Anda di halaman 1dari 8

Nurmasari Bahar

A31116326

SISTEM JAMINAN PRODUK HALAL


Dari sekian banyak syari’at islam yang Allah SWT turunkan kepada manusia, satu
diantaranya yakni mengonsumsi produk halal. Syariat ini sudah lumrah dipahami oleh setiap
muslim, bahkan non muslim pun banyak yang sudah paham hal ini. Dibandingkan dengan
syari’at tentang memilih pemimpin muslim hingga pembangunan negara, hukum
mengonsumsi produk halal sudah meluas dan mudah diterima oleh masyarakat. Sebab tidak
ada satupun aktivitas muamalah yang bisa lepas dari kebutuhan akan suatu produk,
sedangkan seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara’ seputar produk yang halal.

Dalam memenuhi kebutuhannya, Islam memberikan aturan terkait konsumsi produk. Dalam
salah satu perintah-Nya kepada kita yakni dengan mengonsumsi produk halal dan thoyyib.
Sebagaimana dalam firman-Nya :

‫الش أي َطان ۚ إ َّن ُه َل ُك أم َع ُد ٌّو ُمب ن‬


َّ َ‫أ‬
َ ُ ُ ُ َّ َ َ َ ‫اْل أر َ َ ا َ ِّ ا‬ ُ ُ ُ َّ َ ُّ َ َ
‫ي‬ ِ ِ ِ ‫ات‬
ِ ‫ض حَلًل طيبا وًل تت ِبعوا خطو‬ ِ ‫اس كلوا ِم َّما ِ يف‬ ‫يا أيها الن‬

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang amat nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2] : 168)

Bahkan dengan makanan dapat menjadi penghambat doa dikabulkan. Dalam sebuah hadits
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َّللاَ أَ َم َر‬ َ ‫طيِبٌ ََل يَ ْقبَ ُل إِ هَل‬


‫طيِبًا َوإِ هن ه‬ َ َ‫َّللا‬
‫اس إِ هن ه‬ ُ ‫سله َم أَيُّ َها ال هن‬ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫َّللا‬‫سو ُل ه‬ ُ ‫ي هللاُ َع ْنه ُ قَا َل قَا َل َر‬ َ ‫ض‬ ِ ‫َع ْن أَبِي ه َُري َْرة َ َر‬
‫صا ِل ًحا إِنِي بِ َما تَ ْع َملُونَ َع ِلي ٌم } َوقَا َل { يَا أَيُّ َها‬ َ ‫ت َوا ْع َملُوا‬ ِ ‫طيِبَا‬‫س ُل ُكلُوا ِمنَ ال ه‬ ُّ ‫سلِينَ فَقَا َل { يَا أَيُّ َها‬
ُ ‫الر‬ َ ‫ْال ُمؤْ ِمنِينَ ِب َما أ َ َم َر بِ ِه ْال ُم ْر‬
‫ب‬
ِ ‫ب يَا َر‬ ِ ‫اء يَا َر‬ ِ ‫س َم‬‫ث أ َ ْغبَ َر يَ ُمدُّ يَدَ ْي ِه إِلَى ال ه‬ َ َ‫سفَ َر أ َ ْشع‬ ‫الر ُج َل ي ُِطي ُل ال ه‬ ‫ت َما َرزَ ْقنَا ُك ْم } ث ُ هم ذَك ََر ه‬ َ ‫الهذِينَ آ َمنُوا ُكلُوا ِم ْن‬
ِ ‫طيِبَا‬
َ‫ِي بِ ْال َح َر ِام فَأَنهى يُ ْست َ َجابُ ِلذَلِك‬ ُ ‫سهُ َح َرا ٌم َو‬
َ ‫غذ‬ ُ َ‫ط َع ُمهُ َح َرا ٌم َو َم ْش َربُهُ َح َرا ٌم َو َم ْلب‬
ْ ‫َو َم‬
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima
sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan
kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-
Nya: ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal
shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Dan Allah juga
berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah
kami rezekikan kepadamu.'” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan
tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut,
masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai
Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya
dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka
bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?” (HR. Muslim no. 1015)
I. Definisi dan Terminologi
Definisi
SJH adalah suatu sistem manajemen yang disusun, diterapkan dan dipelihara oleh perusahaan
pemegang sertifikat halal untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai
dengan ketentuan LPPOM MUI.
Terminologi Proses Sertifikasi Halal

1. Sertifikasi Halal
Sertifikasi Halal adalah suatu proses untuk memperoleh sertifikat halal melalui beberapa
tahap untuk membuktikan bahwa bahan, proses produksi dan SJH memenuhi standar
LPPOM MUI.

2. Audit
Audit adalah suatu pemeriksaan independen, sistematis dan fungsional untuk menentukan
apakah aktivitas dan luarannya sesuai dengan tujuan yang direncanakan.

3. Auditor LPPOM MUI


Auditor adalah orang yang diangkat oleh LPPOM MUI setelah melalui proses seleksi
kompetensi, kualitas dan integritasnya dan ditugaskan untuk melaksanakan audit halal.
Auditor LPPOM MUI berperan sebagai wakil ulama dan saksi untuk melihat dan
menemukan fakta kegiatan produksi halal di perusahaan.

4. Audit Produk
Audit produk adalah audit yang dilakukan terhadap produk dengan melalui pemeriksaan
proses produksi, fasilitas dan bahan-bahan yang digunakan dalam produksi produk
tersebut.

5. Audit SJH
Audit SJH adalah audit yang dilakukan terhadap implementasi SJH pada perusahaan
pemegang sertifikat halal.

6. Sertifikat Halal
Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh MUI yang menyatakan
kehalalan suatu produk yang merupakan keputusan sidang Komisi Fatwa MUI
berdasarkan proses audit yang dilakukan oleh LPPOM MUI.

7. Sertifikat SJH
Sertifikat SJH adalah pernyataan tertulis dari LPPOM MUI bahwa perusahaan pemegang
sertifikat halal MUI telah mengimplementasikan SJH sesuai dengan ketentuan LPPOM
MUI. Sertifikat tersebut dapat dikeluarkan setelah melalui proses audit SJH sebanyak dua
kali dengan status SJH dinyatakan Baik (Nilai A).
II. Sistem Sertifikasi Halal

Proses Sertifikasi Halal


SJH merupakan bagian tak terpisahkan dalam proses sertifikasi halal. Prosedur proses
sertifikasi halal dapat dilihat pada Gambar 1

Gambar 1. Diagram Alir Proses Sertifikasi Halal

Jangkauan Aplikasi SJH


SJH dapat diterapkan pada berbagai jenis industri seperti industri pangan, obat, kosmetik baik
dalam skala besar maupun kecil serta memungkinkan untuk industri berbasis jasa seperti
importir, distributor, transportasi, dan retailer.

Siklus Operasi SJH


SJH merupakan kerangka kerja yang dipantau terus menerus dan dikaji secara periodik untuk
memberikan arahan yang efektif bagi pelaksanaan kegiatan proses produksi halal. Hal ini
perlu dilakukan mengingat adanya peluang perubahan baik secara internal maupun eksternal.
III. Prinsip-prinsip SJH
Prinsip-prinsip yang ditegakkan dalam operasional SJH adalah:
1. Maqoshidu syariah
Pelaksanaan SJH bagi perusahaan yang memiliki SH MUI mempunyai maksud
memelihara kesucian agama, kesucian pikiran, kesucian jiwa, kesucian keturunan, dan
kesucian harta.
2. Jujur
Perusahaan harus jujur menjelaskan semua bahan yang digunakan dan proses produksi
yang dilakukan di perusahaan di dalam Manual SJH serta melakukan operasional produksi
halal sehari-hari berdasarkan apa yang telah ditulis dalam Manual SJH.
3. Kepercayaan
LPPOM memberikan kepercayaan kepada perusahaan untuk menyusun sendiri Manual
SJH nya berdasarkan kondisi nyata internal perusahaan.
4. Sistematis
SJH didokumentasikan secara baik dan sistematis dalam bentuk Manual SJH dan arsip
terkait agar bukti-bukti pelaksanaannya di lingkungan perusahaan mudah untuk ditelusuri.
5. Disosialisasikan
Implementasi SJH adalah merupakan tanggungjawab bersama dari level manajemen
puncak sampai dengan karyawan, sehingga SJH harus disosialisasikan dengan baik di
lingkungan perusahaan.
6. Keterlibatan key person
Perusahaan melibatkan personal-personal dalam jajaran manajemen untuk memelihara
pelaksanaan SJH.
7. Komitmen manajemen
Implementasi SJH di perusahaan dapat efektif dilaksanakan jika didukung penuh oleh top
manajemen. Manajemen harus menyatakan secara tertulis komitmen halalnya dalam
bentuk kebijakan halal.
8. Pelimpahan wewenang
Manajemen memberikan wewenang proses produksi halalnya kepada auditor halal
internal.
9. Mampu telusur
Setiap pelaksanaan fungsi produksi halal selalu ada bukti dalam bentuk lembar kerja yang
dapat ditelusuri keterkaitannya.
10. Absolut
Semua bahan yang digunakan dalam proses produksi halal harus pasti kehalalannya. SJH
tidak mengenal adanya status bahan yang berisiko rendah, menengah atau tinggi terhadap
kehalalan suatu produk.
11. Spesifik
Sistem harus dapat mengidentifikasi setiap bahan secara spesifik merujuk pada pemasok,
produsen, dan negara asal. Ini berarti bahwa setiap kode spesifik untuk satu bahan
dengan satu status kehalalan.
Dalam era kapitalisme, berkembangnya teknologi dan pemikiran tidak dibatasi dengan
landasan syariat yang kuat. Karena yang haram dibolehkan, maka sesuatu yang dikonsumsi
oleh seorang muslim pun harus terjaga agar jangan sampai tertkontaminasi dengan produk
yang haram. Kehati-hatian seorang muslim harus dijaga agar terhindar dari konsumsi produk
haram, atau sebisa mungkin menjauhkan diri dari yang syubhat.
Ambil salah satu contoh, misalnya es krim yang menggunakan emulsifier (bahan
pengemulsi). Emulsifier sederhananya adalah satu senyawa kimia yang sekaligus
mempunyai gugus hidrofilik (suka air) dan hidrofobik atau lipofilik (suka minyak).
Emulsifier digunakan sebagai bahan untuk mempersatukan antara fase minyak dan fase air
yang secara normal tidak mungkin bisa bersatu sebagaimana peribahasa “seperti minyak
dengan air”. Dengan penambahan emulsifier, fase minyak dan fase air dapat bersatu
membentuk emulsi yang homogen dan stabil. Emulsifier diperlukan untuk menjaga
kestabilan emulsi pada es krim dan produk produk produk lain yang melibatkan pencampuran
dua fase air dan minyak.
Aplikasi emulsifier banyak sekali dalam bidang pangan, farmasi dan kosmetika.
Emulsifier merupakan salah satu bahan tambahan yang biasa dikodekan dengan E322
(lecithin), E471 (mono dan digliserida dari asam lemak), dan E472 (senyawa ester dari
monogliserida dari asam lemak). Di media sosial berkembang isu bahwa semua emulsifier ini
berasal dari bahan lemak babi, bahkan semua bahan atau sebagian besar bahan berkode E
tersebut berasal dari bahan haram.
Isu tersebut tentu juga tidak sepenuhnya benar. Kode E tersebut memang tidak
menyebutkan asal usul bahan seperti asam lemak dan gliserol yang digunakan. Karena itu
asam lemak dan gliserol yang digunakan bisa saja berasal dari lemak nabati (tanaman)
ataupun lemak hewani. Di negara negara yang banyak mengkonsumsi daging babi, memang
lumrah memanfaatkan lemak babi yang merupakan hasil samping industri peternakan babi
untuk menjadi produk lain yang bernilai ekonomi.
Emulsifier yang berasal dari lemak babi, atau dari lemak hewan yang tidak disembelih
sesuai dengan syariat Islam tentu saja merupakan bahan yang haram. Kejelasan sumber
lemak atau bahan bahan lain yang digunakan tentunya bisa diperoleh melalui proses
sertifikasi. Karena itu, produk industri yang belum atau tidak disertifikasi, tidak berarti haram
dan juga tidak berarti halal. Statusnya adalah syubhat, yaitu belum jelas kehalalan atau
keharamannya. Hal ini yang menjadikan MUI memperhatikan sesuatu yang syubhat cukup
banyak, bahkan mampu mengubah status halal suatu makanan yang lumrah si masyarakat
menjadi haram karena bercampur dengan sesuatu yang haram.

IV. Regulasi Indonesia terhadap Jaminan Produk Halal


Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Untuk
menjaga muslim Indonesia akan produk halal tentunya dengan membuat peraturan
perundang-undangan yang menjamin atas produk halal yang beredar di Indonesia. Langkah
yang ditempuh oleh pemerintah sejauh ini dengan dibentuknya Undang-undang No. 33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal yang disahkan oleh DPR pada tanggal 19 September
2014 kemarin.
Sedikit menambah angin segar bagi umat Islam di Indonesia, sebab dengan adanya
jaminan ini minimal keamanan masyarakat akan mengonsumsi produk halal lebih terjamin,
disamping hambatan dan tantangan jangka panjang yang akan dihadapi. Namun sayang angin
segar itu baru dapat kita rasakan tahun 2019 mendatang, karena berlakunya jaminan tersebut
setelah 5 tahun UU ini disahkan (Pasal 67). Begitupun respon masyarakat yang berbeda-beda
sehingga menimbulkan pro-kontra atas disahkannya undang-undang ini. Bahkan dalam situs
resmi kemenperin disampaikan bahwa UU itu harus direvisi karena dapat memberatkan dunia
usaha dan mengganggu iklim investasi.
Berangkat dari fenomena ini, maka ada beberapa perhatian atas pelaksanaan undang-
undang ini, diantaranya terkait penyelenggaraan dan penyelenggara Jaminan Produk Halal,
syarat dan prosedur pelaku usaha dalam setifikasi produk halal, pembentukan Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), pengawasan terhadap produk halal, hingga
penegakkan hukum terhadap penyelenggara Jaminan Produk Halal ini.

1. Penyelenggaraan dan penyelenggara Jaminan Produk Halal


Kementerian Agama tengah dalam proses penyusunan perangkat peraturan pelaksana UU
JPH. Adapun peraturan pelaksana yang dimaksud adalah :
a. Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 ;
b. Peraturan Pemerintah Tentang Tarif Sertifikasi Halal ;
c. Peraturan Presiden Tentang Organisasi dan Tata Kerja BPJPH ;
d. Peraturan Menteri mengenai hal-hal teknis terkait penyelenggaraan Jaminan Produk
Halal ini.

Ketidakseriusan penyelenggaraan UU JPH ini bisa dilihat dari Peraturan Pelaksanaan yang
harusnya sudah diluncurkan oleh Pemerintah September kemarin. Dalam Pasal 65
disebutkan bahwa Peraturan Pelaksanaan Undang-undang ini harus ditetapkan paling lama
2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-undang ini diundangkan. Namun faktanya, hingga
Oktober kemarin Pemerintah masih belum mengeluarkan Peraturan tentang Pelaksanaan
UU JPH ini, dengan alasan pemerintah terlihat berhati-hati dalam merencanakan
penerbitan aturan ini terlebih lantaran adanya kekhawatiran terkait pelaku usaha yang
dianggap belum siap. Molornya penerbitan aturan ini bisa menjadi indikasi atas
ketidakseriusan pemerintah sejak awal untuk meninjau fakta dan dampak penyelenggaraan
UU JPH ini dalam tataran teknis.
2. Syarat dan prosedur pelaku usaha dalam sertifikasi produk halal
Dalam UU ini dijelaskan, singkatnya, permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku
Usaha secara tertulis kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH menetapkan LPH (Lembaga
Pemeriksa Halal) untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.
Adapun pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh Auditor Halal
di lokasi usaha pada saat proses produksi, jika terdapat bahan yang diragukan bisa diuji di
laboratorium.
3. Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)
Dalam UU JPH ditegaskan, untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH ini dibentuklah
BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Agama.
Dalam hal yang diperlukan BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah. Mengenai
tugas, fungsi, dan susunan Organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden. BPJPH
berwenang antara lain:
a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
b. Menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria JPH;
c. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal pada produk luar negeri; dan
d. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri.

Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud, BPJPH bekerjasama dengan


kementerian dan/atau lembaga terkait, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis
Ulama Indonesia (MUI).
4. Pengawasan terhadap produk Halal
Dalam UU JPH dijelaskan bahwa Dalam rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan
JPH, BPJPH melakukan pengawasan terhadap LPH; masa berlaku Sertifikat Halal;
kehalalan Produk; pencantuman Label Halal; pencantuman keterangan tidak halal;
pemisahan lokasi, tempat dan alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal;
keberadaan Penyelia Halal; dan/atau kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.
Hingga belum terbentuknya BPJPH, maka pengawasan masih dilakukan oleh kemenag.
Sebab tugas MUI terhadap Produk Halal hanya berupa sertifikasi, sedangkan pengawasan
dan sosialisasi diserahkan kepada pemerintah.
5. Biaya sertifikasi produk halal
Dijelaskan dalam Pasal 44 bahwa biaya sertifikasi halal dibebankan kepada pelaku usaha
yang memohonkan sertifikat halal. Namun, dalam hal pelaku usaha adalah pelaku usaha
mikro dan kecil, biaya sertifikasi dapat difasilitasi oleh pihak lain. Terkait dengan
pembiayaan, nantinya akan diatur lebih rinci melalui RPP tentang Jenis Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Agama. Namun
RPP tersebut hanya akan mengatur mengenai jenis-jenis layanan saja. Sedangkan terkait
dengan besaran tarifnya akan ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas usul Menteri Agama.
6. Penegakkan Hukum terhadap penyelenggara Jaminan Produk Halal
Dalam Pasal 27 disebutkan bahwa pelaku usaha yang tidak melakukan kewajibannya
dikenai sanksi administratif berupa:
a. Peringatan tertulis;
b. Denda Administratif;
c. Pencabutan Sertifikat Halal.

Juga dalam Pasal 56 UU JPH dijelaskan bahwa Pelaku Usaha yang tidak menjaga
kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah). Sanksi ini bisa menjadi pedang bermata dua, alih-alih untuk menertibkan
namun bisa saja disalahgunakan. Sebab berlakunya sanksi di tengah hukum demokrasi
Indonesia yang suatu saat mengabaikan prinsip keadilan alias tumpul ke atas namun tajam
ke bawah.

Sistem jaminan produk halal yang ideal?


Jika merujuk kepada hukum asal benda, maka didapatkan kaidah al-ashlu fi al-asyaa al-
ibaahah, maa lam yarid daliilu at-tahriim, artinya hukum asal suatu benda adalah boleh,
hingga ada dalil yang mengharamkannya. Maka jika dipahami bahwa segala sesuatu itu boleh
dimakan, dikecualikan sesuatu yang sudah dijelaskan oleh syara’ hukumnya haram, atau
menjauhi yang hukumnya makruh. Selain itu, kaidah ini membatasi sesuatu yang boleh
dengan yang haram karena yang boleh itu banyak, dan yang haram adalah sedikit. Artinya,
lebih cocok untuk menuliskan label haram karena lebih mudah dibanding menuliskan label
halal pada setiap produk.
Tentu kondisi di atas tidak akan terwujud dalam sistem ekonomi kapitalisme. Paradigma
ekonomi kapitalis saat ini hanya mengutamakan materi, tanpa memandang apakah produk
yang diperjualbelikan halal atau haram. Selama baginya menguntungkan maka tidak ada
hambatan untuk menjualnya, asalkan tidak mengganggu hak orang lain, tidak bertentangan
dengan UU, norma kesusilaan, dsb. Kalaupun ada sebagian kecil yang menjual produk halal,
biasanya karena dua faktor. Pertama, agar produk mereka terkenal dan mampu diterima oleh
masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah muslim. Kedua, karena sadar wajibnya
seorang muslim menjual produk halal sehingga konsumennya bisa terjaga. Faktor kedua ini
yang minim tumbuh di masyarakat.
Jika dalam sistem kapitalisme yang sekuler ini menyuburkan produk-produk syubhat,
tentu hal ini berbeda dengan sistem Islam yang tidak memperbolehkan produk haram beredar
bebas apalagi diperjualbelikan. Larangan ini tentu membuat masyarakat di dalam Negara
yang menerapkan syariat islam akan merasa lebih aman dan nyaman, juga tidak harus
mengeluarkan biaya besar.
Pemerintah tidak hanya menerapkan syariat Islam, namun menjaga dan
menyebarluaskannya termasuk salah satunya syariat tentang produk halal. Upaya edukasi
terus dilakukan agar masyarakat wajib mengonsumsi produk-produk halal. Para produsen pun
tidak luput dari pengawasan agar produk yang dihasilkan tidak berasal dari sesuatu yang
haram. Para ilmuwan akan didorong untuk meneliti bahan pengganti dari setiap produk
haram yang ‘terpaksa’ digunakan dalam produksi farmasi. Begitupun dengan arus impor dan
ekspor barang akan dijaga ketat agar tidak ada upaya ‘penyelundupan’ atas produk haram
yang akan beredar.
Dalam Penerapan Islam mempunya tiga asas yang harus dipenuhi, yaitu: (1) Ketaqwaan
individu yang mendorongnya untuk terikat kepada hukum syara', (2) Pengawasan dan
muhasabah masyarakat, dan (3) Negara yang menerapkan syari'at Islam secara utuh. Apabila
salah satu asas ini telah runtuh, maka penerapan syari'at Islam dan hukum-hukumnya akan
mengalami penyimpangan, dan akibatnya Islam, sebagai agama dan ideologi, akan hilang
dari muka bumi.
Untuk itu, jaminan produk halal di era kekhilafahan tidak hanya menjadi tugas bagi
polisi (asy-Syurtah) atau petugas lainnya, namun juga individu-individu yang betakwa dan
amanah yang dibentuk oleh sistem Islam. Budaya amar ma’ruf nahi munkar harus tumbuh,
sehingga membantu para petugas pemeriksa/auditor halal dalam menindak para pelanggar
syariat. Sanksi yang tegas dan keadilan hukum pasti akan ditegakkan dalam negara yang
menerapkan syariat Islam

Anda mungkin juga menyukai