A31116326
Dalam memenuhi kebutuhannya, Islam memberikan aturan terkait konsumsi produk. Dalam
salah satu perintah-Nya kepada kita yakni dengan mengonsumsi produk halal dan thoyyib.
Sebagaimana dalam firman-Nya :
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang amat nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2] : 168)
Bahkan dengan makanan dapat menjadi penghambat doa dikabulkan. Dalam sebuah hadits
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
1. Sertifikasi Halal
Sertifikasi Halal adalah suatu proses untuk memperoleh sertifikat halal melalui beberapa
tahap untuk membuktikan bahwa bahan, proses produksi dan SJH memenuhi standar
LPPOM MUI.
2. Audit
Audit adalah suatu pemeriksaan independen, sistematis dan fungsional untuk menentukan
apakah aktivitas dan luarannya sesuai dengan tujuan yang direncanakan.
4. Audit Produk
Audit produk adalah audit yang dilakukan terhadap produk dengan melalui pemeriksaan
proses produksi, fasilitas dan bahan-bahan yang digunakan dalam produksi produk
tersebut.
5. Audit SJH
Audit SJH adalah audit yang dilakukan terhadap implementasi SJH pada perusahaan
pemegang sertifikat halal.
6. Sertifikat Halal
Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh MUI yang menyatakan
kehalalan suatu produk yang merupakan keputusan sidang Komisi Fatwa MUI
berdasarkan proses audit yang dilakukan oleh LPPOM MUI.
7. Sertifikat SJH
Sertifikat SJH adalah pernyataan tertulis dari LPPOM MUI bahwa perusahaan pemegang
sertifikat halal MUI telah mengimplementasikan SJH sesuai dengan ketentuan LPPOM
MUI. Sertifikat tersebut dapat dikeluarkan setelah melalui proses audit SJH sebanyak dua
kali dengan status SJH dinyatakan Baik (Nilai A).
II. Sistem Sertifikasi Halal
Ketidakseriusan penyelenggaraan UU JPH ini bisa dilihat dari Peraturan Pelaksanaan yang
harusnya sudah diluncurkan oleh Pemerintah September kemarin. Dalam Pasal 65
disebutkan bahwa Peraturan Pelaksanaan Undang-undang ini harus ditetapkan paling lama
2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-undang ini diundangkan. Namun faktanya, hingga
Oktober kemarin Pemerintah masih belum mengeluarkan Peraturan tentang Pelaksanaan
UU JPH ini, dengan alasan pemerintah terlihat berhati-hati dalam merencanakan
penerbitan aturan ini terlebih lantaran adanya kekhawatiran terkait pelaku usaha yang
dianggap belum siap. Molornya penerbitan aturan ini bisa menjadi indikasi atas
ketidakseriusan pemerintah sejak awal untuk meninjau fakta dan dampak penyelenggaraan
UU JPH ini dalam tataran teknis.
2. Syarat dan prosedur pelaku usaha dalam sertifikasi produk halal
Dalam UU ini dijelaskan, singkatnya, permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku
Usaha secara tertulis kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH menetapkan LPH (Lembaga
Pemeriksa Halal) untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.
Adapun pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh Auditor Halal
di lokasi usaha pada saat proses produksi, jika terdapat bahan yang diragukan bisa diuji di
laboratorium.
3. Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)
Dalam UU JPH ditegaskan, untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH ini dibentuklah
BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Agama.
Dalam hal yang diperlukan BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah. Mengenai
tugas, fungsi, dan susunan Organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden. BPJPH
berwenang antara lain:
a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
b. Menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria JPH;
c. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal pada produk luar negeri; dan
d. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri.
Juga dalam Pasal 56 UU JPH dijelaskan bahwa Pelaku Usaha yang tidak menjaga
kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah). Sanksi ini bisa menjadi pedang bermata dua, alih-alih untuk menertibkan
namun bisa saja disalahgunakan. Sebab berlakunya sanksi di tengah hukum demokrasi
Indonesia yang suatu saat mengabaikan prinsip keadilan alias tumpul ke atas namun tajam
ke bawah.