Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kurikulum dan
Pembelajaran
Disusun oleh:
(2225180053)
3B
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga berhasil menyelesaikan makalah
ini tepat pada waktunya yang berjudul “Sejarah Perkembangan Kurikulum di
Dunia dan Penerapannya di Beberapa Negara” sebagai tugas individu dosen Ibu
Dr. Nurul Anriani, M.Pd. mata kuliah Kurikulum dan Pendidikan.
Makalah ini berisikan tentang asal usul terbentuknya kurikulum dan
penerapannya di beberapa negara serta perkembangan kurikulum di Indonesia.
Diharapkan makalah ini dapat memperkaya referensi tentang sejarah kurikulum
dan penerapan kurikulum pendidikan di beberapa negara dan Indonesia. Saya
menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan dalam proses penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembacanya.
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1) Untuk memahami apa yang dimaksud dengan kurikulum dan
pengembangan kurikulum.
2) Untuk mengetahui asal usul terbentuknya kurikulum.
3) Untuk mengetahui penerapan kurikulum di beberapa negara.
4) Untuk mengetahui sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
orang tua atau orang-orang pandai masa lampau yang telah disusun
sistematis dan logis.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dikatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Yang dimaksud
dengan isi dan bahan pelajaran itu sendiri adalah susunan dan bahan kajian
dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan
yang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan
nasional.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah seperangkat
rencana atau rancangan mata pelajaran yang disusun secara sistematis dan
terarah guna mengembangkan peserta didik baik itu dalam memperoleh
pengetahuan yang nantinya akan dilihat hasilnya dalam ijazah maupun
aktivitas-aktivitas di luar kelas yang dapat membentuk pribadi peserta didik
yang mana semuanya dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang
ingin dicapai.
Dalam upaya mengembangkan peserta didik dan mencapai tujuan
pendidikan nasional sesuai dengan perkembangan zaman. tentunya
kurikulum harus terus dikembangkan.
Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 Bab X tentang Kurikulum, Pasal 36
Ayat 1 mengatakan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional. Suatu kurikulum diharapkan memberkan landasan, isi
dan menjadi pedoman bagi pengembangan kemampuan siswa secara optimal
sesuai dengan tuntunan dan tantangan perkembangan masyarakat.
Sehingga dapat dikatakan bahwa pengembangan kurikulum adalah
proses perencanaan kurikulum yang berguna untuk merekonstruksi
kurikulum sebelumnya dan untuk mencapai tujuan pendidikan semaksimal
mungkin yang dimana dipengaruhi oleh adanya perkembangan IPTEK,
sosial budaya, dan sistem politik dalam masyarakat berbangsa dan bernegara
sehingga peserta didik tetap belajar sesuai dengan perkembangan zaman
yang berguna untuk dirinya sendiri pada lingkungan masyarakat sekarang
dan untuk masa depan. Dalam pengembangannya pun kurikulum harus tetap
memperhatikan beberapa prinsip atau ketentuan-ketentuan sehingga dalam
pengembangannya memiliki arah yang jelas.
4
Sedangkan dari sisi etimologi, kata kurikulum (curriculum) berasal dari
bahasa Latin yang bermakna sama seperti kata “rarecorse” yang berarti
gelanggang perlombaan. Kemudian kata “curriculum” dalam bentuk kata
kerja dikenal dengan istilah “curere” yang berarti menjalankan perlombaan
(running of the race).
Kemudian dalam sisi terminologi, kata kurikulum digunakan dalam
berbagai versi. Ketika kurikulum sudah mulai meramabah ke dunia
pendidikan, awalnya kurikulum dipandang sebagai sejumlah mata pelajaran
saja yang mana pandangan ini dianggap sebagai pandangan lama atau
pandangan tradisional. Carter V. Good mengemukakan bahwa kurikulum
adalah “a systematic group of course or subject required for graduation in
major field of study” yang berarti kurikulum merupakan sekumpulan mata
pelajaran yang bersifat sistematis yang diperlukan untuk lulus atau
mendapatkan ijazah dalam bidang studi pokok tertentu.
Selanjutnya karena perkembangan IPTEK dan adanya tuntutan-tuntutan
baru yang dibebankan masyarakat terhadap suatu sekolah, mengakibatkan
pula pergeseran makna kurikulum. Kurikulum tidak lagi dianggap sebagai
mata pelajaran saja, melainkan dianggap sebagai pengalaman belajar siswa.
Beberapa pergeseran makna tersebut dianggap sebagai pandangan baru atau
pandangan modern. Romine (1945) mengatakan “Curriculum is interpreted
to mean all of the organized courses, activities, and experiences which
pupils have under direction of the school, whether in the classroom or not”.
Sehingga menurutnya, kurikulum itu bukan hanya menyangkut mata
pelajaran yang harus dipelajari, akan tetapi menyangkut seluruh usaha
sekolah untuk memengaruhi siswa belajar baik di dalam maupun di luar
kelas atau bahkan di luar sekolah.
Zais menggunakan istilah kurikulum untuk menunjukkan rencana
pendidikan untuk siswa (plan for the education of learners) dan lapangan
studi (field of study). Kurikulum sebagai rencana pendidikan untuk siswa
biasa disebut sebagai kurikulum untuk suatu sekolah. Kurikulum dalam
pengertian ini mencakup mata pelajaran yang tercakup ke dalam lapangan
kurikulum (curriculum field). Kurikulum dalam lapangan studi mencakup
mata pelajaran yang disajikan dalam kurikulum, dan proses-proses mata
pelajaran yang berhubungan dengan perubahan dan pengembangan
kurikulum.
Kurikulum sebagai lapangan studi berasal pada gerakan pengikut-
pengikut Hebart pada akhir abad ke-19. Johan Friedrich Herbart (1776 –
1841) adalah seorang filsuf berkebangsaan Jerman yang memiliki gagasan-
gagasan pendidikan yang cukup luas pengaruhnya dan diterima oleh
masyarakas Amerika Serikat pada akhir pertengahan abad 19.
5
Teori-teori Herbart tentang pengajaran dan pembelajaran sudah
menuntut perhatian serius dari berbagai kalangan di Amerika untuk
melakukan pilihan-pilihan dan pengorganisasian dalam mata pelajaran.
Gerakan dari para pengikut Herbart sudah berhasil memperlihatkan
kesadaran dan minat yang tinggi terhadap isi kurikulum pendidikan di
Amerika. Kemudian sejak abad ini, kurikulum telah menjadi isu pendidikan
yang populer di Amerika.
Kemudian dalam perkembangannya, peristiwa-peristiwa penting dalam
pendidikan dilakukan oleh berbagai pihak sehingga minat untuk
membicarakan kurikulum semakin berkembang. Terlebih lagi setelah
didirikan suatu komite yang dikenal dengan nama Komite Sepuluh (The
Committee of Ten) oleh Charles W. Elliot selaku Presiden Harvard. Komite
ini memberikan laporan pendidikan yang menjadi isu penting pendidikan
yang benar-benar menonjol pada tahun 1893. Selanjutnya untuk dua decade
terakhir, keberadaan komite semakin kuat karena dapat memberikan
pengaruh terhadap berdirinya organisasi yang memberikan perhatian serius
terhadap pendidikan.
Kehadiran dari beberapa organisasi tersebut semakin menunjukkan
bahwa pembicaraan-pembicaraan yang berhubungan dengan persoalan isi
dan organisasi kurikulum sangat penting. Dalam waktu yang bersamaan,
John Dewey melakukan beberapa percobaan untuk mengembangkan inovasi
di sekolah laboratorium terkenal di Universitas Chicago. Namun pemikiran
ke arah tenaga spesialis kurikulum belum muncul pada waktu itu.
Pemikiran ke arah tenaga spesialis kurikulum baru muncul setelah tahun
1918 yaitu ketika diterbitkannya buku pertama yang membahas tentang
kurikulum yang mana buku itu ditulis oleh Franklin Bobbitt dan berjudul
“The Curriculum”. Lahirnya buku tersebut menjadi awal mula munculnya
kebutuhan untuk memunculkan tenaga spesialis kurikulum yang menjadikan
kurikulum sebagai lapangan studi. Karya Bobbitt kemudian diikuti dengan
munculnya karya-karya lain yang berbicara secara khusus mengenai bidang
kurikulum.
Beberapa buku kurikulum yang diterbitkan oleh para teorisi dan praktisi
pendidikan antara lain buku “Curriculum Construction” yang ditulis oleh W.
W. Charters dari Universitas Ohio pada tahun 1923. Kemudian pada tahun
selanjutnya terbit buku yang berjudul “How to Make a Curriculum” yang
merupakan karya besar kedua Bobbitt.
Pada tahun 1926, perkumpulan masyarakat nasional (The National
Society) Amerika yang bergerak dalam pendidikan menerbitkan buku dalam
bentuk review 685 halaman, yang berisi tinjauan ulang mengenai
perkembangan kurikulum, dan diberi judul “The Foundation and Technique
of Curriculum Construction”. Dua dari bagian buku tahunan yang
dipublikasikan oleh perkumpulan masyarakat nasional ini, disiapkan oleh
6
sebuah komite yang terdiri dari para sarjana kurikulum. Komite ini diketuai
oleh Harold Rugg yang beranggotakan Franklin Bobbitt, W.W. Charters,
dan Charles Judd.
Sejak saat itu, kurikulum menjadi lapangan studi yang dalam
perkembangannya mengalami variasi. Ada yang menyebutnya dengan
“Curriculum Conscious” dengan memuat program-program revisi
kurikulum dalam sistem sekolah. Misalnya Denver dalam tahun 1922
mengemukakan studi kurikulum bertema “Rencana Perbaikan Kurikulum”.
Kemudian St. Louis dalam tahun 1925 menarik perhatian masyarakat
nasional Amerika, karena kajian kurikulum yang berhubungan dengan
program revisi komprehensif. Kajian ini telah melibatkan beratus-ratus
tenaga pengajar dan juga kelompok besar dari tenaga konsultan kurikulum.
Proyek ini secara keseluruhan telah berhasil mendorong berkembangnya
komunitas pada masa selanjutnya.
7
kehutanan. Selain itu juga tersedia program-program pendidikan radio
dan televisi untuk pendidikan umum dan keterampilan.
Di Jepang, pendidikan dasar tidak mengenal ujian kenaikan kelas,
namun siswa yang telah menyelesaikan proses belajar di kelas satu
secara otomatis akan naik ke kelas dua, dan demikian seterusnya. Ujian
akhir juga tidak ada, karena SD dan SMP masih termasuk kelompok
Compulsory Education, sehingga siswa yang telah menyelesaikan
studinya di tingkat SD dapat langsung mendaftar ke SMP. Selanjutnya
siswa lulusan SMP dapat memilih SMA yang diminatinya, tetapi kali ini
mereka harus mengikuti ujian masuk SMA yang bersifat standar, artinya
soal ujian dibuat oleh Educational Board.
Kurikulum sekolah di Jepang ditentukan oleh menteri pendidikan
yang kemudian dikembangkan oleh dewan pendidikan distrik dan kota.
Pada semua tingkat pendidikan di Jepang, siswa yang kehadirannya
kurang dari 5 % tahun belajar dan hasil ujian jelek maka diwajibkan
untuk mengulang pada level yang sama.
Di Jepang, Kurikulum disusun oleh sebuah komite khusus dibawah
kontrol kementrian pendidikan (MEXT). Komisi ini bertugas
mempelajari tujuan pendidikan Jepang yang terdapat dalam
Fundamental Education Law lalu menyesuaikan dengan perkembangan
yang terjadi baik di dalam maupun luar negeri. MEXT juga merevisi
beberapa buku pelajaran, dan secara hampir bersamaan mengusulkan
pemberlakuan 5 hari sekolah dan adanya jam khusus untuk
pengembangan jiwa sosial siswa melalui integrated course.
Pembaharuan kurikulum Jepang dilakukan setiap 10 tahun sekali.
Kurikulum sekolah di Jepang meliputi subjects (kamoku), moral
education (doutoukukyouiku), dan extra-curricular. Pendidikan moral
bukan merupakan mata pelajaran khusus seperti di Indonesia, melainkan
berupa guidance dan konseling selama 1 jam pelajaran dalam seminggu
oleh wali kelas dan tidak ada penilaian atau nilai raport. Sedangkan mata
pelajaran dan ekstrakurikuler sama seperti sistem di Indonesia.
b. Singapura
Sistem pendidikan di Singapura bertujuan untuk menyediakan
pengetahuan dasar dan agama bagi peserta didik. Untuk menyatukan
keberagaman karasteristik perbedaan ras dan budaya di Singapura,
keberagaman bahasa, setiap siswa belajar Bahasa Inggris sebagai bahasa
keseharian. Siswa juga belajar Bahasa Ibu mereka (China, Malaysia dan
Tamil/Thailand) untuk membantu mereka mempertahankan identitas,
budaya, warisan, dan nilai-nilai bangsa.
Pendidikan formal di Singapura dimulai dari jenjang Kindergarten
School atau setara dengan Taman Kanak-Kanak di Indonesia. Setelah itu
8
melanjutkan ke jenjang Primary School atau setara dengan Sekolah
Dasar di Indonesia selama enam tahun. Untuk menuju ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi, siswa-siswa harus mengikuti Primary
School Leaving Examination (PSLE). Kemudian pendidikan dilanjutkan
ke jenjang Secondary School selama empat atau lima tahun. Secondary
School dibagi menjadi empat jalur yaitu Special/ Express Course,
Normal (Academic) Course, Normal (Technical) Course, dan Integrated
Programme (IP) Course.
Di Singapura, setiap sekolah memiliki akses internet secara bebas
dan memiliki web sekolah yang berguna untuk menghubungkan siswa,
guru, dan orangtua. Di setiap kelas juga terdapat Liquid Crystal Display
(LCD) untuk proses pembelajaran. Fasilitas lainnya yaitu tersedianya
sistem transportasi yang memiliki akses ke semua sekolah di Singapura
sehingga memudahkan siswa untuk menuju ke sekolahnya.
Biaya pendidikan di Singapura juga tergolong murah. Sehingga
faktor biaya dapat mempengaruhi kualitas pendidikan. Karena jika biaya
sekolah murah, setiap orang di negara tersebut dapat memperoleh
pendidikan dengan mudah. Biaya pendidikan disesuaikan dengan
kemampuan rakyat. Ada juga beasiswa bagi rakyat yang kurang
beruntung.
Selain itu, faktor yang menyebabkan Singapura menjadi negara
dengan sistem pendidikan terbaik di ASEAN adalah faktor pendidik.
Proses penyaringan untuk menjadi guru sangat ketat dan calon guru yang
diterima disesuaikan dengan jumlah guru yang diperlukan, sehingga
semua calon guru tersebut pasti akan mendapatkan pekerjaan. Setelah
teraudisi, para calon guru diberi pelatihan sebelum bekerja, sehingga
guru-guru sudah mendapatkan pembekalan sebelumnya.
c. Finlandia
Tujuan utama dari kebijakan pendidikan di Finlandia yaitu semua warga
mendapatkan kesempatan yang sama dalam hal menerima pendidikan, tanpa
memperhitungkan usia, tempat tinggal, situasi keuangan, jenis kelamin atau
orang tua. Pendidikan dianggap sebagai salah satu hak-hak dasar semua
warga negara.
Finlandia menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pendidikan
dasar secara gratis, yang juga merupakan ketentuan wajib belajar.
Pejabat publik di Finlandia juga berkewajiban untuk menjamin setiap
orang berkesempatan sama dalam memperoleh pendidikan lainnya selain
pendidikan dasar sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan khusus, dan
untuk mengembangkan diri agar terhindar dari kesulitan ekonomi.
Jenjang Pendidikan di Finlandia meliputi: Pendidikan Pra Sekolah,
9
Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah Atas, Pendidikan Umum,
Pendidikan Vokasi, Pendidikan Tinggi.
Guru di Finlandia minimal harus bergelar master. Di Finlandia,
hanya ada 11 universitas yang memiliki program pendidikan guru, jadi
memudahkan dalam mengontrol kualitas dan standar konsistensi
program pendidikan. Untuk mendapat gelar master, mahasiswa harus
menyelesaikan 5 tahun pendidikan research-based yang menekankan
pengetahuan tentang pedagogik. Sebelum lulus mahasiswa juga harus
mengikuti magang selama satu tahun penuh mengajar di sekolah yang
bekerja sama dengan universitas tempat mereka kuliah. Sekolah-sekolah
ini adalah sekolah model, dimana para guru dan peneliti
mengembangkan metode-metode baru dan menyelesaikan penelitian
mengenai belajar mengajar.
Perencanaan kurikulum adalah tanggung jawab guru, sekolah dan
pemerintah kota, bukan pemerintah pusat. Pemerintah hanya membuat
panduan umum berupa target. Guru bebas memakai metode mengajar
maupun buku teks apa pun. Guru mengajar kelompok siswa yang sama
sampai beberapa tahun. Dengan demikian, guru dapat lebih mengenal
siswa-siswanya sekaligus dapat memantau perkembangan akademik,
sosial dan emosionalnya. Dan setiap guru wajib membuat evaluasi
mengenai perkembangan belajar setiap siswanya. Dan satu kelas
maksimal jumlah siswa hanya 12 orang sehingga guru dapat lebih
mudah memantau seluruh siswanya. Tidak ada standarisasi pendidikan
di Finlandia karena berlawanan dengan kreatifitas. Mereka percaya
semakin standarisasi ditekankan, semakin sempit ruang kreatifitas.
Peserta didik di Finlandia memiliki jam belajar yang relatif singkat
di sekolah. Mereka tidak dibebani dengan banyak pekerjaan rumah, ujian
terstandar bertaruhan tinggi dan tidak ada sistem ranking. Guru di
Finlandia juga menekankan pentingnya waktu bermain, yang dipercaya
dapat meningkatkan performa akademik siswa, membantu
perkembangan kognitif, afektif dan sosial. Prinsipnya dalam 1 jam
pelajaran, 45 menit dialokasikan untuk belajar dan 15 menit untuk
bermain bebas sesuai kehendak siswa. Karenanya, waktu istirahat sangat
banyak di sekolah-sekolah Finlandia bahkan hingga sekolah lanjutan
atas. Guru mengurangi mengajar dengan metode ceramah dengan
persentase 40% guru dan 60% siswa. Wajib belajar di Finlandia adalah 9
tahun. Tidak memberlakukan pemisahan pendidikan dasar dan lanjutan
sehingga tidak perlu berganti sekolah di usia 13 tahun. Kebijakan ini
dilakukan untuk menghindari masa transisi yang perlu dialami oleh
siswa, yang dianggap dapat mengganggu pendidikan mereka.
Negara Finlandia memiliki kurikulum yang tidak pernah berubah, hal
ini meyesuaikan dengan kultur yang ada di negara tersebut. Kementerian
10
Pendidikan di Finlandia menyatakan bahwa pendidikan merupakan
sektor pembangunan yang paling berpengaruh dalam perekonomian
negara.
11
Ciri yang paling menonjol pada kurikulum ini yaitu setiap rencana
pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan
kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, pendekatan kontekstual dalam
pembelajaran sudah digunakan pada masa itu.
Pada masa ini, kebutuhan peserta didik akan ilmu pengetahuan lebih
diperhatikan, dan satuan mata pelajaran lebih dirincikan. Namun, peserta
didik masih diposisikan sebagai objek dan guru menentukan apa saja
yang akan diperoleh siswa di kelas sehingga siswa bersifat pasif
menerima informasi.
b. Kurikulum 1964
Menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem
kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rencana Pendidikan 1964.
Pada kurikulum ini, pembelajaran dipusatkan pada program
Pancawardhana yang meliputi pengembangan daya cipta, rasa, karsa,
karya, dan moral. Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok
bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan
(keterampilan), dan jasmani. Pendidikan dasar lebih menekankan pada
pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
Kurikulum ini dirancang pada akhir era kekuasaan presiden
Soekarno. Dalam pembelajaran, para guru diwajibkan untuk
membimbing peserta didiknya agar mampu memecahkan persoalan /
problem solving. Cara belajar yang dijalankan dengan metode gotong
royong terpimpin. Selain itu pemerintah juga menerapkan hari sabtu
sebagai hari krida yang mana bertujuan untuk memberikan kebebasan
pada siswa berlatih kegiatan di bidang kebudayaan, kesenian, dan oleh
raga sesuai dengan minat siswa. Pada kurikulum 1964 ini terjadi
perubahan pada penilain di rapor bagi kelas 1 dan II, yang mana semula
menggunakan skoring 10-100 menjadi huruf A, B, C dan D. Sedangkan
bagi kelas II hingga VI tetap menggunakan skor 10 – 100.
c. Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964,
yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari
Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar,
dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari
perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen.
Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya
untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani,
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti,
dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan
12
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik
yang sehat dan kuat.
d. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menggunakan beberapa prinsip seperti berorientasi
pada tujuan agar pendidikan lebih efisien dan efektif. Tujuan-tujuan
tersebut dirumuskan oleh pemerintah yang kemudian lebih dikenal
dengan hirarki tujuan pendidikan.
Kurikulum ini menganut pendekatan sistem instruksional yang
dikenal dengan dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional
(PPSI). Sistem PPSI ini dibuat untuk memberikan pandangan bahwa
proses belajar-mengajar merupakan suatu sistem yang senantiasa akan
mengarah pada pencapaian tujuan.
Kurikulum 1975 merupakan kurikulum pertama di Indonesia yang
dikembangkan berdasarkan teori, model, dan desain kurikulum modern.
Dalam hal ini, setiap satuan pelajaran lebih dirinci lagi seperti
diberlakukannya petunjuk umum, tujuan instruksional khusus, materi
pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar mengajar, dan evaluasi.
e. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Kurikulum ini
juga sering disebut “kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa
ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu,
mengelompokan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut
Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Kurikulum ini berorientasi kepada
tujuan instruksional.
Pada kurikulum ini, materi pelajaran dikemas dengan menggunakan
pendekatan spiral yaitu pendekatan yang digunakan dalam pengemasan
bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran.
Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas
materi pelajaran yang diberikan.
Namun, karena sifatnya yang sentralistik, kurangnya sosialisasi,
dan minimnya daya dukung implementasi kurikulum maka banyak
sekolah yang kurang mampu menterjemahkan, dan menerapkan CBSA,
sehingga pada akhirnya banyak penolakan terhadap kurikulum ini.
f. Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan
dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian
waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem
caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu
13
tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi
siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak.
Ciri-ciri kurikulum 1994 yaitu sifat kurikulum objective based
curriculum, pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran
yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi), bersifat
populis yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua
siswa di seluruh Indonesia, nama SMP dan SLTP kejuruan diganti
menjadi SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) dan SMA diganti
SMU (Sekolah Menengah Umum).
Dalam pelaksanaan kegiatan, guru dapat memilih dan menggunakan
strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental,
fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa, guru dapat memberikan
bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen
(terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban), dan penyelidikan.
g. Kurikulum 1999
Adanya Suplemen Kurikulum 1999 yaitu dikarenakan Kurikulum
1994 tujuan dan proses belum berhasil. Pada Kurikulum 1994, materi
muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing,
misalnya bahasa daerah, kesenian, keterampilan daerah, dan sebagainya.
Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesak
agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Tetapi, Kurikulum 1994
menjadi kurikulum super padat.
Karena memang kurikulum 1994 sangat membebankan siswa untuk
itu para kebijakan terdorong untuk menyempurnakan kurikulum 1994.
Salah satu upaya penyempurnaan tersebut dengan diberlakukannya
Suplemen Kurikulum 1999. Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan
tetap mempertimbangkan prinsip penyempurnaan kurikulum.
h. Kurikulum 2004
Kurikulum 2004 disebut dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK). KBK memiliki ciri-ciri menekankan pada ketercapaian
kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, berorientasi
pada hasil belajar dan keberagaman, penyampaian dalam pembelajaran
menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar
bukan hanya dari guru, serta penilaian menekankan pada proses dan
hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
i. Kurikulum 2006
Kurikulum 2006 disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Pada kurikulum ini, pemerintah pusat menetapkan
standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan guru dituntut
14
untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan penilaiannya
sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya. Penyusunan KTSP
menjadi tanggung jawab sekolah dibawah binaan dan pemantauan dinas
pendidikan daerah dan wilayah setempat.
j. Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 bertujuan untuk menghasilkan insan Indonesia
yang produktif, kreatif, inovatif, afektif, melalui pengamatan sikap,
keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi. Untuk mewujudkan
hal tersebut, dalam implementasi kurikulum, guru dituntut secara
profesional merancang pembelajaran yang efektif dan bermakna,
mengorganisasikan pembelajaran, memilih pendekatan pembelajaran
yang tepat, menentukan prosedur pembelajaran dan pembentukan
kompetensi secara afektif, serta menetapkan kriteria keberhasilan.
15
BAB III
PENUTUP
16
DAFTAR PUSTAKA
17