RPS 2
Permintaan dan Penawaran Untuk Kesejahteraan Masyarakat
Dosen :
Dr.Ida Bagus Putu Purbadharmaja, S.E., M.E.
Oleh :
Kelompok 1
Ruben Maranata Hamonangan Simamora 1707511053
Alfin Salami 1707511090
Muhamad Rizal 1707511117
EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
1. Kesejahteraan masyarakat terkait dengan sumber daya alam dan lingkungan.
Berbicara tentang SDA maka dari itu, kami mengambil sampel studi kasus dari sebuah
PT yang bergerak di bidang pertambangan Biji besi dimana hal tersebut akan menimbulkan
dampak negatif dan positif serta manfaat sebagai akibat dari kegiatan pertambangan. Hal ini
dilakukan untuk menilai Pertambangan tersebut layak atau tidak didirikan di lokasi tersebut agar
tidak merusak SDA yang ada di sekitar.
Studi Kasus Pertambangan Biji Besi
DAMPAK
Pertambangan
Bijih Besi
- Hilangnya
ruang sumber mata
PAD Hilangnya barang pertisipasi pencaharian
Tenaga keja lingkungan
masyarakat masyarakat
SDM (ekosistem)
Usaha mikro Mengabaikan - Serapan tenaga
masyarakat hak-hak kerja
lingkar masyarakat
lokal
2. Model Pasar
Dalam analisis ekonomi, pasar diberi arti yang lebih luas dibandingkan dengan
pengertian sehari-hari. Secara tegas, satu pasar diartikan sebagai pertemuan antara
konsumen (pembeli) dan Produsen (penjual) untuk tujuan jual beli satu barang/jasa
tertentu. Definisi ini bersifat sangat umum dan abstrak, sebab satu pasar dalam arti
ekonomi dimaksudkan untuk menunjukkan proses pertukaran dan kondisi yang menjadi
dasar terjadinya pertukaran barang/jasa secara umum dalam aktivitas ekonomi. (Nehen,
I ketut 2017 ekonomi sumber daya alam dan lingkungan)
Berdasarkan strukturnya pasar dibagi menjadi 2 yaitu pasar persaingan sempurna dan pasar
persaingan tidak sempurna. Pasar persaingan tidak sempurna dibagi menjadi pasar Monopoli,
persaingan monopolistik, dan pasar oligopoli.
Persaingan Sempurna adalah struktur pasar yang ditandai oleh jumlah pembeli dan
penjual yang sangat banyak. Transaksi setiap individu tersebut (pembeli dan penjual) sangat kecil
dibandingkan output industri total sehingga mereka tidak bisa mempengaruhi harga produk
tersebut. Para pembeli dan penjual secara individual hanya bertindak sebagai penerima harga
(price takers). Tidak ada perusahaan yang menerima laba di atas normal dalam jangka panjang
dalam pasar persaingan sempurna ini.
Monopoli adalah struktur pasar yang ditandai oleh adanya seorang produsen tunggal.
Suatu perusahaan yang monopolistik secara serentak bisa menentukan harga produk dan jumlah
outputnya. Bagi sebuah monopoli adalah mungkin untuk memperoleh laba di atas normal, bahkan
dalam jangka penjang sekalipun.
Oligopoli adalah struktur pasar di mana hanya ada sejumlah kecil perusahaan yang
memproduksi hampir semua output industri. Oligopoli dibagi lagi menjadi oligopoly terdiferensiasi
(differentiated oligopoly) di mana produk tidak dibakukan (unstandardized), misalnya mobil, dan
oligopoli tak terdiferensiasi (undifferentiated oligopoly) di mana produk dibakukan, misalnya baja.
Dalam oligopoli ini, keputusan-keputusan mengenai harga dan output dari perusahaan-
perusahaan yang ada tergantung satu sama lain. Hal tersebut berarti bahwa jika satu perusahaan
mengubah harganya, maka perusahaan lainnya akan bereaksi dan informasi perubahan harga
tersebut akan dimasukkan ke dalam masalah pembuatan keputusan mengenai harga dan output
perusahaan-perusahaan itu.
Kondisi Pasar di Indonesia pasca adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Sesudah adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, keadaan pasar di Indonesia pun menjadi lebih
sehat, hal ini ditandai dengan munculnya berbagai perusahaan-perusahaan di berbagai bidang
industri yang merambah ke Indonesia. Misalnya pada industri penerbangan, sekarang ini banyak
maskapai penerbangan yang masuk ke Indonesia yang menawarkan jasa transportasi pesawat
terbang dengan harga tiket yang beragam. Pada industri bahan bakar minyak (BBM) khususnya
di kota besar seperti misalnya Jakarta. Pada saat Pertamina menaikkan harga pertamax, dua
Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) pesaing yaitu Shell dan Petronas masih menjual
di harga murah. Lagi-lagi masyarakat sebagai konsumen diuntungkan dan dapat memilih mana
yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan mereka.
Secara keseluruhan Surplus konsumen itu diartikan sebagai satu ukuran untuk
keunhungan bersih yang iterima pembeli satu barang yang ditaksir melalui kelebihan
Kesediaan membayar di atas apa yang sesungguhnya mereka dijumlahkan untuk
seluruh unit barang yang dibelinya di Serangkaian harga di mana konsumen bersedia
dan mampu membayar untuk berbagai jumlah barang adalah rangkaian harga pada
kurva permintaan (Nehen, I ketut 2017 ekonomi sumber daya alam dan lingkungan)
3.2 Surplus Produsen
Secara teoritis, penurunan tarif impor beras akan menurunkan harga eceran beras
di pasar domestik, dan sebaliknya meningkatkan tarif impor akan menaikkan harga eceran
beras di pasar domestik . Penurunan dan peningkatan harga eceran beras di pasar
domestic selanjutnya akan berdampak pada harga jual gabah di tingkat petani. Pada
tahun 2010 produksi beras dalam negeri sebesar 37.854.537 ton sementara konsumsi
beras dalam negeri sebesar 38.550.000 ton. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
masyarakat atau kebutuhan nasional akan beras, maka pemerintah melakukan impor
beras sebesar 695.463 ton. Adanya kebijakan impor beras tersebut, maka untuk
melindungi produsen dalam negeri (petani), memaksa pemerintah untuk mengeluarkan
kebijakan tarif impor beras. Tarif impor beras yang ditetapkan berdaskan Peraturan
Menteri Keuangan No. 93/PMK.011/2007 yaitu sebesar Rp 450 per kg kebijakan
penurunan tarif impor beras dari Rp. 450 menjadi Rp 200 per kg (skenario 1)
mengakibatkan produksi beras domestik turun menjadi sebesar 37.700.303 ton atau turun
sebesar 0,41 persen.
Akibat turunnya tarif impor beras juga akan berpengaruh terhadap surplus
produsen. Kebijakan tarif impor sebesar Rp 200 per kg menyebabkan surplus produsen
turun sebesar Rp 5.832.455.874 .000,-. Sebaliknya apabila pemerintah menaikkan tariff
impor beras dari Rp 450 per kg menjadi Rp. 700 per kg (skenario 2), maka akan
menyebabkan produksi beras domestik naik dari 37.854.537 ton menjadi 37.977.204 ton
atau naik sebesar 0,32 persen. Dengan tarif imporberas ini, juga menaikkan surplus
produsen menjadi Rp.7.416.723.429.000,-.Berdasarkan uraian tersebut, maka jelaslah
bahwa apabila dilihat dari sisi produsen saja, maka semakin tinggi tarif impor yang
diterapkan oleh pemerintah akan menyebabkan tingginya harga beras di dalam negeri,
yang berdampak terhadap naiknya harga beras di tingkat petani, sehingga memacu
produsen/petani untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri, sehingga
mengakibatkan kesejahteraan produsen/petani meningkat.
Kebijakan tarif impor beras selain berdampak pada produsen juga berdampak
pada konsumen. Apabila kebijakan tarif impor beras diturunkan dari Rp. 450 menjadi Rp
200 per kg (skenario 1) mengakibatkan konsumsi beras mengalami peningkatan dari
38.550.000 ton menjadi 38.687.543 ton, naik sebesar 137.543 ton atau sebesar 0,36
persen. Selain itu, kebijakan penurunan tarif impor beras dari Rp. 450 menjadi Rp 200 per
kg akan menyebabkan naiknya kesejahteraan konsumen. Hal tersebut ditunjukkan oleh
meningkatnya surplus konsumen sebesar Rp. 6.124.775. 452.000,-. Peningkatan
konsumsi beras dan kesejahteraan konsumen disebabkan karena, dengan turunnya tarif
impor beras menyebabkan harga beras dalam negeri akan lebih murah, sehingga
konsumen dalam negeri akan menerima harga yang lebih rendah dari harga sebelumnya.
Sebaliknya apabila pemerintah menaikkan tarif impor beras dari Rp 450 per kg menjadi
Rp. 700 per kg, dengan elas sitas permintaan beras sebesar -0.14589 akan
mengakibatkan konsumsi beras dalam negeri mengalami penurunan dari 38.550.000 ton
menjadi 38.445.341 ton, turun sebesar 254.659 ton atau 0,27 persen. Selain itu kebijakan
menaikkan tarif impor beras dari Rp 450 menjadi Rp. 700 per kg akan menyebabkan
turunnya kesejahteraan konsumen. Hal ini ditunjukkan oleh penurunan surplus konsumen
sebesar Rp. 7.530.529.370.000,-. Penurunan konsumsi beras dan kesejahteraan
konsumen terjadi karena adanya kenaikan tarif impor beras, menyebabkan konsumen
dalam negeri akan menerima harga yang lebih tinggi dari sebelumnya. Uraian di atas
menunjukkan bahwa, apabila kita melihat dari sisi konsumen saja, maka semakin tinggi
impor yang dikenakan terhadap komoditas beras, akan menyebabkan tingginya harga
beras di dalam negeri, sehingga memaksa konsumen untuk mengurangi konsumsinya,
yang tentunya mengakibatkan permintaan beras dalam negeri berkurang, karenanya
kesejahteraan konsumen turun.
Salah satu sumber penerimaan pemerintah antara lain berasal dari tarif impor.
Pada kajian dengan penerapan tarif impor beras sebesar Rp 450 per kg pada ini tahun
2010. Pemerintah mengimpor beras sebesar 695.463 ton, maka tentunya menambah
penerimaan pemerintah sebesar Rp. 312.958.350.000, pada tahun 2010, Sementara itu,
apabila pemerintah menurunkan tarif impor beras dari Rp. 450 per kg menjadi Rp. 200
per kg (skenario 1), maka penerimaan pemerintah dari tariff impor beras turun dari Rp.
312.958.350.000,- menjadi Rp. 166.601.200.000,- atau sebesar 46,76 persen. Penurunan
penerimaan pemerintah ini disebabkan karena turunnya tarif impor beras dari Rp.450 per
kg menjadi Rp. 200 per kilo gram, meskipun volume impor beras meningkat dari 695.463
ton menjadi 833.006 ton. Sebaliknya apabila pemerintah menaikkan tariff impor beras dari
Rp. 450 per kg menjadi Rp. 700 per kg (skenario 2), maka penerimaan pemerintah naik
dari Rp.312.958.350.000,- menjadi Rp. 327.696.208.000,-. Kenaikan penerimaan
pemerintah ini disebabkan karena tinggi tarif impor beras yang ditetapkan, walaupun
impor dan konsumsi beras dalam negeri menurun sebesar 104.659 ton yang disebabkan
karena naiknya harga beras dalam negeri. Uraian di atas menunjukkan bahwa apabila
tujuan pemerintah mengenakan tarif impor beras untuk menambah penerimaan negara,
maka pemerintah selayaknya lebih berhati -hati , dan memperhitungkan dengan baik
khususnya dampak tarif terhadap permintaan dan penawaran beras di dalam negeri. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa apabila pemerintah menaikkan tarif impor beras, maka
penerimaan pemerintah dari tarif impor beras akan meningkat, disebabkan naiknya tarif
impor namun karena permintaan dalam negeri berkurang sebagai akibat kenaikan harga
di dalam negeri yang memaksa konsumen untuk mengurangi konsumsinya dan produksi
beras dalam negeri meningkat, sehingga kenaikan penerimaan pemerintah atas kenaikan
tarif tersebut relatif sangat kecil. Sebaliknya apabila pemerintah menurunkan tarif impor
beras, maka penerimaan pemerintah menurun, disebabkan besarnya penurunan tarif
impor tidak sebanding dengan peningkatan permintaan beras dan penurunan volume
produksi dalam negeri. Dengan demikian peningkatan tarif impor tidak menjamin
penerimaan pemerintah meningkat, dan sebaliknya penurunan tarif juga tidak menjamin
turunnya penerimaan pemerintah dari tariff impor beras.Dampak Kebijakan Tarif Impor
terhadap Kesejahteraan Masyarakat Dampak kebijakan pemerintah dapat diukur dari
kesejahteraan masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan (Total Net Walfare Eff
ect). Ukuran ini sudah memperhitungkan perubahan-perubahan yang terjadi pada surplus
produsen, surplus konsumen dan penerimaan pemerintah. Berdasarkan uraian
sebelumnya bahwa penerapan kebijakan penurunan tarif impor beras dari Rp. 450 per kg
menjadi Rp 200 per kg memberikan pengaruh negatif terhadap peningkatan produksi
yang akan berdampak pada penurunan surplus produsen sebesar Rp.
5.832.455.874.000,-. Akan tetapi kebijakan tersebut memberikan dampak positif terhadap
surplus konsumen sebesar Rp. 6.124.775.452.000,-, dan penerimaan pemerintah turun
dari Rp. 312.958.350.000,- menjadi Rp. 166.601.200.000,- atau turun 46,77 persen.
Dengan demikian penerapan kebijakan penurunan tarif impor beras sebesar Rp 200 per
kg (skenari 1) dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dari
Rp. 312.958.350.000,- menjadi Rp. 458.920.778.000,-. Sementara apabila pemerintah
menaikkan tariff impor beras dari Rp. 450 per kg menjadi Rp 700 per kg akan memberi
dampak positif terhadap peningkatan produksi yang disebabkan karena naiknya harga
beras dalam negeri, yang berdampak pada peningkatan surplus produsen sebesar Rp.
7.416.723.429 .000,-. Akan tetapi kebijakan tersebut memberikan pengaruh negatif
terhadap surplus konsumen sebesar Rp. 7.530.529.370.000,- dan penerimaan
pemerintah juga mengalami kenaikan dari Rp. 312.958.350.000. menjadi Rp.
327.696.208.000,-. Jadi penerapan kebijakan tarif impor beras sebesar Rp 700 per kg
dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dari Rp.
312.958.350.000,- menjadi Rp. 213.890.267.000,-.
Hasil kajian di atas, sejalan temuan Hadi dan Wiryono (2005) yang mengkaji
dampak kebijakan proteksi terhadap ekonomi beras di Indonesia menemukan bahwa
sistem perdagangan yang makin liberal memberikan surplus ekonomi nasional yang
makin besar, hal tersebut berati ekonomi nasional makin efi sien. Namun dari segi
distribusi, produsen menerima surplus yang jauh lebih kecil daripada konsumen, yang
berarti aspek pemerataan manfaat dari kebijakan pemerintah tidak terwujud. Mengingat
bahwa petani padi pada umumnya miskin, maka keberpihakan pemerintah kepada petani
sangat diperlukan untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan. Dengan alasan ini dan
alasan lain sepeti penyediaan lapangan kerja dan pembangunan perdesaan, maka
kebijakan yang bersifat protektif masih tetap diperlukan, baik dengan pengenaan tarif
impor beras, maupun pengaturan, pengawasan dan pembatasan impor beras. Sementara
temuan Rachman dkk (2008) yang mengkaji tentang dampak liberalisasi perdagangan
terhadap kinerja ketahanan pangan nasional yang mengatakan bahwa peningkatan tarif
impor beras yang disertai dengan nilai tukar yang terdepresiasi relatif tinggi, akan
menyebabkan harga beras di tingkat pedagang besar dan produsen meningkat,
selanjutnya jumlah penawaran meningkat dan dampaknya terhadap kesejahteraan
produsen bertambah. Liberalisasi perdagangan (tarif impor dihapuskan) disertai dengan
penurunan harga beras dunia akan menyebabkan harga beras di tingkat pedagang besar
dan produsen menurun. Akibatny jumlah penawaran menurun dan dampaknya terhadap
kesejahteraan produsen berkurang. Besarnya perubahan penerimaan pemerintah tidak
hanya ditentukan oleh perubahan tarif, tetapi juga oleh faktor lain, seperti elastisitas
transmisi harga dan elastisitas permintaan dan penawaran.
Kesimpulan
1. Nehen, I K.2017. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Denpasar. Udayana
University Press
2. http://jurnal.ut.ac.id/index.php/JOM/article/view/392
3. https://id.wikipedia.org/wiki/Pasar_persaingan_sempurna
4. https://media.neliti.com/media/publications/43469-ID-dampak-pemberian-subsidi-produksi-
terhadap-keseimbangan-pasar-pada-pasar-persain.pdf
5. http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139105-[_Konten_]-
Dampak%20Kebijakan%20Tarif%20Impor.pdf