Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang
gelombang tertentu dengan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang
ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk
mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan
atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang (Sitorus,2013).
Untuk menghasilkan efek farmakologi atau efek terapi, obat harus
mencapai tempat aksinya dalam konsentrasi yang cukup untuk menimbulkan
respon. Tercapainya konsentrasi obat tergantung dari jumlah obat yang diberikan,
tergantung pada keadaan dan kecepatan obat diabsopsi dari tempat pemberian dan
distribusinya oleh aliran darah ke bagian yang lain dari badan (Sitorus,2013).
Secara garis besar proses-proses ini dapat dibagi menjadi tiga tingkat atau
fase, yaitu:
1. Fase biofarmasetik atau farmasetik
2. Fase farmakokinetik, dan
3. Fase farmakodinamik (Mulyono,2010).
Efek karakteristik obat akan hilang, apabila obat telah bergerak keluar dari
badan dan konsekuensi dari letak aksinya, baik dalam bentuk yang tak berubah
atau setelah mengalami metabolisme obat dan terjadi metabolit yang dikeluarkan
melalui proses ekskresi. Maka itu sangat penting diketahui bagaimana cara badan
telah menangani obat dengan proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi, apabila kita menentukan suatu dosis, rute dan bentuk obat yang
diberikan bila dikehendaki efek terapi yang diinginkan dengan efek toksis yang
minimal (Mulyono,2010).
Pada spektrofotometer, panjang gelombang yang benar-benar terseleksi
dapat diperoleh dengan bantuan alat pengurai cahaya seperti prisma. Suatu
spektrofotometer tersusun dari sumber spectrum tampak yag kontinyu,
monokromator, sel pegabsorpsi untuk larutan sampel atau blangko dan suatu alat
untuk mengukur perbedaan absorpsi antara sampel dan blangko ataupun
pembanding (Mulyono,2010).

1
1.2 Tujuan Percobaan
- Mengetahui pereaksi yang digunakan dalam pengujian kadar CTM
- Mengetahui pereaksi yang digunakan dalam pengujian kadar Sulfadiazin
- Mengetahui pereaksi yang digunakan dalam pengujian kadar Paracetamol
- Mengetahui persamaan regresi,korelasi, koefisien regresi dan panjang
gelombang dari CTM
- Mengetahui persamaan regresi,korelasi, koefisien regresi dan panjang
gelombang dari Sulfadiazin
- Mengetahui persamaan regresi,korelasi, koefisien regresi dan panjang
gelombang dari paracetamol

1.3 Manfaat Percobaan


- Agar praktikan mengetahui pereaksi yang digunakan dalam pengujian
kadar CTM
- Agar praktikan mengetahui pereaksi yang digunakan dalam pengujian
kadar Sulfadiazin
- Agar praktikan mengetahui pereaksi yang digunakan dalam pengujian
kadar Paracetamol
- Agar praktikan mengetahui persamaan regresi,korelasi, koefisien regresi
dan panjang gelombang dari CTM
- Agar praktikan mengetahui persamaan regresi,korelasi, koefisien regresi
dan panjang gelombang dari Sulfadiazin
- Agar praktikan mengetahui persamaan regresi,korelasi, koefisien regresi
dan panjang gelombang dari paracetamol

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari
spektrofotometer dan fotometer. Spektrofotometer menghasilkan sinar dari
spectrum dengan panjang gelombang tertentu dengan fotometer adalah alat
pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi
spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi
tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang
gelombang. Pada fotometer filter, sinar dengan panjang gelombang yang
diinginkan diperoleh dengan berbagai filter dari berbagai warna yang mempunyai
spesifikasi melewatkan trayek panjang gelombang tertentu. Sedangkan pada
spektrofotometer, panjang gelombang yang benar-benar terseleksi dapat
diperoleh dengan bantuan alat pengurai cahaya seperti prisma. Suatu
spektrofotometer tersusun dari sumber spectrum tampak yag kontinyu,
monokromator, sel pengabsorpsi untuk larutan sampel atau blangko dan suatu alat
untuk mengukur perbedaan absorpsi antara sampel dan blangko ataupun
pembanding (Williard,2015).
Cara kerja spektrofotometer secara singkat adalah sebagai berikut.
Tempatkan larutan pembanding, misalnya blangko dalam sel pertama sedangkan
larutan yang akan danalisis pada sel kedua. Kemudian pilih fotosel yang cocok
200nm-650 nm (650 nm- 1100 nm) agar daerah panjang gelombang yang
diperlukan dapat terliputi. Dengan ruang fotosel dalam keadaan tertutup “nol”
galvanometer dengan menggunakan tombol dark-current. Pilih h yang diinginkan,
buka fotosel dan lewatkan berkas cahaya pada blangko dan “nol” galvanometer
didapat dengan memutar tombol sensitivitas. Dengan menggunakan tombol
transmitansi, kemudian atur besarnya pada 100%. Lewatkan berkas cahaya pada
larutan sampel yang akan dianalisis. Skala absorbansi menunjukkan absrbansi
larutan sampel yang akan dianalisis (Williard,2015).
Untuk menghasilkan efek farmakologi atau efek terapi, obat harus
mencapai tempat aksinya dalam konsentrasi yang cukup untuk menimbulkan
respon. Tercapainya konsentrasi obat tergantung dari jumlah obat yang diberikan,

3
tergantung pada keadaan dan kecepatan obat diabsopsi dari tempat pemberian dan
distribusinya oleh aliran darah ke bagian yang lain dari badan (Williard,2015).
Secara garis besar proses-proses ini dapat dibagi menjadi tiga tingkat atau
fase, yaitu:
4. Fase biofarmasetik atau farmasetik
5. Fase farmakokinetik, dan
6. Fase farmakodinamik (Mulyono,2010).
Efek karakteristik obat akan hilang, apabila obat telah bergerak keluar dari
badan dan konsekuensi dari letak aksinya, baik dalam bentuk yang tak berubah
atau setelah mengalami metabolisme obat dan terjadi metabolit yang dikeluarkan
melalui proses ekskresi. Maka itu sangat penting diketahui bagaimana cara badan
telah menangani obat dengan proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi, apabila kita menentukan suatu dosis, rute dan bentuk obat yang
diberikan bila dikehendaki efek terapi yang diinginkan dengan efek toksis yang
minimal (Sitorus,2013).
Fase farmasetik, fase ini meliputi waktu mulai penggunaan sediaan obat
melalui mulut hingga pelepasan zat aktifnya ke dalam cairan tubuh. Sebagai
contoh tablet mengandung hanya 5-10% zat aktif, 90% zat tambahan terdiri dari
80% zat pengencer, zat pengikat dan 10% zat penghancur tablet (Sitorus,2013).
Fase farmakokinetik, fase ini meliputi waktu selama obat diangkut ke
organ yang ditentukan, setelah obat dilepas dari bentuk sediaan. Obat harus
diabsorpsi ke dalam darah, yang akan segera didistribusikan melalui tiap-tiap
jaringan dalam tubuh. Dalam darah obat dapat mengikat protein darah dan
mengalami metabolisme, terutama dalam melintasi hepar (hati) (Sitorus,2013).
Fase farmakodinamik terjadi bila obat telah berinteraksi dengan sisi
reseptor biasanya protein membran akan menimbulkan respon biologik. Tujuan
pokok dari fase ini adalah optimisasi dari efek biologik. Istilah-istilah yang
digunakan dalam uraian selanjutnya meliputi:
a.Biofarmasi adalah ilmu yang menyelidiki pengaruh-pengaruh pembuatan
sediaan atas kegiatan terapetik obat

4
b.Ketersediaan farmasi (K.F.) adalah ukuran bagian zat yang aktif yang
dilepaskan dari bentuk obat yang diberikan dan ketersediaan zat yang aktif untuk
proses absorpsi
c.Ketersediaan hayati (K.H.) adalah persentase obat yang diabsorpsi tubuh dari
suatu dosis yang diberikan dan tersedia untuk melakukan efek terapetiknya
d. Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari efek obat (farmaka), zat yang aktif
biologik pada sistem hean. Tidak harus sebagai obat atau zat terapetik dan
sebagainya, sebab zat yang aktif tersebut digunakan sebagai fungisida, insektisida,
toksin yang memberikan pengaruh terhadap badan hidup (Mulyono,2010).
Pereaksi disingkat P adalah suatu zat digunakan sebagai pereaksi atau
sebagai unsur pokok dari larutan. Larutan pereaksi disingkat LP adalah larutan
dari pereaksi dalam pelarut dan kadar tertentu yang sesuai untuk penggunaan
tertentu. Air jika dalam uji untuk pereaksi atau dalam petunjuk pembuatan larutan
uji dan sebagainya digunakan air tanpa kualifikasi khusus selalu menggunakan
Air Murni seperti yang tertera pada monografi kitab Farmakope Indonesia edisi
yang ke IV (Sitorus,2013).
Air bebas karbon dioksida adalah air murni yang telah dididihkan kuat –
kuat selama 5 menit atau lebih dan didiamkan sampai dingin dan tidak boleh
menyerap karbon dioksida dari udara (Creswell,2009).
Larutan dapar merupakan sistem larutan yang dapat mempertahankan pH
lingkungannya dari pengaruh seperti oleh penambahan sedikit asam/basa kuat,
atau oleh pengenceran. Sistem bufer terdiri atas dua komponen, yakni (1)
komponen pelarut (umumnya air), dan (2) komponen zat terlarutnya. Komponen
terakhir ini dapat berupa:
a. Asam lemah dan garam kuatnya,
b. Basa lemah dan garam kuatnya,
c. Sepasang asam-basa konyugat, atau
d. Sepasang pemberi – penerima proton (Creswell,2009).
Kapasitas suatu bufer merupakan ukuran kemampuan bufer itu untuk
mempertahan pH lingkungannya terutama dari pengaruh-luar oleh penambahan
ion H+ (asam) atau ion OH- (basa). Yang paling menentukan kemampuan bufer
ialah kuantitas atau konsentrasi masing – masing campurannya (misalnya

5
asam/basa-lemah dan garam kuatnya; atau asam dan basa konyugatnya). Makin
tinggi konsentrasi zat – zat ini, makin tinggi pula kapasitas bufer untuk
mempertahankan pH-nya terhadap pengaruh dari luar (Mulyono,2010).
Pemahaman sifat sistem bufer yang didukung dengan perhitungan (analisis
sederhana) dapat membantu di dalam merancang pembuatan bufer dengan
ketepatan seperti yang diinginkan keuntungan lain, ketepatan sistem bufer dapat
menghindarkan pemborosan pemakain zat/pereaksi di samping mengurangi akibat
negatif lain seperti kepekatan larutan karena dapat menurunkan bahkan
mematikan keaktifan sistem hidup (Creswell,2009).
Semua sulfonamida yang digunakan dalam klinik adalah analog struktural
p- aminobenzoat (PABA) sintetik. Obat-obat ini berbeda satu sama lain, tidak
hanya sifat kimia dan fisiknya tetapi juga farmakokinetiknya (Creswell,2009).
Menjadi impermeable terhadap asam folat, banyak bakteri harus
tergantung pada kemampuannya untuk mensintesis folat dari PABA, Pteridin, dan
glutamat. Sebaliknya, manusia tidak dapat mensintesis asam folat dan folat
didapat dari vitamin dalam makanannya. Karena strukturnya mirip PABA,
sulfonamide berkompetisi dengan substrat ini untuk sintetase enzim
dihidropteroat, sehingga melindungi sintesis asam folat bakteri dan pembentukan
karbonnya yang membawa kofaktor. Hal ini menghilangkan kofaktor esensial sel
terhadap purin, pirimidin dan sintetis asam amino (Creswell,2009).
Farmakokinetik dari sulfonamid yaitu meliputi: 1. Pemberian :
kebanyakan obat sulfa diabsorbsi secara baik setelah pemberian oral. Sulfasalazin
[sul fa SAL a zeen] bila diberikan pe oral atau sebagai supositoria disimpan untuk
pengobatan penyakit inflamasi usus kronik (missal, penyakit Crohn atau Kolitis
ulseratif), karena obat ini tidak diabsorbsi. Serupa dengan hal ini,
suksinilsulfatiazol yang digunakan untuk sebagai karier salmonella dan shigela.
Pemberian sulfonamide intravena secara umum dicadangkan apabila penderita
tidak dapat menelan obat per oral. Karena resiko sensitisasi, sulfa biasanya tidak
diberikan secara topical. Pada unit kebakaran, krim mafenid asetat (p-aminometil-
benzensulfonamida) atau sulfadiazine perak efektif mengurangi sepsis luka bakar.
Namun demikian, superinfeksi dengan bakteri atau jamur yang resisten mungkin
terjadi (Ajache,1982).

6
2. Distribusi obat golongan sulfa didistribusikan ke seluruh cairan tubuh
dan penetrasinya baik ke dalam cairan serebrospinalis, meskipun tidak dijumpai
adanya inflamasi. Obat ini juga dapat melewati sawar plasenta dan masuk ke
dalam ASI. Sulfa berikatan dengan albumin serum dalam sirkulasi; pengikatan
selanjutnya tergantung obat tertentu (Ajache,1982).).
3. Metabolisme dilakukan pada golongan sulfa diasetilasi pada N4, yang
terutama letaknya di hati. Produknya tanpa aktivitas antimikroba, tetapi masih
bersifat potensial toksik pada pH netral atau asam yang menyebabkan kristaluria
(“pembentukan batu”) dan karena itu, dapat menimbulkan kerusakan ginjal
(Gambar 29.4). Sulfasalazin efektif dalam mengobati penyakit inflamasi saluran
cerna bawah karena flora intestinal local memecah obat menjadi sulfapiridin dan
5-aminosalisilat. 5-Aminosalisilat menimbulkan efek antiinflamasi. Absorbsi
sulfapiridin dapat menyebabkan reaksi toksik pada pasien asetilator lambat.
Ekskresi yaitu eliminasi sulfa yaitu melalui filtrasi glomerulus. Karena itu,
penekanan fungsi ginjal menyebabkan akumulasi obat dan metabolitnya
(Ajache,1982).
Furosemida digunakan intuk indikasi penyakit hipertensi, edema yang
disebabkan kegagalan jantung, sirosis hepatis, dan penyakit ginjal (termasuk
sindroma nefrotik), edema paru-paru akut (sebagai terapi penunjang). Oral,
digunakan untuk hipertensi dewasa dengan dosis 40 mg dua kali sehari, dosis
tersebut disesuaikan dengan keadaan penderita. Untuk penyakit edema pada orang
dewasa dengan dosis 20-40 mg sebagai permulaan, dosis yang lebih besar sampai
600mg/hari bisa diberikan sebagai peningkatan dari 20-40 mg, setiap 6-8 jam,
sampai tercapai dieresis yang diharapkan, diikuti dengan dosis yang sama setiap
empat atau dua kali sehari. Pada anak-anak dengan dosis 2mg/kg sebagai
permulaan, dosis yang lebih besar, sampai 6 mg/kg, bisa diberikan sebagai
peningkatan dari 1-2 mg/kg, setiap 6-8 jam, sampai tercapai dieresis yang
diharapkan; kurangi sampai tingkat minimum efektif untuk pemeliharaan
(Ajache,1982).
Penggunaan parenteral untuk edema dengan dosis dewasa sebanyak 20-40
mg IM atau IV (perlahan) sebagai permulaan, dosis yang lebih besar bisa
diberikan sebagai peningkatan dari 1 mg/kg, setiap 2 jam, sampai tercapai dieresis

7
yang diharapkan. Untuk edema paru-paru akut, dosis dewasa sebanyak 40 mg IV
(perlahan) sebagai permulaan, diikuti dengan 80 mg IV (perlahan) 1 jam
kemudian bila diperlukan (Waney,2015).
Umumnya golongan obat berupa tiazida bekerja pada bagian ascending
dari Loop of Henle pada ginjal. Furosemida, asam etakrinat dan bumetamid
bekerja dengan cara memblok reabsorbsi klorida sepanjang bagian tebal ascending
(Waney,2015).
Sulfonamida dan tiazida walaupun bekerja pada Loop of Henle berpotensi
dengan asam etakrinat. Hal ini dapat dibandingkan dengan tiazida dalam cara
berikut:
(1) Onset diuresis dan dilatasi arteri dengan cepat, tetapi efek lebih pendek (4 jam)
(2) Generalisasi, untuk tiazida yang lain hanya kelebihan natrium yang akan
dimetabolisme dan tidak berlaku bagi furosemid, seperti, penghidrasi, kalium
(3) Furosemid adalah diuretik yang efektif untuk mengatasi edema dengan gagal
ginjal kronik. Tiazida yang lain kurang efektif untuk mengatasi gagal ginjal
(80%)
(4) Untuk kronis terutama pada hipertensi tiazida jangka panjang lebih efektif
Bioavailabilitas didefinisikan sebagai fraksi obat yang tidak berubah mencapai
sirkulasi sistemik oleh rute apapun. Untuk dosis intravena, bioavailabilitas secara
keseluruhan. Untuk obat yang diberikan secara oral, bioavailabilitas mungkin
kurang seluruhnya karena beberapa alasan. Obat sepenuhnya diabsorbsi dapat
dimetabolisme dalam usus, dinding usus, darah portal, atau hati sebelum masuk ke
sirkulasi sistemik, mungkin mengalami enterohepatik dan di eliminasi ke empedu.
Biotransformasi beberapa obat di hati setelah pemberian oral merupakan faktor
penting dalam profil farmakokinetik (Waney,2015).
Obat ini menghambat Nacl transportasi di asenden tebal lengkung Henle.
Efeknya telah diterjemahkan ke situs transportasi di membran luminal dan
mungkin sesuai dengan mekanisme entri digabungkan untuk Na + Cl dan
mungkin K. Itu sebelumnya berpikir bahwa pompa klorida aktif hadir dalam
ascending limb tebal. tampilan saat nikmat Nacl sistem transportasi yang didorong
oleh pompa tergantung Na, K, ATPase dalam membran basolateral (Waney,2015).

8
Suatu agen loop cepat diserap dan ditangani oleh sekresi ginjal serta
filtrasi. Tanggapan diuretik biasanya sangat cepat setelah injeksi intravena. Durasi
efek biasanya 2-3 jam. Respon terhadap furosemide berkorelasi positif dengan
laju ekskresi urin nya (Mulyono,2010).
Rute obat oleh rute yang tidak ada melibatkan secara langsung obat ke
dalam sirkulasi sistemik disebut rute ekstravaskuler termasuk oral, rektal, bukal,
sublingual, transdermal, intramuskular, subkutan, inhalasi dan rute lainnya.
Penyerapan obat rute oral, prinsip yang sama dapat diterapkan untuk rute
extravascular lainnya. Obat diabsorbsi ke sirkulasi sistemik dan kemudian
didistribusikan ke seluruh bagian tubuh untuk menghasilkan efek farmakologi.
Tingkat absorbsi menggambarkan obat yang mencapai sirkulasi sistemik dan
ditentukan sebagai ka dan merupakan ukuran dari bioavailabilitas obat
(Mulyono,2010).
Tingkat absorpsi obat ke sirkulasi sistemik setelah rute oral ditentukan
sebagai onset dan intensitas efek obat. Disimpulkan bahwa konsentrasi obat dalam
darah disebut konsentrasi minimum efektif (MEC) untuk menghasilkan efek
(Mulyono,2010).
Efek dikorelasikan dengan konsentrasi obat dalam plasma. Absorbsi obat
besar (bioavailabilitas besar) dibuktikan dengan konsentrasi obat dalam plasma
besar. Konsentrasi obat dalam plasma juga dibawah MEC untuk jangka panjang
(Mulyono,2010).
Setelah pemberian beberapa bentuk sediaan padat, obat harus dalam
keadaan dilarutkan sebelum diabsorbsi ke sirkulasi sistemik. Jadi, tablet dan
kapsul terdiintegrasi menjadi granul, dan granul larut sebelum melintasi membran
untuk mencapai sirkulasi sistemik. Setelah obat ini dalam sirkulasi sistemik,
didistribusikan ke seluruh bagian tubuh, termasuk organ pengeliminasi. Laju
konstanta (ka) menggambarkan proses absorbsi. Laju absorbsi pada dosis yang
berbeda dari obat yang sama dapat berbeda karena perbedaan dalam karakteristik
formulasi (Mulyono,2010).

9
Persamaan Lambert-Beer dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi
(C) sampel yang diukur dengan cara spektroskopi dengan dua cara (Sitorus,
2013).
Cara 1: Dengan cara manual
Dengan cara membandingkan absorbansi sampel (Aspl) dengan absorbansi
standar (Astd) maka konsentrasi sampel (Cspl) dapat dihitung dengan persamaan:
Aspl / Astd = Cspl / Cstd atau
Cspl = (Aspl / Astd) x Cstd
Karena hanya membandingkan dengan satu data,maka ketelitian
perhitungan dengan cara ini mempunyai akurasi yang rendah. Untuk lebih teliti
maka dibandingkan dengan beberapa kali pengukuran samapai kemudian dihitung
rata-ratanya (Sitorus, 2013).
Cara 2: Dengan kurva standar (baku) atau persamaan regresi
Pada prakteknya persamaan Lambert-Beer tidaklah ideal (biasanya tidak
melalui titik 0,0) tetapi ada koreksinya berupa intersep sehingga secara umum
mengikuti persamaan linear y = ax + b, dalam hal ini y adalah A (absorbansi) dan
x adalah C (konsentrasi) serta a sebagai slope (tg ) adalah b atau ab, sedangkan
b adalah intersep (Sitorus, 2013).
Kurva baku dibuat dengan cara mengukur absorbansi beberapa seri larutan
standar. Dengan cara intrapolari terhadap kurva baku, maka dari pengukuran Aspl
dapat ditentukan Cspl. Harga  atau a juga dapat ditentukan dengan cara mengukur
besarnya sudut  karena tg  =  atau a. Persamaan kurva baku dapat ditentukan
dengan cara manual atau dengan cara program excel, sehingga untuk menghitung
Cspl digunakan persamaan linier yang didapatkan dari entri data A (Absorbansi)
dan C (konsentrasi) (Sitorus, 2013).
Bila dalam suatu sampel terdapat lebih dari satu komponen yang menyerap
cahaya yang mengenai sampel tersebut maka tiap komponen mempunyai panjang
gelombang yang spesifik.Panjang gelombang untuk transisi elektronik adalah
spesifik yang dikenal sebagai maks yaitu panjang gelombang yang memberikan
absorbansi maksimum dan merupakan dasar dari analisa kualitatif yang dapat
ditentuka masing-masingnya secara eksperimen . Dengan cara intrapolari
terhadap kurva baku, maka dari pengukuran Aspl (Sitorus, 2013).

10
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan adalah batangpengaduk, beaker
glass 500 ml (Pyrex), beaker glass 5000 ml (Pyrex), bola karet, derigen 5 L,
erlenmeyer 100 ml (Pyrex), gelas ukur 1000 ml (Pyrex), labu tentukur 1000 ml
(Pyrex), labu tentukur 250 ml (pyrex), labu tentukur 100 ml (Pyrex), labu tentukur
10 ml (Pyrex), mat pipet 10 ml (Pyrex), neraca analitis (BAECO), perkamen,
pipet tetes, serbet, spatula, spuit, spektrofotometer (Shimadzu), stopwatch,
termometer, tisu lensa, tisu halus (Paseo), vial.
3.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan adalah aquadest, cairan
lambung buatan pH 1,2 , Dapar fosfat pH 7,4, Parasetamol, Sulfadiazin, CTM.
3.3 Prosedur Percobaan
3.3.1 Pembuatan AkuadesBebas CO2
Dimasukkan aquadest kedalam ceret listrik. Dibuka tutupnya. Dipanaskan
hingga mendidih, ditutup ceret. Diamkan hingga dingin dan tidak boleh menyerap
CO2 dari udara.
3.3.2 Pembuatan 5 L NaOH 0,2 N
DitimbangNaOHsebanyak 44 g. Dilarutkandenganakuadesbebas CO2.
Dicukupkanhingga 5 L dengan aquadest.
3.3.3 Pembuatan 5 L LarutanNaCL 0,9%
Ditimbang 45 gram NaCl. Dilarutkan dalam akuades bebas CO2.
Dicukupkan hingga 5 L dengan aquadest.
3.3.4 Pembuatan 5 L Medium Lambung Buatan pH 1,2
Ditimbang 10 g natrium klorida. Dilarutkan dalam aquadest hingga NaCl
larut. Dilarutkan 16 g pepsin dalam aquadest. Ditambahkan asam klorida pekat
melalui dinding. Dicukupkan hingga 5 L.

3.3.5 Pembuatan 5 L DaparPospat pH 7,4

11
Ditimbang 34,02 gram kalium dihidrogen fosfat. Dicampurkan kalium
dihidrogen fosfat 0,2 M dengan 977,5 ml NaOH 0,2 N. Diencer kan dengan
aquadest bebas CO2 hingga 5000 ml.
3.3.6 Pembuatan Kurva Kalibrasi Sulfadiazin dalam Medium Asam
Lambung Buatan pH 1,2
Ditimbang 250 mg Sulfadiazin. Dilarutkan dengan medium dan diencerkan
sampai 1000 ml (LIB I, C = 50 mcg/ml). Diencerkan sampai 100 ml (LIB II, C =
10 mcg/ml). Dari larutan tersebut dipipet 4 ml; 5 ml; 6 ml; 7 ml; 8 ml ; 9 ml ; 10
ml. Dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml. Diencerkan dengan medium
lambung sampai 10 ml hingga diperoleh konsentrasi 2, 4, 6, 8, 10 mcg/ml. Diukur
absorbansi dengan spektofotometer.
3.3.7 Pembuatan Kurva Kalibrasi Parasetamol dalam Medium Dapar Posfat
pH 7,4
Ditimbang seksama 62,5 mg Paracetamol. Dimasukkan ke dalam labu
tentukur 250 ml (LIB I = 250 ppm). Diencerkan sampai 100 ml (LIB II, C = 10
mcg/ml). Ditambahkan larutan dapar phospat pH 7.4 sampai garis tanda. Dari
larutan tersebut dipipet 4 ml; 5 ml; 6 ml; 7 ml; 8 ml ; 9 ml ; 10 ml. Dimasukkan
ke dalam labu tentukur 10 ml. Diencerkan dengan larutan dapar phospat sampai
10 ml hingga diperoleh konsentrasi 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10 mcg/ml. Diukur absorbansi
dengan spektrofotometer.
3.3.8 Pembuatan Kurva Kalibrasi CTM dalam Medium Asam Lambung
Buatan pH 1,2
Ditimbang 20 mg CTM. Dilarutkan dengan medium dan diencerkan sampai
20 ml (LIB I, C = 50 mcg/ml). Diencerkan sampai 20 ml (LIB II, C = 10 mcg/ml).
Dari larutan tersebut dipipet 1 ml ; 1,25 ml; 1,5 ml; 1,75 ml; 2 ml; 2,25 ml; 2,5
ml. Dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml. Diencerkan dengan medium
lambung sampai 10 ml hingga diperoleh konsentrasi 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10 mcg/ml.
Diukur absorbansi dengan spektofotometer.

12
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perhitungan
Terlampir

4.2 Hasil
4.2.1 Tabel
4.2.1.1 Tabel kalibrasi CTM dalam medium lambung buatan
No Konsentrasi(X) Absorbansi(Y)
1 0.000 0.501
2 4 1.213
3 5 1.307
4 6 1.433
5 7 1.602
6 8 1.623
7 9 1.831
8 10 1.094

r2 = 0,958721

4.2.1.2 Tabel kalibrasi Sulfadiazin dalam medium lambung buatan


No Konsentrasi(X) Absorbansi(Y)
1 0,000 0,661
2 4 0.926
3 5 0.962
4 6 0.003
5 7 0.069
6 8 1.130
7 9 1.177
8 10 1.236

r2 = 4,413.10-6

13
4.2.1.3 Tabel kalibrasi Paracetamol dalam medium dapar fosfat
No Konsentrasi(X) Absorbansi(Y)
1 0 0,122
2 4 0,498
3 5 0,515
4 6 0,514
5 7 0,647
6 8 0,714
7 9 0,804
8 10 0,837

r2 = 0,790325879

4.2.2 Kurva
4.2.2.1 Kurva CTM

Kurva kaliberasi CTM


2

1.5
absrobansi (nm)

0.5

0
0 4 5 6 7 8 9 10
Konsentrasi (ppm)

14
4.2.2.2 Kurva Sulfadiazin

Kurva Kaliberasi Sulfadiazin


1.4
1.2
Absorbansi (nm)
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
0 2 4 6 8 10 12
Konsentrasi (ppm)

4.2.2.3 Kurva Paracetamol

Kurva Kaliberasi Paracetamol


0.9
0.8
Absorbansi (nm)

0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 5 10 15
Konsentrasi (ppm)

15
4.3 Pembahasan
Pada percobaan ini, digunakan Sulfadiazin, paracetamol , dan CTM untuk
diperoleh absorbansi dan kurva kalibrasi dan mendapatkan persamaan regresi
yang akan digunakan untuk menentukan kosentrasi atau kadar obat.
Berdasarkan literatur USP, sampel CTM dilarutkan dengan penyerapan UV
pada panjang gelombang absorbansi maksimum sekitar 265 nm pada bagian yang
disaring dari larutan yang diuji, yang sesuai diencerkan dengan medium disolusi.
Dari percobaan yang dilakukan diperoleh koefisien korelasi (r) dari
Sulfadiazin sebesar 1,000897224, koefisien korelasi (r) paracetamol adalah
0,790325879, dan koefisien korelasi (r) pada CTM sebesar 0,958721. Pada
dasarnya range dari koefisien korelasi berada diantara +1 dan – 1. Lewatnya
koefeisen korelasi dapat terjadi karena dalam perhitungan kemungkinan dilakukan
pembulatan terhadar angka yang panjang sehingga mengganggu dalam pemberian
hasil akhir. Namun dapat disimpulkan hampir adanya hubungan yang linear antara
konsentrasi dan serapan. Kekorelasian ini dapat disebabkan oleh kesalahan dalam
melakukan percobaan. Pada saat membuat medium lambung pH 1,2 didapat
larutan yang antara setiap bahannya tidak terlarut dengan baik. Saat percobaan
yang seharusnya pelarutan dalam 2 tempat, NaCl dilarutkan dengan aquadest dan
pepsin dilarukan dengan HCl sesuai kelarutan bahan masing-masing, tetapi pada
percobaan NaCl langsung dilarutkan dalam HCl lalu ditambahkan pepsin terakhir
aquadest, sehingga hasil yang didapat pada larutan medium lambung terdapat
gumpalan-gumpalan pepsin yang tidak terlarut dengan sempurna. Hubungan yang
sempurna bila harga r mendekati 1. Kesalahan dapat disebabkan oleh
ketidaktelitian dan ketidakhati-hatian dalam pengerjaan, serta ketidakpahaman
dalam prosedur yang sebenarnya.
Dari nilai koefisien korelasi (R) yang diperoleh didapat hubungan – 1 < R < 1
sedangkan harga untuk masing-masing nilai R adalah sebagai berikut : a) Apabila
R = 1, atinya terdapat hubungan antara variabel X dan Y semua positif sempurna.
b) Apabila R = –1, artinya terdapat hubungan antara variabel X dan Y negatif
sempurna. c) Apabila R = 0, artinya tidak terdapat hubungan antara X dan Y. d)
Apabila nilai R berada diantara –1 dan 1, maka tanda negatif (–) menyatakan

16
adanya korelasi tak langsung atau korelasi negatif dan tanda positif (+)
menyatakan adanya korelasi langsung atau korelasi positif ( Pratomo, 2015).
Berdasarkan literatur persamaan garis linier yang memiliki koefisien korelasi
CTM sebesar 0,958721, Paracetamol 0,790325879, dan Sulfadiazin 1,000897224.
Hasil koefisien korelasi masing-masing sampel jauh dari angka 1, ini dikarenakan
ketidaktelitian dan ketidakhati-hatian dalam pengerjaan, serta ketidakpahaman
dalam prosedur yang sebenarnya. Harga koefisien korelasi (r) yang mendekati 1
dari kurva kalibrasi menunjukkan korelasi menunjukkan korelasi antara
konsentrasi dan absorbansi. Hal ini sesuai dengan hukum Lambert-beer yaitu A =
abc dimana nilai absorbansi (A) berbanding lurus dengan konsentrasi (c)
(Suriyansyah, 2012).
Pada percobaan, dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan
berbagai konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai
konsentrasi diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara
absorbansi dengan konsentrasi. Bila hukum Lambert-Beer terpenuhi, maka kurva
baku berupa garis lurus. Penyimpangan dari garis lurus biasanya disebabkan oleh
kekuatan ion yang tinggi, perubahan suhu, dan reaksi ikutan yang terjadi
(Rohman, 2007).
Radiasi yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan
intensitas sinar yang diteruskan dengan jumlah foton atau radiasi yang mengenai
cuplikan memiliki energi yang sama dengan energi yang dibutuhkan untuk
menyebabkan terjadinya perubahan tenaga. Kekuatan radiasi juga mengalami
penurunan dengan adanya penghamburan cahaya (Rohman, 2007).
Cara kerja spektrofotometer secara singkat adalah sebagai berikut.
Tempatkan larutan pembanding, misalnya blangko dalam sel pertama sedangkan
larutan yang akan danalisis pada sel kedua. Kemudian pilih fotosel yang cocok
200nm-650 nm (650 nm- 1100 nm) agar daerah panjang gelombang yang
diperlukan dapat terliputi. Dengan ruang fotosel dalam keadaan tertutup “nol”
galvanometer dengan menggunakan tombol dark-current. Pilih h yang diinginkan,
buka fotosel dan lewatkan berkas cahaya pada blangko dan “nol” galvanometer
didapat dengan memutar tombol sensitivitas. Skala absorbansi menunjukkan
absrbansi larutan sampel yang akan dianalisis (Williard,2015)

17
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
 Dari percobaan yang dilakukan maka dapat diketahui bahwa pereaksi yang
digunakan dalam pengujian kadar CTM adalah aquadest bebas CO2, HCl,
KH2PO4, NaCl 0,9%, dan pepsin
 Dari percobaan yang dilakukan maka dapat diketahui bahwa pereaksi yang
digunakan dalam pengujian kadar Sulfadiazin adalah aquadest bebas CO2,
HCl, KH2PO4, NaCl 0,9%, dan pepsin
 Dari percobaan yang dilakukan maka dapat diketahui bahwa pereaksi yang
digunakan dalam pengujian kadar Paracetamol adalah aquadest bebas CO2,
HCl, KH2PO4, NaCl 0,9%, dan pepsin
 Dari percobaan yang dilakukan maka diketahui bahwa persamaan regresi
dari CTM adalah y = 0,0278x + 0,9587 dengan koefisien regresi sebesar
0,958721,nilai korelasi CTM adalah dan panjang gelombang CTM adalah
264 nm
 Dari percobaan yang dilakukan maka diketahui bahwa persamaan regresi
dari Sulfadiazin adalah y = 0,708x + 3,566 dengan koefisien regresi
sebesar 4,413.10-6, nilai korelasi sulfadiazine adalah 1,000897224 dan
panjang gelombang Sulfadiazin adalah 242 nm.
 Dari percobaan yang dilakukan maka diketahui bahwa persamaan regresi
dari Paracetamol adalah y = 0,070696649 x – 0,148358025 dengan
koefisien regresi sebesar 0,790325879, nilai korelasi parasetamol adalah
0,790325879 dan panjang gelombang Paracetamol adalah 245 nm.
5.2 Saran
 Sebaiknya digunakan obat lain seperti, sulfamerazin dan sulfadoksin untuk
diukur kurva kalibrasinya dengan metode spektrofotometri UV-Vis
 Sebaiknya pengukuran kurva kalibrasi dibandingkan antara Sulfadiazin dan
Furosemid generik dengan merek lain seperti Neotrizine dan Classic

18
DAFTAR PUSTAKA
Ceswell, C. J. (2005). Analisis Spektrum Senyawa Organik. Bandung : Penerbit
ITB. Halaman 26.
Denny, R. C. (1991). Visible and Ultraviolet Spectroscopy. London : John Wiley
and Sons. Halaman 39.
Devissaguet, J. dan Aiache J. M. (1993). Farmasetika 2 Biofarmasi. Edisi Kedua.
Surabaya : Airlangga Universitu Press. Halaman 131-133.
HAM, M. (2009). Membuat Reagen Kimia di Laboratorium. Bandung : PT Bumi
Aksara. Halaman 3-31.
Sitorus, M. (2013). Spektroskopi Elusidasi Struktur Molekul Organik. Yogyakarta:
Graha Ilmu. Halaman 9-16.
Willard, H. H. (1988). Instrumental Methods of Analysis. California : Wadsworth
Publishing Company. Halaman 118.

19
11

20

Anda mungkin juga menyukai