PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Dewasa ini, sangat banyak obat beredar dengan berbagai khasiat dan kandungannya
masing-masing. Mulai dari pereda radang, pereda nyeri, dan sebagainya. Semakin
berkembangnya zaman, produsen ingin khasiat obatnya memiliki khasiat beragam bahkan
lebih dari satu khasiat, sehingga zat aktif yang ditambahkan pun haruslah lebih dari satu
pula. Maka, untuk satu obat, perlu dilakukan beberapa kali analisa dan perlu adanya
pemisahan zat aktif agar dapat diukur kadar tiap jenisnya. Namun, analisa tersebut
menyebabkan waktu yang relatif lama, sehingga kurang efisien. Maka dari itu, dilakukan
penetapan kadar campuran senyawa aktif obat dengan cara simultan.
1.2.
Tujuan Praktikum
1. Menetapkan kadar suatu campuran senyawa obat secara simultan berdasarkan
metoda spektrofotometri.
BAB II
LANDASAN TEORI
Kadar larutan campuran dua zat dapat ditentukan dengan metode spektrofotometri
tanpa harus dipisahkan lebih dahulu. Kedua zat harus memiliki panjang gelombang
maksimum yang tidak berimpit. Absorpsi larutan sampel atau campurannya pada panjang
gelombang pengukuran merupakan jumlah absorpsi dari masing-masing zat tunggalnya.
Kadar masing-masing zat ditentukan menggunakan metode simultan (Widjaja dan Laksmiani,
2010).
Jika absorbansi suatu seri konsentrasi larutan diukur pada panjang gelombang,
suhu, kondisi pelarut yang sama, dan absorbansi masing-masing larutan diplotkan terhadap
konsentrasinya, maka suatu garis lurus akan teramati sesuai dengan persamaam A=abc.
Grafik ini disebut dengan plot hukum Lambert-Beer dan jika garis yang dihasilkan
merupakan suatu garis lurus maka dapat dikatakan bahwa hukum Lambert-Beer dipenuhi
pada kisaran konsentrasi yang diamati (Gandjar dan Rohman, 2007).
Bila diinginkan dua buah senyawa secara bersama-sama secara spektrofotometri, maka
dapat dilakukan pada dua panjang gelombang yang mana masing-masing komponen tidak
saling mengganggu atau gangguan dari komponen yang lain paling kecil. Dua buah kromofor
yang berbeda akan mempunyai kekuatan absorbsi cahaya yang berbeda pula pada satu daerah
panjang gelombang. Pengukuran dilakukan pada masing-masing larutan pada dua panjang
gelombang sehingga diperoleh dua persamaan hubungan antara absorbansi dengan
konsentrasi pada dua panjang gelombang, akibatnya konsentrasi masing-masing komponen
dapat dihitung. Mula-mula dipilih panjang gelombang yang mana perbandingan absorptivitas
maksimum dari masing-masing komponen (Gandjar dan Rohman, 2007).
Absorban jumlah suatu campuran beberapa senyawa yang mengabsorpsi pada masingmasing panjang gelombang merupakan jumlah absorban masing-masingnya. Pada campuran
dua komponen akan terlihat absorban yang diukur pada 1 serta 2 merupakan jumlah dari
absorban komponen tunggal pada panjang gelombang tersebut. Hal ini memungkinkan untuk
pemeriksaan kemurnian senyawa obat secara spektrofotometri serta penentuan campuran
beberapa komponen (Rot dan Blaschke, 1985).
Dari hukum Lambert-Beer, dapat diketahui bahwa absorbansi berbanding lurus dengan
absortivitas (a), tebal kuvet (b), dan konsentrasi (c). Supaya nilai b tetap maka selama
pengukuran digunakan kuvet yang sama.
Absorbansi senyawa 1, A1= a1b1c1......................(1)
Absorbansi senyawa 1, A1= a2b2c2......................(2)
Selama kuvet yang digunakan sama, maka nilai b tetap sehingga persamaan 1 dan 2
menjadi persamaan 3 dan 4.
A1= a1c1.......................(3)
A2= a2c2.......................(4)
Pengukuran campuran 2 senyawa dilakukan baik pada panjang gelombang 1 (1)
maupun pada panjang gelombang 2 (2), oleh karena itu absorbansi pada kedua panjang
gelombang tersebut merupakan jumlah dari absorbansi senyawa 1 dan absorbansi senyawa 2,
yang secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
A1= (a1c1)1 + (a2c2)2.......................(5)
A2= (a1c1)2 + (a2c2)1.......................(6)
Keterangan: nilai a (absortivitas) dapat juga diganti dengan absorptivitas molar. Yang
mana:
C1
C2
: konsentrasi senyawa 1
: konsentrasi senyawa 2
elektronik yang besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih
banyak dipakai untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif (Widjaja dkk, 2008).
Spektra UV-Vis dapat digunakan untuk informasi kualitatif dan sekaligus dapat
digunakan untuk analisis kuantitatif.
1. Aspek kualitatif
Data spektra UV-Vis secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk identifikasi
kualitatif obat atau metabolitnya. Akan tetapi jika digabung dengan cara lain seperti
spektrofotometri inframerah, resonansi magnet inti, dan spektroskopi massa, maka dapat
digunakan untuk maksud identifikasi atau analisis kualitatif suatu senyawa terebut. Data yang
diperoleh dari spektroskopi UV dan Vis adalah panjang gelombang maksimal, intensistas,
efek, pH dan pelarut. Yang kesemuanya itu dpat diperbandingkan dengan data yang sudah
dipublikasi. Dari spektra yang diperoleh dapat dilihat, misalnya :
-
Serapan (absorbansi) berubah atau tidak karena perubahan pH. Jika berubah,
bagaimana perubahannya apakah dari batokromik ke hipsokromi dan sebaliknya atau dari
hipokromik ke hiperkromik, dan sebagainya.
- Obat-obat yang netral misalnya kafein, kloramfenikol; atau obat-obat yang berisi
auksukrom yang tidak terkonjugasi seperti amfetamin, siklizin, dan penisiklidin.
2. Aspek kuantitatif
Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan (larutan sampel)
dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya. Radiasi yang diserap oleh
cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang diserap jika tidak ada
spesies penyerap lainnya. Intensitas atau kekuatan radiasi cahaya sebanding dengan jumlah
foton yang melalui satu satuan luas penampang per detik. Serapan dapat terjadi jika foton
atau radiasi yang mengenai cuplikan memiliki energi yang sama dengan energi yang
dibutuhkan untuk menyebabkan terjadinya perubahan tenaga. Kekuatan radiasi juga
mengalami penurunan dengan adanya penghamburan dan pemantulan cahaya, akan tetapi
penurunan karena hal ini sangat kecil dibandingkan dengan proses penyerapan (Gandjar dan
Rohman, 2007).
memerlukan waktu yang lama, serta kurang peka dalam penentuan zat yang kadarnya
relatif kecil.
Selain itu metode kromatografi cair kinerja tinggi juga merupakan metode
alternatif yang memiliki kepekaan analisis tinggi namun memerlukan biaya relatif mahal.
Dilihat dari strukturnya, parasetamol mempunyai gugus kromofor dan ausokrom, yang dapat
menyerap radiasi, sehingga dapat dilakukan dengan metode spektrofotometri, tetapi
kendala yang sering dijumpai adalah terjadinya tumpang tindih spektra (overlapping)
karena keduanya memiliki serapan maksimum pada panjang gelombang yang berdekatan
sehingga diperlukan proses pemisahan terlebih dahulu.
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu sebagai berikut.
Alat
Bahan
Gelas Kimia
Spatula
Ammonium Asetat
Pipet Ukur
Pipet Tetes
Corong
Tablet
Mengandung
Parasetamol
Kafein (Sampel)
Labu Takar
Aquades
dan
BAB IV
HASIL PRAKTIKUM
a. Pengukuran absorbansi larutan standar
Parasetamol
Kafein
268 nm
0,266 A
0,275 A
276,4 nm
0,173 A
0,827 A
Pengukuran absortivitas molar () dilakukan dengan dasar rumus perhitungan sebagai
berikut:
A= b C
A
bC
0,266 A
=0,0266 A
1 10
268 nm
276,4 nm
Paracetamol
0,0266 A ppm-1cm-1
0,0173 A ppm-1cm-1
Kafein
0,0275 A ppm-1cm-1
0,0827 A ppm-1cm-1
...(2)
0,0044 A=0,00220 C2
Maka C2 = 1,10 ppm, C1 = 4,28 ppm
Kafein =
=280,84 miligram
0,0254
15
=72,18miligram
0,0254 gram
15
BAB V
PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, kami melakukan pengujian kadar obat secara stimultan. Zat
yang diukur adalah parasetamol dan kafein dalam obat bermerk bodrex. Pengukuran secara
stimultan dilakukan dengan mencari absortivitas molar larutan sampel. Hal ini dilakukan
karena tiap zat memiliki absortivitas yang berbeda satu dengan yang lain. Metode yang
digunakan adalah dengan cara perhitungan secara eliminasi dan subtitusi untuk mendapatkan
konsentrasi sampel yang ingin diketahui.
Pengukuran yang pertama kali dilakukan adalah mengukur panjang gelombang
maksimum dari parasetamol dan kafein. Panjang gelombang maksimum parasetamol yang
diperoleh adalah 268 nm. Sedangkan untuk kafein didapatkan panjang gelombang maksimum
sebesar 276,4 nm. Panjang gelombang maksimum parasetamol menurut literatur adalah
sebesar 246 nm dan kafein adalah 272 nm. Pada sampel parasetamol, panjang gelombangnya
bergeser sangat jauh karena parasetamol yang digunakan tidak bersertifikat sebagai SRM
(Standard Material Reference), namun berasalkan dari parasetamol sediaan obat.
Berdasarkan hasil praktikum, kandungan yang terdapat di dalam sediaan obat tidak
sesuai dengan yang tertera pada kemasan. Kandungan kafein yang terdapat dalam sediaan
obat melebihi 50 mg kafein(yang tertera pada kemasan) sedangkan kandungan parasetamol
dalam sediaan obat kurang dari 600 mg (yang tertera pada kemasan). Hal ini dimungkinkan
karena absortivitas molar yang kami peroleh tidak sesuai dengan hasil sebenarnya karena
disebabkan kualitas bahan standar yang kami gunakan. Hal tersebut mempengaruhi pada
absorbansi yang tidak maksimal karena tidak terukur pada panjang gelombang maksimum
yang seharusnya digunakan untuk parasetamol.
BAB VI
KESIMPULAN
Dari praktikum yang kami lakukan, berat parasetamol yang diperoleh adalah sebesar 280,84
mg dan kafein sebesar 72,18 mg. Kandungan Parasetamol dan kafein dalam satu sediaan obat
dapat diperoleh dengan membandingkan absortivitas molar kedua zat.
DAFTAR PUSTAKA
Frey,
Gandjar, Ibnu Gholib., Abdul Rohman. 2008. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
R. Rote, Ambadas, A.Kumbhoje Prasanna, S. Bambar, Rajendra. 2012. UVvisible spectrophotometric simultaneous estimation of paracetamol
and nabumetone by AUC method in combined tablet dosage form.
US National Library of Medicine
National Institutes of Health.
Rot,Hermann J.,dan Gottfried Balsschke . 1985 . Analisis Farmasi. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
Widjaja, I.N.K., dan N. P. L. Laksmiani. 2009. Petunjuk Praktikum Analisis Fisiko Kimia.
Jimbaran : Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Udayana.
Widjaja, I.N.K., K.W. Astuti., N.M.P. Susanti., & I.M.A.G. Wirasuta. 2008. Buku Ajar
Analisis Farmasi Fisiko Kimia. Jimbaran : Jurusan Farmasi FMIPA Universitas
Udayana.