Anda di halaman 1dari 51

PENDAHULUAN

Aktivitas serta toksisitas suatu obat tergantung pada lama keberadaan obat dan perubahan zat
aktif di dalam tubuh ,merupakan rangkaian penyidik yang harus dilakukan untuk memahami suatu
obat serta untuk memilih bentuk sediaan yang sesuai agar diperoleh efek terapi yang diinginkan .pada
umumnya zat aktif suatu obat akan menunjukkan efek farmakologi pada titik tangkap jaringan ,bila
bahan tersebut telah mencapai tempat tersebut dengan perantaraan darah ( Aiache,1993).
Ketersediaan hayati obat yang diformulasikan menjadi sediaan farmasi merupakan salah satu
tujuan dalam merancang suatu bentuk sediaandan kefektifan obat tersebut.pengkajian terhadap
ketersediaan hayati tergantung pada absorbsi obat ke dalam sirkulasi sistemik serta pengukuran dari
obat yang terabsopsi.ada beberapa uji produk yang dianggap memberikan gambaran terhadap
kemanjuran sediaan yaitu in vitro dan uji in vivo ( Syukuri,2002 ).

Bioavailabilitas ( ketersediaan hayati)


Dapat Secara defenisi, bioavaibilitas dapat diartikan sebagai presentase dan persentase dan
kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat mencapai /tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk
utuh /aktif setelah pemberian produk obat tersebut,di ukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu
atau dari ekskresinya dalam urin.
Bioavaibilitas absolute : membandingkan semua rute pemberian dengan sediaan intravena yang
bioavaibilitasnya 100 %.
Bioavaibilitas relative : membandingkan sediaan paten dan generic dari suatu sediaan obat.
Parametar bioavaibilitas dari sampel darah :
 AUCt = area dibawah kurva kadar obat ( metabolit) dalam plasma ( serum) terhadap waktu
dari 0 sampai waktu terakhir kadar obat diukur – dihitung secara trapezoidal.
 AUC = AUC dari waktu 0 sampai waktu tidak terhingga.
 Cmax = kadar puncak maksimal dari obat dalam plasma yang diamati.
 Tmak = waktu sejak pemberian obat sampai mencapai c.
 T1/2 = waktu paruh obat dalam plasma ( serum)

Bioekivalen
Dalam produk obat disebut bioekivalen jika keduannya mempunyai ekivalensi farmaseutik
atau merupakan alternative fermausetik pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan
menghasilkan bioavaibilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama dalam hal efikasi maupun
keamanan.
Produk obat yang memerlukan uji akivalensi
1. Produk oral lepas lambat yang bekerja sistemik ,jika memenihi satu atau lebih criteria
berikut ini :
a. Batas keamanan/indeks terapi yang sempit,misalnya digoksin, antiaritma,
antikoagulan, obat- obat sistostatik, fenitoin, litium .hipoglikemik
oral.siklosporin,teofilin.
b. Diindikasikan untuk kondisi yang serius yang memerlikan respon terapi yang pasti
,misalnya antituberkulosis,antibakteri, antiaritma, antimalaria,antiretroviral,
antihipertensi.
c. Absorbsi bervarias atau tidak lengkap
d. Farmakokinetika nonlinier ,misalnya : difenilhidatoin.
e. Eliminasi presistemik yang tinggi (> 70 %), misalnya : nitrat organik,
felodipin,verapamil.
f. Sifat-sifat fisiko kimia yang tidak menguntungkan ,misal:
 .kelarutan rendah ,mis: Glukortiroid, hormone sekss steroid
 Tidak stabil ,misal : digoksin ,eritromisin.
g. Terbukti ada masalah bioavaibilitas dengan :
 Obat yang bersangkutan , misalnya : digoksin, eritromisin
 Obat- obat dengan struktur kimia yang sama misal : steroid
 Obat-obat dengan formulasi yang sama.
h. Ada kecurigaan pada bahan baku yang tidak dapat ditemukan dengan uji disolusi
i. Kadar dalam sediaan kecil dibandingkan eksipiennya ,mis :hormone (kontraseosi
orar)
2. Produk obat non oral dan non parental yang didesain untuk bekerja sistemik , mis:
 Sediaan transdermal ( nitrat organic, hormone)
 Supositoria ( teofilin)
3. Produk obat lepas lambat atau termodifikasi yang bekerja sistemik , mis : diklofenak SR,
nifedipin oros, felodipin ER.
4. Produk kombinasi tetap yang bekerja sistemik ,khususnya kombinasi rifampisin +
isoniazid, pirazinamid, dll( yang diukur rifampisin),levodopa+
karbidopa,metinilestradiol+ levonolgestrel,etinilestradiol + noretisteron.
5. Produk obat bukan larutan untuk penggunaan non sistemik ( oral,nasal,
ocular,dermal,rectal, vaginal, dsb).dan dimaksudkan untuk bekerja lokal (tidak untuk
diabsorbsi sistemik).untuk produk demikian tidak dapat dilakukan uji bioekivalensi,maka
ekivalensi harus ditunjukkan dengan studi klinik atau farmakodinamik
komparatif.pengukuran kadar obat dalam darah tetap dioerlukan untuk melihat adanya
absorbsi yang tidak diinginkan.

Studi bioekivalensi (BE) adalah studi bioavaibilitas (BA) komparatif dirancang untuk
menunjukkan bioekivalensi antara produk uji ( suatu produk obat copy) dengan
produk obat innovator /pembandingnya.caranya dengan membandingkan prifilkadar
obat dalam darah atau urin antara produk-produk obat yang dibandingkan pada subjek
manusia .karena itu desain dan pelaksanaan studi BE harus mengikuti pedoman Cara
Uji Klinik yang Baik (CUKB),termasuk harus lolos Kaji Etik.

Kriteria Bioekivalensi
Poduk uji (test= T) dan produk pembanding (reference = R) dikatakan
bioekivalensi jika :
A. Rasio nilai- ratageometrik ( AUC)T/ ( AUC)R= 1.00 dengan 90 % CI = 80- 125
%.untuk obat-obat dengan indeks terapi yang sempit,interval ini mungki perlu
dipersempit ( 90 – 111%).interval yang lebih lebar mungkin dapat diterima jika
didasari pertimangan klinik yang jelas .
B. Rasio nilai rata-rata geometric ( C max) R juga =1.00 dengan 90 % CI= 80-125
%.oleh karena Cmax lebih bervariasi dibanding AUC, maka interval yang lebih
besar mungkin cocok.interval ini harus ditetapkan sebelumnya ,mis : 75-143 %,
dan harus diberikan alasan dengan mempertimbangkan efikasi da keamananya
,terutama bagi penderita yang berganti-ganti produk.
C. Perbandingan Tmax dilakukan hanya jika ada claim yang relavan secara klinik
mengenai pelepasan atau kerja yang cepat atau adanya tanda-tanda yang
berhubungan dengan efek samping obat.90 % CI dari perbedaan Tmax harus
terletak dalam interval yang relavan secar klinik.

Catatan:
Nilai Confidence interval (CI) tidak boleh dibulatkan ,jadi untuk CI 80-125
,nilainya harus minimal 80.00 dan tidak lebih dari 125.00
PERCOBAAN 1
PEMBUATAN KURVA KALIBRASI SULFADIAZIN

1.1 Tujuan
- Untuk menentukan panjang gelombang sulfadiazin
- Untuk menentukan linieritas karva kalibrasi

1.2 Landasan teori


Spektrofotometri serap adalah pengukuran serapan radiasi elektromagnetik panjang
gelombang tertentu yang sempit,mendekati monokromati yang diserap zat.spektrofotometer UV-Vis
dapat digunakan untuk informasi kualitatif secara sekaligus dapat digunakan untuk analisis
kuantitatif.dalam aspek kuantitatif ,suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan (larutan sampel ) dan
intensitas sinar radiasi yang ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang diteruskan
dengan intensitas sinar yang diserap jika tidak ada ynag spesies penyerap lainnya (Rohman,2007).
Sualfadiazin mempunyai nama kimia N-2-pirinidil sulfanilami dan nama IUPAC 4-amino-N-
pyrimidin-2-yl-benzenesulfonamida.sulfadiazin mempunyai kelarutan yang praktis tidak larut dalam
air,mudah larut adalam asam mineral encer,dalam larutan kaliunm hidroksida,dan dalam larutan
natrium hidroksida ,agar sukar larut etanoldan dalam aseton ,sukar larrut dalam serum manusia pada
suhu 370C( Depkes RI, 1995).

1.3 Alat dan Bahan


1.3.1 Alat
Neraca analitik,labu tentukur 10 ml.labu tentukur 100 ml,labu tentukur 1000 ml,gelas ukur 10
ml,gelas ukur 1000 ml,beakergelass 1000 ml,batang pengaduk,pipet volum 5 ml,pipet volum 10
ml,pH universal,bola karet.
1.3.2 Bahan
Sulfadiazin serbuk,aquadest,HCL(p),NACL.

1.4 Cara Kerja


1.4.1 Pembuatan pereaksi
Medium lambung buatan pH 1,2
Dilarutkan 2 g Ncl dan 3,2 g pepsin dalam 7 ml HCL (p) dan air secukupnya hingga 1000 ml (Depkes
RI ,1979).

1.4.2 Pengukuran kurva absorbsi dan kurva kalibrasi sulfadiazin (SD)

1
a. Penentuan konsentrasi kerja pembuatan kurva absorbsi dan kurva kalibrasi SD dalam medium
lambung buatan pH 1,2 ( absorbsi 0,2- 0,6).
Dalam suasan asam:
ϒ = 242 nm ( A11 = 587 a) ,

Dalam suasana Alkali :


ϒ = 240 nm (A11 = 867 a) (USP)
ϒ = 254 nm (A11 = 868 a) (USP)
 Konsentrasi terendah : A = 0,2
A= abc
C = 0,2 /587.1 =3,4 mcg/ml
 Konsentrasi tengah : A = 0,4343
C = 0,4343/587.1 =7,4 mcg/ml
 Konsentrasi tengah : A = 0.6
C = 0,6/587.1 =10,2 mcg/ml
b. Pembuatan kurva absorbsi dan kurva kalibrasi SD ,dalam medium lambung buatan pH 1,2
Timbang seksama 250 mg SD,larutkan dalam medium dan encerkan sampai 1000 ml ( C = 250
mcg/ml).pipet 4 mldari LIB I encerkan sampai 100 ml ( C = 10 ppm).Kemudian pipet 4,5,6,7,8,9,10
ml dari larutan Lib II (C = 10 ppm) encerkan sampai 10 ml hingga diperoleh konsentrasi
4,5,6,7,8,9dan 10 mcg/ml.ukur absorbsinyadengan spektrofotometer uv dengan panjang gelombang
…….nm.

1.5 Data hasil Percobaan


Tabel 1.1 data kurva absorbsi SD dalam medium lambung buatan pH 1,2
No Panjang Gelombang (nm) Absorbansi
1
2
3
4
5

Tabel 1.2 Data kurva kalibrasi SD dalam medium lambung buatan pH 1.2
No Konsentrasi (ppm) Absorbansi

2
1

5.

6.

7.

r=
Medan , 2016

Asisten Praktikan

Daftar Pustaka

3
Depkes R.I.(1979).Farmakope Indonesia.Edisi ketiga.Jakarta:Departemen Kesehatan Repulik
Indonesia.
Depkes R.I.(1995).Farmakope Indonesia.Edisi Keempat.Jakarta:Departemen Kesehatan
Repulik Indonesia
Rohman.dan Gandjar.(2007).Kimia Farmasi Analisis.Yogyakarta:Pustaka pelajar.

PERCOBAAN II
UJI IN VITRO (DISOLUSI TABLET)

4
2.1 Tujuan
Untuk mengetahui laju disolusi tablet sulfadiazin
2.2 Landasan Teori
Tablet adalah sediaan padat kompak ,dibuat secara kempa cetak,berbentuk rata atau
cembung rangjap,umumnya bulat,mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat
tambahan.zat tambahan yang digunakan dapat berfungsi sebagai zat pengisi,zat pengembang ,zat
pembasah (Anief,1994).
Tablet merupakan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang biasanya dibuat dengan
penambahan bahan tambahan farmasetika yang sesuai.Tablet-tablet dapat berbeda-bada dalam
ukuran ,bentuk,berat,kekerasan,ketebalan,daya hancurnya dan dalam aspek lainnya tergantung pada
cara pemakaian tablet dan metode pembuatannya(Ansel,1989).
Disolusi didefenisikan sebagai proses suatu zat padat masuk edalam pelarut menghasilkan
suatu larutan.secara sederhana,disolusi adalah proses zat padat melarut.dalam penentuan kecepatan
disolusi dari bentuk sediaan padat terlibat berbagai macam proses disolusi yang melibatkan zat
murni.karakteristik fisik sediaan ,proses pembasahan sediaaan ,kemampuan penetrasi media disolusi
ke dalam sediaan ,merupakan sebagian dari faktor yang mempengaruhi karakteristik disolusi obat dari
sediaan (Syukri,2002).
Agar suatu obat diabsopsi ,mula-mula obat tersebut harus larut harus larut dalam cairan pada
tempat absorbsi.sebagai contoh suatu sediaan yang diberikan secara orar dalam bentuk tablet atau
kapsul tidak dapat diabsorpsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam
saluran lambung- usus,kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium basa atau medium
asam,obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus.proses
melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel,1989).faktor yang harus diperhatikan dalam uji disolusi
yaitu ukuran ,bentuk sediaan dan media pelarutan akan mempengaruhi laju dan tingkat kelarutan
.beberapa kegunaan uji disolusi antar lain menjamin keseragaman satu batch,menjamin bahwa obat
akan memberikan efek terapi yang diinginkan (Depkes RI,1995).

2.3. Alat dan Bahan


2.3.1 Alat
Dissoliution tester, spektrofotometer uv, spuit 5 mi, maat pipet 5 ml, termometer, tissue lensa,
alat –alat gelas, bola kaet.
2.3.2 Bahan
Sulfadiazin (tablet) ,cairan lambung buatan pH 1,2
2.4 Cara Kerja

5
2.4.1 Pembuatan Medium Lambung buatan tanpa enzim pH 1,2
Dilarutkan 2 g NACL dan dalam 7 ml HCL (p) dan air secukupnya hingga 1000 ml (Depkes
RI,1979).
2.4.2 Uji Disolusi Sulfadiazin (tablet)
0
Diatur suhu medium 37 ± 0,5 C,masukkan 900 ml medium kedalam tabung
disolusi.dimasukkan sediaan pada tabung disolusi dan dihidupkan alat dengan kecepatan 100rpm.pada
menit ke 5,10,20,30,45,60,75 diambil 5 ml aliquot dengan menggunakan spuit .setia pengambilan
aliquot,ditambah kembali 5 ml medium kedalam tabung disolusi sehingga volume medium tetap 900
ml.diukur absorbansinya dengan spektofotometer uv panjang gelombang …nm.
Syarat
Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi,persyaratan dipenuhi bila jumlah
zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan tabel penerimaan.lanjutkan pengujian
memenuhi tahap S1 atau S2.harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut seperti yang yertera dalam
masing- masing monografi,dinyatakan dalam presentase kadar pada etiket,angka 5 % dan 15 % dalam
tabel adalah presentase kadar pada etiket ,dengan demikian mempunyai arti yang sama dengan
Q.Farmakope Indonesia Ed,IV, 1995).
Tahap Jumlah yang di uji Kriteria Penerimaan

S1 6 Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5 %

S2 6 Rata-rata dari 12 unit (S1 + S2) adalah sama dengan atau libih besar dari Q
dan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q- 15 %

S3 12 Rata- rata dari 24 unit (S1+S2+S3) adalah sama dengan atau lebih besar
dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q- 15% dan
tidak satu unitpun yang lebih kecil dari Q-25%.

2.5 Data Hasil Percobaan


Tabel 2.5.1. Data Hasil Disolusi Sulfadiazin Tablet
No Waktu (menit) Absorbansi Konsentrasi (ppm)

1 5

2 10

3 20

6
4 30

5 45

6 60

7 75

Tabel 2.5.2 Data disolusi


No t A C FP CxFP( CxFp Faktor C obat %
(menit) (ppm) ppm) dlm 900 Pe (+) dilepas kumulatif
ml
(ppm)

1 50

2 10

3 20

4 30

5 45

6 60

7 75

Medan, 2016

Asisten Praktikan

DAFTAR PUSTAKA
Anief,M.(1994).Farmasetika.Yokyakarta:Gajah Mada University Press.
Ansel,H.C.(1989). Pengantar bentuk sediaan farmasi.Edisi 4.Jakarta:UI Press.
Depkes R.I (1979).Farmakope Indonesia .Edisi ketiga.Jakarta:Dapartemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Depkes R.I (1995).Farmakope Indonesia .Edisi keempat.Jakarta:Dapartemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Syukri,Y.(2002).Biofarmasetika.Yokyakarta: UI Press.

7
PERCOBAAN III
UJI IN VITRO ( DISOLUSI KAPSUL)
3.1 Tujuan
Untuk mengetahui laju disolusi kapsul sulfadiazine.
3.2 Landasan Teori
Kapsul adalah bentuk sediaan obat terbungkus cangkang kapsul keras atau
lunakcangkang kapsul terbuat dari gelatin dengan atau tanpa zat tambahan lain.cangkang dapat pula
dibuat dari Metil selulosa atau bahan lain yang cocok (Anief ,1994).
Disolusi didefenisikan sebagai proses suatu zat padatmasuk ke dalam pelarut menghasilkan
suatu larutan.secara sederhana ,disolusi adalah proses zat padat melarut.secara prinsip ,proses ini

8
dikendalikan oleh afinitas antar zat padat dan pelarut.dalam penentuan kecepatan disolusi dari bentuk
sediaan padat terlibat berbagai macanm proses disolusi yang melibatkan zat murni.karakteristik fisik
sediaan ,proses pembasah sediaan,kemampuan penetrasi media disolusi kedalam sediaan ,proses
pengembangan,proses di integrasi dan deagrasi sediaan,merupakan sebagian dari faktor yang
mempengaruhi karakteristik disolusi obat dari sediaan ( Syukuri,2002).uji disolusi obat penting
dilakukan oleh seorang formulator dalam merancang suatu sediaan obat agar laju pelepasan obat
tersebut dapet diketahui karena laju pelepasan dappat berhubungan langsung dengan kemanjuran
suatu obat ( Lachman,1994).
Agar suatu obat diabsorbsi ,miula-mula obat tersebut harus larut dalam cairan pada tempat
absorbsi.sebagi contoh dalam suatu sediaan yang diberikan secara orar dalam bentuk tablet atau
kapsul tidak dapt diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam
saluran lambung-usus .kelarutan suatu oabat tergantung dari apakah medium basa atau medium asam
obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam asus halus.( Ansel,1989).
Faktor yang harus diperhatikan dalam uji disolusi yaitu ukuran dan bentuk sediaan yang akan
mempengaruhi laju dan tingkat kelarutan ,selain tu sifat media pelarutan juga akan mempengaruhi
laju dan tingkat kelarutan.beberapa kegunaan uji disolusi antara lain menjamin keseragaman satu
batch ,menjamin bahwa obat akanmemberikan efek terapi yang diinginkan (Depkes RI,1995).

3.3. Alat dan Bahan


3.3.1 Alat
Dissoliution tester ,spektrofotometer uv ,spuit 5 mi, maat pipet 5 ml,termometer,tissue
lensa ,alat –alat gelas ,bola kaet.

3.3.2 Bahan
Sulfadiazin (kapsul) ,cairan lambung buatan pH 1,2

3.4 Cara Kerja


3.4.1 Pembuatan Medium Lambung buatan tanpa enzim pH 1,2
Dilarutkan 2 g NACL dan3,2 g pepsin dalam 7 ml HCL (p) dan air secukupnya hingga 1000
ml (Depkes RI,1979).
3.4.2 Uji Disolusi Sulfadiazin (tablet)
0
Diatur suhu medium 37 ± 0,5 C,masukkan 900 ml medium kedalam tabung
disolusi.dimasukkan sediaan pada tabung disolusi dan dihidupkan alat dengan kecepatan 100
rpm.pada menit ke 5,10,20,30,45,60,75 diambil 5 ml aliquot dengan menggunakan spuit .setiap
pengambilan aliquot,ditambah kembali 5 ml medium kedalam tabung disolusi sehingga volume
medium tetap 900 ml.diukur absorbansinya dengan spektofotometer uv panjang gelombang …nm.

Syarat

9
Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi,persyaratan dipenuhi bila jumlah
zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan tabel penerimaan.lanjutkan pengujian
memenuhi tahap S1 atau S2.harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut seperti yang yertera dalam
masing- masing monografi,dinyatakan dalam presentase kadar pada etiket,angka 5 % dan 15 % dalam
tabel adalah presentase kadar pada etiket ,dengan demikian mempunyai arti yang sama dengan
Q.Farmakope Indonesia Ed,IV, 1995).

3.5 Data Hasil Percobaan


Tabel 3.5.1. Data Hasil Disolusi Sulfadiazin Tablet
No Waktu (menit) Absorbansi Konsentrasi (ppm)

1 5

2 10

3 20

4 30

5 45

6 60

7 75

Tabel 3.5.2 Data disolusi


No t A C FP CxFP( CxFp Faktor C obat %
(menit) (ppm) ppm) dlm Pe (+) dilepas kumulatif
900 ml
(ppm)

1 50

2 10

3 20

4 30

5 45

6 60

7 75

Medan, 2016
Asisten Praktikan

10
Daftar Pustaka
Anief,M.(1994).Farmasetika.Yokyakarta:Gajah Mada University Press.
Ansel,H.C.(1989). Pengantar bentuk sediaan farmasi.Edisi 4.Jakarta:UI Press.
Depkes R.I (1979).Farmakope Indonesia .Edisi ketiga.Jakarta:Dapartemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Depkes R.I (1995).Farmakope Indonesia .Edisi keempat.Jakarta:Dapartemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Lachman,(1994).Teori dan Praktek Farmasi Industri.Edisi III.Jilid 2.Jakarta : UI Press
Syukri,Y.(2002).Biofarmasetika.Yokyakarta: UI Press.

11
PERCOBAAN IV
UJI IN VITRO ( DISOLUSI TABLET SUSTAINED RELESE)

4.1 Tujuan
Untuk mengetahui laju disolusi tablet sulfadiazine sustained release (SR)
4.2 Landasan Teori
Sediaan lepas lambat merupakan bentuk sediaan yang dirancang untuk melepaskan obatnya
kedalam tubuh secara perlahan-lahan atau bertahap supaya pelepasannya lebih lama dan
memperpanjang aksi obat (Ansel,1989).
Kebanyakan bentuk lepas lambat (sustained release) dirancang supaya pemakayan satu unit
dosis tunggal manyajikan pelepasan sejumlah obat segera setelah pemakaian,secara tepat
menghasilkan efek terapeutik yang diinginkan secara berangsur-angsur dan terus-menerus melepaskan
sejumlah obat lainnya selama periode waktu yang diperpanjang biasannya 8 sampai 12 jam
(Ansel,1989).tujuan utama dari sediaan lepas lambat adalah untuk mempertahankan kadar terapeutik
obat dalam darah atau jaringan selama waktu yang diperpanjang.keunggulan bentuk sediaan ini
menghasilkan kadar obat dalam darah yang merata tanpa perlu mengulangi pemberitahuan unit dosis.

12
Disolusi didefenisikan sebagai proses suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan
suatu larutan.secara sederhana ,disolusi adalah proses zat padat melarut.secara prinsip,proses ini
dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dan pelarut.dalam penentuan kecepatan disolusi dari bentuk
sediaan padat terlibat berbagai macam proses disolusi yang melibatkan zat murni.karakteristik fisik
sediaan,proses pembasah sediaan,kemampuan penetrasi media disolusi kedalam sediaan ,proses
engembangan ,proses disentegrasi dan degradasi sediaan,merupakan sebagian dari faktor yang
mempengaruhi karakteristik disolusi obat dari sediaan (Syukri,2002).
Agar suatu obat diabsorpsi ,mula-mula obat tersebut harus tersebut harus larut dalam cairan
pada tempat absorpsi.sebagai contoh suatu sediaan yang diberikan secara oral dalam bentuk tablet
atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat
dalam saluran lambung –usus.kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium basa atau medium
asam ,obat tersebut akan dilarutkan obat disebut disolusi (Ansel,1989)
Faktor yang harus diperhatikan dalam uji disolusi yaitu ukuran dan bentuk sediaan yang akan
mempengaruhi laju dan tingkat kelarutan,selain itu sifat media pelarutan juga akan mempengaruhi
laju kelarutan.beberapa kegunaan uji disousi anara lain menjamin keseragaman satu batch,menjamin
bahwa obat akan memberikan efek terapi yang diinginkan (Depkes RI,1995).
4.3. Alat dan Bahan
4.3.1 Alat
Dissoliution tester ,spektrofotometer uv ,spuit 5 mi, maat pipet 5 ml,termometer,tissue
lensa ,alat –alat gelas ,bola kaet.
4.3.2 Bahan
Sulfadiazin (tablet SR) ,cairan lambung buatan pH 1,2
4.4 Cara Kerja
4.4.1 Pembuatan Medium Lambung buatan tanpa enzim pH 1,2
Dilarutkan 2 g NACL dan3,2 g pepsin dalam 7 ml HCL (p) dan air secukupnya hingga 1000
ml (Depkes RI,1979).
4.4.2 Uji Disolusi Sulfadiazin (tablet SR)
Diatur suhu medium 37 ± 0,5 0C,masukkan 900 ml medium kedalam tabung
disolusi.dimasukkan sediaan pada tabung disolusi dan dihidupkan alat dengan kecepatan 100
rpm.pada menit ke 5,10,20,30,45,60,75 diambil 5 ml aliquot dengan menggunakan spuit .setiap
pengambilan aliquot,ditambah kembali 5 ml medium kedalam tabung disolusi sehingga volume
medium tetap 900 ml.diencerkan dengan medium disolusi hingga 25 ml.ukur absorbansinya dengan
spektofotometer uv panjang gelombang …nm.
Syarat
Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi,persyaratan dipenuhi bila jumlah
zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan tabel penerimaan.lanjutkan pengujian
memenuhi tahap S1 atau S2.harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut seperti yang yertera dalam
masing- masing monografi,dinyatakan dalam presentase kadar pada etiket,angka 5 % dan 15 % dalam

13
tabel adalah presentase kadar pada etiket ,dengan demikian mempunyai arti yang sama dengan
Q.Farmakope Indonesia Ed,IV, 1995).

4.5 Data Hasil Percobaan


Tabel 4.1. Data Hasil Disolusi Sulfadiazin Tablet
No Waktu (menit) Absorbansi Konsentrasi (ppm)

1 5

2 10

3 20

4 30

5 45

6 60

7 75

Tabel 4.2 Data disolusi


No t A C FP CxFP( CxFp Faktor C obat %
(menit) (ppm) ppm) dlm Pe (+) dilepas kumulatif
900 ml
(ppm)

1 50

2 10

3 20

4 30

5 45

6 60

7 75

Medan, 2016
Asisten Praktikan

14
Daftar Pustaka
Ansel,H.C.,(1989).pengantar bentuk sediaan farmasi.Edisi 4.Jakarta:UI Press
Depkes R.I (1979).Farmakope Indonesia .Edisi ketiga.Jakarta:Dapartemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Depkes R.I (1979).Farmakope Indonesia .Edisi keempat.Jakarta:Dapartemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Syukri,Y.(2002).Biofarmasetika.Yokyakarta: UI Press.

15
PERCOBAAN V
EVALUASI
( PENGARUH BENTUK SEDIAAN OBAT TERHADAP LAJU DISOLUSI)

5.1 Tujuan
Untuk membandingkan laju disolusi dari beberapa bentuk sediaan obat
5.2 Landasan teori
Disolusi didefenisikan proses suatu zat padat masuk kedalam pelarut menghasilkan suatu
larutan (proses zat padat melarut).disolusi (pelepasan obat dari bentuk sediaan )
merupakan hal yang sangat penting untuk semua sediaan,baik yang dibuat secara
konvensional ,bentuk sediaan padat per oral konvensional ,bentuk sediaan padat per oral
pada umumnya ,maupun bentuk sediaan dengan pelepasan dimodifikasikan,dan dapat
menjadi tahap pembatas laju untuk absorpsi obat yang diberikan secara oral.
Formulasi ssedian berkaitan dengan bentuk sedian ,bahan pembantu dan cara
pengolahan .pengaruh bentuk sediaan pada laju disolusi tergantung pada kecepatan
pelepasan bahn aktif yang tergantung pada kecepatan pelepasan bahan aktif yang
tergantung di dalamnya.secara umum laju disolusi akan menurun menurut urutan sebagi
berikut : suspensi,kapsul,tablet,dan tablet salut.secara teoritis bermacam sediaan padat
yang yang tidak selalu urutan dan masalahnya sama,karena diantara masing-masing
bentuk sediaan padat tersebut akan ada perbedaan baik ditinjau dari segi teori maupun
peralatan ui disolusi ,seperti pada sediaan berbentuk serbuk,kabsul,tablet-
kaplet,suppositoria,suspensi,topikal dan transdermal.penggunaan bahan pembantu sebagai
bahan pengisi,pengikat,penghancur,dan pelicin dalam proses formulasi mungkin akan

16
menghambat atau mempercepat laju disolusi tergantung pada bahan pembantu yang
dipakai.cara pengolahan dari bahan baku ,bahan pembantu dan prosedur yang
dilaksanakan dalam formulasi sediaan padat peroral juga akan berpengaruh pada laju
disolusi.perubahan lama waktu pengadukan pada granulasi basah dapat menghasilkan
granul-granul besar,keras dan padat sehingga pada proses pencetakan dihasilkan tablet
dengan waktu hancur dan disolusi yang lama.faktor formulasi yang dapat mempengaruhi
laju disolusi diantarannya kecepatan disentegrasi ,interaksi obat dengan
eksipien,kekerasan dan porositas (Syukri,2002).

5.3 Prosedur Kerja


5.3.1 Menentukan nilai % kumulatif masing-masing bentuk sediaan sulfadiazin (Tablet,
kapsul dan tablet sustaine release) kedalam tabel 5.1, 5.2 dan 5.3
5.3.2 Memplot kedalam grafik nilai % kumulatif versus waktu dan membandingkannya
dengan bentuk sediaan yang berbeda.
5.4 Data Hasil Percobaan
Tabel 5.1 Dasolusi Tablet
No t A C FP CxFP( CxFp Faktor C obat %
(menit) (ppm) ppm) dlm Pe (+) dilepas kumulatif
900 ml
(ppm)

1 50

2 10

3 20

4 30

5 45

6 60

7 75

Tabel 5.2 Data disolusi Kapsul


No t A C FP CxFP( CxFp Faktor C obat %
(menit) (ppm) ppm) dlm Pe (+) dilepas kumulatif
900 ml
(ppm)

17
1 50

2 10

3 20

4 30

5 45

6 60

7 75

Tabel 5.3 Data disolusi Sustained Release (SR)


No t A C FP CxFP( CxFp Faktor C obat %
(menit) (ppm) ppm) dlm Pe (+) dilepas kumulatif
900 ml
(ppm)

1 50

2 10

3 20

4 30

5 45

6 60

7 75

Grafik 5.1 Disolusi sediaan Tablet,Kapsul dan Sustained Release (SR)

18
Medan, 2016

Asisten Praktikan

Daftar Pustaka
Depkes R.I (1979).Farmakope Indonesia .Edisi ketiga.Jakarta:Dapartemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Depkes R.I (1979).Farmakope Indonesia .Edisi keempat.Jakarta:Dapartemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Syukri,Y.(2002).Biofarmasetika.Yokyakarta: UI Press.

19
PERCOBAAN VI
PEMBUATAN KURVA KALIBRASI FUROSEMIDA
6.1 Tujuan
- Untuk mengetahui panjang gelombang furosemida
- Untuk mengetahui persamaan regresi
6.2 Landasan Teori
Spektrofotometri serap adalah pengukuran serapan radiasi elektromagnetikpanjang
gelombang tertentu yang sempit ,mendekati monokromatik yang diserap zat .specra UV-Vis dapat
digunakan untuk informasi kualitatif sekaligus dapat digunakan untuk analisis kuantitatif.dalam aspek
kuantitatif ,suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan (larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi
yang ditentukan diukur besarnya .radiasi yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan
membandingkan intensitas sinar yang diteruskan dengan intensitas sinar yang serap jika tidak ada
spesies penyerap lainnya (Rohman,2009).
Furosemida mempunyai nama kimia asam 4-kloro-N-Furfuril-5-sulfanoilantranilat dan nama
IUPAC 5- (aminosulfonyl)-4-chloro-2-[(2-Furanymethyl)amino] benzid acid.Furosemid mempunyai
kelarutan yang praktis tidak larut dalam air,mudah larut dalam aseton dan larutan alkali hidroksida
,larut dalam metanol,agak sukar larut dalam etanol,sukar larut dalam eter,sangat sukar larut dalam
kloroform (Depkes RI,1995).
6.3 Alat dan Bahan
6.3.1 Alat
Neraca analitik ,labu tentukur 10 ml,labu tentukur 100 ml,labu tentukur 1000 ml,gelas ukur
10 ml,gelas ukur 1000 ml,beaker gelas 1000 ml,batang pengaduk ,pipet volum 5 ml,pipet volum 10
ml,pH universal,bola karet.
6.3.2 Bahan
Furosemid serbuk,aquadest,NaOH, Kalium dihidrogen fosfat.
6.4 Prosedur

20
6.4.1 Pembuatan pereaksi
- Aquadest bebas CO2
Didihkan aquadest kuat-kuat dalam beaker gelas selama 15 menit atau lebih dan
diamkan sampai dingin dan tidak boleh menyerap CO2 dari udara (Depkes RI,1979)
- NAOH 0,2 N
Dilarutkan 8,001 g NaOH dalam aquadest bebas CO2 hingga 1000 ml (Depkes
RI,1979)

- Medium dapar fosfat pH 7.4


Campurkan 50 ml Kalium dihidrogen fosfatat 0,1 M dengan 39,1 ml NaOH 0,2 N dan
diencerkan denganaquadest bebas CO2 hingga 200 ml (Depkes RI,1979)
6.4.2 Pengukuran kurva absorpsi dan kurva kalibrasi furosemida
a. penentuan konsentrasi kerja pembuatan kurva absorbsi dan kurva kalibrasi furosemida dalam
meduim dapar fosfat pH 7,4 (absorbansinya 0,2 – 0,6 )
Dalam suasana Asam :
ϒ = 235 nm (A11 = 1333 a)
ϒ = 274 nm (A11 = 600 a)
Dalam suasan Alkali:
ϒ = 271 nm ( A11 = 5870a) , (USP)
 Konsentrasi terendah : A = 0,2
A= abc
C = 0,2 /580.1 =3,4 mcg/ml
 Konsentrasi tengah : A = 0,4343
C = 0,4343/580.1 =7,4 mcg/ml
 Konsentrasi tengah : A = 0.6
C = 0,6/580.1 =10,3 mcg/ml

b.pembuatan kurva absorbsi dan kurva kalibrasi furosemida dalam medium dafar fosfat ph 74
Timbang seksama 50 mg furosemida yang dikeringkan pada suhu 104 c selama 3 jam,
larutkan dalam medium dan encerkan sampai 100 ml ( C = 500 mcg/ ml). Pipet 2 ml LIB 1 encerkan
sampai 100 ml ( C= 10 ppm) kemudian pipet 4,5,6,7,8,9,10 ml dari larutan LIB 2 (C =10 ppm)
encerkan sampai 10 ml hingga diperoleh konsentrasi 4,5,6,7,8,9, dan 10 mcg/ml.ukur absorbansinya
dengan spektrofotometer uv dengan panjang gelombang …….nm.
6.5 Data Hasil Percabaan
Tabel 6.1 Data kurva absorbsi furosemida dalam medium Dapar Fosfat pH 7,4
No Panjang Gelombang (nm) Absorbansi

21
2

Tabel 6.2 Data kurva kalibrasi furosemida dalam medium Dapar Fosfat pH 7,4
No Konsentrasi (ppm) Absorbansi

1 4

2 5

3 6

4 7

5 8

6 9

7 10

r=
Medan, 2013
Asisten Praktikan

22
Daftar Pustaka
Depkes R.I (1979).Farmakope Indonesia .Edisi ketiga.Jakarta:Dapartemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Depkes R.I (1979).Farmakope Indonesia .Edisi keempat.Jakarta:Dapartemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Rohman,A.dan Gandjar,I.G.(2007).Kimia Farmasi Analisis.Yogyakarta:Pustaka pelajar.

23
PERCOBAAN VII
UJI DISOLUSI FUROSEMID GENERIK DAN MEREK DAGANG
7.1 Tujuan khusus
Untuk membandingkan laju disolusi furosemida generik dan furosemida merek dagang.
7.2 Landasan teori
Obat Generik menurut Permenkes No.089/Menkes/Per/1/1989 adalah obat dengan nama resmi
yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya ,produk obat
generiknya disebut Obat Generik Berlogo (OGB), yaitu obat jadi dengan nama generik yang
diedarkan dengan mencantumkan logo khnusus pada penandaanya .obat generik ada dua macam yaitu
obat generik tanpa merek dagang dan obat generik dengan merek dagang.obat generik bermerek atau
bernama dagang merupakan obat generik dengan nama dangang yang menggunakan nama milik
produsen obat yang bersangkutan .obat bermerek dagang (branded medicines) adalah nama sediaan
obat yang diberikan oleh pabriknya dan terdaftar di kementrian kesehatan maupun Badan Pengawasan
Obat suatu negara,disebut juga sebagai merek terdaftar.satu nama generik dapat diproduksi berbagai
macam sediaan obat dengan nama dagang berlainan.
Suatu produk obat dapat berbeda dari produk pabrik lain dalam hal bahan
baku,komposisi/formula,serta fabrikasinya .perbedaan tersebut dapat menyebabkan perbedaan
pelepasan bahan obat dari sediaan yang akan akhirnya akan berpengaruh pada efikasi /kemanjuran
produk tersebut.
Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan ,bahan tambahan dan cara
pengolahan.pengaruh bentuk sediaan terhadap laju disolusi tergantung kecepatan pelepasan bahan
aktif yang tergantung didalamnya.penggunaan bahan tambahan sebagai bahan
pengisi,pengikat,penghancur,dan pelicin dalam proses formulasi dapat menghambat atau
mempercepat laju disolusi tergantung bahan tambahan yang digunakan.cara pengolahan bahan
baku,bahan tambahan dan prosedur yangdilakukan dalam formulasi sediaan padat peroral juga
berpengaruh terhadap laju dosolusi.waku pengadukan lama pada granulasi basah dapat menghasilkan
granul-granul besar ,keras dan padat sehingga pada proses pencetakan dihasilkan tablet dengan waktu
hancur dan disolusi yang lama.faktor formulasiyang mempengaruhi laju disolusi diantaranya :
kecepatan disintegrasi ,interaksi obat dengan eksipien (bahan tambahan) dan kekerasan.

24
7.3. Alat dan Bahan
7.3.1 Alat
Dissoliution tester ,spektrofotometer uv ,spuit 5 mi, maat pipet 5 ml,termometer,tissue
lensa ,alat –alat gelas ,bola kaet.
7.3.2 Bahan
Forosemid ( Generik), furosemid (Merek dagang),dapar phosfat pH 7,4
7.4 Cara Kerja
7.4.1 Pembuatan pereaksi
- Aquadest bebas CO2
Didihkan aquadest kuat-kuat dalam beaker gelas selama 15 menit atau lebih dan
diamkan sampai dingin dan tidak boleh menyerap CO2 dari udara (Depkes RI,1979)
- NAOH 0,2 N
Dilarutkan 8,001 g NaOH dalam aquadest bebas CO2 hingga 1000 ml (Depkes
RI,1979)
- Medium dapar fosfat pH 7.4
Campurkan 50 ml Kalium dihidrogen fosfatat 0,1 M dengan 39,1 ml NaOH 0,2 N dan
diencerkan denganaquadest bebas CO2 hingga 200 ml (Depkes RI,1979).
7.4.2 Uji disolusi furosemida (paten,generik)
Diatur suhu medium 37±0,50C,masukkan 900 ml medium kedalam tabung
disolusi.dimasukkan sediaan pada tabung disolusi dan dihiduokan alat dengan kecepatan 50 rpm.pada
menit ke 5,10,20,30,45,60,75 diambil 75 aliquot dengan menggunakan spuit.setiap pengambilan
aliquot,ditambahkan kembali 5 ml medium kedalam tabung disolusi hingga 25 ml.ukur absorbansinya
dengan spektrofotometer uv pada panjang gelombang ….nm
Syarat:
Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi,persyaratan dipenuhi bila jumlah
zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan tabel penerimaan.lanjutkan pengujian
memenuhi tahap S1 atau S2.harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut seperti yang yertera dalam
masing- masing monografi,dinyatakan dalam presentase kadar pada etiket,angka 5 % dan 15 % dalam
tabel adalah presentase kadar pada etiket ,dengan demikian mempunyai arti yang sama dengan
Q.Farmakope Indonesia Ed,IV, 1995).

7.5 Data Hasil Percobaan


Tabel 7.1. Data Hasil Disolusi furosemida Generik
No Waktu (menit) Absorbansi Konsentrasi (ppm)

1 5

25
2 10

3 20

4 30

5 45

6 60

7 75

Tabel 7.2. Data Hasil Disolusi lasik


No Waktu (menit) Absorbansi Konsentrasi (ppm)

1 5

2 10

3 20

4 30

5 45

6 60

7 75

Tabel 7.3. Data Hasil Disolusi Farsik


No Waktu (menit) Absorbansi Konsentrasi (ppm)

1 5

2 10

3 20

4 30

5 45

6 60

7 75

Tabel 7.4. Data Hasil Disolusi Generik

26
No t A C FP CxFP( CxFp Faktor C obat %
(menit) (ppm) ppm) dlm Pe (+) dilepas kumulatif
900 ml
(ppm)

1 50

2 10

3 20

4 30

5 45

6 60

7 75

Tabel 7.5 Data Disolusi Farsik


No t A C FP CxFP( CxFp Faktor C obat %
(menit) (ppm) ppm) dlm Pe (+) dilepas kumulatif
900 ml
(ppm)

1 50

2 10

3 20

4 30

5 45

6 60

7 75

27
Tabel 7.6 Data Disolusi Sustained Lasik
No t A C FP CxFP( CxFp Faktor C obat %
(menit) (ppm) ppm) dlm Pe (+) dilepas kumulatif
900 ml
(ppm)

1 50

2 10

3 20

4 30

5 45

6 60

7 75

Medan, 2016

Asisten Praktikan

28
Daftar Pustaka
Depkes R.I (1979).Farmakope Indonesia .Edisi ketiga.Jakarta:Dapartemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Depkes R.I (1979).Farmakope Indonesia .Edisi keempat.Jakarta:Dapartemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Rohman,A.dan Gandjar,I.G.(2007).Kimia Farmasi Analisis.Yogyakarta:Pustaka pelajar.

29
BAB VIII
UJI IN VIVO SEDIAAN SULFADIAZIN SECARA INTRAVENA

8.1 Tujuan
Untuk menentukan profil konsentrasi obat dalam plasma kelinci sediaan sulfadiazine yang
diberikan secara IV.
8.2 Landasan teori
Laju disolusi bahan obat dapat mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang
diabsorbsi.untuk bahan obat yang muadah larut dalam air ,disolusi cenderung lebih cepat ,namun
kemampuan obat untuk menembus membran sel tidak cepat.dan sebagai tahap penentu adalah
absorpsi melalui membran pencernaan.untuk obat yang tidak larut dalam air,mudah larut dalam lemak
maka obat tersebut lebih mudah menembus membran sel,kecepatan absorpsinya dibatasi oleh
kecepatan disolusi dari obat yang tidak larut dari sediaan.
Pemberiaan dengan cara intravena yang paling cepat responya karena tidak mengalami tahap
absorbsinya ,maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat,tepat,dan dapat disesuaikan
langsung dengan respon penderita.kerugiannya efek toksik mudah terjadi karena kadar obat yang
tinggi segera mencapai darah dan jaringan,disamping itu obat yang disuntikkan secara intravena tidak
dapat ditarik kembali.obat dalam larutan minyak yang mengendadap konstituen darah dan
menyebabkan hemolisis tidak boleh diberikan dengan ara intravena.
8.3 Alat dab bahan
8.3.1 Alat
Spektroafotometer UV,sentrifuse,vortex,animal box,penyangga mulut kelinci,spuit 3
ml dan 5 ml,tabung sentrifuse,maat pipet,pisau cukur,alat-alat gelas.
8.3.2 Bahan
Sulfadiazin (injeksi),10%,heparin,alkohol 70 %,dan vaselin.asam trikloro aseti (TCA)
10 %,natrium nitrit 0,5 %, dan reagen Bratton dan Marshall.
8.4 Cara Kerja
8.4.1 Hewan Percobaan
Kelinci jantan dengan berat 1,5- 2 kg.
8.4.2 Pemberian Secara Intravena
Kelinci tidak perlu dipuasakan .sebelum percobaan ,timbang kelinci,cukur bulu telinga hingga
bersih menggunakan pisau cukur.ambil sebanyak 0,5 ml darah dari vena marginal kelinci dengan
menggunakan spuit yang terawat heparin.masukkan kedalam tabung centrifbuse yang berisi 2 ml TCA
10 %.selanjutnya dilakukan analisis penetapan sulfadiazin di dalam darah (sebagai blanko). Berikan
sediaan secara iv pada pena marginal telinga kelinci menggunakan spuit. Ambil 1 ml darah dari vena
marginal telinga yang berbeda dengan tempat memberikan suntikan obat. Pada menit ke
5,10,20,30,45,60, dan 75.
8.4.4 Analisis Penetapan Sulfadiazin di dalam darah

30
Metode yang digunakan adalah berdasarkan metode yang telah dilaporkan oleh Bratton dan
Marshall (1939). 0,5 ml sampel darah dimsukkan kedalam tabung reaksi yang berisi 2 ml larutan asam
trikloro asetik (TCA) 10 %. Campuran diemparkan dengan alat pengempar Vorteks dengan kecepatan
2000 rpm selama 10 menit. 0,3 ml cairan supernatan yang jernih diambil dan dimasukkan kedalam
tabung reaksi dan tambahkan 1 tetes larutan natrium nitrit 0,5 % ditambahkan dan homogenkan dan
biarkan selama 3 menit. 1,0 ml larutan amonium sulfat 0,5 % ditambahkan dan homogenkan, biarkan
selama 2 menit. 2 ml larutan reagen Bratton dan Marshall, ditambahkan dan homogenkan kemudian
larutan diukur penyerapan nya dengan menggunakan spektrofotometri visibel pada panjang
gelombang 540 nm. Sampel darah yang lain digunakan sebagai blanko.

8.5 Data Hasil Percobaan


Tabel 8.1 Data Hasil Plasma Sulfadiazin IV
No Waktu (Menit) Absorbansi Konsentrasi

1 5

2 10

3 20

4 30

5 45

6 60

7 75

BAB IX
UJI IN VIVO SEDIAAN SULFADIAZIN SECARA ORAL

9.1 Tujuan

31
Untuk menentukan profil konsentrasi dalam plasma sediaan sulfadiazine yang diberikan
secara oral.
9.2 Landasan Teori
Pemberian obat melalui sarulan cerna yang dapat menghindari obat dari first pass metabolism
adalah secara sublingual dan peraktal (rectum).setelah diabsorbsi melewati mukosa rectum maka obat
dibawa oleh aliran darah vena hemorhoidalis inferior langsungg masuk kedalam vena cava interior
tanpa melalui vena porta .
Studi bioavailabilitas in vivo juga dilakukan terhadap formula-formula baru dari bahan obat
aktif yang telah mandapat persetujuan FDA dan disetujui untuk dipasarkan.maksud studi ini adalah
untuk menentukan bioavailabilitas dan karakterisasi farmakokinetik formulasi ,bentuk sediaan,garam
atau ester baru terhadap suatu formula pembanding.setelah bioavailabilitas dan parameter –parameter
farmakokinetik dari bahan obat aktif diketahui,aturan dosis dapat diajukan untuk mendukung
pemberian label obat.
9.3 Alat dan Bahan
9.3.1 8.3.1 Alat
Spektroafotometer UV,sentrifuse,vortex,animal box,penyangga mulut kelinci,spuit 3 ml dan 5
ml,tabung sentrifuse,maat pipet,pisau cukur,alat-alat gelas.
9.3.2 Bahan
Sulfadiazin (Tablet ,kapsul,SR),10%,heparin,alkohol 70 %,dan vaselin.asam trikloro aseti
(TCA) 10 %,natrium nitrit 0,5 %, dan reagen Bratton dan Marshall.
9.4 Cara Kerja
9.4.1 Hewan Percobaan
Kelinci jantan berat 1,5- 2 kg.
9.4.2 Pemberian Secara Oral
Kelinci dipuasakan minimal 8 jam sebelum percobaan,cukur bulu telinga hingga bersih
menggunakan pisau cukur.ambil sebanyak 1ml darah dari vena marginal kelinci dengan menggunakan
spuit yang terawat heparin.masukkan kedalam tabung centrifbuse yang berisi 2 ml TCA 10
%.homogenkan dengan vortex,sentrifuse pada 2000 rpm selama 10 menit.ambil 0,5 ml supernatan
lalu encerkan dengan aquadest hingga 10 ml( percobaan blanko). Berikan sediaan melalui oral dengan
bantuan oral sonde.Ambil 1 ml dari vena marginal pada menit ke 5,10,20,30,45,60, dan 75.

9.4.4 Analisis Penetapan Sulfadiazin di dalam darah


Metode yang digunakan adalah berdasarkan metode yang telah dilaporkan oleh Bratton dan
Marshall (1939). 0,5 ml sampel darah dimsukkan kedalam tabung reaksi yang berisi 2 ml larutan asam
trikloro asetik (TCA) 10 %. Campuran diemparkan dengan alat pengempar Vorteks dengan kecepatan
2000 rpm selama 10 menit. 0,3 ml cairan supernatan yang jernih diambil dan dimasukkan kedalam
tabung reaksi dan tambahkan 1 tetes larutan natrium nitrit 0,5 % ditambahkan dan homogenkan dan

32
biarkan selama 3 menit. 1,0 ml larutan amonium sulfat 0,5 % ditambahkan dan homogenkan, biarkan
selama 2 menit. 2 ml larutan reagen Bratton dan Marshall, ditambahkan dan homogenkan kemudian
larutan diukur penyerapan nya dengan menggunakan spektrofotometri visibel pada panjang
gelombang 540 nm. Sampel darah yang lain digunakan sebagai blanko.
9.5 Data Hasil Percobaan
Tabel 9.1 Data Hasil Plasma Sulfadiazin secara oral
No Waktu (Menit) Absorbansi Konsentrasi

1 5

2 10

3 20

4 30

5 45

6 60

7 75

Medan, 2016

Asisten Praktikan

BAB X
UJI VIVO SEDIAAN SULFADIAZIN SECARA INTRAMUSCULAR
10.1 TUJUAN
Untuk menetukan profil konsetrasi obat dalam plasma sediaan sulfadiazine yang
diberikan secara IM.
10.2 LANDASAN TEORI

33
BA digambarkan sebagai profil pemaparan sistemik (darah) yang didapat dari pengukuran
konsentrasi zat aktif dalam plasma darah sepanjang rentang waktu tertentu, setelah pemberian
produk obat kepada subjek/sukarelawan. Biasanya tidak menyertakan wanita karena terdapatnya
siklus menstruasi yang akan mengakibatkan bervariasinya karakter farmakokinetika. Hal itu
akan mempengaruhi penilaian terhadap luas di bawah kurva (AUC) , perkembangan kadar obat
(zat aktif utuh dan atau metabolitnya).
Dipandang dari sudut farmakokinetika, studi BA dapat menyediakan informasi tambahan
yang berguna yaitu proses metabolisme, trasportasi, distribusi, dan eliminasi zat aktif,
kesesuaian dosis, efek makan terhadap absorpsi/ penyerapan zat aktif, dan sebagainya.
10.3 ALAT DAN BAHAN
10.3.1 ALAT
Spektrofotometer UV, sentrifius , Vortex, animal box, penyangga mulut kelinci ,
spuit 3 ml dan 5 ml, tabung setrifius , maat pipet, pisau cukur, alat-alat gelas.
10.3.2 Bahan
Sulfadiazin (injeksi), 10 %, heparin, alkohol 70 %, vaselin, asam trikloro asetik
(TCA) 10 %, natrium nitrit 0,5 %, dan reagen bratton dan marshal.
10.4 CARA KERJA
11.3.1 Hewan percobaan
Kelinci jantan dengan berat 1,5- 2 kg
11.3.2 Pemberian Secara Intramuskular
Kelinci dipuaskan minimal 8 jam percobaan, timbang kelinci, cukur bulu telinga
hingga bersih menggunakan pisau cukur. ambil sebanyak 1 ml darah dari vena marginal
dengan menggunakan spuit yang terawat heparin. Masukkan kedalam tabung sentrifius
yang berisi 2 ml TCA 10 %, homogenkan dengan vortex, sentrifiuse pada 2000 rpm
selama 10 menit. ambil 0,5 ml supernatan lalu encerkan dengan aquadest hingga 10 ml
(percobaan blanko). berikan sediaan secara im pada bagian paha kaki belakang kelinci
dengan menggunakan spuit. Ambil 1 ml darah dari vena marginal pada menit ke,
5,10,20,30,45,60,dan 75..
11.3.3 Analis penetapan sulfadiazin didalam darah
analisis penetapan sulfadiazin di dalam darah seperti yang tertera pada prosedur 8.4.4
(pemberian secara iv)

10.5 DATA HASIL PERCOBAAN


Tabel 10.1 Data Hasil Plasma Sulfadiazin secara oral
No Waktu (menit) Absorbansi Konsentrasi
1 5
2 10
3 20
4 30
5 45
6 60

34
7 75

Medan, 2013
praktikan
Asisten

35
BAB XI
PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERHADAP BIOVAIBILITAS
13.1 Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh rute pemberian terhadap parameter farmakokinetika
menggunakan data konsetrasi obat dalam darah.
13.2 Landasan teori
Profil keberadaan bahan obat di dalam darah sebagai fungsi dari waktu disebut pula
"profil biovabilitas" atau "profil ketersediaan hayati " profil ini menggambarkan interaksi antara
fase ketersediaan zat aktif dan fase disposisinya. selain itu profil tersebut juga mengungkapkan
nasib obat di dalam tubuh yang tidak diketahui sebelumnya. (Aiache, 1982).
Ketersediaan hayati merupakan kecepatan dan jumlah obat yang mencapai sistem
sirkulasi sistemik dan secara keseluruhan menunjukkan kinetic dan perbandingan zat aktif yang
mencapai peredaran darah terhadap jumlah obat yang diberikan. ketersediaan hayati obat yang
diformulasi menjadi sediaan farmasi merupakan bagian dari salah satu tujuan rancangan bentuk
sediaan dan yang terpenting untuk keefektifan obat tersebut. Pengkajian terhadap ketersediaan
hayati ini tergantung pada absorpsi obat kedalam sirkulasi umum serta pengukuran dari obat
yang terabsorpsi tersebut (syukur, 2002)
13.3 Alat dan Bahan
11.4.1 Alat
Spektofotometer UV, setrifuse, vortex, animal box, penyangga mulut kelinci, spuit 3
ml, dan 5 ml, tabung sentrifuse, maat pipet, pisau cukur, alat-alat gela.
11.4.2 Bahan
Sulfadiazin (tablet, kapsul, SR, injeksi), TCA, 10 % Heparin, Alkohol 70% dan
vaselin.
13.4 Prosedur Kerja
13.3.1 Setelah didapatkan data konsentrasi obat pada masing-masing rute pemberian
(percobaan 8,9 dan 10). masing-masing data di plot pad kertas grafik semilog dan
ditentukan paramer-parameter farmakokinetika mengikut contoh penentuan parameter-
parameter farmakokinetika pada lampiran.

13.5 Data Percobaan

Tabel Parameter Farmakokinetika

36
No Parameter Bentuk sediaan Dan Rute Pemberian
Farmakokinetika Tab SD Kapsul SD SR SD IV SD
1 CP0
2 T1/2
3 Ke
4 Ka
5 AUC
6 AUMC
7 VD
8 Tmax
9 Cmax
10 F

Medan, 2016
Asisten
Praktikan

37
BAB XII
EVALUASI BIOKIVALENSI SEDIAAN DI PASARAN
131 Tujuan
Menguji ekivalensi sediaan furosemida yang beredar di pasaran kota Medan.
132 Landasan Teori
Istilah ketersediaan hayati zat aktif suatu obat timbul sejak adanya ketidaksetaraan
terapetik di antara sediaan bermerek dagang yang mengandung zat aktif yang sama dan dibuat
dalam bentuk sediaan farmasetik yang serupa, serta diberikan dengan dosis yang sama. Berbagai
kejadian (zat aktif menjadi tidak aktif atau menjadi toksik) dapat merupakan sebab
ketidaksetaraan tersebut. Dari data kadar zat aktif dalam darah dapat diketahui ketidaksediaan
hayati dan dosis "manfaat" yang merupakan bagian yang diserap dari dosis yang diberikan.

Tujuan penelitian ketidaksediaan hayati suatu obat atau berbagai bentuk sedian farmasi dengan
zat aktif yang sama mempunyai tiga tujuan yaitu :

 Dalam rangka pengembangan obat baru : untuk menentukan cara pemberian dan bentuk
sediaan suatu obat baru
 Setelah keputusan dibuat obat baru : untuk menentukan mutu suatu obat dan pengaturan
kondisi pemakaian obat sebagai fungsi dari keadaan penderita.
 Berkaitan dengan undang-undang : untuk memastikan kesetaraan mutu obat yang
diteliti dengan mutu obat sejenis yang dihasilkan oleh pabrik lain, sehingga
memungkinkan pergantian obat (Aiache, 1982)
133 Alat dan Bahan
12.4.1 Alat
Spektrofotometer UV/Visibel, sentrifuse, vortex, animal box, penyangga mulut
kelinci, spuit 3 ml dan 5 ml, tabung sentrifuse, maat pipet, pisau cukur, alat-alat gelas,
pH meter, stopwatch, poli tube.
12.4.2 Bahan
Furosemida (generik,paten), TCA, Heparin 100UI, Asam Tri Kloro Asetat (TCA) 10
%, Aquadest, alkohol, vaselin danlarutan dapar pospat.
134 Cara kerja
12.4.3 Pembuatan dan Pengukuran Kurva Kalibrasi in vivo Furosemid
Timbang seksama 50 mg Furosemid yang dikeringkan pada suhu 104 0C selsma 3 jam,
larutkan dengan medium dan encerkan sampai 100 ml (C=500 mcg/ml). Pipet 2 ml dari
larutan LIB I (C=500 mcg/ml), encerkan sampai 100 ml (C=10 ppm). Kemudian pipet 4;
5; 6 ; 7 ; 8; 9; dan 10 mcg/ml.Ukur absorbansi dengan spektrofotometer.

Tabel 12.1 Data Pembuatan Kurva Absorpsi Dan Kurva Kalibrasi Invivo
Forosemid

38
No Konsentrasi Absorbansi
(C) ppm
1 0
2 4
3 5
4 6
5 7
6 8
7 9
8 10

12.4.4 Pengukuran plasma (Analis sampel sediaan obat SD dari Cuplikan Darah)
Dipipet 0,5 ml larutan supernatan, tambahkan1 ml NaNO 2 0,5% diaduk lalu
didiamkan 3 menit, ditambahkan 1,5 ml ammonium sulfamat 0,5 % kemudian diaduk.
didiamkan 2,5 ml larutan Bratton Marshal 0,5 % lalu diadkan dengan HCl 0,1 N
kemudian absorbansi diukur dengan spektrofotometer visible (500-580 nm).

Tabel 12.2 Data Hasil Plasma Furosemida Generik


No Waktu (menit) Absorbansi Konsentrasi
1 5
2 10
3 20
4 30
5 45
6 60
7 75

Tabel 12.3 Data Hasil Plasma Lasik


No Waktu (menit) Absorbansi Konsentrasi
1 5
2 10
3 20
4 30
5 45
6 60
7 75

Tabel 12.4 Data hasil plasma Farsik


No Waktu (menit) Absorbansi Konsentrasi
1 5
2 10
3 20
4 30
5 45

39
6 60
7 75

Tabel 12.5 Parameter Farmakokinetika Sediaan Furosemid


No Parameter Bentuk sediaan Dan Rute Pemberian
Farmakokinetika Tab SD Kapsul SD SR SD IV SD
1 CP0
2 T1/2
3 Ke
4 Ka
5 AUC
6 AUMC
7 VD
8 Tmax
9 Cmax
10 F
Medan, 2016
Asisten Praktikan

40
BAB XIII
PENGARUH WAKTU TERHADAP ABSORPSI IBUPROFEN PADA
USUS HALUS KELINCI YANG DIHOMOGENKAN

13.1 Tujuan
Untuk menyelidiki pengaruh waktu terhadap absopsi ibuprofen pada usus halus kelinci yang
dihomogenkan
13.2 Landasan Teori
Absorpsi sistemik suatu obat dari saluran cerna atau tempat ekstravaskuler yang lain
tergantung pada faktor fisiko kimia obat, anatomi dan fisiologi tempat absorpsi (Shargel, 1988)
Ada beberapa cara terjadinya absorpsi dalam menembus membrane. Salah satunya adalah
transport aktif. Transport aktif dapat digambarkan sebagai ketergantungan energy untuk
berpindahnya substansi melewati membrane biologi terhadap suatu gradient elektrokimia
(Genaro, 2001).
Bagian lain dari usus halus juga merupakan tempat terjadinya perlintasan membrane dengan
intensitas besar dari lebuh banyak terjadi difusi pasif. Difusi pasif terutama terjadi pada bagian
pertama usus halus, karena konsentrasi obat-obat yang tinggi dalam liang usus sebelah bawah.
(Aiache, 1993).
13.3 Alat Dan Bahan
13.4.1 Alat
Homogenizer mixer,setrifuge, politube, stopwatch, touch mixer, neraca analitik,
mikropipet, alat-alat gelas, spektrofotometer uv, satu set alat bedah.
13.4.2 Bahan
Ibuprofen baku, aquadest, Natrium dihidrogen fosfat, Dinatrium hydrogen fosfat,
Natrium klorida, Etanol, Kloroform, es batu, usus halus kelinci.
13.4 Cara Kerja
14.4.1 Pembuatan pereaksi
 Pembuatan aquadest bebas CO2
Air murni dididihkan 5 menit atau lebih dan didiamkan sampai dingin dan
tidak boleh menyerap karbondioksida dari udara (Ditjen POM, 1997).
 Pembuatan larutan natrium dihidrogen fosfat 0,8%
Larutkan 0,8 g natrium dihidrogen fosfat dalam aquadest bebas CO2
secukupnnya hingga 100 ml (Ditjen POM,1997)
 Pembuatan larutan dapar fosfat pH 7,4 isotonis
Campur 20,0 ml larutan natrium dihidrogen fosfat 0,8 % dengan 80,0 ml
dinatrium hydrogen fosfat 0,9 % dan ditambahkan dengan 0,44 g/100 ml natrium
klorida (Ditjen POM, 1997).

 Pembuatan larutan natrium klorida fisiologis

41
larutkan 9,0 g natrium klorida dalam air hingga 1000 ml (Ditjen POM, 1997).
14.4.2 Pembuatan usus halus homogen
Hewan percobaan berupa kelinci jantan dipuaskan selama 20-24 jam. Kemudian
kelinci tersebut dianastesi, lalu dilakukan pembedahan pada bgaian perut tetapi jangan
sampai mengenai tulang dada. setelah usus halus dikeluarkan dan dibersihkan bagian
dalamnya dari kotoran dan bagian luar dari jaringan yang mengikat pembuluh darah
halus, dan sebagainya dengan bantuan pinset dan gunting, dan dicuci dengan natrium
klorida fisiologis dingin. Lalu usus halus ditimbang, dipotong kecil-kecil, dimasukkan
kedalam alat homogenizer mixer dan dpitambahkan dapar fosfat pH 7,4 isotonis
sebanyak 5 kali berat usus halus lalu dihomogenkan. Dipipet 50 ml usus halus homogen
dan dimasukkan kedalam politube lalu disimpan pada suhu 0-40c dengan bantuan es.
14.4.3 Pembuatan larutan induk baku I (LIB I) dan LIB II ibuprofen dalam dapar fosfat
pH7,4 isotonis
Timbang seksama 50 mg ibuprofen baku dimasukkan kedalam labu tentukur 50 ml,
dilarutkan dengan dapar fosfat pH 7,4 isotonis lalu ditambahkan dapar fosfat pH 7,4
isotonis sampai garis tanda dan dikocok hingga homogeny, sehingga diperoleh konsetrasi
1000 mcg/ml (LIB I). Dari LIB I dipipet masing-masing0,1 ml; 0,2 ml; 0,4ml; 0,7 ml;
1,0 ml; 2,0 ml; 4,0 ml; 6,0 ml; 8,0 ml dimasukkan kedalam labu tentukur 10 ml,
ditambahkan dapar fosfat pH 7,4 isotonis sampai garis tanda hingga diperoleh
konsentrasi 10 mcg/ml, 20 mcg/ml, 40 mcg/ml, 70 mcg/ml, 100 mcg/ml, 200mcg/ml,
400 mcg/ml, 600 mcg/ml, 800 mcg/ml (LIB II).
14.4.4 Pembuatan larutan ibuprofen dengan konsentrasi 2 mM
Ditimbang seksama 20,628 mg ibuprofen baku,dimasukkan kedalam labu tentukur 50
ml. Dilarutkan dengan dapar fosfat pH 7,4 isotonis lalu dicelupkan sampai garis tanda
hingga diperoleh konsentrasi 2 mM.
14.4.5 Penentuan kurva absorpsi ibuprofen dalam usus halus kelinci yang dihomogenkan
politube yang berisi 50 µl usus halus homogeny disimpan pada temperatur 0-4 0c
dengan bantuan es, kemudian diprainkubasikan selam 3 menit. Lalu dilakukan percobaan
up take dengan cara memasukkan LIB I ibuprofen dengan konsetrasi 1000 mcg/ ml
sebanyak 100µl kedalam politube, dan dihomegenkan dengan bantuan touch mixer
(pencampur sentuh) kemudian diinkubasi selama 3 menit pada temperatur 27 oc. Lalu
ditambahkan etanol sebanyak 4 kali volume sampel, dicampur homogeny dengan
bantuan touch mixer (pencampur sentuh) dan disetrifuse selam 30 detik dengan
kecepatan 3000 rpm. Dipipet supernatan sebanyak 0,5 ml, dimasukkan kedalam labu
tentukur 10 ml dan ditambahkan dengan dapar fosfat pH 7,4 isotonis sampai garis tanda.
Kemudian diukur absorbansinya dengan spektofotometer uv pada panjang gelombang
200-400 nm.
14.4.6 Penentuan kurva kalibrasi ibuprofen dalam usus halus kelinci yang dihomogenkan,
n=3

42
Politube yang berisi µl usus halus homogen disimpan pada temperatur 0-4 0c dengan
bantuan es, kemudian dipraiskubasikan selama 3 menit. Lalu dilakukan percobaan up
take dengan cara memasukkan LIB II Ibuprofen dengan konsentrasi 10 mcg/ml, 20
mcg/ml, 40 mcg/ml, 70 mcg/ml, 100 mcg/ml, 200mcg/ml, 400 mcg/ml, 600 mcg/ml, 800
mcg/ml sebanyak 100 µl kedalam politube, dan dihomogenkan dengan bantuan touch
mixer (pencampuran sentuh) kemudian diinkubasi selama 3 menit pada temperature 27 0c.
laluditambahkan etanol sebanyak 4 kali volume sampel, dicampur homogeny dengan
bantuan touch mixer (pencampur sentuh) dan disetrifuse selama 30 detik dengan
kecepatan 3000 rpm. Dipipet supernatan sebanyak 0,5 ml, dimasukkan kedalam labu
tentukur 10 ml dan ditambahkan dengan dapar fosfat pH 7,4 isotonis sampai garis tanda.
kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer uv pada panjang
gelombang .............. nm
14.4.7 Penentuan absorpsi ibuprofen dalam usus halus kelinci yang dihogenkan
Politube yang beris 50 µl usus halus homogen disimpan pada temperatur 0-4 0c
dengan bantuan es, kemudian diprainkubasikan selama 3 menit. Lalu dilakukan
percobaan up take dengan cara memasukkan larutan ibuprofen dengan konsentrasi 2
mM sebanyak 100 µl kedalam politube, dan dihomogenkan dengan bantuan touch mixer
(pencampur sentuh) kemudian diinkubasi dengan variasi waktu 45 detik, 1 menit, 2
menit, 3 menit, 5 menit, 7 menit, 10 menit, dan 15 menit pada temperature 27 0c . Lalu
ditambahkan etanol sebanyak 4 kali volume sampel, dicampur homogeny dengan
bantuan touch mixer (pencampur sentuh) dan disentrifuse selama 30 detik dengan
kecepatan 3000 rpm. Dipipet supernatan sebanyak 0,5 ml, dimasukkan kedlam labu
tentukur 10 ml dan ditambahkan dengan dapar fosfat pH 7,4 isotonis sampai garis tanda.
Kemudian diukur absorbansinya dengan spektofotometer uv pada panjang
gelombang ............. nm

13.5 Data Hasil Percobaan


Tabel 13.1 Data kurva absobansi ibuprofen dalam larutan dapar fosfat pH 7,4 isotonis
pada suhu 27 0c
No Panjang gelombang Absorbansi
1
2
3

Tabel 13.2 Dta kurva kalibrasi ibuprofen dalam usus halus homogen pH 7,4 isotonis pada
ƛ maksimum pada suhu 270c
No Konsentrasi (ppm) Absorbansi
1 10
2 20
3 30
4 70

43
5 100
6 200
7 400
8 600
9 800

Tabel 13.3 Data absorbansi ibuprofen dalam usus halus kelinci yang dihomogenkan dalam
dapar fosfat pH 7,4 isotonis dengan variasi waktu (n=3) dengan konsentrasi 2 mM
No Waktu absorbansi A rata-rata SD
(menit) A1 A2 A3
1 0,75
2 1
3 2
4 3
5 5
6 7
7 10
8 15

Medan, 2016
Asisten Praktikan

44
BAB XIV
PENGARUH pH TERHADAP ABSORPSI FOROSEMID PADA DUODENUM
TERBALIK (EVERTAD SAC) KELINCI
14.1 Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh perbedaan pH terhadap absorpsi furosemid pada duo
denum terbalik (Evertad sac) kelinci.
14.2 Landasan teori
absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat kedalam
tubuh atau menuju keperedaran darah tubuh setelah melewati sawar biologik (Aiache, et al.,
1993). absorpsi obat adalh peran yang terpenting untuk akhirnya menentukan efektivitas obat
(joenoes, 2002). Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan atau organ, obat
tersebut harus melewati berbagai membran sel. Membran sel mempunyai pori yang bergaris
tengah antara 3,5-4,2 A, merupakan saluran berisi air dan dikelilingi oleh rantai samping
molekul protein yang bersifat polar. Zat terlarut dapat melewati pori ini secara difusi karena
kekuatan tekanan darah (siswandono dan soekardjo, 2000). sebelum obat diabsorpsi terlebih
dahulu obat itu larut dalam cairan biologis. kelarutan serta cepat lambatnya melarut menentukan
banyaknya obat yang terabsorpsi. Dalam hal pemberian obat per oral, cairan biologis utama
adalah cairan gastrointestinal, dari sini melalui membran biologis obat masuk keperadaran
sistemik (Joenoes, 2002).
Usus halus mempunyai karakteristik anatomi dan fisiologi yang lebih menguntungkan
untuk penyerapan obat. pentingnya permukaan penyerapan pada usus halus terutama karena
banyaknya lipatan-lipatan mukosa yang terutama banyak terdapat di daerah duodenum dan
jejenum (Aiache, et al 1993).
Metode kantung terbalik merupakan teknik nin vitro yang mudah dan cepat
dilaksanakan serta dapat ditemukan seluruh tipe sel dan lapisan mukosa sehingga

45
14.3 Prosedur kerja
14.4.1 Pembuatan pereaksi
 Pembuatan air bebas karbondioksida
Air murni dididihkan selama 5 menit atau lebih dan didiamkan sampai dingin
dan tidak boleh menyerap karbondioksida dari udara (Ditjen POM, 1995).
 Pembuatan kalium dihidrogenfosfat 0,2 m
Dilarutkan 27,218 g kalium dihidrpgenfosfat p dalam air bebas karbonsioksida
p hingga 1000 ml (Ditjen POM 1997)
 Pembuatan larutan natrium hidroksida 0,2 N
Dilarutkan 8,001 natrium hidroksida P dalam air hingga 1000 ml (Ditjen
POM,1979)
 Pembuatan dapar fosfat pH 6,4 isotonis
Dicampur 50,0 ml kaliaum dihidrogenfosfat 0,2 M dengan 11,6 ml natrium
hidroksida 0,2 N diencerkan dengan air bebas karbondioksida P secukupnya
hingga 200 ml (Ditjen POM, 1979)
 Pembuatan larutan thyrode
Dilarutkan 8,0 g natrium klorida 0,2 g kalium klorida, 0,2 g kalsium klorida, 0,1
g magnesium klorida, 0,05 g natrium dihidrogenfosfat, 1,0 g natrium bikarbonat,
dan 2,0 g d-glukosa dalam 1000 ml aquadest (Anonim 2009)
14.4.2 Pembuatan larutan induk baku furosemida dalam larutan dapar fosfat
Ditimbang seksama 50,0 mg furosemida yang telah dikeringkan pada suhu 105 0c
selama 3 jam. Kemudian dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu tentukur 100 ml
dilarutkan dengan NaOH 0,1N sampai serbuk larut lalu dicukupkan dengan larutan dapar
fosfat pH 5,8 isotonis hingga garis tanda. Dilakukan cara yang sama untuk larutan induk
baku furosemida dalam larutan dapar fosfat pH 7,4.
14.4.3 Penentuan panjang gelombang maksimum furosemida dalam larutan dapar fosfat
Dari larutan induk baku dipipet 0,75 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml,
dicukupkan dengan larutan dapar fosfat pH 5,8 isotonis samapai garis tanda diukur
panjang gelombang maksimum. Lakukan hal yang sama untuk larutan dapar fosfat pH
7,4 isotonis.
14.4.4 Pembuatan kurva kalibrasi furosemida dalam dapar fosfat isotonis
Dari larutan baku induk dipipet masing-masing 0,20 ml; 0,25 ml; 0,30 ml; 0,35 ml;
0,55 ml; 0,75 ml; 0,95 ml; dan 1,15 ml atau setara dengan konsentrasi 0,5 mcg/ml; 1,0
mcg /ml; 1,5 mcg/ml; 2,0 mcg/ml; 2,5 mcg/ml; 3,0 mcg/ml; 5,5 mcg/ml 7,5 mcg/ml; dan
11,5 mcg/ml, lalu dimasukkan dalam labu tentukur 50 ml dan dicukupkan dengan larutan
dapar fosfat pH5,8 isotonni sampai garis tanda. Diukur pada panjang gelombang
maksimum. Lakukan hal yang sama untul larutan dapar fosfat pH 7,4 isotonis.

14.4.5 Pembuatan larutan obat furosemida dengan konsentrasi 2 mmol/L

46
Ditimbang seksama furosemida dilarutkan dengan 800 ml dapar fosfat pH 5,8 hingga
diperoleh konsentrasi 2 mmol/L. lakukan hal yang sama untuk larutan dapar fosfat pH
7,4 isotonis.
14.4.6 Pembuatan usus halus kelinci
Hewan percobaan berupa kelinci jantan dipuaskan selama 20-24 jam. Setelah itu
kelinci tersebut dianestesi, kemudian dilakukan pembedahan pada bagian perut tetapi
jangan sampai mengenai tulang dada. Setelah usus halus dikeluarkan dan dibersihkan
bagian dalamnya dari kotoran dan bagian luar dari jaringan yang mengikat pembuluh
darah halus, dan sebagainya dengan bantuan pinset dan gunting dan dicuci dengan
larutan thyrode. Lalu diangkat dan dibalik dengan menggunakan batang pengaduk
berpenampang 2 mm. Lalu diikat pada bagian ujung dengan benang dan dilepaskan dari
batang pengaduk, dicelupakan ke dalam larutan Thyrode dingin.
14.4.7 Penentuan absorpsi furosemida dalam usus halus kelinci segar dalam larutan dapar
fosfat
Usus halus terbalik kelinci dengan panjang efektif masing-masing 7 cm diikat pada
kanula dan masing-masing diisi dengan cairan serosa 3 ml ke dalamnya berupa larutan
fosfat pH 5,8 isotonis yang tidak mengandung bahan obat. Usus halus terbalik bagian
atas yang digunakan sebgai kontrol, dimasukkan ke dalam tabung berisi 75 ml cairan
mukosa berupa larutan buffer posfat pH 5,8 isotonis yang tidak mengandung bahan obat.
sedangkan untuk usus halus terbalik bagian bawah yang digunakan sebagai percobaan,
dimasukkan ke dalam tabung berisi 75 ml cairan mukosa berupa larutan buffer posfat pH
5,8 isotonis yang mengandung bahan obat furosemida dengan konsentrasi 2 mmol/L.
selanjutnya dimasukkan kedalam tabung termostat dengan temperatur 37 ± 0,5 0c. selama
berlangsung percobaan dijaga agar seluruh bagian usus tetap terendam dalam cairan
mukosa serta terus menerus dialiri aliran oksigen dengan kecepatan kira-kira 1
gelembung per detik.
Pada menit 5,10,15,30,60,90,120,150 cairan serosa diambil 1 ml melalui kanula dan
selanjutnya diencerkan dengan larutan buffer fosfat pH 6,4 isotonis hingga 25 ml.
Dimasukan kembali sebanyak 1 ml untuk setiap pengambilan cairan serosa. Serapan
larutan yang diperiksa di ukur pada panjang gelombandg maksimum dnegna
spektofotometer uv. Lakukan hal yang sama untuk larutan dapar fosfat pH 7,4 isotonis.

14.4 Data hasil percobaan


Tabel 14.1. Data kurva absorpsi dalam larutan dapar fosfat pH 5,8
No Panjang Gelombang (mm) Absorbansi
1
2
3

47
Tabel 14.2 Data kurva absorpsi dalam larutan dapar fosfat pH 7,4
No Panjang Gelombang (mm) Absorbansi
1
2
3

Tabel 14.3 Data kurva kalibrasi dalam larutan dapar fosfat pH 5,8
No Konsentrasi (ppm) Absorbansi
1
2
3
4
5
6
7
8

Tabel 14.4 Data kurva kalibrasi dalam larutan dapar fosfat pH 7,4
No Konsentrasi (ppm) Absorbansi
1 0
2 2
3 2,5
4 3
5 3,5
6 5,5
7 7,5
8 9,5

Tabel 14.5 Data absrbansi furosemida dalam dapar fosfat pH 5,8


No Waktu (menit) Absorbansi
1
2
3
4
5
6
7

Tabel 14.6 data absorbansi furosemida dalam dapar fosfat pH 7,4


No Waktu (menit) Absorbansi
1
2
3
4
5
6
7

48

Anda mungkin juga menyukai