Anda di halaman 1dari 13

Ada Apa di Taman Balai Kota?

FEBRUARI 5, 2015 / KOMUNITASALEUT!


Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Siapa cinta Bandung


Harus lulus ilmu ingatan
—Eddy D. Iskandar

Di Kota Bandung, sekarang ini, barangkali taman kota sedang


menjadi panglima hiburan. Semenjak Wali Kota dijabat oleh Ridwan
Kamil, taman-taman baru bermunculan, dan yang lama dihidupkan
kembali. Sebut saja dari mulai Taman Pasupati (Taman Jomblo),
Taman Film, Taman Musik, Taman Superhero, Taman Fotografi,
Taman Hewan, Taman Lansia, Taman Panatayuda, sampai dengan
Taman Balai Kota.
Dalam menyelami sejarah kota, kita
seringkali dibantu oleh mereka yang rajin mendokumentasikan
perjalanan kota. Arsip-arsip kota, baik yang dibukukan, maupun
yang tercecer di lembar-lembar koran, mulanya adalah sebuah kerja
sunyi para pendokumentasi yang penuh kewaskitaan. Cinta dan
minat mereka yang besar adalah jalan panjang dalam menjaga
ingatan.
Pada kesempatan ini, saya hendak mencatat Taman Balai Kota dan
sekitarnya. Minangka sebagai sebuah kerja kecil dalam rangka
mempelajari ilmu ingatan.
***

Pada tanggal 1 April 1906, Gubernur Jenderal J.B. van Heutz


menetapkan status Kota Bandung yang semula adalah ibu kota
Kabupaten Bandung, ditingkatkan menjadi Gemeente (Pemerintah
Kota). Maka Kota Bandung pun resmi terlepas dari Kabupaten
Bandung. Karena hal inilah, Kota Bandung pun dituntut untuk
mempunyai gedung pemerintahan sendiri yang berpusat
di Gemeente Huis atau Balai Kota. Pada perjalanannya Balai Kota
mempunyai sebuah taman, yang kini dikenal dengan nama Taman
Balai Kota.
Sejarah seputar Balai Kota
Bandung dan tamannya bisa ditemui di beberapa buku tentang Kota
Bandung. Salah satunya adalah di buku Gementee Huiskarangan
Sudarsono Katam, yang diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama.
Taman Balai Kota berada di dalam komplek Balai Kota Bandung.
Semenjak taman ini dirapikan dan dipercantik dengan berbagai
ornamen baru, jumlah pengunjung pun semakin bertambah.
Mayoritas pengunjung adalah remaja dan anak-anak. Mereka
memanfaatkan taman ini untuk latihan menari, main bola, pacaran,
foto-foto, atau sekadar duduk-duduk di bangku taman.

Satu hal yang paling terkenal di Taman Balai Kota adalah


keberadaan patung badak putih. Hewan ini dipilih konon karena dulu
di Bandung banyak terdapat badak. Sebagai tambahan informasi,
Rumah Sakit Hasan Sadikin dulu bernamaRumah Sakit Ranca Badak,
bahkan di salah satu jendelanya masih terdapat sisa sebuah gambar
badak.
Di bawah patung badak putih terdapat kolam ikan yang dilengkapi
dengan air mancur. Di badan patung tertulis tentang larangan
mengambil ikan di kolam dengan cara apa pun. Di sekitar kolam ada
beberapa bangku yang sering dimanfaatkan oleh para pengunjung
untuk bersantai sambil ngobrol.
Di sebelah patung ikan, di kiri dan kanannya, berjajar tiga pilar
berwarna putih yang kemungkinan besar berfungsi sebagai
penerangan di waktu malam. Bergeser sedikit ke arah Utara, tertulis
dengan rapi : “Taman Balai Kota”.
Tak jauh dari patung badak, kini
terdapat juga patung ikan mas yang berjumlah lima ekor. Entah apa
pertimbangannya sehingga heman ini dipilih untuk “menemani” si
badak putih. Selintas pikiran saya tertuju ke patung ikan besar di
alun-alun Cisaat, Sukabumi. Patung itu dipilih karena di Cisaat ada
sebuah daerah yang terkenal sebagai produsen ikan mas, yaitu
Cibaraja. Artinya pembuatan patung ikan mas masih ada kaitannya
dengan suatu daerah setempat. Namun entah kalau yang ada di
Taman Balai Kota Bandung ini.
Yang tak kalah “nge-hit” adalah dengan dibuatnya gembok duriat—
saya lebih senang menyebutnya begitu (gembok cinta) tempat para
pasangan, terutama anak-anak muda, mengaitkan gembok yang
terkunci di terali yang berbentuk kotak. Anak kunci itu kemudian
dibuang ke kolam dekat patung badak putih. Di hampir setiap
gembok tertulis nama pasangan yang mencoba mengabadikan
cintanya.

Duriat dikonci ku gembok


Di atas terali kotak itu tertulis “LOVE” berwarna merah, yang sempat
menjadi perbincangan hangat di media sosial karena dianggap
menjiplak. Fenomena gembok cinta ini memang sudah merambah
banyak tempat, di antaranya Korsel dan Prancis, yang kemudian
menular ke Bandung. Selain itu, tanaman bunga berbagai warna ikut
pula mempercantik Taman Balai Kota.

Di sebelah selatan terdapat patung se-dada Raden Dewi Sartika


yang terlihat kusam. Patung pelopor pendidikan untuk perempuan
Priangan ini nampak kurang terawat. Di bawahnya ada plakat
peresmian oleh Waki Kota pada masanya, yaitu Wahyu Hamijaya.

Sebagaimana taman-taman yang lain, Taman Balai Kota pun konon


dilengkapi dengan wifi, namun entah saya belum pernah
mencobanya. Himbauan untuk membuang sampah pada tempatnya
terpasang di beberapa sudut taman. Hal ini dibarengi juga dengan
ketersediaan tempat sampah yang relatif cukup banyak.

Keran Air Minum


Sebuah terobosan sempat dilakukan oleh pemkot bagi para
pengunjung taman, dengan dibuatnya keran air siap minum. Namun
entah kenapa tidak lama setelah diluncurkan, fasilitas ini kemudian
tidak berfungsi. Harian terbesar di Jawa Barat pernah memuatnya di
sebauh edisi ihwal berita ini. Informasi yang disajikan koran tersebut
adalah karena adanya gangguan pada rangkaian listrik yang
terhubung dengan keran air tersebut. Entah sekarang apakah
sekarang sudah diperbaiki atau belum.

Kebutuhan akan air minum memang cukup besar, apalagi bagi anak-
anak dan remaja yang mayoritas beraktifitas fisik seperti menari
dan main bola, yang tentunya akan cepat membutuhkan air untuk
menggantikan cairan tubuh yang keluar. Namun sepanjang yang
saya perhatikan, tidak ada satu orang pun yang minum langsung
dari keran tersebut. Artinya ada dua kemungkinan; fasilitas itu
rusak, atau pengunjung bawa minum sendiri.

Gazebo
Di tengah taman terdapat sebuah gazebo yang dulu digunakan
sebagai tempat duduk dan bersantai. Sekarang gazebo tersebut
dipasangi teralis dan pintu, serta dikunci. Artinya tidak bisa
digunakan lagi oleh pengunjung taman. Entah apa alasannya
sehingga tempat ini menjadi tertutup untuk umum.

Batas taman di sebelah timur adalah aliran kanal Cikapayang yang


airnya cukup bersih, meskipun alirannya kecil dan tidak terlalu
deras. Kanal ini dibatasi oleh pagar besi yang memanjang, namun
sayang ada dua pagar yang kondisinya rusak, sehingga cukup
membahayakan jika ada anak kecil yang main di sekitarnya.
Patung Raden Dewi sartika
Di timur aliran Cikapayang adalah Jl. Merdeka yang dibatasi oleh
trotoar, yang kini trotoar tersebut sedang dipercantik dengan pagar,
bunga, dan lampumaungyang keren. Lampu itu berbeda dengan
lampu taman yang ada di dalam. Antara Taman Balai Kota dengan
trotoar disambungkan oleh sebuah jembatan yang melintas di atas
kanal Cikapayang. Kemudian ada juga jembatan penyeberangan
yang melintas Jl. Merdeka.
Semenjak taman-taman kota ramai dikunjungi masyarakat,
beberapa tembok di pinggir jalan “dihiasi” kata-kata sindiran
sebagai bentuk kritik kepada pemerintah, yang tidak menyediakan
toilet di dalam taman. Salah satunya yaitu yang terdapat di Jl.
Perintis Kemerdekaan, tak jauh dari Gedung Indonesia Menggugat.
Hal ini sebagai fakta bahwa masyarakat tidak “lelap” hanya dengan
fasilitas umum yang didayagunakan, namun mereka juga tetap
menyimpan daya kritis sebagai bukti cintanya kepada kota.

Kayanya sih buat penerangan


Syukurlah di Taman Balai Kota kini tersedia fasilitas toilet dan
sekaligus musholla, meskipun pengerjaannya belum selesai dan
belum bisa digunakan, namun ini membuktikan bahwa pemerintah
merespon dengan cukup cepat aspirasi yang berkembang di
masyarakat.

Taman Balai Kota dikelilingi oleh Jl. Merdeka di sebelah timur, Jl.
Wastukancana di barat, Jl. Aceh di utara, dan Jl. Perintis
Kemerdekaan di selatan. Di ke empat jalan tersebut disedikan jalur
khusus untuk pengendara sepeda, meskipun sebenarnya tetap jalan
yang sama dengan para pengendara mobil dan sepeda motor. Jalur
tersebut hanya dibatasi oleh sebuh garis putih dan dipertegas
dengan beberapa gambar sepeda di dalam jalur tersebut. Dari segi
keamanan–apalagi jika dihadapkan dengan kesadaran berkendara
yang masih minim, tentu jalur khusus sepeda ini masih jauh dari
optimal.

Jalur Sepeda

Jalur sepeda tersebut dibuat untuk mendukung program “Jum’at


Bersepeda” yang diluncurkan oleh pemkot, maka tak heran jika di
halaman Balai Kota terdapat tempat parkir sepeda. Seperti parkiran
untuk mobil, tempat parkir sepeda pun dilengkapi tulisan khusus
untuk para “inohong” seperti Kepala Dinas.
Satu hal yang patut diperhatikan untuk para pengendara mobil
adalah, mobil yang tidak memiliki tanda lulus uji emisi, dilarang
parkir di komplek Balai Kota. Namun pada pelaksanaan kontrolnya;
apakah berlaku ketat atau sebaliknya, memang perlu pengamatan
dan informasi yang lebih lanjut.

Masjid Al Ukhuwah
Di sebelah barat terdapat Masjid Al Ukhuwwah yang berfungsi selain
untuk sholat lima waktu, juga untuk sholat Jum’at para pegawai
Balai Kota dan masyarakat sekitar. Di lahan masjid itu dulunya
berdiri sebuah loji gerakan Freemasonry yang bernama St. Jan, atau
dalam lidah Sunda menjadi Setan. Us Tiarsa dalam kenangan masa
kecilnya sempat menulis :

“Nu disebut Gedong Sětan těh, gedong leutik peuntaseun Gedong


Papak (Balěkota) beulah kulon. ěta gedong wangunna mah teu beda
ti gerěja. Ceuk kolot mah saban poě, rěk beurang rěk peuting
peuting, rěa julig nyiliwuri, sětan marakayangan, jeung jin kapir ti
mana ti mendi ngadon carurak-curak di dinya.”
Namun kemudian beliau mengetahui nama dan fungsi gedung
tersebut yang sebenarnya, ternyata berbeda dengan apa yang
beliau dengar dari orangtuanya :

“Kakara běh dieu nyaho yěn ěta gedong (loji) těh baheulana tempat
kaom těosofi karumpul. Ngaran gedongna těh Saint Jan.”
Tangganya terlalu curam
Masjid Al Ukhuwwah dan Balai Kota dihubungkan oleh sebuah
jembatan penyeberangan yang anak tangganya curam. Jangankan
untuk penyandang difabel, untuk manusia normal pun anak tangga
itu cukup mengkhawatirkan. Mungkin karena itulah, kini di dekat
gerbang masuk Balai Kota sebelah barat dibuat zebra crossyang
dilengkapi dengan tombol penyeberangan. Setiap pejalan kaki yang
mau menyeberang cukup memijat tombol tersebut, nanti lampu
merah dan sirine akan menyala untuk menghentikan para
pengendara.
Namun ada saja hal ironi yang menyertai, zebra cross itu ternyata
berujung pada sebuah tembok. Persis seperti zebra cross yang di Jl.
Aceh, dulu sebelum ada pemberitahuan dari masyarakat, zebra
cross tersebut berujung pada sebuah pagar. Atau seperti halte
angkot di Jl. Pasirkaliki, mulanya halte itu persis menghadap pagar,
jadi kalau mau naik angkot harus naik pagar dulu. Juragan sehat?
***
Jembatan di Cikapayang
Taman Balai Kota secara umum telah memenuhi kebutuhan
masyarakat akan ruang publik untuk interaksi sosial, yang selama
ini kurang diperhatikan. Suksesi kepemimpinan memang banyak
mendorong akan pemenuhan kebutuhan ini. Hal ini tentu—bagi
pemkot, adalah panen pujian yang dituai dari masyarakat, terutama
yang tersaji di media sosial populer. Namun walau bagaimana pun,
ruang publik ini tetap menyisakan sejumlah kekurangan yang
secepatnya perlu dibenahi. Agar ke depan, tempat berkumpul
masyarakat yang murah meriah ini lebih genah-merenah-
tumaninah. [ ]

Lampu Maung
Trotoar di Jl. Merdeka sedang dipercantik

Kedah lulus uji emisi

Latihan nari dulu biar kekinian


Omat runtah piceun kana tempatna lur!
Foto : Arsip Irfan Teguh Pribadi

Tautan asli: http://wangihujan.blogspot.com/2015/01/ada-apa-di-


taman-balai-kota.html

Anda mungkin juga menyukai