Anda di halaman 1dari 18

Sikap Keberagaman Intrinsik dan Ekstrinsik

Date: Mei 23, 2007Author: ressay5 Komentar

Sikap Keberagaman Intrinsik dan Ekstrinsik

Oleh: Jalaluddin Rakhmat

Banyak tokoh psikologi bersikap kurang simpatik terhadap tokoh-tokoh agama. William James, misalnya,
menganggap tokoh agama sebagai creatures of exalted emotional sensibility, suatu gelar yang panjang
dan tidak enak. Menurutnya, para Nabi atau orang-orang suci dihinggapi perasaan yang berlebih-
lebihan: melankoli, halusinasi, mendengar suara atau melihat visi dan berbagai karakteristik patologikal
lainnya. Sigmund Freud menganggap agama sebagai universal obsessional neurosis. Boisen (Anton T.
Boisen) bahkan berteori bahwa sebelum orang menghayati agama lebih baik, ia harus menderita sakit
jiwa terlebih dahulu –orang-orang beragama harus melewati tahap skizoprenia lebih dahulu. (Tetapi
belakangan saya mendengar bahwa banyak tokoh psikologi, yang memandang tokoh agama sebagai
psikopat itu, ternyata menderita gangguan jiwa juga. Menurut Zilboorg sepanjang hidup Freud dihantui
oleh death anxiety. Pesimisme dan sikap penyedihnya mencerminkan depressive neurosis. Dan William
James, menurut penulis biografinya, ditandai oleh emosi yang tidak stabil. “Oscillation is profoundly
characteristic of James’s nature”. Lalu, Boisen pun mengemukakan hipotesisnya justru setelah sembuh
dari skizoprenia.

Dua Macam Cara Beragama

Namun, terdapat pula psikologi yang bersifat simpatik terhadap agama. Psikolog itu ialah Gordon W.
Allport. Sebelumnya, dianggap tidak ada bukti yang kuat bahwa orang-orang beragama lebih sehat
mentalnya daripada orang-orang yang tidak beragama. Tapi, menurut Allport, untuk bisa menyatakan
demikian, kita harus mendefinisikan lebih dahulu apa arti beragama. Ada dua macam cara beragama:
yang ekstrinsik dan yang intrinsik. Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang
dimanfaatkan, dan bukan untuk kehidupan, something to use but not to live. Orang berpaling kepada
Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Agama digunakan untuk menunjang motif-motif lain:
kebutuhan akan status, rasa aman atau harga diri Orang yang beragama dengan cara ini, melasanakan
bentuk-bentuk luar dari agama, ia puasa, shalat, naik haji, dan sebagainya –tetapi tidak di dalamnya.
Kata Allport, cara beragama seperti ini memang erat kaitannya dengan penyakit mental. Saya ingin
menyatakan bahwa cara beragama seperti ini tidak akan melahirkan masyarakat yang penuh kasih
saying. Sebaliknya, kebencian, irihati, dan fitnah masih akan tetapi berlangsung.

Pada yang kedua, yang intrinsic, yang dianggap menunjang kesehatan jiwa dan kedamaian masyarakat,
agama dipandang sebagai comprehensive commitment, dan driving integrating motive, yang mengatur
seluruh hidup seseorang. Agama diterima sebagai faktor pemadu (unifying factor). Cara beragama
seperti ini, terhunjam ke dalam diri penganutnya. Hanya dengan cara itu kita mampu menciptakan
lingkungan yang penuh kasih sayang.

Dimensi Mahapenting Ajaran Allah SWT


Bila Kristen memandang kasih sebagai tonggak agamanya, Islam memandang silaturahim sebagai
dimensi mahapenting ajaran Allah. Silaturahim merupakan perintah Allah yang kedua setelah takwa (QS.
4:11). Nabi Muhammad diutus tidak lain untuk menyebarkan rahmat (kasih sayang) kepada seluruh
alam (QS. 21:107). Ketika Allah menciptakan kasih sayang, Dia berfirman kepadanya, “Aku ar-Rahman,
Aku berikan kepadamu (kepada kasih sayang) Nama-Ku. Barangsiapa menyambungkan engkau Aku pun
akan menyambungkan Diri-Ku denganmu. Barangsiapa memutuskan engkau, Aku pun akan memutuskan
diriku denganmu.” Ketika suatu hari disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw perihal seorang yang
shalat di malam hari, dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lidahnya, Nabi
Muhammad menjawab dengan singkat, “Ia di neraka”. Secara ekstrinsik beragama, tetapi secara
intrinsik ia tidak beragama. Silaturahim memang tidak bisa dijalin dengan sekian kali lebaran, sekian kali
halal bi halal, apalagi sekian menit khotbat.

Thomas Merton, dalam bukunya Mysticism in the Nuclear Age, berkata: “Anda tidak dapat
mendatangkan kedamaian tanpa disertai amal shaleh. Anda tidak dapat memperoleh tatanan social
tanpa kehadiran kaum mistik, orang-orang suci, dan nabi-nabi.” Di dalam Islam, tidak akan ada nabi lagi,
tetapi tidak demikian halnya dengan orang-orang suci. Orang suci adalah manusia takwa yang (tanda-
tandanya), menurut Al-Qur’an surat Ali Imran: 134-135 ialah “menafkahkan hartanya dalam suka dan
duka, menahan marahnya, memaafkan orang lain, senang berbuat baik, apabila berbuat salah, cepat-
cepat ingat Allah dan bertobat atas segala dosanya. Siapa lagi yang mengampuni dosa selain Allah,
kemudian tidak mengulangi lagi perbuatan salahnya.” Berdasarkan itu, silaturahim menuntut seseorang
agar memperhatikan orang lain dengan infaq, mengendalikan emosi, memaafkan yang berbuat salah,
dan sebanyak mungkin mengisi hidup ini dengan kebaikan.[]

Sumber: https://ressay.wordpress.com/2007/05/23/sikap-keberagaman-intrinsik-dan-ekstrinsik/
Jumat, 4 Mei 2018 14:40

Agama Intrinsik bukan Agama Ekstrinsik

Penulis: Ashoff Murtadha, Direktur Studi Islam, Bandung

Ada orang yang menjadikan agamanya untuk menuntun kehidupannya agar baik, meraih
kebahagiaannya di dunia dan akhirat. Ia beragama dengan ikhlas untuk Tuhannya, atau dalam
bahasa Al-Quran disebut mukhlishiina lahud diin.

Baca Juga : Catatan Harian Wartawan Kompas Saat Kunjungan Ke Republik Islam Iran

Ketika ia tahu ajaran agama, ia lebih memilih untuk memperbaiki dirinya, bukan untuk
menasihati orang lain. Agama lebih ia jadikan untuk menasihati dirinya, bukan untuk menggurui
orang lain apalagi menyerang mereka, apa pun alasannya.

Orang seperti ini jauh-jauh untuk mengusili orang lain dengan agama. Sekalipun ia terus belajar
agama dan istiqamah menjalaninya, namun ia merasa malu dan tidak pantas menyebut dirinya
saleh.

Baca Juga : Agama dalam Pandangan KH. Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah

Bahkan, karena Islam agama yang sangat ideal dan agung, sementara ia belum pantas berada
dalam keagungan, ia malu menyebut dirinya Muslim. Bukan karena ia tidak berislam, melainkan
karena ia tidak mau mencemari keluhuran Islam dengan kenaifan dan kejahilan dirinya.

Ia menjadikan agama sebagai nasihat dan tuntunan bagi dirinya, bukan untuk orang lain.
Karenanya ia tidak ikut berteriak-teriak atas nama Islam, sambil menyalahkan dan memaki
sesama. Sebab, baginya, teriakan itu lebih pas ditujukan bagi dirinya, bukan bagi mereka.

Tetapi, ada juga orang yang menjadikan agamanya untuk menutupi keburukannya. Agama
dijadikan alat dan dimanfaatkan sebagai kamuflase. Ia gunakan simbol-simbol keagamaan agar
orang-orang menyebutnya saleh atau agamis. Agama diperlihatkan secara publik agar ia meraih
keuntungan duniawi.

Ketika ia menyuarakan agama, atau meneriakkannya, sebenarnya ia tidak sedang menjalankan


perintah agama. Ia hanya terdorong untuk mengambil manfaat bagi nafsunya. Ia suarakan agama
dengan mengarahkan telunjuk dan kepalan tangan kepada orang, tetapi ia sendiri tidak peduli
bagi dirinya.

Jika ia bertakbir atau bertasbih, ia tidak sedang mengagungkan atau mensucikan Tuhan, tetapi
sedang memberitahu orang bahwa ia orang agamis. Ketika ia menjalankan agama secara publik,
ia tidak sedang mendekatkan diri kepada Allah, tetapi sedang mengabarkan kepada orang bahwa
ia saleh. Ia tidak segan memperlihatkan simbol kesalehan, sekalipun perilakunya memalukan.

Orang ini tidak sungkan, bahkan bangga memanfaatkan agama dan isu-isunya untuk kepentingan
dirinya --tentu saja dengan kamuflase keagamaan. Menjualbelikan ayat, membalik-balikkan
makna ayat, atau menjahili maksud dan tujuan ayat, tidak berat ia lakukan. Karena ia sedang
memanfaatkan agama, baik untuk kepentingan politik, ekonomi, maupun nafsu birahi.

Di ujung sana, ia merasa dirinya saleh sambil menuduh orang lain salah, munafik, tidak Islami
dan lainnya. Ia merasa diri suci, dan mudah tersinggung ketika "kesuciannya" terganggu.
Baginya agama hanyalah sebuah simbol kemuliaan, yang bisa dijadikan kamuflase bagi
keburukan dan ketakberadaban dirinya.

Di hadapan publik ia tampilkan diri seolah-olah agamis, baik, dan saleh, sambil memaki dan
mencaci hal atau orang lain yang ia anggap salah. Padahal dalam kesendiriannya, saat orang-
orang tidak melihat keburukannya, ia adalah aktivis kemaksiatan dan ketakberadaban.

Orang pertama disebut beragama secara intrinsik. Menjalani agama secara tulus dan ikhlas.
Sedangkan yang kedua disebut beragama secara ekstrinsik. Menjadikan agama sebagai alat dan
kamuflase. Dan kedua sikap dan perilaku ini ada di semua agama, dari dulu hingga akhir zaman.

Karenanya nasihat Ali bin Abi Thalib berikut ini sangat baik menjadi nasihat dalam
keberagamaan. Ini bukan sekadar sebuah pengajaran, tetapi juga sindiran bahkan tamparan.
Untuk siapa saja yang menjalani hidup sebagai manusia.

Sumber: https://limawaktu.id/spirit/agama-intrinsik-bukan-agama-ekstrinsik
Jurnal Psikologi Sosial

2017, Vol. 15, No. 01, 1-11

doi: 10.7454/jps.2017.1

ORIENTASI KEBERAGAMAAN EKSTRINSIK DAN FUNDAMENTALISME AGAMA PADA MAHASISWA


MUSLIM: ANALISIS DENGAN MODEL RASCH

Susilo Wibisono* & Muhammad Taufik Program Studi Psikologi, Universitas Islam Indonesia Email*:
wibisonosusilo@yahoo.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan keterkaitan antara orientasi keberagamaan ekstrinsik dan
fundamentalisme agama pada kalangan mahasiswa Muslim. Hal yang membedakan penelitian ini
dengan berbagai penelitian sebelumnya tentang fundamentalisme terletak pada perbedaan konseptual.
Landasan awal dikembangkannya penelitian ini adalah pada lahirnya prasangka atas konsep
fundamentalisme, khususnya pada kalangan muslim. Dalam kajian sebelumnya, peneliti telah
mengembangkan konsep fundamentalisme dengan membaginya menjadi dua bentuk, yaitu
fundamentalisme patologis dan fundamentalisme non-patologis. Fundamentalisme patologis mengacu
pada sikap kaku, tertutup dan menolak perbedaan pada domain agama Islam yang sifatnya partial
(furuu’). Fundamentalisme bentuk inilah yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Orientasi
keberagamaan ekstrinsik dikembangkan berdasarkan definisi Allport & Ross (1967), namun dengan
indikator-indikator yang disesuaikan pada konteks muslim. Data penelitian dianalisis dengan
menggunakan model Rasch sebagai model pengukuran yang lebih kuat secara metodologis. Hasil
penelitian menunjukkan adanya korelasi positif antara orientasi keberagamaan ekstrinsik dan
fundamentalisme agama pada kalangan mahasiswa Muslim dengan nilai R = 0,329 dan p = 0,002
(p<0,01).

Kata kunci: fundamentalisme agama, orientasi keberagamaan ekstrinsik

Pendahuluan

Konflik menjadi sebuah problem yang banyak ditemukan di Indonesia, termasuk di dalamnya konflik
antar pemeluk agama. Dalam kajian psikologi sosial, salah satu faktor yang mendorong terjadinya konflik
adalah prasangka (prejudice) (Baron & Branscomb, 2013). Prasangka dapat dimaknai sebagai repon
emosi negative atau ketidaksenangan yang berbasis pada keanggotaan dalam kelompok (Baron &
Branscomb, 2013). Kelompok dalam konteks ini merupakan bagian dari identitas individu yang s i f a tn y
a lu a s , m ul a i da r i s t at u s perkawinan, gender, suku, agama, dan lain sebagainya. Prasangka yang
paling kerap timbul di Indonesia, selain terkait dengan identitas ras dan kesukuan juga prasangka antar
agama. Salah satu konsep yang menjadi determinan bagi prasangka antar agama ini adalah
fundamentalisme agama (Altemeyer & HUnsberger, 1992; Gorsuch, 1993; Putra
& Wongkaren, 2010). Istilah fundamen-talisme dalam kajian sosial dilabelkan pada kelompok tertentu
yang pemikirannya cenderung tunduk pada tradisi agama, menolak perubahan, intoleran, tertutup, kaku
dalam bermadzhab, dan cenderung menentang pertumbuhan serta perkem-bangan (Ali, 2003). Hal ini
tidak hanya terkait dengan karakteristik kelompok saja, melainkan juga karakteristik mental individu
(Wibisono, 2013).

Istilah fundamentalisme pada awalnya lahir dalam konteks masyarakat Kristen (Munson, 2003).
Bahkan Brenda Brasher, editor The Encyclopedia of Fundamentalism menuliskan bahwa sebagian
kalangan akademik tidak setuju bahwa istilah fundamentalisme digunakan dalam konteks di luar Kristen
(Munson, 2003). Namun yang terjadi kemudian, penggunaan kata ini tidak terbatas hanya pada konteks
masyarakat Kristen saja, melainkan juga kalangan Islam, bahkan juga digunakan untuk menggambarkan
sikap tertutup terhadap ideologi tertentu.

Fundamentalisme dipandang sebagai sebuah konstrak psikologi yang negatif dalam kacamata moral. Hal
ini mengacu pada berbagai hasil penelitian yang menunjukkan bahwa fundamentalisme menjadi
prediktor bagi berbagai problem sosial, seperti otoritarianisme, dogmatisme (Kirkpatrick, Hood and
Hartz, 1991), fanatisme, prasangka rasial, dukungan terhadap kekerasan atas nama agama, prasangka
terhadap perempuan, dan etnosentrisme (Altemeyer & Hunsberger, 2004). Pada kalangan mahasiswa,
sikap fundamentalisme ini berdampak pada berkembangnya sikap egosentris terhadap kelompoknya
sendiri dan cenderung tertutup dalam menerima perbedaan, khususnya pada domain tafsir keagamaan.

Merebaknya gejala fundamen-talisme di kalangan mahasiswa, bagi peneliti dapat dilihat dari
maraknya fenomena saling mencaci maki bahkan mengkafirkan yang marak terjadi di media sosial.
Peneliti mengamati bahwa sebagian besar akun jejaring sosial yang mengembangkan prasangka antar
kelompok dikelola oleh mahasiswa. Kondisi ini, jika dibiarkan dapat mengarahkan pada dampak yang
lebih besar, seperti lahirnya konflik, bahkan secara lebih luas, mengarah pada disintegrasi bangsa.
Fundamentalisme sebagai sebuah sikap terhadap keyakinan beragama tentu saja memiliki keterkaitan
dengan tendensi keber-agamaan yang dikembangkan indvidu. Istilah yang relevan untuk menjelaskan
hal ini adalah orientasi keberagamaan. Allport dan Ross (1967) mendefinisikan orientasi keberagamaan
sebagai motif yang mendasari berbagai ekspresi keberagamaan yang dilakukan oleh individu. Lebih
lanjut, Allport dan Ross (1967) membaginya menjadi dua, yaitu orientasi intrinsik dan orientasi
ekstrinsik.

Orientasi keberagamaan yang bersifat intrinsik diindikasikan oleh komitmen menyeluruh


terhadap keyakinan agama yang dianut dan bagaimana dampak keberagamaan tersebut menetap
dalam setiap aspek kehidupan yang dijalani. Di sisi lain, orientasi keberagamaan yang bersifat ekstrinsik
mengacu pada perilaku individu yang menggunakan agama sebagai kekuasaan melalui partisipasi dalam
kelompok. Selain itu, orientasi keberagamaan yang bersifat ekstrinsik juga diindikasikan melalui perilaku
yang menggunakan agama sebagai pelindung (protection), pelarian, status sosial, partisipasi dalam
kelompok keagamaan, dan ego defence (Allport dan Ross, 1967). Fundamentalisme sebagai sebuah
sikap yang tertutup dalam memahami tafsir keagamaan didorong oleh tendensi yang tidak murni dalam
beragama. Sehingga individu memisahkan secara kaku antara nilai- nilai agama dan nilai-nilai
kemanusiaan yang bersifat universal. Berdasarkan hal ini, maka peneliti mengasumsikan bahwa
orientasi keberagamaan yang bersifat ekstrinsik akan berkorelasi secara positif dengan
fundamentalisme pada kalangan mahasiswa. Fundamentalisme agama dalam pemaknaan Hood, Hill dan
Williamson (2005) merupakan sebuah sistem pemaknaan dan hasil dari sebuah proses penafsiran
terhadap teks suci suatu agama. Di sisi lain, Altemeyer dan Hunsberger (2004) melihat funda-
mentalisme sebagai sikap terhadap keyakinan. Selain itu, Altemeyer dan Hunsberger (2004)
menyebutkan bahwa fundamentalisme agama merupakan manifestasi otoritarianisme sayap kanan
dalam hal agama. Hal ini identik dengan keberpihakan yang membabi buta terhadap agama yang
diyakini, meskipun kecenderungannya kemudian, agama tersebut terepresentasikan tidak dalam nilai-
nilai moralitas, melainkan dalam identitas kelompok. Definisi ini tidak disepakati oleh Blogowska dan
Saroglou (2013) yang melihat bahwa komponen keberagamaan (keyakinan umum dalam agama, nilai
yang dikembangkan dan praktik ritual) merupakan hal yang terpisah dari karakter fundamentalistik yang
dimiliki (keyakinan, nilai dan praktik yang kaku).

Pemahaman lain tentang fundamen-talisme juga disampaikan oleh Bertsch dan Pesta (2009) yang
mendeskripsikan fundamentalisme agama sebagai interaksi dua komponen utama, yaitu sektarianisme
dalam beragama dan penerimaan doktrin agama secara literal. Komponen yang kedua ini berarti bahwa,
konstruksi fundamentalisme agama senantiasa diikuti dengan keyakinan bahwa kebenaran car abaca
mereka atas kitab suci merupakan kebenaran yang final dan tidak memerlukan penafsiran yang lain.

Adamovova (2005) menyatakan bahwa konstruksi fundamentalisme agama dibangun berdasarkan tiga
komponen, yaitu ekstrimisme, relasi terhadap kelompok lain, dan faktor kepribadian. Komponen
ekstrimisme meliputi sikap ekstrim dalam keyakinan idiologis, sikap ekstrim dalam keyakinan agama dan
sikap terhadap Negara serta kekuasaan. Kalangan fundamentalis atau individu yang memiliki level
fundamen-talisme tinggi cenderung terlalu menye-derhanakan pemahamannya tentang ideologi dan
kehilangan akal sehat ketika telah mengatasnamakan ideologi maupun keyakinan agama.
Fundamentalisme juga dimaknai sebagai sikap terhadap keyakinan atas beberapa hal dalam agama,
yaitu; (1) bahwa agama mengandung ajaran yang telah sangat jelas, tidak mungkin salah, baik ketika
berbicara pada dimensi kemanusiaan maupun ketuhanan, (2) Adanya kekuatan negatif yang yang
bertentangan dengan agama dan harus dilawan (setan), dan (3) kebenaran agama harus diikuti
sebagaimana adanya dan berlangsung kekal sepanjang masa serta tidak perlu kontekstualisasi
(Altemeyer & Hunsberger, 1992).

Liht, Conway, Savage, White dan O’neill (2011) membagi fundamentalisme agama ke dalam tiga
aspek, yaitu: (1) Sumber otoritas yang sifatnya eksternal (external authority); (2) Cara pandang terhadap
agama sebagai sesuatu yang sudah paripurna (fixed religion); dan (3) Penolakan terhadap dunia (worldly
rejection). Dalam definisi yang lebih sederhana, Wibisono (2013) menekankan bahwa fundamentalisme
dalam konteks muslim adalah sikap yang kaku dan tidak toleran terhadap berbagai dimensi ajaran
agama yang lahir berdasarkan hasil ijtihad. Domain dalam agama dilihat berdasarkan tiga domain, yaitu
persoalan aqidah, persoalan syariah dan persoalan akhlak.

Paradigma yang menjadi pijakan dalam melihat fundamentalisme adalah bahwa agama mengandung
dua domain, yakni domain yang sifatnya mendasar dan fundamental (ushuul) dan domain yang sifatnya
turunan (furuu’) . Domain kedua ini merupakan rumusan berbagai perkara atau ajaran yang berasal dari
hasil interpretasi kalangan cendikiawan suatu agama (ulama). Fundamentalisme sebagai sesuatu yang
negatif adalah ketika individu bersifat mendasar, kaku, intoleran dan merasa benar sendiri dalam
domain yang sifatnya turunan (furuu’).

Fundamentalisme agama dalam pengertian inilah yang akan menjadi fokus kajian penelitian ini.
Fundamen-talisme agama seringkali muncul karena keengganan individu dalam mendalami ajaran dan
sejarah agama yang diyakininya secara mendalam. Persoalan ini identik dengan orientasi keberagamaan
yang sifatnya ekstrinsik, yaitu orientasi yang menekankan pada perolehan ego atas keberagamaan yang
dijalaninya. Studi yang dikembangkan oleh Baker & Gorsuch (Lewis, Maltby, Day, 2005) menunjukkan
bahwa orang yang memiliki orientasi keberagamaan ekstrinsik akan cenderung merasa cemas
dibandingkan orang yang memiliki orientasi keber-agamaan intrinsik. Selain itu juga ditemukan bahwa
orang dengan orientasi keberagamaan ekstrinsik akan memiliki skor depresi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan orang yang memiliki orientasi keberagamaan intrinsik. Mengacu pada teori
Allport, Lewis, dkk (2005) menjelaskan beberapa indicator orientasi keberagamaan ekstrinsik, yaitu:

Menggunakan agama sebagai pelindung (protection). Individu dengan orientasi keberagamaan


ekstrinsik cenderung menjadikan agama sebagai perlindungan guna memperoleh berbagai kondisi
emosional yang diharapkan. Individu akan merasa nyaman melakukan sebuah perilaku yang melanggar
nilai-nilai moral asalkan perilaku tersebut memiliki justifikasi agama yang dipersepsikannya benar. (2)
Agama sebagai penghiburan (consolation). Agama memiliki berbagai kemungkinan di tangan para
pemeluknya. Bagi individu yang memiliki orientasi keberagamaan ekstrinsik, agama dapat menjadi
penghibur di kala memperoleh kesusahan. Individu menjadikan agama sebagai penebusan bahwa
berbagai kesusahan yang dialaminya adalah ujian dari Tuhan, sehingga ia merasa lebih kuat untuk
menjalaninya. (3) Agama sebagai mekanisme pertahanan ego. Individu dengan orientasi keberagamaan
ekstrinsik memposisikan agama sebagai mekanisme untuk mempertahankan egonya. Salah satu
bentuknya adalah ketika individu menjadikan agama sebagai alat untuk merepresi berbagai pengalaman
negatif yang dimiliki dan permasalahan nyata yang dihadapi. (4) Agama untuk meneguhkan status sosial.
Individu yang memiliki orientasi keberagamaan memiliki kecenderungan untuk menekankan pentingnya
status sosial terkait dengan agama yang dianutnya. Oleh karenanya, ia memandang bahwa
memunculkan hal-hal simbolik keagamaan pada ruang publik sebagai sesuatu yang penting dan menjadi
prioritas. (5) Partisipasi yang tinggi dalam kelompok keagamaan. Partisipasi yang tinggi dalam kelompok
keagamaan juga dipandang sebagai salah satu indicator orientasi keber-agamaan ekstrinsik. Individu
memiliki tendensi untuk mengekspresikan diri dan agamanya melalui berbagai kelompok keagamaan
tertentu. Dampak yang kadang berlebihan dari hal ini adalah kecenderungan individu untuk memandang
bahwa kelompok ke-agamaan yang diikutinya merupakan bentuk tafsir paling akurat dari nilai
keagamaan yang diyakininya.

Penggunaan model Rasch dalam penelitian ini mengacu pada proses pengembangan instrumen
pengukuran yang dilakukan dan pengujian hipotesis. Dalam pengukuran yang berbasis pada CTT,
penilaian terhadap suatu konstrak dilakukan dengan menerapkan operasi aritmatika pada skor yang
diperoleh dari item. Hal ini kurang relevan karena skor yang dihasilkan dari suatu item tersebut bersifat
ordinal sehingga tidak dapat diperlakukan sebagaimana bilangan bulat (Ziniel, 2013) .

Model Rasch dalam pengembangan alat ukur ilmu sosial merupakan respon atas berbagai
kelemahan paradigma CTT (Sumintono & Widhiarso, 2013). Perbedaan mendasar model Rasch jika
dibandingkan CTT antara lain terletak pada bagaimana memperlakukan skor mentah dalam proses
analisis. Dalam CTT, skor mentah dalam bentuk peringkat (rating scale ) langsung dianalisis dan
diperlakukan sebagai data yang seolah- olah memiliki karakter bilangan bulat. Sedangkan dalam Model
Rasch, data mentah tidak dapat langsung dianalisis, melainkan harus dikonversikan dulu ke dalam
bentuk ‘odds ratio’ untuk kemudian dilakukan transformasi logaritma menjadi unit logit sebagai
manifestasi probabilitas responden dalam merespon suatu item. Mengacu pada prosedur ini, Sumintono
dan Widhiarso (2013) menyebutkan bahwa model Rasch dapat dijadikan sebagai metode dalam
mengembalikan data sesuai kondisi alamiahnya. Kondisi alamiah ini mengacu pada karakteristik dasar
data kuantitatif, yaitu bersifat kontinum. Penelitian ini berusaha membuktikan adanya hubungan positif
antara orientasi keberagamaan ekstrinsik dan fundamentalisme agama pada mahasiswa

Kesimpulan

Berdasarkan analisis data yang dilakukan, diperoleh adanya korelasi antara orientasi keberagamaan
ekstrinsik dan fundamentalisme pada kelompok Muslim. Selain informasi ini, proses penelitian ini juga
dapat dijadikan sebagai validasi konsep fundamentalisme yang dikembangkan oleh peneliti.
UNSUR INSTRINSIK DAN EKSTRINSIK FUNGSI AGAMA

Dua Macam Cara Beragama


Ada dua macam cara beragama: yang ekstrinsik dan yang intrinsik. Yang ekstrinsik memandang agama
sebagai sesuatu yang dimanfaatkan, dan bukan untuk kehidupan, something to use but not to live.
Orang berpaling kepada Allah SWT, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Agama digunakan untuk
menunjang motif-motif lain seperti kebutuhan akan status, rasa aman atau harga diri. Orang yang
beragama dengan cara ini, melaksanakan bentuk-bentuk luar dari agama, ia puasa, shalat, naik haji, dan
sebagainya tetapi tidak di dengan khusuknya.
Yang kedua, yang intrinsik, yang dianggap menunjang kesehatan jiwa dan kedamaian masyarakat,
agama dipandang sebagai comprehensive commitment, dan driving integrating motive, yang mengatur
seluruh hidup seseorang. Agama diterima sebagai faktor pemadu (unifying factor). Cara beragama
seperti ini, terhunjam ke dalam diri penganutnya. Hanya dengan cara itu kita mampu menciptakan
lingkungan yang penuh kasih sayang.

Dimensi Mahapenting Ajaran Allah SWT


Islam memandang silaturahim sebagai dimensi mahapenting ajaran Allah. Silaturahim merupakan
perintah Allah yang kedua setelah takwa (QS. 4:11). Nabi Muhammad diutus tidak lain untuk
menyebarkan rahmat (kasih sayang) kepada seluruh alam (QS. 21:107). Ketika Allah menciptakan kasih
sayang, Dia berfirman kepadanya,
“Aku ar-Rahman, Aku berikan kepadamu (kepada kasih sayang) Nama-Ku. Barangsiapa menyambungkan
engkau Aku pun akan menyambungkan Diri-Ku denganmu. Barangsiapa memutuskan engkau, Aku pun
akan memutuskan diriku denganmu.”
Ketika suatu hari disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw perihal seorang yang shalat di malam hari,
dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lidahnya, Nabi Muhammad menjawab
dengan singkat, “Ia di neraka”. Secara ekstrinsik beragama, tetapi secara intrinsik ia tidak beragama.
Silaturahim memang tidak bisa dijalin dengan sekian kali lebaran, sekian kali halal bi halal, apalagi sekian
menit khotbat.
Thomas Merton, dalam bukunya Mysticism in the Nuclear Age, berkata: “Anda tidak dapat
mendatangkan kedamaian tanpa orang-orang suci, dan nabi-nabi.” Di dalam Islam, tidak akan ada nabi
lagi, tetapi tidak demikian halnya dengan disertai amal shaleh. Anda tidak dapat memperoleh tatanan
sosial tanpa kehadiran kaum mistik, orang-orang suci, dan nabi-nabi.” Di dalam Islam, tidak akan ada
nabi lagi, tetapi tidak demikian halnya dengan orang-orang suci. Orang suci adalah manusia takwa yang
(tanda-tandanya), menurut Al-Qur’an surat Ali Imran: 134-135 ialah “menafkahkan hartanya dalam suka
dan duka, menahan marahnya, memaafkan orang lain, senang berbuat baik, apabila berbuat salah,
cepat-cepat ingat Allah dan bertobat atas segala dosanya. Siapa lagi yang mengampuni dosa selain Allah,
kemudian tidak mengulangi lagi perbuatan salahnya.” Berdasarkan itu, silaturahim menuntut seseorang
agar memperhatikan orang lain dengan infaq, mengendalikan emosi, memaafkan yang berbuat salah,
dan sebanyak mungkin mengisi hidup ini dengan kebaikan.

FUNGSI INSTRINSIK AGAMA


a. Sebagai Pembimbing Dalam Hidup
Pengendali utama kehidupan manusia adalah kepribadiannya yang mencakup segala unsure
pengalaman pendidikan dan keyakinan yang didapatnya sejak kecil. Apabila dalam pertumbuhan
seseorang terbentuk suatu kepribadian yang harmonis, di mana segala unsur pokoknya terdiri dari
pengalaman yang menentramkan jiwa maka dalam menghadapi dorongan baik yang bersifat biologis
ataupun rohani dan sosial akan mampu menghadapi dengan tenang.
b. Penolong Dalam Kesukaran
Orang yang kurang yakin akan agamanya (lemah imannya) akan menghadapi cobaan/kesulitan dalam
hidup dengan pesimis, bahkan cenderung menyesali hidup dengan berlebihan dan menyalahkan semua
orang. Beda halnya dengan orang yang beragama dan teguh imannya, orang yang seperti ini akan
menerima setiap cobaan dengan lapang dada. Dengan keyakinan bahwa setiap cobaan yang menimpa
dirinya merupakan ujian dari tuhan (Allah) yang harus dihadapi dengan kesabaran karena Allah
memberikan cobaan kepada hambanya sesuai dengan kemampuannya. Selain itu, barang siapa yang
mampu menghadapi ujian dengan sabar akan ditingkatkan kualitas manusia itu.
c. Penentram Batin
Jika orang yang tidak percaya akan kebesaran tuhan tak peduli orang itu kaya apalagi miskin pasti akan
selalu merasa gelisah. Orang yang kaya takut akan kehilangan harta kekayaannya yang akan habis atau
dicuri oleh orang lain, orang yang miskin apalagi, selalu merasa kurang bahkan cenderung tidak
mensyukuri hidup.
Lain halnya dengan orang yang beriman, orang kaya yang beriman tebal tidak akan gelisah memikirkan
harta kekayaannya. Dalam ajaran Islam harta kekayaan itu merupakan titipan Allah yang didalamnya
terdapat hak orang-orang miskin dan anak yatim piatu. Bahkan sewaktu-waktu bisa diambil oleh yang
maha berkehendak, tidak mungkin gelisah. Begitu juga dengan orang yang miskin yang beriman,
batinnya akan selalu tentram karena setiap yang terjadi dalam hidupnya merupakan ketetapan Allah
dan yang membedakan derajat manusia dimata Allah bukanlah hartanya melainkan keimanan dan
ketakwaannya.
d. Pengendali Moral
Setiap manusia yang beragama yang beriman akan menjalankan setiap ajaran agamanya. Terlebih dalam
ajaran Islam, akhlak amat sangat diperhatikan dan di junjung tinggi dalam Islam. Pelajaran moral dalam
Islam sangatlah tinggi, dalam Islam diajarkan untuk menghormati orang lain, akan tetapi sama sekali
tidak diperintah untuk meminta dihormati.
Islam mengatur hubungan orang tua dan anak dengan begitu indah. Dalam Al-Qur’an ada ayat yang
berbunyi: “dan jangan kau ucapkan kepada kedua (orang tuamu) uf!!” Tidak ada ayat yang
memerintahkan kepada manusia (orang tua) untuk minta dihormati kepada anak.
Selain itu Islam juga mengatur semua hal yang berkaitan dengan moral, mulai dari berpakaian,
berperilaku, bertutur kata hubungan manusia dengan manusia lain (hablum minannas/hubungan sosial).
Termasuk di dalamnya harus jujur, jika seorang berkata bohong maka dia akan disiksa oleh api neraka.
Ini hanya contoh kecil peraturan Islam yang berkaitan dengan moral. Masih banyak lagi aturan Islam
yang berkaitan dengan tatanan perilaku moral yang baik, namun tidak dapat sepenuhnya dituliskan
disini.

FUNGSI EKSTRINSIK AGAMA


FUNGSI AGAMA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
Masyarakat adalah gabungan dari kelompok individu yang terbentuk berdasarkan tatanan sosial
tertentu. Bentuk ikatan agama dan masyarakat baik dalam bentuk organisasi maupun fungsi agama,
maka yang jelas dalam setiap masyarakat agama masih tetap memiliki fungsi dalam kehidupan
masyarakat. Agama sebagai anutan masyarakat, terlihat masih berfungsi sebagai pedoman yang
dijadikan sebagai sumber untuk mengatur norma-norma kehidupan.
Masalah agama tidak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena agama itu
sendiri ternyata diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam prakteknya fungsi agama dalam
masyarakat antara lain :

1. Berfungsi Edukatif
Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut memberikan ajaran-ajaran
yang harus dipatuhi. Ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua unsur
tersebut mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi baik
dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing.

2. Berfungsi Penyelamat
Keselamatan yang diajarkan oleh agama adalah keselamatan yang meliputi bidang luas. Keselamatan
yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan meliputi dua alam yaitu dunia dan
akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu agama mengajarkan para penganutnya melalui : pengenalan
kepada masalah sakral berupa keimanan kepada Tuhan.

3. Berfungsi Sebagai Pendamaian


Melalui agama seseorang yang bersalah/berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan
agama. Rasa berdosa dan rasa bersalah akan segera menjadi hilang dari batinnya apabila seseorang
pelanggar telah menebus dosanya melalui tobat, pensucian ataupun penebusan dosa.

4. Berfungsi Sebagai Social Control


Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi
sebagai pengawasan social secara individu maupun kelompok karena :
a. Agama secara instansi, merupakan norma bagi pengikutnya.
b. Agama secara ajaran mempunyai fungsi kritis yang bersifat profetis (wahyu, kenabian).

5. Berfungsi Sebagai Pemupuk Rasa Solidaritas

6. Berfungsi Tranformatif
Ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian seseorang/kelompok menjadi kehidupan baru
sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan baru yang diterimanya berdasarkan ajaran
agama yang dipeluknya itu kadang kala mampu mengubah kesetiaannya kepada adat atau norma
kehidupan yang dianutnya sebelum itu.

7. Berfungsi Kreatif
Ajaran agama mendorong dan mengajak penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk
kepentingan dirinya sendiri tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Penganut agama bukan saja
disuruh bekerja secara rutin dalam pola hidup yang sama, akan tetapi juga dituntut untuk melakukan
inovasi dan penemuan baru.

8. Berfungsi Sublimatif
Ajaran agama mengfokuskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat ukhawi melainkan juga
yang bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama,
bila dilakukan atas niat yang tulus karena dan untuk Allah merupakan ibadah.
Fungsi agama Bagi Kehidupan Manusia
Ada beberapa alasan tentang mengapa agama itu sangat penting dalam kehidupan manusia, antara lain
adalah :
• Karena agama merupakan sumber moral
• Karena agama merupakan petunjuk kebenaran
• Karena agama merupakan sumber informasi tentang masalah metafisika.
• Karena agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia baik di kala suka, maupun di kala duka.
Manusia sejak dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, serta tidak mengetahui
apa-apa sebagaimana firman Allah dalam Q. S. al-Nahl (16) : 78
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Dia menjadikan
untukmu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi sedikit di antara mereka yang mensyukurinya.
Dalam keadaan yang demikian itu, manusia senantiasa dipengaruhi oleh berbagai macam godaan dan
rayuan, baik dari dalam, maupun dari luar dirinya. Godaan dan rayuan daridalam diri manusia dibagi
menjadi dua bagian, yaitu
• Godaan dan rayuan yang berysaha menarik manusia ke dalam lingkungan kebaikan, yang menurut
istilah Al-Gazali dalam bukunya ihya ulumuddin disebut dengan malak Al-hidayah yaitu kekuatan-
kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada hidayah ataukebaikan.
• Godaan dan rayuan yang berusaha memperdayakan manusia kepada kejahatan,yang menurut istilah
Al-Gazali dinamakan malak al-ghiwayah, yakni kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia
kepada kejahatan
Disinilah letak fungsi agama dalam kehidupan manusia, yaitu membimbing manusia kejalan yang baik
dan menghindarkan manusia dari kejahatan atau kemungkaran.
Fungsi Agama Kepada Manusia
Dari segi pragmatisme, seseorang itu menganut sesuatu agama adalah disebabkan oleh fungsinya. Bagi
kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup. Tetapi dari segi sains sosial,
fungsi agama mempunyai dimensi yang lain seperti apa yang dihuraikan di bawah:
- Memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.Agama dikatankan memberi pandangan
dunia kepada manusia kerana ia sentiasanya memberi penerangan mengenai dunia(sebagai satu
keseluruhan), dan juga kedudukan manusia di dalam dunia. Penerangan bagi pekara ini sebenarnya
sukar dicapai melalui inderia manusia, melainkan sedikit penerangan daripada falsafah. Contohnya,
agama Islam menerangkan kepada umatnya bahawa dunia adalah ciptaan Allah SWTdan setiap manusia
harus menaati Allah SWT
-Menjawab pelbagai soalan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.Sesetangah soalan yang sentiasa
ditanya oleh manusia merupakan soalan yang tidak terjawab oleh akal manusia sendiri. Contohnya
soalan kehidupan selepas mati, matlamat menarik dan untuk menjawabnya adalah perlu. Maka, agama
itulah berfungsi untuk menjawab soalan-soalan ini.
- Memberi rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.Agama merupakan satu faktor dalam
pembentukkan kelompok manusia. Ini adalah kerana sistem agama menimbulkan keseragaman bukan
sahaja kepercayaan yang sama, malah tingkah laku, pandangan dunia dan nilai yang sama.
– Memainkan fungsi kawanan sosial.Kebanyakan agama di dunia adalah menyaran kepada kebaikan.
Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya telah menggariskan kod etika yang wajib dilakukan oleh
penganutnya. Maka ini dikatakan agama memainkan fungsi kawanan sosial
Fungsi Sosial Agama
Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau
pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang
bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor).Pembahasan tentang fungsi agama disini
akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi
masyarakat.
Fungsi Integratif Agama
Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan
suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-
kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari
sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama
menjamin adanya konsensus dalam masyarakat.
Fungsi Disintegratif Agama.
Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara
eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai
kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu
masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok
pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama
lain.

SUMBER PENDUKUNG
http://ressay.wordpress.com/2007/05/23/sikap-keberagaman-intrinsik-dan-ekstrinsik/
http://kertas-mungil.blogspot.com/2014/10/unsur-instrinsik-dan-ekstrinsik-fungsi.html
EKSTRINSIK VS INTRINSIK
Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang
yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya. Nabi
Muhammad SAW menjawab singkat, 'Ia di neraka.' Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah
ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial.

Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.
Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan
citra baik di hadapan orang lain. Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W Allport.
Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik.

Yang ekstrinsik
memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar
dia memperoleh status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk
meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya. Dia beragama demi status
dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya.

Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai- nilai agama ke dalam dirinya.
Nilai dan ajaran agama terhujam jauh ke dalam jiwa penganutnya. Adanya internalisasi nilai spiritual
keagamaan. Ibadah ritual bukan hanya praktik tanpa makna. Semua ibadah itu memiliki pengaruh dalam
sikapnya sehari-hari. Baginya, agama adalah penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang
intrinsiklah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang.

Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus, melahirkan egoisme. Egoisme bertanggungj
awab atas kegagalan manusia mencari kebahagiaan, kata Leo Tolstoy. Kebahagiaan tidak terletak pada
kesenangan diri sendiri. Kebahagiaan terletak pada kebersamaan. Sebaliknya, cara beragama yang
intrinsik menciptakan kebersamaan. Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri penganutnya dan
lingkungan sosialnya. Ada penghayatan terhadap pelaksanaan ritual-ritual agama.

Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai alat politis dan ekonomis. Sebuah sikap
beragama yang memunculkan sikap hipokrit; kemunafika n. Syaikh Al Ghazali dan Sayid Quthb pernah
berkata, kita ribut tentang bid'ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan tenang melakukan bid'ah dalam
urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi dengan tenang melakukan korupsi. Juga kekerasan,
pencurian, dan penindasan.

Indonesia, sebuah negeri yang katanya agamis, merupakan negara penuh pertikaian. Majalah Newsweek
edisi 9 Juli 2001 mencatat, Indonesia dengan 17.000 pulau ini menyimpan 1.000 titik api yang sewaktu-
waktu siap menyala. Bila tidak dikelola, dengan mudah beralih menjadi bentuk kekerasan yang
memakan korban. Peringatan Newsweek lima tahun lalu itu, rupanya mulai memperlihatkan kebenaran.
Poso, Maluku, Papua Barat, Aceh menjadi contohnya. Ironis.
Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa banyak umat Islam disibukkan dengan
urusan ibadah mahdhah (ritual), tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan,
kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang kaya
Islam yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu
digerogoti penyakit dan kekurangan gizi.

Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak di
sudut-sudut negeri ini tidak dapat melanjutkan sekolah. Jutaan uang dihamburkan untuk membangun
rumah ibadah yang megah, di saat ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari sesuap
nasi. Jutaan uang dipakai untuk naik haji berulang kali, di saat ribuan orang sakit menggelepar
menunggu maut karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara ekstrinsik mereka beragama,
tetapi secara intrinsik tidak beragama.

Sumber: Kompasiana

http://belajarhidupkita.blogspot.com/2012/09/ekstrinsik-vs-intrinsik.html

Anda mungkin juga menyukai