Anda di halaman 1dari 7

Memahami Agama (Islam)?

Dr. Lukis Alam, SS., M.Eng., MSI


Pendekatan Dalam Memahami Studi Agama
• Pendekatan teologis normatif yaitu upaya
memahami ajaran agama yang bertitik tolak pada
keyakinan bahwa apa yang diyakini adalah mutlak
kebenarannya sedangkan di luar dirinya dianggap
salah. Karakteristik dari pola pendekatan ini adalah
agama dipahami dengan wajah esklusif bukan
inklusif
• Pendekatan Antropologis yaitu upaya memahami
agama dengan cara melihat wujud keagamaan
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
• Pendekatan Sosiologis yaitu upaya
memahami agama dengan jalan melihat
hubungan yang terjadi antara agama dengan
realitas sosial yang membentuknya.
• Pendekatan Filosofis. Filsafat merupakan
ilmu yang mengajarkan berfikir secara
mendalam, sistematik , radikal dalam rangka
mencari nilai kebenaran, inti, hikmah atau
hakikat mengenai sesuatu yang ada.
Keterkaitan dengan pemahaman agama, maka
pendekatan filsafat bertujuan menguak
hikmah, hakikat, atau inti dari ajaran agama
• Pendekatan Historis. Sejarah merupakan
berbagai peristiwa yang telah terjadi di masa
lampau. Di dalamnya terdapat unsur tempat,
waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari
peristiwa. Melalui pola pendekatan historis,
kita akan mengerti bahwa setiap ajaran agama
yang didalamnya tertuang hukum-hukum
tidak bisa terlepas dari seting sosial yang
menyelimutinya. Dalam kajian al-Qur’an
semisal kita mengenal ilmu Asbabun Nuzul
(‫)اثباب النزول‬
Bagaimana memulai ?
• Saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, sesungguhnya
mereka dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia tinggal (primordialisme). Oleh
karena itu pemahaman masyarakat satu dengan lain bisa berbeda. Terlebih di
Indonesia, pemahaman berbasiskan budaya lebih dominan. Di Indonesia Islam
menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, semisal ketika walisongo
berdakwah, masyarakat sering mengkaitkan dengan angkernya pepohonan, maka
di sana identik dengan sesajen. Dengan fenomena seperti itu, walisongo
mengindoktrinasi agama secara perlahan, mereka gunakan budaya sebagai
approach (pendekatan) dalam menyebarkan Islam. Hal ini tidak bisa dilihat secara
parsial (setengah-setengah), bahwa apa yang dilakukan walisongo tersebut tidak
masuk kepada teologi semata, namun lebih kepada pendekatan agar masyarakat
waktu itu tertarik kepada Islam. Oleh karena itu, melalui cara tersebut kita harus
cermat melihat Islam dari sudut berbeda, agar pengetahuan kita tentang Islam
tidak sempit.
• Islam harus dilihat sebagai ajaran yang non-mazhabi. Artinya, ketika cara pandang
seperti ini yang digunakan, maka wawasan keislaman kita juga semakin bijak.
Beragamanya mazhab dalam Islam seyogyanya harus dilihat sebagai bentuk Allah
swt mengenalkan ajaranNya secara menyeluruh, walaupun mazhab-mazhab yang
ada sepenuhnya menjadi hak prerogatif kita untuk memilih mana yang sesuai.
Ketika kita bisa mengedepankan pemahaman Islam yang non-mazhabi tersebut,
unsur-unsur sektarianisme (ego-sektoral) bisa diminimalisir.
Islam agama rahmatan lil’alamin
• Islam diturunkan di semenanjung Arabia, walaupun demikian sejatinya Islam merupakan ajaran monotheism (keesaan
Tuhan), mengajarkan ketauhidan
• Islam adalah agama yang mudah dalam implementasinya, namun terkadang masyarakat kita terfagmentrasi pada
mazhab, seolah hanya karena perbedaan mazhab, Islam menjadi ajaran yang ekslusif
• Islam seolah hanya masalah fikih semata, lebih dari itu, Islam sejatinya sangat luas cakupannya. Oleh karena itu, Islam
harus dipahami tidak hanya tekstual saja. Pemahaman kontekstual juga diperlukan supaya tidak terjadi ekslusivitas agama
• Pengkajian keislaman yang terjadi di Indonesia masih terlihat parsial, belum sampai memahami esensi dan substansi
keberagamaan itu sendiri. Sebagai contoh halal-haram seringkali menjadi perdebatan di masyarakat; simbol-simbol
agama seperti celana congkrang & jenggot menyebabkan masyarakat terfragmentasi (bila tidak ikut kelompoknya, maka
langsung terjustifikasi sebagai kelompok yang “salah”; ajaran kelompoknya paling benar); fenomena hijrah dianggap
seolah sebagai “pelebur dosa” tatkala seseorang sudah dalai lajur yang salah, maka solusinya hijrah. Tentunya
pemahaman hijrah tidak sepenuhnya salah, tetapi, prosedur hijrah yang harus dicermati, terkadang ketika seseorang
dikatakan hijrah, ia menganggap dirinya paling benar, orang lain salah
• Agama hanya dipandang sebagai ritual semata, tidak sampai kepada pengajaran moral dan etika. Oleh karena itu,
manakala seseorang menggunakan “gamis”, “surban” seolah ia telah menjadi orang yang saleh/taat. Padahal baju hanya
simbol, tentunya Allah swt lebih melihat ketaqwaan. Namun demikian, kesalehan paling utama adalah bagaimana
implementasi akhlak/etika yang terkandung dalam ajaran agama bisa terealisasi. Contoh, tatkala kita ketemu dengan
orang lain yang mungkin secara penampilan biasa saja, tidak menampakkan kesalehan di sana, tetapi ia memiliki
etika/akhlak yang baik dengan sesama, bisa jadi keberagamaan yang dimilikinya lebih baik.
• Kebalikannya, ada orang yang setiap tahun berhaji/setiap bulan umrah/puasa sunah rajin ia lakukan, tetapi ia berperangai
buruk kepada sesama/tetangganya, maka sesungguhnya keberagamaannya patut dipertanyakan. Sehingga di sinilah letak
keluhuran Islam yang kita anut, karena Nabi Muhammad saw akhlak/etika yang baik sebagai fondasi dalam beragama.
Pemahaman Masyarakat
Terhadap Agama

• Bentuk formalistik keagamaan Islam diubah menjadi bentuk agama yang substantif: Pada
format ini masyarakat muslim sejatinya harus memahami konstruksi ajaran Islam yang
nuansanya beragam (mazhab/kelompok dan sebagainya). Oleh karena itu, perbedaan
pemahaman ajaran tidak selalu menjadi hal yang dipertentangkan, sebagai contoh bacaan
qunut dalai shalat subuh; perbedaan rakaat tarawih ada yang 11 rakaat dan 23 rakaat. Kedua
hal tersebut terletak pada furuiyah semata, tidak mahdhah (wajib)
• Sikap eklusivisme dirubah menjadi inklusivisme (terbuka/tidak fanatik) dan atau sikap
universalisme (moderat/wasathiyah): Keberagamaan dalam Islam harus disikapi dengan tidak
berlebihan. Islam di Indonesia adalah majemuk, ada NU dan Muhammadiyah, PERSIS
(Persatuan Islam) dan seterusnya. Dengan adanya ormas-ormas (organisasi masyarakat) Islam
tersebut justru akan semakin membuat keberagamaan kita semakin dewasa. Biasa menerima
perbedaan pemahaman, tidak saling menyalahkan; membuka dialog dengan sesama umat
Islam.
• Melahirkan suatu masyarakat yang siap hidup toleran dalai masyarakat yang heterogen:
Masyarakat yang plural menjadi suatu keniscayaan. Saling menghormati antar sesama umat
Islam dan saling menghormati umat beda agama. Dalam hal ini, keenam agama yang diakui
negara (Indonesia) mencerminkan keaneragaman keyakinan, oleh karena itu diperlukan
kebijaksanaan dalam menyikapi perbedaan itu. Akan lebih indah, sistem keberagamaan antar
umat beda agama dilihat sebagai sarana mempersatukan sesama anak bangsa. Tentu saja
sikap-sikap toleransi itu harus dikedepankan dengan tidak saling curiga; menghormati
peribadatan umat lain beda agama serta tidak memprovokasi yang berakibat pada
ketidaknyamanan dalam beragama.

Anda mungkin juga menyukai