Anda di halaman 1dari 6

A.

Pengertian Sabar
Sabar berasal dari bahasa Arab dari akar Shabara (َ‫صبَ َر‬
َ ), hanya tidak yang berada
dibelakang hurufnya karena ia tidak biasa berdiri sendiri. Shabara’ala (‫علَى‬
َ ‫صبَ ََر‬
َ )berarti
bersabar atau tabah hati, shabara’an (‫ر عَن‬
ََ َ‫صب‬
َ ) berarti memohon atau mencegah, shabarabihi
(َ‫صبَ ََر ِب ِه‬
َ ) berarti menanggung.
Sabar dalam bahasa Indonesia berarti : Pertama, tahan menghadapi cobaan seperti tidak
lekas marah, tidak lekas putus asa dan tidak lekas patah hati, sabar dengan pengertian sepeti
ini juga disebut tabah, kedua sabar berarti tenang, tidak tergesa-gesa dan tidak terburu-buru.
Dalam kamus besar Ilmu Pengetahuan, sabar merupakan istilah agama yang berarti sikap
tahan menderita, hati-hati dalam bertindak, tahan uji dalam mengabdi mengemban perintah-
peintah Allah serta tahan dari godaan dan cobaan duniawi Aktualisasi pengertian ini sering
ditunjukan oleh para sufi.
Dalam pendekatan ilmu Fikih, sabar didefinisikan sebagai tabah, yakni dapat
menahan diri dari melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam, baik dalam
keadaan lapang maupun sulit, mampu mengendalikan nafsu yang dapat menggoncangkan
iman. Menurut Ibnu Qayyim sabar berarti menahan diri dari keluh kesah dan rasa benci,
menahan lisan dari mengadu, dan menahan anggota badan dari tindakan yang mengganggu
dan mengacaukan.
Definisi sabar menurut Qur’an surat Ali’Imran ayat 146-147
‫ستَكَانُواَ َو ه‬
َُ‫َّللا‬ َ ُ‫ضعُ َف‬
ْ ‫واَو َماَا‬ َ َ‫َو َما‬
َ ِ‫ََّللا‬
‫سبِي ِل ه‬ َ َ ‫اَو َهنُواَ ِل َماَأ‬
َ َ‫صابَ ُه ْم َفِي‬ َ ‫ير َفَ َم‬ ِ ‫َو َكأَيِ ْن‬
ٌ ِ‫َم ْن َنَبِي ٍَّقَاتَلََ َمعَهُ َِربِيُّونَ َ َكث‬
ََ‫صابِ ِرين‬
‫بَال ه‬
ُّ ‫يُ ِح‬
َ‫علَى َا ْلقَ ْو ِم‬ َ ‫َوثَبِتْ َأ َ ْقدَا َمَنَا‬
ُ ‫َوا ْن‬
َ َ ‫ص ْرنَا‬ َ ‫س َرافَنَا َفِي َأ َ ْم ِرنَا‬
ْ ‫َو ِإ‬ َ ‫َو َما َكَانَ َقَ ْولَ ُه ْم َإِال َأ َ ْن َقَالُوا‬
َ ‫َربهنَا َا ْغ ِف ْر َلَنَا َذُنُوبَنَا‬
ََ‫ا ْلكَافِ ِرين‬
Artinya : “Dan berapa banyaknya Nabi yanhg berperang bersama-sama mereka sejumlah
besar dari pengikut-(nya) yang bertakwa, meraka tidak menjadi lemah karena bencana yang
menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh).
Allah menyukai orang-orang yang sabar. Tidak ada doa mereka selain ucapan “Ya Tuhan
kami ampunilah dosa-dosa tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan
kami, dan tolonglah kami terhadap kaum kafir”.
Orang yang sabar menurut ayat tersebut adalah yang apabila ditimpa musibah tidak
menjadi lemah, lesu dan menyerah dengan keadaan yang terjepit, bahkan ketika ditimpa
musibah, orang yang sabar berdoa memohon ampum kepada Allah atas dosa-dosa dan
tindakan-tindakan yang melampaui batas-batas hukum yang telah ditetapkan Allah SWT.
Sabar menurut Ibnu Katsir ada tiga macam : Pertama, sabar dalam meninggalkan hal yang
diharamkan dan dosa. Kedua, sabar dalam melakukan kekuatan dan kedekatan kepada Allah.
Kesabaran yang kedua adalah yang paling besar pahalanya, sebab sabar ini memiliki nilai
yang hakiki. Ketiga, yaitu sabar dalam menghadapi berbagai bencana dan petaka. Ketika
mendapat bencana ia tidak berkeluh kesah, tetapi memohon ampum dari perbuatan aib.
Ibnu Qayyim al-Jauziah membagi motivasi sabar dalam tiga macam : sabar dengan
(pertolongan) Allah, sabar karena Allah, dan sabar bersama Allah. Pertama adalah meminta
pertolongan kepada-Nya sejak awal dan melihat bahwa Allah-lah yang menjadikannya sabar,
dan bahwa kesabaran seorang hamba adalah dengan (pertolongan) Tuhannya, bukan dengan
dirinya semata. Sebagaimana Firman Allah :
َ ‫صب ُْركََ ِإاله ِبا‬
ِ‫لل‬ َ ‫ص ِب َْر َو َما‬
ْ ‫َوا‬
Artinya : “Bersabarlah, dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan
Allah”. (Al-Nahl, ayat 127)
Yakni seandainya Allah tidak menyabarkanmu niscaya engkau tidak akan bersabar,
Kedua, sabar karena Allah, yakni hendaklah yang mendorongmu untuk bersabar itu adalah
karena cinta kepada Allah, mengharapkan keridhaan-Nya, dan untuk mendekatkan kepada-
Nya, bukan untuk menmpakkan kekuatan jiwa, mencari pujian makhluk, dan tujuan-tujuan
lainnya.
Ketiga, sabar bersama Allah yakni dalam perputaran hidupnya hamba selalu bersama
dan sejalan dengan agama yang dikehendaki Allah dan hukum-hukum agamanya-Nya.
Menyabarkan dirinya untuk selalu bersamanya, berjalan bersamanya, berhenti bersamanya,
menghadap kemana arah agama itu menghadap dan turun bersamanya.
B. Pengertian Syukur
Kata syukur (‫شك ُْور‬
ُ ) adalah bentuk mashdar dari kata kerja syakara -yasykuru - syukran -
wa syukuran -wa syukranan(–‫شك َْرانًا‬
ُ ‫شك ُْو ًرا– َو‬
ُ ‫شك ًْرا– َو‬ ْ ‫ َي‬-‫شك َََر‬
ُ – َ‫شك ُُر‬ َ َ). Kata kerja ini berakar
dengan huruf-huruf syin (‫شيْن‬
ِ ), kaf (‫)كَاف‬, dan ra’ (‫) َراء‬, yang mengandung makna antara
lain ‘pujian atas kebaikan’ dan ‘penuhnya sesuatu’.
Al-Asfahani menyatakan bahwa kata syukur mengandung arti “gambaran di dalam
benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan”. Pengertian ini diambil dari asal
kata “syakara”(َ‫شك ََر‬
َ ), yang berarti ‘membuka’ sehingga ia merupakan lawan dari kata
“kafara”(kufur)”yang berarti ‘menutup’, atau ‘melupakan nikmat dan menutup-nutupinya’.
Jadi, membuka atau menampakkan nikmat Allah antara lain di dalam bentuk memberi
sebahagian dari nikmat itu kepada orang lain, sedangkan menutupinya adalah dengan bersifat
kikir. Makna yang dikemukakan pakar di atas dapat diperkuat dengan beberapa ayat Al-
Quran yang memperhadapkan kata syukur dengan kata kufur, antara lain dalam QS lbrahim
(14) ayat 7:
َ َ‫عذَا ِبيَل‬
‫شدِي ٌَد‬ َ َ ‫َولَ ِئ ْنَ َكفَ ْرت ُ ْمَ ِإنه‬
َ ‫َألزي َدنه ُك ْم‬ َ َ‫َو ِإ ْذَتَأَذهن‬
َ َ‫َربُّ ُك ْمَلَ ِئ ْن‬
ِ ‫شك َْرت ُ ْم‬
“Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku) untukmu, dan bila kamu kufur,
maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih”.
Hakikat syukur adalah "menampakkan nikmat,” dan hakikat kekufuran adalah
menyembunyi- kannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti menggunakannya pada
tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat
dan pemberinya dengan lidah:
M. Quraish Shihab menegaskan bahwa syukur mencakup tiga sisi. Pertama, syukur
dengan hati, yakni kepuasaan batin atas anugerah. Kedua, syukur dengan lidah, yakni
dengan mengakui anugerah dan memuji pemberinya. Ketiga, syukur dengan perbuatan, yakni
dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.
Kata syukur (‫شك ُْور‬
ُ ) juga berarti puji, dan bila dicermati makna syukur dari segi pujian maka
kiranya dapat disadari bahwa pujian terhadap yang terpuji baru menjadi wajar bila yang
terpuji melakukan sesuatu yang baik secara sadar dan tidak terpaksa.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kata syukur (‫شك ُْور‬
ُ ) dan kata-kata yang seakar
dengannya di dalam Al-quran meliputi makna ‘pujian atas kebaikan’, ‘ucapan terimakasih’,
atau ‘menampakkan nikmat Allah ke permukaan’, yang mencakup syukur dengan hati,
syukur dengan lidah, dan syukur dengan perbuatan. Di dalam hal ini, syukur juga diartikan
sebagai ‘menggunakan anugerah Ilahi sesuai dengan tujuan penganugerahannya’.
C. Pengertian Qana’ah
Qana’ah artinya sikap merasa cukup atau menerima apa adanya terhadap segala usaha
yang telah dilaksanakannya. Sifat qana’ah akan mengendalikan diri seseorang dari keinginan
memenuhi hawa nafsu. Sebagai seorang muslim yang berjiwa kuat, sikap qana’ah tentunya
sangat penting untuk dimiliki. Dengan sikap qana’ah seorang muslim akan terhindar dari rasa
rakus dan serakah ingin menguasai sesuatu yang bukan miliknya. Seseorang yang memiliki
sikap qana’ah akan merasa kecukupan dan selalu berlapang dada. Dalam dirinya yakin akan
apa yang ia peroleh dari usahanya adalah atas kehendak Allah SWT. Ia sadar bahwa hanya
Allah yang mengatur rejeki, hidup, mati dan jodoh seseorang.
Rasulullah SAW bersabda :
َ ُ‫اوقَنهعَ َه‬
ُ‫للا‬ َ ً‫سلَ ََم َو ُر ِزقََ َكفَاف‬
ْ َ‫ن ا‬ ََ َ‫ قَ ْدا َ ْفل‬: ‫سله ََم‬
َْ ‫ح َم‬ َ ‫علَ ْي ِهَ َو‬ َ ‫صلهى‬
َ ُ‫للا‬ َ ِ‫للا‬ ُ ‫قَا َلَ َر‬: ‫ع َم َرقا َ ََل‬
َ ‫س ْو َُل‬ ُ َ‫للاِ اب ِْن‬
َ ‫ع ْب ِد‬
َ ‫َن‬ َْ ‫ع‬
ُ‫بِماَات َ َه‬

“Artinya : ”Abdullah bin Umar berkata, ”Bersabda Rasulullah SAW, ”Sungguh beruntung
orang-orang yang masuk Islam, mendapat rejeki secukupnya dan ia merasa cukup dengan
apa yang telah Allah berikan kepadanya”. (HR. Muslim)
َ ِ ‫َن َكثْ َر ِةا ْل َع َر‬
‫ض َول ِكنهَ ا ْل ِغنَى‬ َْ ‫ْس ا ْل ِغنَى ع‬
ََ ‫لَي‬:‫سله ََم‬
َ ‫علَ ْي َِه َو‬ َ ‫ قَا ََل النبي‬: ‫عن ابى هريرة رضي للا عنه قال‬
َ ‫صلهى‬
َ ُ‫للا‬
‫نى النه ْفسِه‬
ََ ‫ِغ‬
Artinnya:”Rasulullah saw bersabda, ” Bukannya kekayaan itu karena banyak hartanya,
melainkan kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hatinya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut saya, sabar adalah menahan diri dari segala emosi yang timbul pada diri kita
terkhususnya emosi yang negatife. Syukur adalah rasa terima kasih terhadap segala nikmat
yang Tuhan anugerahkan ke dalam hidup kita. Sedangkan Qana’ah adalah merasa cukup dan
menerima terhadap apa yang telah ditentukan oleh Allah Swt. Jika dikaitkan dengan cara
penanggulangan penyakit-penyakit hati dan masalah-masalah social adalah sebagai berikut:
Ketiga unsure korelasi tersebut memiliki peran yang sangat penting dalam mengatasi
penyakit hati dan masalah social di era saat ini. Ketika manusia dihadapkan pada suatu
masalah yang telah tertera diatas, peran ketiga unsure tersebut sangat erat hubungannya
dalam mengatasi masalah tersebut. Seperti yang telah kita ketahui, dalam Islam telah
mengajarkan tentang kehidupan yang sederhana, bukan kehidupan yang hedonis. Kita hidup
didunia tidak selalu mendapatkan kemudahan, tidak selalu mendapatkan apa yang kita
inginkan, tidak selalu bisa bermewah-mewahan, jika manusia di era saat ini tidak
mempunyai kontrol terhadap keinginannya maka akan timbul penyakit-penyakit hati dan
masalah-masalah social. Hal ini disebabkan karena keringan makna spiritual yang dimiliki.
Jika mereka dapat mengkorelasi antara sabar, syukur, dan qana’ah, tentunya mereka tidak
akan mengalami masalah-masalah tersebut. Seperti halnya ketika kita dapat bersabar
terhadap cobaan yang kita alami, tentunya hati kita akan terasa tentram, apabila kita dapat
bersyukur terhadap segala sesuatu yang kita peroleh, tentunnya kita akan merasakan nikmat
yang sempurna, dan ketika kita dapat qona’ah tentunya kita akan merasa cukup terhadap
segala yang telah diberikan Allah Swt. Sesungguhnya Allah memberikan cobaan terhadap
makhluknya bukan untuk mempersulit, namun untuk mengingatkan kejalan-Nya. Setiap
orang tentunya mempunyai masalah, dan masalah tersebut terasa berat apabila kita tidak
menyandarkannya terhadap Allah. Allah lebih tau tentang kemampuan umatnya, dan
memberikan cobaan sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dalam surat al-baqarah ayat 286:
َ‫سعَ َها‬
ْ ‫َو‬ ً ‫َٱَّللَُنَ ْف‬
ُ ‫ساَ ِإ هال‬ ‫ف ه‬ ُ ‫َالَيُك َِل‬
Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Tidak cukup sampai disitu bahwa Allah juga memerintahkan kita untuk bersabar dalam
menghadapi segala cobaan. Seperti dalam surat Al-baqarah ayat: 45
ِ ‫علَىَا ْل َخا‬
ََ‫ش ِعين‬ َ َ‫يرةٌَإِال‬
َ ِ‫َوإِنه َهاَلَ َكب‬
َ ‫صال ِة‬
‫َوال ه‬ ‫ست َ ِعينُواَبِال ه‬
َ ‫صب ِْر‬ ْ ‫َوا‬
Artinya: Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'.
Tapi maksud disini bukannya manusia hanya bersabar dan berdiam diri tanpa
melakukan usaha sedikitpun. Manusia juga harus berusaha semaksimal mungkin untuk
menyelesaikan masalahnya, Seperti dalam surat al-Ra’d ayat: 11
َ‫ََّللاََالَيُغَيِ ُرَ َماَبِقَ ْو ٍّمَ َحتهىَيُغَيِ ُرواَ َماَبِأ َ ْنفُس ِِه ْم‬
‫إِنه ه‬
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Kesimpulannya, ketika manusia mampu menerapkan ketiga unsure tersebut dalam
kehidupannya, saat manusia dihadapkan pada permasalahan yang berat ia mampu menyikapi
permasalahan tersebut dengan tenang dan selalu menyadarkan segala sesuatu kepada Allah.
Cobaan tersebut bukan menjadi beban bagi manusia namun, akan menambahkan keimanan
seseorang. Jika Allah memberikan cobaan yang berat terhadap hambanya, itu tandanya
Allah akan akan mengangkat derajat mereka.

Anda mungkin juga menyukai