Anda di halaman 1dari 16

PERBANDINGAN MUTU DAN HARGA TABLET AMOKSISILIN 500 MG GENERIK DENGAN NON GENERIK YANG BEREDAR DI PASARAN A.

Tujuan Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui perbandingan mutu dan harga tablet amoksisilin 500mg generik dengan non generik yang beredar dipasaran. B. Landasan Teori Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Antibiotik dapat dibuat dengan cara fermentasi, semi sintetis dan sintesis. Antibiotik termasuk obat berkhasiat keras yang digolongkan ke dalam Daftar Obat Keras (Daftar G) yang hanya dapat dibeli di apotik dengan resep dokter. Antibiotik yang beredar di pasaran diantaranya adalah amoksisilin. Amoksisilin yang beredar di pasaran ada dalam berbagai bentuk sediaan, diantaranya dalam bentuk tablet. Mutu dijadikan dasar acuan untuk menetapkan kebenaran khasiat (efficacy) dan keamanan (safety). Tablet amoksisilin yang bermutu dapat ditinjau dari berbagai aspek antara lain aspek teknologi yang meliputi stabilitas fisik dan kimianya. Tablet amoksisilin yang beredar ada yang dipasarkan dengan nama generik atau dengan non generik (nama dagang/paten) (Harianto dkk, 2006). Obat generik adalah obat yang menggunakan nama resmi yang ditetapkan dalam FI untuk zat berkhasiat yang dikandungnya berdasarkan the

international nonproprietary names lists for pharmaceutical preparation (INN). Obat paten adalah obat generik dengan nama dagang yang terdaftar atas nama si pembuat yang dikuasakannya dan dijual dalam bungkus asli dari pabrik yang memproduksinya (Syamsuni, 2005). Untuk mengetahui perbandingan kualitas obat sediaan generik dengan sediaan paten perlu diketahui bioekuivalensi antara dua sediaan tersebut. Masing-masing sediaan diukur bioavailabilitasnya. Perbandingan

bioavailabilitas ini disebut bioekivalansi obat. Dasar untuk menentukan bioavailabilitas suatu obat terlebih dahulu harus diketahui profil disolusinya. Disolusi tablet ialah jumlah atau persen zat aktif dari sediaan padat yang larut pada waktu tertentu dalam kondisi baku. Uji disolusi merupakan suatu metode fisika kimia yang penting sebagai parameter dalam pengembangan produk dan pengendalian mutu sediaan obat yang didasarkan pada pengukuran kecepatan pelepasan dan melarut zat aktif dari sediaannya (Udin dan Hedi, 2003). Hasil pengukuran yang baik dari suatu parameter kuantitas kimia, dapat dilihat berdasarkan tingkat presisi dan akurasi yang dihasilkan. Akurasi menunjukkan kedekatan nilai hasil pengukuran dengan nilai sebenarnya. Presisi menunjukkan tingkat reliabilitas dari data yang diperoleh. Hal ini dapat dilihat dari standar deviasi yang diperoleh dari pengukuran, presisi yang baik akan memberikan standar deviasi yang kecil dan bias yang rendah (Tahir, 2008).

Spektrofotometri merupakan pengukuran suatu interaksi antara radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia.

Spektrofotometer terdiri dari suatu sistem optik dengan kemampuan menghasilkan cahaya monokromatik dalam jangkauan 200 nm hingga 800 nm dan suatu alat yang sesuai untuk menetapkan serapan (Dirjen POM, 1995). Metoda spektrofotometri UV-Vis adalah salah satu metoda analisis kimia, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Analisis secara kualitatif berdasarkan pada panjang gelombang yang ditunjukkan oleh puncak spektrum (190 nm s/d 900 nm), sedangkan analisis secara kuantitatif berdasarkan pada penurunan intensitas cahaya yang diserap oleh suatu media. Pengukuran konsentrasi cuplikan didasarkan pada hukum Lambert-Beer, yang menyatakan hubungan antara banyaknya sinar yang diserap sebanding dengan konsentrasi unsur dalam cuplikan, dengan rumus (A = log I/Io atau A = a.b.c). Aplikasi rumusan tersebut dalam pengukuran kuantitatif

dilaksanakan dengan cara komparatif menggunakan kurva kalibrasi dari hubungan konsentrasi deret larutan standar dengan nilai absorbansinya. Konsentrasi cuplikan ditentukan dengan substitusi nilai absorban cuplikan ke dalam persamaan regresi dari kurva kalibrasi (Fatimah dkk, 2009). Menurut Lambert bila suatu cahaya monokromatis melalui suatu larutan senyawa dengan ketebalan b, maka sebagian energi akan terabsorpsi oleh molekul dalam larutan. Berkurangnya energi cahaya (P) tersebut

berbanding lurus dengan ketebalan medium. Istilah log (Po/P) disebut absorban dan diberi lambang A. Lambang b menyatakan panjang jalan

menembus medium penyerap, biasanya dinyatakan dalam sentimeter. Nilai tetapan a atau c dalam hukum Lambert-Beer tergantung pada konsentrasi mana yang digunakan. Bila c dalam gram per liter tetapan itu disebut absorbtivitas (a) dan bila dalam mol per liter disebut absorbtivitas molar ( ) (Day dan Underwood, 1999). Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran absorpsi radiasi

elektromagnetik suatu senyawa di daerah ultraviolet pada 200nm 400nm dan sinar tampak pada 400 nm 800 nm. Absorpsi molekular pada daerah tersebut berkaitan erat dengan struktur elektronik molekul dan lebih spesifik lagi berkaitan dengan eksitasi elektron-elektron sigma (), phi () dan elektron sunyi (n). Elektron yang terdapat pada ikatan rangkap dua dan tiga lebih mudah dieksitasi dan energi yang dibutuhkan tidak begitu besar yaitu pada 200 400 nm, sedangkan elekton sunyi, relatif lebih mudah dieksitasi oleh radiasi uv-vis (Noerdin, 1985). Sistem atau gugusan atom pada molekul yang mengabsorpsi radiasi disebut gugus kromofor. Absorpsi radiasi oleh gugus kromofor dapat dipengaruhi oleh gugus auksokrom yang dapat mengabsorpsi radiasi uv jauh dan tidak mengabsorpsi di daerah uv dekat, tetapi bila gugus auksokrom diikat oleh gugus kromofor maka intensitas absorpsi radiasi oleh kromofor akan meningkat dan energi radiasi untuk eksitasinya bisa menaik atau menurun dan geserannya bisa bersifat batokromik atau hipokromik (Dachriyanus, 2004).

F. Pembahasan Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Antibiotik pada mulanya zat yang dibentuk oleh mikroorganisme yang dapat menghambat atau membunuh pertumbuhan mikroorganisme lain. Antibiotik dapat pula dibentuk oleh beberapa hewan dan tanaman tinggi. Disamping itu berdasarkan antibiotika alam, dapat pula dibuat antibiotika baru secara sintetis parsial yang sebagian mempunyai sifat yang lebih baik. Menurut Ditjen POM (1995), sifat fisika dan kimia amoksisilin adalah memilikin rumus molekul C16H19N3O5S.3H2O dan berat molekul 419, 45 dengan 365, 9 dalam bentuk anhidrat, pemeriannya dalam bentuk serbuk hablur, putih, praktis tidak berbau, serta sukar larut dalam air dan metanol, tidak larut dalam benzena, dalam karbon tertraklorida dan dalam kloroform. Amoksisilin adalah antibiotik yang umum digunakan dalam pengobatan infeksi. Amoksisilin merupakan turunan ampisilin yang hanya berbeda pada satu gugus hidroksil dan memiliki spektrum antibakteri yang sama. Obat ini diabsorpsi lebih baik bila diberikan per oral dan menghasilkan kadar yang lebih tinggi dalam plasma dan jaringan. Amoksisilin merupakan antibiotik dengan spektrum luas, digunakan untuk pengobatan infeksi saluran pernapasan, infeksi saluran kemih, infeksi klamidia, sinusitis, bronkitis, pneumonia, abses gigi dan infeksi rongga mulut

lainnya. Amoxicillin adalah turunan penisilin yang tahan asam tetapi tidak tahan terhadap penisilinase. Tablet amoksisilin yang beredar di pasaran diharapkan terjamin mutunya. Mutu dijadikan dasar acuan untuk menetapkan kebenaran khasiat dan keamanan. Tablet amoksisilin yang bermutu dapat ditinjau dari berbagai aspek antara lain aspek teknologi yang meliputi stabilitas fisik dan kimia dimana tablet harus memenuhi kriteria yang dipersyaratkan oleh Farmakope Indonesia. Mutu adalah kumpulan sejumlah sifat yang saling berkaitan untuk menyatakan senyawa obat bermutu, biasanya harus dibandingkan dengan suatu mutu standard. Mutu standard adalah sejumlah sifat yang saling berkaitan yang telah ditetapkan oleh suatu badan yang berwenang, telah disepakati dan merupakan syarat baku bagi setiap bahan atau senyawa obat. Pemeriksaan mutu dimaksudkan untuk menjamin mutu semua bahan obat, zat dan sediaan farmasi yang beredar dipasarkan dan mencegah beredarnya obat yang tidak bermutu, obat yang rusak ataupun obat palsu. Spektrofotometri UV-Vis termasuk salah satu metode analisis instrumental yang frekuensi penggunaannya paling banyak serta merupakan instrumental yang banyak ditemukan dalam laboratorium kimia analisis. Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif.

Prinsip pengukuran dengan spektrofotometri adalah interaksi antara sumber radiasi elektromagnetik dengan analat. Semua bahan dapat menyerap radiasi elektromagnetik karena memiliki elektron yang dapat menyebabkan transisi elektronik ke tingkat energi yang lebih tinggi. Transisi elektronik pada analat menyebabkan intensitas sumber radiasi elektromagnetik menurun. Intensitas sumber radiasi yang keluar dari analat dibaca oleh detektor sebagai transmitan dan berdasarkan hokum Lambert-Beer dirubah ke dalam bentuk absorban dan ditampilkan dalam spektrum ultraviolet. Dalam Farmakope, metode spektrofotometri Ultra violet banyak digunakan untuk menetapkan kadar senyawa obat. Metode ini biasanya mendasarkan pada penggunaan nilai A1%1cm suatu senyawa obat.

Spektrofotometer yang digunakan harus telah dikalibrasi dengan benar jika menggunakan nilai A1%1cm. Nilai A1%1cm merupakan absorbansi suatu senyawa yang diukur pada konsentrasi 1% b/v (1 g/100 ml) dengan kuvet yang mempunyai ketebalan 1 cm pada panjang gelombang dan pelarut tertentu.Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Untuk memilih panjang gelombang maksimal, dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) atau biasa juga disebut dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) merupakan teknik pemisahan untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu

sampel pada sejumlah bidang, antara lain : farmasi, lingkungan, bioteknologi, polimer dan industri industri makanan. KCKT paling sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawa senyawa tertentu seperti asamasam amino, asamasam nukleat, dan protein protein dalam cairan fisiologis; menentukan kadar senyawasenyawa aktif obat, produk hasil samping proses sintesis, atau produkproduk degradasi dalam sediaan farmasi; memonitor sampelsampel yang berasal dari lingkungan; memurnikan senyawa dalam suatu campuran; memisahkan polimer dan menentukan distribusi berat molekulnya dalam suatu campuran; kontrol kualitas; dan mengikuti jalannya reaksi sintetis. Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia dan INN (International Non Proprietary Names) dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Sedangkan obat paten adalah obat dengan nama dagang dengan menggunakan nama yang merupakan milik produsen obat yang bersangkutan. Percobaan yang dilakukan ini bertujuan untuk membandingkan mutu dan harga tablet amoksisilin 500 mg serta untuk mengetahui ada tidaknya perbedaaan proporsi dalam hal terpenuhinya syarat baku antara tablet amoksisilin 500 mg generik dengan non generik. Pengujian mutu dilakukan berdasarkan kriteria yang telah

dipersyaratkan oleh Farmakope. Literatur yang digunakan sebagai acuan untuk pengujian mutu tablet amoksisilin pada penelitian ini terdapat di dalam USP XXVI. Hal ini dikarenakan di dalam Farmakope Indonesia tidak terdapat

syarat baku untuk tablet amoksisilin. Mutu tablet amoksisilin yang tertera pada USP XXVI ditinjau dari terpenuhinya syarat identifikasi, uji disolusi dan penetapan kadar. Pada percobaan ini, untuk identifikasi awal secara kromatografi dilakukan penentuan waktu penjenuhan eluen yang optimal untuk pemisahan sampel. Diperoleh waktu yang digunakan untuk menjenuhkan bejana yang berukuran 23cm x 8,5cm x 22,5cm adalah selama 4 jam. Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponenkomponen sampel. Elusi dapat dilakukan dengan cara isokratik (komposisi fase gerak tetap selama elusi) atau dengan cara bergradien (komposisi fase gerak berubahubah selama elusi). Setelah dilakukan penjenuhan eluen, selanjutnya dilakukan elusi terhadap lempeng yang telah ditotolkan zat uji dan baku pembanding. Setelah dilakukan elusi, lempeng diangkat dan eluen dibiarkan menguap dan dikeringkan dengan aliran udara hangat selama 10 menit. Kemudian lempeng disemprot dengan larutan ninhidrin dalam etanol 3mg/ml. Setelah disemprot dengan larutan ninhidrin, lempeng dikeringkan dengan aliran udara hangat selama 10 menit. Hasil bercak yang terdeteksi setelah disemprot dengan larutan ninhidrin berupa bercak bulat memanjang berwarna kuning tipis, sehingga agak sulit untuk menghitung nilai Rf. Oleh karena itu untuk menghitung nilai Rf digunakan cahaya ultraviolet dengan panjang gelombang 254 nm dan 366 nm

untuk mendeteksi bercak. Ternyata bercak yang terdeteksi oleh cahaya ultraviolet pada panjang gelombang 366 nm terlihat lebih jelas dibandingkan dengan cahaya ultraviolet pada panjang gelombang 254 nm, sehingga perhitungan nilai Rf dilakukan dengan melihat bercak dari pendeteksian dengan cahaya ultraviolet pada panjang gelombang 366 nm. Semua sampel yang diujikan memenuhi persyaratan uji identifikasi yang tertera di dalam USP XXVI yaitu memiliki bercak dan nilai Rf yang serupa dengan baku pembanding. Untuk mengetahui perbandingan kualitas obat sediaan generik dengan sediaan paten perlu diketahui bioekuivalensi antara dua sediaan tersebut. Masing-masing sediaan diukur bioavailabilitasnya. Perbandingan

bioavailabilitas ini disebut bioekivalansi obat. Dasar untuk menentukan bioavailabilitas suatu obat terlebih dahulu harus diketahui profil disolusinya. Disolusi tablet ialah jumlah atau persen zat aktif dari sediaan padat yang larut pada waktu tertentu dalam kondisi baku. Kondisi yang dimaksud misalnya, dalam suhu, kecepatan, pengadukan, dan komposisi media tertentu. Uji disolusi merupakan suatu metode fisika kimia yang penting sebagai parameter dalam pengembangan produk dan pengendalian mutu sediaan obat yang didasarkan pada pengukuran kecepatan pelepasan dan melarut zat aktif dari sediaannya. Uji disolusi dilakukan dengan menggunakan 6 tablet dari masingmasing sampel selama 90 menit dengan menggunakan alat uji disolusi tipe 2 yaitu dengan pengaduk berbentuk dayung. Setelah dilakukan uji disolusi,

kadar hasil disolusi tersebut diperiksa dengan menggunakan KCKT dengan kondisi analisis optimum yang terpilih. Pada pemilihan kondisi analisis untuk uji kadar hasil disolusi mengacu pada USP XXVI dengan mengalami sedikit penyesuaian. Pada penelitian ini, kolom yang digunakan adalah kolom dengan panjang 25cm x 4,6 mm sedangkan pada USP XXVI kolom yang digunakan berukuran 30cm x 3,9 mm. Penyesuaian ini dilakukan karena menggunakan kolom yang tersedia di lokasi penelitian. Perbedaan panjang kolom dapat menyebabkan perbedaan waktu retensi dan makin panjang kolom dapat menghasilkan pemisahan yang lebih baik. Pada percobaan ini digunakan laju alir 0,8 ml/menit sedangkan pada USP XXVI digunakan laju alir kurang lebih 0,7 ml/menit. Tidak digunakan laju alir 0,7 ml/menit karena bentuk puncak yang terdeteksi pada respon detektor kurang baik, sedikit berpunggung dan tidak tajam. Bentuk puncak pada laju alir 0,8 ml/menit lebih baik dan lebih tajam dibandingkan dengan laju alir 0,7 ml/menit. Oleh karena tekanan kolom yang sudah tinggi pada laju alir 0,8 ml/menit, maka kondisi dengan laju alir 0,9 ml/menit tidak dilakukan karena dikhawatirkan akan merusak kolom. Sebelum dilakukan penetapan kadar hasil uji disolusi, terlebih dahulu dilakukan pembuatan kurva kalibrasi. Dari pembuatan kurva kalibrasi, diperoleh persamaan kurva kalibrasi yaitu y = 12749x + 5011,7 dengan koefisien korelasi r = 0,9997. Setelah itu dilakukan uji keterulangan untuk melihat keterulangan hasil penyuntikkan larutan standar amoksisilin.

Dari uji keterulangan diperoleh koefisien variasi kurang dari 2 %. Untuk uji disolusi, semua sampel memenuhi persyaratan uji disolusi yang tertera di dalam USP XXVI yaitu dalam waktu 90 menit harus larut tidak kurang dari 80% amoksisilin anhidrat, dari jumlah yang tertera pada etiket. Menurut USP XXVI, untuk penetapan kadar digunakan kondisi analisis dengan fase gerak buffer kalium dihidrogen fosfat dan asetonitril (96:4), spesifikasi kolom 4 mmx 25 cm, laju alir kurang lebih 1,5 ml/menit. Pada percobaan ini, dilakukan penyesuaian terhadap kondisi kolom yang tersedia. Laju alir yang digunakan 1,0 ml/menit karena dirasakan sudah cukup optimal untuk menghasilkan bentuk puncak yang tajam dan pemisahan yang baik. Tidak dilakukan laju alir yang lebih tinggi dari 1,0 ml/menit karena pada kondisi ini tekanan kolom sudah sangat tinggi sehingga dikhawatirkan dapat merusak kolom. Sebelum dilakukan penetapan kadar tablet amoksisilin 500 mg, terlebih dahulu dilakukan pembuatan kurva kalibrasi. Dari pembuatan kurva kalibrasi, diperoleh persamaan kurva kalibrasi yaitu y = 10414x + 3832,1 dengan koefisien korelasi r = 0,9996. Setelah itu dilakukan uji keterulangan untuk melihat keterulangan hasil penyuntikkan larutan standar amoksisilin. Dari uji keterulangan diperoleh koefisien variasi kurang dari 2 %. Sampel yang digunakan untuk pengujian mutu tablet amoksisilin 500 mg dalam penelitian ini berjumlah 15 merek sampel dan untuk setiap merek sampel digunakan 26 tablet dimana 20 tablet untuk penetapan kadar dan 6 tablet untuk uji disolusi. Untuk identifikasi digunakan serbuk sampel yang

telah digerus yang digunakan untuk penetapan kadar. Untuk penetapan kadar yang dilakukan terhadap 15 merek sampel tablet amoksisilin ternyata semua sampel memenuhi persyaratan yang tertera pada USP XXVI (kadar amoksisilin dalam tablet tidak boleh kurang dari 90,0% dan tidak boleh lebih dari 120,0%). Sampel tablet amoksisilin 500 mg yang terdiri dari 15 merek sampel dikategorikan menurut status registrasi obat yaitu generik dan non generik. Yang termasuk kategori generik ada 3 merek sampel sedangkan yang termasuk dalam kategori non generik ada 12 merek sampel. Sampel tablet amoksisilin 500 mg dikategorisasikan lagi menurut harga jualnya yaitu murah dan mahal. Kategori murah ada 4 sampel dan kategori mahal ada 11 sampel. Data yang diperoleh diolah dengan uji Fisher untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan proporsi dalam hal terpenuhinya syarat baku antara tablet amoksisilin 500 mg generik dengan non generik. Berdasarkan uji Fisher, hasil menunjukkan tidak ada perbedaan proporsi dalam hal terpenuhinya syarat baku antara tablet amoksisilin 500 mg generik dengan yang non generik. Perbandingan harga tablet amoksisilin 500 mg generik dan non generik dilakukan dengan menyusun harga tablet amoksisilin 500 mg berdasarkan urutan harga dari yang termurah hingga yang termahal kemudian ditentukan harga rata-ratanya. Dari hasil perbandingan harga tablet amoksisilin 500 mg dapat dilihat bahwa harga tablet amoksisilin non generik relatif jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga tablet amoksisilin generik.

Alasan utama obat generik murah adalah karena mengenai harganya diatur oleh pemerintah, dengan harapan agar harga obat dapat terjangkau oleh masyarakat luas. Jadi produsen obat generik tidak dapat menentukan harga obatnya sendiri. Sedangkan obat bermerek, harganya tidak ditekan oleh pemerintah, sehingga produsen obat lebih leluasa menetapkan harga. Kualitas obat generik tidak kalah dengan obat non generik. Hal ini dikarenakan obat generik juga mengikuti persyaratan dalam Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). Selain itu, obat generik juga harus lulus uji bioavailabilitas/bioekivalensi (BA/BE). Uji ini dilakukan untuk menjaga mutu obat generik. Studi BE dilakukan untuk membandingkan profil pemaparan sistematik (darah) yang memiliki bentuk tampilan berbeda-beda (tablet, kapsul, sirup, salep, dan sebagainya) dan diberikan melalui rute pemberian yang berbeda-beda. Pengujian BA dilakukan untuk mengetahui kecepatan zat aktif dari produk obat diserap oleh tubuh ke sistem peredaran darah. Perbedaan antara obat non generik dan obat generik hanya terdapat pada tampilan obat yang lebih menawan dan kemasan yang lebih bagus sehingga terasa lebih istimewa. Dari sisi zat aktifnya (komponen utama obat) antara obat generik (baik berlogo maupun bermerek dagang), persis sama dengan obat paten. Mutu obat generik tidak berbeda dengan obat paten karena bahan bakunya sama. Obat generik kemasannya dibuat biasa, karena yang terpenting bisa melindungi produk yang ada di dalamnya. Namun, yang non

generik kemasannya dibuat lebih menarik dengan berbagai warna. Kemasan itulah yang membuat obat bermerek lebih mahal. Cara pembuatan obat generik dan paten/non generik juga sama. Perusahaan farmasi harus menyesuaikan formula obat generik yang sedang dibuat dengan produk inovator (penemu obat) tersebut. Untuk keperluan itu, dilakukan uji bioekivalen, dengan harapan hasilnya sama dengan inovatornya. Dengan demikian, dalam tubuh, obat generik akan memberikan efek sama dengan produk inovatornya. Hasil penelitian ini menunjukkan harga tidak menentukan mutu. Tablet amoksisilin generik memiliki mutu yang setara dengan tablet amoksisilin non generik dalam hal terpenuhinya syarat baku menurut USP XXVI. G. Kesimpulan Berdasarkan tujuan dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tablet amoksisilin generik memiliki mutu yang setara dengan tablet amoksisilin non generik dalam hal terpenuhinya syarat baku menurut USP XXVI dan harga tablet amoksisilin 500 mg non generik relatif jauh lebih mahal dibandingkan dengan tablet amoksisilin 500 mg generik yang beredar di pasaran.

DAFTAR PUSTAKA

Dachryanus. 2004. Analisis struktur senyawa Organik Secara spektrofotometri. Andalas University Press.Padang. Day, R.A and Underwood, AL. 1999. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi Ke V. Erlangga. Jakarta. Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi Ke IV. Departemen Kesehatan RI. Jakarta Fatimah, S., Iis, H., dan Agus, J. 2009. Pengaruh Uranium Terhadap Analisis Thorium Menggunakan Spektrofotometer Uv-Vis . Seminar Nasional V SDM Teknologi Nuklir. ISSN 1978-0176. Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir-BATAN. Yogyakarta. Harianto., Sabarijah, W., dan Fitri, T. 2006. Perbandingan Mutu Dan Harga Tablet Amoksisilin 500 Mg Generik Dengan Non Generik Yang Beredar Di Pasaran. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol. III.No. 3. Departemen Farmasi FMIPA-Universitas Indonesia. Depok. Noerdin, D. 1985. Elusidasi Struktur Senyawa Organik Dengan Cara Spektrokopi Ultralembayung Dan Inframerah. Penerbit Angkasa. Bandung. Syamsuni, H.A. 2005. Ilmu Resep. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta Tahir, I. 2008. Arti Penting Kalibrasi Pada Proses Pengukuran Analitik: Aplikasi Pada Penggunaan Phmeter Dan Spektrofotometer Uv-Vis. Paper seri Manajemen Laboratorium. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Udin, S. dan Hedi, D.R. 2003. Histamin dan Antialergi dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Bagian Farmakologi Universitas Indonesia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai