Penyelesaian Masalah
Asas Legalitas yang terkandung dalam pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
memiliki 3 unsur di dalamnya. Pertama tiada suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana
jika tidak ditentukan terlebih dahulu oleh undang-undang. Kedua, asas rektroaktif dan terakhir
untuk menentukannya ada perbuatan pidana tidak boleh menggunakan analogi. Tetapi, pada
praktiknya seringkali terjadinya penyimpangan terhadap asas legalitas tersebut.
Hal ini dapat terlihat dari kasus yang dialami oleh IS dengan NAW di Sragen
yang menimbulkan lahirnya dua putusan berbeda dari Pengadilan Negeri Sragen dan Mahkamah
Agung. Hal ini bermula dari perkara yang dialami oleh Terdakwa IS yang menjanjikan diri untuk
menikahi NAW setelah melakukan hubungan intim. Rangkaian janji sering diucapkan tetapi
pernikahan tak terealisasikan, sehingga menggerakan NAW melayangkan perkara tersebut ke
Pengadilan Negeri di Sragen. Pengadilan Negeri Sragen memeriksa hal tersebut dan memutuskan
dakwaan primer kepada Terdakwa IS pasal 378 KUHP tentang penipuan yang berbunyi :
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun
dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda
kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena
penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”
Jika dijabarkan unsur dari bunyi pasal diatas, yakni sebagai berikut. “Barangsiapa” adalah
subyek yang melakukan yaitu Terdakwa IS. “Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain” adalah tujuan dari si subyek melakukan tindakan, dalam hal ini Terdakwa IS
melakukan penipuan hanya untuk dapat memenuhi nafsu seksnya tanpa harus menikahi sang
wanita. “Dengan memakai nama palsu/martabat palsu dengan tipu muslihat ataupun dengan
rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain” adalah cara bagaimana untuk mencapai tujuan
tersebut, Terdakwa IS sendiri telah menjanjikan berkali-kali kepada NAW untuk menikahkannya
segera. “Untuk menyerahkan suatu benda kepadanya” adalah obyek yang diinginkan subyek,
dalam hal ini Pengadilan Negeri Sragen menafsirkan “kehormatan” sebagai suatu benda. Sehingga,
Pengadilan Negeri Sragen menjatuhkan hukuman kepada terdakwa IS 6 bulan penjara.
Dari putusan tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan tentang keberatannya atas
hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa IS karena penafsiran “barang” yang terdapat dalam
unsur pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidaklah tepat. Barang yang dimaksudkan
dalam pasal tersebut memiliki pengertian yaitu objek yang dapat dikuasai dengan nilai ekonomis.
Sedangkan dalam kasus ini, anggota tubuh manusia dipersamakan dengan makna barang tersebut
dan dianggap bertentangan dengan nilai-nilai peri kemanusiaaan.
Dari hal tersebut dapat terlihat bahwa penafsiran yang digunakan oleh Pengadilan Negeri
Sragen adalah penafsiran analogi yang memiliki pengertian “penafsiran pada sesuatu peraturan
hukum dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan asas
hukumnya sehingga suatu peristiwa sebenarnya tidak termasuk kedalamnya.” Yang seharusnya
digunakan dalam penafsiran kasus ini adalah penafsiran ekstensif yang masih tetap berpegang pada
arti dalam perundang-undangan dan tidak menghilangkan makna dalam perundang-undangan
tersebut.
Penggunaan asas analogi seharusnya tidak digunakan karena hal tersebut menyimpang dari
asas legalitas yang terkandung dalam pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Seharusnya,
kasus tersebut tidak diajukkan ke Pengadilan Negeri tetapi diajukkan kepada lingkungan
masyarakat setempat yang memiliki nilai-nilai kebudayaan yang sesuai dan pemberian sanksi yang
tepat terhadap kasus yang telah dialami oleh Terdakwa IS dengan NAW. Meskipun, sebenarnya
tujuan utama hakim Pengadilan Negeri Sragen tersebut adalah untuk mengisi kekosongan hukum
dan menjamin hak-hak orang lain yang sebenarnya belum diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
Berdasarkan uraian fakta dalam dakwaan subsider, Jaksa Penuntut Umum ingin menjerat
terdakwa dengan tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP, dimana
yang menjadi objek tindak pidana adalah “barang” dalam bentuk alat kelamin wanita. Hal ini
dilakukan Jaksa Penuntut Umum karena belum ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur
pertanggungjawaban oleh seorang pria yang menghamili seorang wanita di luar perkawinan, serta
adanya fakta hukum bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan adanya suatu upaya tipu muslihat
maupun perkataan bohong, seperti: akan menikahi wanita tersebut.
Jika melihat unsur-unsur dari asas legalitas antara lain adanya peraturan tertulis,tidak boleh
berlaku surut dan tidak boleh menggunakan analogi, kasus diatas sangat berkaitan dengan asas ini,
sehingga dalam memutuskan kasus ini, Mahkamah Agung melihatnya dengan berbagai
pertimbangan-pertimbangan tertentu agar tidak menyalahi aturan yang ada dalam asas legalitas.
Jika melihat dari unsur yang pertama yaitu adanya peraturan yang mengaturnya, hal ini
tidak dapat melihat dalam kasus karena pokok permasalahannya adalah putusan Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Negeri menggunakan pertimbangan lain dengan menafsirkan pengertian
barang secara meluas yaitu di dalamnya termasuk kemaluan manusia. Sehingga kemudian muncul
banding hingga kasasi yang dilakukan pemohon agar mendapatkan kepastian hukum dari
Mahkamah Agung. Dan pada intinya terkait dengan hal ini masih belum ada sebelumnya aturan
tertulis yang menyatakan dengan tegas kemaluan wanita memilki arti yang sama dengan
pengertian barang yang terdapat pada pasal 378 KUHP.
Unsur yang kedua adalah larangan penggunaan analogi. Pada unsur inilah yang menjadikan
suatu pertimbangan berat apakah putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri dalam
memutuskan perkara menggunakan analogi atau tidak, sehingga Mahkamah Agung perlu
mengkaji secara mendalam terkait dengan pengertian barang yang didakwakan kepada terdakwa
atas tuduhan penipuan yang terdapat dalam pasal 378 KUHP
Berdasarkan pertimbangan yang diberikan oleh Mahkamah Agung, dapat dilihat bahwa
Mahkamah Agung tidak sepakat dengan keputusan Pengadilan Negeri yang menyatakan bahwa
kemaluan manusia masuk dalam pengertian barang yang sesuai dengan pasal 378 KUHP.
Mahkamah Agung mempunyai pandangan sendiri ketika bicara tentang salah satu organ manusia,
termasuk alat vitalnya, maka organ tersebut tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan eksistensi
manusia sebagai totalitas yang terdiri dari jasmani,rohani, dan pikiran, serta manusia sebagai
totalitas makhluk Tuhan yang harus dibedakan dari makhluk lainnya. Dengan demikian
Mahkamah Agung melihat dari sudut pandang yang lebih jauh bahwa bagian- bagian dari organ
manusia bukanlah suatu barang seperti yang dimaksudkan dalam pengertian barang.
SehinGga dapat kita lihat disini bahwa Mahkamah Agung melihat putusan Pengadilan
Negeri yang menganalogikan kemaluan manusia sebagi suatu barang dalam pasal 378 KUHP tidak
dapat dibenarkan. Analogi berbeda dengan penafsiaran ektensif jika penafsiran ektensif hakim
meluaskan lingkungan kaedah yang lebih tinggi sehingga perkara yang bersangkutan termasuk
juga didalamnya, sadangkan analogi hakim membawa perkara yang baru diselesaikan kedalam
lingkungan kaedah yang lebih tinggi.
Sehingga Mahkamah Agung menyatakan pembebasan pembebasan terdakwa dari dakwaan
karena hal berikut:
a. belum ada sebelumnya aturan tertulis yang menyatakan dengan tegas kemaluan wanita memilki
arti yang sama dengan pengertian barang yang terdapat pada pasal 378 KUHP.
b. Belum ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur pertanggung jawaban oleh seorang
pria yang menghamili seorang wanita di luar perkawinan,
c. Penggunaan analogi, bahwa kemaluan manusia juga di artiakn kedalam pengertian barang
menurut pasal 378 KUHP. Namun dalam hal ini penggunaan analogi tidak boleh dilakukan.
SUMBER: http://007anggi.blogspot.com/2015/05/penerapan-asas-legalitas-dalam.html diakses
pada tanggal 20 September 2018 jam 20.47
Samuel Iwuchukwu Okoye dan Hansen Anthony Nwaolisa adalah dua Warga Negara Asing
berkebangsaan Nigeria yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan di Indonesia karena terbukti
telah melakukan penyelundupan heroin di Indonesia. Samuel Iwuchukwu Okoye terbukti
melakukan penyelundupan 3,8 kg heroin yang disembunyikan di dalam tasnya saat masuk ke
Indonesia pada tanggal 9 Januari 2001. Majelis Hakim Pengadilan Tangerang memvonis
hukuman mati pada 5 Juli 2001. Vonis itu diperkuat oleh putusan pengadilan tinggi dan
Mahkamah Agung. Sedangkan Hansen Anthony Nwaolisa terbukti menyelundupkan 3,2 kg
heroin pada tanggal 29 Januari 2001. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang kemudian
memvonis mati pada 13 Agustus 2001 dan Vonis itu diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi
dan Mahkamah Agung. Pada akhirnya dua terpidana mati tersebut telah dieksekusi mati.
Kenapa Indonesia berhak mengadili kedua Warga Negara Asing tersebut?
Berdasarkan asas teritorialitas yang terdapat didalam KUHP Pasal 2, yang berbunyi: “Aturan
pidana dalam perundang-undangan, berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana
di dalam Indonesia” Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Hukum Pidana Indonesia berlaku
bagi siapa saja, baik itu Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing yang melakukan
tindak pidana di wilayah Indonesia.
Hukum Pidana Indonesia dapatlah diterapkan bagi pelaku tindak pidana narkoba yang dilakukan
kedua Warga Negara Nigeria tersebut. Hal tersebut dibenarkan karena penerapan asas
territorialitas di Indonesia. Hansen Anthony Nwaolisa dan Samuel Iwuchukwu Okoye telah
melakukan tindak pidana dengan locus delicti -nya ialah wilayah Indonesia. Sesuai dengan asas
territorialitas, maka bagi siapa saja baik WNI maupun WNA yang melakukan tindak pidana di
wilayah Indonesia dapat diberlakukan hukum pidana Indonesia baginya.
pemerintah kita, bisa diadili di sini menurut KUHP kita (Pasal 438 dan lain-lain. jo Pasal 4 sub
4)
SUMBER: http://fikamaliq.blogspot.com/2011/11/berlakunya-asas-teritorialitas-dan-asas.html
DIAKSES TGL 20 September 2018 PUKUL 20.55
Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel menekankan hanya satu pihak
yang bisa membebaskan seseorang dari hukuman mati, yakni ahli waris korban. “Hukuman mati
ada di Saudi ini yang bisa menyelamatkan bukan raja, bukan gubernur, bukan orang kaya, bukan
menteri. Tapi yang bisa menyelamatkan hanya satu: ahli waris,” kata Agus.Selain itu, tambah
dia, juga hanya ahli waris yang diberitahu mengenai jadwal eksekusi mati. Pihak KBRI pun tidak
diberitahu. Setelah keluarga korban diberitahu mengenai jadwal eksekusi mati, mereka
diamankan secara ketat selama 24 jam menjelang eksekusi dilakukan.Sumber:
https://www.voaindonesia.com/a/tiga-wni-terancam-segera-dieksekusi-mati-di-arab-
saudi/4257312.html
CONTOH KASUS DALAM ASAS NASIONAL AKTIF PASAL 6 KUHP
2. Data Kementerian Luar Negeri RI menunjukkan, ada 583 kasus terkait warga negara
Indonesia ( WNI) di seluruh dunia dengan vonis hukuman mati sepanjang 2011-2018.
Rinciannya, 188 kasus masih ditangani oleh Pemerintah Indonesia. Sementara, 392 kasus
berhasil diselesaikan dengan vonis bebas. Tiga kasus lainnya berakhir dengan eksekusi
hukuman mati. Hal itu diungkapkan Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum
Indonesia Kementerian Luar Negeri RI, Lalu Muhammad Iqbal, di Kantor Kemenlu RI,
Jakarta, Senin (19/3/2018). "Kenapa kami menghitung mulai tahun 2011, karena praktis
sistem perlindungan WNI dan kasus ini baru muncul tahun 2011. Karena itu kami mulai
melakukan penghitungan itu sejak 2011," kata Iqbal. Baca juga: Kisah Perantauan Zaini
Misrin yang Berakhir di Tangan Algojo Arab Saudi... Dari 188 kasus yang masih
ditangani itu, 148 kasus di Malaysia, 20 kasus di Arab Saudi, 11 kasus di Republik
Rakyat Tiongkok, 4 kasus di Uni Emirat Arab, 2 di Singapura, 2 di Laos, dan 1 kasus di
Bahrain. "Sebagian besar adalah WNI (terjerat) kasus narkoba. Dari jumlah tersebut
sebagian kecil adalah TKI. Tapi yang di Arab Saudi hampir semuanya adalah adalah
TKI," kata Iqbal. Sepanjang pemerintahan Presiden RI Joko Widodo, atau dari kurun
waktu 2015-2018, ada 158 kasus WNI yang berhasil dituntaskan oleh pemerintah dengan
vonis bebas. Sementara itu, di Arab Saudi, sepanjang 2011-2018, ada 102 kasus yang
ditangani Pemerintah Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak 79 kasus divonis bebas, 20
kasus masih ditangani, dan 3 kasus berakhir dengan eksekusi hukuman mati. Vonis
hukuman mati tersebut, dari 20 kasus yang ada, paling besar karena kasus pembunuhan
yakni sebanyak 15 kasus dan sihir 5 kasus. "Pada era Presiden Jokowi yang kami
bebaskan selama 2015-2018 adalah 23 orang," ujar Iqbal.
Eksekusi mati tehadap WNI yang terjerat kasus pembunuhan, Muhammad Zaini Misrin,
ada dua WNI lainnya di Arab Saudi yakni Tuty Tursilawati dan Eti binti Toyib asal Jawa
Barat yang menunggu eksekusi mati. Pada 2010, keduanya divonis bersalah atas kasus
pembunuhan. "Kasus Eti sudah inkrah. Tapi kami sedang mencoba mengumpulkan
novum baru untuk mengajukan peninjauan kembali (PK). Sedangkan Tuty kami sudah
ajukan PK tapi belum mendapatkan jawaban," kata Iqbal. "Ini adalah kasus-kasus yang
muncul sebelum tahun 2010. Sehingga tidak dikawal dari proses pendampingan atau
investigasi. Jadi dalam BAP sudah disebutkan melakukan pembunuhan," lanjut dia.
Pemerintah terus berupaya untuk mencegah terulangnya kasus seperti yang menimpa
Zaini Misrin. Eeksekusi mati terhadap Misrin dilakukan meski proses permohonan PK
atas kasusnya masih berjalan. "Segala upaya untuk membenahi itu sudah dilakukan
pemerintah," kata dia. Upaya itu, di antaranya, pada November 2017, telah disahkan UU
18/2017 tentang perlindungan pekerja migran Indonesia menggantikan UU 39/2004.
Artinya yang dikedepankan perlindungan dan proses penempatan. Tapi saya kira salah
satu yang fundamental adalah komitmen pemerintah untuk memperbaiki tata kelola TKI,"
kata Iqbal. Namun meski demikian, pemerintah juga mengakui ada kesulitan ketika
menangani kasus yang terjadi di bawah tahun 2010. Alasannya karena pendampingan
kasus-kasus itu tak dilakukan sejak awal. "Kasus yang muncul sebelum periode 2010
sulit kami selesaikan. Karena kami tidak melakukan pendampingan dari awal. Namun
kasus-kasus setelah 2010 dipastikan sudah dikawal didampingi sejak awal. Sehingga
hampir sebagian besar yang kami bebaskan itu kasus-kasus setelah 2010," kata dia.
sumber: https://nasional.kompas.com/read/2018/03/20/09420871/188-wni-terancam-
hukuman-mati-di-luar-negeri-mayoritas-karena-kasus-narkoba.
CONTOH KASUS PASAL 7 KUHP
Captain Suhardi, nakhoda kapal asal Indonesia ditahan di China karena kapal yang di
nakhodainya membawa muatan tanpa surat-surat yang jelas. Hal tersebut dilakukan karena
perintah dari pemilik perusahaan yang berbasis di China dan perbedaan pengertian aksara yang
dipahami.
Semenjak 31 Agustus Capt. Suhardi ditahan dikota Yancheng provinsi Zianchu. Dia bekerja
melalui perusahaan Agency China bernama Yantai Thongda International Shipping Management
Co. Ltd yang beralamat di Room 1110 Zhenhua International Plaza nomor 178 Nandadjie Street,
Yantai city, China. Tlp 86-151653 50721, Fax 86- 0535 6678 976.
Dari semenjak ditahan sampai hari ini, gaji yang bersangkutan masih belum dibayarkan oleh
pihak perusahaan. Ironisnya Capt Suhardi sudah semestinya pulang sebelum kejadian
tersebut, tetapi ditahan pihak perusahaan karena belum adanya pengganti.
http://www.emaritim.com/2017/10/jakarta-emaritim_25.html