Kebutuhan akan air minum memang cukup besar, apalagi bagi anak-
anak dan remaja yang mayoritas beraktifitas fisik seperti menari
dan main bola, yang tentunya akan cepat membutuhkan air untuk
menggantikan cairan tubuh yang keluar. Namun sepanjang yang
saya perhatikan, tidak ada satu orang pun yang minum langsung
dari keran tersebut. Artinya ada dua kemungkinan; fasilitas itu
rusak, atau pengunjung bawa minum sendiri.
Gazebo
Di tengah taman terdapat sebuah gazebo yang dulu digunakan
sebagai tempat duduk dan bersantai. Sekarang gazebo tersebut
dipasangi teralis dan pintu, serta dikunci. Artinya tidak bisa
digunakan lagi oleh pengunjung taman. Entah apa alasannya
sehingga tempat ini menjadi tertutup untuk umum.
Taman Balai Kota dikelilingi oleh Jl. Merdeka di sebelah timur, Jl.
Wastukancana di barat, Jl. Aceh di utara, dan Jl. Perintis
Kemerdekaan di selatan. Di ke empat jalan tersebut disedikan jalur
khusus untuk pengendara sepeda, meskipun sebenarnya tetap jalan
yang sama dengan para pengendara mobil dan sepeda motor. Jalur
tersebut hanya dibatasi oleh sebuh garis putih dan dipertegas
dengan beberapa gambar sepeda di dalam jalur tersebut. Dari segi
keamanan–apalagi jika dihadapkan dengan kesadaran berkendara
yang masih minim, tentu jalur khusus sepeda ini masih jauh dari
optimal.
Jalur Sepeda
Masjid Al Ukhuwah
Di sebelah barat terdapat Masjid Al Ukhuwwah yang berfungsi selain
untuk sholat lima waktu, juga untuk sholat Jum’at para pegawai
Balai Kota dan masyarakat sekitar. Di lahan masjid itu dulunya
berdiri sebuah loji gerakan Freemasonry yang bernama St. Jan, atau
dalam lidah Sunda menjadi Setan. Us Tiarsa dalam kenangan masa
kecilnya sempat menulis :
“Kakara běh dieu nyaho yěn ěta gedong (loji) těh baheulana tempat
kaom těosofi karumpul. Ngaran gedongna těh Saint Jan.”
Tangganya terlalu curam
Masjid Al Ukhuwwah dan Balai Kota dihubungkan oleh sebuah
jembatan penyeberangan yang anak tangganya curam. Jangankan
untuk penyandang difabel, untuk manusia normal pun anak tangga
itu cukup mengkhawatirkan. Mungkin karena itulah, kini di dekat
gerbang masuk Balai Kota sebelah barat dibuat zebra crossyang
dilengkapi dengan tombol penyeberangan. Setiap pejalan kaki yang
mau menyeberang cukup memijat tombol tersebut, nanti lampu
merah dan sirine akan menyala untuk menghentikan para
pengendara.
Namun ada saja hal ironi yang menyertai, zebra cross itu ternyata
berujung pada sebuah tembok. Persis seperti zebra cross yang di Jl.
Aceh, dulu sebelum ada pemberitahuan dari masyarakat, zebra
cross tersebut berujung pada sebuah pagar. Atau seperti halte
angkot di Jl. Pasirkaliki, mulanya halte itu persis menghadap pagar,
jadi kalau mau naik angkot harus naik pagar dulu. Juragan sehat?
***
Jembatan di Cikapayang
Taman Balai Kota secara umum telah memenuhi kebutuhan
masyarakat akan ruang publik untuk interaksi sosial, yang selama
ini kurang diperhatikan. Suksesi kepemimpinan memang banyak
mendorong akan pemenuhan kebutuhan ini. Hal ini tentu—bagi
pemkot, adalah panen pujian yang dituai dari masyarakat, terutama
yang tersaji di media sosial populer. Namun walau bagaimana pun,
ruang publik ini tetap menyisakan sejumlah kekurangan yang
secepatnya perlu dibenahi. Agar ke depan, tempat berkumpul
masyarakat yang murah meriah ini lebih genah-merenah-
tumaninah. [ ]
Lampu Maung
Trotoar di Jl. Merdeka sedang dipercantik