• Bentuk formalistik keagamaan Islam diubah menjadi bentuk agama yang substantif: Pada
format ini masyarakat muslim sejatinya harus memahami konstruksi ajaran Islam yang
nuansanya beragam (mazhab/kelompok dan sebagainya). Oleh karena itu, perbedaan
pemahaman ajaran tidak selalu menjadi hal yang dipertentangkan, sebagai contoh bacaan
qunut dalai shalat subuh; perbedaan rakaat tarawih ada yang 11 rakaat dan 23 rakaat. Kedua
hal tersebut terletak pada furuiyah semata, tidak mahdhah (wajib)
• Sikap eklusivisme dirubah menjadi inklusivisme (terbuka/tidak fanatik) dan atau sikap
universalisme (moderat/wasathiyah): Keberagamaan dalam Islam harus disikapi dengan tidak
berlebihan. Islam di Indonesia adalah majemuk, ada NU dan Muhammadiyah, PERSIS
(Persatuan Islam) dan seterusnya. Dengan adanya ormas-ormas (organisasi masyarakat) Islam
tersebut justru akan semakin membuat keberagamaan kita semakin dewasa. Biasa menerima
perbedaan pemahaman, tidak saling menyalahkan; membuka dialog dengan sesama umat
Islam.
• Melahirkan suatu masyarakat yang siap hidup toleran dalai masyarakat yang heterogen:
Masyarakat yang plural menjadi suatu keniscayaan. Saling menghormati antar sesama umat
Islam dan saling menghormati umat beda agama. Dalam hal ini, keenam agama yang diakui
negara (Indonesia) mencerminkan keaneragaman keyakinan, oleh karena itu diperlukan
kebijaksanaan dalam menyikapi perbedaan itu. Akan lebih indah, sistem keberagamaan antar
umat beda agama dilihat sebagai sarana mempersatukan sesama anak bangsa. Tentu saja
sikap-sikap toleransi itu harus dikedepankan dengan tidak saling curiga; menghormati
peribadatan umat lain beda agama serta tidak memprovokasi yang berakibat pada
ketidaknyamanan dalam beragama.