Anda di halaman 1dari 4

KELOMPOK I:

M.SAHRUL T/ 101414001
JENI SATRIANI/ 1214141021
MUHAYYIRAH / 1214140003
NURUL FAJRATULLAH / 1214141010
RESTU PUTRI UTAMI / 1214141023
SUMARNI / 1214141016

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009

Sejak tanggal 3 Oktober 2009, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, yang kemudian digantikan
dengan hadirnya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (PPLH). Undang-undang ini terdiri dari 17 bab dan 127 pasal yang mengatur
secara lebih menyeluruh tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam Undang-Undang nomor 32 Tahun 2009, tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup diuraikan secara lengkap mengenai pengertian AMDAL yakni analisis
mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut AMDAL, adalah kajian mengenai
dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proes pengambilan keputusannya tentang penyelanggaraan usaha dan/atau
kegiatan. Undang-Undang ini berisi tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap
proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian
aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan
Beberapa point penting dalam UU No. 32 Tahun 2009 antara lain:
1. Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
2. Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
3. Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
4. Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup,
yang meliputi instrumen kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu
lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, amdal, upaya pengelolaan
lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen
ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup,
anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain
yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
5. Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
6. Pendayagunaan pendekatan ekosistem;
7. Kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;
8. Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses
keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
9. Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;
10. Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih
efektif dan responsif; dan
11. Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri
sipil lingkungan hidup.
Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan
seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah
memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan Undang-Undang ini
tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan
kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio menetapkan, melaksanakan, dan
mengawasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, lembaga ini
diharapkan juga mempunyai ruang lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam
untuk kepentingan konservasi. Untuk menjamin terlaksananya tugas pokok dan fungsi lembaga
tersebut dibutuhkan dukungan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang
memadai untuk pemerintah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang memadai untuk
pemerintah daerah
Yang dimaksud perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam undang-undang tersebut
meliputi:
1. Aspek Perencanaan yang dilakukan melalui inventarisasi lingkungan hidup, penetapan
wilayah ekoregion dan penyusunan RPPLH (Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup).
2. Aspek Pemanfaatan Sumber daya Alama yang dilakukan berdasarkan RPPLH. Tetapi
dalam undang-undang ini telah diatur bahwa jika suatu daerah belum menyusun RPPLH
maka pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup.
3. Aspek pengendalian terhadap pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup yang
meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan.
Dimasukkan pengaturan beberapa instrumen pengendalian baru, antara lain: KLHS, tata
ruang, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, AMDAL, UKL-UPL, perizinan, instrumen
ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran
berbasis lingkungan hidup, analisis resiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, dan
instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.
Pemeliharaan lingkungan hidup yang dilakukan melalui upaya konservasi sumber daya alam,
pencadangan sumber daya alam, dan/atau pelestarian fungsi atmosfer.
Aspek pengawasan dan penegakan hukum, meliputi : Pengaturan sanksi yang tegas (pidana
dan perdata) bagi pelanggaran terhadap baku mutu, pelanggar AMDAL (termasuk pejabat
yang menebitkan izin tanpa AMDAL atau UKL-UPL), pelanggaran dan penyebaran produk
rekayasa genetikan tanpa hak, pengelola limbah B3 tanpa izin, melakukan dumping tanpa izin,
memasukkan limbah ke NKRI tanpa izin, melakukan pembakaran hutan, Pengaturan tentang
pajabat pengawas lingkungan hidup (PPLH) dan penyidik pengawai negeri sipil (PPNS), dan
menjadikannya sebagai jabatan fungsional.
Ada pasal-pasal yang mengatur sanksi pidana dan perdata yang mengancam setiap
pelanggaran peraturan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik kepada
perseorangan, korporasi, maupun pejabat. Sebagai contoh, pelanggaran terhadap baku mutu
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
Dalam UU No 32 Tahun 2009, AMDAL mendapat porsi yang cukup banyak dibandingkan
instrumen lingkungan lainnya, dari 127 pasal yang ada, 23 pasal diantaranya mengatur tentang
AMDAL. Tetapi pengertian AMDAL pada UU No. 32 Tahun 2009 berbeda dengan UU No. 23
Tahun 1997, yaitu hilangnya “dampak besar”. Jika dalam UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan
bahwa “AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup ……”, pada UU No. 32 Tahun 2009
disebutkan bahwa “ AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan …..”. Dari ke 23 pasal tersebut, ada pasal-pasal penting yang
sebelumnya tidak termuat dalam UU No. 23 Tahun 1997 maupun PP No.27 Tahun 1999 dan
memberikan implikasi yang besar bagi para pelaku AMDAL, termasuk pejabat pemberi ijin.
Hal-hal penting baru yang terkait dengan AMDAL yang termuat dalam UU No. 32 Tahun 2009,
antara lain:
1. AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
2. Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen
AMDAL;
3. Komisi penilai AMDAL Pusat, Propinsi, maupun kab/kota wajib memiliki lisensi
AMDAL;
4. Amdal dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penerbitan izin lingkungan;
5. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai
kewenangannya.
Selain ke – 5 hal tersebut di atas, ada pengaturan yang tegas yang diamanatkan dalam UU
No. 32 Tahun 2009, yaitu dikenakannya sanksi pidana dan perdata terkait pelanggaran bidang
AMDAL. Pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi-sanksi tersebut, yaitu:
1. Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan;
2. Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki sertifikat
kompetensi;
3. Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang tanpa dilengkapi dengan
dokumen AMDAl atau UKL-UPL.

Anda mungkin juga menyukai