analisis, kemudian dihitung % recovery dari analit tersebut.
Rumus untuk menghitung perolehan kembali adalah :

Analisis dinyatakan akurasi apabila tidak melebihi dari rentang kesalahan


yang di izinkan (Harmita, 2004).

e. Presisi
Pengukuran presisi dilakukan dengan cara memipet 300 μl larutan stok,
kemudian dimasukkan kedalam labu ukur 10 ml dan ditambahkan akubides
hingga tanda batas, dikocok hingga homogen. Larutan kemudian disonikasi
selama 10 menit dan disaring dengan membram filter 0,45 μm dan diinjeksikan ke
dalam KCKT. Pengukuran dilakukan sebanyak 6 kali pengulangan. Analisis
Standar Deviasi Relatif (RSD) dari hasil pengukuran untuk menentukan presisi
dari sampel dengan rumus :

f. Selektivitas
Larutan stok dipipet sebanyak 300 μl, kemudian dimasukkan kedalam labu
ukur 10 ml dan ditambahkan akubides hingga tanda batas, dikocok hingga
homogen. Disonikasi selama 10 menit dan disaring dengan kertas saring 0,45 μm
kemudian disuntikkan sebanyak 20 μl HPLC dan diamati puncaknya pada
kromatogram. Larutan baku ampisilin dan sulbaktam dipipet masing-masing
sebanyak 500 μl kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 5 ml dan ditambahkan
akubides hingga tanda batas, dikocok hingga homogen Larutan kemudian
disonikasi selama 10 menit dan disaring dengan membram filter 0,45 μm dan
diinjeksikan ke dalam KCKT.
Hasil kromatogram antara larutan baku dan larutan uji ampislin sulbaktam
harus menunjukkan waktu retensi pada daerah sekitar waktu retensi yang sama
dan pada daerah sekitar waktu retensi tidak boleh ada gangguan yang dapat dilihat
dari kromatogram larutan blanko. Semua senyawa yang dipisahkan dari puncak
analit harus mempunyai resolusi (RS) ≥ 2.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil
Validasi metode analisis ampislin dan sulbaktam menggunakan KCKT
Shimadzu LC 20-AT terdiri dari beberapa rangkaian proses yaitu optimasi kondisi
analisis, uji kesesuaian sistem, pembuatan larutan standar dan kurva kalibrasi serta
uji validasi yang meliputi linieritas, limit deteksi, limit kuantisasi, akurasi, presisi,
dan selektivitas. Dari hasil penelitian validasi ampisilin dan sulbaktam,
didapatkan data-data tahapan sebagai berikut.

3.2.Optimasi Kondisi Analisis


Optimasi kondisi analisis pada sistem KCKT Shimadzu Prominance
dilakukan untuk mendapatkan kondisi optimum untuk analisis ampisilin dan
sulbaktam. Parameter yang dioptimasi meliputi fase gerak dan waktu pembacaan.
Untuk menentukan komposisi fase gerak yang memberikan hasil optimum dalam
analisis senyawa ampisilin dan sulbaktam, dilakukan percobaan optimasi
komposisi fase gerak.

Dari percobaan komposisi fase gerak yang telah dilakukan untuk optimasi
kondisi analisis, didapatkan komposisi fase gerak pada percobaan ke-5 merupakan
komposisi yang memberikan kondisi yang optimum untuk analisis ampisilin dan
sulbaktam. Hasil optimasi kondisi analisis ampisilin dan sulbaktam adalah sebagai
berikut.
Hasil optimasi kondisi analisis senyawa ampisilin dapat dilihat pada gambar
kromatogram berikut.

Kromatogaram ampisilin dari optimasi kondisi menggunakan fase gerak


akuabides dan asetonitril dengan perbandingan 85:15 yang menunjukkan puncak
yang simetris dan terpisah dari pelarutnya. Kromatogram sulbaktam dapat dilihat
pada gambar berikut ini
Kromtogram Sulbaktam Menggunakan Fase Gerak Akuabides:Asetonitril
(85:15)
Kromatogaram sulbaktam dari optimasi kondisi menggunakan fase gerak
akuabides dan asetonitril dengan perbandingan 85:15 yang menunjukkan puncak
yang simetris dan terpisah dari pelarutnya. Pada kondisi tersebut didapatkan nilai
lempeng teoritis ampisilin sebesar 976.660 dan sulbaktam 2228.616 serta nilai
tailing factor ampisilin dan sulbaktam masing-masing sebesar 1.722 dan1.221.
Hasil kromatogram ampisilin dan sulbaktam yang dianalisis secara simultan dapat
dilihat pada gambar dibawah ini.

3.3.Uji Kesesuaian Sistem


Sebelum dilakukan validasi metode analisis, terlebih dahulu dilakukan uji
kesesuaian sistem untuk membandingkan parameter hasil analisis sesuai dengan
dengan persyaratan yang ditetapkan pada monografi zat aktif dalam Farmakope
Indonesia edisi V. Hasil perbandingan dapat dilihat pada tabel berikut.

Nilai RSD luas area dari ampisilin adalah 1.009%, dengan rata-rata
teroritical plate 543.3515 dan tailing factor sebesar 0,726, uji kesesuaian sistem
untuk ampislin telah memenuhi persyaratan pada farmakope edisi V.

Nilai RSD luas area dari sulbaktam adalah 0.664%, dengan rata-rata
teroritical plate 4212.938 dan tailing factor sebesar 1.376, nilai tailing factor dan
teoritical plate untuk sulbaktam telah memenuhi persyaratan pada farmakope
edisi V yaitu efisiensi kolom puncak sulbaktam tidak kurang dari 3500 lempeng
teoritis dengan faktor ikutan tidak lebih dari 1,5.
3.4.Validasi Metode Analisis
1. Uji Linieritas
Pembutan kurva kalibrasi diawali dengan melakukan pengenceran pada
larutan induk campuran ampisilin dan sulbaktam 1000 ppm, pengenceran
dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari kesalahan dalam pengenceran.
Kurva Kalibrasi ampisilin dan sulbaktam dibuat menggunakan 6 variasi
konsentrasi, yaitu konsentrasi 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, 50 ppm, dan 60
ppm untuk ampisilin, dan 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, 20 ppm, 25 ppm, dan 30 ppm
untuk sulbaktam. Keenam konsentrasi tersebut diinjeksikan kedalam KCKT
kemudian dihitung nilai regresi dan persamaan garisnya. Dari hasil validasi
linieritas, didapatkan data kurva kalibrasi sebagai berikut :

yaitu 9925 dan nilai slope (b) yaitu 20196,3. Sehingga didapatkan persamaan
garis Y=a+bx yaitu Y=9925+20196,3x.
Kurva Kalibrasi Ampisilin dan Sulbaktam Menggunakan Fase Gerak
Akuabides : Asetonitril (85:15)

2. Uji Batas Deteksi (LoD) dan Batas Kuantifikasi (LoQ)


Batas deteksi (LoD) dan batas kuantifikasi (LoQ) dihitung secara statistik
melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi yang telah dibuat. Nilai LoD dan
LoQ dihitung dari nilai slope (b) yang didapat dari persamaan regresi linier Y = a
+ bx dan simpangan baku residual S(y/x), nilai tersebut dimasukkan kedalam
rumus LoD dan LoQ pada lampiran 1. Nilai LoD dan LoQ yang didapatkan dari
masing-masing senyawa sebagai berikut.
Tabel Perhitungan Nilai LoD dan LoQ Ampisilin dan Sulbaktam

Batas deteksi untuk ampisilin adalah 3.7238 ppm dan batas


kuantifikasinya adalah 12.4127 ppm. Sedangkan untuk sulbktam didapatkan data
bahwa batas deteksi sulbaktam yaitu 1,2832 ppm, dan batas kuantifikasi 4.2773
ppm.
3. Uji Akurasi
Akurasi diuji menggunakan metode simulasi (spike placebo recovery),
dengan dibuat tiga rentang konsentrasi yaitu 80%, 100%, dan 120% masing-
masing dari kadar yang tertera pada etiket dan dilakukan tiga kali pengukuran
untuk masing-masing konsentrasi. Hasil uji akurasi dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel Hasil Uji akurasi Ampisilin dan Sulbaktam Dengan Rentang
Konsentrasi 80%, 100%, dan 120%.

Nilai rata-rata perhitungan perolehan kembali (% Recovery) ampisilin


pada konsentrasi 80%, 100%, dan 120% masing-masing yaitu 99.45%, 100.62%,
dan 100.78%, perolehan kembali (% Recovery) sulbaktam yaitu 99.01%,
101.56%, dan 100.29%.

4. Uji Presisi
Uji presisi dilakukan secara simultan dengan cara menginjeksi campuran
ampisilin dan sulbaktam dengan kadar masing-masing 30 ppm dan 15 ppm
sebanyak 6 kali pengulangan, luas area yang didapatkan dari hasil injeksi dihitung
rata-rata serta nilai %RSD.
5. Uji Selektivitas
Uji selektivitas dilakukan dengan membandingkan resolusi antara larutan uji
yang mengandung bahan-bahan tambahan lain dengan dengan larutan baku. Data
hasi uji selektivitas adalah sebagai berikut.
DAFTAR PUSTAKA

BPOM, 2013. Petunjuk Operasional Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat


yang Baik (Jilid 1). Jakarta: Badan POM RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Farmakope Indonesia,. edisi V.
Jakarta : Departemen Kesehatan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No 2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang Pedoman
Umum Penggunaan Antibiotik. Jakarta : Departemen Kesehatan.
Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. 2012. Kimia farmasi Analisi. Cetakan
X. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Harmita. 2004. “Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara
Perhitungannya”. Dalam Majalah Ilmu Kefarmasian. Volume 1 No 3.
Desember. Jakarta.
Rohman, Abdul. 2014. Validasi dan Penjaminan Mutu Metode Analisis Kimia.
Cetakan Pertama. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Sweetman, Sean C. 2002. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-sixth
edition. London : The Pharmaceutical Press.

Anda mungkin juga menyukai