Anda di halaman 1dari 11

TRAVELIST

Edisi 1 | Juni-Juli 2011

Satisfying Your Craving for Travel

Jakarta Tak Melulu Pusat Perbelanjaan

Laput

Agustinus Wibowo, Seorang Musafir

Interview

Mendelik Dinamika Surabaya Utara

Fitur

EDITORIAL NOTES
Fellow Travelers! Jaman sekarang ini para traveler kok sepertinya dikotak-kotakkan dengan berbagai istilah. Ada yang ngaku Backpaker, pejalan kere dengan backpack sebesar pecahan gunung tambora. Ada yang ngaku Flashpaker, yang ngaku mau kere tapi tetep update dengan sejuta gear imutnya. Serta ratusan istilah lainnya yang kami lupa namanya. Kami tak mau membeda-bedakan kalian. Apapun istilah yang dipakai, kita sama-sama pejalan. Kita saudara seperjalanan. Sebagai saudara yang baik, kami ingin berbagi kepada kamu. Dengan media The-Travelist ini, kami akan berbagi dengan kamu. Kami secara garis besar mempunyai dua fungsi. The-Travelist sebagai media berbagi dan media pembelajaran. Sebagai media berbagi, kami akan berusaha memberikan pengetahuan kami tentang destinasi perjalanan yang menyenangkan. Tak harus menembus rimba dan mengarungi lautan, di kota anda sendiripun sebenarnya banyak tempat yang sexy untuk dijelajahi. Sebagai media pembelajaran, jelas, kami adalah media yang tumbuh berkembang. Kami membuka kesempatan untuk para kontributor yang ingin memasukkan tulisannya kesini. Rubrik Travelers Tale selalu dibuka untuk para traveler yang mempunyai pengalaman yang berlebihan. Untuk para anak muda yang ingin berkiprah di dunia penulisan perjalanan, kami sangat menunggu tulisan dari kalian. Hakikat seorang pejalan, selalu belajar ketika berjalan, dan selalu berbagi pengalaman sepulang dari perjalanan. Maka The-Travelist ada untuk para Traveler yang ingin belajar dan berbagi, karena kita bersaudara. Cheers! The-Travelist Satisfying Your Craving for Travel!

TRAVELIST
Edisi 1 | Juni-Juli 2011

daftar isi
Tak Melulu 5 || JakartaPerbelanjaan Pusat 23 || Jepret Interview 27 || Agustinus Wibowo, Seorang Musafir Travelers Tales 41 || Tarempa, Kopi Kota Penikmat

Majalah online dua bulanan terbitan pecinta traveling untuk memuaskan hasrat traveling para traveler dan calon traveler lainnya. Silahkan download dan sebarkan ke temanteman kamu supaya semakin banyak orang Indonesia yang menjelajah Indonesia bagian lain, mungkin saja kita bertemu di suatu tempat.

Laput

REDAKSI
Editorial Team Editor In Chief Ferzya (@ferzyaya) Reporter Farhaniza (@lafflyunya) Fikri (@hiumacan) Art Director Lingga (@linggabinangkit) Supporting Team Project Leader Wana (@wana23) Web Developer Lingga (@linggabinangkit) Social Media Master Ferzya (@ferzyaya) Contributor team Ary siary Hartanto (@desainary) Yudi Febri (@kudaliarr) Dwi Putri Ratnasari (@dwiputrirats) Ayos Purwoaji (@aklampanyun) Lusi Margiyani Web: www.the-travelist.com Email: thetravelist@ymail.com

49 ||

Mendelik Dinamika Surabaya Utara

59 || Pulau Banda, Terbesar di Dunia Pulau Rempah 69 || Review

15

31

43

53

5|6 laput

Jakarta tak Melulu Pusat


Perbelanjaan

Tulisan oleh Ferzya & Farhaniza Foto oleh Ary Siary Hartanto

ayaknya kebanyakan ibu kota di dunia, Jakarta merupakan salah satu kota dengan aktivitas yang

cukup padat dan salah satu destinasi yang cukup penting selaku gerbang utama memasuki Indonesia. Sayang, kebanyakan orang menjadikan Jakarta sekedar tempat transit ataupun sekedar untuk merasakan riuhnya ibukota negara dengan ratusan mall yang tersebar di seluruh ibukota.

7|8 laput

Kota yang dulu disebut Batavia oleh kaum kolonial, kini telah berubah menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat industri dengan pelabuhan yang padat dan aktivitas shopping yang tidak pernah mati. Tinggallah Museum Fatahillah yang terletak di Oud Batavia atau kini lebih kenal dengan sebutan Kota Tua Jakarta. Jika dilihat sepintas, selain mengunjungi mall, tempat yang sering dikunjungi adalah Kota Tua Jakarta. Tak hanya sekedar tempat untuk berjalan-jalan dengan ontel, kota tua juga menjadi tempat pemotretan untuk

prewedding, fashion, bahkan pembuatan film. Sayangnya kebanyakan orang hanya mengenal Jakarta sebagai pusat shopping dengan segudang mall-nya, dan Kota Tua sebagai bukti peninggalan sejarah. Padahal, tak sesempit itu. Jakarta, bukan hanya sekedar ibukota padat yang dijejali kendaraan, tapi juga dipadati oleh tempat menarik yang wajib untuk dijelajahi. Menjelajah Jakarta pun tidaklah sulit, kemudahan transportasi dalam kota merupakan fasilitas yang paling cocok untuk digunakan.

Pecinan-Glodok

ebut saja pecinan di Glodok, Jakarta Barat merupakan daerah yang menarik

Klenteng Petak Sembilan kini merupakan klenteng tertua di Jakarta. Tiap tahun, beribu-ribu warga Jakarta datang ke klenteng ini untuk merayakan Imlek. Ya, warga Jakarta disini tidak hanya orang Cina itu sendiri, namun warga-warga non Tionghoa pun kerap hadir untuk menyaksikan beragam tata cara perayaan Imlek maupun hanya untuk sekedar mengais rezeki dari warga-warga yang merayakan dengan memberi angpao. Klenteng tertua di Jakarta ini konon tidak hanya unik karena luas bangunannya yang mencapai 3.000 meter persegi ataupun posisinya yang membelakangi laut, namun karena di Klenteng ini tidak secara khusus

untuk disinggahi, dengan klentengnya yang bernama Klenteng Jin De Yuan atau Klenteng Petak Sembilan. Klenteng yang mula-nya bernama Guan Yin Ting (Paviliun Guang Yin) pada tahun 1740 musnah terbakar oleh padatnya api saat Tragedi Pembantaian Angke atau pembantaian massal Etnis Cina tanggal 14 November di tahun yang sama. Akhirnya nama Jin De Yuan menjadi nama tetap pada tahun 1755 setelah dilakukannya pemugaran kembali oleh Kapitien Tionghoa, nama tersebut memberi arti baginya; Klenteng Kebajikan Emas.

9|10 laput

memuja satu aliran atau agama saja, namun berbagai agama seperti Tao, Khonghucu dan Buddha. Jika kita memasukinya, dan berdiri di halaman luar, maka akan terlihat tiga klenteng yang dipersembahkan untuk Leluhur Hakka, Raja Neraka dan Dewa Pemberi Kekayaan. Bangunan utama klenteng Petak Sembilan ini dikelilingi bangunan lainnya, jika dilihat dari depan maka bentuknya seperti aksara U terbalik. Apabila masuk ke halaman kedua dimuka klenteng utama jangan kaget karena kita akan mendapati dua singa yang berasal dari Provinsi Kangtung di Tiongkok Selatan. Konon kedua singa ini dibuat pada tahun 1812. Arsitektur pembuat klenteng ini sepertinya benar-benar mengerti hakikat sebuah klenteng umum dan sangat menjunjung tinggi filosofi Cina. Hal ini terlihat dari lambang-lambang yang terukir di dalam bangunan. Contohnya saja pada jendela bundar di gedung induk yang melambangkan Qi Lin, binatang yang menyerupai unicorn atau kuda bercula satu. Binatang ini dianggap lambang keberuntungan yang luar biasa. Jika diperhatikan lebih seksama, di bagian kanan dan kiri bangunan utama terdapat pintu samping yang jarang dibuka. Ujung bumbungannya mencuat ke atas dan terbelah dua dalam gaya yang disebut Gaya Ekor Walet, mungkin disebut seperti itu karena bentuk ekornya yang terbelah dua seperti ekor burung wallet. Uniknya, pada masa lalu ujung bumbungan seperti ini hanya boleh dipakai untuk menghiasi bangunan klenteng dan gedung-gedung

11|12 laput

pemuka masyarakat Tionghoa seperti Majoor, Kapitein dan Luitenant. Saya takjub pada keindahan arsitektur klenteng ini dan hanya kagum melihat ukiran-ukiran luar biasa yang terdapat di setiap bagian klenteng, baik di dalam maupun di luar. Setelah puas melihat bagian bangunan utama, saya beralih ke gedung samping kiri. Disini merupakan bekas kamar-kamar para rahib dan nama mere-ka masih tertulis pada beberapa lempeng batu. Dalam kamar pertama terpasang altar paling tua dari seluruh klenteng di Jakarta. Kamar kedua diisi oleh Dewa Tao Fu De Zheng Shen yakni dewa bumi dan kekayaan. Dewa Tao merupakan dewa yang paling dihormati mengingat pada jaman dahulu kaum Cina atau Tionghoa bekerja sebagai pedagang dan petani. Dari semua hal yang terdapat di Klenteng Petak Sembilan ini sebenarnya yang paling membuat saya berdecak kagum adalah betapa tegas klenteng ini mengukuhkan dirinya sebagai klenteng umum. Hal ini terlihat dari papan pujian yang digantung sejak tahun 1757 di atas ruang utama dengan huruf Jin De Yuan terbaca sepasang syair di kiri dan kanan pintu. Dipandang dari dalam klenteng, tulisan yang ditulis oleh ketua klenteng pada waktu itu memiliki arti: Pedupaan mas mengepulkan awan kebahagian, semua tempat terbuka, demikian pula dengan alam Dharma. Gedung kebajikan menampakkan atmosfir kejayaan yang menyebar luas di alam manusia.

13|14 laput

Jalan SurabayaMenteng D
juga dengan sebutan Surabaya Street.

ari Pecinan di sebelah barat Jakarta sekarang kita beralih ke bagian pusat, tepatnya daerah

Menteng dengan rincian Jalan Surabaya atau dikenal Jalan yang konon katanya pernah dikunjungi oleh Mick Jegger, Sharon Stone, bahkan Bill Clinton ini penuh dengan barang-barang antik. Pengunjungnya dari kolektor-kolektor barang antik, biasanya yang mereka cari adalah barang-barang yang sulit ditemukan di pasar antik lainnya seperti guci porselen asli buatan Cina yang sudah lama, lampu minyak buatan Belanda, meriam buatan Portugis, hingga lampu kristal asli buatan Cekoslovakia. Pada akhir pekan biasanya jalanan ini akan padat dipenuhi oleh deretan mobil, baik dari warga Jakarta maupun luar Jakarta. Sejak diresmikan pada tahun 1974 oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, Jalan Surabaya kerap dikunjungi oleh berbagai kalangan. Kalangan yang datang dari luar negeri biasanya berasal dari Australia, Belanda, Spanyol, Jepang, Thailand, Cina, Amerika dan Turki. Sedangkan kalangan dari dalam negeri biasanya penggemar barang antik yang umurnya sudah separuh baya. Uniknya, akhir-akhir ini ada kalangan muda yang kerap datang ke jalanan ini, biasanya mereka adalah anak muda yang sedang menggandrungi vinyl atau piringan hitam. Adapun kalangan muda lainnya dari anak-anak yang sedang mengoleksi barang antik untuk fashion.

15|16 laput

Ya,

siapa

sangka

daerah

yang

tadinya hanya terdiri dari pohon-pohon dan pedagang-pedagang yang tadinya berjualan dengan berkeliling kota lama kini menjadi salah satu tempat yang patut dikunjungi apabila ke kota Jakarta. Terletak di pusat kota, daerah ini dekat dengan kompleks Bioskop Megaria. Untuk mengunjunginya pun tidak sulit karena banyaknya kendaraan umum yang melewati daerah ini.

17|18 laput

Oud Batavia (Kota Tua) D

ari jalan Surabaya, saya ingin melihat kembali daerah yang dulunya menjadi salah

satu tempat mencari nafkah para pedagang barang antik generasi pertama, maka saya memutuskan untuk pergi ke Kota Tua, tempat wisata yang marak dijadikan tempat pemotretan.

Anda mungkin juga menyukai