Anda di halaman 1dari 71

Modul Materi: Ulumul Hadits

MODUL MATERI :

ULUMUL HADITS

Ringkasan Praktis Sistematis Sekelumit Tentang


Ulumul Hadits, tinjuauan secara; Etimologis, Terminologis dan Aksiologis

Disampaikan pada Pelatihan Kader Umat (PKU)


Yang diselenggarakan pada Tgl. 26-28 Desember 2017
Bertempat di WISMA BANGKIT Rangkasbitung

Penyusun :
Dr. H. Ade Budiman, Lc., MA.

KOMISI PENDIDIKAN DAN SENI BUDAYA ISLAM


MAJELIS ULAMA INDONESIA
MUI KABUPATEN LEBAK, PROV. BANTEN

1
Modul Materi: Ulumul Hadits
PENGANTAR MODUL

‫احلمد هلل وكفى والصالة والسالم على النيب املصطفى وعلى آله وأصحابه ومن اهتدى‬
Ulumul Hadits merupakan Tema sentral pembahasan dari kajian Hadits, yang mana adalah
sebuah metode yang pelengkap dalam membuka pintu awal dari kedalaman kandungan Al-Qur‘an yang
kaitannya dengan tema Ulumul Qur‘an, tinjauan secara: Etimologis, Terminologis dan Aksiologis.
Karenanya, umat Islam secara umum, ataupun secara khusus bagi mahasiswa muslim yang merindukan
interaksi lebih mendalam dengan Al-Hadits, secara otomatis akan dituntut untuk mempelajari terlebih
dahulu Tema pembahasan Ilmu Hadits ini.
Untuk menjawab tuntutan tersebut, maka sangat dibutuhkan pemahaman yang mendalam dalam
mempetakan pemahaman Ulumul Hadits yang terjadi di Masyarakat dan kompetensi Al-Haditst dalam
membicarakan hal tersebut, dengan berupa mengenal tinjauan/perspektif para ulama didalam
mendefinisikan dari pembahasan Ilmu Hadits itu tersebut,baik pada mahasiswa muslim, masyarakat
muslim sebagai bekal awal dalam berinteraksi lebih lanjut dengan Al-Hadits. Sebuah pengajaran yang
sistematis, sederhana namun tidak kehilangan inti pembahasan Ilmu Haditsnya.
Modul ini adalah salah satu usaha riil untuk menjawab tuntutan tersebut, sekaligus sebagai
sebuah bentuk tanggung jawab saya ketika menyampaikan materi Ulumul Hadits di Pelatihan Kader
Umat (PKU) ini. Bentuk tanggung jawab, karena saya tidak ingin apa yang saya sampaikan dari Ilmu
yang mulia ini hilang begitu saja atau disalah-pahami oleh peserta, hanya karena salah dalam mencatat,
atau kurang konsentrasi di pelatihan. Saya mengharapkan, modul ini tidak sekedar menjadi teman
menjelang ujian, tapi lebih dari itu menjadi amanah bagi para pecinta Ilmu Hadits didalam memahami,
mengembangkan lalu diimplementasikan di tengah masyarakat di kemudian hari.
Modul ini sejujurnya hanya sekedar "ringkasan" penyusun yang waktu itu berkesempatan
mempelajarinya pada waktu belajar di Pascasarjana IIQ dan PTIQ Jakarta. Maka akhirnya muncullah
ide untuk membuat ringkasan, tentu saja ditambah beberapa catatan, tambahan dan penyesuaian yang
didapat dari referensi tema-tema Ulumul Hadits yang lainnya.
Akhirnya, terima kasih penyusun ucapkan terima kasih pada segenap pimpinan dan jajaran
Dewan Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lebak atas kerja sama dan
kepercayaannya selama ini, juga kepada kelarga yang selalu memberi inspirasi dan motivasi bagi
penyusun untuk terus berkarya. Modul ini bisa digandakan sebanyak mungkin, dan tidak untuk
dijualbelikan. Penyusun akui, karena terbatasnya waktu maka masih banyak "PR" di kemudian hari
untuk menyempurnakan Modul ini. Segala kritik dan saran bisa dikirimkan ke
ade_syeima@yahoo.com.

Rangkasbitung, 25 Desember 2017

Dr. H. Ade Budiman, Lc, MA.

2
Modul Materi: Ulumul Hadits

SILABUS MATERI
ULUMUL HADITS

NO TEMA POKOK-POKOK MATERI


Pengantar tentang Pengertian 1. Pengertian sanad, matan dan rawi
1
hadits, sunah dan atsar 2. Kedudukan dan fungsi hadits dalam hukum islam
1. Hadits pra kodifikasi dimasa: a. Rasulullah SAW, b.
Sahabat , c. Tabi‘in
2 Sejarah Perkembangan Hadits
2. Kodifikasi hadits dengan istilah; Al-Kitabah, At-
Tadwin, At-Tashnif
Perkembangan hadits dimasa
3
sekarang
1. Pengertian ilmu hadits dirayah
4 Pengertian Ulumul Hadits
2. Pengertian ilmu hadits riwayah
Cabang – cabang ilmu hadits 1. Hadits ditinjau dari segi kuantitas perawinya
5
dengan Klasifikasinya 2. Hadits ditinjau dari segi kualitas perawinya
1. Pengertian hadits shahih
6 Hadits Shahih 2. Kriteria hadits shahih
3. Kedudukan hadits shahih dalam islam
1. Pengertian hadits hasan
2. Syarat – syarat hadits hasan
7 Hadits Hasan
3. Pembagian hadits hasan
4. Kedudukan hadits hasan dalam islam
1. Pengertian hadits dla‘if
8 Hadits Dla‟if 2. Macam – macam hadits dla‘if
3. Kedudukan hadits dla‘if dalam islam
1. Pengertian hadits maudlu‘
2. Sebab – sebab munculnya hadits maudlu‘
9 Hadits Maudlu‘
3. Kriteria kepalsuan hadits
4. Kedudukan hadits maudlu‘
Syarat–syarat Perawi Hadits dan 1. Syarat – syarat perawi hadits
10
Proses Transformasinya 2. Tahammul wal ada‘
1. Pengertian, Obyek dan Kegunaanya
11 Ilmu Jarh wa Ta‟dil
2. Lafaz – lafaz dan maratibul jarh wa ta‘dil
1. Perawi kutubu al sittah
Para Perawi Hadits dan Karya – 2. Al Muwaththa‘
12
karyanya 3. Al Musnad Ahmad bin Hambal
4. Sunan Al Darimy
1. Pengertian, sejarah dan tokoh – tokohnya
13 Inkarus Sunah 2. Argument para munkirus sunnah
3. Bantahan ulama‘ terhadap para munkirus sunnah
1. Pengertian takhrij hadits
14 Takhrijul Hadits 2. Macam – macam takhrij hadits
3. Kitab – kitab yang digunakan dalam takhrij hadits

3
Modul Materi: Ulumul Hadits

TEMA 1
Pengantar tentang Pengertian hadits, sunah dan atsar.
POKOK-POKOK PEMBAHASAN:
1. Pengertian sanad, matan dan rawi
2. Kedudukan dan fungsi hadits dalam hukum islam

__________________________________________________________________________________

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur'an. "Hadits atau disebut
juga dengan Sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada Nabi
Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir-nya. Hadits, sebagai sumber
ajaran Islam setelah al-Qur'an, sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan
Islam itu sendiri.
Hadits Nabi yang berkembang pada zaman Nabi (sumber aslinya), lebih banyak berlangsung
secara hafalan dari pada secara tulisan. Penyebabnya adalah Nabi sendiri melarang para sahabat
untuk menulis hadits-nya, dan menurut penulis karakter orang-orang Arab sangat kuat hafalannya
dan suka menghafal, dan ada kehawatiran bercampur dengan al-Qur'an. Dengan kenyataan ini,
sangat logis sekali bahwa tidak seluruh hadits Nabi terdokumentasi pada zaman Nabi secara
keseluruhan.
Pada realitas kehidupan masyarakat muslim, perkembangan hadits Nabi secara kuantitatif
cukup banyak sekali. Selain perkembangan hadits yang cukup banyak, juga banyak istilah-istilah
yang digunakan. Pada masyarakat umum yang dikenal adalah Hadits dan as-Sunnah, sedangkan
pada kelompok tertentu, dikenal istilah Khabar dan Atsar. Untuk itu, pada pembahasan makalah ini,
pemakalah akan sedikit memberi pengertian pengertian Hadits, Sunah, Atsar, serta Sanad, Matan,
dan Rawi.

PEMBAHASAN
B. Pengertian Hadits, Sunah dan Atsar
a. Pengertian Hadits
Hadits atau al-hadits menurut bahasa al-jadid yang artinya sesuatu yang baru – lawan
dari al-Qadim (lama) – artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu
yang singkat seperti ‫ط تنؼٓذ فٗ تإلعالو‬ٚ‫( حذ‬orang yang baru masuk/memeluk agama Islam). Hadits
juga sering disebut al-khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan Hadits.1
Hadits dengan pengertian khabar sebagaimana tersebut di atas dapat dilihat pada
beberapa ayat al-Qur'an, seperti:
QS. Al-Thur [52]:34, "Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al
Quran itu jika mereka orang-orang yang benar."
QS. AL-Kahfi (18):6, "Katakan olehmu Dia (al-Furqan) ini diturunkan langsung oleh
Yang Maha Mengetahui rahasia di sekalian langit dan di bumi.Sesungguhnya Dia adalah Maha
Pengampun dan Maha Penyayang."
QS. Al-Dhuha [93]:11. "Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu
siarkan."
Demikian pula dapat dilihat pada Hadits berikut:
ّ‫ـــّ يٍ حشو حشيُثِ أال يٍ خهغ‬ٛ‫ّ يٍ حالل إلعصحههُثِ ٔيث ٔجذ َث ف‬ٛ‫قٕل ْزت كصــــــــثج هللا يــــث ٔجذَث ف‬ٚ ٌ‫ٕ شك أحذكى ت‬ٚ
ّ‫ هللا ٔسعٕنّ ٔتنزٖ حذض خ‬،‫ط فكذج خّ فقذ كزج خّ ظال ظر‬ٚ‫ػُٗ حذ‬
Artinya: "Hampir-hampir ada seorang diantara kamu yang akan mengatakan "ini kitab Allah"
apa yang halal didalamnya kami halalkan dan apa yang haram di dalamnya kami haramkan.
Ketahuilah barang siapa yang sampai kepadanya suatu Hadits dariku kemudian ia
1
Drs. Munzier Suparta, MA. Ilmu Hadis (Jakarta,2002) hal. 1
4
Modul Materi: Ulumul Hadits
mendustakannya, berarti ia telah mendustakan tiga pihak, yakni Allah, Rasul, dan orang yang
menyampaikan Hadits tersebut".
Sedangkan menurut istilah (terminology), para ahli memberikan definisi (ta'rif) yang
berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya. Seperti pengertian Hadits menurut
ahli ushul akan berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh ahli Hadits.
Menurut ahli Hadits, pengertian Hadits adalah:
ّ‫ّ ٔعهى ٔتفؼثنّ ٔأحٕتن‬ٛ‫أقٕتل تنُدٗ طهّٗ هللا ػه‬
"Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya."
Yang dimaksud dengan "hal ihwal" ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad SAW. yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan
kebiasaan-kebiasaannya.2
Ada juga yang member pengertian lain:
‫ضت أٔطفر‬ٚ‫ّ ٔعهى قـــٕال أٔ فؼال أٔشقش‬ٛ‫ف إنٗ تنٍ خٗ طهٗ هللا ػه‬ٛ‫يث أض‬
"Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau.”
Sebagian muhadditsin berpendapat bahwa pengertian Hadits diatas merupakan
pengertian yang sempit. Menurut mereka, Hadits mempunyai cakupan pengertian yang lebih
luas, tidak terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. (Hadits marfu')
saja. Melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat (Hadits mauquf), dan
tabi'in (Hadits maqta'), sebagaimana disebutkan oleh Al-Tirmisi
ْٕٔ ‫ف إنٗ تنظحثخٗ ٔتنًقطٕع‬ٛ‫ّ ٔعهى خم جثء خث نًٕقٕف ْٕٔ يث أض‬ٛ‫ّ طهــــٗ هللا ػه‬ٛ‫خصض خثنًش فٕع إن‬ٚ ‫ط ال‬ٚ‫إ ٌّ تنحذ‬
‫ف نهصثخغ‬ٛ‫يث أ ض‬
"Bahwasanya Hadits itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu', yaitu sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., melainkan bisa juga untuk sesuatu yang mauquf,
yaitu yang disandarkan kepada tabi'in”. Sementara para ulama ushul memberikan pengertian
hadits adalah:
‫شْث‬ٚ‫شتشّ تنصــــٗ شعدـــس تألحكــــثو ٔشقش‬ٚ‫أقٕتنّ ٔأفؼثنّ ٔشقش‬
"Segala perkataan Nabi Muhammad SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan
dengan hukum syara' dan ketetapannya"
Berdasarkan pengertian Hadits menurut ahli ushul ini jelas bahwa Hadits adalah segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan
yang berhubungan dengan hukum atau ketentua-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada
manusia. Selain itu tidak bisa dikatakan Hadits. Ini berarti ahli ushul membedakan diri
Muhammad sebagai rasul dan sebagai manusia biasa. Yang dikatakan Hadits adalah sesuatu
yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Muhammad SAW. sebagai
Rasulullah. Inipun, menurut mereka harus berupa ucapan dan perbuatan beliau serta ketetapan-
ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan, tata cara berpakaian, cara tidur dan sejenisnya
merupakan kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai Hadits.
Dengan demikian, pengertian Hadits menurut ahli ushul lebih sempit dibanding dengan Hadits
menurut ahli Hadits.

b. Pengertian Sunah
Dalam tinjauan kebahasaan sunnah berarti jalan, perjalanan atau kebiasaan, baik itu
positif maupun negatif. Dalam ayat-ayat Al-Qur-an maupun Hadits, juga sering dijumpai kata
sunnah yang diartikan secara bervariatif. Seperti misalnya pada surat An-Nisa‘ ayat 26:
“Allah hendak menerangkan (hukum syari'at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada
jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima
taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
Dalam ayat tersebut kata Sunnah (sunana) berarti jalan-jalan (banyak jalan), sesuai
dengan arti secara kebahasaannya. Hal yang serupa juga bisa ditemui dalam Hadits Nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Jarir ibn Abdillah:
ُ
‫تإل ْعالَ ِو‬
ِ ِٗ‫َٗ ٌء َٔ َي ٍْ َع ٍَّ ف‬ ِ ‫َ ُْقُضُ ِي ٍْ أج‬ٚ َ‫ح نَُّ ِي ْع ُم أَجْ ِش َي ٍْ َػ ًِ َم خَِٓث َٔال‬
ْ ‫ُٕس ِْ ْى ش‬ َ ِ‫َي ٍْ َع ٍَّ فِٗ ت ِإل ْعالَ ِو ُعَُّرً َح َغَُرً فَ ُؼ ًِ َم خَِٓث خَ ْؼ َذُِ ُكص‬
ِ َ‫َُقضُ ِي ٍْ أْٔ ص‬ٚ َ‫ ِّ ِي ْع ُم ِٔ ْص ِس َي ٍْ َػ ًِ َم خَِٓث َٔال‬ْٛ َ‫ح َػه‬
‫تس ِْ ْى َش ْٗ ٌء‬ َ ُ ْ َ ِ‫ِّةَرً فَ ُؼ ًِ َم خَِٓث خَ ْؼ َذُِ ُكص‬ٛ‫ُعَُّرً َع‬
“Barangsiapa membuat inisiatif yang baik, ia akan mendapatkan pahala dan pahala orang-
orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang; dan barangsiapa

2
Drs. Munzier Suparta, MA.,op.cit.,hal.2
5
Modul Materi: Ulumul Hadits
membuat inisiatif yang jelek, ia akan mendapatkan dosa dan dosa-dosa orang yang
mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang (HR. Muslim)
Sedangkan sunnah menurut perspektif terminologi, terdapat beberapa definisi yang di
paparkan oleh para Ulama‘ Hadits. Ambillah contoh Ajjaj Al-Khatib maupun Sayyid
Muhammad bin Alwi Al-Maliki yang menjelaskan sunnah dalam 3 sudut pandang, yakni:
a. Sunnah menurut sebagian Muhadditsin: ―Segala apa yang dinisbatkan kepada
Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, karakter fisik dan etika,
ataupun kebiasaan-kebiasaan Nabi Muhammad SAW baik sebelum diangkat menjadi
utusan-seperti berhannuts-nya beliau di gua Hira- maupun setelah diangkat menjadi
rasul.”
Sementara menurut Muhadditsin yang lain, Sayyid Muhammad menjelaskan bahwa
―sunnah itu termasuk segala sesuatu yang dihubungkan kepada para sahabat atau
tabi‘in, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir ataupun sifat-sifatnya‖.
b. Sunnah menurut Ushuliyyin: ―Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad
SAW selain Al-Qur-an, baik berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan yang patut
dijadikan dalil dalam penetapan hukum agama (syari‟at)”
c. Sunnah menurut Fuqaha‘: “Segala sesuatu yang telah dipastikan berasal dari Nabi
Muhammad SAW yang bukan merupakan hal fardlu juga bukan hal yang wajib”
Sudut pandang dalam definisi di atas sudah sangat bisa dimaklumi mengingat bahwa
masing-masing ulama‘ berangkat dari sudut pandang keilmuan masing-masing. Keilmuan
Ushul Fiqh memang menuntut adanya dalil yang bisa dan layak untuk dijadikan dasar
menentukan hukum. Sementara keilmuan fiqh memang memiliki peristilahan tersendiri yang
itu berkaitan dengan bobot sebuah perintah (amr), apakah itu wajib, sunnah, mubah, makruh
atau haram. Sementara muhadditsin juga tidak seragam dalam memberikan definisi terhadap
sunnah, meskipun pada dasarnya tetap saja memiliki substansi yang sama.
Dalam sebuah perbandingan, banyak juga para ahli hadits yang mencoba menjelaskan
definisi sunnah dengan menghadapkannya pada lawan kata sunnah yaitu bid‘ah. Dengan kata
lain, Sunnah adalah sesuatu yang bukan bid‘ah.3

c. Pengertian Atsar
Secara etimologi, Atsar dari segi bahasa artinya bekas sesuatu atau sisa sesuatu dan
berarti pula sesuatu yang dinukil (dikutip). Misalnya sering terdengar ungkapan bahwa ‖ini
tafsir bil ma‘tsur‖ yang maksudnya adalah tafsir yang mengadopsi perkataan-perkataan atau
‖bekas-bekas‖ orang sebelumnya.
Sedangkan atsar menurut istilah, juga memiliki perbedaan definisi diantaranya adalah
apa yang dipaparkan oleh Syaikh Dahlawi sebagai berikut:
‫قثل‬ٚ ‫ضث كًث‬ٚ‫طهق تألظش ػهٗ تنًشفٕع أ‬ٚ ‫قثل نّ تألظش ٔقذ‬ٚ ‫ط خثنًشفٕع ٔتنًٕقٕف إر تنًقطٕع‬ٚ‫ٔقذ خظض خؼضٓى تنحذ‬
‫ر‬ٕٚ‫ط تنُد‬ٚ‫ثٌ تألحثد‬ٛ‫ّ ٔعهى ٔتنطحثٔ٘ عًٗ كصثخّ تنًشصًم ػهٗ خ‬ٛ‫ طهٗ هللا ػه‬ٙ‫ر ػٍ تنُد‬ٛ‫ر تنًأظٕسذ نًث جثء يٍ تألدػ‬ٛ‫تألدػ‬
‫ظثس يغ أَّ يخظٕص خثنًشفٕع ٔيث‬ٜ‫ح ت‬ٚ‫ ُكصّثخث ً يغًٗ خصٓز‬َٙ‫ظثس ٔقثل تنغخثٔ٘ إٌ نهطدشت‬ٜ‫ ت‬َٙ‫ٔآظثس تنظحثخر خششح يؼث‬
‫ق تنصدغ ٔتنصطفم‬ٚ‫ّ يٍ تنًٕقٕف فدطش‬ٛ‫ركش ف‬
―terkadang sebagian ulama‟ mengkhususkan istilah hadits hanya untuk sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW dan Sahabat, sedangkan sesuatu yang disandarkan
kepada tabi‟in disebut Atsar. Terkadang istilah Atsar juga digunakan untuk menyebut sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, seperti misalnya ucapan seseorang bahwa
“ini do‟a yang ma‟tsur”, yang menunjukkan bahwa itu berasal dari Nabi Muhammad SAW.
Ketika melihat pendapat semacam ini, maka Mahmud Thahan memetakan definisi
Atsar dalam 2 hal4, yakni:
 Atsar itu sama dengan Hadits, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW
 Atsar itu berbeda dengan hadits, yakni bahwa atsar merupakan sesuatu yang
disandarkan kepada sahabat dan tabi‘in yang meliputi ucapan maupun perbuatan.
Selain itu, ada juga yang menambahkan bahwa Atsar hanya terkhusus pada khabar
yang mauquf atau maqtu‘. Istilah atsar bisa digunakan untuk menyebut Hadits jika disertai
keterangan bahwa itu adalah hadits Nabi Muhammad SAW. misalnya dalam sebuah riwayat
disebutkan: ―atsar ini dari Nabi Muhammad SAW‖, maka berarti hal ini adalah hadits.

3
Muhammad Alwi, Al-Manhallu,… hal: 4
4
Mahmud, Taisir…, Hal: 17
6
Modul Materi: Ulumul Hadits

C. Unsur-unsur Hadits
Dalm unsur Hadits terdapat 3 bagian yaitu Sanad, Matan dan Rawi
a. Sanad
Kata sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu yang berarti mutamad
(sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya atau yang sah). Dikatakan
demikian karena haditst itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenaranya.
Secara temionologis, sanad adalah silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada
matan hadits atau jalannya matan, yaitu silsilah para perawi yang memindahkati
(meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama. Silsilah orang ialah susunan atau
rangkaian orang-orang yang meyampaikan materi hadits tersebut sejak disebut pertama sampai
kepada Rasul SAW, yang memuat perbuatan, perkataan, taqrir, dan lainnya merupakan materi
atau matan hadits. Dengan pengertian diatas maka sebutan sanad hanya berlaku pada
serangkaian orang-orang bukan dilihat dari sudut pribadi secara perorangan. Sedangkan,
sebutan untuk pribadi yang menyampaikan hadits dilihat dari sudut orang perorangannya
disebut dengan rawi.
Sedangkan menurut istilah, yakni jalan yang dapat menghubungkan matan Haditst
kepada Nabi Muhammad saw, misalkan Haditst yang diwirayatkan oleh Bukhari berikut.
‫ (عالط‬:‫ّ ٔعهّى‬ٛ‫ٕح ػٍ أخٗ قالدر ػٍ أُظػٍ تهَدٗ ظهٖ هللا ػه‬ٛ‫ حذعُث أ‬:‫ ػدذ تنْٕثج تنشقفٗ قثم‬:‫حذظُث ًحيذ خٍ تهيظُر قثم‬
‫ؼٕذ فٗ تنﮑفش‬ٛ ٍ‫ﮑفشﮦ أ‬ٛ ٍ‫ ٕأ‬،‫حح تنيشأ هلل‬ٛ ٍ‫ ٕأ‬،‫ّ ًيث غًْٕث‬ٛ‫ﮑٌٕ هللا ٕسغٕهّ أححّ إه‬ٛ ٍ‫ أ‬:ٍ‫ًث‬ٛ‫ّ ٕﺠذ حالٕذ تإل‬ٛ‫ًٍ ﮐٍّ ف‬
ٖ‫قزف فٗتنُثش) شٕتتنخخثش‬ٛ ٍ‫ﮑشﮦ أ‬ٛ ‫ﮐًث‬
―telah memberitahukan kepadaku Muhammad bin al-musannah,ujarnya:‘abdul-wahhab
as-saqafi telah menyebarkan kepada ku, ujarnya:‘telah bercerita kepadaku ayyub atas
pemberitahuan abi kilabah dari anas dari Nabi Muhammad saw, sabdanya:‘tiga perkara, yang
barangsiapa mengamalkannya niscaya memperoleh kelezatan iman‘. Yakni:1) Allah dan
rasulnya hendaknya lebih dicintai daripada selainnya. 2) kecintaannya kepada seseorang, tak
lain karena Allah semata-mata dan 3) keenggananmya kembali kepada kekufuran, seperti
keengganannya dicampakkan ke neraka‘.‖ (HR. Bukhari)
Berdasarkan pengertian di atas, disebutkan bahwa sanad adalah jalan matan
(thariq al-min). Jalan matan berarti serangkaian orang-orang yang menyampaikan atau
meriwayatkan matan hadits, mulai perawi pertama sampai yang terakhir.
Bagian di bawah ini adalah sanad Haditst:
ّٛ‫ش خٍ يطؼى ػٍ أخ‬ٛ‫ٕعف قثل أخدشَث يثنك ػٍ تخٍ شٓثج ػٍ يحًذ خٍ جد‬ٚ ٍ‫ح ّذظُث ػدذ هللا خ‬
“Telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah bin Yusuf, dia berkata: Telah mengabarkan
kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth‟im dari bapaknya”.
.‫ّ ٔعهّى قشأ فٗ تنًغشج خثنطٕس‬ٛ‫عًؼس سعٕل هللا طهّٗ هللا ػه‬
“aku mendengar Rasulullah SAW membaca surat Thur ketika Shalat Maghrib”.

b. Matan
Pembahasan tentang matan merupakan kajian yang tidak kalah pentingnya dengan
pembahasan dan kajian terhadap sanad. Penelitian tentang matan bertujuan untuk mengetahui
kebenaran penisbatan teks kepada penuturnya. Di sisi lain, penelitian ini dapat juga digunakan
untuk mengetahui keotentikan redaksi teks tersebut. Oleh sebab itu, para ahli hadits banyak
meneliti teks dari spek yang berbeda-beda, di antaranya penenelitian tentang kebenaran
penisbatan teks kepada penuturnya, pembahasan ntang substansi teks, dan penelitian tentang
perbandingan antara berapa teks.
Dalam pembahasan ini, terdapat macam-macam hadits yang berkaitan dengan matan.
Selain itu, kita akan menyinggung tentang hadits qudsi, serta perbedaannya dengan al-Qur'an an
hadits nabawi. Sub-sub bahasan ini terasa penting untuk membahas karena semuanya berkaitan
dengan teks dan sumbernya berasal dari asal yang sama yaitu wahyu, sekalipun ada sisi tertentu
yang membedakan ketiga jenis teks di atas. Namun belum melangkah lebih jauh, ada baiknya
kita mendefinisikan lebih dahulu makna istilah matan.
Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti ma shaluba wa irtafa‟amin al-aradhi
(tanah yang meninggi). Secara temonologis, istilah matan memiliki beberapa definisi, yang
mana maknanya sama yaitu materi atau lafazh hadits itu sendiri. Definisi matan dari sisi bahasa
7
Modul Materi: Ulumul Hadits
bermakna 'punggung jalan' atau ‗gundukan', bisa juga bermakna 'isi atau muatan'. lbarat
tangga, akhir dari anak tangga berujung pada t ek s i t u se ndi ri ad al ah r ed ak s i a t a u
uc ap a n ya n g dituiturkan oleh si pengucap. Pengucap atau penutur teks itu bisa abi,
sahabat, atau bisa juga tabi‟in.
Sedangkan matan menurut istilah ilmu Hadits, yaitu sebagai berikut.
ّ‫ط تنز٘ زﮐش تإلغُثذ ن‬ٛ‫ّ تنغُذ ًٌ تنﮑنى فٕٓ ُفظ تنحذ‬ٛ‫ًث تُصٓٗ تن‬
―perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi Muhammad SAW yang disebut
sesudah habis disebutkan sanadnya.‖
Contoh:
‗dari Muhammad yang diterima dari abu salamah yang diterima dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullahsaw bersabda :‖ saandainya tidak akan memberatkan terhadap umatmu, niscaya aku
suruh mereka untuk bersiwak (menggosok gigi) niscaya aku melakukan shalat.‖(HR. Turmizi).
Pada salah satu definisi yang sangat sederhana disebutkan bahwa matan ialah ujung atau
tujuan sanad . Berdasarkan definisi di atas memberi pengertian bahwa apa yang tertulis setelah
(penulisan) silsilah sanad adalah matan hadits. Pada definisi lain seperti yang dikatakan ath-
thibi mendifinisikan dengan: ‖lafazh-lafazh hadits yang didalamnya megandung makna-
makna tertentu‖. Jadi, dari pegertian diatas semua, dapat kita simpulkan bahwa yang disebut
matan ialah materi atau lafazh hadits itu sendiri, yang penulisannya ditempatkan setelah sanad
dan sebelum rawi.
Agar lebih memperjelas dan memudahkan untuk membedakan mana yang matan dan
mana yang sanad, maka perhatikan haditst berikut:
‫ عًؼس سعٕل هللا طهّٗ هللا‬:‫ّ قثل‬ٛ‫ش خٍ يطؼى ػٍ أخ‬ٛ‫ٕعف قثل أخدشَث يثنك ػٍ تخٍ شٓثج ػٍ يحًذ خٍ جد‬ٚ ٍ‫ح ّذظُث ػدذ هللا خ‬
)ٖ‫ (سٔتِ تندخثس‬.‫ قشأ فٗ تنًغشج خثنطٕس‬،‫ّ ٔعهّى‬ٛ‫ػه‬
“Telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah bin Yusuf, dia berkata: Telah mengabarkan
kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth‟im dari bapaknya
berkata: “aku mendengar Rasulullah SAW membaca surat Thur ketika Shalat Maghrib”. (HR.
Bukhari)

c. Rawi
Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits.
Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama.
Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap thabaqah atau tingkatannya juga disebut rawi, jika
yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan
hadits. Begitu juga, setiap rawi pada tiap-tiap thabaqah-nya merupakan sanad bagi
thabaqah berikutnya.
Contoh:
ٔٓ‫ظ ًُّ ف‬ٛ‫ تًسُث ْزت فه‬ٙ‫ّ ٔعهّى ًٍ أحذض ف‬ٛ‫ قثل شغٕل هللا طهّٗ هللا ػه‬:‫ هللا ػُٓث قثهز‬ٙ‫ٍ ػثبشر شض‬ًُٛ‫ػٍ أى تنًﺆ‬
﴾ّٛ‫﴿ًﮅفقػن‬.‫شذﱞ‬
Dari Ummul Mukminin,‘Aisyah ra, menerangkan bahwa: Rasulallah saw telah bersabda:‘barang
siapa yang mengada-adakan suatu yang bukan termasuk dalam urusan (agama) ku, maka ia
tertolak‘.‖

Akan tetapi, yang membedakan antara kedua istilah di atas, jika dilihat lebih
lanjut, adalah dalam dua hal, yaitu:
1. Dalam hal pembukuan hadits. Orang yang menerima hadits -hadits, kemudian
menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, disebut dengan rawi. Dengan
demi ki an, rawi dapat di sebut mudaww in (orang yang membukukan dan
menghimpun hadits). Adapun orang-orang yang menerima hadits dan hanya
menyampaikannya kepada orang lain, tanpa membukukannya, disebut sanad
hadits. Berkaitan dengan ini, dapat dikatakan bahwa setiap sanad adalah rawi
pada tiap-tiap thabaqah-nya, tetapi tidak setiap rawi disebut sanad hadits sebab
ada rawi yang membukukan hadits.
2. Dalam penyebutan silsilah hadits, untuk sanad, yang disebut sanad pertama
adalah orang yang l angsun g m en ya m pai kan hadi t s tersebut kepad a
peneri m an ya, sedangkan para rawi, yang disebut rawi pertama, adalah para sahabat Rasul
SAW. Dengan demikian, penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan
sebaliknya. Artinya, rawi . pertama, adalah sanad terakhir, dan sanad pertama, adalah rawi
terakhir.
8
Modul Materi: Ulumul Hadits
D. Kedudukan dan Fungsi Hadits dalam agama Islam
a. Kedudukan Hadits dam agama Islam
Seluruh umat Islam, telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran
Islam. Ia mempati kedudukan kedua setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti hadits bagi umat
Islam baik yang berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban
mengikuti Al-Qur`an.
Hal ini karena, Hadits merupakan mubayyin bagi Al-Qur`an, yang karenanya siapapun
yang tidak bisa memahami Al-Qur`an tanpa dengan memahami dan menguasai Hadits. Begitu
pula halnya menggunakan Haditst tanpa Al-Qur`an. Karena Al-qur`an merupakan dasar hukum
pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari`at. Dengan demikian, antara Hadits dengan
Al-Qur`an memiliki kaitan erat, yang untuk mengimami dan mengamalkannya tidak bisa
terpisahkan atau berjalan dengan sendiri
Al-Qur‘an itu menjadi sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas
perundang-undan(gan setelah Al-Qur‘an sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Al-
Qardhawi bahwa Hadits adalah ―sumber hukum syara‘ setelah Al-Qur‘an‖
Al-Qur‘an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan merupakan rujukan
umat Islam dalam memahami syariat. Pada tahun 1958 salah seorang sarjana barat yang telah
mengadakan penelitian dan penyelidikan secara ilmiah tentang Al-Qur‘an mengatan bahwa :
―Pokok-pokok ajaran Al-Qur‘an begitu dinamis serta langgeng abadi, sehingga tidak ada di
dunia ini suatu kitab suci yang lebih dari 12 abad lamanya, tetapi murni dalam teksnya‖
Seluruh umat Islam, telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran
Islam. Ia mempati kedudukan kedua setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti hadits bagi umat
Islam baik yang berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban
mengikuti Al-Qur`an.
Hal ini karena, Hadits merupakan mubayyin bagi Al-Qur`an, yang karenanya siapapun
yang tidak bisa memahami Al-Qur`an tanpa dengan memahami dan menguasai Hadits. Begitu
pula halnya menggunakan Haditst tanpa Al-Qur`an. Karena Al-qur`an merupakan dasar hukum
pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari`at. Dengan demikian, antara Hadits dengan
Al-Qur`an memiliki kaitan erat, yang untuk mengimami dan mengamalkannya tidak bisa
terpisahkan atau berjalan dengan sendiri.
Al-Qur‘an itu menjadi sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas
perundang-undanngan setelah Al-Qur‘an sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Al-
Qardhawi bahwa Hadits adalah ―sumber hukum syara‘ setelah Al-Qur‘an‖.
Al-Qur‘an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan merupakan rujukan
umat Islam dalam memahami syariat. Pada tahun 1958 salah seorang sarjana barat yang telah
mengadakan penelitian dan penyelidikan secara ilmiah tentang Al-Qur‘an mengatan bahwa :
―Pokok-pokok ajaran Al-Qur‘an begitu dinamis serta langgeng abadi, sehingga tidak ada di
dunia ini suatu kitab suci yang lebih dari 12 abad lamanya, tetapi murni dalam teksnya‖
Menurut Ahmad hanafi ―Kedudukan Hadits sebagai sumber hukum sesudah Al-
Qur‘an…merupakan hukum yang berdiri sendiri.
Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa
Al-Qur`an hanya memberikan garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan
penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena
itu, keabsahan hadits sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima.Di antara ayat-ayat
yang menjadi bukti bahwa Hadits merupakan sumber hukum dalam Islam adalah firman Allah
dalam Al-Qur‘an surah An- Nisa‘: 80
)00( … َ‫هللا‬ َّ ‫ُٕل فَقَ ْذ أَطَث َع‬
َ ‫ُ ِط ِغ تن َّشع‬ٚ ٍْ ‫َي‬
“Barangsiapa yang mentaati Rasul, maka sesungguhnya dia telah mentaati Alloh…”
Sejak masa sahabat sampai hari ini para ulama telah bersepakat dalam penetapan
hukum didasarkan juga kepada Hadits Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk
operasional.
Dalam ayat lain Allah berfirman QS. Al-Hasyr :: 7
‫َٔ َيث آَشَث ُك ُى تن َّشعُٕ ُل فَ ُخ ُزُِٔ َٔ َيث َََٓث ُك ْى َػ ُُّْ فَث َْصَُٕٓت‬
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah…”
Dalam Q.S AnNisa‘ 59, Allah berfirman :
ْ ‫ ش‬ِٙ‫ ْتألَ ْي ِش ِي ُْ ُك ْى فَإ ِ ٌْ شََُثصَ ْػصُ ْى ف‬ِٙ‫ؼُٕت تن َّشعُٕ َل َٔأُٔن‬ٛ‫هللاَ َٔأَ ِط‬
َّ َٗ‫ ٍء فَ ُش ُّدُِٔ إِن‬َٙ
… ‫هللاِ َٔتن َّشعُٕ ِل‬ َّ ‫ؼُٕت‬ٛ‫ٍَ آَ َيُُٕت أَ ِط‬ٚ‫َُّٓث تنَّ ِز‬َٚ‫َث أ‬ٚ

9
Modul Materi: Ulumul Hadits
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembali kanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)…”
Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak cukup hanya
berpedoman pada Al-Qur‘an dalam melaksanakan ajaran Islam, tapi juga wajib berpedoman
kepada Hadits Rasulullah Saw.

b. Fungsi Hadits dalam Agama Islam


Adapun fungsi Haditst sebagai sumber hukum Islam ada tiga, yaitu sebagai penguat bagi
apa yang sudah tertera dalam Al-Qur‘an (muakkadah), sebagai penafsir bagi ayat-ayat Al-
Qur‘an (mubayyinah), dan mendatangkan hukum-hukum yang tidak tercantum dalam Al-
Qur‘an.
 Penguat (Muakkadah); Yaitu menguatkan bagi sesuatu yang sudah tertera dalam Al-Qur‘an
Al-Qur‘an sebagai penetap (musbit) sedangkan Haditst sebagi penguat (muayyad). Seperti
Haditst yang menerangkan wajib puasa, wajib shalat, wajib zakat, wajib haji. Dan Haditst yang
melarang untuk mempersekutukan Allah SWT, saksi palsu, membunuh tanpa hak, larangan
memakan harta orang lain tanpa izin, dan lain sebagainya.
Semua masalah ini sudah pernah disinggung dalam Al-Qur‘an sebelum Rasulullah
mengatakannya. Seperti firman Allah dalam surat Al- Baqarah ayat 43 yang mengatakan wajib
menunaikan zakat dan mengerjakan shalat. Surat Al-Baqarah ayat 183 yang
mengatakan wajibnya puasa, dan lain sebagainya.
 Penafsir (Mubayyinah)
kedudukan Haditst dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‘an ini ada tiga macam:
a. Menjelaskan yang mujmal dari Al-Qur‘an
Seperti ayat yang mewajibkan shalat, 'Aqimus shalah' (dirikan shalat), ayat ini
masih mujmal. Ayat ini masih mujmal pada bilangan shalat yang difarzukan, rukun serta
rakaatnya. Maka datanglah Haditst untuk menjelaskan yang mujmal tersebut, "Shalatlah
seperti kalian lihat aku shalat.".
Diwajibkan zakat, "Wa atuz zakah" (tunaikan zakat), ayat ini masih mujmal berapa
kadar zakat yang harus dikeluarkan, harta apa saja yang wajib zakat dan yang tidak
diwajibkan zakat. Maka Haditstlah yang menentukan kadar serta jenis harta yang
dikenakan zakat.
b. Mengkhususkan yang umum dari Al-Qur‘an
Jika ada ayat-ayat Al-Qur‘an yang masih umum maka datanglah Haditst untuk
mengkhususkan ayat tersebut. Seperti firman Allah SWT dalam surat An-Nisak ayat 11
yang mengatakan anak kandung akan menerima warisan dari ibuk bapaknya. Ayat ini
masih umum, yaitu semua anak akan mendapat harta warisan. Maka datanglah
Haditst untuk mengkhususkan, yang bahwa pembunuh (anak yang membunuh
ayah/ibunya) tidak mendapat warisan. Karena terhijab dengan hijab hirman.
c. Memberi batasan (qayyid) bagi ayat Al-Qur‘an yang mutlak
Seperti perintah Allah SWT untuk memotong tangan pencuri. Perintah
memotong dalam ayat ini tidak ditentukan batas potongnya dari mana dan sampai
kemana, tata tertib pemotongan. Maka Haditstlah yang menetukan hal tersebut, yaitu
dari pergelangan tangan, dan dipotong tangan kanan pada kali yang pertama. Jika ia
mencuri lagi maka potonglah tangan kirinya.
d. Mendatangkan hukum-hukum yang tidak tercantum dalam Al-Qur‘an
Hal ini tidak menunjukkan Al-Qur‘an itu terdapat kekurangan. Karena pada
hakikatnya Haditst Nabi juga digolongkan kedalam firman Allah, sebagaimana yang
sudah termaktub dalam Al-Qur‘an," Dan tidaklah yang dikatakan Muhammad itu
menurut keinginannya melainkan wahyu yang diwahyukan kepadannya."
Diantara hukum-hukum yang tidak tercantum dalam Al-Qur‘an dan sudah
didatangkan oleh Haditst adalah:
a. Haram berkumpul antara perempuan dengan pamannya dan haram berkumpul antara
wanita dengan bibinya.
b. Perintah merajam zina muhksan (laki-laki yang sudah ada istri sendiri atau
perempuan yang sudah ada suami sendiri tapi berzina dengan orang lain). Hukum ini
tidak tercantum dalam Al-Qur‘an, namun Haditstlah yang mendatangkannya. Seperti
penegakan hukum Rajam di Zaman Rasulullah SAW.
10
Modul Materi: Ulumul Hadits
c. Warisan terhadap nenek, hal ini tidak tercantum dalam Al-Qur‘an. Maka Haditstlah
yang menentukannya, yaitu dalam warisan nenek mendapat 1/6 dari harta warisan.
d. Zakat fitrah, tidak ada satu pun dari ayat Al-Qur‘an yang memerintahkan kepada kita
untuk mengeluarkan zakat fitrah. Maka rasulullah lah yang menyuruhnya. Beliau
bersabda dalam Haditst yang diriwaytakan oleh Ibn Umar," Rasullah SWA
mewajibkan zakat fitrah."5

PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits atau al-hadits menurut bahasa al-jadid yang artinya sesuatu yang baru – lawan dari
al-Qodim (lama) – artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang
singkat seperti ‫ط تنؼٓذ فٗ تإلعالو‬ٚ‫( حذ‬orang yang baru masuk/memeluk agama Islam). Hadits juga
sering disebut al-khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari
seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan Hadits. Dalam tinjauan kebahasaan sunnah
berarti jalan, perjalanan atau kebiasaan, baik itu positif maupun negatif. Dalam ayat-ayat Al-Qur-
an maupun Hadits, juga sering dijumpai kata sunnah yang diartikan secara bervariatif. Dan Secara
etimologi, Atsar dari segi bahasa artinya bekas sesuatu atau sisa sesuatu dan berarti pula sesuatu
yang dinukil (dikutip). Misalnya sering terdengar ungkapan bahwa ‖ini tafsir bil ma‘tsur‖ yang
maksudnya adalah tafsir yang mengadopsi perkataan-perkataan atau ‖bekas-bekas‖ orang
sebelumnya.
Kata sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu yang berarti mutamad
(sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya atau yang sah). Dikatakan demikian
karena haditst itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenaranya. Kata matan atau al-matan
menurut bahasa berarti ma shaluba wa irtafa‘amin al-aradhi (tanah yang meninggi).
Secara temonologis, istilah matan memiliki beberapa definisi, yang mana maknanya sama
yaitu materi atau lafazh hadits itu sendiri.
Definisi matan dari sisi bahasa bermakna 'punggung jalan' atau ‗gundukan', bisa juga
bermakna 'isi atau muatan'. lbarat tangga, akhir dari anak tangga berujung pada teks itu sendiri
adalah redaksi atau ucapan yang dituiturkan oleh si pengucap. Pengucap atau penutur teks itu bisa
abi, sahabat, atau bisa juga tabi‘in.
Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits.
Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama. Sanad-sanad hadits
pada tiap-tiap thabaqah atau tingkatannya juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi
adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits. Begitu juga, setiap rawi pada tiap-tiap
thabaqah-nya merupakan sanad bagi thabaqah berikutnya.
Hadits mempati kedudukan kedua setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti hadits bagi umat
Islam baik yang berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban mengikuti
Al-Qur`an.
Adapun fungsi Haditst sebagai sumber hukum Islam ada tiga, yaitu sebagai penguat bagi
apa yang sudah tertera dalam Alquarn (muakkadah), sebagai penafsir bagi ayat-ayat Alquarn
(mubayyinah), dan mendatangkan hukum-hukum yang tidak tercantumdalam Al-Qur‘an. Penguat
(Muakkadah)

DAFTAR PUSTAKA
1. Suparta, Drs. Munzier, ILmu Hadits, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
2. Muhammad Alwi Al-Maliki, Al-Manhallu al-Lathiifu fi Ushuuli al-Hadiitsi al-Syariifi, terj.
Adnan Qohar (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009
3. http://www.ebdulhamed.com/2013/07/fungsi-Haditst-sebagai-sumber-hukum-islam.html

5
http://www.ebdulhamed.com/2013/07/fungsi-hadist-sebagai-sumber-hukum-islam.html

11
Modul Materi: Ulumul Hadits
TEMA 2
Sejarah Perkembangan Hadits.
POKOK-POKOK PEMBAHASAN:
1. Hadits pra kodifikasi dimasa: a. rasulullah, b. sahabat , c. tabi‘in
2. Kodifikasi hadits dengan istilah; Al-Kitabah, At-Tadwin, At-Tashnif

__________________________________________________________________________________

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh
hadits dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan ummat
dari generasi ke generasi. Dengan memperhatikan masa yang telah dilalui hadits sejak masa
timbulnya/lahirnya di zaman Nabi Muhammad SAW. meneliti dan membina hadits, serta segala
hal yang memengaruhi hadits tersebut. Para ulama muhadditsin membagi sejarah hadits dalam
beberapa periode. Adapun para ulama penulis sejarah hadits berbeda-beda dalam membagi
periode sejarah hadits. Ada yang membagi dalam tiga periode, lima periode, dan tujuh periode.
Namun dalam makalah ini, yang akan kami ulas hanyalah sejarah perkembangan hadits pada
masa pra-pengkodifikasian.

PEMBAHASAN
A. SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS PRA-KODIFIKASI
Menurut M. Hasbi As-Siddiqi, sejarah periode perkembangan hadits terbagi menjadi 7
(tujuh) periode, yaitu dari mulai masa Rasulullah masih hidup sampai sekarang.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits Nabi dapat diklasifikasi dalam beberapa
periode, yaitu: (1) Haditst pada masa Nabi SAW.; (2) Haditst pada masa sahabat besar (al-
Khulafa al-Rasyidin); (3) Haditst pada masa sahabat kecil dan tabiin; (4) Haditst pada masa
kodifikasi; (5) Haditst pada masa awal sampai akhir abad III H; (6) hadits pada abad IV sampai
pertengahan abad VII (jatuhnya Baghdad tahun 656 H); dan (7) Haditst pada masa pertengahan
abad VII sampai sekarang.6
Menurut M. Hasbi As-Siddiqi, sejarah periode perkembangan hadits terbagi menjadi 7
(tujuh) periode, yaitu dari mulai masa Rasulullah masih hidup sampai sekarang. Namun, disini
kami hanya akan menjelaskan mengenai periode perkembangan hadits pra-kodifikasi yang
terbagi menjadi 3 (tiga) periode, yaitu periode 1—3. Adapun periode 4 (empat) adalah periode
saat hadits resmi dikodifikasikan.7

Namun, disini kami hanya akan menjelaskan mengenai periode perkembangan hadits
pra-kodifikasi yang terbagi menjadi 3 (tiga) periode, yaitu:
1. Periode Pertama: Perkembangan Hadits pada Masa Rasulullah SAW.
Periode ini disebut „Ashr al-Wahyi wa at-Taqwin (masa turunnya wahyu dan
pembentukan masyarakat islam). Pada periode inilah, hadits lahir berupa sabda (aqwal); af‟al,
dan taqrir nabi yang berfungsi menerangkan Al-Qur‘an untuk menegakkan syariat islam dan
membentuk masyarakat islam.
Para sahabat menerima hadits secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara
langsung misalnya saat Nabi Muhammad SAW. memberi ceramah, pengajian, khotbah, atau
penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah
mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh
nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada nabi.
Pada masa Nabi Muhammad SAW, kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat
sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di kalangan sahabat
masih kurang, nabi menekankan untuk menghafal, memahami, memelihara, mematerikan, dan
memantapkan hadits dalam amlaan sehari-hari, serta mentablighkannya kepada orang lain.
6
Idri, Studi Hadis, Jakarta, Kencana, 2010, hal.31
7
Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung, Pustaka Setia, hal.33
12
Modul Materi: Ulumul Hadits
Disamping itu, ketika Nabi Muhammad SAW. menyelenggarakan dakwah dan
pembinaan ummat, beliau sering mengirimkan surat-surat seruan pemberitahuan, antara lain
kepada para pejabat di daerah dan surat tentang seruan dakwah islamiyah kepada para raja dan
kabilah, baik di timur, utara, dan barat. Surat-surat tersebut merupakan koleksi hadits juga. Hal
ini sekaligus membuktikan bahwa pada masa Nabi Muhammad SAW. telah dilakukan penulisan
hadits dikalangan sahabat.

2. Periode Kedua: Perkembangan Hadits pada Masa Khulafa Al-Rasyidin (11-40 H)


Periode ini disebut „ashr-at-tatsabbut wa al iqlal min al riwayah (masa membatasi dan
menyedikitkan riwayat). Nabi Muhammad SAW. wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya,
beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Qur‘an dan
Hadits (As-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan ummat.
Pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar RA, periwayatan hadits tersebar secara
terbatas. Penulisan haditspun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada
masa itu, Umar RA melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadits, dan
sebaliknya, Umar RA menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk
menyebarluaskan Al-Qur‘an.

3. Periode Ketiga: Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in


Periode ini disebut „ashr intisyar al riwayah ilaa al amshar (masa berkembang dan
meluasnya periwayatan hadits). Pada masa ini, daerah islam sudah meluas, yakni ke negeri
Syam, Irak, Mesir, Samarkand. Bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini
bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka
tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadits.
Para sahabat kecil dan tabi‘in yang ingin mengetahui hadits Nabi Muhammad SAW.
diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah daulah islamiyah untuk menanyakan hadits
kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikian, pada
masa ini, disamping tersebarnya periwayatan hadits, muncullah bendaharawan dan lembaga-
lembaga hadits di berbagai daerah di seluruh negeri. Pada periode ketiga ini juga mulai muncul
usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

4. Periode Keempat: Perkembangan Hadits pada Abad II Hijriah


Periode ini disebut sebagai Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan
pembukuan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan
oleh pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadits sudah banyak
ditulis yaitu baik pada masa sahabat kecil, tabiin, sahabat besar, bahkan pada masa Nabi
Muhammad SAW masih hidup. Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H,
yakni pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz tahun 101 H.

B. KODIFIKASI HADITS DENGAN ISTILAH; AL-KITABAH, AT-TADWIN, DAN


AT-TASHNIF.

1. Al-Kitabah
Secara etimologi al-kitabah berasal dari bahasa arab yang artinya penulisan.8 Sedang
secara terminologi al-kitabah mempunyai arti penulisan hadits secara pribadi. Seperti penulisan
hadits yang terjadi sejak Nabi Muhammad SAW., Khulafaur Rasyidin, sampai pada masa Umar
bin Abdul Aziz. Diantara sahabat yang telah menulis hadits ialah Abdullah bin Amr bin Ash
dengan kumpulan hadits Shahifah As-Shadiqah, Shahifah Jabir bin Abdillah yang ditulis oleh
Jabir bin Abdillah bin Amr Al-Anshari yang masih utuh sampai zaman tabi‘in, ash-Sahahifah
ash-Sahihah yang disusun oleh Abu Hurairah ad-Dusi maupun Ali bin Abi Thalib.9

8
Rahiba Albaka, Al-Mawrid, Kamus Arab-Arab dan Arab-Inggris, Beirut, Dar Al-Ilmi li Almalayin, 1993,
hal.774.
9
Atatbik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta, Yayasan Ali Maksum
Ponpes Krapyak, 1996, hal.448.
13
Modul Materi: Ulumul Hadits
2. At-Tadwin
At-Tadwin artinya kodifikasi (pembukuan) atau pencatatan.10 Sedangkan menurut
terminology at-tadwin artinya pengumpulan dan penyusunan hadits yang secara resmi
didasarkan perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah ini,
bukan yang dilakukan secara perseorangan seperti yang terjadi di masa-masa sebelumnya.

3. At-Tashnif
At-Tashnif artinya klasifikasi, kategori menurut istilah mengandung makna usaha
menghimpun atau menysuun beberapa hadits (kitab hadits) dengan membubuhi keterangan
mengenai arti kalimat yang sulit-sulit dan member interpretasi itu dengan jalan mempertalikan
atau menghubungkan dan menjelaskan dengan hadits lain, dengan ayat-ayat Al-Qur‘an atau
dengan ilmu-ilmu lain maka dengan ilmu Sharah dan meringkas. At-Tashnif ini muncul pada
abad ke V dan seterusnya yaitu abad periodisasi klasifikasi dan sistematisasi susunan kitab-kitab
hadits.

C. PENUTUP
a. Kesimpulan
Menurut M. Hasbi As-Shiddiqi, periode sejarah pembukuan atau pengkodifikasian hadits
terbagi menjadi 7 (tujuh) periode, namun yang termasuk dalam periode pra-kodifikasi yaitu
pada masa Rasulullah SAW., pada masa Khulafa ar-Rasyidin (11 H – 40 H), dan pada masa
Sahabat Kecil dan Tabi‘in. Adapun abad II hijriah adalah abad dimana hadits mulai resmi
dibukukan oleh pemerintah. Selama masa itu pula terdapat beberapa istilah untuk
pengkodifikasian hadits, yaitu al-kitabah yang artinya penulisan dengan cara pribadi; at-tadwin
yaitu pembukuan atau pencatatan yang resmi dilakukan oleh pemerintah; dan at-tashnif yaitu
pengklasifikasian, penghimpunan dan penyusunan hadits dengan menjelaskan arti juga
menghubungkannya dengan Al-Qur‘an dan ilmu lain.

b. Saran
Kami harap, setelah membaca makalah ini, pembaca tidak begitu puas dengan apa yang
dijelaskan, dan terus menggali juga mencari tahu lebih jelas dan mendalam mengenai Sejarah
Pengkodifikasian Hadits ini dari berbagai sumber.

DAFTAR PUSTAKA
1. Solahudin, Agus. Suyadi, Agus. 2008. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
2. Al-Mawrid, Albaka Rahiba. 1993. Kamus Arab-Arab dan Arab-Inggris. Beirut: Dar Al-Ilmi li
Almayin.
3. Ali, Atatbik. Zuhdi Mudhlor, Ahmad. 1996. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
4. Al-Rahman, Fathur. 1974. Ihtisar Mustalah Hadits. Bandung: Al-Maaif.
5. Riusisme. Kodifikasi Hadith. (diakses) pada Tgl. 17 Februari 2017.
https://riuisme.wordpress.com/2010/02/27/kodifikasi-hadith.

10
Fathur Al-Rahman, Ihtisar Mustalah Hadis, Bandung, Al-Maaif, 1974, hal.35.
14
Modul Materi: Ulumul Hadits
TEMA 3
Perkembangan hadits dimasa sekarang
__________________________________________________________________________________

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam mengenal dua sumber primer dalam perundang-undangan. Pertama, Al-Qur‘an dan kedua
al-Hadits. Terdapat perbedaan yang signifikan pada sistem inventarisasi sumber tersebut. Al-Qur‘an
sejak awal diturunkan sudah ada perintah pembukuannya secara resmi, sehingga terpelihara dari
kemungkinan pemalsuan. Berbeda dengan hadits, tak ada perlakuan khusus yang baku padanya,
sehingga pemeliharaannya lebih merupakan spontanitas dan inisiatif para sahabat.
Hadits pada awalnya hanyalah sebuah literatur yang mencakup semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan
Nabi Muhammad SAW. Persetujuan Nabi yang tidak diucapkan terhadap orang-orang pada zamannya,
dan gambaran-gambaran tentang pribadi Nabi. Mula-mula hadits dihafalkan dan secara lisan
disampaikan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.
Setelah Nabi wafat pada tahun 10 H., islam merasakan kehilangan yang sangat besar. Nabi
Muhammad SAW. Yang dianggap sebagai yang memiliki otaritas ajaran islam, dengan kematiannya
umat merasakan otoritas. Hanya Al-Qur‘an satu-satunya sumber informasi yang tersedia untuk
memecahkan berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah umat islam yang masih muda itu,
wahyu-wahyu ilahi, meskipun sudah dicatat, belum disusun dengan baik, dan belum dapat diperoleh
atau tersedia secara materil ketika Nabi Muahammad SAW. wafat.
Wahyu-wahyu dalam Al-Qur‘an yang sangat sedikit sekali mengandung petunjuk yang praktis
untuk dijadikan prinsip pembimbing yang umum dalam berbagai aktivitas. Khalifah-khalifah awal
membimbing kaum muslim dengan semangat Nabi, meskipun terkadang bersandar pada penilaian
pribadi mereka. Namun, setelah beberapa lama, ketika muncul kesulitan-kesulitan yang tidak dapat lagi
mereka pecahkan sendiri, mereka mulai menjadikan sunnah, seperti yang merupakan kebiasaan
perilaku Nabi sebagai acuan dan contoh dalam memutuskan suatu masalah.
Sunnah yang hanya terdapat dalam hafalan-hafalan sahabat tersebut dijadikan sebagai bagian
dari referensi penting setelah Al-Qur‘an. Bentuk-bentuk kumpulan hafalan inilah yang kemudian
disebut dengan hadits.

PEMBAHASAN
A. Gejolak Perkembangan Kajian Hadits Kontemporer dan Corak Kajiannya
Kajian hadits sempat mengalami masa kevakuman sekitar 6 abad (abad 13-19 H). Namun,
kembali menggeliat pada saat seorang orientalis Yahudi bernama Ignaz Goldziher, kelahiran Hungaria
yang hidup antara tahun 1850-1921 M, menggoncangkan dunia penelitian hadits dengan menerbitkan
sebuah buku berjudul Muhammadenishe Studien (Studi Islam).11
Dalam buku ini, ia menolak kriteria dan persyaratan otentisitas Hadits seperti yang telah
ditetapkan ulama-ulama hadits terdahuluan12.
Ia juga membahas sebuah metode baru untuk menentukan valid tidaknya sebuah Hadits yang lebih
menitik beratkan pada metode kritik matan.
Pada dasarnya, ―Kritik Hadits‖ yaitu menyeleksi otentisitas berita yang bersumber dari Nabi
Muhammad saw. telah dimulai oleh para ulama. Bahkan hal ini pun telah dilakukan juga sejak masa
Nabi Muhammad SAW.maupun masa sahabat. Namun, hal tersebut masih terbatas pada kritik matan
hadits.
Ignaz Goldziher menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih
banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan. Hanya saja,
metode kritik matan yang ditawarkan oleh Goldziher ini berbeda dengan kritik matan yang dipakai oleh
para ulama. Menurutnya, kritik matan hadits itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio-

11
Ali Mustafa Ya‘qub, M.A., Kritik Hadits, Hal.8.
12
Manna Al-Qatthan dalam Mabahits Fi Ulumil Hadis mengatakan bahwa syarat diterima tidaknya sebuah hadis
ada lima, pertama sanadnya bersambung dari awal sampai akhir, kedua rowinya Adil, ketiga rowinya dhobit, baik dhobit
secara hafalan maupun tulisan, keempat tidak ada cacat/‘illat dalam matannya, kelima tidak bertentangan dengan riwayat
yang lebih unggul. (hal.117).
15
Modul Materi: Ulumul Hadits
kultural, dan lain-lain. Ia mencontohkan sebuah hadits yang terdapat dalam kitab Shahîh al-Bukhârî
dimana menurutnya, al-Bukhari hanya melakukan kritik sanad dan tidak melakukan kritik matan.
Sehingga setelah dilakukan kritik matan oleh Goldziher, hadits itu ternyata palsu.13
Goldziher juga orang pertama yang menuduh Az-Zuhri sebagai seorang pembuat Hadits palsu.
Goldziher merubah kutipan teks pernyataan al-Zuhri yang terdapat dalam kitab Ibn al-Sa‘ad dan Ibn al-
Asakir. Kata ―ahadits‖ dalam pernyataan al-Zuhri yang mengatakan, ―Inna haulai al-umara akrahuna
‗ala kitabah ahadits‖ yang sesungguhnya berbentuk definitif (ma‘rifah), yaitu ―al-ahadits‖.
Ini tampaknya bukan ketidaksengajaan Goldziher. Karena ia dengan pasti mengerti bahwa jika
tidak memakai ―al‖, maka konsekuensi maknanya akan berbeda dengan jika memakai ―al‖. Pengertian
ucapan al-Zuhri yang asli adalah, para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan Hadits-Hadits
Nabawi yang pada saat itu sudah ada tetapi belum terhimpun dalam suatu buku. Sementara pengertian
ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah, para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis Hadits
yang belum pernah ada saat itu.14
Bukunya Muhammadenishe Studien, menjadi sebuah rujuakan utama yang harus dibaca oleh
setiap orientalis dan buku ini juga diangap sakral oleh mereka sehingga kritik dan meragukan
keilmiahanya harus diberangus dari dunia.
Setelah Goldziher meninggal pada 1921, pengkajian hadits oleh orientalis dilanjutkan oleh
Joseph Schacht. Karyanya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya yang
berjudul The Origins Of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya
An Introduction to Islamic Law yang terbit pada tahun 1960. Dalam dua karyanya ini, ia menyajikan
hasil kajian tentang hadits Nabawi, dimana ia berkesimpulan bahwa hadits nabawi terutama yang
berkaitan dengan Hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga Hijriyah. 15
Schacht juga terkenal dengan teorinya yaitu Teori ―Projecting Back‖ yaitu memproyeksikan
periwayatan hadits kepada tokoh-tokoh di belakang. Ia menyatakan bahwa isnâd, yakni rangkaian para
periwayat hadits yang menjadi sandaran kesahihan sebuah matan hadits memiliki kecenderungan untuk
berkembang ke belakang. Menurutnya isnâd berawal dari bentuk yang sederhana , lalu diperbaiki
sedemikian rupa dengan cara mengaitkan doktrin-doktrin aliran fiqh klasik kepada tokoh yang lebih
awal, seperti sahabat dan akhirnya kepada nabi. Inilah yang dinamakan teori projecting back. 16

D. Teori Common Link G.H.A. Juynboll


Kritik hadits yang menjadi corak utama kajian hadits kontemporer tidak berhenti sampai disitu
saja. Lebih-lebih dari kalangan orientalis. Mereka terus melakukan penelitian dan pengkajian.
Selanjutnya, muncul seorang orientalis Belanda yang bernama Gautier H.A. Juynboll yang terkenal
dengan teori common link-nya.
Sebenarnya, Juynboll bukanlah orang yang pertama membicarakan fenomena common link
dalam periwayatn hadits. Ia mengakui dirinya sebagai pengembang dan bukan penemu teori tersebut.
Dalam beberapa tulisannya, ia selalu merujuk kepada Schacht seraya berkata bahwa dialah pembuat
istilah common link dan yang pertama kali memperkenalkannya dalam The Origins Of Muhammadan
Jurisprudence.17
Meski demikian, Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena tersebut dan kurang
memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup memadai. Teori common link dengan metode analisis
isnâd-nya tidak lain adalah sebuah metode kritik sumber (source critical method) dalam ilmu sejarah.
Metode Schacht yang dikembangkan Juynboll ini kemudian dielaborasi lebih rinci oleh Motzki dan
menjadi metode analisis isnâd-cum-matn. Secara keseluruhan, metode yang sangat terkait dengan
problem penanggalan hadits ini merupakan salah satu metode dalam pendekatan sejarah (historical
approach).
Common link adalah istilah untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari
(jarang lebih dari) seorang yang berwenang dan lalu ia menyiarkannya kepada sejumlah murid yang
pada gilirannya kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi kepada satu atau lebih muridnya. Dengan
kata lain, common link adalah periwayatan tertua yang disebut dalam berkas isnâd yang meneruskan

13
Ali Mustafa Ya‘qub, M.A., Kritik Hadits, Hal.15
14
Ali Mustafa Ya‘qub, M.A., Kritik Hadits, Hal.10.
15
Ibid hal.20.
16
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi. (Lkis : Yogyakarta).
2007. Hal.2.
17
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi. Hal.10
16
Modul Materi: Ulumul Hadits
hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnâd hadits itu mulai menyebar
untuk yang pertama kalinya maka disanalah ditemukan common link-nya.18

E. Sanggahan terhadap Orientalis


Gencarnya kritikan terhadap ilmu hadits dari para orientalis tentunya tidak serta merta membuat
para ulama Islam berdiam diri. Tersebutlah sekurang-kurangnya ada tiga ulama kontemporer yang
sudah menangkal teori-teori Goldziher dan Schact. Mereka adalah Prof. Mustafa a-Siba‘i dalam
bukunya al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri‘ al-Islami (1949), Prof. Dr. Ajjaj al-Khatib dalam
bukunya al-Sunnah qabla al-Tadwin (1964).
Keduanya secara terpisah menyanggah argumen-argumen Goldziher. Puncaknya, adalah tokoh
yang selalu kami juluki sebagai ―Pendekar dari India‖, Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami, dalam
bukunya Studies in Early Hadith Literature (1967) yang secara komprehensif membantah teori-teori
orientalis tentang Hadits Nabawi, terutama Goldziher dan Schact.
Mushthafa Al-Siba‘i dengan karyanya dan Ajjaj al-Khatib juga dengan karyanya, meskipun
secara terpisah, keduanya telah menangkis pikiran-pikiran orientalis Ignas Goldziher yang meragukan
otentisitas Hadits dan membantah pendapat-pendapat yang dilontarkan Goldziher tersebut secara
ilmiah.
Sedangkan Azami adalah orang yang membabat habis semua argument dan pikiran-pikiran
orientalis yang berkaitan dengan kajian otentisitas Hadits. Secara terpadu Azami telah mematahkan
argumen-argumen mereka dan meruntuhkan teori-teorinya. Bukunya yang berjudul Studies in Early
Hadith Literature, seakan-akan menelanjangi para orientalis. Mereka pun dibuat tidak berkutik karena
argument-argumen yang ditulisnya di buku tersebut memang benar-benar vaid karena berdasrkan
penelitian yang mendalam dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Karena keahliannya inilah, dunia Islam mengakui keunggulan Azami sebagai seorang ahli
hadits yang hebat dan tangguh. Wajar jika ia menerima Hadiah Internasional King Faisal dalam Studi
Islam yang diberikan kepadanya pada tahun 1400 H/1980 M. Sementara kalangan orientalis sendiri
juga terpaksa bertekuk lutut dan harus mengakui kehebatan Azami. Tak kurang seorang Prof. A.J.
Arberry, tokoh orientalis terkemuka dari Universitas Cambridge, Inggris, mengungkapkan secara
terbuka kekaguman dan pengakuannya atas keilmiahan, keotentikan, dan ketinggian standar ilmiah
karya Azami itu. 19

F. Corak Hadits Kontemporer Lainnya


Selain kritik hadits yang menjadi corak utama kajian hadits kontemporer, reorientasi istilah-
isitilah teknis yang dipakai dalam penyebaran Hadits (tahammul al-Hadits) juga menjadi corak lain dari
kajian hadits kontemporer. Munculnya kajian ini disebabkan karena adanya pemahaman bahwa
penyebaran Hadits tidak hanya dilakukan melalui lisan namun juga melalui tulisan. Memang pada
masa-masa sebelumnya banyak kalangan yang menggangap bahwa Hadits itu tersebar hanya melalui
lisan, hal ini tidak lepas kerena adanya shigah-shigah tahammul Hadits yang menunjukan transmisi
Hadits seolah-olah hanya dilakukan dengan lisan mislanya kata-kata Akhbarana, Haddatsana, dll., yang
menujukan bahwa tranmisi Hadits itu dilakukan dengan lisan (oral transmission). Padahal sebenarnya
tidak demikian. Azami, misalnya, membuktikan bahwa istilah-istilah itu juga membuktikan adanya
penyebaran Hadits secara tertulis. Beliau juga membuktiakan bahwa Hadits telah ditulis oleh para
sahabat sejak zaman nabi sehingga missing link yang terjadi pada penulisan Hadits dapat disanggah.20
Corak lain yang tentunya tidak bisa dikesampingkan yaitu metode Takhrij Hadits. Corak ini
menjadi corak yang paling unik dari seluruh ciri kajian Hadits kontemporer. Saat ini, telah muncul
metode takhrij yang mudah dan sederhana sehingga memudahkan bagi siapa saja yang berkeinginan
melakukan takhrij terhadap sebuah Hadits, dapat melakukannya dengan mudah. Meskipun tidak
mempunyai pengetahuan yang luas dalam bidang hadits, asalkan ditunjangan dengan kitab-kitab
penunjang yang memadai. Memang corak yang satu ini dulunya cuma populer dikalangan ulama hadits.
Namun, sekarang ini orang yang pengetahuan hadits-nya pas-pasan pun sudah mengenal corak kajian
ini. Tentunya hal ini tidak lepas dari kegigihan DR. Mahmud Thahan yang berjasa mengembangkan
kajian takhrij hadits dengan bukunya yang terkenal Ushul Takhrij wa Dirasatul Asanid

18
Ibid.hal. 3.
19
Azami, Muhammad Mustafa, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,
( Pustaka Firdaus : Jakarta ). 1994. Hal. vii.
20
Ali Mustafa Ya‘qub, M.A., Kritik Hadits, Hal.29-30.

17
Modul Materi: Ulumul Hadits
B. Mengambil sunnah dari kitab-kitab sunnah sekarang
Dalam abad pertama para ahli mengambil hadits dari lisan guru.sekali lagi mereka mempercayai
tulisan.mereka memerlukan persambungan sanad kepada Rasul dan keadilan para perawinya agar
hadits tersebut mendapat tingkatan shahih .
Sesudah kitab – kitab hadits dibukukan dan berkembang dalam masyarakat,maka pegangan
umat (para ahli)kepada kitab-kitab itu melebihi dari pegangan kepada guru-guru.
Ibnu salih (643 H.) mengatakan: ‖Ketahuilah bahwa meriwayatkan dengan sanad sanad yang
muttashil, tidak diperlukan lagi dimasa sekarang.‖ Yakni, kita tidak memerlukan sanad yang muttashil
(sambung-menyambung) mulai dari kita hingga kepada penyusun kitab.
Hanya yang wajib bagi kita yang sekarang memperhatikan tiga faktor penting ini:
1. Memeriksa apakah kitab yang dikatakan kitab Al-Bukhari umpamanya, benar kitabnya atau
bukan.
2. Membahas keadaan sanad hadits yang terdapat dalam kitab itu.
3. Memeriksa, apakah kitab tersebut terlepas dari kesalahan–kesalahan tulisan, atau cetakan,
dari sisipan dan yang sebagainya.

Jalan yang memperoleh keyakinan bahwa kitab itu tidak salah,tidak keliru tulisan atau
cetakannya ialah membandingkan naskah yang hendak kita pergunakan dengan beberapa naskah, yang
hendak kita pergunakan dengan beberapa naskah yang berlainan cetakannya atau penerbitannya. 21

PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi pada masa Nabi Muhammad SAW. Ada beberapa cara yang ditempuh oleh Rasulullah
SAW. Dalam menyampaikan suatu hadits yaitu :
1. Melalui majelis al-‗ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk
membina para jemaah.
2. Dalam suatu kesempatan Rasulullah juga biasa menyampaikan haditsnya kebeberapa
sahabat yang sempat hadir dan bertemu pada beliau, yang kemudian hadits yang didapat itu
kemudian sahabat menyampaikannya lagi kepada sahabat lain yang belum sempat atau yang
pada saat itu tidak hadir dihadapan Rasulullah.
3. Untuk hal-hal yang sensitif, seperti hal-hal yang berkaitan dengan soal keluarga dan
biologis, dan yang terutama soal yang menyangkut hubungan suami istri, Rasulullah
menyampaikanlmelalui istri-istrinya, jadi pada hal-hal yang sensitif Nabi Muhammad SAW.
Dibantu untuk menyelesaikan masalah tersebut oleh istri-istri beliau.
4. Melalui hadits yang telah Rasulullah sampaikan kepada para sahabat, sehingga hadits-hadits
tersebut cepat tersebar di kalang masyarakat pada saat itu.

B. Saran
Diakhir tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa saran kepada pembaca:
1. Dalam memahami Islam hendaknya kita bersifat inklusif terhadap beberapa hasanah
pemikiran tentang segala hal. Sehingga ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan dapat
menjawab berbagai tuntunan perubahan zaman.
2. Hendaknya setiap orang tetap bersifat terbuka terhadap berbagai pendekatan dan system
pendidikan yang ada. Karena hal itu akan menambah kekayaan khasanah intelektual dan
wawasan kependidikan bagi semua.
3. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi segenap pembaca terutama kepada penulis atau
penyusun sendiri. Amin yaa Rabbal Alamiin.

DAFTAR PUSTAKA
1. Azami, Muhammad Mustafa, Prof.Dr., Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Alih bahasa H.Ali Mustafa Ya‘qub,
M.A. ( Pustaka Firdaus : Jakarta ). 1994.
2. Al-Qaththan, Syiekh Manna‘, Mabâhits Fî Ulûm Al-Hadîts. terj. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Alih bahasa Mifdhol
Abdurrahman, Lc. (Pustaka Al-Kautsar : Jakarta). 2008.
3. Masrur, Ali, Dr., Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, (LKiS :
Yogyakarta),2007.
4. Thahan, Mahmud, Dr., Ilmu Hadits Praktis. Alih Bahasa Abu Fuad. (Pustaka Thariqul Izzah: Bogor). 2009.
5. Ya‘qub, Ali Mustafa, Prof.KH, M.A., Kritik Hadits, (Pustaka Firdaus : Jakarta), 2008.

21
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy sejarah dan pengantar ilmu Hadis (PUSTAKA RISKI
PUTRA:Semarang.)2009.hal,176.
18
Modul Materi: Ulumul Hadits
TEMA 4
Pengertian Ulumul Hadits.

POKOK-POKOK PEMBAHASAN:
1. Pengertian ilmu hadits dirayah
2. Pengertian ilmu hadits riwayah

__________________________________________________________________________________

PEMBAHASAN
A. ILMU HADITS
 Pengertian
Yang dimaksud dengan Ilmu Hadits, menurut Ulama Mutaqaddimin adalah: ―Ilmu pengetahuan
yang membicarakan cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasulullah SAW. dari segi hal
ihwal para perawinya, yang menyangkut kedabitan dan keadilannya dan dari segi bersambung dan
terputusnya sanad, dan sebagainya‖.
Pada perkembangan selanjutnya, Ulama Mutaakhirin, membagi Ilmu Hadits ini dipecah
menjadi dua, yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah. Mereka memasukkan pengertian
yang diajukan oleh Ulama Mutaqaddim ke dalam pengertian Ilmu Hadits Dirayah.22

B. ILMU HADITS RIWAYAH


 Pengertian
Yang dimaksud dengan Ilmu Hadits Riwayah, ialah: ―Ilmu pengetahuan yang mempelajari
hadits-hadits, yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan
taqrir, tabi‟at, maupun tingkah lakunya.‖
Menurut Ibn Al-Akfani, sebagaimana yang dikutip oleh Al-sayuthi, bahwa yang dimaksud
dengan ilmu hadits Riwayah adalah ―Ilmu hadits yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah
ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi SAW dan perbuatannya, dan
penguraian lafaz-lafaznya”.23
Sedangkan pengertiannya menurut Muhammad ‗Ajjaj al-Khathib yaitu: ―Ilmu yang membahas
tentang pemindahan, (periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, berupa
perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan dan pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak)
dengan cara yang teliti dan terperinci”.24
Definisi yang hampir senada dikemukakan oleh Zhafar Ahmad Ibnu Lathif al-‗Utsmani al-
Tahanawi di dalam Qawa‟id fi „Ulum al-Hadits yaitu: ―Ilmu Hadits yang khusus dengan riwayah
adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan dan keadaan Rasul SAW serta
periwayatan, pencatatan, dan pengurauian lafaz-lafaznya‖.
Dari ketiga definisi di atas dapat di pahami bahwa Ilmu Hadits Riwayah adalah membahas
tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadits Nabi SAW.25
Yang dimaksud dengan Ilmu Hadits Riwayah, ialah: ―Ilmu pengetahuan yang mempelajari
hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi‟at
maupun tingkah lakunya”.26
Ilmu hadits Riwayah ini sudah ada sejak Nabi SAW masih hidup, yaitu bersamaan dengan
mulainya periwayatan Hadits itu sendiri. Para Sahabat Nabi SAW menaruh perhatian yang tinggi
terhadap Hadits Nabi SAW. Mereka berupaya untuk memperoleh Hadits-Hadits Nabi SAW dengan
cara mendatangi majelis Rasul SAW serta mendengar dan menyimak pesan atau nasehat yang
disampaikan beliau. Sedemikian besar perhatian mereka, sehingga kadang-kadang mereka berjanji satu
sama lainnya untuk secara bergantian menghadiri majelis Nabi SAW tersebut, manakala diantara
mereka ada yang sedang berhalangan. Hal tersebut seperti yang dilakukan oleh ‗Umar r.a., yang

22
Drs. H. Mudasuir, Ilmu Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia.1999), hal 41
23
Dr. Nawir Yuslem. MA, Ulumul Hadits, (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya. 2001), hal 3
24
Dr. Nawir Yuslem. MA. Ulumul Hadits, (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya. 2001), hal 4
25
Ibid, hal 5
26
Drs. Munzier Suparta, M.A. Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002), hal 24
19
Modul Materi: Ulumul Hadits
menceritakan, ―Aku beserta seorang tetanggaku dari kaum Ansar, yaitu Bani Umayyah Ibnu Zaid,
secara bergantian menghadiri majelis Rasul SAW. Apabila giliranku yang hadir, maka aku akan
menceritakan kepadanya apa yang aku dapatkan dari Rasul SAW pada hari itu; dan sebaliknya, apabila
giliran dia yang hadir, maka dia pun akan melakukan hal yang sama.27
Mereka juga memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan Rasul SAW, baik dalam
beribadah maupun dalam aktivitas sosial, dan akhlak Nabi SAW sehari-hari. Semua yang mereka
terima dan dengar dari Rasul SAW mereka pahami dengan baik dan mereka pelihara melalui hafalan
mereka. Tentang hal ini, Anas Ibnu Malik mengatakan: “Manakala kami berada di majelis Nabi SAW
kami mendengarkan Hadits dari beliau; dan apabila kami berkumpul sesama kami, kami saling
mengingatkan (saling melengkapi) Hadits-Hadits yang kami miliki sehingga kami menghafalnya”.
Apa yang telah dimiliki dan dihafal oleh para sahabat dari Hadits-Hadits Nabi SAW,
selanjutnya mereka sampaikan dengan sangat hati-hati kepada Sahabat lain yang kebetulan belum
mengetahuinya, atau kepada para Tabi‟in. Para Tabi‟in pun melakukan hal yang sama, yaitu
memahami, memelihara dan menyampaikan Hadits-Hadits Nabi SAW kepada Tabi‟in lain atau Tabi‟
al-Tabi‟in. Hal ini selain dalam rangka memelihara kelestarian Hadits Nabi SAW, juga dalam rangka
menunaikan pesan yang terkandung di dalam Hadits Nabi SAW, yang diantaranya ialah: “(semoga)
Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar sesuatu (Hadits) dari kami, lantas ia
menyampaikannya sebagaimana yang ia dengar, kadang-kadang orang yang menyampaikan lebih
hafal daripada orang yang mendengar‖.28
Demikianlah periwayatan dan pemelihara Hadits Nabi SAW berlangsung hingga usaha
penghimpunan Hadits secara resmi dilakukan pada masa pemerintah Khalifah ‗Umar Ibnu ‗Abd al-
‗Aziz. Usaha tersebut di antaranya dipelopori oleh Abu Bakar Muhammad Ibnu Syihab al-Zuhri. Al-
Zuhri dengan usahanya tersebut dipandang sebagai pelopor Ilmu Hadits Riwayah; dan dalam sejarah
perkembangan hadits, dia dicatat sebagai Ulama pertama yang menghimpun Hadits Nabi SAW atas
perintah Khalifah ‗Umar Ibnu ‗Abd al-‗Aziz.29
Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan Hadits secara besar-besaran
terjadi pada abad ke-3 H yang dilakukan oleh para Ulama, seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim,
Imam Abu Dawud, Imam al-Tarmidzi, dan lain-lain. Dengan telah dibukukannya Hadits-Hadits Nabi
SAW oleh para Ulama di atas, dan buku-buku mereka pada masa selanjutnya telah menjadi rujukan
bagi para Ulama yang datang kemudian, maka dengan sendirinya Ilmu Hadits Riwayah tidak banyak
lagi berkembang. Berbeda halnya dengan Ilmu Hadits Dirayah, pembicaraan dan perkembangannya
tetap barjalan sejalan dengan perkembangan dan lahirnya berbagai cabang dalam Ilmu Hadits. Dengan
demikian, pada masa berikutnya apabila terdapat pembicaraan dan pengkajian tentang Ilmu Hadits,
maka yang dimaksud adalah Ilmu Hadits Dirayah, yang oleh para Ulama Hadits disebut juga
dengan „Ilmu Mushthalah al-Hadits atau „Ilmu Ushul al-Hadits.30
1. Objek Kajian
Objek kajian Ilmu Hadits Riwayah adalah hadits Nabi SAW dari segi periwayatan dan
pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup :
a. Cara periwayatan hadits, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga cara
penyampaiannya dari seorang perawi kepada perawi yang lain;
b. Cara pemeliharaan Hadits, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan pembukuannya.
Sedangkan tujuan dan urgensi ilmu ini adalah pemeliharaan terhadap Hadits Nabi SAW agar
tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya
atau dalam penulisan dan pembukuannya. Dengan demikian, Hadits-Hadits Nabi SAW dapat
terpelihara kemurniannya dan dapat di amalkan hukum-hukum dan tuntunan yang terkandung
didalamnya, yang hal ini sejalan dengan perintah Allah SWT agar menjadikan Nabi SAW sebagai
ikutan dan suri teladan dalam kehidupan ini.31

C. ILMU HADITS DIRAYAH


1. Pengertian
Para Ulama memberikan definisi yang bervariasi terhadap Ilmu Hadits Dirayah ini. Akan tetapi,
apabila dicermati definisi-definisi yang mereka kemukakan, terdapat titik persamaan di antara satu dan
yang lainnya, terutama dari segi sasaran kajian dan pokok pembahasannya.
27
Dr. Nawir Yuslem. MA, Ulumul Hadits. . ., hal 6
28
Dr. Nawir Yuslem. MA, Ulumul Hadits. . ., hal 7
29
bid, hal 8
30
Dr. Nawir Yuslem. MA, Ulumul Hadits. . ., hal 9
31
Dr. Nawir Yuslem. MA, Ulumul Hadits. . ., hal 5
20
Modul Materi: Ulumul Hadits
Ibnu al-Akfani memberikan definisi Ilmu Hadits Dirayah sebagai berikut: ―Dan Ilmu Hadits
yang khusus tentang dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-
syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang
diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.32
Adapula Ulama yang menjelaskan, bahwa Ilmu Hadits Dirayah ialah: ―Ilmu pengetahuan yang
membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan, yang dengannya kami dapat
membedakan antara hadits dan Salih yang disandarkan kepada Rasul SAW dan hadits yang diragukan
penyandarannya kepadanya‖33
Uraian dan elaborasi dari definisi di atas diberikan oleh imam al-Suyuthi, sebagai berikut:
Hakikat Riwayat, adalah kegiatan periwayatan Sunnah (Hadits) dan penyandarannya kepada
orang yang meriwayatkannya dengan kalimat tahdits, yaitu perkataan seorang perawi ―haddsana
fulan‖, (telah menceritakan kepada si Fulan). Atau Ikhbar, seperti perkataannya ―akhbaran fulan‖,
(telah mengabarkan kepada kami si Fulan).
Syarat-syarat periwayatan, yaitu Al-Sama‟ (mendengar), Al-Qira‟ah (membaca), Al-Ijazah
(perizinan), Al-munawalah (member), Al-Mukatabah (menulis), Al-I‟lam (memberitahukan), Al-
Wasiyah (wasiat), dan yang terakhir ialah Al-Wijadah (penemuan).34
Macam-macam riwayat, adalah, seperti periwayatan muttashil, yaitu periwayatan yang
bersambung mulai dari perawi pertama sampai kepada perawi terakhir, atau mungathi‟, yaitu
pariwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah, atau di akhir, dan selainnya.
Hukum riwayat, adalah al-qabul, yaitu diterimanya suatu riwayat karena telah memenuhi
persyaratan tertentu, dan al-radd, yaitu ditolak, karena adanya persyaratan tertentu yang tidak
terpenuhi.35
Definisi yang lebih ringkas namun komporensif tentang Ilmu Hadits Dirayah
dikemukakan oleh M. ‘Ajjaj al-Khathib, sebagai berikut: “Ilmu Hadits Dirayah adalah
kumpulan-kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahi keadaan rawi dan
narwi dari segi diterima atau ditolaknya.
Al-Khathib lebih lanjut menguraikan definisi di atas sebagai berikut:
Al-rawi atau perawi, adalah orang yang meriwayatkan atau menyampaikan Hadits dari satu
orang kepada orang lainnya; al-marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu suatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW atau kepada yang lainnya, seperti Sahabat atau Tabi‟in; keadaan perawi
dari segi diterima atau ditolaknya adalah, mengetahui keadaan para perawi dari segi jarh atau ta‟adil
ketika tahammul dan adda‟ al-Hadits, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam
kaitannya dengan ittishal al-sanad (persambungan sanad) atau terputusnya, adanya i‟llat atau tidak,
yang menentukan diterima atau tidaknya suatu Hadits.36
2. Objek Kajian
Dari beberapa pengertian di atas, dapat diketahui bahwa objek pembahasan Ilmu Hadits
Dirayah adalah keadaan para perawi dan marwinya. Keadaan para perawi, yaitu penyangkut
pribadinya, seperti akhlak, tabiat, dan keadaan pahalannya sanad. Adapun keadaan marwi, yaitu dari
sudut kesasihan dan kedaifannya, maupun dari sudut lain yang berkaitan dengan keadaan matan.37
Adapun objek kajian atau pokok bahasan Ilmu Hadits Dirayah ini, berdasarkan definisi di atas,
adalah sanad dan matan Hadits.
Pembahasan tentang sanad meliputi:
a. Segi persambungan sanad (ittishal al-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad Hadits
haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menuliskan
atau membukukan Hadits tersebut; oleh karyanya, tidak dibenarkan suatu rangkaian sanad
tersebut yang terputus, tersembunyi tidak diketahui identitasnya atau tersamar.
b. Segi keterpercayaan sanad (tsiqat al-sanad), yaitu bahwa setiap perawi yang terdapat di dalam
sanad suatu Hadits harus memiliki sifat Hadits atau dhabith (kuat dan cermat hafalan atau
dokumentasi Haditsnya).
c. Segi keselamatannya dari kejanggalan (syadz).
d. Keselamatan dari cacat (i‟llat).

32
Dr. Nawir Yuslem. MA, Ulumul Hadits. . ., hal 9
33
Drs. Munzier Suparta, M.A, Ilmu Hadis. . ., hal 27
34
Dr. Nawir Yuslem. MA, Ulumul Hadits. . ., hal 10
35
Ibid, hal 11
36
Ibid, hal 12
37
Drs. H. Mudasuir, Ilmu Hadis. . ., hal 45
21
Modul Materi: Ulumul Hadits
e. Tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad.38
Sedangkan pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi ke-shahi-han atau ke-dha‟ifan-
nya. Hal ini dapat terlihat melalui kesejalanannya dengan makna dan tujuan yang terkandung di dalam
Al-Qur‘an, atau selamatnya:
a. Dari kejanggalan redaksi (rukyat alfaz).
b. Dari cacat atau kejanggalan pada maknanya (lafaz al-ma‟ani), karena bertentangan dengan akal
dan pancaindera, atau dengan fakta sejarah.
c. Dari kata-kata asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya
yang umum dikenal.
Tujuan dan urgensi Ilmu Hadits Dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan Hadits-
hadits yang Maqbul (yang dapat diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan) dan yang Mardud (yang
ditolak).39
Dengan mempelajari Ilmu Hadits Dirayah ini, banyak sekali faedah yang diperoleh, antara lain;
a. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dari masa ke masa sejak masa Rasul SAW
sampai sekarang.
b. Dapat mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam
mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadits.
c. Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para Ulama dalam mengklasifikasikan
hadits lebih lanjut.
d. Dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria-kriteria hadits sebagai pedoman dalam
beristimbat.
Dari beberapa faedah di atas, apabila diambil intisarinya, maka faedah mempelajari Ilmu Hadits
Dirayah adalah untuk mengetahui kualitas sebuah hadits, apabila ia maqbul (diterima) dan mardud
(ditolak), baik dilihat dari sudut sanad maupun matannya.40

D. KESIMPULAN
Ada beberapa tokoh yang menjelaskan pengertian Ilmu Hadits Riwayah:
a. Menurut Ibn Al-Akfani adalah Ilmu hadits yang khusus berhubungan dengan Riwayah adalah
ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi SAW dan perbuatannya, dan
penguraian lafaz-lafaznya‖.
b. Menurut Muhammad ‗Ajjaj al-Khathib yaitu: ―Ilmu yang membahas tentang pemindahan,
(periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan,
taqrir (ketetapan dan pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang
teliti dan terperinci‖
c. Zhafar Ahmad Ibnu Lathif al-‗Utsmani al-Tahanawi yaitu: ―Ilmu Hadits yang khusus dengan
Riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan dan keadaan Rasul
SAW serta periwayatan, pencatatan, dan pengurauian lafaz-lafaznya‖.
Dari ketiga definisi di atas dapat di pahami bahwa Ilmu Hadits Riwayah adalah membahas
tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadits Nabi SAW.
Ibnu al-Akfani memberikan definisi Ilmu Hadits Dirayah sebagai berikut: ―Dan Ilmu Hadits
yang khusus tentang Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-
syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang
diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya‖.
Adapula Ulama yang menjelaskan, bahwa Ilmu Hadits Dirayah ialah: ―Ilmu pengetahuan yang
membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan, yang dengannya kami dapat
membedakan antara hadits dan Sahih yang disandarkan kepada Rasul SAW dan hadits yang diragukan
penyandarannya kepadanya‖.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ash-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Pustaka Firdaus. Jakarta: 2000
2. Ash-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Pustaka Firdaus. Jakarta: 2002
3. Mudasir H. Ilmu Hadits. CV Pustaka Setia. Bandung 1999
4. Suparta, Munzir. Ilmu Hadits. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta 2002
5. Yuslem, Nawir. Ulumul Hadits. Mutiara Sumber Widya. Jakarta: 2001

38
Dr. Nawir Yuslem. MA, Ulumul Hadits. . ., hal 12
39
r. Nawir Yuslem. MA, Ulumul Hadits. . ., hal 13
40
Drs. Munzier Suparta, M.A, Ilmu Hadis. . ., hal 28
22
Modul Materi: Ulumul Hadits
TEMA 5
Cabang – cabang ilmu hadits dengan Klasifikasinya.
POKOK-POKOK PEMBAHASAN:
1. Hadits ditinjau dari segi kuantitas perawinya
2. Hadits ditinjau dari segi kualitas perawinya

__________________________________________________________________________________
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring perkebangan ilmu pengetahuan banyak berunculan penelitian tentang kajian
keilmuan islam, terutama dala ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits yang sangat
menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam. Tetapi
kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang ternyata dilihat
dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan. Bukan hanya segi pandangan saja. Misalnya
hadits ditinjau dari segi kuantitas perawinya dan segi kualitas perawinya.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka pada bahasan ini hanya akan
membahas pembagian hadits dari segi kuantitas dan segi kualitas hadits saja.

PEMBAHASAN
A. Pembagian Hadits dari Segi Kuantitas perawi
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagin hadits ditinjau dari aspek kuantitas
atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan
menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang membaginya
menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan pertama, menjadikan hadits
masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk kedalam hadits ahad, didukung oleh sebagian ulama
ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashsash ( 305-370 H ). Sedangkan ulama golongan kedua
diikuti oleh sebagian besar ulama ushul ( ushuliyyun ) dan ulama kalam ( mutakallimun ). Menurut
mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan
bagian hadits ahad. Mereka membagi hadits kedalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Pengertian hadits mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi‘ (beriringan tanpa jarak). Dalam
terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan
berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan
seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang
terakhir.41
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah
ِ ‫ ُم ْتن َؼث َدذَ ش ََٕتطُ ُﺆُْ ْى ػَهـَٗ ْتنكـَـ ِز‬ْٛ ‫ط أَ ْخدَ َش خِ ِّ َجًــَث َػرً خَهـَ ُغْٕ ت فِٗ ْتنكـ َ ْع َش ِذ َي ْدهَغـًث شُ ِح‬
‫ج‬ ٍ ُْٕ‫يـَث َكثٌَ ػ ٍَْ َيحْ غ‬

Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan oleh
segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat
berbohong.
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta‘akhirin tentang syarat-syarat
hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak termasuk dalam
pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya suatu
khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam hadits mutawatir masalah
tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini
dan diamalkan.

41
Sahrani, Sohari. Ulumul Hadits. 2010. Hal 83
23
Modul Materi: Ulumul Hadits
b. Syarat hadits mutawaatir
1) Hadits mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi. Dan dapat diyakini
bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang
jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits
mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat
gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena
10 itu merupakan awal bilangan banyak.
2) Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya.
3) Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera. Artinya, harus
benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila
berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa
lain, atau hasil istinbath darindalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits
mutawatir.
c. Macam-macam mutawatir
Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu :
1) Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafa dan makna yang sama,
serta kandungan hokum yang sama, contoh :
ْ
ِ َُّ‫َصَدََّٕأ َي ْق َؼ َذُِ ِيٍَ تن‬ٛ‫ فـ َ ْه‬َّٙ َ‫ج َػه‬
‫ثس‬ َ ‫ ِّ َٔ َعهَّ َى َي ٍْ َك َز‬ْٛ َ‫ثل َسعُْٕ ُل هللا َػه‬
َ َ‫قـ‬
Rasulullah SAW bersabda, ―Barang siapa yang ini sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.

Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi


menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2) Hadits mutawatir Ma‘nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang
diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna
yang sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad
SAW mengangkat tangannya ketika berdo‘a:
‫ كثٌ تنُدٗ طهٗ هللا‬: ‫ قٕل أَظ‬،ّٛ‫ثع إخط‬ٛ‫س خ‬ٚ‫ّ ٔسأ‬ٚ‫ذ‬ٚ ‫ّ ٔ عهى ظى سفغ‬ٛ‫ طهٗ هللا ػه‬ٙ‫ دػث تنُد‬: ٘‫قثل أخٕ يٕعٗ تألشؼش‬
‫ تإلعصغقثء‬ٙ‫ شا يٍ دػثبّ إال ف‬ٙ‫ّ ف‬ٚ‫ذ‬ٚ ‫شفغ‬ٚ ‫ ال‬، ‫ّ ٔعهى‬ٛ‫ػه‬

Abu Musa Al-Asy‘ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW berdoa kemudian mengangkat
kedua tangannya dalam berdo‘a hingga nampak putih kedua ketiaknya, dan Anas berkata:
bahwasannya Nabi SAW, tidak mengangkat kedua tangannya, kecuali saat melakukan do‘a
dalam sholat istisqo‘ (HR. Bukhori dan Muslim)
3) Hadits Mutawatir ‗Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi
Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi‘in,
dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang
shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah
yang sudah menjadi ijma‘ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‗amali.

Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits mutawatir lafzhi,
maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutwatir lafzhi tidak mungkin ada.
Pendapat mereka dibantah oleh Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk
yang lafzhi) memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar Al-Asqolani,
Hadits mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya harus dengan cara
menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat perawi, sehingga dapat diketahui
dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta terhadap hadits yang
diriwayatkannya.
Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut :
a) Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang disusun oleh Imam Sayuti. Muhammad
‗Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.
b) Nazhm Al-Mutanatsirah min Al-Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad bin
Ja‘far Al-Kattani ( 1345 H )

24
Modul Materi: Ulumul Hadits
2. Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti ―satu‖ jadi, kata ahad
berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti
hadits yang diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup
syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits
yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur.
Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz.42
a. Hadits Masyhur
Menurut bahasa, Masyhur berarti ―sesuatu yang sudah tersebar dan popular‖. Sedangkan
istilah ada beberapa definisi, antara lain :
―Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan mutawatir,
kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah mereka.‖
Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan, dan dla‘if. Hadits masyhur yang berstatus
shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya, seperti:
―Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.‖
Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-
ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang berbunyi:
―tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.‖
Adapun hadits masyhur yang dla‘if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits
shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits :
―menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.‖
Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan kedalam :
a) Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW
membaca do‘a qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo‘a atas golongan Ri‘il dan
Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim, dll).
b) Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga
dikalangan orang awam, seperti :
ِِ ‫ ِذ‬َٚٔ ِّ َِ‫ْتن ًُ ْغهِ ُى َي ٍْ َعـــــهِ َى ْتن ًُ ْغهِ ًُْٕ ٌَ ِي ٍْ نِغـــَـث‬
c) Masyhur dikalangan ahli fiqh, seperti :
‫ ِْغ ْتن َغ َش ِس‬َٛ‫ْــــ ِّ َٔ َعهَّ َى ػ ٍَْ خ‬َٛ‫ هللاِ َػه‬َّٙ‫طه‬ َ ِ‫ َسعُْٕ َل هللا‬َََٙٓ
“Rasulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.”
d) Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti :
‫ثج فَهـَــُّ أَجْ َشت ٌِ َٔتِ َرت َح َكــــ َى فَثجْ صََٓ َذ ظُ َّى أَ َخــــطَأ َ فَهـَُّ أَجْ ٌش‬ َ ‫ط‬ َ َ ‫نحث ِك ُى ظُ َّى تجْ صََٓ َذ فَـــأ‬
َ ‫تِ َرت َح َك َى ْت‬
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian
ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran),
dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad)‖.
e) Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti :
َِٙ ُْٕ‫ َػ َشف‬ِٙ‫ق فَد‬ َ ‫س ْتنخَ ْه‬ ُ ‫ْس أَ ٌْ أُ ْػ ِشفَ فَخَ هـ َ ْق‬
ُ ‫ًّث فَأَحْ دَد‬ٛ‫س َك ُْ ًضت َي ْخ ِف‬ ُ ُْ ‫ُك‬
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka
kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku”
f) Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, ―Kami orang-orang Arab yag paling fasih
mengucapkan ―(dha)‖ sebab kami dari golongan Quraisy‖.43
b. Hadits Ghairu Masyhur
Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz dan Gharib. Aziz
menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya ―sedikit atau jarang‖. Menurut istilah
hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua dalam semua tingkatan sanad.
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat terdapat
perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat terdapat satu
thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan
bahwa hadits ‗aza adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.‘

Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits Aziz
bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang
diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits ‗aziz :

42
Ibid. hal 91
43
Hasanah, Uswatun dan Anwar. 2013. Ulum Al-Hadis. Palembang:Grafika Telindo Press. Hal 49
25
Modul Materi: Ulumul Hadits
ٍَْٛ ‫ـثط أَجْ ًَ ِؼ‬
ِ َّ ‫ ِّ ِي ٍْ َٔتنِـ ِذ ِِ َٔ َٔنــ ِ ِذ ِِ َٔتنُـ‬ْٛ َ‫ أَ ُكْٕ ٌَ أَ َححَّ إِن‬َّٙ‫ ُْﺆ ِيٍُ أَ َح ُذ ُك ْى َحص‬ٚ َ‫ال‬
“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya, orang
tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti ―al-munfarid‖ (menyendiri). Dalam tradisi
ilmu hadits, ia adalah ―hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya‖.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah ―hadits yang dalam sanadnya
terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad
itu terjadi‖.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan personalitasnya,
yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai sifat atau keadaan
perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan kualitas
perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu, penyendirian seorang perawi
bias terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.

A. Pembagian hadits dari segi Kualitas Perawi


Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadits muatawatir memberikan pengertian yang
yaqin bi alqath, aritnya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir
(persetujuan) dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil
mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya sumbernya sungguh telah
meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi, baik terhadap
sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang hanya memberikan faedah zhanni
(dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik
terhadap matan maupun sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas, apakah diterima
sebagai hujjah atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya,
menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dla‘if.
1. Hadits shahih
Menurut bahasa berarti ―sah, benar, sempurna, tiada celanya‖. Secara istilah, beberapa ahli
memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :
a. Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah ―hadits yang sanadnya bersambung (muttasil)
melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith, sampai
akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber‘illat‖.
b. Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah ―hadits yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber‘illat.‖
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah : 1) sanadnya
bersambung, 2) perawinya bersifat adil, 3) perawinya bersifat dhabith, 4) matannya tidak syaz, dan
5) matannya tidak mengandung ‗illat.44

2. Hadits Hasan
a. pengertian
Tinjauan dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu ( ٍ‫ )تنحغ‬bermakna al-jamal (‫ )تنﺠًثل‬yang
berarti ―keindahan‖. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara beragam.
Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Atsqolani dalam An-
Nukbah, yaitu :
ِّ ِ‫ضدْظُ فَ ْه ُحغٍُْ نِ َزتش‬ َّ ‫ ُش ُي َؼهَّ ٍم َٔالَ شَث هر ُْ َٕ تن‬ْٛ ‫ظ ُم تن َّغَُ ِذ َغ‬
َّ ‫فَث ِء ٌْ َخ‬. ِّ ِ‫ ِ نِ َزتش‬ْٛ ‫ظ ِح‬
َ ‫ف تن‬ َ ‫َٔ َخدَ ُش ْت‬
َّ ‫حث َد خَُِ ْق ِم َػ ْذ ِل شَث ُّو تن‬ٜ
ِ َّ‫ض ْد ِظ ُيص‬
“khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung
sanadnya, tidak ber‟illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit
kedhabitannya disebut hasan Lidztih”.

Dengan kata lain hadits hasan adalah :

ِّ َّ‫ض ْدطُُّ َٔ َخالَّ ِيٍَ تن ُّش ُزْٔ ِر َٔتْن ِؼه‬


َ ‫ظ َم َعَُ ُذُِ خَُِ ْق ِم ْتن َؼ ْذ ِل تنّ ِز٘ قَ َّم‬
َ َّ‫ْ َُٕ َيث تش‬
(Hadits hasan) adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang
sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak „illat”.

44
Suyitno. 2013. Studi Ilmu-Ilmu Hadits. Yogyakarta: Idea Press. Hal 69
26
Modul Materi: Ulumul Hadits
Kriteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada
sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus zamm (sempurna),
sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding dengan hadits shahih.

b. Contoh hadits Hasan


Sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban
dari Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah dari Abi
Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda :
َ ِ‫َﺠُْٕ ُص َرتن‬ٚ ٍْ ‫ٍَ َٔأَقَهُُّٓ ْى َي‬ْٛ ‫ تن َّغ ْد ِؼ‬َٙ ‫ٍَ تِن‬ْٛ ِّ‫ٍَ تن ِّغص‬ْٛ َ‫ َيث خ‬ِٙ‫أَ ْػ ًَث ُس تُ َّيص‬
‫ك‬
“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu”.
c. Macam-macam Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits hasan pun terbagi
menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairih.
Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala
kriteria dan persyaratan yang ditemukan. Hadits hasan lidzatih sebagimana definisi penjelasan
diatas.
Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat diantaranya adalah :
ُ ُّْ ‫ْق أُ ْخ َش٘ ِي ْعهُُّ أَْٔ أَ ْق َٕ٘ ِي‬ِ ٚ‫٘ ِي ٍْ طَ ِش‬ َ ُِٔ ‫ْفُ تِ َرت س‬ٛ‫ض ِؼ‬ َّ ‫ْط تن‬ ُ ٚ‫ُْ َٕ ْتن َح ِذ‬
―adalah hadits dla‘if jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat.
ُُّ‫َّتٔ٘ أَْٔ ِك ْزخ‬ ِ ‫ق تنش‬ َ ‫ض ْؼفِ ِّ فِ ْغ‬َ ُ‫َ ُك ٍْ َعدَح‬ٚ ‫َز طُ ُشقُُّ َٔنـ َ ْى‬ ْ ‫ْفُ تِ َرت شَ َؼ َّذد‬ٛ‫ض ِؼ‬
َّ ‫ُْ َٕ تن‬
―adalah hadits dla‘if jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedla‘ifan bukan karena fasik atau
dustanya perawi.

Dari dua definisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dla‘if bias naik manjadi hasan
lighairih dengan dua syarat yaitu :
1. Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.
2. Sebab kedla‘ifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti
hafalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul)
identitas perawi.

d. Kehujjahan hadits hasan


Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits shahih. Semua
fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan
orang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan sebagian
muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin) memasukkan kedalam
hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.

3. Hadits Dla’if
a. Pengertian
Hadits Dla‘if bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dla‘if (‫ف‬ٛ‫ )تنضؼ‬berarti lemah
lawan dari Al-Qawi (ٕ٘‫ )تنق‬yang berarti kuat. Kelemahan hadits dla‘if ini karena sanad dan
matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah
hadits dla‘if adalah :
ِّ ‫طفَُّ ْتن َح َغ ٍِ خِفَ ْق ِذ شَشْ ٍط ِي ٍْ ُششُْٔ ِط‬
ِ ‫َﺠْ ًَ ْغ‬ٚ ‫ُْ َٕ َيث نَ ْى‬
“Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat
yang tidak terpenuhi”.

Atau definisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama :


َ ‫ ِ َٔ ْت‬ْٛ ‫َّح‬
ٍِ ‫نح َغ‬ ِ ‫َﺠْ ًَ ْغ‬ٚ ‫ْ َُٕ َيث نَ ْى‬
ِ ‫طفَُّ تنظ‬
―Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan‖.

Jika hadits dla‘if adalah hadits yang tidak memenuhi sebagian atau semua persyaratan
hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), para perawinya
tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad atau matan (syadz) dan terjadi
cacat yang tersembunyi (illat) pada sanad atau matan.

27
Modul Materi: Ulumul Hadits
b. Contoh hadits dla‘if
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu
Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :

‫ ُي َح ًَّ ٍذ‬َٙ‫ضث أَ ِٔت ْي َشأَ ٍِ ِي ٍْ ُدخ ُِش أَْٔ َكث َُِْث فَقَ ْذ َكفَ َش ِخ ًَث تُ َْ ِض َل َػه‬
َ ِ‫ َحثب‬َٙ‫َٔ َي ٍْ أَش‬
“barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari jalan
belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW”.

Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dla‘if yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai
dla‘if oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan
komentar : ٌٍِّ َٛ‫ ِّ ن‬ْٛ ِ‫ ف‬padanya lemah.

c. Hukum periwayatan hadits dla‘if


Hadits dla‘if tidak identic dengan hadits mawdhu‘ (hadits palsu). Diantara hadits dla‘if terdapat
kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah. Seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi
adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu‘ perawinya pendusta. Maka para ulama
memperbolehkan meriwayatkan hadits dla‘if sekalipun tanpa menjelaskan kedla‘ifannya dengan
dua syarat, yaitu:
1) Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2) Tidak menjelaskan hukum syara‘ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi
berkaitan dengan masalah maui‘zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang
ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.

Dalam meriwayatkan hadit dla‘if, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak
menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma‘lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya dari
Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh)
misalnya: ٘ َ ُِٔ ‫ س‬diriwayatkan, ‫ َُقِ َم‬dipindahkan, ٘
َ ِٔ ْ‫ُش‬ٚ ‫ ًِث‬ْٛ ِ‫ف‬ pada sesuatu yang
diriwayatkan dating. Periwayatan dla‘if dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).

PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai akhir pembahasan tulisan ini, penulis sajikan kesimpulan umum sebagai berikut;
hadits diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah Al-Qur‘an. Disamping itu hadits juga
memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat Al-Qur‘an sebagaimana dijelaskan dalam QS:
Al-Nahl ayat 44. Hadits tersebut merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai
pembimbing bagi masyarakat yang beriman.
Berdasarkan kuantitas (banyaknya jumlah perawi) atau orang yang meriwayatkan suatu
hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Hadits Mutawatir: suatu Haditst yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut
kebiasaan mustahil mereka berdusta dan tidak terdapat kejanggalan didalamnya.
2. Hadits Ahad: suatu Haditst yang pemberitaannya tidak mencapai jumlah perawi Haditst
mutawatir

Berdasarkan kualitas hadits dibagi menjadi tiga yaitu:


1. Hadits Sahih : Haditst yang bersih dari cacat, Haditst yang benar berasal dari nabi.
2. Hadits Hasan : bagus atau baik, yaitu Haditst yang sanadnya baik, tidak ada rawi yang dicurigai
berdusta.
3. Hadits Dhoif : Haditst yang kebenarannya lemah, dan tidak memenuhi sebagai Haditst hasan
dan Haditst shahih.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sahrani, Sohari. Ulumul Hadits. Thn. 2010
2. Hasanah, Uswatun dan Anwar. 2013. Ulum Al-Hadits. Palembang: Grafika Telindo Press.
3. Suyitno. 2013. Studi Ilmu-Ilmu Hadits. Yogyakarta: Idea Press.

28
Modul Materi: Ulumul Hadits
TEMA 6
Hadits Shahih.
POKOK-POKOK PEMBAHASAN:
1. Pengertian hadits shahih
2. Kriteria hadits shahih
3. Kedudukan hadits shahih dalam islam

__________________________________________________________________________________
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Apabila dilihat dari segi jumlah perawi yang meriwayatkannya hadits nabi dari generasi
ke negarasi, maka ternyata yang berkedudukan mutawatir sebagaimana periwayatan Al-Qur‘an,
jumlahnya tidaklah banyak. Karena itu, bila dilihat dari segi periwayatannya, maka kedudukan
hadits pada umumnya adalah kebenaran periwayatanya masih dalam status dugaan, sedang yang
berstatus tidak diragukan lagi kebenaran periwayatannya, jumlahnya tidak banyak. Yaitu untuk
mengetahui mana yang meragukan dan mana yang jelas-jelas berasal dari nabi, pada hakikatnya
di samping untuk memudahkan klasifikasinya, para ulama Hadits telah berusaha membagi
Hadits-Hadits nabi dilihat dari seginya, kemudian dari pembagian itu dibagi-bagi kepada
beberapa macam.
Jadi, kita dapat mengetahui mana hadits yang benar-benar berasal dari nabi, sehinga
akan yakin dan tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mengamalkannya. Hadits shahih
merupakan salah satu bagian dari hadits yang ditinjau dari segi kualitas perawi yang
meriwayatkannya. Sehingga kita sebagai umat muslim hendak mengetahui tentang hadits
shahih. Untuk lebih jelasnya, sedikit kami akan paparkan dalam isi atau pembahasan.

Pembahasan
A. Pengertian Hadits Shahih
Kata hadits berasal dari bahasa Arab yakni al-Hadits, jamaknya al-ahaadits, al-hidsan
dan al-hudsan. Dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti diantaranya
1. Al-Jadid (yang baru) lawan dari Al-Qadim ( yang lama)
2. Al-khabar (kabar atau berita)45

Hadits dengan pengertian khabar seperti tersebut dapat dilihat dalam Al-Qur‘an;
Surat Ath-Thur ayat 34
“ Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Qur‟an itu jika
mereka orang-orang yang benar”46

Istilah hadits shahih merupakan bagian hadits ahad maqbul dilihat dari segi kualitasnya.
Para ulama berbedapendapat dalam merumuskan definisinya, namun beberapa definisi itu
dirumuskan bahwa bahwa hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya.
Diriwayatkan oleh orang-orang adil, kuat ingatannya, serta terhundar dari kejanggalan-
kejanggalan dan Illat.47

 Hadits Shahih terbagi dua ;


1. Hadits Shahih Lidzatih yaitu hadits shahih dengan sendirinya.
2. Hadits Shahih Lighairih yaitu hadits yang keshahihannya dibantu oleh adanya
keterangan lain. Pada mulanya hadits ini memiliki kelemahan pada aspek ke-dhabith-an
45
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Ksahihan Sanad Hadits (Jakarta, Bulan Bintang, 1988) hlm. 24.
46
Hasbi Ash-Ahidieeqi, al-quran dan terjemahnya (Jakarta. Departemen Agama RI, 1989).
47
Al-qatib,Ushul…, hlm. 304. Asshalih, ‗Ulum…, hlm. 145. Baliq, Minjai…, hlm. 47. Al-Qasimy, Qawalid…,
hlm. 79. Ath-Thahhan, ibid., hlm. 34. Ranuwijaya, ibid., hlm. 155-157. Zufran, Kajian…, hlm. 34-35. Fatchurahman,
Ihtisar…, hlm. 95.
29
Modul Materi: Ulumul Hadits
perawinya, sehingga nilainya hanya sampai pada tingkatan hadits Lidzath. Akan tetapi
hadit tersebut dikuatkan oleh keterangan lain. Baik berupa syahih maupun muttabi‘ (
matan atau sanad lain) yang menguatkan kandungan mattannya, sehingga hadits tersebut
naik derajatnya setingkat lebih tinggi menjadi shahih lighairih.48

B. Kriteria-kriteria Haditst Shahih


1. Kesinambungan periwayatan (ittishal al-sanad)
Kriteria ini merupakan faktor utama yang paling menentukan keshahihan sebuah
Haditst. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bila mata rantai periwayatan (sanad)
sebuah Haditst terputus, maka kriteria-kriteria Haditst shahih lainnya gugur dengan sendirinya
alias kualitas Haditst tersebut sangat diragukan. Oleh karena itu, perhatian para sarjana muslim
klasik lebihtertuju pada kesinambungan atau keterputusan mata rantai periwayatan (sanad) ini.
Bila kriteria Ittishal Al-Sanad ini tidak terpenuhi, maka sebuah Haditst dinyatakan tidak
shahih dan kualitasnya bisa berubah menjadi Haditst muntaqi, mursal, mu‘dal, mu‘allaq,
mudallas, dan mursal khafi.
2. Periwayat harus adil (adalah al-ruwat)
Kriteria ini lebih menekankan pada aspek moralitas seorang periwayat, ialah beragama
islam, (bukan orang munafik), mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara
murti‘ah. Bila criteria adalah al-ruwat ini tidak terpenuhi,maka sebuah Haditst dinyatakan tidak
shahih dan kualitasnya bisa berubah menjadi Haditst Maudlu‘‘, matruk, dan matruh.
3. Semua periwayat harus kuat ingatan (dabt al-ruwat)
Aspek ini menekankan pada aspek intelektualitasnya.bila criteria ini tidak terpenuhi,
maka sebuah Haditst dinyatakan tidak shahih dan kualitasnya bisa berubah menjadi Haditst
dhoif, munkar, mudtarib, mushhaf, maqlub, dan mudraj.
4. Isnad dan matan harus bebas dari kejanggalan (shadh)
Definisi shadh adalah periwayat tshiqah meriwayatkan sebuah Haditst yang
bertentangan dengan riwayat periwayat yang lebih tshiqah darinya. Selanjutnya ia membagi
shadh menjadi dua yaitu sering dan jarang. Nah, yang jarang inilah yang dimaksud shadh disini.
Shadh bisa terjadi pada sanad dan matan. Sebab, pelacakan shadh dalam isnad dan matan
Haditst melalui proses perbadingan sejumlah Haditst dengan meneliti sanad-sanad para
periwayat thiqah. Orang yang hanya menguasai dan hafal sedikit Haditst tentu tidak bisa
melakukannya.
Bila kriteria tidak terpenuhi, maka sebuah Haditst dinyatakan tidak shahih dan
kualitasnya bisa berubah menjadi Haditst shadh dan munkar.
5. Isnad dan matan harus bebas dari cacat („illah)
„illah adalah sebab yang tersembunyi yang dapat merusak, sementara pada lahirnya tampak
bebas darinya. Secara lebih lugas, misalnya ada sebuah Haditst yang sanad dan matannya yang
secara sekilas tampak tidak terbebas ‗illah, tetapi bila sanad dan matan Haditst tersebut diteliti
ulang lebih cermat lagi, maka ‗illahnya bisa ditemukan.perlu digaris bawahi bahwa ada terma
„illah yang digunakan dengan maksud yang berbeda dengan pengertian ‗illah disini, seperti
alnaskh yang menurut at-turmudzi adalah salah satu „illah dari sekian „illah-„illah Haditst dan
seperti penggunaan ‗illah untuk menunjukan suatu yang tidak dapat merusak kualitas Haditst.
Bila kriteria ini tidak terpenuhi, maka sebuah Haditst dinyatakan tidak shahih dan
kualitasnya bisa berubah menjadi Haditst mu‘allal.49
C. Kedudukan Haditst shohih dalam islam sebagaimana firman Allah SWT dalam (QS.Annisa :59)

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah swt dan rosul-Nya dan ulil amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur‟an) dan Rosul (Sunnah). Jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah Swt dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Dr. Muhammad Ajjaj Al-Khatib mengatakan bahwa kedudukan hadits dengan Al-
Qur‘an, dengan dalih keberadaannya merupakan wahyu dan hukumannya wajib untuk

48
Al-qatib, ibid., hlm. 306.
49
Lilis gianisa, kriteria-kriteria hadist shahih, 2013, http://blogsport.com/html.
30
Modul Materi: Ulumul Hadits
diamalkan isinya juga karena fungsi hadits adalah sebagai penjelas dari isi Al-Qur‘an sendiri,
maka tidak mungkin memahami Al-Qur‘an tanpa adanya hadits disampingnya. 50

PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah hadits shahih merupakan bagian hadits ahad maqbul dilihat dari segi kualitasnya.
Para ulama berbedapendapat dalam merumuskan definisinya, namun beberapa definisi itu
dirumuskan bahwa bahwa hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya.
Diriwayatkan oleh orang-orang adil, kuat ingatannya, serta terhindar dari kejanggalan-
kejanggalan dan „Illat.51
Hadits Shahih terbagi dua ;
1. Hadits Shahih Lidzatih yaitu hadits shahih dengan sendirinya.
2. Hadits Shahih Lighairih yaitu hadits yang keshahihannya dibantu oleh adanya
keterangan lain.
Pada mulanya hadits ini memiliki kelemahan pada aspek ke-dhabith-an perawinya,
sehingga nilainya hanya sampai pada tingkatan hadits Lidzath. Akan tetapi hadit tersebut
dikuatkan oleh keterangan lain. Baik berupa syahih maupun muttabi‘ ( matan atau sanad
lain) yang menguatkan kandungan mattannya, sehingga hadits tersebut naik derajatnya
setingkat lebih tinggi menjadi shahih lighairih.52

DAFTAR PUSTAKA
1. Ismail, Syuhudi. 1998.‖ Kaidah Ksahihan Sanad Hadits”.Jakarta: Bulan Bintang,
2. Ash-Ahidieeqi,Hasbi.1989.‖Al-Qur‟an dan terjemahnya:.Jakarta. Departemen Agama RI
3. Gianisa,Lilis.2013.‖kriteria-kriteria Haditst shahih‖ , http://blogsport.com/html.
4. Slideshare, Kedudukan Hadits terhadap hukum islam, 2013 , http ://slideshare.net//html

50
Slideshare, Kedudukan Hadits terhadap hukum islam, 2013 , http ://slideshare.net//html
51
Al-qatib,Ushul…, hlm. 304. Asshalih, ‗Ulum…, hlm. 145. Baliq, Minjai…, hlm. 47. Al-Qasimy, Qawalid…,
hlm. 79. Ath-Thahhan, ibid., hlm. 34. Ranuwijaya, ibid., hlm. 155-157. Zufran, Kajian…, hlm. 34-35. Fatchurahman,
Ihtisar…, hlm. 95.
52
Al-qatib, ibid., hlm. 306.
31
Modul Materi: Ulumul Hadits
TEMA 7
Hadits Hasan.
POKOK-POKOK PEMBAHASAN:
1. Pengertian hadits hasan
2. Syarat – syarat hadits hasan
3. Pembagian hadits hasan
4. Kedudukan hadits hasan dalam islam

__________________________________________________________________________________

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata hadits seringkali disebut juga dengan istilah khabar atau sunnah. Hadits atau Sunnah
merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Alqur‘an. Keduanya merupakan pedoman hidup
yang mengatur segala tingkah laku dan perbuatan manusia. Al-Qur‘an mempunyai kedudukan
sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya, sedangkan hadits Nabi belum dapat
dipertanggungjawabkan periwayatannya, apakah berasal dari Nabi atau tidak.
Hadits mempunyai fungsi penting dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur‘an, baik ayat
Muhkamat maupun Mutasyabihat, Sehingga hadits sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran
umat Islam dalam mempelajari / mendalami ajaran-ajaran agama Islam.
Dalam hadits ada yang dalam periwatannya telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk
diterimanya sebagai sebuah hadits atau yang dikenal dengan hadits maqbul (diterima). Namun disisi
lain terdapat hadits-hadits yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau
lebih dikenal dengan istilah hadits mardud (ditolak) atau bahkan ada yang palsu (Maudlu‘‘), hal ini
dihasilkan setelah melakukan pemyelidikan, pemeriksaan dan penelitian yang seksama tentang para
rawinya serta segi-segi lainnya untuk menentukan diterima atau ditolaknya hadits tersebut.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan hadits
Rasulullah. Berbagai macam hadits yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan.
berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadits baik dari segi putusnya Sanad dan tumpang
tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadits.

PEMBAHASAN
A. Pengertian Haditst Hasan
Hasan, menurut lughot adalah adalah sifat musybahah dari al-husna. Artinya bagus,
sedangkan secara istilah, hadits hasan didefinisikan secara beragam oleh ahli Hadits, sebagai
berikut :
1. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani
‫س يعهم ٔال شا ذ‬ٛ‫َٔخبساألحاد بُقم عدل تاو انضبط يتصم انسُد غ‬
‖khabar ahad yang di nukil oleh orang yang adil, kurang sempurna hafalannya , bersambung
sanad nya , tidak cacat,syadz”.
2. Menurut Imam at-Tirmidzi
‫س ٔجّ َحٕ ذانك‬ٛ‫سٖٔ يٍ غ‬ٚٔ ‫ث شا ًّّذا‬ٚ‫كٌٕ انحد‬ٚ ‫ّتّٓى بانكرب ٔال‬ٚ ٍ‫كٕ ٌ فٗ إسُا دِ ي‬ٚ ‫سٖٔ ال‬ٚ ‫ث‬ٚ‫كم حد‬
“Tiap-tiap hadits yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, pada
matannya tidak terdapat keganjalan, dan hadits itu diriwayatkan tidak hanya dengan satu
jalan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan dengannya”

Definisi hadits hasan menurut at-Tirmidzi ini terlihat kurang jelas, sebab bisa jadi hadits
yang perawinya tidak tertuduh dusta dan juga hadits gharib, sekalipun pada hakikatnya berstatus
hasan. Tidak dapat dirumuskan dalam definisi ini sebab dalam definisi tersebut disyariatkan tidak
hanya melalui satu jalan periwayatan (mempunyai banyak jalan periwayatan). Meskipun demikian,
melalui definisi ini at-Tirmidzi tidak bermaksud menyamakan hadits hasan dengan hadits shahih,
sebab justru at-Tirmidzilah yang mula-mula memunculkan istilah hadits hasan ini.

32
Modul Materi: Ulumul Hadits
3. Menurut At-Thibi
.‫س ٔجّ ٔسهى يٍ شدٔ ٍذ ا ٔال عهت‬ٛ‫يسُد يٍ قسب يٍ دزجت انثقت أٔ يسسم ثقت ٔزٔ٘ كال ًْا يٍ غ‬
“Hadits musnad (muttasil dan marfu‟) yang sanad-sanadnya mendekati derajat tsiqah. Atau
hadits mursal yang sanad-sanadnya tsiqah, tetapi pada keduanya ada perawi lain, dan hadits
itu terhindar dari syadz ( kejanggalan ) dan illat (kekacauan)”.[53]

Dengan kata lain hadits hasan adalah :


.‫ْٕ يا اتصم سُدِ بُقم انعدل انرٖ قم ضبطّ ٔ خال يٍ انشّرٔذ ٔانعهت‬
“Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang
sedikit ke-dhabit-annya, tidak ada keganjilan (syadz) dan tidak ada illat.‖[54]

Untuk membedakan Hadits hasan dengan Hadits shahih, kita harus mengetahui batasan dari
ke dua Hadits tersebut. Batasannya adalah keadilan pada Hadits hasan di sandang oleh orang yang
tidak begitu kuat ingatannya , sedangkan pada Hadits shahih terdapat rawi-rawi yang benar-benar
kuat ingatannya. Akan tetapi keduanya bebas dari keganjilan dan penyakit. Keduanya bisa di
gunakan sebagai hujjah dan kandungannya dapat di jadikan penguat.

B. Syarat-syarat Hadits Hasan


Syarat-syarat Hadits hasan ada lima , yaitu
1. Muttasil sanadnya
2. Rawinya adil
3. Rawinya dhabith (Kedhabitan rawi disini tingkatannya dibawah kedhabitan rawi hadits
shahih, yakni kurang sempurna kedhabitannya)
4. Tidak temasuk hadits syadz
5. Tidak terdapat illat (cacat)

C. Klasifikasi Hadits Hasan


Sebagaimana hadits shahih, hadits hasan pun terbagi atas hasan li dzatih dan hasan li
ghairih, yaitu sebagai berikut:
a. Hadits Hasan lidzatihi
Hadits yang memenuhi segala syarta-syarat Hadits hasan disebut Hadits hasan li dzatih.
Syarat untuk Hadits hasan adalah sebagaimana syarat Hadits shahih, kecuali bahwa para perawinya
hanya termasuk kelompok keempat (shaduq)atau istilah lain yang setaraf atau sama dengan
tingkatan tersebut.
Sebuah hadits dikategorikan sebagai hasan li dzatihi karena jalur periwayatannya, hanya
melalui satu jalur periwayatan saja. Sementara hadits hasan pada umumnya, ada kemungkinan
melalui jalur riwayat yang lebih dari satu. Atau didukung dengan riwayat yang lainnya. Bila hadits
hasan ini jumlah jalur riwayatnya hanya satu, maka hadits hasan itu disebut dengan hadits hasan li
dzatihi.
Sebagai contoh hadits Hasan Lidzatihii :
Diriwayatkan oleh At-Tirmizi, dia berkata: telah bercerita kepada kami Qutaibah, telah bercerita
kepada kami Ja‘far bin Sulaiman Ad-Dhab‘I, dari Abi Imran Al-Jauni, dari Abu Bakar bin Abu
Musa Al-Asy‘ari, dia berkata,‖ Aku telah mendengar ayahku berkata dihadapan musuh, Rasulullah
bersabda:
ٙ‫ٖ قال سًعت أب‬ّ ‫ يٕسٗ اال شعس‬ٙ‫ بكس بٍ اب‬ٙ‫ عٍ اب‬ّٙ َٕ‫ عًساٌ انج‬ٙ‫ عٍ اب‬ٙ‫انضبع‬
ٌّ ٌ‫ًا‬ٛ‫بت حدثُا جعفس بٍ سه‬ٛ‫حدثُا قت‬
ّ
‫ٕف‬ٛ‫ إٌّ ابٕاب انجُت تحت ظالل انس‬:‫ّ ٔسهى‬ٛ‫ قال زسٕل هللا صهٗ هللا عه‬:‫قٕل‬ٚ ِّٔ ‫بحضسة انعد‬
“......dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy‟ari, (berkata), saya mendengar ayahku ketika berada
dihadapan musuh berkata, Rasulullah saw. Bersabda: „sesungguhnya pintu-pintu surga berada
dibawah bayang-bayang pedang‟.” (HR. al-Tirmidzi)

b. Hadits Hasan Li Ghairihi


Adapun hasan li ghairihi adalah Hadits dla‟if yang bukan di karenakan rawinya
pelupa,banyak salah dan orang fasik,yang mempunyai mutabi‟ dan syahid . akan tetapi Hadits
dla‟if yang yang karena rawinya buruk hafalannya (su‟u al-hifdzi). tidak di kenal identitasnya

53
Syaikh Manna‘ Al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar), 2005, 121
54
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits,(Bogor: Ghalia Indonesia,2002), 114
33
Modul Materi: Ulumul Hadits
(mattur) dan mudallis (menyembunyikan cacat) dapat naik derajatnya menjadi Hadits hasan li
ghairihi karena di bantu oleh Hadits-Hadits lain yang semisal dan semakna atau karena banyak
rawi yang meriwayatkannya.
Contoh hadits hasan li ghairihi
Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Al-Turmudzi dan dia menilainya hasan, dari riwayat
Syu‘bah dari ‗Asim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amir bin Rabi‘ah dari ayahnya, berbunyi
sebagai berikut:
َ َ‫ فَص‬َُِٙ‫ أٌَ ا ْي َسأَةًّ ِيٍْ ب‬: ِّ ِٛ‫ عٍَْ أَب‬، َ‫ َعت‬ِٛ‫س ًِعْتُ َع ْب َد هللاِ بٍَْ عَا ِي ِس ْب ٍِ َزب‬
َٗ‫ازةَ تَصَٔ َجتْ َعه‬ ِ ‫ عٍَْ ع‬، ُ‫ش ْعبَت‬
َ ‫ قَال‬، ِ‫ ِد هللا‬ْٛ َ‫َاص ِى ْب ٍِ ُعب‬ ُ ‫َحدثََُا‬
َ َ َ َ
ِ‫(زٔا‬. ُِ َ‫ فأ َجاش‬: ‫ قا َل‬. ‫ ََ َع ْى‬: ْ‫ ٍِ ؟" قانَت‬ْٛ َ‫س ِك َٔ َيانِ ِك بَُِ ْعه‬ ْ
ِ ‫ت ِيٍْ ََف‬ ِ ٛ‫ض‬ َ
ِ ‫" أ َز‬: ‫سه َى‬ َ َٔ ِّ ْٛ َ‫صهٗ هللاُ َعه‬َ ِ‫سٕ ُل هللا‬ َ
ُ ‫ فقَا َل َز‬. ٍِ ْٛ َ‫ََ ْعه‬
)٘‫انتسير‬
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu‟bah dari „ashim bin „Ubaidillah,dari Abdillah bin
Amir bin Rabi‟ah, dari ayahnya bahwasanya seorang perempuan dari bani Fazarah menikah
dengan mahar sepasang sandal…”

Al-Turmudzi mengomentari bahwa hadits itu terdapat riwayat-riwayat lain, yaitu dari
Umar, Abu Hurairah, Aisyah dan Abu Hadrad. Dalam hal ini Al-Turmudzi menilai hadits tersebut
hasan, karena meskipun ‗Asim dalam sanad hadits yang diriwayatkannya itu dla‘if karena jelek
hafalannya, hadits ini didukung oleh adanya riwayat-riwayat lain. [55]

c. Kedudukan Hadits Hasan dan Hadits Shahih dalam Berhujjah


Hadits hasan sama seperti hadits shahih dalam pemakaiannya sebagai hujjah, walaupun
kekuatannya lebih rendah dibawah hadits shahih.[56] Hanya saja, jika terjadi pertentangan antara
hadits shahih dengan hadits hasan, maka harus mendahulukan hadits shahih, karena tingkat
kualitas hadits hasan berada dibawah hadits shahih. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari
dimensi kesempurnaan kedhabitan rawi-rawi hadits hasan, yang tidak seoptimal kesempurnaan
kedhabithan rawi-rawi hadits shahih.[57]
Kebanyakan ulama ahli hadits dan fuqaha bersepakat untuk menggunakan Hadits shahih
dan Hadits hasan sebagai hujjah . di sampin itu, ada ulama yang mensyaratkan bahwa Hadits hasan
dapat di gunakan sebagai hujjah, bilamana memenuhi sifat-sifat yang dapat di terima. Pendapat
terakhir ini memerlukan peninjauan yang seksama. Sebab, sifat-sifat yang dapat di terima itu ada
yang tinggi dan menengah adalah Hadits shahih,sedangkan Hadits yang sifat dapat di terimanya
rendah adalah Hadits hasan.
Hadits-Hadits yang mempunyai sifat dapat di terima sebagai hujjah disebut sebagai Hadits
maqbul dan Hadits yang tidak mempunyai sifat-sifat yang dapat dierima di sebut Hadits mardud.
Yang termasuk Hadits maqbul adalah:
1. Hadits shahih, baik shahih li dzatihi maupun shahih li gairih
2. Hadits hasan, baik hasan li dzatihi maupun hasan li ghairih.

Yang termasuk Hadits mardud adalah segala macam Hadits dla‟if. Hadits mardud tidak dapat di
terima sebagai hujjah karena terdapat sifat-sifat tercela pada rawi-rawinya atau pada sanadnya.

d. Kitab-kitab yang mengandung Hadits Hasan


Diantara Kitab-kitab Hadits yang mengandung konten Hadits Hasan yaitu berikut ini:
1. Jami‘ At-Tirmidzi, dikenal dengan sunan at-tirmidzi, merupakan sumber untuk
mengetahui Hadits Hasan.
2. Sunan Abu Dawud
3. Sunan Ad-Daruquthi

KESIMPULAN
Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang
sedikit ke-dhabit-annya, tidak ada keganjilan (syadz) dan tidak ada „illat.
Hadits Hasan terbagi menjadi dua macam, yaitu Hadits Hasan Li Dzatihi dan Hadits Hasan
Li Ghairihi. Adapun syarat-syarat hads hasan adalah, Sanad Hadits harus bersambung, Perawinya
adil, Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki

55
M. Solahuddin & Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung, Pustaka Setia, 2011), 145-146
56
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits,…114
57
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits,…115
34
Modul Materi: Ulumul Hadits
oleh perawi Hadits shahih, Hadits yang diriwayatkan tersebut tidak syadz, Hadits yang diriwayatkan
terhindar dari illat.
Sedangkan dalam kedudukan nya menjadi hujjah Hadits hasan sama seperti hadits shahih
dalam pemakaiannya dapat dijadikan sebagai hujjah, walaupun kekuatannya lebih rendah dibawah
hadits shahih.
Adapun kitab-kitab yang memuat Hadits hasan yaitu; Sunan At-Tirmidzy, Sunan Abu Daud, Sunan
ad-Daruquthny.

DAFTAR PUSTAKA
1. M. Solahuddin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung, Pustaka Setia, 2011
2. Imam Abdina, gudang makalah (http://ab-dina.blogspot.co.id/2012/10/hadits-hasan.html)

35
Modul Materi: Ulumul Hadits
TEMA 8
Hadits Dla‘if.
POKOK-POKOK PEMBAHASAN:
1. Pengertian hadits dla‘if
2. Macam – macam hadits dla‘if
3. Kedudukan hadits dla‘if dalam islam

__________________________________________________________________________________

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu hadits adalah ilmu yang sangat rumit dan menyisakan banyak problematika ditengah-
tengah umat, juga merupakan bagian dari ilmu yang harus diketahui dan dipelajari oleh segenap
kaum muslim, karena dewasa ini banyak kita temukan sekelompok orang yang tidak bisa dikatakan
kredibel dalam bidang ilmu ini dengan sangat yakin melontarkan hadits demi hadits untuk
menjustifikasi apa yang dia lihat tanpa memperhatikan aspek apa saja yang harus dilalui. Seperti
halnya bagian dari pembahasan yang ada di dalam ilmu hadits ini, yaitu hadits dha‟if, banyak di
antara aliran kepercayaan yang tanpa ―tedeng aling-aling‖ melontarkan pernyataan bahwa
hadits dha‟if tidak bisa dijadikan hujjah, apapun bentuknya dan apapun kasusnya. Maka dari itu,
sangat penting untuk mempelajari hadits dha‟if agar tidak mudah terjebak dengan pemahaman-
pemahaman yang penuh dengan pertentangan menurut disiplinnya.

PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HADITST DLA’IF
Hadits dla‘if adalah bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dla‘if berarti lemah, lawan
dari al-qawi yang berarti kuat. Kelemahan hadits dla‘if ini karena sanad dan matannya tidak
memenuhi kriteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Menurut istilah, hadits dla‘if adalah
hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan. Jadi, hadits dla‘if adalah hadits yang
tidak memuhi sebagian atau semua persyaratan hadits hasan atau shahih, misalnya sanadnya tidak
bersambung (muttasil) , para perawinya tidak adil dan tidak dhabit, terjadi keganjilan, baik dalam
sanad atau matan (syadz), dan terjadinya cacat yang tersembunyi(‗illat) pada sanad atau matan.
Contoh hadits dla‘if yaitu, hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi melalui jalan Hakim Al-
Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‗alaihi wa sallam
bersabda yang artinya, ― Barang siapa yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi (haid) atau
pada seorang wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah
mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‗alaihi wa sallam.‖
Dalam sanad hadits tersebut terdapat seorang dla‘if, yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai
dla‘if oleh para ulama.58

B. MACAM-MACAM HADITS DLA’IF


1. Dla’if dari segi sanad atau gugurnya rawi dalam sanad.
Hadits dla‘if karena gugurnya rawi dalam sanad adalah tidak ada satu, dua atau beberapa
rawi, yang seharusnya ada dalam sanad, baik para permulaan sanad, pertengahan ataupun akhirnya.
Bagian-bagian dari gugurnya rawi dalam segi sanad yaitu:
a. Hadits Mursal
Hadits Mursal adalah hadits yang diriwayatkan oleh tabi‘in dari Nabi, baik dari perkataan,
perbuatan, atau persetujuan tanpa menyebutkan penghubung antara seorang tabi‘in dan Nabi
Shallallahu ‗alaihi wa sallam yaitu seorang sahabat.
Contoh hadits mursal, misalnya: Ibnu Sa‘ad berkata dalam Thabaqatnya:
Memberitakan kepada kami Waki‟ bin al-Jarrah, memberitakan kepada kami Al-A‟masy dari Abu
Shalih berkata: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda yang artinya “ Wahai manusia
sesungguhnya aku sebagai rahmat yang dihadiahkan.”

58
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2013),p.184-185
36
Modul Materi: Ulumul Hadits
Abu Shalih As-Saman Az-Zayyatseorang Tabi‘in, ia menyandarkan berita hadits tersebut
dari Nabi tanpa menjelasakn perantara sahabat yang menghubungkannya kepada Rasulullah
Shallallahu ‗alaihi wa sallam.59
b. Hadits Munqathi’
Hadits munqathi‘ adalah hadits yang sanadnya terputus, artinya seorang perawi tidak
bertemu langsung dengan pembawa berita, baik diawal, ditengah atau diakhir sanad, maka masuk
didalamnya hadits mursal, mu‘allaq, dan mu‘dhal. Contoh hadits munqathi‘:
Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim, Ahmad, dan Al-Bazzar dari Abdul Razzaq dari
Ats-Tsauri dari Abu Ishaq dari Zaid bin Yutsai‟ dari Hudzaifah secara marfu‟ yang artinya, “ Jika
engkau serahkan kekuasaan kepada Abu Bakr, dia adalah lelaki yang kuat dan tepercaya.”
Pada sanad hadits diatas ada seorang perawi yang digugurkan, yaitu Syarik yang semestinya
menempati posisi antara Ats-Tsauri dan Abu ishaq. Ats-Tsauru menerima hadits bukan dari Abu
Ishaq secara langsung, tetapi dari Syarik dan Syarik mendengarnya dari Abu Ishaq.
c. Hadits Mu’dhal
Hadits mu‘dal adalah hadits yang gugurnya dua orang perawi terjadi berturut-turut.60
Sebagai contoh hadits mu‘dhal:
Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Ma‟rifah Ulum Al-Hadits yang disan
darkan kepada Al-Qo‟nabi dari Malik telah sampai kepadanya bahwa Abu Hurairah berkata:
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “ Bagi budak mendapat makanan
dan pakaian, ia tidak boleh dibebani kecuali pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan.”
Hadits tersebut mu‘dal karena digugurkan dua orang perawi secara berturut-turut antara
Malik dan Abu Hurairah, yaitu Muhammad bin Ajlan dan ayahnya.
d. Hadits Mu’allaq
Hadits Mu‘allaq adalah hadits yang sanadnya bergantung karena dibuang dari awal sanad
seorang perawi atau lebih secara berturut-turut. Dengan demikian hadits mu‘allaq bisa jadi yang
dibuang semua sanad dari awal sampai akhir. Diantara contoh hadits mu‘allaq:
Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori berkata: berkata: memberitakan kepadaku Zaid
bin Aslam, bahwa Atha‟ bin Yasar memberitahukan kepadanya, bahwa Abu Said Al-Khudri
memberitakan kepadanya, bahwa ia mendengar dari Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda yang artinya, “ Jika hamba telah masuk islam, kemudian baik islamnya , maka Allah
menghapus daripadanya segala kejahatan yang telah lewat. Setelah itu diadakan pembalasan
amal, satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali persamaannya sampai seratus kali lipat,
sedangkan kejahatan dibalas dengan sesamanya, kecuali Allah mengampuninya.”
Hadits diatas mu‘allaq karena Al-Bukhari menggugurkan syaikhnya sebagai penghubung
dari Malik dengan menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma‟lum) yang meyakinkan, yaitu : ‫ قثل‬:
‫ = يثنك قثل‬Ia berkata : Malik berkata...

2. Dla’if dari segi cacat pada rawi atau matan


Hadits yang cacat pada rawi atau matannya, atau kedua-duanya digolongkan hadits dla‘if.
Ada berbagai macam cacat yang dapat menimpa para rawi atau matannya, diantaranya pendusta,
pernah berdusta, fasiq, dan tidak dikenal atau berbuat bid‘ah. Bagian-bagian hadits dla‘if dari segi
cacat pada rawi atau matan yaitu;
a. Hadits Munkar
Hadits munkar adalah hadits yang menolak karena adanya periwayat hadits yang sangat
lemah daya ingatannya sehingga periwayatannya menyendiri, tidak sama dengan periwayatan orang
tsiqah. Seperti contoh hadits munkar:
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui Usamah bin Zaid Al-
Madani dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin „Auf dari ayahnya secara
marfu‟: yang artinya,“ Seorang puasa Ramadhan dalam perjalanan seperti seorang berbuka dalam
tempat tinggalnya.”
Hadits diatas munkar karena periwayatan Usamah bin Zaid Al-Madani secara marfu‘ (dari
Rasulullah Shallallahu ‗alaihi wa sallam), bertentangan periwayatan Ibnu Abi Dzi‘bin yang tsiqah,
menurutnya hadits diatas mauquf pada Abdurrahman bin ‗Auf.61

59
Ibid.,p. 191-192
60
Sohari Sahrani, Ulumu Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010),p.121
61
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2013),p.212
37
Modul Materi: Ulumul Hadits
b. Hadits Mu’allal
Hadits mu‘allal adalah adanya cacat yang tersembunyi dan cacat itu mengurangi atau
menghilangkan keshahihan suatu hadits.
Contoh hadits mu‘allal:
Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Abu Dawud, dari Qutaibah bin Sa‟id,
memberitakan kepada kami Abdusslam bin Harb Al-Mala‟i dari Al-A‟masy dari Anas berkata:
yang artinya, “ Adalah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam ketika hendak hajat tidak mengangkat
kainnya sehingga dekat dengan tanah.”
Hadits diatas lahirnya shahih karena semua perawi dalam sanad tsiqah, tetapi Al-A‘masy
tidak mendengar dari Anas bin Malik. Ibnu Al-Madini mengatakan bahwa Al-A‘masy tidak
mendengar dari Anas bin Malik. Dia melihatnya di Mekah shalat dibelakang Maqam Ibrahim.
c. Hadits Mudraj
Hadits mudraj adalah hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian hadits
itu. Contoh hadits mudraj; Seperti kisahnya Tsabit bin Musa ketika bertamu pada Syarik bin
Abdullah Al-Qadhi yang sedang menyampaikan periwayatan sanad hadits dengan imlak (dikte).
“Memberitakan kepada kami Al-A‟masy dari Abu Sufyan dari Jabir dari Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam... ia diam sejenak...karena Tsabit bin Musa datang. Kemudian ia
berkata: yang artinya, “ Barang siapa uang banyak shalat pada malam harinya, maka berseri-seri
wajahnya pada siang harinya.”
Tsabit menduga bahwa ungkapan tersebut adalah matan dari sanad hadits yang diditekan
kepadanya, kemudian ia meriwayatkannya.
d. Hadits Syadzdz
Hadits syadzdz adalah hadits yang ganjil, karena hanya dia sendiri yang rmeriwayatkannya
atau periwayatannya menyalahi periwayatan orang tsiqah atau yang lebih tsiqah. Sebagai contoh
hadits syadzdz:
Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan At-Tirmidzi melalui Abdul Wahid bin Zayyad
dari Al-A‟masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah secara marfu‟ (Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda): yang artinya, “ Jika telah shalat dua raka”at Fajar salah seorang diantara
kamu, hendaklah tiduran pada lambung kanan.”
Al-Baihaqi berkata: Periwayatan Abdul Wahid bin Zayyad adalah syadzdz karena
menyalahi mayoritas perawi yang meriwayatkan dari segi perbuatan Nabi, bukan sabda beliau.
Abdul Wahid menyendiri diantara para perawi tsiqah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Al-
Bukhari dari Aisyah: yang artinya, ― Nabi Shallallahu ‗alaihi wa sallam ketika telah melaksanakan
shalat dua raka‘at fajar (qobliyat ash-shubuh) tiduran pada lambung sebelah kanan‖.62

C. KEDUDUKAN HADITS DLA’IF DALAM ISLAM


Hadits merupakan sumber hukum dalam Islam itu terbagi kepada Hadits sahih, hasan, dan
dla‘if (lemah). Ulama Islam menerima semua Hadits sahih dan hasan, dan para ulama Islam tidak
menolak seluruh Hadits dla‘if. Tapi, para ulama Islam menolak semua Hadits yang sangat lemah
dan Hadits palsu (mudhu). Kedudukan Hadits dla‘if ini perlu dibahas, agar kita tidak mudah
menuduh amalan sebagian umat Islam itu masuk dalam lingkaran bidah (terlarang).
Pengamalan hadits Dla‘if. Mayoritas ulama Hadits dan ulama fiqh menggunakan hadits
dla‘if, selain dalam masalah akidah dan penetapan hukum halal dan haram. Tapi, sebagian ulama
Hadits juga ada menggunakan Hadits dla‘if dalam menetapkan hukum, jika tidak ada lagi Hadits
sahih atau hasan.
Namun begitu, hadits itu tidak sangat lemah, dan Hadits dla‘if itu mendapat dukungan dari
dalil umum, dan juga tidak diyakini pernyataan hadits itu suatu yang pasti dari Rasulullah SAW
(Abu Zakaria al-Nawawi: al-Azkar:1/5).
Penggunaan ulama Hadits dan fiqh akan Hadits dla‘if itu bisa dilihat dalam sikap mereka
menerima Hadits mursal, yaitu Hadits dari riwayat tabiin (generasi setelah sahabat Nabi) tanpa
menyebutkan sahabat. Dan menurut mereka penggunaan Hadits dla‘if itu lebih utama daripada
menggunakan pendapat akal semata. Bahkan, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan, sikap
ini merupakan pendapat mayoritas ulama (Ibnu Qayyim al-Jauziyah: Ilam al-
Muwaqqiin:1/31). Misalnya, Imam Abu Hanifah memakai hadits dla‘if yang menyatakan mahar itu
tidak boleh kurang dari 10 dirham. Imam malik memakai hadits dla‘if dengan sanad Abdullah bin

62
Ibid.,p.213-224
38
Modul Materi: Ulumul Hadits
Azam pada larangan memegang Al-Qur‘an tanpa bersuci. Imam al-Syafii memakai hadits dla‘if
kebolehan salat di Makkah pada waktu terlarang. Imam Ahmad bin Hanbal memakai hadits dla‘if
yang menyatakan tiada salat bagi jiran masjid kecuali di masjid. Bahkan, para ulama juga sepakat
menerima hadits dla‘if, apabila Hadits itu diterima oleh mayoritas umat Islam. Diantaranya, umat
Islam sepakat menerima Hadits dla‘if yang menyatakan tidak boleh memberikan wasiat kepada ahli
waris.
Perlu diketahui, pernyataan Imam Ahmad bin Hanbal bahwa Hadits dla‘if lebih utama dari
pendapat akal itu adalah Hadits dla‘if menurut penilaian ulama Hadits. Bukan seperti dugaan Imam
Ibnu Taimiyah bahwa hadits dla‘if menurut Imam Ahmad itu adalah hadits hasan (Ibnu
Taimiyah:Majmu al-Fatawa:1/251). Pernyataan Imam Ibnu Taimiyah ini tidak bisa diterima, karena
853 Hadits dla‘if yang terdapat dalam Musnad Imam Ahmad itu bukan Hadits hasan.
Berdoa Setelah Salat, Menanggapi masalah ini, Rasulullah SAW dalam sebuah Hadits
hasan, menyatakan doa yang didengar Allah SWT itu adalah doa di akhir malam, dan doa setelah
selesai salat wajib. (HR. al-Tirmizi). Rasulullah SAW juga mengatakan, salat malam itu dua rakaat,
baca tasyahhud pada tiap dua rakaat, tenang saat berdoa, dan angkat tanganmu (HR. Abu
Dawud). Perintah mengangkat tangan ketika berdoa itu sebagai dalil bahwa waktu berdoa itu
setelah selesai salat.
Karena berdoa ketika salat tidak ada mengangkat tangan (Muhammad Hasyim al-Tattawi al-
Sindi: al-Tuhfah al-Marghubah). Namun begitu, Mufti Arab Saudi, Syaikh Abdul Aziz bin Baz
mengatakan bahwa berdoa dengan mengangkat tangan setelah salat wajib itu adalah bidah dan
perkara mungkar (Ibnu Baz: Fatawa Nur Ala al-Darb:2/1079). Begitu juga fatwa Syaikh al-
Utsaimin (Majmu Fatawa al-Utsaimin:13/389). Tapi, ulama hadits, Syaikh al-Mubarakfuri
menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat menanggapi masalah berdoa mengangkat tangan
setelah salat wajib, atau imam membaca doa dan jamaah di belakang mengaminkannya.
Ada ulama yang melarang, dan ada pula yang membolehkannya. Ulama yang
membolehkannya berdalil dengan Hadits Abu Hurairah yang mengatakan bahwa setelah salam,
Rasulullah SAW menghadap kiblat, mengangkat tangan dan berdoa. Hadits Abdullah al-Zubair
mengatakan, Rasulullah SAW mengangkat tangannya setelah selesai salat. Hadits Anas bin Malik,
Rasulullah SAW mengatakan bahwa Allah SWT mengabulkan doa hamba-Nya yang mengangkat
tangannya berdoa setelah selesai solat. Kemudian, tidak ada larangan mengangkat tangan berdoa
setelah salat wajib, bahkan banyak Hadits yang mendukung amalan itu, sekalipun haditsnya dla‘if.
Maka, mengangkat tangan berdoa setelah salat wajib itu bukan perkara bidah (Abdul Rahman al-
Mubarakfuri: Tuhfah al-Ahwazi: 2/200).
Bahkan, ulama fiqh pula berdalil dengan keumuman pernyataan Rasulullah SAW, bahwa
tidak berkumpul kaum muslimin, sebagian berdoa, dan yang lain mengaminkan doanya, melainkan
Allah SWT mengabulkan doa mereka (HR. al-Hakim). Perawi Hadits ini terdiri dari perawi Hadits
sahih, kecuali Ibnu Lahiah yang tergolong perawi Hadits hasan. Dan perawi dari Ibnu Lahiah dalam
Hadits ini termasuk orang yang dipercaya, yaitu Abdullah bin Yazid al-Muqri (Ahmad al-Shiddiq
al-Ghumari: al-Minah al-Mathlubah). Pernyataan umum dalam hadits ini bisa dijadikan dalil
membolehkan imam membaca doa setelah salat wajib dan para jamaah di belakang
mengaminkannya. Jadi, tidak bisa secepatnya kita menuduh penggunaan Hadits dla‘if dan berdoa
berjamaah setelah salat wajib itu sebagai bidah terlarang. Karena, tidak mesti setiap masalah itu
harus ada dalil khusus dari Al-Qur‘an atau hadits yang membicarakannya. Tapi, bisa saja
menggunakan dalil umum yang tersebut dalam Al-Qur‘an atau Sunnah Nabi sebagai landasannya.
Begitu, diantara usaha ulama fiqh dalam mencari dalil menjawab berbagai persoalan. Kalau tidak
begitu, niscaya syariat Islam ini tidak akan sanggup lagi menjawab berbagai masalah baru di era
globalisasi ini.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits dla‘if adalah hadits yang tidak memuhi sebagian atau semua persyaratan hadits hasan
atau shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasil) , para perawinya tidak adil dan tidak
dhabit, terjadi keganjilan, baik dalam sanad atau matan (syadz), dan terjadinya cacat yang
tersembunyi(„illat) pada sanad atau matan. Adapun macam-macam Hadits dla‘if dibagi menjadi
dua, yaitu: Dla‘if dari segi sanad atau gugurnya rawi dalam sanad, dan dla‘if dari segi cacat pada
rawi atau matan.
Kedudukan Hadits dla‘if dalam islam ada yang menerima dan ada yang menolak. Yang
menerima Hadits dla‘if diantaranya: Imam Abu Hanifah, Imam Al-Syafi‘i, Imam Malik, dan Imam
39
Modul Materi: Ulumul Hadits
Ahmad bin Hanbal. Sedangkan yang menolak Hadits dla‘if diantaranya: yahya bin Ma‘in, Bukhari,
dan Muslim, Ibnul Arabi ulama fiqih dari mazhab Malikiyah, Abu Syamah Al-Maqdisi ulama dari
mazhab Syafi‘iyah dan Ibnu Hazm.
B. Saran
Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami dari penyusun makalah ini
sangat mengharapkan kritik, saran, dan masukan dari pembaca dan dosen pembimbing agar
makalah ini jadi lebih sempurna. Dan semoga makalah ini membawa manfaat dan Barokah bagi
para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
1. Khon, Abdul Majid. 2013. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.
2. Sahrami, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.
3. Syaikh, manna‘ Al-Qaththan. 2010. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jawa Timur: Maktabah
Wahbah.

40
Modul Materi: Ulumul Hadits
TEMA 9
Hadits Maudlu‘.
POKOK-POKOK PEMBAHASAN:
1. Pengertian hadits maudlu‘
2. Sebab – sebab munculnya hadits maudlu‘
3. Kriteria kepalsuan hadits
4. Kedudukan hadits maudlu‘

__________________________________________________________________________________

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Disamping Al-Qur‘an sebagai salah satu kajian rujukan yang amat penting bagi umat
islam, adalah Al-Sunnah sebagai sumber ke dua sebagai sumber rujukan sekaligus pedoman
petunjuk umat islam namun dalam kenyataannya Al-Sunnah tidak semua dipakai karena, Al-
Sunnah atau yang biasa disebut dengan al-hadits memiliki kriteria-kriteria khusus apabila hadits itu
sudah di pakai.
Hadits Maudlu‘ adalah hadits palsu yang akan kita pelajari lebih dalam tulisan ini, adapun
juga tentang sekelumit permasalahan tentang hadits Maudlu‘ dan perbedaan dengan hadits-hadits
lainnya.

PEMBAHASAAN
A. PENGERTIAN HADITST MAUDLU’
Haditst Maudlu‘ adalah Haditst buatan dan palsu yang dinisbatkan seakan-akan berasal dari
Nabi SAW. Haditst Maudlu‘ sering dimasukkan ke dalam jenis Haditst dla‘if yang disebabkan oleh
tidak terpenuhinnya syarat ke adilan periwayat, Sementara ada sebagian ulama yang tidak
memasukkan Haditst Maudlu‘ kedalam jenis Haditst dla‘if tetap merupakan bagian tersendiri.
Pengertian Haditst Maudlu‘ adalah Haditst yang disandarkan kepada RasulullahSAW,
dengan dusta dan tidak ada kaitanyang hakiki dengan Rasulullah. Bahkan, sebenarnya ia bukan
Haditst,hanya saja paraulma menamainya dengan Haditst mengingat adanya anggapan rawinya
bahwa hal itu adalah Haditst.63
Indikasi ke-Maudlu‘ an Haditst yang berkaitan dengan sanad:
1. Periwayatnya dikenal sebagai pendusta, dan tidak ada jalur lain yang periwayatnya
tsiqoh meriwayatkan Haditst itu.
2. Periwayatnya mengakui sendiri membuat Haditst tersebut.
3. Ditemukan indikasi yang semakna dengan pengakuan memalsukan Haditst seperti
seorang periwayat yang meriwayatkan Haditst dari orang yang dinyatakannya wafat
sebelum ia sendiri lahir.64

B. SEJARAH MUNCULNYA HADITST MAUDLU’


Masuknya secara missal penganut agama lain ke dalam Islam, yang merupakan akibat
dari keberhasilan dakwah Islamiyah ke seluruh pelosok dunia, secara tidak langsung menjadi factor
munculnya Haditst-Haditst palsu. Kita tidak bisa menafikkan bahwa masuknya mereka ke Islam, di
samping ada yang benar-benar ikhlas tertarik dengan ajaran Islam yang dibawa oleh para da‘i, ada
juga segolongan mereka yang menganut agama Islam hanya karena terpaksa tunduk pada
kekuasaan Islam pada waktu itu. Golongan ini kita kenal dengan kaum munafik.
Penyebaran Haditst Maudlu‘ pada masa pemerintahan Sayyidina Utsman bin Affan mulai
menaburkan benih-benih fitnah, tetapi pada masa ini belum begitu meluas karena masih banyak
sahabat ulama yang masih hidup dan mengetahui dengan penuh yakin akan kepalsuan suatu Haditst.

63
Nurrudin, Ulumul Hadis, Bandung, PT Remaja Rosdakarya,2012,hlm. 308
64
Kasman, HadistDalamPandangan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Mitra Pustaka. 2012, hlm.43
41
Modul Materi: Ulumul Hadits
Para sahabat ini mengetahui bahaya dari Haditst Maudlu‟ karena ada ancaman yang keras
dikeluarkan olen Nabi SAW terhadap orang yang memalsukan Haditst,65.
Adapun Faktor-faktor Penyebab Munculnya Haditst Maudlu’:
a. Pertentangan Politik dalam Soal Pemilihan Khalifah
Pertentangan di antara umat islam timbul setelah terjadinya pembunuhan terhadap khalifah
Utsman bin Affan oleh para pemberontak dan kekhalifahan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib.
Umat islam pada masa itu terpecah-belah menjadi beberapa golongan, seperti golongan
yang ingin menuntut bela terhadap kematian khalifah Utsman dan golongan yang mendukung
kekhalifahan Sayyidina Ali (Syi‘ah). Setelah perang Siffin, muncul pula beberapa golongan
lainnya, seperti Khawarij dan golongan pendukung Muawiyyah.
Di antara golongan-golongan tersebut, untuk mendukung golongannya masing-masing,
mereka membuat Haditst palsu. Yang pertama dan yang paling banyak membuat Haditst Maudlu‟
adalah dari golongan Syi‘ah dan Rafidhah.66
b. Asalnya Kesengajaan dari Pihak Lain untuk Merusak Ajaran Islam
Golongan ini adalah terdiri dari golongan Zindiq, Yahudi, Majusi, dan Nasrani yang
senantiasa menyimpan dendam terhadap agama islam. Mereka tidak mampu untuk melawan
kekuatan islam secara terbuka maka mereka mengambil jalan yang buruk ini. Mereka menciptakan
sejumlah besar Haditst Maudlu‟ dengan tujuan merusak ajaran islam.
Faktor ini merupakan factor awal munculnya Haditst Maudlu‘. Hal ini berdasarkan peristiwa
Abdullah bin Saba‘ yang mencoba memecah-belah umat Islam dengan mengaku kecintaannya
kepada Ahli Bait. Sejarah mencatatbahwa ia adalah seorang Yahudi yang berpura-pura memeluk
agama Islam. Oleh sebab itu, ia berani menciptakan Haditst Maudlu‟ pada saat masih banyak
sahabat ulama masih hidup.
Tokoh-tokoh terkenal yang membuat Haditst Maudlu‟ dari kalangan orang zindiq ini, adalah:
1. Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar 4000 Haditst Maudlu‟ tentang
hukum halal-haram. Akhirnya, ia dihukum mati olen Muhammad bin Sulaiman, Walikota
Bashrah.
2. Muhammad bin Sa‘id Al-Mashlub, yang akhirnya dibunuh oleh Abu Ja‘far Al-Mashur.
3. Bayan bin Sam‘an Al-Mahdy, yang akhirnya dihukum mati oleh Khalid bin Abdillah.67
c. Membangkitkan Gairah Beribadah untuk Mendekatkan Diri Kepada Allah
Mereka membuat Haditst-Haditst palsu dengan tujuan menarik orang untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah, melalui amalan-amalan yang mereka ciptakan, atau dorongan-
dorongan untuk meningkatkan amal, melalui Haditst tarhib wa targhib (anjuran-anjuran untuk
meninggalkan yang tidak baik dan untuk mengerjakan yang dipandangnya baik) dengan cara
berlebihan.68[6]
d. Menjilat Para Penguasa untuk Mencari Kedudukan atau Hadiah
Ulama-ulama membuat Haditst palsu ini untuk membenarkan perbuatan-perbuatan para
penguasa sehingga dari perbuatannya tersebut, mereka mendapat upah dengan diberi kedudukan
atau harta.
Sebab-sebab Pemalsuan Haditst dan kelompok-kelompok Pemalsuannya;
1. Sebab pemalsuan Hadits yang pertama kali muncul adalah adanya prselisihan yang
melanda kaum Muslimin yang bersumber pada fitnah dan kasus-kasus yang mengikutinya
yakni umat Islam menjdi beberapa kelompok.
2. Permusuhan terhadap Islam dan untuk menjelek-jelekkannya. Yaitu upaya yang ditempuh
oleh orang-orang zindik, lebih-lebih oleh keturunan bangsa-bangsa yang terkalahkan oleh
umat Islam.
3. Upaya untuk memperoleh fasilitas duniawi, seperti pendekatan kepada pemerintah atau
upayamengumpulkan manusia ke dalam majelis,seperti yang dilakukan oleh para juru
cerita dan para peminta-minta. Dampak negatif kelompok ini sangat besar.
4. Kepalsuan yang terjadi pada Hadits seorang rawi tanpa disengaja, seperti kesalahannya
menyandarkan kepada Nabi SAW.69

65
AgusSolahudin, UlumulHadist. Bandung: CV. PustakaSetia. Hlm172-173
66[4]
Ibid, hlm178
67[5]
Ibid, hlm 178-179
68[6]
Ibid, hlm 181
69[7]
Nurrudin, Ulumul Hadis.op cit. hlm 309-316
42
Modul Materi: Ulumul Hadits
C. Pemberantasan Hadits Palsu dan Media Terpenting untuk Memberantasnya
Para ulama mengambil langkah untuk memerangi pemalsu Hadits dan menghindarkan bahaya
para pemalsu. Untuk itu, mereka menggunakan berbagai metodologi yang cukup untuk
kesimpulannya sebagai berikut:
a. Meneliti karakteristik para rawi dengan mengamati tingkah laku dan riwayat mereka.
b. Memberi peringatan keras kepada para pendusta dan mengungkap-ungkap kejelekan
mereka, mengumumkan kedustaan mereka kepada para pemuka masyarakat.
c. Pencarian sanad Hadits, sehingga mereka tidak menerima Hadits yang tidak bersanad,
bahkan Hadits yang demikian mereka anggap sebagai Hadits yang batil.
d. Menguji kebenaran Hadits dengan membandingkannya dengan riwayat yang melalui
jalur lain dan hadi-Hadits yang telah diakui keberadaannya.
e. Menetapkan pedoman-pedomanuntuk mengungkapkan Hadits Maudlu‘.
f. Menyusun kitab himpunan Hadits-HaditsMaudlu‘ untuk member penerangan dan
peringatan kepada masyarakat tentang keberadaan Hadits-Hadits tersebut.70

D. CIRI-CIRI HADITS MAUDLU’


1. Ciri-ciri yang Terdapat pada Sanad
a. Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta).
b. Pengakuan dari si pembuat sendiri.
c. Kenyataan sejarah mereka tidak mungkin bertemu, misalnya ada pengakuan dari seorang
rawi bahwa ia menerima Haditst dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu
dengan guru tersebut, atau lahir sesudah guru tersebut meninggal.
d. Keadaan rawi dan factor-faktor yang mendorongnya membuat Haditst Maudlu‟.

2. Ciri-ciri yang Terdapat pada Matan


a. Keburukan susunan lafazhnya
b. Kerusakan maknanya.

3. Ciri-ciri Hadits Maudlu’ pada rawinya


1) Mengakui telah memalsukan Hadits, seprti Abu ‗Ishmah Nuh bin Abu Maryam dan
Maisarah bin ‗Abdi Rabbih.
2) Tidak sesuai dengan fakta sejarah, sperti yang terjadi pada al-Ma‘mun bin Ahmad yang
menyatakan bahwa al-Hasan menerima Hadits dari Abu Hurairah sehubungan dengan
adanya perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ini.
3) Ada gejala-gejala para rawi bahwa ia berdusta dengan Hadits yang besangkutan.

4. Ciri-ciri Hadits Maudlu’ pada Matan.


a. Kerancuan redaksi ataumakna Hadits.
b. Setelah diadakan penelitian terhdap suatu Hadits ternyata menurut ahli Hadits tidak
terdapat dalam hafalan para rawidan tidak terdapat dalam kitab-kitab Hadits, setelah
penelitiandan pembukuan Hadits sempurna.
c. Haditsnya menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
d. Haditsnya bertentangan dengn petunjuk Al-Qur‘an yang pasti.71

E. KITAB-KITAB YANG MEMUAT HADITST MAUDLU’


1. Al-Maudlu‟ „Al-Kubra, karya Ibn Al-Jausy (Ulama yang paling awal menulis dalam
ilmu ini)
2. Al-La‟ali Al-Mashnu‟ah fi Al-AHaditst Al-Maudlu‟ah, karya As-Suyuthi.
3. Tanzihu Asy-Syari‟ah Al-Marfu‟ah „an Al-Ahadits Asy-Syani‟ah Al-Maudlu‟ah, karya
Ibnu ‗Iraq Al-Kittani.
4. Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha‟ifah, karya Al-Albani.72

70[8]
Ibid. hlm 317-319
71[9]
ibid, hlm 322-327
72[10]
AgusSolahudin, UlumulHadist, hlm 181-187
43
Modul Materi: Ulumul Hadits
F. Contoh Hadits Maudlu’
ّ‫ٕو تنفطشفكثًَْث طثو تنذْش كه‬ٚ ‫حر‬ٛ‫ يٍ طثو طد‬.1
Artinya: “Barang siapa berpuasa di waktu pagi pada hari idul fitri dia bagaikan puasa
sepanjang waktu‟‟
Ini adalah hadits palsu yang di buat oleh ibnu Al-Dailami. Ibnu hibban rahimahullah
berkata:‘‘dia meriwayatkan dari ayahnya sebanyak kurang lebih 200 hadits, dan kesemuanya palsu
dan tidak boleh berhujah atasnya dan tidak boleh juga disebut namanya kecuali hanya untuk
menjelaskan keheranan trhadapnya
2. Hadits yang disandarkan kepada rasulullah:
ٙ‫سجح شٓشتنهٕٓشؼدثٌ شٓش٘ ٔسيضثٌ شٓش تُيص‬
Artinya: “Rajab adalah bulan allah syaban bulanku dan rhamadhan bulanku” hadits ini
diriwayatkan oleh inu jahzom dia adalah seorang pemalsu hadits.
‫ٍ عُر‬ٛ‫ٕو ػثشٕستءكصح هللا نّ ػدذذ عص‬ٚ ‫ يٍ طثو‬.3
Artinya: “Barangsiapa yang berpuasa pada hari asyura allah akan menulis baginya ibadah
selama enampuluh tahun”.
Hadits ini palsu diriwayatkan oleh hubaib bin abu hubaib,dia termasuk orang yang memalsukan
hadits.

G. PENUTUP
KESIMPULAN
Hadits Maudlu‘ adalah Haditst buatan dan palsu yang dinisbatkan seakan-akan berasal dari Nabi
SAW.
Faktor-faktor Penyebab Munculnya Hadits Maudlu’:
1. Pertentangan Politik dalam Soal Pemilihan Khalifah.
2. Asanya Kesengajaan dari Pihak Lain untuk Merusak Ajaran Islam.
3. Membangkitkan Gairah Beribadah untuk Mendekatkan Diri Kepada Allah.
4. Menjilat Para Penguasa untuk Mencari Kedudukan atau Hadiah.

Sebab-sebab Pemalsuan Haditst dan kelompok-kelompok Pemalsuannya;


1. Sebab pemalsuan Hadits yang pertama kali muncul adalah adanya prselisihan yang
melanda kaum Muslimin yang bersumber pada fitnah dan kasus-kasus yang
mengikutinya yakni umat Islam menjdi beberapa kelompok.
2. Permusuhan terhadap Islam dan untuk menjelek-jelekkannya. Yaitu upaya yang ditempuh
oleh orang-orang zindiq, lebih-lebih oleh keturunan bangsa-bangsa yang terkalahkan oleh
umat Islam.
3. Upaya untuk memperoleh fasilitas duniawi, seperti pendekatan kepada pemerintah atau
upayamengumpulkan manusia ke dalam majelis,seperti yang dilakukan oleh para juru
cerita dan para peminta-minta. Dampak negative kelompok ini sangat besar.

CIRI-CIRI HADITS MAUDLU’


1. Ciri-ciri yang Terdapat pada Sanad.
2. Ciri-ciri yang Terdapat pada Matan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Agus Solahudin. Ulumul Haditst. Bandung: CV. Pustaka Setia.
2. Kasman. Hadits Dalam Pandangan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Mitra Pustaka.
2012.
3. Nurrudin, Ulumul Hadits.PT Remaja Rosdakarya Bandung. Cetakan pertama. 2012
4. http//www.alsofwa.com/6207/188-hadits-contoh-contoh-hadits-maudhu.html

44
Modul Materi: Ulumul Hadits
TEMA 10
Syarat–syarat Perawi Hadits dan Proses Transformasinya.
POKOK-POKOK PEMBAHASAN:
1. Syarat – syarat perawi hadits
2. Tahammul wal ada‘

__________________________________________________________________________________

PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Dalam penyampaian sebuah hadits tidak hanya asal diucapkan saja, tetapi harus benar-
benar diperhatikan dari isi sampai yang meriwayatkannya. Seorang perawi tidak menjamin sebuah
hadits itu berkualitas shahih atau tidaknya. Maka dibutuhkan pengamatan tentang bagaimana
kondisi perawi tersebut. Dalam hadits ada yang menerima dan mendengarkan sebuah periwayatan
hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode. Lebih lanjutnya kita akan bahas
dalam makalah ini.

2. SYARAT-SYARAT SEORANG PERAWI DAN PROSES TRANSFORMASI


a. Pengertian Rawi
Rawi menurut bahasa berasal dari kata riwayah yang merupakan bentuk mashdar dari kata
kerja rawa-yarwi, yang berarti ―memindahkan atau meriwayatkan‖. Jadi rawi adalah orang yang
meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengarnya dan diterimanya
dari seseorang.
Secara definisi, kata riwayah adalah kegiatan penerimaan atau penyampaian hadits, serta
penyandaran hadits itu kepada rangakaian periwayatnya dalam bentuk-bentuk tertentu. Orang yang
telah menerima hadits dari seorang periwayat (rawi), tetapi dia tidak menyampaikan hadits itu
kepada orang lain, maka ia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan
hadits. Demikian pula halnya dengan orang yang menyampaikan hadits yang diterimanya kepada
orang lain, tetapi ketika ia menyampaikan hadits itu, ia tidak menyebutkan rangkaian para
perawinya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan
periwayatan hadits.

Jadi, terdapat 3 unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadits. Yakni:
1) kegiatan menerima hadits dari periwayat hadits;
2) kegiatan menyampaikan hadits itu kepada orang lain;
3) ketika hadits itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya disebutkan.
Orang yang melakukan periwayatan hadits dinamai al-rawiy (periwayat), apa yang
diriwayatkan dinamai al-marwiy, susunan rangkaian para periwayatnya dinamai sanad atau
biasa juga disebut isnad dan kalimat yang disebutkan sesudah sanad dinamai matan.
Kegiatan yang berkenaan dengan seluk beluk penerimaan dan penyampaian hadits disebut
dengan tahammul wa ada‘ al-hadits. Dengan demikian, sesorang barulah dapat dinyatakan
sebagai periwayat hadits, apabila orang itu telah melakukan tahammul wal ada‟ al-hadits,
dan hadits yang disampaikannya lengkap berisi sanad dan matan.

b. Syarat-Syarat Seorang Perawi


Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi dapat atau tidak diterimanya suatu Hadits
ialah kualitas rawi. Tinggi rendahnya sifat adil dan dhabith para perawi menyebabkan kuat lemahnya
martabat suatu hadits. Perbedaan cara para perawi menerima hadits dari guru mereka masing-
masing mengakibatkan munculnya perbedaan lafaz-lafaz yang dipakai dalam periwayatan hadits.
Karena perbedaan lafaz yang dipakai dalam penyampaian hadits menyebabkan perbedaab nilai
(kualitas) suatu hadits.
Seorang perawi mempunyai peran yang sangat penting dan sudah barang tentu menurut
pertanggungjawaban yang cukup berat, sebab sah atau tidaknya suatu Hadits juga tergantung

45
Modul Materi: Ulumul Hadits
padanya. Mengenai hal-hal yang seperti itu, Jumhur Ahli Hadits, Ahli Ushul dan Fiqh menetapkan
beberapa syarat bagi periwayatan hadits, yaitu sebagai berikut:
a) Baligh 73
Artinya sudah cukup umur ketika meriwayatkan hadits, meskipun ia masih kecil waktu
menerima hadits itu. Karenanya tidak diterima riwayat anak-anak yang belum sampai umur,
mengingat hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim dari Umar dan Ali
yaitu: ― diangkat kalam dari tiga orang: dari orang yang gila, yang digagahi akalnya hingga dia
sembuh, dari orang tidur sehimgga dia bangun, dari anak sehingga dia dewasa‖.
Sampai umur adalah dasar untuk menetapkan seseorang itu mempunyai paham dan
pengertian. Dikehendaki dengan sampai umur, ialah sampai umur dengan berakal. Para mutaakhirien
mensyarathkan baligh (sampai umur) dan umur. Para mutaqaddimien mensyarahkan akal saja. Para
ulama tidak menerima riwayat anak kecil adalah karena anak kecil belum menyadari akibat berdusta
dan syara‘ tidak membenarkan anaka kecil menjadi wali terhadap dirinya dalam urusan keduniaan,
maka dalam masalah urusan eakhiratan tentulah lebih utama.
b) Muslim
yaitu beragama Islam waktu menyampaikan hadits. Karenanya tidak dapat diterima riwayat
oranbg kafir, walaupun dia bukan orang yang berdusta. Allah menyuruh kita berhati-hati menerima
riwayat orang asik sebagai yang diterangkan dalam surat Al-Hujurat ayat 6.
c) Adil
dalam kamus bahasa indonesia kata adil diartikan sebagai ― tidak berat sebelah, tidak
memihak, tidak sewenang-wenang, dalam bahasa Arab adil berasal dari kata al-adl masdar dari kata
kerja ‗adala yaitu orang muslim baligh dan berakal yang tidak mengerjakan dosa besar dan kecil.
d) Dhabith
Artinya tepat menangkap apa yang didengarnya, dan dihapalnya dengan baik. Sehingga
ketika dibutuhkan, ia dapat mengeluarkan atau menyebutkan kembali.
Dhabith pada lughat, ialah: ―orang yang mengetahui dengan baik apa yang diriwayatkan, selalu
berhati-hati, di lafadh riwayatnya, jika ia diriwayatkan dari hafalannya dan ia jaga benar-benar
kitabnya, jika ia riwayatkan dari kitabnya, lagi mengetahui mana yang bisa memelaingkan makna
dari maksud, jika ia meriwayatkan dengan ma‘na‘‘.
Dhabit pada istilah, ialah penuh perhatian perawi kepada yang didengar diketika dia
menerimanya serta memahami apa yang didengar itu hingga ia menyampaikannya kepada orang
lain. Dhabith itu ada dua yaitu:
1. Dhabith Shadar, yakni menghafal dengan baik,
2. dhabth kitab, yakni memelihara kitabnya dengan dari kemasukan sisipan ataupun
sebagainya.
Jalan mengetahui kedhabitan seseorang ialah mengecek riwayatnya dengan riwayat orang
lain. Jika bersesuaian dengan riwayat orang lain maka diterimalah riwayatnya. Dalam pada itu
perbedaan yang sesekali terjadinya, tidaklah menghalangi kita menerima riwayatnya, jika banyak
terjadi perbedaan dengan riwayat orang lain, tentulah riwayatnya tidak diterima.
e) Tidak syadz
Artinya hadits yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadits yang lebih kuat atau
dengan Al-Qur‘an.
Ulama hadits dari kalangan mutaqadimin (ulama hadits sampai abad ke-3 H)
mengemukakan persyaratan yang tertuju kepada kualitas dan kapasitas perawi sebagai berikut :
1. Tidak boleh diterima suatu riwayat hadits, terkecuali yang berasal dari orang-orang yang
tsiqah.
2. Orang yang akan meriwayatkan hadits itu sangat memperhatikan ibadah shalatnya,
perilaku dan keadaan dirinya. Apabla shalat, prilaku dan keadaan orang itu tidak baik,
riwayat haditsnya tidak diterima.
3. Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang yang suka berdusta, mengikuti hawa
nafsunya dan tidak mengerti hadits yang diriwayatkannya.
4. Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang yang ditolak kesaksiannya.
Sedangkan kualitas rawi terbagi ke dalalm Sembilan tingkatan yaitu:
1. Perawi yang mencapai derajat yang paling tinggi baik mengenai keadilan maupun
mengenai ke-dhabith-nya.

73
Sohari sahrani, Ulumul hadits (Bogor, Penerbit Ghalia Indonesia, 2010) halaman 182.
46
Modul Materi: Ulumul Hadits
2. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling tinggi dan derajat ke-dhabith-an
yang menengah
3. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling tinggi dan derajajt ke-dhabith-
an yang paling rendah
4. Perawi yang derajat keadilan yang menengah dan derajat ke-dhabithan ynag paling
tinggi
5. Perawi yang mencapai derajat menengah dalam keduanya.
6. Perawi ynag mencapai derajat keadilan yang menengah dan derajat ke-dhabith-an
yang paling rendah
7. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling renda dan derajat kedhabith-an
yang paling tinggi
8. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling rendah dan derajajt ke-dhabith-
an yan menengah
9. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling rendah dalam hal keduanya.

Dalam Klasifikasi tersebut menunjukkan bahwa kualitas perawi merupakan factor yang
sangat berpengaruh dalam menetapkan kualitas suatu hadits.

3. Pengertian Tahammul wa Al-Ada dan Shighatnya


i. Pengertian Tahammul Wa al-Ada
Tahammul (‫ )شَ َح ًُّم‬dalam bahasa artinya ―menerima‖ dan ada‟ (ْ‫ )تَدَأ‬artinya ―menyampaikan‖.
Jika digabungkan dengan kata al–hadits, maka tahammul hadits (‫ط‬ ِ ْٚ ‫― )شَ َح ًُّ ُم ْتن َح ِذ‬merupakan kegiatan
menerima riwayat hadits‖, sedang ada‟ul hadits (‫ط‬ ِ ْٚ ‫―)أَ َد ُء ْتن َح ِذ‬merupakan kegiatan menyampaikan
riwayat hadits‖.
Dengan demikian, tahammul wa Ada‟ al–hadits adalah suatu kegiatan menerima dan
menyampaikan riwayat hadits secara lengkap, baik berkenaan dengan matarantai sanad maupun
matan, sebab matarantai sanad selain memuat nama-nama para perawi, memuat juga kode-kode atau
lafal-lafal yang memberikan petunjuk tentang metode periwayatan hadits yang digunakan oleh
masing-masing perawi yang bersangkutan, sehingga dari kode-kode atau lafal-lafal tersebut dapat
diteliti sejauh mana tingkat akurasi metode periwayatan hadits yang digunakan oleh para perawi
yang nama-namanya termuat di dalam matarantai sanad.
ii. Shiyagh atau Lafal Tahammul dan Ada’ Hadits
Dengan pengertian tahammul dan ada‘ di atas, para ahli hadits membagi metode penerimaan
riwayat hadits (tahammul hadits) kepada delapan macam dan masing-masing metode memiliki
kode-kode penyampaian sebagai lambang penyampaian hadits mereka dalam wujud lafal-lafal, yang
lazimnya dikenalkan dengan sebutan ―shiyagh al-ada‘ (‫َ ُغ تألدتء‬ٛ‫ط‬ ِ , yaitu sebagai berikut:
74
a). Al-Sima‘ (‫)تن ِّغ ًَثع‬
Maksudnya adalah seorang perawi yang dalam penerimaan hadits dengan cara mendengar
langsung terhadap lafal hadits dari seorang guru (al-syaikh),hadits tersebutdidektekan (dalam
pengajian) oleh guru hadits berdasarkan hafalannya atau dokumennya. Sedang kode-kode yang
dipakai untuk cara al-sima‘ beragam, diantaranya:
 ‫ع ًِؼْس‬ َ (aku telah mendengar)
 ٙ ْ َُِ‫َح َّذظ‬ (telah menyampaikan hdits kepadaku atau kami)
 ٙ ْ َِ‫( أَ ْخدَ َش‬telah menyampaikan khabar kepadaku atau kami)
 ٙ ْ ََِ‫أَ َْدَأ‬ (telah menceritakan kepadaku atau kami)
 ٙ ْ ِ‫ثل ن‬ َ
َ ‫( ق‬telah berkata kepadaku atau kami)
 ٙ ْ ِ‫( َر َك َش ن‬telah menuturkan berita kepadaku atau kami).
b) Al-Qira‘ah (ُ‫)تنقِ َشت َءذ‬, disebut juga dengan istilah ‗ardl
Maksudnya adalah seorang perawi mengajukan riwayat haditsnya kepada guru hadits
dengan cara perawi sendiri yang membacanya atau orang lain, sedang ia mendengarkan. Sedang
kode-kode yang dipakai untuk periwayatan hadits dengan metode ini adalah:
 ٌ ٍ َ‫س َػهَٗ فُال‬ ُ ‫( قَ َش ْب‬Aku membacakan hadits di hadapan si fulan)
 ِّ ِ‫ع ًَ ُغ فأق َش خ‬ْ َ َ ْ ‫ ِّ َٔأَََث أ‬ْٛ َ‫ئ َػه‬
َ ‫( قَ َش‬dibacakan (sebuah hadits) di hadapannya dan dia mendengarkannya
dengan cermat).
c) Al-Ijazah (ُ‫)ت ِال َجث َصذ‬

74
Sohari Sahrani, ulumul hadits (Bogor, Penerbit ghalia indonesia, 2010) halaman 177.
47
Modul Materi: Ulumul Hadits
Maksudnya adalah: seorang guru memberikan rekomendasi (izin) kepada seseorang untuk
meriwayatkan hadits yang ada padanya, baik melalui lisan maupun tulisan. Adapun bentuknya,
dapat dikelompokan menjadi:
1. Guru memberikan rekomendasi hadits tertentu kepada orang tertentu, misalnya
menggunakan kode: ٘ ِ َ‫ تَ َج ْضشُكَ ْتندُخ‬aku memberikan rekomendasi hadits ini kepada bukhari.
َّ ‫ثس‬
2. Guru memberikan rekomendasi hadits tertentu kepada orang lain, seperti: َ‫أَ َج ْضشُك‬
ِٗ‫ َي ْغ ًُْٕ ػَثش‬aku memberikan rekomendasi hadits ini kepada mereka yang mendengarkannya.
3. Guru memberikan rekomendasi hadits kepada orang umum, misalnya:
 ٌَ ًُْٕ ِ‫ز ْتن ًُ ْغه‬ ُ ‫ أَ َج ْض‬:(aku memberikan rekomendasi hadits ini kepada kaum muslimin)
 ٌٌ َ‫ فُال‬ِٙ‫جثصَ ن‬ َ َ‫ أ‬:(seseorang telah memberikan izin kepadaku untuk meriwayatkan hadits)
 ‫جثصَ ذ‬ ً َ
َ ِ‫ َح َّذظَُث ت‬:(telah menyampaikan riwayat kepadaku dengan disertai izin untuk
meriwayatkan kembali).
 ً‫جثصَ ذ‬ َ ِ‫ أَ ْخدَ َشََث ت‬:(telah menceritakan kepadaku. Kode ini sering dipakai oleh ulama hadits
generasi akhir atau mutaakhirin)
d). Al-Munawalah (ُ‫)تن ًَُُث َٔنَر‬
Maksudnya adalah seseorang guru memberikan manuskripnya kepada seseorang disertai
ijazah atau memberikan manuskrip terbatas pada hadits-hadits yang pernah didengarnya sekalipun
tanpa ijazah.
Oleh karenanya, hadits yang diperoleh dengan metode munawalah yang disertai ijazah
boleh diriwayatkan. Sedang yang tanpa ijazah tidak diperolehkan (menurut pendapat yang shahih).
Sedang kode-kode yang dipakai adalah:
 َُِٙ‫َثٔن‬ َ َ :(seseorang guru hadits telah memberikan manuskrip kepadaku).
 َِٙ َ‫جثص‬ َ َ‫ َٔأ‬َُِٙ‫َثٔن‬ َ َ :(seorang guru hadits telah memberikan manuskrip kepadaku disertai ijazah).
Dua kode ini dipandang lebih baik dari pada kode-kode berikut ini, meskipun diperbolehkan, yaitu:
 ً‫ح َّذظََُث ُيَُثٔنَر‬ َ :(telah menyampaikan riwayat kepadaku secara munawalah)
ً
 ‫ج ذ‬ َ‫ثص‬ ً َ
َ ِ‫أخدَ َشََث ُيَُثٔنر ت‬ ْ َ :(telah menyampaikan berita kepadaku secara munawalah disertai
ijazah).
e). Al-Kitabah atau al-Mukatabah (ُ‫ ْتن ِكصَثخَر‬/ ُ‫)تن ًُ َكثشَدَر‬ ْ
Maksudnya adalah: seorang muhaddits menuliskan hadits yang diriwayatkan untuk
diberitakan kepada orang tertentu, baik ia menulis sendiri atau dituliskan oleh orang lain atas
permintaannya. Sedang kode-kode yang digunakan adalah:
 ٌَ‫ فُال‬ٙ َّ َ‫َح تِن‬ َ ‫َكص‬ (seorang guru hadits telah menulis sebuah hadits kepadaku).
ً
 ‫ فال ٌٌ ِكصَثخَر‬ٙ َ ُ َ
ْ ُِ‫َح َّذظ‬ (telah menyampaikan riwayat kepadaku melalui koresponden).
 ً‫ فُالَ ٌٌ ِكصَثخَر‬َِٙ‫( أَ ْخدَ َش‬telah menyampaikan khabar berita kepadaku melalui koresponden).
f) Al-I‘lam (‫)ت ِال ْػالَ ُو‬
Maksudnya adalah: seorang guru memberitahukan kepada muridnya hadits atau kitab hadits
yang telah diterima dari perawinya.
Dalam hal ini, mayoritas ulama menyatakan bahwa metode ini diangga sah, sekalipun
sebagian kecil menganggapnya tidak sah. Sedang kode-kode yang dipakai adalah:
 ‫ خِ َك َزت‬ٙ ْ ‫ ِْخ‬ٛ‫ َش‬ًَُِٙ َ‫أَ ْػه‬ : (guru hadits telah memberitahukan riwayat hadits).
g) Al-Washiyah (ُ ‫َّر‬ٛ‫ط‬ ِ َ ٕ ‫)تن‬
Maksudnya adalah: seorang guru ketika akan meninggal dunia atau bepergian, memberi
washiyat sebuah manuskrip hadits yang diriwayatkannya kepada seseorang. Sedang kode-kode yang
dipakai adalah:
 ‫ فالٌ خكزت‬ٙ‫( تٔطٗ تن‬seseorang guru hadits telah memberi wasiat kepadaku sebuah manuskrip
haditsnya).
h) Al-Wijadah (ُ ‫)تنٕ َجث َدذ‬ ِ
Maksudnya adalah: seseorang yang tidak melalui cara al–Sima‟ atau ijaza, menemukan
manuskrip hadits yang telah ditulis perawinya. Dalam hal ini, ulama mengkategorikan hadits-hadits
yang diperoleh dengan cara demikian sebagai hadits munaqhati‟ (terputus) walaupun tidak tertutup
kemungkinan ada indikasi bersambung. Sedang kode-kode yang dipakai adalah:
 ٌ ٍ َ‫ز خِخَ ظِّ فُال‬ ُ ‫َٔ َج ْذ‬ (aku telah menemukan tulisan seorang guru hadits)
 ‫ٌ َكزت‬ َ ُ ِّ
ٍ َ‫ق َشأز خِ َخظ فال‬ ُ ْ َ (aku telah membaca hadits tulisan seorang guru).
Disamping kode-kode periwayatan dalam metode tahammul wa al‟ada diatas, ada kata-kata
(harf) yang sering didapati dalam sanad, yaituٍَْ ‫ ػ‬danٌَّ َ‫ أ‬yang berfungsi selain sebagai petunjuk
tentang tentang cara periwayatan yang telah ditempuh oleh perawi, juga sebagai bentuk
persambungan matarantai sanad yang bersangkutan. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits

48
Modul Materi: Ulumul Hadits
yang kode-kode periwayatannya menggunakan ٍ‫ػ‬atau ٌ‫أ‬ ّ itu sanadnya terputus, tetapi mayoritas
ulama menilainya melalui al-Sima‘, selama dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Dalam matarantai sanadnya tidak terdapat penyembunyian informasi (tadlis) yang dilakukan
perawi.
2. Antara perawi dengan perawi terdekat yang menggunakan harf ٍ‫ ػ‬atauٌ‫أ‬ ّ itu dimungkinkan
terjadi pertemuan.
3. Malik bin Anas, Ibn ‗Abd al-Barr dan al-Iraqi menambahkan satu syarat lagi, yakni para perawi
harus orang-orang terpercaya.

PENUTUP
KESIMPULAN
Perawi adalah orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang
pernah didengarnya dan diterimanya dari seseorang.Seorang perawi hadits mempunyai syarat-syarat
tertentu diantaranya Islam, Baligh, Adil, dan dhabit. Tidak boleh seorang perawi hadits seorang yang
kafir.
Tahamul dalam bahasa artinya ―menerima‖ dan ada‟ artinya ‖menyampaikan‖. Jika
digabungkan dengan kata al-hadits, maka ―tahammul hadits‖ merupakan kegiatan menerima riwayat
hadits‖. sedangkan ―ada‘ul hadits‖ merupakan kegiatan menyampaikan riwayat hadits. menurut
istilah Tahamul wa ada‟ al-hadits adalah suatu kegiatan menerima dan menyampaikan riwayat
hadits secara lengkap, baikberkenaan dengan matarantai sanad maupun matan.
Para ulama hadits membagi metode penerimaan riwayat hadits menjadi delapan macam, dan
masing-masing mmetode mempunyai kode-kode yang lazim dikenal ―shiyagh al-a‟da‖ antara lain,
Al-Isma‘, Al-Qira‘ah, Al-Ijazah, Al-Munawalah, Al-Kitabah atau al-Mukatabah, Al-I‘lam, Al-
Washiyah, Al-Wijadah.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor. Penerbit Ghalia Indonesia

49
Modul Materi: Ulumul Hadits
TEMA 11
Ilmu Jarh wa Ta‘dil.
POKOK-POKOK PEMBAHASAN:
1. Pengertian, Obyek dan Kegunaanya
2. Lafald – lafad dan maratibul jarh wa ta‘dil

__________________________________________________________________________________

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bila melihat fenomena jarh dan ta'dil saat ini, sungguh penulis sangat prihatin. Orang begitu
mudah menjarh orang lain tanpa didasari ilmu. Baik alasannya karena beda golongan, pemahaman
maupun takut tersaingi. Dengan demikian pihak yang dijarh sangat dirugikan. Kenapa? Karena
dengan ia dijarh, ia dijauhi sahabat-sahabatnya ataupun murid-muridnya, bahkan ta'lim pun yang
biasa ia bisa bubar. Selain itu dia (yang suka menjarh) belum tentu terpenuhi syarat-syarat sebagai
penjarh. Atau bahkan dalam dirinya juga terdapat perbuatan yang menjadikannya ia dijarh.
Bagaimana ia akan menjarh orang lain sedang dalam dirinya terdapat perbuatan yang menjadikan ia
dijarh? Kalau memang orang yang dijarh memang melakukan perbuatan yang menyebabkan ia
dijarh, sudahkah ia klarifikasi? Kalau sudah, sudah kah ia menasehatinya, agar ia bertaubat? Bila hal
ini dilakukan sudah barang tentu tidak akan terjadi jarh secara serampangan. Sehingga dengan
makalah ini penulis ingin menjelaskan kepada siapa saja yang menginginkan pengetahuan seputar
pembasan Al Jarh dan At Ta'dil. Diharapkan makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Untuk
memberikan sedikit gambaran perlu kami sampaikan pengerian ilmu Al Jarh dan At Ta'dil.
Ilmu Al Jarh dan Al Ta'dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat yang dihadapkan
kepada para perawi dan tentang penetapan adil dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk
menerima atau menolak riwayat mereka. Ilmu jarh wa al ta‟dil tumbuh bersama-sama dengan
tumbuhnya periwayatan hadits dalam Islam karena untuk mengetahui hadits yang sahih dan keadaan
para perawinya sehingga dengan ilmu ini, memungkinkan menetapkan kebenaran seorang perawi
atau kedustaannya sampai mereka bisa membedakan antara yang diterima dan yang ditolak (makbul
dan mardud).

PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Jarh Wa Ta‟dil
Al-Jarh menurut bahasa adalah berasal dari akar kata jaraha-yajrihu yang berarti luka atau
menolak (mis: kesaksian seseorang), sedangkan secara terminologi al-jarh berarti terlihatnya
karakter perawi yang bisa menghilangkan sifat adil dan bisa melemahkan kekuatan hafalan yang ia
miliki, yang mana akan berimplikasi cacat atau lemahnya hadits yang ia riwayatkan. Sedangkan
menurut istilah ahli hadits adalah :
‫صّ أٔ ضؼفٓث ٔسدْث‬ٚ‫ّ عقٕط سٔت‬ٛ‫صششح ػه‬ٚ ‫خم خحفظّ ٔضدطّ يًث‬ٚ ٔ‫فغذ ػذتنصّ أ‬ٚ ٖٔ‫ظٕٓس ٔطف فٗ تنشت‬
“Tampak suatu sifat pada perawi yang merusakkan keadilannya, hafalannya, karena gugurlah
riwayatnya atau dipandang lemah” (‗Ajaj al-Khatib, 1989: 260).
Disamping istilah tersebut, ada juga apa yang dinamakan dengan tarijh. Tarjih menurut
bahasa, berarti tsaqiq (melukakan) atau ta‘jib (menggalibkan) (Idris Marbawi, tt.:324). Sedangkan
menurut istilah ahli hadist, tarjih ialah:
‫صّ أٔ ػذو قدٕنٓث‬ٚ‫ف سٔت‬ٛ‫ٔطف تنشتٖٔ خظفثز شقصضٗ شضؼ‬
“Mensifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan lemahnya periwayatan atau
tidak diterimanya riwayat yang disampaikannya.”
Ta‘dil (adil) dalam etimologi bermakna suatu karakter yang konsisten, tidak sewenang-
wenang, atau lalim yang berada dalam diri seseorang, sedangkan al-„adl secara terminology adalah
suatu karakter yang tidak nampak akan merusak citra agama ataupun harga diri seseorang. Lalu
makna dari istilah al-ta‟dil sendiri adalah pensifatan seorang rawi dengan sifat-sifat yang
mengharumkan namanya, sehingga nampak sifat adilnya dan hadits yang ia riwayatkan dapat
diterima.

50
Modul Materi: Ulumul Hadits
B. Pertumbuhan Ilmu Jarh Wa Al Ta‟dil
Ilmu jarh wa al ta‟dil tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan hadis dalam
islam karena untuk mengetahui hadis yang sahih dan keadaan para perawinya sehingga dengan ilmu
ini, memungkinkan menetapkan kebenaran seorang perawi atau kedustaannya sampai mereka bisa
membedakan antara yang diterima dan yang ditolak (maqbul dan mardud). Karena itu, para ulama
menanyakan pertama kali tentang keadaan para perawi, meneliti kehidupannya, dan mengetahui
segala keadaan mereka, setiap yang lebih hafal, lebih kuat ingatannya, dan lebih lama menyertai
gurunya.
Demikianlah ilmu ini tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan tumbuhnya
periwayatan, untuk menentukan bobot dan kualitas dari pada suatu hadis. Sejak dahulu para ulama
menerangkan tentang cacat atau tidaknya seorang perawi hadis, sehingga membuka tabir kegelapan
dalam menentukan nilai atau kualitas hadis bagi ulama berikutnya.

C. Sifat-sifat yang Menyebabkan Seorang Perawi Dinilai Jarh


Seorang perawi hadis dapat tidak diterima periwayatannya manakala terdapat suatu sifat atau
beberapa sifat yang dapat menggugurkan keadilannya, yang efeknya tidak dapat diterima
periwayatannya. Sifat-sifat tersebut, antara lain seperti diuraikan berikut ini.
1. Dusta
Yang dimaksud dengan dusta dalam hal ini ialah bahwa orang itu pernah berbuat dusta
terhadap sesuatu atau beberapa hadis. Dalam pengertian, seorang perawi berbuat dusta terhadap
Rasulullah saw, seperti membuat hadis palsu, pernah mejadi saksi palsu, kecuali ia sudah tobat.
Menetapkan kepalsuan suatu hadis yang diriwayatkan oleh orang yang pernah berbuat dusta
adalah berdasarkan keyakinan yang kuat, bukan atas dasar sangkaan, sehingga mungkin pada suatu
saat, ia berbuat dusta dan dalam keadaan lain, ia berkata sebenarnya. Dalam masalah ini, para ulama
berpendapat. Menurut Imam Ahmad dan Abu Bakar al-Humaidi, guru Imam al-Bukhari, riwayatnya
tidak dapat diterima, meski ia sudah berbuat. Pendapat ini dikutip oleh mudhaafar al Sam‘any,
sedangkan al-Nawawi me-nasakh-an atau menerima riwayatnya apabila ia betul telah bertobat.
2. Tertuduh Berbuat Dusta
Yang dimaksud dengan tertuduh dengan berbuat dusta adalah seorang perawi sudah tenar di
kalangan masyarakat sebagai orang yang berdusta. Periwayatannya orang yang tertuduh dusta dapat
diterima apabila ia betul-betul telah bertaubat sehingga masyarakat tidak lagi menuduh pendusta.
3. Fasik (Melanggar Ketentuan Syarak)
Yang dimaksud fasik disini ialah fasik dalam perbuatan yang tampak secara lahiriah, bukan
dalam hal i‘tiqiyah, nama tetap periwayatannya ditolak, sebagaimana diterangkan dalam firman
Allah (Q.S. Al-Hujurat:7) yang artinya sebagai berikut.
―Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu
dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu
‗cinta‘ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan
kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang
mengikuti jalan yang lurus‖.
4. Jahalah
Yang dimaksud dengan jahalah adalah perawi hadis itu tidak diketahui kepribadiannya,
apakah ia sebagai orang yang atau trcatat (jarih). Dengan tidak diketahuinya itu, menjadi alasan
untuk tidak diterima riwayatnya, kecuali dari golongan sahabat atau orang yang disebut dengan lafal
yang menyebutkan atau menunjukkan kepada kepercayaan, seperti dengan lafal hadatsan, tsaqin,
atau akhbar-nya ‗adlun, dan sebagainya.
5. Ahli Bid‘ah
Yang dimaksud dengan ahli bid‘ah, yaitu perawi yang tergolong melakukan bid‘ah, dalam hal
i‘tikad yang menyebabkan ia kufur, maka riwayatnya ditolak.

D. Objek Kajian Jarh Wa Ta‟dil


1. Pen-tajrih-an Rawi telah melakukan:
a. Bid‘ah, yakni mempunyai i‘tikad berlawanan dengan dasar syariat.
b. Mukhalafah, yakni perlawanan sifat ‗adil dan dhabit seorang rawi yang lain yang lebih
kuat yang tidak dapat dijama‘kan atau dikompromikan.
c. Ghalath, yakni kesalahan, seperti lemah hafalan atau salah sangka, baik sedikit maupun
banyak kesalahan yang dilakukan.
d. Jahalah al-Hal, yakni tidak diketahui identitasnya.
51
Modul Materi: Ulumul Hadits
e. Da‘wa al-Inqitha‘, yakni mendakwa terputusnya sanad.

2. Penetapan Kecacatan dan Keadilan Seorang Rawi


a. Penetapan tentang kecacatan seorang rawi dapat ditempuh melalui dua jalan:
a) Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya.
Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan
masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk
menetapkan kecacatannya.
b) Berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-
sebabnya dia cacat.
Demikian ketetapan yang dipegang oleh para muhadditsin. Sedang menurut para fuqaha
sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.

b. Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah dapat dilakukan oleh:
a) Seorang rawi yang adil.
Jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang men-ta‘dil-kan, sebab jumlah itu
tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat (hadits). Oleh karena itu, jumlah tersebut tidak
menjadi syarat pula untuk men-ta‘dil-kan seorang rawi.
b) Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya.
Baik laki-laki maupun perempuan dan orang yang merdeka maupun budak, selama ia
mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.

3. Syarat Ulama al-Jarh wa al-Ta’dil


Seorang ulama al-jarh wa al-ta‘dil harus memenuhi kriteria-kriteria yang menjadikannya
objektif dalam upaya menguak karakteristik para periwayat. Syarat-syaratnya ialah:
a. Berilmu, bertakwa, wara‘, dan jujur
Jika seoarang ulama tidak memiliki sifat-sifat ini, maka bagaimana ia dapat menghukumi
orang lain dengan al-jarh wa al-ta‘dil yang senantiasa membutuhkan keadilannya.
b. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta‘dil-kan dan men-jarh-kan
Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan dalam Syarhal-Nukhbah, bahwa tazkiyah (pembersihan
terhadap diri orang lain) dapat diterima bila dilakukan oleh orang yang mengetahui sebab-sebabnya,
bukan dari orang yang tidak mengetahuinya, agar ia tidak memberikan tazkiyah hanya dengan
apayang kelihatan olehnya dengan sepintas tanpa mendalami dan memeriksanya.
c. Mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab
Dengan pengetahuan terhadap penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab maka suatu lafadz
yang digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya, atau men-jarh dengan lafadz yang tidak sesuai
untuk men-jarh.

4. Beberapa Hal yang Tidak Disyaratkan Bagi Ulama al-Jarh wa al-Ta’dil, ialah sebagai
berikut:
a. Tidak disyaratkan bagi ulama al-jarh wa al-ta‘dil harus laki-laki dan merdeka. Dalam
melakukan tazkiyah dan jarh, yang terpenting orang tersebut hendaklah orang yang
adil, baik laki-laki maupun perempuan, dan orang merdeka atau hamba.
b. Suatu pendapat menyatakan bahwa tidak dapat diterima al-jarh wa al-ta‘dil kecuali
dengan pernyataan dua orang, seperti dalam kasus kesaksian lainnya.
Kebanyakan ulama menganggap cukup penilaian seorang ulama dalam al-jarh wa al-ta‘dil
apabila ia memenuhi syarat sebagai ulama al-jarh wa al-ta‘dil, sebagaimana diriwayatkan oleh al-
Amidi dan Ibnu al-Hajib serta yang lainnya.

5. Sebab-sebab Timbulnya Jarh


Beberapa hal yang menyebabkan seseorang men-jarh seorang rawi di antaranya:
a. Karena hawa nafsu atau suatu maksud tertentu.
b. Karena berlainan kepercayaan.
c. Karena berselisih antara ahli tashawuf dan ahli zhahir.
d. Karena pembicaraan yang muncul tanpa didasari ilmu.
e. Samar-samar serta tidak ada wara‘.

52
Modul Materi: Ulumul Hadits
6. Kegunaan Ilmu Jarh Wa Ta'dil
Ilmu jarh wa al-ta'dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya.
Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah ilmu jarh wa al-ta'dil yang telah
banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara menetapkan
keadilan dan kedhabitan perawi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasan ini. Seseorang
tidak akan dapat memperoleh biografi, jika mereka tidak terlebih dahulu mengetahui kaidah-
kadah jarh dan ta'dil, maksud dan derajat (tingkatan) istilah yang dipergunakan dalam ilmu ini, dari
tingkatan ta'dil yang tertinggi sampai pada tingkatan jarh yang paling rendah.
Jelasnya ilmu jarh wa ta'dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang
perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi "dijarh" oleh para
ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji maka
hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
Adapun informasi jarh dan ta'dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan, yaitu:
1. Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang
yang adil, atau rawi yang mempunyai 'aib. Bagi yang sudah terkenal dikalangan ahli ilmu
tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan lagi keadilannya,
begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu
lagi dipersoalkan.
2. Berdasarkan pujian atau pen-tarjih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil
menta'dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadiannya, maka telah dianggap
cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa di terima.
Begitu juga dengan rawi yang di tarjih. Bila seorang rawi yang mentarjihnya maka
periwayatannya menjadi tidak bisa diterima.
Sementara orang yang melakukan ta'dil dan tarjih harus memenuhi syarat sebagai
berikut: berilmu pengetahuan, taqwa, wara', jujur, menjauhi sifat fanatik terhadap golongan dan
mengetahui ruang lingkup ilmu jarh dan ta'dil ini.

7. Lafadz-Lafadz Ilmu Jarh Wa Ta‟dil


i. Tingkatan Lafadz Ilmu Jarh wa Ta’dil
Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-jarh-kan dan men-ta‘dil-kan rawi memiliki
tingkatan-tingkatan. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu‘s Shalah dan Imam Nawawy, lafadz-lafadz itu
disusun menjadi 4 tingkatan, menurut Al Hafidh Ad- Dzahaby dan Al ‗Iraqy menjadi 5 tingkatan,
sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yaitu:
a. Jarh
1. Menunjuk kepada keterlakuan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafadz-lafadz
yang berbentuk af‘a-lut-tafdlil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenisnya
dengan itu. Misalnya:
a. Awdla‘unnâsi (orang yang paling dusta)
b. Akdzabunnâsi (orang yang paling bohong)

2. Menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan lafadz berbentuk shighat muballagah.


Misalnya:
a. Kadzâbun (orang yang pembohong)
b. Wa dlâ‘un (orang yang pendusta)
c. Dajjâlun (orang yang penipu)
3. Menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong, atau lainnya. Misalnya:
a. Fulânun muttahamun bilkadzibi (orang yang dituduh bohong)
b. Awmuttahimun bilwadl‘i (orang yang dituduh dusta)
c. Fulânun fîhinnadhru (orang yang perlu diteliti)
4. Menunjuk kepada bersangatan lemahnya. Misalnya:
a. Muthrahulhadîtsi (orang yang dilempar haditsnya)
b. Fulânun dla‘îfun (orang yang lemah)
c. Fulânun mardǔdulhadîtsi (orang yang ditolak haditsnya)
5. Menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya. Misalnya:
a. Fulânun lâ yuhtajjubihi (orang yang tidak dapat dibuat hujjah haditsnya)
b. Fulânun majhǔlun (orang yan gtidak dikenai identitasnya)
c. Fulânun wâ hin (orang yang banyak menduga-duga)

53
Modul Materi: Ulumul Hadits
6. Mensifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi sifat itu berdekatan
dengan adil. Misalnya:
a. Dlu‘ifa hadîtsuhu (orang yang didla‘ifkan haditsnya)
b. Fulânun maqâlun fîhi (orang yang diperbincangkan)
c. Fulânun layyinun (orang yang lunak)
d. Fulânun laysa bilhujjati (orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya)

b. Ta‟dil
1. Segala hal yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan lafadz-
lafadz yang berbentuk af‘alut tafdil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenis.
Misalnya:
a. Awtsaqunnâsi (orang yang paling tsiqah)
b. Atsbatunnâsi hifdzan wa‘adâ latan (orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya)
c. Ilayhil muntaha fî tsabti (orang yang paling mantap keteguhan hati dan lidahnya)

2. Memperkuat ketsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang
menunjuk keadilan dan kedlabitannya, baik sifatnya yang dibubuhkan itu selafadz (dengan
mengulangnya) maupun semakna. Misalnya:
a. Tsabtun tsabtun (orang yang teguh [lagi] teguh)
b. Tsiqatun tsiqatun (orang yang tsiqah [lagi] tsiqah)
c. Tsabtun tsiqatun (orang yang teguh [lagi] tsiqah)
d. Dlâbitun mutqinun (orang yang kuat ingatan [lagi] meyakinkan ilmunya)
3. Menunjuk keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan. Misalnya:
a. Tsabtun (orang yang teguh [hati dan lidahnya])
b. Mutqinun (orang yang meyakinkan [ilmunya])
c. Tsiqatun (orang yang tsiqah)
d. Hâfidzun (orang yang hafidz [kuat hafalannya])
4. Menunjuk keadilan dan kedlabitannya, tetapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti
kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya:
a. Shadǔqun (orang yang sangat jujur)
b. Ma‘mǔnun (orang yang dapat memegang amanat)
c. Lâ ba‘sabihi (orang yang tidak cacat)
5. Menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak dipahami adanya kedlabitan. Misalnya:
a. Mahalluhush shiduqu (orang yang berstatus jujur)
b. Jayyidul hadîtsi (orang yang baik haditsnya)
c. Hasanul hadîtsi (orang yang bagus haditsnya)
6. Menunjuk arti mendekati cacat. Misalnya:
a. Shadǔqun insyâ Allah (orang yang jujur, insya Allah)
b. Fulânun arjǔ bian lâba‘sabihi (orang yang diharapkan tsiqah)
c. Fulânun shuwaylihun (orang yang sedikit keshalehannya)

PENUTUP
A. Kesimpulan
Men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang
dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya.
Ta‘dil ialah menunjukkan atau membayangkan kebaikan atau kelurusan seorang rawi. Rawi yang
dikatakan adil yaitu orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agamanya.
Ilmu Jarh Wa Ta‘dil ialah ilmu yang membahas tentang para perawi hadits dari segi yang dapat
mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafal tertentu.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi dapat ditempuh melalui dua jalan, yaitu berdasarkan
berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya, dan berdasarkan pentajrihan dari seorang
yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat.
Sedangkan penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah dapat dilakukan oleh
seorang rawi yang adil atau setiap orang yang dapat diterima periwayatannya.
Syarat ulama al-jarh wa al-ta‘dil di antaranya:
a. Berilmu, bertakwa, wara‘, dan jujur
b. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta‘dil-kan dan men-jarh-kan
c. Mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab
54
Modul Materi: Ulumul Hadits
Sebab-sebab timbulnya jarh dapat disebabkan oleh:
a. hawa nafsu atau suatu maksud tertentu,
b. kepercayaan yang berlainan,
c. perselisihan antara ahli tashawuf dan ahli zhahir,
d. pembicaraan yang muncul tanpa didasari ilmu, dan
e. kesamar-samaran serta tidak adanya wara‘.
Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-jarh-kan dan men-ta‘dil-kan rawi memiliki
tingkatan-tingkatan. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu‘s Shalah dan Imam Nawawy, lafadz-lafadz itu
disusun menjadi 4 tingkatan, menurut Al Hafidh Ad- Dzahaby dan Al ‗Iraqy menjadi 5 tingkatan,
sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan.

B. Saran
Apabila kita temui sebagian ahli jarh wa ta‘dil menjarhkan seorang rawi, maka kita tidak
boleh segera menerima pentajrihan tersebut, tetapi hendaklah diselediki lebih dulu jika pentajrihan
itu membawa kegoncangan yang hebat, kendatipun mentajrihkan hadits yang masyhur sekalipun
tidak boleh kita terus menerima pentajrihannya sebelum kita adakan penelitian yang dapat dipakai
untuk menolaknya.
Tidaklah boleh kita terlalu cepat menghukum kemajruhan seorang perawi lantaran ada yang
menjarhkannya. Tetapi kita harus meneliti lebih jauh, karena mencela seseorang bukanlah soal yang
mudah. Kerap kali pencelaan yang dihadapkan oleh seseorang, kita ketemukan sebab-sebab yang
menolak celaannya itu.
Terkadang para pencela adalah orang yang dirinya cacat. Maka karenanya kita tidak boleh
menerima perkataannya selama belum ada yang menyetujuinya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Abdurrahman, Asjmuni. 1996. Pengembangan Pemikiran terhadap Hadits. Yogyakarta: LPPI
2. Hasby, Ash-Shiddieq dan Teungku Muhammad. 1999. Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits.
Semarang: PT Pustaka Rizki Putra
3. Hassan, A. Qadir. 1996. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: CV. Diponegoro
4. Itr, Nuruddin. 1995. „Ulum Al-Hadits 1. Bandung: Rosdakarya
5. Mudasir. 2005. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia
6. Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Mushthalahu‟l Hadits. Bandung: PT Al-Ma‘arif
7. Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadis. Bogor: Ghalia Indonesia
8. Thahan, Mahmud. 2005. Ilmu Hadits Praktis. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah

55
Modul Materi: Ulumul Hadits
TEMA 12
Para Perawi Hadits dan Karya – karyanya.

POKOK-POKOK PEMBAHASAN:
1. Perawi Kutubu Al-Sittah
2. Al Muwaththa‘
3. Al Musnad Ahmad bin Hanbal
4. Sunan Al Darimy

__________________________________________________________________________________

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber hukum Islam yang kita semua mengetahuinya terdiri dari dua sumber. Sumber
tersebutr ialah Al-Qur‘an dan Al-Hadits. Al-Quran menyajikan informasi yang mengglobal dalam
kehidupan umat Manusia, karena hal inilah maka hadist berfungsi untuk merincikan atau
mendiskripsikan isi kandungannya. Seperti yang kita ketahui bahwasanya Hadits di riwayatkan oleh
seorang perawi yang telah memenuhi syarat atas hadist riwayatnya.
Ada yang mendapat julukan Kutub As Sittah, julukan tersebut diberikan kepada: Imam abi
abdullah muhammad ibn ismail al ja‘fi al buhkari (wafat: th. 256 H), Imam abi husain muslim ibn
al hajjaj an naisaburi (wafat: th. 261 H), Imam abi daud sulaiman ibn asy‘at as sajastani (wafat: th.
275 H), Imam ibn i‘sa muhammad ibn i‘sa ibn surah at tirmidzi (wafat: th. 279), Imam ibn
abdurrahman ahmad ibn syu‘aib an nasa‘i (wafat: th. 303 H), Imam abi abdullah muhammad ibn
yajid ar rab‘i al qajawaini. Mereka menulis hadis yang termasyur dikalangan umat Islam. Jumlah
hadistnya mencapai puluh ribuan bahkan ratusan ribu.
Dalam makalah ini penulis menyajikan keterangan mengenai para perawi Hadist yang
tergolong ke dalam Kutub as Sittah dan juga Al Muwaththa‘. Siapakah mereka sebenarnya dan
bagaimana riwayat hidup mereka. Hal itu yang akan penulis informasikan dalam makalah singkat
ini.

PEMBAHASAN
A. Perawi Kutub As-Sittah
Abu Abdillah Muhammad Bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah, Muslim bin
Hajjaj bin Muslim bin Wardi bin Kawisyadz al-Qusyairi an-Naisaburi, Sulaiman bin al-Asy‘ats bin
Syidad bin Amr bin Amir, Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin adh-Dhahak as-Sulami at-
Tirmidzi al-Imam al-Alim al-Bari, Abu Abd ar-Rahman Ahmad bin Sya‘aib bin Bahr, Abu
Abdillah bin Yazid ibnu Majah, para perawi tersebut akan penulis uraikan satu-persatu sebagaimana
dari sumber yang telah kami dapatkan.
1. Imam Bukhari
a. Sejarah Imam Bukhari
Para ulama sepakat bahwa Shahih Bukhari adalah kitab yang paling shahih sesudah Al-
Quran. Pendapat yang masyhur ini, berkembang dalam masyarakat. Penulis kitab hadist shahih ini
adalah Imam Bukhari. Nama lengkap ulama ini adalah Abu Abdillah Muhammad Bin Ismail bin
Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah. Ulama ini lahir di Bukhara, suatu kota di Uzbekistan, wilayah
Uni Sovyet yang merupakan simpang jalan antara Rusia, Persi, Hindia dan Tiongkok. Karena itu,
dia disebut dengan nama Bukhari (putra daerah Bukhara). Beliau dilahirkan selesai shalat Jumat,
pada tanggal 13 Syawal 194 H (810M)
Al-Khatib al-Baghdadi menceritakan bahwa Bardizbah adalah seorang yang beragama
Majusi dan meninggal dalam keadaan Majusi. Sedangkan anak Bardizbah yaitu Mughirah telah
masuk Islam di masa al-Yaman al-Bukhari, seorang walikota daerah Bukhara.75
Sementara itu mengenai Imam Bukhari, al-Hafizh berkata ‖ketika Ismail bin Ibrahim
meninggal, Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) masih kecil. Oleh karena itu, Muhammad
75
[3] Ibid. Hal 175. lihat juga, Imam al-Hambali, Syarat-udz Dzahabi Fî Akbarinan Ad Dazahabi. Dar al-fikr Al-
Arabiyah. Vol. II. Hal. 130
56
Modul Materi: Ulumul Hadits
bin Ismail tumbuh dalam asuhan ibunya. Ibu Muhammad bin Ismail adalah seorang perempuan
yang taat beribadah yang dikarunai karamah. Dikisahkan Ghunjar dalam Tarikh Baghdad dan
Al-Ilka‘i dalam Syarh As-Sunnah, Bab Karamatu Al-Aulya, bahwa sewaktu kecil, kedua mata
Muhammad bin Ismail telah buta. Kemudian ibu Muhammad dalam tidurnya melihat Nabi
Ibrahim berkata kepadanya ‖Wahai kaum perempuan, sungguh Allah telah mengembalikan
kedua mata putramu karena kamu sering berdoa kepada-Nya. Dan dipagi harinya, sungguh
Allah telah mengembalikan penglihatan mata Imam al-Bukhari.
Bukhari mulai mempelajari Hadis sejak usianya masih muda sekali, bahkan sebelum
mencapai usia sepuluh tahun. Meskipun usianya masih sangat muda, dia memiliki kecerdasan
dan kemampuan menghafal yang luar biasa. Muhammad ibn Abi Hatim menyatakan bahwa dia
pernah mendengar Bukhari menceritakan bahwa dia mendapatkan ilham untuk mampu
menghafal Hadis. Ketika ditanya sejak usia berapa dia memperoleh ilham tersebut, dijawab
oleh Bukhari sejak berumur sekitar 10 tahun atau bahkan kurang dari itu.
Menjelang 16 tahun dia telah mampu menghafal sejumlah buku hasil karya ulama
terkenal pada masa sebelumnya, seperti Ibn al-Mubarak, Waki‘ dan lainnya. Dia tidak hanya
menghafal hadis-hadis dan karya para ulama terdahulu saja tetapi juga mempelajari dan
menguasai biografi dari seluruh perawi yang terlibat dalam periwayatan setiap hadis yang
dihafalnya, mulai dari tanggal dan tempat lahir mereka, juga tanggal dan tempat mereka
meninggal dunia dan sebagainya.
Imam Bukhari dikenal sebagai seorang muhadditsin, beliau banyak membaca Alquran
baik siang atau malam, serta gemar berbuat kebaikan kepada murid-muridnya. Mengenai
perawakannya, disebutkan Imam Bukhari adalah seorang syaikh yang berbadan kurus, tidak
tinggi juga tidak pendek. Hal ini diungkapkan al-Khatib al-Baghdadi.

b. Nama Kitab Karyanya.


Kitab inilah induk kitab-kitab hadis yang ternama. Al-Bukhari menamainya dengan:
‫ّ ٔعهّى‬ٛ‫ط سعٕل هللا طهٗ هللا ػه‬ٚ‫ تنًغُذ يٍ حذ‬ٛ‫تنﺠثيغ تنظح‬
(al-Jami‘ash-Shahih al-Musnad min Haditsi Rasul SAW). Kitab ini terbagi dalam 97 kitab,
dan 3.451 bab. Bukhari menyelesaikan Shahihnya dalam waktu 16 tahun. Setiap beliau
hendak menulis hadis, beliau mandi dan beristikharah.
Ibnu Shalah menetapkan bahwa jumlah hadis al-Bukhari ada 7.275 buah hadis dengan
berulang-ulang. Kalau tidak berulang-ulang ada 4.000 buah hadis. Hitungan Ibnu Shalah ini
diikuti oleh An-Nawawi Al-Hafizh berkata, ‖Mereka menetapkan demikian karena bertaqlid
terhadap al-Hamawy. Sesudah saya hitung baik-baik dengan cermat bahwa jumlah hadis al-
Bukhari berserta dengan yang berulang-ulang, selain hadis mu‘allaq dan muttabi‘i ada 7.397
buah hadis dan yang tidak berulang-ulang ada 2.602 buah. Jumlah yang mu‘allaq ada 1.341
buah, jumlah yang mutabi‘ ada 344 buah. Jumlah seluruhnya ada 9.082 hadis‖

c. Kitab Syarahnya
Sesungguhnya, tidak ada sebuah kitabpun yang mendapat perhatian besar sebesar
perhatian yang diperoleh oleh Shahih al-Bukhari. Lantaran itu didapatilah syarahnya
sebanyak 82 buah. Syarah-syarah itu ada yang panjang dan ada yang ringkas, ada yang
sedang, Diantaranya ialah A‘lam as-Sunnan susunan al-Khaththaby (388H), al-Kawakib ad-
Darari susunan Muhammad ibn Yusuf al-Kirmany (775H). Syarah yang banyak tersebar
dalam masyarakat adalah Irsyad as-Sari, karya Ahmad ibn Muhammad al-Mishry
alQashtalany (851 – 923H).
Di antara kitab syarah yang ada, hanya empat buah saja yang terpandang tinggi dari
segala segi, yaitu: 1) At-Tanqih, karya Badruddin az-Zarkasyi, 2) At-Taswsyih, karya
Jalaluddin as-Sayuthy, 3) Umdat al Qari, karya Badruddin al-Ainy, 4) Fath al-Bari, karya
Syihabuddin (ibnu Hajar) al-Asqalany.

2. Imam Muslim
a. Sejarah Imam Muslim
Nama lengkapnya ialah Muslim bin Hajjaj bin Muslim bin Wardi bin Kawisyadz al-
Qusyairi an-Naisaburi. Nama panggilan adalah Abul Husain. Beliau dinisbatkan kepada
Naisaburi karena Muslim adalah putra kelahiran Nisabur, pada tahun 204H (820M) yakni
kota kecil di Iran bagian Timur Laut. Muslim juga dinisbatkan kepada nenek moyangnya
Qusyair bin Ka‘ab bin Rabi‘ah bin Shasha‘ah suatu keluarga bangsawan besar.
57
Modul Materi: Ulumul Hadits
Imam adz Dzhabi berkata; Imam Muslim meninggal pada bulan Rajab tahun 261
Hijriyah di Naisabur. Ketika dia meninggal usianya mencapai lebih dari 50 tahun. Kisah
Imam Muslim meninggal telah disebutkan al-Khatib al Baghdadi dalam kitab Tarikh
Badhdad. Al-Khatib berkata, Ahmad bin Salamah berkata, ‖sewaktu Imam Muslim sedang
mengajar, ada seseorang menanyakan sebuah hadis yang Imam Muslim tidak mengetahuinya.
Imam Muslim lalu keluar dari ruangan tempatnya mengajar menuju rumah. Setelah
menyalakan lampu, dia berpesan kepada keluarga bahwa malam itu dia boleh diganggu.
Salah seorang keluarga Imam Muslim berkata, pada waktu yang bersamaan mereka
menerima hadiah kurma. Lalu mereka menyuguhkan kurma tersebut kepada Imam Muslim.
Di saat dia mencari hadis, tangannya mengambil biji kurma satu demi satu dan memakannya
sampai kenyang. Ketika kurma itu habis, dia baru menemukan hadis yang dimaksud.
Bermula dari memakan kurma itulah, Imam Muslim menderita sakit perut dan akhirnya
meninggal.

b. Nama Kitab Karyanya


Dalam bidang hadis, Imam Muslim banyak sekali menyumbangkan karya-karya
kepada umat Islam. Salah satunya, adalah ٛ‫( تنحثيغ تنظح‬Jami‘ush Shahih). Kitab ini berisikan
sebanyak 7.273 buah hadis, termasuk dengan yang terulang. Kalau dikurangi dengan hadis
yang terulang tinggal 4000 hadis saja. Shahih Muslim adalah kitab yang kedua dari kitab-
kitab hadis yang menjadi pegangan (pedoman) sesudah Shahih Bukhari. Shahih muslim lebih
baik susunan dari Shahih al-Bukhary. Karena itu mudah mencari hadis di dalamnya, daripada
di dalam Shahih al-Bukhary.
Para ulama menyebut kitab shahih ini sebagai kita yang belum pernah didapati
sebelum dan sesudahnya dalam segi tertib susunannya, sistematis isinya, tidak bertukar-tukar
dan tidak berlebih dan tidak berkurang sanad-sanadnya. Al-Hafis Abu Ali an-Nisabury
berkata ‖di bawah kolong langit tidak terdapat seshahih kitab hadis selain kitab Shahih
Muslim ini‖.
Imam an-Nawawi mengatakan, dalam kitab Shahih Muslim hadis-hadis dan jalur
periwayatannya disajikan kepada pembaca dengan susunan dan pemaparan yang tertib dan
indah. Keindahan itu dapat ditemui dari tahqiq Imam Muslim yang matang terhadap jalur
periwayatan hadis, sehingga substansi kitab sangat dalam dan penuh dengan aneka macam
bentuk kewara‘an dan kehati-hatian.
Pola penyajian hadis dengan ramping dan ringkas dilakukan setelah dia mengoreksi
jalur periwayatan dengan menyeleksi dan membatasi makna hadis agar tidak terlalu melebar.
Hal itu hanya bisa ditempuh oleh orang-orang yang pandai mengetahui dan memiliki banyak
riwayat hadis.
Al-Hafizh berkata, dalam kitab al-Jami‘ karya Imam Muslim bin Hajaj terdapat
kandungan dan manfaat yang besar yang belum dapat dihasilkan oleh orang lain. Oleh karena
itu, ada sebagian ulama lebih mengunggulkannya atas Kitab ash-Shahih karya Imam al-
Bukhari karena beberapa pertimbangan.
Di antaranya, karena faktor terkumpulnya semua jalur periwayatan hadis dan pola
penyampain yang mudah dipahami pembaca. Di samping itu, Imam Muslim selalu berusaha
menyampaikan matan hadis sebagai dia terima dari syaikhnya tanpa memutuskan riwayat
dan tidak pula berusaha meriwayatkan hadis dengan maknanya.

c. Kitab Syarahnya
Kitab-kitab syarah Shahih Imam Muslim ada 15 buah. Yang amat terkenal
diantaranya Al-Mu‘lim bi Fawa‘idi, karya Al-Mazary (536 H), Al-Ikmal karya al-Qhadhi
Iyadh (544 H), Minhaj al-Muhadditsin karya an-Nawawy (676H), Ikmal al Ikmal, karya az-
Zawawy (744H), Ikmal al-Ikmali Mu‘lim karya Abu Abdillah al-Abiyy al Maliky (927 H).
Syarh al-Qadhy Iyadh menyempurnakan Syarh al-Mazary, Syarh an-Nawawy
mengumpulkan Syarh al-Mazary, Syarh al-Qadhyu Iyadh dan Syarh Mufhim al-Qurthuby
(Syarh Mukhtasar Muslim yang disusun oleh al-Qurthuby). Syarh Abu Abdillah al-Abiyy al-
Maliky, terkandung di dalamnya Syarh al-Mazary, al-Qadhi Iyadh, al-Qurthuby dan an-
Nawawy selain daripada tambahan dan tanbih.

58
Modul Materi: Ulumul Hadits
3. Imam Abu Daud
a. Sejarah Imam Abu Daud
Menurut Ibnu Hatim nama lengkap Abu Daud adalah Sulaiman bin al-Asy‘ats bin
Syidad bin Amr bin Amir. Sedang menurut al-Khatib al-Baghdadi, nama Abu Daud adalah
Sulaiman bin al-Asy‘ats bin Syidad bin Amr bin Imran. Dikatakan bahwa kakek kedua Imam
Abu Daud yang bernama Imran adalah salah seorang yang berjuang bersama Ali bin Abi
Thalib dalam Perang Shiffin.
Menurut adz-Dzahabi, Abu Daud lahir pada tahun 202 Hijriyah. Ia sering melakukan
rihlah, mengumpulkan hadis menelurkan karya dalam bidang hadis. Abu Ubaid al-Ajari
berkata, ‖aku telah mendengar Abu Daud berkata: ‖Aku dilahirkan pada tahun 202 Hijriyah
dan aku turut menyalati Affan yang meninggal pada tahun 220 Hijriyah. Ketika aku masuk
Mesir, mereka berkata, ‖Kemarin, Ustman bin al-Haitsam al-Muadzin meninggal. Aku
pernah satu kali mengikuti pengajian Abu Umar bin adh-Dharir. Abu Ubaid al-Ajari berkata,
Abu Daud meninggal pada tanggal 16 Syawal tahun 275 Hijriyah.

b. Nama Kitab Karyanya


Diantara karyanya yang terbesar dan sangat berfaedah bagi para Mujtahid ialah kitab
Sunan yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Abu Daud. Abu Daud sendiri
mengatakan, ‖Aku telah menulis hadis Rasul sebanyak 500.000 hadis, kemudian aku pilih
sejumah 4.800 lalu masukkan dalam kitab ini‖.
Kemudian dikatakannya; ‖Saya tidak meletakkan sebuah hadis yang telah disepakati
oleh orang banyak untuk ditinggalkannya. Saya jelaskan dalam kitab tersebut nilainya
dengan shahih, semi shahih (yusybihuhu), mendekati shahih (yuqaribuhu) dan jika dalam
kitab saya tersebut terdapat hadis yang wahnun syahidun (sangat lemah) ―.
c. Kitab-Kitab Syarahnya
Kitab syarah diantaranya Ma‘alim as-Sunan karya al-Khataby dan Aun al-Ma‘bud
karya seorang ahli hadis yang terkenal di India, Abu ath-Thaib Syams al-Haqq Azhim
Abady. Sebaik-baik kitab mukhtasarnya ialah Mujtaba‘susunan al-Mundziry yang telah
disyarahkan as-Sayuthy. Al-Mujtaba itu telah disaring oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Hasil
saringan itu dinamai Tahdzib as-Sunan.

4. Imam Al-Tirnidzi
a. Sejarah Imam Al-Tirmidzi
Nama lengkapnya Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin adh-Dhahak as-
Sulami at-Tirmidzi al-Imam al-Alim al-Bari. Dia dilahirkan pada tahun 200 H (824M) di
sebuah kota kecil Turmudz yang terletak di pinggir Utara Sungai Amuderia, sebelah Utara
Iran. Imam Bukhari dan Imam at-Tirmidzi, keduanya sedaerah, sebab Bukhara dan Turmudz
itu adalah satu daerah dari daerah Waraun Nahar.
Al-Mizzi berkata ‖Al-Hafizh Abul Abbas Ja‘far bin Muhammad bin Mu‘taz al-
Mustaghfiri berkata ‘Abu Isa at-Tirmidzi al-Hafizh meninggal di daerah Turmudz pada
malam Senin, 13 Rajab 279 Hijriyah.

b. Nama Kitabnya Karyanya


Para ulama menyebutkan nama kitab Imam at-Tirmidzi ini, antara lain adalah:
1) Shahih at-Tirmidzi. Orang yang sering menyebutnya demikian adalah al-Khatib al-
Baghdadi sebagaimana disebutkan Jalaluddin as-Suyuthi.
2) al-Jami‘ ash-Shahih. Orang yang sering menyebutnya demikian adalah al-Hakim.
3) al-Jami‘ al-Kabir. Penyebutkan dengan nama ini jarang digunakan dan orang yang
menyebutnya demikian adalah al-Kattani dalam Kitab ar-Risalah al-Muthrafah.
4) as-Sunan. Nama ini adalah nama yang masyhur digunakan dengan menisbatkan
nama tersebut kepada penyusunnya, as-Sunan at-Tirmidzi, guna membedakan
dengan Kitab as-Sunan lainnya.
5) Al-Jami‖. Nama ini adalah nama yang paling sering digunakan dan paling masyhur.
Ketika dinisbatkan kepada penyusunnya, yaitu Jami‘ at-Tirmidzi.
Syeikh Mana al-Qathan dalam ‫ط‬ٚ‫(يدثحط فٗ ػهٕو تنحذ‬Mabahits fi Ulum al-Hadits)
mengelompokkan karya at-Tirmizi ini dalam kelompok shahih dengan sebutan al-Jami‘ ash-
Shahih.

59
Modul Materi: Ulumul Hadits
c. Kitab-Kitab Syarahnya
Sebagian syarahnya ialah Syarh as-Sayuthi dan Syarh an Sindy. Syarahnya yang
paling besar ialah Aridhah al-Ahwadzy karya Ibnu Arabi al-Maliki dan sebagian dari
Mukhtasarnya ialah Mukhtasar al-Jami‘ karya Najmuddin ibn Aqil.

5. Imam An-Nasai’
a. Sejarah Imam An-Nasa‘i
Imam Nasa‘i nama lengkapnya ialah Abu Abd ar-Rahman Ahmad bin Sya‘aib bin
Bahr. Nama Imam Nasa‘iy dinisbatkan kepada kota tempatnya dilahirkan. Imam Nasa‘i
dilahirkan pada tahun 215 H, di kota Nasa yang masih termasuk wilayah Khurasan. Imam
Nasa‘i wafat pada hari Senin, tanggal 13 bulan Shafar, tahun 303H (915M), di ar-Ramlah.
Menurut suatu pendapat, dia meninggal di Mekah dan dikebumikan di suatu tempat antara
Shafa dan Marwah.

b. Nama Kitab Karyanya


Sunan yang ditulis An-Nasa‘iy bernama al-Mujtaba‘ min as-Sunan (sunan-sunan
pilihan). Sunan ini dinamai al-Mujtaba‘ karena pada mula-mulanya an-Nasa‘iy menyusun
sunan-nya yang besar lalu memberikannya kepada seorang amir di ar-Ramlah. Amir itu
bertanya ‖Apakah isi sunan ini shahih seluruhnya?‖ an-Nasa‘iy menjawab, ‖isinya ada yang
shahih, ada yang hasan dan ada yang hampir serupa dengan keduanya.‖ Kemudian sang amir
memerintahkan Imam Nasa‘iy memisahkan yang shahih saja. Sesudah itu Imam an-Nasa‘iy
menyaring sunannya dan menyalin yang shahih saja dalam sebuah kitab yang lain dengan
menamainya al-Mujtaba‘. Kedudukannya di bawah derajat shahih Muslim, karena terdapat
sedikit hadis yang dha‘if di dalamnya.

c. Kitab syarahnya
Apabila dikatakan hadis riwayat an-Nasa‘I, maka yang dimaksudkan ialah riwayat
yang dalam al-Mujtaba‘ itu. Diantara ulama yang mensyarahkan kitab itu ialah as-Sayuthy
dan as-Sindy.

6. Ibnu Majah
a. Sejarah Ibnu Majah
Ibnu Majah adalah nama nenek moyang yang berasal dari kota Qazwin, salah satu
kota di Iran. Nama lengkap imam hadis yang terkenal dengan sebutan neneknya ini, ialah
Abu Abdillah bin Yazid ibnu Majah. Beliau dilahirkan di Qazwin pada tahun 207 H (824M).
Sebagaimana halnya muhadditsin dalam mencari hadis memerlukan perantauan ilmiah, maka
Ibnu Majah berkeliling di beberapa negeri untuk menemui dan berguru hadis kepada ulama
hadis. Dari tempat perantauannya itu, beliau bertemu dengan murid-murid Imam Malik dan
al-Laits, dan dari sinilah Ibnu Majah banyak memperoleh hadis.
b. Nama Kitab Karyanya
Ibnu Majah menyusun kitab Sunan yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Ibnu
Majah. Yang mula-mula menjadikan susunan kitab ini menjadi kitab induk hadis yang
keenam adalah Ibnu Thahir al-Maqdisy, kemudian diikuti oleh al-Hafis Abd al-Ghany al-
Maqdisy dalam kitab al-Ikmal. Mereka mendahulukan sunan ini atas al-Muwaththa‘, karena
banyak zawaidnya atas kitab lain.

c. Kitab-Kitab Syarahnya
Sebagian dari syarah Sunan Ibnu Majah adalah Mishbah az-Zujajah, karya as-
Sayuthy dan Syarh as-Sindy.

B. Perawi Al-Muwaththa’
1. Sejarah Imam Malik
Imam malik bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin
Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris Al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun
712-796 M. Berasal dari keluarga Arab yang terhormat dan berstatus sosial yang tinggi, baik
sebelum datangnya islam maupun sesudahnya, tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah
nenek moyangnya menganut islam mereka pindah ke Madinah, kakeknya Abu Amir adalah
anggota keluarga pertama yang memeluk agama islam pada tahun ke dua Hijriah.
60
Modul Materi: Ulumul Hadits
Kakek dan ayahnya termasuk ulama hadis terpandang di Madinah, oleh sebab itu, sejak
kecil Imam Malik tidak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu, karena beliau merasa
Madinah adalah kota sumber ilmu yang berlimpah dengan ulama ulama besarnya. Imam Malik
menekuni pelajaran hadis kepada ayah dan paman pamannya juga pernah berguru pada ulama
ulama terkenal seperti Nafi‘ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab Al Zuhri, Abu Zinad, Hasyim bin Urwa,
Yahya bin Said Al Anshari, Muhammad bin Munkadir, Abdurrahman bin Hurmuz dan Imam
Ja‘far AsShadiq.
Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia
pendidikan, tidak kurang empat Khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Harun Arrasyid dan Al
Makmun pernah jadi muridnya, bahkan ulama ulama besar Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‘i
pun pernah menimba ilmu darinya, menurut sebuah riwayat disebutkan bahwa murid Imam Malik
yang terkenal mencapai 1.300 orang. Ciri pengajaran Imam malik adalah disiplin, ketentraman dan
rasa hormat murid terhadap gurunya.

2. Karya Imam Malik


Karya Imam malik terbesar adalah bukunya Al Muwatha‘ yaitu kitab fiqh yang
berdasarkan himpunan hadis hadis pilihan, menurut beberapa riwayat mengatakan bahwa buku Al
Muwatha‘ tersebut tidak akan ada bila Imam Malik tidak dipaksa oleh Khalifah AlMansur sebagai
sangsi atas penolakannya untuk datang ke Baghdad, dan sangsinya yaitu mengumpulkan hadis-
hadis dan membukukannya. Awalnya imam Malik enggan untuk melakukannya, namun setelah
dipikir pikir tak ada salahnya melakukan hal tersebut Akhirnya lahirlah Al Muwatha‘ yang ditulis
pada masa khalifah Al Mansur (754-775 M) dan selesai di masa khalifah Al Mahdi (775-785 M),
semula kitab ini memuat 10 ribu hadis namun setelah diteliti ulang, Imam Malik hanya
memasukkan 1.720 hadis. Selain kitab tersebut, beliau juga mengarang buku Al Mudawwanah Al
Kubra.
Imam malik tidak hanya meninggalkan warisan buku, tapi juga mewariskan Mazhab
fiqhinya di kalangan sunni yang disebut sebagai mazhab Maliki, Mazhab ini sangat mengutamakan
aspek kemaslahatan di dalam menetapkan hukum, sumber hukum yang menjadi pedoman dalam
mazhab Maliki ini adalah Al Quran, Sunnah Rasulullah, Amalan para sahabat, Tradisi masyarakat
Madinah, Qiyas dan Al Maslaha Al Mursal (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh
dalil tertentu.

C. Musnad Imam Ahmad


1. Sejarah Imam Ahmad
Ahmad bin Hambal adalah Imam Abu ‗Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal As-
Syaibani Al Marwazi Al Baghdadi. Beliau dilahirkan pada tahun 164 di Marwu. Kemudian beliau
dibawa ke Baghdad ketika masih menyusui. Ada yang mengatakan bahwa beliau dilahirkan di
Baghdad. Beliau tumbuh sebagai anak yatim. Beliau berkeliling ke berbagai negeri dan daerah
dalam rangka mencari hadits. Beliau mendengar hadits dari para syaikh pada zamannya di daerah
Hijaz, ‗Iraq, Syam, dan Yaman. Beliau sangat perhatian terhadap Sunnah dan fiqih hingga para
ahli hadits menganggapnya sebagai imam dan ahli fiqih mereka. Beliau meninggal pada tahun 241
H di Baghdad dalam usia 77 tahun.

2. Musnad Imam Ahmad


Para ahli hadits dahulu maupun sekarang telah memberi persaksian bahwa Musnad Imam
Ahmad merupakan kitab hadits yang lengkap karena setiap muslim membutuhkannya dalam
urusan agama dan dunianya. Ibnu Katsir berkata, ―Tidak ada satu kitab Musnad pun yang
menandingi Musnad Ahmad dalam hal jumlah hadits dan keindahan susunan.‖
Hambal berkata, ―Ayah mengumpulkan kami, saya, Shalih dan ‗Abdullah, lalu dia
membacakan Musnad-nya kepada kami dan tidak ada selain kami yang mendengarnya. Beliau
berkata, ‗Kitab ini aku sarikan dari 57 ribu hadits lebih. Jika kaum muslimin berselisih mengenai
suatu hadits dari rasulullah shallallahu ‗alaihi wa sallam, maka merujuklah ke dalamnya. Jika
kalian mendapati hadits tersebut di dalamnya, berarti dapat dijadikan hujjah, tetapi jika kalian tidak
mendapatinya, berarti hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah.‖
Meskipun begitu, Adz Dzahabi berkata, ―Perkataan beliau ini hanya pada kebanyakan
perkara karena kita memiliki hadits-hadits yang juga berderajat kuat dan terdapat dalam Ash
Shahihain, kitab-kitab Sunan, dan kitab-kitab Al Ajza-u Al Haditsiyah yang tidak terdapat dalam
Musnad beliau.―.
61
Modul Materi: Ulumul Hadits
Kitab musnad ini diberi tambahan oleh anaknya (Abdullah), beberapa hadits yang dia
riwayatkan dari ayahnya dan dikenal dengan nama Zawa`id Al ‗Abdillah. Kitab ini juga diberi
tambahan hadits-hadits oleh Abu Bakar Al Qathi‘i yang dia riwayatkan dari ‗Abdullah dari
ayahnya selain dari ‗Abdullah dan ayahnya. Hadits dalam Musnad ini mencapai 40 ribu buah
termasuk yang diulang, dan 30 ribu jika tanpa pengulangan.

D. Sunan Ad-Darimy
1. Sejarah Imam Ad-Darimy
Beliau adalah Al-Hafizh al-Imam Abdullah bin Abdul Rahman bin Fadhl bin Bahram bin
Abdillah abu Muhmad ad-Darimi as-Samarqandi.76 ad-Darimi adalah nama lengkapnya Darim bin
Malik bin Handalah bin Zaid bin Munah bin Tamim77. Ia di lahirkan pada taun 181 H (ada juga
yang berpendapat 182) atau bertepatan dengan tahun 797 M
Beliau meninggal dunia pada hari Kamis, 8 Dzulhidjah (hari tasriah) setelah ashar tahun
225 H /69 M, dalam usia 75 tahun. Dan dikuburkan keesokan harinya, Jumat (hari Arafah.78

2. Guru-Guru Imam Ad-Darimy


Imam Ad-Dzarimt mendapatkan ilmunya dari Yazid bin Tharus, Nadzar bin Syumail (paling
awal meninggal diantara guru-gurunya), Imam Muslim dan yang lainnya[4]. Dan setelah
mendapatkan ilmu dan memulai menapaki masa-masa kematangan intelektualnya, beliaupun mulai
mengajar dan berkarya.

3. Karyanya
Dalam perjalanan hidup beliau menghasilkan karya sebagai berikut:
 Sunan ad-Darimi (ada juga yang menyebutnya al-Jam‘u ash-Shahiih), tsulutsiyat (kitab
hadits).

 Isi Sunan ad-Darimi


a. Kitab ini di mulai dengan muqaddimah dan bab-bab pengantar yang berisi seperti:
I. Kondisi manusia sebelum islam
II. tentang sifat, mu‘jizat Nabi
III. tentang fatwa
IV. tentang ilmu dan orang berilmu
V. kemudian di sambung dengan kitab Taharah, kitab Shalat dan di akhiri dengan
kitab Fadhail al-Qur‘an.
b. Jumlah kitab dalam Sunan Darimi seluruhnya berjumlah 23 kitab.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana yang telah kita ketahui Al-Hadis adalah sumber hukum Islam yang kedua. Ia
berperan menjelaskan keterangan dalam Al-Quran yang masih bersifat Universal. Dalam
penulisannya Al-Hadis diriwayatkan oleh perawi-perawi yang telah memenuhi syarat untuk
menulis hadis. Dalam perkembangannya kitab hadis membawa perawinya termasuk ke dalam
golongan Kutub As-Sittah yang terdiri dari enam perawi yaitu: Imam Al Bukhari, Imam Muslim,
Imam At-Tirmidzi, Imam Abu Daud, Imam An-Nasai‘ dan Imam Ibnu Majah. Sebuah penghargaa
untuk para perawi yang telah mengestafetkan ajaran Rasulullah SAW. Tidak sampai disitu saja ada
pula perawi yang menulis buku Al-Muwaththa‘ yaitu Imam Malik yang sekaligus termasuk dalam
gologan empat Imam Madzab yang terkenal dengan sebutan Madzab Maliki.
Kemudian juga ada Musnad yang merupakan karya Imam Ahamd yang menambah
penegasan tentang ajaran Islam yang mengatur secara menyeluruh kehidupan umat Islam. Terdapat
juga Sunan Ad-Darimy yang menjadi sumber tambahan yang mampu menguatkan semua peraturan
dan contoh teladan atas semua sunah Nabi Muhammad saw.

76
Syamsuddin adz-Dzahabi, Syar ‗Alam Nubala. Dar Fikr. Vol. X. Hal. 173. lihat juga, al-A‘lam. Vol. IV. Hal 95.
juga Mu‘jam-ul ‗Muallifîn. Vol.VI. Hal.71. Sebagaimana dituturkannya sendiri (saya di lahirkan pada tahun wafatnya Ibnu
Mubarak 181 H.
77
ibid
78
Syamsudin adz-Dzahabi. ibid

62
Modul Materi: Ulumul Hadits
B. Saran
Dalam Tulisan ini tentunya mempunyai kelebihan dan kelemahan. Jika memang terdapat
kelebihan dari makalah ini, itu semata-mata dating dari Allah SWT. Namun bila terdapat
kekeliruan maka kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
terciptanya makalah yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini memberikan menfaat untuk
terciptanya kehidupan secara Islamiyah. Amin!

DAFTAR PUSTAKA
1. Farid, Ahmad, Min A‟lam As-Salaf terjemah 60 Biografi Ulama Salaf, Jakarta: Al-
Kautsar,2006.
2. Rahman, Fatchur Drs, Ikhtisar Mushthahul Hadits, Bandung: PT Alma‘arif, 1974
3. ash-Shiddieqy, TM Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Rizki Putra,
2009.
4. al-Qathan, Manna, Mabahits fi Ulum al-Hadits, Maktabah Wahbah, 2001
5. Yuslem, Nawer Prof. Dr, Ulumul Hadis, Jakarta:PT Mutiara Sumber Widya, 2010
6. http://bismillahku.blogspot.com/2011/05/mengenal-kutus-sittah-musnad-imam-ahmad.html
7. http://pwkpersis.wordpress.com/2008/06/15/imam-ad-darimi-kitabnya-as-sunan/

63
Modul Materi: Ulumul Hadits
TEMA 13
Inkarus Sunah.
POKOK-POKOK PEMBAHASAN:
1. Pengertian, sejarah dan tokoh – tokohnya
2. Argument para munkirus sunnah
3. Bantahan ulama‘ terhadap para munkirus sunnah

__________________________________________________________________________________

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hadits adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW baik berupa perkataan atau
perbuatan dan atau persetujuan.Hadits berkedudukan sebagai sumber hukum Islam yang kedua
setelah Al-Qur‘an.Adanya hadits berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat Al-Qur‘an.
Akan tetapi dari disampaikannya hadits-hadits yang disandarkan pada Rasulullah SAW tidak
semua disetujui oleh semua ummat Islam. Terdapat golongan yangmengakui akan ketidakbenaran
kehadiran hadits-hadits tersebut. Dengan pemikiran-pemikiran yang membuat kokohnya pendapat
yang tidak mempercayai Sunnah tersebut, golongan-golongan yang terlibat pun ikut andil untuk
mengingkari segala yang sampai pada mereka. Maka perlunya untuk membahas peristiwa Al-Inkar
Al-Sunnah tersebut.

PEMBAHASAN
A. Pengertian Ingkar Sunnah
Kata ―Ingkar Sunnah‖ terdiri dari dua kata yaitu ―Ingkar‖ dan ―Sunnah‖. Kata ―Ingkar‖
berasal dari akar kata bahasa Arab‫إَكثست‬-‫ُكش‬ٚ-‫ أَكش‬yang mempunyai arti diantaranya :‖Tidak mengakui
dan tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atautidak mengetahui sesuatu. Misalnya Firman
Allah :
ٌَُٔ‫ ِّ فَ َؼ َشفَُٓ ْى َُْٔ ْى نَُّ ُي ُْ ِكش‬ْٛ َ‫فَ َذ َخهُٕت َػه‬
“Lalu mereka (saudara saudara Yusuf) masuk ke (tempat) nya. Maka Yusuf mengenal mereka,
sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya kepadanya.”(QS.Yusuf (12) :58).
ٌَُٔ‫ُ ُْ ِكشَََُٔٓث َٔأَ ْكعَ ُشُْ ُى ْتن َكثفِش‬ٚ ‫هللاِ ظُ َّى‬
َّ َ‫ْشفٌَُٕ َِؼْ ًَر‬ِ ‫َؼ‬ٚ
“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah
orang orang yang kafir.‖(QS.An-Nahl (16) :83).

Al Askari membedakan antara makna An Inkar dan Al Juhdu.KataAl Inkar terhadap sesuatu
yang tersembunyi dan tidak disertai pengetahuan, sedang Al Juhduterhadap sesuatu yang nampak
dan disertai dengan pengetahuan. Dengan demikian bisa jadi orang yang mengingkari sunnah
sebagai hujjah dikalangan orang yang tidak banyak pengetahuannya tentang ulum hadits. Dari
beberapa kata‖Ingkar‖ di atas dapat disimpulkan bahwa Ingkar secara etimologis diartikan
menolak, tidak mengakui, dan tidak menerima sesuatu, baik lahir dan batin atau lisan dan hati yang
dilatar belakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau faktor lain.79
Orang yang menolak sunnah sebagai hujjah dalam beragama oleh umumnya ahli hadits disebut
ahli bid‘ah. Mereka itu, kaum Khawarij, Mu‘tazilah dan lain lain karena mereka itu umumnya
menolak sunnah.
Ada beberapa definisi Ingkar Sunnah yanng sifatnya masih sangat sederhana pembatasannya
diantaranya sebagai berikut :
a. Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai
sumber ajaran agama Islam kedua setelah Al Qur‘an.
b. Suatu paham yang timbul pada sebagian minoritas umat Islam yang menolak dasar hukum
Islam dari Sunnah shahih baik sunnah praktis atau yang secara formal dikodifikasikan para
ulama, baik secara totalitas mutawatir atau ahadatau sebagian saja, tanpa ada alasan yang
diterima.

79
Azami, M.2004.Menguji Keaslian Hadis Hadis Hukum.Jakarta :Pustaka Firdaus.
64
Modul Materi: Ulumul Hadits
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa Ingkar Sunnah adalah paham atau pendapat
perorangan atau kelompok bukan gerakan atau aliran, ada kemungkinan paham ini dapat menerima
sunnah selain sebagai sumber hukum Islam, misalnya sebagai fakta sejarah, budaya, tradisi dan
lain lain. Paham Ingkar Sunnah bisa jadi menolak keseluruhan sunnah baik sunnah
mutawatir dan ahad atau menolak yang ahad saja atau sebagian saja.
Demikian juga penolakan sunnah tidak didasari alasan yang kuat, jika dengan alasan yang
dapat diterima oleh akal sehat, seperti seorang mujtahid yang menemukan dalil yang lebih kuat
daripada hadits yang ia dapatkan, atau hadits itu tidak sampai kepadanya, atau karena
kedhaifannya atau karena tujuan syar‘i yang lain maka tidak digolongkan Ingkar Sunnah. 80

B. Sejarah Ingkar Sunnah


Sejarah Ingkar Sunnah terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut :
a. Ingkar Sunnah Klasik
Ingkar Sunnah Klasik terjadi pada masa Imam Asy-Syafi‘i (w. 204 H) yang menolak
kehujjahan sunnah dan menolak sunnah sebagi sumber hukum Islam baikmutawatir atau ahad.
Imam Asy-Syafi‘i yang dikenal sebagai Nashir As Sunnah (pembela sunnah)pernah didatangi oleh
orang yang disebut sebagai ahli tentang mazhab teman temannya yang menolak seluruh sunnah. Ia
datang untuk berdiskusi dan berdebat dengan Asy-Syafi‘i secara panjang lebar dengan berbagai
argumentasi yang ia ajukan. Namun, semua argumentasi yang dikemukakan orang tersebut dapat
ditangkis oleh Asy-Syafi‘i dengan jawaban yang argumentatif, ilmiah, dan rasional sehingga
akhirnya ia mengakui dan menerima sunnah Nabi.
Muhammad Abu Zahrah berkesimpulan bahwa ada kelompok pengingkar Sunnah yang
berhadapan dengan Asy-Syafi‘i yaitu :
1) Menolak sunnah secara keseluruhan, golongan ini hanya mengakui Al Qur‘an saja yang
dapat dijadikan hujjah.
2) Tidak menerima sunnah kecuali yang semakna dengan Al Qur‘an.

Kesimpulannya Ingkar Sunnah klasik diawali akibat konflik internal umat Islam yang
dikobarkan oleh sebagian kaum Zindik yang berkedok pada sekte sekte dalam Islam, kemudian di
ikuti oleh para pendukungnya dengan cara saling mencaci para sahabat dan melemparkan hadits
palsu. Penolakan sunnah secara keseluruhan bukan karakteristik umat Islam. Semua umat Islam
menerima kehujjahan sunnah. Namun, mereka berbeda dalam memberikan kriteria persyaratan
kualitas sunnah.(Majid, Abdul Khon.2009.hal 27-40).

b. Inkar Sunnah Modern


Al Mawdudi yang dikutip oleh Khadim Husein Ilahi Najasy seorang Guru Besar Fakultas
Tarbiyah Jamiah Ummi Al Qura Thaif, demikian juga dikutip beberapa ahli Hadits juga
mengatakan bahwa Ingkar Sunnah lahir kembali di India, setelah kelahirannya pertama di Irak
masa klasik. Tokoh tokohnya ialah Sayyid Ahmad Khan (w.1897 M), Ciragh Ali (w.1898 M),
Maulevi Abdullah Jakralevi (w.1918 M), Ahmad Ad-Din Amratserri (w.1933M), Aslam
Cirachburri (w.1955M), Ghulam Ahmad Parwez dan Abdul Khaliq Malwadah, Sayyid Ahmad
Khan sebagai penggagas sedang Ciragh Ali dan lainnya sebagai pelanjut ide ide Abu Al Hudzail
pemikiran Ingkar Sunnah tersebut.81
Sebab utama pada awal timbulnya Ingkar Sunnah modern ini ialah akibat pengaruh
kolonialisme yang semakin dahsyat sejak awal abad 19 M di dunia Islam.

c. Pokok Pokok Ajaran Ingkar Sunnah:


1. Tidak percaya kepada semua hadits Rasulullah. Menurut mereka hadits itu karangan Yahudi
untuk menghancurkan Islam dari dalam.
2. Dasar Hukum Islam hanya Al Qur‘an saja.
3. Syahadat mereka :Isyhadu bi anna muslimun.
4. Shalat mereka bermacam macam ada yang shalatnya dua rakaat-dua rakaat dan ada yang
hanya eling (sebatas ingat) saja.
5. Haji boleh dilakukan selama empat bulan haram yaitu Muharram, Rajab, Zulqa‘idah, dan
Zulhijah.

80
Ibid.
81
Majid, Khon Majid. 2009. Ulumul Hadis.Jakarta : Bumi Aksara.
65
Modul Materi: Ulumul Hadits
6. Pakaian ihram adalah pakaian Arab dan membuat repot. Oleh karena itu waktu mengerjakan
haji boleh memakai celana panjang dan baju biasa.
7. Rasul tetap diutus sampai hari kiamat.
8. Orang yang meninggal tidak dishalati karena tidak ada perintah dalam Al Qur‘an.

C. Argumen-Argumen Penguat Al-Inkar Sunnah


Terdapat dua hal yang menjadi argumen besar para pengingkar sunnah sebagai alasan dan
landasan yang digunakan. Argumen-argumen Naqli dan argumen-argumen non-naqli.82
a) Argumen Naqli
Yang dimaksud dengan argumen-argumen naqli tidak hanya berupa ayat-ayat Al-Qur‘an saja,
tetapi juga berupa sunnah atau hadits Nabi.
 Al-Qur‘an Surat An-Nahl ayat 89
ًٍَِٛ ِ‫ ٍء َُْٔذًٖ َٔ َسحْ ًَرً َٔخُ ْش َشٖ نِ ْه ًُ ْغه‬َٙ َ ‫ك ْتن ِكص‬
ْ ‫َثًَث نِ ُك ِّم ش‬ٛ‫َثج شِ ْد‬ َ ْٛ َ‫َََٔ َّض ْنَُث َػه‬
“ Dan Kami turunkan Kitab (Al Quran) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu.”
 Al Qur‘an Surat Al An‘am ayat 38
ْ ‫ج ِي ٍْ ش‬
.....‫ ٍء‬َٙ ِ ‫ ْتن ِكصَث‬ِٙ‫َّطَُث ف‬ ْ ‫َيث فَش‬
“Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al Kitab”
Menurut para pengingkar sunnah kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa AlQur‘an telah
mencangkup segala sesuatu berkenaan dengan agama. Menurut mereka salat lima waktu sehari
semalam yang wajib didirikan dan yang sehubungan dengannya, dasarnya bukanlah sunnah atau
hadits, melainkan ayat ayat Al Qur‘an, misalnya QS.Al Baqarah : 238, Al Hud:144, Al Isra:78 dan
110,Taha:130,Al Hajj:7, An Nur:58, Ar Rum 17-18. (ibid.)
Dalam kaitannya dengan tata cara shalat Kassim Ahmad pengingkar Sunnah dari Malaysia
menyatakan dalam bahasa Malaysia :
“Kita telah membuktikan bahwa perintah sembahyang telah diberi oleh Tuhan kepada Nabi
Ibrahim dan kaumnya dan amalan ini telah diperuntukkan generasi demi generasi, hingga
Muhammad dan umatnya.....(Kassim Ahmad), h. 104.
Ada hikmahnya yang besar mengapa Tuhan tidak memperincikan bentuk dan kaidah salat
dalam Al Qur‘an.Pertama, karena bentuk dan kaidah ini telah diajar kepada Nabi Ibrahimdan
pengikut pengikutnya dan di sahkan untuk di ikuti oleh umat Muhammad. Kedua, karena bentuk
dan kaidah ini tidak begitu penting dan Tuhan ingin memberi kelonggaran kepada umat
Muhammad supaya mereka boleh melakukan salat mereka dalam keadaan apajuga seperti dalam
perjalanan jauh, peperangan, di Kutub Utara, atau di angkasa lepas,mengikuti cara yang
sesuai....(Ibid, h.47)
Dengan demikian menurut pengingkar sunnah tata cara salat tidaklah penting. Para pengingkar
sunnah adalah orang orang yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak berhak sama sekali
untuk menjelaskan Al Qur‘an kepada umatnya.
Nabi Muhammad hanya bertugas untuk menerima wahyu dan menyampaikan wahyu itu
kepada para pengikutnya.Dalam Al Qur‘an dinyatakan bahwa orang yang beriman diperintahkan
untuk patuh kepada Rasulullah.
Hal itu menurut para pengingkar sunnah hanya berlaku sewaktu Rasulullah masih hidup, yakni
tatkala jabatanulul amri masih ditangan beliau. Setelah beliau wafat maka jabatanulul
amri berpindah kepada orang lain dan karenanya kewajiban patuh orang yang beriman kepada
Nabi Muhammad menjadi gugur. (Ibid, h.40-44)
 QS. Al Fathir :31
ُّ ‫ج ْ َُٕ ْتن َح‬
‫ق‬ ِ ‫ك ِيٍَ ْتن ِكصَث‬ َ ْٛ َ‫َُث إِن‬ْٛ ‫َٔتنَّ ِز٘ أَْٔ َح‬
Artinya: “ Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al Kitab (Al Qur'an) itulah yang
benar.”
 Sejumlah riwayat hadist yang antara lain berbunyi sebagai berikut :
.ُ‫هللا َٔ خِ ِّ َْذَتَِٗ هللا‬ ُ ِ‫ َٔتَِ ًَّث تََث َ ُي َٕ تف‬.ُ ّ‫َثج هللاِ فَهَ ْى تَقُ ْه‬
ِ َ ‫ق ِكصَثخث‬ َ ‫ق ِكص‬ َ َ‫هللا فَإ ِ ٌْ َٔتف‬
ِ ‫ج‬ ِ ‫ فَث َ ْػ ِشضُْٕ ُِ ػَه َٗ ِكصَث‬ْٙ ُِّ‫َيث تَشث َ ُك ْى َػ‬
Artinya : “Apa yang datang kepadamu dari saya, maka konfirmasikanlah dengan Kitabullah; Jika
sesuai dengan Kitabullah, maka hal itu berarti saya telah mengatakannya; Dan jika ternyata
menyalahi Kitabullah, maka hal itu bukanlah saya yang mengatakannya. Dan sesungguhnya saya
(selalu) sejalan dengan Kitabullah dan dengannya Allah telah memberi petunjuk kepada saya”.83

82
Ismail, Syuhudi. Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya.1995. Jakarta: Gema Insani
Press.h..
83
Rahman Fazlur.2002.Wacana Studi Hadits Kontemporer.Yogyakarta: Tiara Wacana.
66
Modul Materi: Ulumul Hadits
b) Argumen Non-Naqli
a. Al Qur‘an diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad (melalui Malaikat Jibril)
dalam bahasa Arab. Orang orang yang memiliki pengetahuan bahasa Arab mampu
memahami Al Qur‘an secara langsung, tanpa bantuan penjelasan dari hadits Nabi. Dengan
demikian hadits Nabi tidak diperlukan untuk memahami petunjuk Al Qur‘an. (al-Syafi‘i.
juz VII, h. 250)
b. Dalam sejarah umat Islam telah mengalami kemunduran. Umat Islam mundur karena umat
Islam terpecah pecah. Perpecahan itu terjadi karena umat Islam berpegang kepada hadits
Nabi. Jadi menurut para pengingkar sunnah, haditsNabi merupakan sumber kemunduran
umat Islam; Agar umat Islam maju, maka umat Islam harus meninggalkan hadits Nabi.
c. Asal mula hadits Nabi yang terhimpun dalam kitab kitab hadits adalah dongeng dongeng
semata. Dinyatakan demikian, karena hadits Nabi lahir setelah lama Nabi wafat. Dalam
sejarah, sebagian hadits baru muncul pada zaman tabi‘indan atba‘ al
tabi‘in (dibaca atba‘ut-tabi‘in), yakni sekitar empat puluh atau lima puluh tahun sesudah
Nabi wafat. Kitab kitab hadits yang terkenal, misalnya Shahih al-Bukhari dan Shahih
Muslim, adalah kitab kitab yang menghimpun berbagai hadits palsu. Disamping itu,
banyak matan hadits yang termuat dalam berbagai kitab hadits, isinya bertentangan
dengan Al Qur‘an ataupun logika. (Ibid)
d. Menurut dokter Taufiq Sidqi, tiada satupun hadits Nabi yang dicatat pada zaman Nabi.
Pencatatan hadits terjadi setelah Nabi wafat. Dalam masa tidak tertulisnya hadits itu,
manusia berpeluang untuk mempermainkan dan merusak hadits sebagai mana yang telah
terjadi.
e. Menurut pengingkar sunnah, kritik sanad yang terkenal dalam ilmu hadits sangat lemah
untuk menentukan keshahihan hadits dengan alasan sebagai berikut :
1) Dasar kritik sanad itu, yang dalam ilmu hadits dikenal dengan istilah ‗Ilm al-Jarh wa
al-Ta‘dil (ilmu yang membahas ketercelaan dan keterpujian pada periwayat hadits),
baru muncul setelah satu setengah abad Nabi wafat. Dengan demikian, para periwayat
generasi sahabat Nabi, al-tabi‘in, dan atba‘ al- tabi‘intidak dapat ditemui dan diperiksa
lagi.
2) Seluruh sahabat Nabi sebagai periwayat hadits pada generasi pertama dinilai adil oleh
ulama hadits pada akhir abad ketiga dan awal abad ke empat Hijriah. Dengan
konsep ta‘dil al-shahabah, para sahabat Nabi dinilai terlepas dari kesalahan dalam
melaporkan hadits.84

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ingkar Sunnah adalah paham atau pendapat perorangan atau kelompok bukan gerakan atau
aliran, ada kemungkinan paham ini dapat menerima sunnah selain sebagai sumber hukum Islam,
misalnya sebagai fakta sejarah, budaya, tradisi dan lain lain.
Namun perlu ditekankan bahwa adanya Inkar Sunnah setidaknya mengharuskan dilakukannya
suatu pembelajaran kembali yang lebih matang mengenai tafsir Qur‘an yang benar dan adanya
peninjauan kembali untuk menghadirkan analisa-analisa terhadap kebenaran-kebenaran
penyampaian hadits/sunnah yang tidak menekankan keterbukaan pemikiran yang sebenarnya dapat
membantu kehidupan.
Sehingga hidup yang dilandaskan pada Al-Qur‘an dapat benar-benar terealisasikan tanpa
adanya kekakuan pemikiran yang tidak terbuka terhadap pemahaman Al-Qur‘an itu sendiri, sebab
di dalam Al-Qur‘an juga terdapat beberapa ayat yang memerlukan penjelasan dari penerima wahyu
itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
1. Azami, M.2004.Menguji Keaslian Hadis Hadis Hukum.Jakarta :Pustaka Firdaus.
2. Majid, Khon Majid. 2009. Ulumul Hadis.Jakarta : Bumi Aksara.
3. Rahman Fazlur.2002.Wacana Studi Hadis Kontemporer.Yogyakarta: Tiara Wacana.
4. http://books.google.co.id/books?id=CjCf9YDkM-UC&pg=PA14&dq=inkar+al-sunnah&hl=en&sa=X&ei=04QaU-
uIO4e4rAfw_4CIBA&redir_esc=y#v=onepage&q=inkar%20al-sunnah&f=false

84
http://books.google.co.id/books?id=CjCf9YDkM-UC&pg=PA14&dq=inkar+al-
sunnah&hl=en&sa=X&ei=04QaU-uIO4e4rAfw_4CIBA&redir_esc=y#v=onepage&q=inkar%20al-sunnah&f=false
67
Modul Materi: Ulumul Hadits
TEMA 14
Takhrijul Hadits.
POKOK-POKOK PEMBAHASAN:
1. Pengertian takhrij hadits
2. Macam – macam takhrij hadits
3. Kitab – kitab yang digunakan dalam takhrij hadits

___________________________________________________________________________________
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Takhrij Hadits merupakan langkah awal dalam kegiatan penelitian hadits. Pada masa
awal penelitian hadits telah dilakukan oleh para ulama salaf yang mengetahui masalah Takhrij,
kaidah. Dan metodenya adalah seseuatu yang sangat penting bagi orang yang mempelajari ilmu-
ilmu syar‘i, agar mampu melacak suatu hadits sampai pada sumbernya.
Kebutuhan Takhrij dalah perlu sekali, karena orang yang mempelajari tidak akan dapat
membuktikan (menguatkan) dengan suatu hadits atau tidak dapat meriwayatkannya, kecuali
setelah ulama-ulama yang telah meriwayatkan hadits dalam kitabnya dengan dilengkapi
sanadnya, karena itu, masalah Takhrij ini sangat dibutuhkan setiap orang yang membahas atau
menekuni ilmu-ilmu syar‘I dan yang sehubungan dengannya. Sehingga untuk lebih jelasnya
tentang Takhrij Hadits ini akan dibahas dalam pembahasan selanjutnya.

PEMBAHASAN
A. Pengertian Takhrij Hadits
Takhrij menurut lughot berasal dari kata Khoroja, yang berarti tampak atau jelas. Takhrij
secara bahasa berarti juga berkumpulnya dua perkara yang saling berlawanan dalam satu
persoalan, namun secara mutlak, ia diartikan oleh para ahli bahasa dengan arti mengeluarkan
(al-istinbath), melatih atau membiasakan (at-tadrib), dan menghadapkan (at-taujih).85
Takhrij menurut istilah adalah penunjukan terhadap tempat hadis didalam sumber
aslinya yang dijelaskan sanad dan martabatnya sesuai keperluan.86
Para Muhaditsin mengartikan Takhrij Hadis sebagai berikut:
1. Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam
sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
2. Ulama mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis, atau
berbagai kitab lain yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayat sendiri, atau para
gurunya, siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan
sumber pengambilan.
3. Mengeluarkan, yaitu mengeluarkan hadis dari dalam kitab dan meriwayatkannya. Al-
Sakhawy mengatakan dalam kitab Fathul Mughits sebagai berikut, Takhrij adalah seorang
muadits mengeluarkan hadis-hadis dari dalam ajza, al-masikhat, atau mengeluarkan kitab-
kitab lainnya dan sebagainya, dan dibicarakan kemudian disandarkan kepada pengarang atau
penyusun kitab itu.
4. Dalalah (Symantic), yaitu menunjukan pada sumber hadis asli dan menyandarkan hadis
tersebut pada kitab sumber asli dengan menyebutkan perawi penyusunnya.
5. Menunjukan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni kitab
yang didalamnya dikemukakan secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, lalu untuk
kepentingan kepenelitian, dijelaskan kualitas sanad hadis tersebut.
Dari uraian definisi diatas, Takhrij dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para rawinya yang ada
dalam sanad hadis itu.

85
Abu Muhammad Al-mahdi Ibn Abd Al-Qodir Al-Hadi. Darul Ikhtisham: Thariqu Takhrij Hadis Rasullah „Alaihi
wasallam. t.t. p.6.
86
Mahmud Ath-Thahhan. Ushul At-Takhrij wa Dirasah As-Sanid. Riyad: Maktabah Rosyad. t.t. p. 12.
68
Modul Materi: Ulumul Hadits
2. Mengemukakan asal-usul hadis sambil dijelaskan sumber pengambilannya dari berbagai
kitab hadis, yang rangkaian sanadnya berdasarkan riwayat yang telah diterimanya sendiri
atau berdasarkan rangkaian sanad gurunya, dan yang lainnya.
3. Mengemukakan hadis-hadis berdasarkan sumber pengembaliannya dari kitab-kitab yang
didalamnya dijelaskan metode periwayatannya dan sanad hadis-hadis tersebut, dengan
metode dan kualitas para rawi sekaligus hadisnya. Dengan demikian, pentakhrijan hadis
penelusuran atau pencarian hadis dalam berbagai kitab hadis (sebagai sumber asli dari hadis
yang bersangkutan), baik menyangkut materi atau isi (matan), maupun jalur periwayatan
(sanad) hadis yang dikemukakan.87

B. Macam-macam Takhrij Hadits


Dalam melakukan kegiatan Takhrij, kita bisa memilih salah satu dari 3 (tiga) macam
sebagaimana berikut ini. Pembedaan macam Takhrij itu hanyalah seberapa luas pembahsan
yang kita lakukan dalam kegiatan tersebut. Lebih jelasnya, sebagai berikut:
1. Takhrij Muwassa‘/Tafshili (Detail)
Pentakhrij melakukan kegiatan Takhrij pada semua jalur sanad hadits yang
ditemukannya, menyebutkan semua sumber dimana hadits tersebut berada, serta
menjelaskan kualitas hadits. Ia juga menyertakan pendapat para ulama tentang hadits
tersebut dan kajian-kajian terbaru para ulama terkait hadits tersebut baik dari segi sanad
maupun matannya.
2. Takhrij Mutawassith (Sederhana)
Pentakhrij menjelaskan beberapa sumber dimana hadits itu berada, tanpa menjelaskan
keseluruhan jalur hadits yang ada, dan menyebutkan beberapa pendapat ulama tentang
hadits yang menjadi objek Takhrij.
3. Takhrij Ijmaly (Ringkas)
Pentakhrij menyebutkan sumber hadits secara ringkas, dan mencukupkan diri dengan
menyebutkan penyusun hadits. 88

C. Kitab-kitab Yang Digunakan Dalam Takhrij Hadits


Dalam melakukan Takhrij Hadits, kita memerlukan kitab-kitab yang bberkaitan dengan
dengan Takhrij Hadits ini. Adapun kitab-kitab tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Hidayatul Bari ila Tartibi Ahadisil Bukhori
Penyusun kitab ini adalah Abdur Rahman Ambar Al-Misri At-Tahtawi. Kitab ini
disusun untuk mencari hadis-hadis yang termuat dalam Shahih Al-Bukhori. Lafazh hadis
disusun menurut aturan urutan huruf abjad Arab. Namun, hadis-hadis yang dikemukakan
secara berulang dalam kamus diatas. Dengan demikian, perbedaan lafazh dalam matan hadis
riwayat Al-Bukhori tidak dapat diketahui melalui kamus tersebut.

2. Mu‟jam Al-Fadzi wala Siyyama Al-Garribu Minha atau Fuhris Litartibi Ahaditsi Shahihi
Muslim
Kitab tersebut merupakan salah satu juz, yakni juz ke-5 dari Kitab Shahih Muslim yang
disunting oleh Muhammad Abdul Baqi. Juz ke-5 ini merupakan kamus terhadap juz ke-1-4
yang berisi:
a. Daftar urutan judul kitab, nomor hadis, dan juz yang memuatnya.
b. Daftar nama para sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis yang termuat dalam Shahih
Muslim.
c. Daftar awal matan hadits dalam bentuk sabda yang tersusun menurut abjad serta
menerangkan nomor-nomor hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari bila kebetulan hadits
tersebut juga diriwayatkan oleh Bukhori.

3. Miftahus Sahihain
Kitab ini disusun oleh Muhammad Syarif bin Mustafa Al-Tauqiah. Kitab ini dapat
digunakan untuk mencari hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Muslim. Akan tetapi, hadis-
hadis yang dimuat dalam kitab ini hanyalah hadis-hadis yang berupa sabda (qauliyah) saja.
Hadis tersebut disusun menurut abjad awal lafazh matan hadits.

87
Syuhudi Ismail. Metode Penelitian Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang. 1992. P. 41-42
88
Ms Kholid. Macam-macam Takhrij. 22 Sep 2012. http: Takhrij.blogspot.com
69
Modul Materi: Ulumul Hadits
4. Al-Bugyatu Fi Tartibi Ahaditsi Al-Hilyah
Kitab ini disusun oleh Sayyid Abdul Aziz bin Al-Sayyid Muhammad bin Sayyid Siddiq
Al-Qammari. Kitab hadits tersebut memuat dan menerangkan hadis-hadis yang tercantum
dalam kitab yang disusun Abu Nuaim Al-Asabuni (w. 430 H) yang berjudul Hilyatul
Auliyai Wathabaqatul Asfiyai.
Sejenis dengan kitab tersebut adalah kitab Miftahut Tartibi Li Ahaditsi Tarikhil Khatibi
yang disusun oleh Sayyid Ahmad bin Sayyid Muhammad bin Sayyid As-Siddiq Qammari
yang memuat dan menerangkan hadis-hadis yang tercantum dalam kitab sejarah yang
disusun oleh Abu Bakar bin Ali bin Subit bin Ahmad Al-Bagdadi yang dikenal dengan Al-
Khatibi Al-Bagdadi (w. 463 H). kitabnya diberi judul Tarikhu Bagdadi yang terdiri dari atas
empat jilid.

5. Al-Jami‟us Shagir
Kitab ini disusun oleh Imam Jalaludin Abdurroman As-Syuthi (w. 91 H). kitab kamus
hadis ini memuat hadis-hadis yang terhimpun dalam kitab himpunan kutipan hadits yang
disusun oleh As-Suyuthi jugam yakni kitab Jam‘ul Jawami‘i.
Hadits yang dimuat dalam Kitab Jam‘ul Jamius Shagir disusun berdasarkan urutan abjad
dari awal lafazh matan hadits. Sebagian dari hadits-hadits itu ada yang ditulis secara lengkap
da nada pula yang ditulis sebagian-sebagian saja, namun telah mengandung pengertian yang
cukup.
Kitab hadits tersebut juga menerangkan nama-nama sahabat Nabi yang meriwayatkan
hadits yang bersangkutan dan nama-nama Mukharijnya (periwayat hadits yang menghimpun
hadits dalam kitabnya). Selain itu, hamper setiap hadits yang dikutip dijelaskan kualitasnya
menurut penilaian yang dilakukan atau disetujui oleh As-Sayuthi.

6. Al-Mu‟jam Al-Mufahras Li Alfadzil Hadits Nabawi


Penyusun kitab ini adalah sebuah tim dari kalangan orientalis. Diantara anggota tim
yang paling aktif dalam kegiatan proses penyusunan adalah Dr. Arnold John Wensinck (w.
939 M), seorang profesor bahasa-bahasa Semith, termasuk bahasa Arab di Universitas
Leiden, negeri Belanda.
Kitab ini dimaksudkan untuk mencari hadits berdasarkan petunjuk lafadz matan hadits.
Berbagai lafadz yang disajikan tidak dibatasi hanya lafadz-lafadz yang berada di tengah dan
bagian-bagian lain matan hadits. Dengan demikian, kitab Mu‘jam mampu memberikan
informasi kepada pencari matan dan sanad hadits selama sebagian dari lafadz matan yang
dicarinya itu telah diketahuinya.
Kitab Mu‘jam ini terdiri dari tujuh juz dan dapat digunakan untuk mencari hadits-hadits
yang terdapat dalam Sembilan kitab hadits, yakni Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan
Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa‘I, Sunan Ibnu Majah, Sunan Darimi, Mutawatta
Malik, dan Musnad Ahmad.89
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kata Takhrij adalah bentuk masdar dari Khoroja-Yakhruju-Takhrijan yang secara bahasa
berarti mengeluarkan sesuatu ditempatnya. Sedangkan yang dimaksud Takhrij dalam
hubungannya dengan penelitian hadits lebih lanjut, maka Takhrij berarti penelusuran atau
pencarian hadits pada berbagai kitab-kitab koleksi hadits sebagai sumber asli dari hadits
yang bersangkutan, yang di dalam sumber tersebut dikemukakan secara lengkap matan dan
mata rantai sanad yang bersangkutan.
Macam-macam Takhrij sendiri ada tiga yaitu: Takhrij Muwassa‘/Tafshili (Detail),
Takhrij Mutawassith (Sederhana), Takhrij Ijmaly (Ringkas).
Sedangkan Kitab-kitab yang digunakan dalam Takhrij ada enam yaitu: Hidayatul Bari
ila Tartibi Ahadisil Bukhori, Mu‘jam Al-Fadzi wala Siyyama Al-Garribu Minha atau Fuhris
Litartibi Ahaditsi Shahihi Muslim, Miftahus Sahihain, Al-Bugyatu Fi Tartibi Ahaditsi Al-
Hilyah, Al-Jami‘us Shagir, Al-Mu‘jam Al-Mufahras Li Alfadzil Hadits Nabawi.

89
Muhamad Ahmad. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia. 2004. P. 132-135
70
Modul Materi: Ulumul Hadits

DAFTAR PUSTAKA
1. Muhamad, Abu. Thariqu Takhrij Hadits Rasulallah: Darul Ikhtisham.
2. Ath-Thahhan, Muhammad.Ushul At-Takhrij wa Dirasah As-Sanid. Riyad: Muktabah
Rosyad.
3. Ismail, Syuhudi. 1992. Metode Penelitian Sanad Hadits. Jakarta: Bulan BIntang.
4. Ahmad, Muhammad. 2004. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
5. Ms Kholid. Macam-macam Takhrij. 22 Sep 2012. http: Takhrij.blogspot.com

71

Anda mungkin juga menyukai