Anda di halaman 1dari 26

1

LOGIKA DAN HUKUM


Irving Copi

Law is order, and good law is good order. (Aristotle)


Reason is the life of the law; nay, the common law itself is nothing else but reason. (Sir
Edward Coke)
Wherever Law ends, Tyranny begins. (John Locke)

15. 1. Undang-undang, Pengadilan, dan Argumen.


Kaidah-kaidah hukum -- yang ditetapkan oleh badan legislatif atau yang dibentuk
dengan putusan-putusan pengadilan -- adalah sarana-sarana dari masyarakat untuk
mengatur perilaku. Suatu pembedaan penting biasanya ditarik antara hukum pidana dan
hukum perdata (hukum sipil).
Dalam hukum pidana diletakkan (dirumuskan, ditetapkan) batas-batas dari perilaku
yang diperbolehkan. Jenis-jenis kejahatan didefinisikan, dan hukuman-hukuman dapat
dispesifikasikan. Kejahatan adalah suatu pelanggaran terhadap ketertiban umum (tatanan
publik); karena itu sengketa dalam peradilan pidana adalah antara negara, pendakwa, dan
terdakwa. Pembunuhan berencana (murder), misalnya di dalam the Federal Criminal
Code (Undang-undang Hukum Pidana Federal) didefinisikan sebagai “pembunuhan atau
tindakan menghilangkan nyawa secara melawan hukum terhadap seorang manusia yang
sudah direncanakan terlebih dahulu.” Jika didakwa melakukan pembunuhan berencana,
seorang terdakwa dalam sidang pemeriksaan di pengadilan dapat menyangkal bahwa ia
adalah pembunuhnya, atau ia mungkin mengakui pembunuhan namun menyatakan bahwa
hal itu dapat dimaafkan (excusable), atau mungkin ia menyangkal bahwa pembunuhan
sudah direncanakan terlebih dahulu, atau ia dapat menyatakan bahwa hal itu terjadi tidak
dengan niat jahat melainkan tidak disengaja.Secara khas, suatu kejahatan melibatkan baik
sebuah tindakan (deed) dan sebuah intensi (niat) atau sikap batin dalam diri pelaku.
Dalam hukum perdata, standar (ukuran) perilaku ditetapkan untuk menentukan
kapan seseorang secara yuridikal diwajibkan untuk memenuhi suatu kesepakatan
terdahulu (hukum tentang “kontrak”), atau untuk menentukan bila seseorang
bertanggung-gugat untuk suatu kerugian sebagai akibat dari kelalaian yang dinyatakan
telah terjadi (alleged negligence), atau kesalahan (fault) lain (hukum tentang “tort” atau
“perbuatan melanggar hukum”). Suatu perkara keperdataan lazimnya adalah suatu
sengketa di antara pihak-pihak swasta (private parties). Pihak yang menuntut, atau
pengugat (plaintiff), dapat menyatakan bahwa sebuah kontrak telah diputuskan secara
tidak layak, atau bahwa suatu kerugian telah ditimbulkan pada orang-orang atau pada
kekayaan pribadi oleh perilaku yang tidak berwenang (unauthorized) atau kelalaian
(negligent). Pihak tergugat (defendant) dapat mendebat (menyangkal) klaim faktual, atau
menyatakan bahwa tindakannya dapat diyustifikasi dengan suatu aturan hukum lain, atau
berupaya untuk menunjukkan bahwa tindakannya tidak menimbulkan kerusakan atau
mengakibatkan kerugian kepada pihak penggugat. Jika kerusakan tersebut terbukti, dan
tindakan itu tidak sah (unlawful), maka niat baik dari tergugat biasanya akan tidak
relevan. (Ganti rugi punitif kadang-kadang diterapkan, di bawah hukum perdata.
Demikianlah asas umum bahwa dalam hukum perdata tidak bersifat punitif mempunyai
pengecualian. Hampir semua asas umum dalam hukum mempunyai pengecualian-
pengecualian tertentu, yang kebanyakan tidak dapat dikemukakan dalam buku ini.) Yang
2

dipersoalkan dalam hukum perdata bukanlah kesalahan kriminal, melainkan


pertanggung-gugatan (liability). Demikanlah, seorang pengemudi yang melukai seorang
pejalan kaki dapat dipidana untuk kejahatannya; tetapi, suatu perkara terpisah, ia juga
dapat digugat oleh orang yang dilukainya, dan jika terbukti bertanggung-gugat ia dapat
diwajibkan untuk membayar ganti rugi perdata kepada korbannya.
Baik dalam hukum pidana maupun dalam hukum perdata, fungsi utama dari sistem
peradilan (judicial system) adalah untuk menyelesaian sengketa-sengketa; suatu peradilan
diperlukan untuk menjamin bahwa penyelesaian itu definitif dan adil (fair). Dalam proses
ini maka asas-asas dari logika sangat diperlukan untuk dijadikan pegangan. Validitas dan
invaliditas, aturan-aturan dasar dari deduksi, asas-asas untuk evaluasi inferensi-inferensi
induktif, dan seterusnya, secara fundamental tetap berlaku sama pada setiap bidang, dan
tidak berubah ketika diterapkan dalam suatu konteks yuridik. Tetapi, peran utama yang
pasti dari argumen dalam menyelesaikan kontroversi-kontroversi hukum di sini
menyustifikasi perhatian khusus pada cara asas-asas logikal berlaku dalam dunia hukum
dan peradilan.
Dalam pemikiran tentang kegunaan (pemakaian) logika dalam hukum, ada tiga
distingsi atau pembedaan yang harus selalu diingat, yang secara respektif berpengaruh
terhadap sifat (the nature) dari aturan-aturan hukum, sumber-sumber hukum, dan jenis-
jenis hukum.
Pertama: Sebagai tambahan pada aturan-aturan hukum dari negara atau masyarakat
(biasanya disebut hukum “positif”) terdapat aturan-aturan tentang perilaku yang benar
atau yang baik -- kaidah-kaidah atau asas-asas “moral” -- yang dapat atau tidak dapat
ditegakkan (enforced) oleh masyarakat. Ketidak-sepakatan (perbedaan pendapat) tentang
isi dan aplikabilitas kaidah-kaidah moral adalah biasa; diskusi dalam buku ini dibatasi
hanya pada aplikasi logika dalam penegakan hukum positif, yakni aturan-aturan formal
dari masyarakat.
Kedua: Kaidah-kaidah hukum dari masyarakat mempunyai berbagai sumber.
Umumnya kita biasa berpikir tentang kaidah-kaidah hukum sebagai produk dari suatu
badan legislatif -- nasional, atau negara bagian, atau lokal. Ini adalah aturan-aturan
perundang-undangan (statutory laws); contohnya adalah definisi pembunuhan berencana
(murder), yang dikemukakan di atas. Perdebatan (perbedaan pendapat) tentang
interpretasi atau aplikasi aturan-aturan hukum sering memerlukan pengadilan-pengadilan
banding (appellate courts) untuk merumuskan asas-asas yang mempunyai kekuatan
hukum. Ini kita sebut yurisprudensi (case-law), atau interpretasi perundang-undangan
(statutory interpretation). Pada tataran yang lebih rendah, di bawah kewenangan yang
diberikan oleh suatu badan legislatif, suatu dinas pemerintahan (governmental agency)
sering mempunyai kekuasaan untuk membentuk aturan-aturan yang dapat ditegakkan,
untuk bisnis, atau para pemilik rumah, atau para pembayar pajak, dsb. Aturan-aturan ini
kita sebut hukum administrasi; pengaturan-pengaturan dari Internal Revenue Service dan
dari Federal Food Administration adalah contoh-contoh dari aturan-aturan administrasi
yang memiliki kekuatan hukum. Pada tataran yang tertinggi terdapat asas-asas yang
mencakup keseluruhan (overriding principles) yang bahkan menguasai apa yang boleh
dan yang tidak boleh dilakukan oleh badan-badan legislatif atau pengadilan-pengadilan,
asas, sebagaimana yang dirumuskan dalam the First Amendment pada Konstitusi
Amerika Serikat, bahwa
3

“Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or


prohibiting the free exercise thereof; or abridging the freedom of speech, or of
the press. …” (Kongres tidak akan membentuk undang-undang berkenaan
dengan pembentukan agama, atau pelarangan kebebasan untuk menjalankannya;
atau pembatasan kemerdekaan berbicara, atau kemerdekaan pers … )

Asas-asas yang demikian, kadang-kadang tetapi tidak selalu tampil dalam dokumen
pendirian atau pembentukan dari sebuah negara atau sebuah bangsa, yang kita sebut
hukum konstitusional atau ketentuan konstitusional. Apapun sumber dari sebuah aturan
hukum, pertentangan pendapat (dispute) dapat timbul pada penerapannya; dalam
penyelesaian pertentangan-pertentangan pendapat ini, penggunaan logika adalah kritikal
(dapat menentukan).
Ketiga: hukum pidana harus dibedakan dari hukum perdata, sebagaimana
dikemukakan di atas. The Supreme Court dari Minnesota, memutuskan sebuah gugatan
perdata (civil action) terhadap seorang dokter yang telah melaksanakan operasi yang
diperlukan atas seorang pasien tanpa persetujuan pasien yang bersangkutan, menyatakan
sebagai berikut:
“Jika hal itu (operasi tersebut) telah dilaksanakan tanpa pemberian izin
(unauthorized), maka hal itu adalah … melawan hukum (unlawful). Hal; itu
adalah suatu penyerangan dengan kekerasan (a violent assault), bukan hanya
semata-mata lelucon yang menyenangkan; dan walaupun tidak memperlihatkan
kelalaian (negligence), hal itu adalah salah dan melawan hukum. Kasus tersebut
tidak sama dengan suatu penuntutan kriminal untuk penganiayaan (assault and
battery), karena dalam hal itu harus diperlihatkan (dibuktikan) adanya maksud
yang (niat untuk) melawan hukum (unlawful intent). Namun aturan itu tidak dapat
diterapkan pada suatu gugatan perdata, yang untuk menegakkannya sudah cukup
dengan memperlihatkan bahwa penyerangan yang dikeluhkan adalah salah dan
melawan hukum atau sebagai akibat dari kelalaian.”

Dalam penyelesaian sengketa-sengketa, suatu sistem hukum harus menerapkan asas,


atau aturan tertentu, pada seperangkat keadaan faktual -- untuk akhirnya mencapai suatu
putusan tentang kesalahan atau hal bertanggung-gugat (liability). Fakta-faktanya sendiri
sering (tetapi tidak selalu) dipersengketakan, dan mungkin memerlukan penegakan (perlu
ditetapkan terlebih dahulu). Itu adalah fungsi utama dari peradilan (pemeriksaan dalam
sidang pengadilan, trials) dan penyelidikan dan penyidikan (investigasi) yang
mendahuluinya. Kemudian salah satu pihak akan mengklaim bahwa aturan hukum
spesifik tertrentu berlaku atau dapat diterapkan pada fakta-fakta itu, sedangkan pihak
lawannya akan mengklaim bahwa aturan ini tidak dapat diterapkan, atau bahwa ada
aturan lain yang dapat diterapkan yang berstatus lebih tinggi terhadapnya. Tiap pihak
mencapai kesimpulan-kesimpulan -- baik tentang fakta-faktanya sendiri, maupun
tentang aplikasi hukum terthadap fakta-fakta. Tiap pihak menggelar argumen-argumen
untuk mendukung posisi masing-masing. Argumen-argumen tersebut dimaksudkan
sebagai argumen-argumen yang tepat secara logikal; artinya, premis-premis yang
diajukan diklaim mendukung, secara deduktif atau induktif, kesimpulan-kesimpulan yang
didesakkan untuk diterima.
4

Dalam bagian berikut, kita menelaah cara-cara yang di dalamnya asas-asas logikal
dilibatkan untuk menilai argumen-argumen dalam proses-proses hukum yang majemuk
(rumit) ini.

15.2. Bahasa di dalam hukum.


1. Fungsi-fungsi dari bahasa-hukum (legal language)
Dalam bab 2 sudah dikemukakan tiga jenis pemakaian bahasa: informatif, ekspresif,
dan direktif. Di dalam hukum, bahasa jarang sekali dipakai hanya untuk mengekspresikan
sikap, kadang-kadang dipakai sekedar untuk menginformasikan, namun kebanyakan
dipakai untuk memerintahkan (mengarahkan) perilaku. Bahasa direktif dapat mengambil
bentuk dari perintah-perintah yang eksplisit (“Anda harus mengajukan permintaan resmi
pengembalian pajak jika … ”) atau dengan menjelaskan bagaimana beberapa hal harus
dilakukan jika hal-hal itu memang akan dilakukan (“Jika penghasilan anda sebesar $
1.900 atau lebih, anda dapat diklaim sebagai tanggungan pada pengembalian pajak orang
tua anda [a dependent on your parent’s return] jika anda di bawah usia 19 tahun [pada
akhir tahun fiskal] atau sebagai mahasiswa purna waktu … ”) atau dengan memberikan
pemberitahuan tentang apa yang diizinkan (“Anda boleh memberikan kontribusi sukarela
untuk mengurangi utang publik”) atau dengan pemberitahuan bahwa tindakan-tindakan
tertentu atau melalaikan melakukan perbuatan tertentu adalah perbuatan yang dapat
dihukum, dan bagaimana mereka dapat dihukum. Karena itu, kalimat-kalimat yang
memiliki bentuk deklaratif akan sering menyandang fungsi utama mengarahkan perilaku
(“Jika anda tidak mengajukan permohonan pengembalian … atau memberikan informasi
palsu, undang-undang menetapkan bahwa anda akan dikenai penalti dan, dalam hal-hal
tertentu, anda mungkin akan menjadi obyek penuntutan kriminal”). Di sini sama seperti
di mana pun juga, hal menentukan fungsi-fungsi dari bahasa mensyaratkan suatu
kesadaran tentang konteks dan sensitivitas (kepekaan) terhadap multiplisitas dari
pemakaian-pemakaian yang mungkin.

2. Kerancuan dalam hukum.


Kerancuan (fallacies) -- relevansi atau ambiguitas -- sama mengganggunya
(menyulitkannya) dalam hukum seperti dalam konteks yang mana pun yang di dalamnya
kita berupaya menemukan putusan-putusan yang reliabel (dapat dipercaya). Tetapi, apa
yang mungkin tampak merupakan kesalahan pada penalaran dalam wacana biasa
mungkin dapat, karena kondisi khusus yang diletakkan oleh (imposed by) proses
yuridikal, di sini ternyata mewujudkan argumen yang baik.
Beberapa contoh dari kondisi-kondisi khusus ini layak untuk dikemukakan. Pertama,
jika bukti dari suatu jenis atau derajat tertentu adalah esensial untuk mendukung suatu
kasus, penekanan pada ketidak-beradaan bukti yang demikian -- apa yang tampaknya
mungkin merupakan suatu appeal to ignorance (argumentum ad ignorantiam) dapat saja
tepat (proper, layak) secara logikal. Demikianlah, sebagaimana kami kemukakan dalam
bab 3, ketidak-bersalahan dari orang yang didakwa (tersangka) telah melakukan
kejahatan harus diandaikan (diasumsikan) dalam hal tidak adanya bukti yang meyakinkan
dari hal sebaliknya. Atau lagi, seorang jaksa penuntut umum dapat saja tidak mampu
menegakkan apa yang disyaratkan untuk penjatuhan hukuman pidana: bahwa terdakwa
berniat untuk melakukan tindakan yang salah, atau bahwa terdakwa telah bertindak
dengan kelalaian (negligence) atau kecerobohan (recklessness) atau dengan kondisi
5

kejiwaan lain yang esensial untuk kriminalitas. Ketidak mampuan dari penuntut umum
ini dapat mengharuskan dijatuhkannya putusan yang membebaskan dari tuduhan
(acquittal) bahkan bagi orang yang perbuatannya di permukaan tampak melanggar
hukum. Sangat umum bahwa dalam suatu sengketa hukum salah satu pihak memikul
beban positif untuk membuktikan; dalam hal itu maka argumen berdasarkan tidak adanya
bukti itu yang diajukan oleh pihak lawan, dalam arti tertentu, adalah suatu argumentum
ad ignorantiam. Namun, jika “beban persuasi” spesifik yang demikian itu diterapkan,
maka teknik ini bukanlah suatu kerancuan.
Pendasaran diri atau perujukan pada otoritas (kewibawaan) adalah suatu faset
khusus kedua dalam penalaran hukum. Apa yang biasanya tampak mewujudkan suatu
perujukan pada kewibawaan yang rancu (argumentum ad verecundiam, appeal to
authority) mungkin saja ternyata layak bahkan sangat diperlukan (mendesak) di dalam
hukum. Alasan untuk ini adalah pentingnya stabilitas di dalam proses yuridik. Aturan
hukum substantif seyogianya tidak selalu berubah-ubah, dan pengadilan harus dapat
dipercaya dalam penerapan auran-aturan tersebut secara konsisten, agar dengan demikian
para warga masyarakat dapat mengetahui apa yang menjadi kewajiban-kewajiban hukum
mereka. Karena itu, sebuah aturan yang timbul dari case-law (artinya, dari suatu
interpretasi otoritatif atas suatu ketentuan undang-undang oleh pengadilan yang lebih
tinggi) menguasai pengadilan-pengadilan yang lebih rendah dan dapat secara konsisten
diterapkan sekalipun jika aplikasinya itu mungkin tampak aneh atau tidak menyenangkan
(kasar, harsh). Perujukan-perujukan pada opini-opini dari pengadilan lain, karena itu,
berlimpah; maxim (asas universal), stare decicis (“hendaknya putusan ditegakkan”)
memainkan peranan sentral, kadang-kadang memaksa atau imperatif (compelling) dalam
sengketa yuridik. Tanpa hal itu, para warga masyarakat akan tidak mengetahui apa yang
dapat diharapkannya jika terlibat dalam sengketa yuridik, dan akan tidak dapat
mengetahui bagaimana mematuhi hukum.
Kerancuan dari argumentum ad verecundiam tidak hanya terletak dalam hal bahwa
kewibawaan telah dirujuk, melainkan bahwa sifat dan keadaan dari perujukan itu tidak
layak (inappropriate). Penekanan khusus pada stabilitas dalam suatu sistem hukum yang
adil sedikit mengubah standar kelayakan itu.
Ketiga, suatu argumentum ad hominem dapat, dalam situasi-situasi yuridikal tertentu,
tidak mewujudkan kerancuan. Kesaksian dan bukti yang digelar pada suatu sidang
peradilan dapat saling bertentangan. Para hakim (atau para anggota jury pada peradilan
dengan jury) sering harus memutuskan kesaksian apa yang harus dijadikan pegangan,
saksi-saksi yang mana yang paling dapat dipercaya. Karena itu, salah satu pihak mungkin
akan berupaya untuk mendiskreditkan beberapa saksi yang telah memberikan kesaksian
yang merugikan pihaknya dengan memperlihatkan inkonsistensi dalam kesaksiannya itu.
Atau saksinya dapat di-impeached (diragukan kejujurannya) -- dengan
mempertanyakan kejujuran dan integritas dari saksi, atau dengan memperlihatkan
ketidak-tahuan atau kebingungannya tentang masalah yang dipersoalkan. Abraham
Lincoln, ketika menjadi pengacara muda, memenangkan sebuah kasus terkenal dengan
mendiskreditkan seorang saksi yang telah bersumpah bahwa ia telah melihat terdakwa
(klien dari Lincoln) berada di tempat kejadian perkara (TKP) itu, di bawah cahaya sinar
bulan. Lincoln menanyai saksi itu tentang apa yang ia telah lihat dan dalam jarak
seberapa jauh. Kemudian, dengan almanak di tangannya, Lincoln menyatakan bahwa
pada tanggal tersebut tidak ada bulan sama sekali, dan bahwa saksi yang melawan
6

kliennya itu karena itu bingung atau bohong. Perkara yang melawan kliennya itu, ditusuk
dengan argumentum ad hominem, roboh (collapsed).
Kasus berikut ini memberikan contoh impeachment yang baik. Henry Lazarus,
seorang pedagang New York yang terkenal, dituduh menyogok seorang federal inspector.
Saksi utama melawan Lazarus adalah Charles Fuller, Supervising Inspector di New York
pada waktu itu. Fuller bersaksi bahwa Lazarus memberikan uang kepadanya untuk
mengabaikan fakta bahwa Lazarus memanufaktur (memproduk) dan memasok barang-
barang cacat untuk pemerintah. Fuller dikros-eksaminasi (diperiksa silang) oleh pembela,
yang telah menyelidiki riwayat hidupnya dan telah memperoleh satu kopi sura lamaran
untuk bekerja di pemerintah. Kros-eksaminasi itu berlangsung sebagai berikut:
P. : “Nah, tuan Fuller, dalam surat lamaran (aplikasi) yang anda buat kepada pemerintah,
tentang hal itu saya sudah memperlihatkan kepada anda tanda tangan anda dan
pernyataan tertulis yang dibuat di atas sumpah (affidavit), anda melekatkan potret
anda, tidakkah anda telah melakukan hal itu?”
J. : “Ya, tuan.”
P. : “Anda ditanya, ketika anda berupaya untuk memperoleh posisi ini, pertanyaan-
pertanyaan ini (tentang pekerjaan terdahulu anda) … dan anda menulis pada
“Februari 1897 sampai Agustus 1917, jumlah tahun 20; Di mana dipekerjakan --
Brooklyn; Nama pemberi kerja -- Vulcan Proofing Company; Besarnya gaji -- $
37.50 per minggu; juga superintendent dalam ruang karet dan ramuan (in the rubber
and compound).”
P. : “Anda menulis itu, apakah tidak begitu?”
J. : “Ya, tuan.”
P. : “Dan bersumpah untuk itu, tidakkah anda telah melakukan hal itu?”
J. : “Ya, tuan.”
P. : “Nah sekarang, apakah anda diperkejakan dari Februari 1897 sampai Agustus 1917,
dua puluh tahun, pada Vulcan Proofing Company?”
J. : “Tidak, tuan.”
P. : “Dan apakah anda menjadi Assistant Superintendent dari ruang karet dan ramuan?”
J. : “Tidak, tuan.”
P. : “Itu adalah palsu (bohong), tidakkah demikian?”
J. : “Ya, tuan.”
P. : “Anda pada waktu itu mengetahui bahwa itu palsu, tidakkah demikian?”
J. : “Ya, tuan.”
P. : “Dan anda mengetahui bahwa anda bersumpah untuk kepalsuan ketika anda
bersumpah untuk itu?”
J. : “Ya, tuan.”
P. : “Dan anda bersumpah untuk itu secara intensional (dengan niat untuk itu)?”
J. : “Ya, tuan.”
P. : “Dan anda mengetahui bahwa anda melakukan sumpah palsu (perjury) ketika anda
besumpah untuk itu?”
J. : “Saya tidak memandangnya dalam cahaya itu.”
P. : “Apakah anda tidak mengetahui bahwa anda melakukan sumpah palsu dengan
bersumpah dan berpura-pura bahwa anda sudah dua puluh tahun berkiprah dalam
bisnis ini?”
J. : “Ya, tuan.”
7

P. : “Dan anda sekarang bersumpah, apakah tidak begitu?”


J. : “Ya, tuan.”
P. : “Dalam suatu persoalan yang di dalamnya terlibat kebebasan seseorang?”
J. : “Ya, tuan.”
P. : “Dan anda mengetahui bahwa jury akan diminta untuk mempertimbangkan apakah
anda layak dipercaya atau tidak, tidakkah begitu?”
J. : “Ya, tuan.”
P. : “Ketika anda bersumpah untuk kepalsuan ini secara sengaja, dan menuliskan hal itu
dengan tulisan tangan anda, dan mengetahui bahwa hal itu adalah palsu, anda
bersumpah untuk itu secara intensional (dengan diniatkan), dan anda mengetahui
bahwa anda (sedang) melakukan sumpah palsu, apakah tidak begitu?”
J. : “Saya tidak memandangnya dalam cahaya itu.”
P. : “Nah, sekarang, ketika anda mengetahui anda mungkin bersumpah yang
mengakibatkan hilangnya kebebasan seorang warga dari masyarakat ini, apakah
anda memandangnya dalam cahaya yang sama?”

Dalam suatu kasus yang jauh lebih terkenal, argumentum ad hominem digunakan
oleh Sokrates dalam perkara yang mengadilinya di Athena pada tahun 399 sebelum
Masehi. Mengkros-eksaminasi pendakwanya, Meletus, ia menampilkan klaim dari
Meletus bahwa Sokrates memuja dewa-dewa baru ketimbang dewa-dewa dari negara,
dan bahwa Sokrates adalah seorang atheist. Kemudian Sokrates mengatakan:
“Tidak ada seorang pun yang akan mempercayai anda, Meletus, dan saya sangat
yakin bahwa anda juga tidak mempercayai anda sendiri. … Ia (Meletus) jelas pada
saya tampak mengkontrakdiksi dirinya sendiri dalam tuduhannya karena ia
mengatakan bahwa Sokrates bersalah dalam hal tidak mempercayai dewa-dewa,
namun juga bersalah mempercayai dewa-dewa -- namun ini tidak sama seperti
seorang pribadi yang sungguh-sungguh.”

Argumentum ad hominem, apakah dari varietas (jenis) abusive atau circumstantial


(lihat Seksi 3,2, hal. 97-100) dapat mewujudkan serangan yang kuat terhadap suatu kasus
yang mau dilawan.
Dua bentuk pembelaan (pleading) lain yang tidak rancu yang biasa dilakukan dalam
hukum menyerupai argumen yang di depan diidentifikasi sebagai penalaran yang rancu.
Yang pertama adalah merujuk (membangkitkan) rasa iba (appeal to pity, argumentum ad
misericordiam). Jika suatu perujukan yang demikian digunakan untuk mendukung klaim
ketidak-bersalahan dari orang yang didakwa melakukan kejahatan, maka, tentu saja, hal
itu mewujudkan kerancuan menalar. Tetapi perujukan pada rasa iba adalah tidak rancu
jika hal itu diarahkan kepada hakim, setelah penetapan kesalahannya (conviction)
dilakukan, dalam upaya untuk memperoleh lebih banyak keringanan atau kemurahan hati
(leniency) dalam penetapan dan penjatuhan hukumannya. Kemiskinan atau kesengsaraan
dari terdakwa pada saat dilaksanakannya kejahatan mungkin saja tidak mempunyai
relevansi dalam menentukan apakah ia bersalah, namun dapat layak untuk
dipertimbangkan dalam menentukan beratnya hukuman yang harus dijatuhkan atau
dikenakan.
Akhirnya, argumentum ad baculum, perujukan pada kekuatan (appeal to force),
hingga derajat tertentu adalah argumen dari pembentuk hukum itu sendiri. Undang-
8

undang seyogianya mengabdi tujuan-tujuan publik yang baik, tentu saja, dan biasanya
juga begitu, dan fakta bahwa undang-undang telah ditetapkan oleh suatu badan legislatif
yang berwenang memaksakan kewajiban untuk mematuhi perundang-undangan. Namun,
untuk menjamin kepatuhan umum, terutama oleh mereka yang mungkin potensial tidak
patuh karena alasan-alasan yang lebih baik, hukuman untuk ketidak-patuhan diancamkan
oleh negara. Ancaman-ancaman penggunaan kekerasan yang demikian itu, jika efektif,
dapat sangat bermanfaat untuk masyarakat. Itu sebabnya kita biasa melihat “public
reminders” (ungkapan-ungkapan untuk mengingatkan masyarakat) tentang dengan
hukuman apa pelanggar hukum diancam, dengan: “Pengendara mabuk berakhir di
penjara!” (Drunk Drivers Land in Jail!) atau “Dilarang Parkir – Zona Penggeretan” (No
Parking – Tow-Away Zone).
Orang yang takut pada hukuman yang diancamkan, atau ganti rugi yang mungkin
harus dibayarnya, mungkin akan menjauhi tindakan-tindakan kriminal, atau perbuatan
melanggar hukum (bidang keperdataan), yang mungkin mereka akan terbujuk untuk
melakukannya seandainya ancaman-ancaman itu tidak ada. Ketakutan itu dan
konsekuensi-konsekuensinya memberikan daya deterensi pada ancaman hukuman atau
ganti rugi; deterensi memberikan “gigi” pada hukum, membuatnya menjadi suatu
kekuatan efektif dalam mengatur perilaku.

3. Definisi dalam hukum.


Aturan hukum yang mengatur perilaku, apakah ditetapkan (dirumuskan dalam
bentuk perundang-undangan) oleh Pembentuk Undang-undang atau diformulasikan oleh
pengadilan, harus jelas dan tidak ambigu. Idealnya, mereka yang menjadi subyek dari
sebuah aturan hukum seyogianya tidak boleh tidak berkepastian tentang perilaku apa
yang mewujudkan atau tidak mewujudkan kepatuhan terhadap aturan hukum tersebut.
Kadang-kadang aturan hukum dengan sengaja diformulasikan agar memiliki kekaburan
hingga derajat tertentu demi memungkinkan fleksibilitas dalam penerapan aturan-aturan
tersebut terhadap keadaan yang tidak dapat diduga. Secara umum, bagaimana pun, bahasa
yang digunakan untuk menyatakan hukum seharusnya menunjukkan kecermatan-terinci
(presisi) yang terbaik yang dimungkinkan demi pencapaian tujuannya -- baik tidak
memasukkan apa yang seharusnya dikeluarkan, maupun tidak mengeluarkan atau tidak
mengecualikan apa yang seharusnya termasuk.
Kadang-kadang dorongan pada kecermatan ini mengakibatkan pembobotan yang
besar atas bahasa yang dipakai dalam perundang-undangan dan dalam kontrak-kontrak
formal, yang di dalamnya pengkualifikasian-pengkualifikasian dispesifikasi secara
panjang lebar, atau referensi-referensi yang di dalam wacana biasa diasumsikan sudah
jelas dari (berdasarkan) konteksnya dengan susah payah dieksplisitkan secara mendetil
(diejawantahkan secara cermat-terinci). Para pengacara mungkin akan memberikan
alasan bahwa memikul beban untuk memurahkan pemakaian kata-kata dipandang lebih
baik ketimbang biaya kekaburan atau ambiguitas yang di kemudian hari dapat terbukti
mengakibatkan malapetaka.
Kebutuhan pada kecermatan ini juga mengakibatkan perhatian dengan kehati-hatian
diberikan pada definisi-definisi dari kata-kata yang dipakai dalam hukum dan dalam
aturan-aturan administratif. Definisi-definisi persuasif dan definisi-definisi teoretikal,
sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam bab 4, memiliki sedikit tempat dalam hukum.
Definisi-definisi stipulatif dapat digunakan jika sebuah undang-undang tergantung pada
9

istilah-istilah khusus. Demikianlah, dalam suatu rancangan undang-undang yang


memberikan kewenangan kepada orang untuk terlebih dahulu menyatakan (mendeklarasi)
bila prosedur-prosedur medikal tertentu di kemudian hari dapat dihentikan atau tidak
dilakukan terhadap mereka, banyak digunakan sebuah perkataan yang tidak biasa, yakni
perkataan “declarant” (deklarator); arti dari perkataan tersebut dalam undang-undang itu
distipulasi sebagai:
“a person who has executed a declaration, “where ‘declaration’” means a
document executed pursuant to section 3.” (orang yang telah melaksanakan sebuah
pernyataan, yang dalam hal itu “pernyataan” berarti suatu dokumen yang
dilaksanakan sesuai dengan seksi 3.)

Definisi-definisi yang mempresisi merupakan hal yang sangat biasa dalam hukum.
Sebuah perkataan atau frasa (ungkapan) yang menentukan (kritikal) dalam percakapan
sehari-hari mungkin memiliki beberapa arti yang berbeda, beberapa lebih luas dan
beberapa lebih sempit; mungkin saja terdapat lebih dari satu definisi leksikal yang biasa.
Para pembentuk undang-undang sering menginginkan untuk memastikan bahwa arti
sebuah istilah dalam suatu konteks spesifik dilukiskan secara tajam dengan menampilkan
suatu definisi yang mempresisi dari istilah tersebut.
Dua contoh akan berguna. Dalam undang-undang yang dirujuk di atas tentang apa
yang dikenal sebagai “living wills”, referensi sering ditujukan kepada orang-orang yang
“terminally ill” (sakit terminal). Dalam kerangka undang-undang itu diberikan sebuah
definisi yang mempresisi terhadap frasa ini.
“’Terminally ill’ means a state in which an incurable, irreversible, and
uncontrollable disease or condition will, in the reasonable opinion of the attending
physician, likely result in death within approximately one year.” (“Terminally ill”
berarti suatu keadaan yang di dalamnya suatu penyakit atau kondisi yang tidak
dapat disembuhkan, tidak dapat diubah (dipulihkan kembali), dan tidak dapat
dikontrol, dalam pandangan yang masuk akal dari dokter yang menangani, mungkin
akan mengakibatkan kematian dalam waktu kira-kira satu tahun.)

Dan mengingat undang-undang ini berkenaan dengan jenis-jenis intervensi medikal


yang dapat diperintahkan “declarant” untuk tidak dilakukan terhadap dirinya dalam hal ia
mengalami “terminally ill”, istilah “medical intervention” juga diberikan suatu definisi
mempresisi:
“Medical intervention” means any medicine, procedure, or device a physician
prescribes, administers, performs or authorizes.” (Intervensi medikal adalah tiap
obat, prosedur, atau upaya yang diresepkan, pertolongan yang diberikan, yang
dilaksanakan atau kewenangan yang diberikan oleh dokter.)

Istilah-istilah “physician” dan “attending physician” juga menerima definisi


mempresisi dalam undang-undang ini, dan seterusnya. Jika eliminasi atau reduksi
ambiguitas itu penting, maka definisi yang cermat adalah sangat berharga atau berguna.

15. 3. Penalaran Induktif dalam hukum.


Kebanyakan penalaran dalam kehidupan sehari-hari mewujudkan campuran dari
induksi dan deduksi. Dalam buku ini kami telah membahas dua pola utama itu secara
10

terpisah (Deduksi dalam Bagian Dua, Induksi dalam Bagian Tiga) karena asas-asasnya
yang esensial paling mudah dipelajari dengan cara ini. Tetapi dalam menangani masalah
dunia yang riil kita mengandalkan kedua jenis argumen itu, biasanya dalam bentuk
kombinasi. Kita sering memulai dengan penalaran induktif, menggunakan kesimpulan-
kesimpulan induktif sebagai premis-premis dalam argumen-argumen deduktif,
mengintegrasikan kesimpulan-kesimpulan deduktif dengan hasil-hasil induktif tambahan,
mendeduksi (menyimpulkan) lebih jauh, dan seterusnya. Produk akhirnya adalah,
biasanya, sebuah bangunan (fabric) yang di dalamnya unsur-unsur induktif dan deduktif
merupakan benang-benang yang dirajut sehingga mewujudkan jalinan tenunan kainnya
(the warp and the woof). Dalam sengketa hukum, kekuatan dari bangunan rasional inilah
yang menentukan keberhasilan atau kegagalan.
Contoh-contoh dari penalaran hukum sering diambil dari putusan-putusan hakim di
tingkat pengadilan banding (appellate courts). Di sana analisisnya kebanyakan bersifat
deduktif dan penalarannya dikemukakan dalam “opini” pengadilan tentang kasus terberi
(yang ditangani). Argumen-argumen yang kompleks dirancang, dan ditata untuk
memperoleh putusan sebagai kesimpulan akhir terhadap persoalan atau persoalan-
persoalan (issues) yang dihadapkan ke pengadilan.
Tetapi proses deduktif ini dalam pengadilan banding, meskipun memang sangat
penting, dalam kenyataan sesungguhnya bersifat sekunder. Proses penalaran primer
dalam hukum adalah induktif. Pertama-tama fakta-fakta harus ditentukan terlebih dahulu,
dalam pemeriksaan di sidang pengadilan; dan dalam penetapan (in establishing) fakta-
fakta tersebut maka argumen-argumen kausal, probabilitas, dan metode-metode ilmiah
yang secara esensial bersifat induktif harus didahulukan. Dalam pengadilan-pengadilan -
- lokal, negara bagian, atau federal -- yang di dalamnya kasus-kasus hukum “diadili”,
karena itu, ditarik distingsi (pembedaan) antara mereka yang bertugas menemukan
(artinya menentukan) fakta-fakta, dan mereka yang mengarahkan aplikasi hukum
terhadap fakta-fakta tersebut.
Sengketa (perdebatan) di pengadilan kebanyakan sering bukan tentang hukumnya,
melainkan tentang persoalan-persoalan fakta yang berkenaan dengannya terdapat
pertentangan pendapat yang tajam. Apakah pekerjaan itu diselesaikan pada waktu yang
secara kontraktual disepakati? Apakah kelalaian dari X menyebabkan kecelakaan
(kerugian) pada Y? Apakah orang yang dituduh melakukan kejahatan itu adalah orang
yang sungguh-sungguh secara aktual telah melakukan perbuatan itu? Pertanyaan-
pertanyaan jenis ini adalah pertanyaan-pertanyaan untuk diputuskan atau ditetapkan oleh
para penemu fakta (sering, tetapi tidak selalu, para jury), sesudah mendengar pembuktian
dan argumen.
Hanya setelah fakta-fakta ditetapkan, aturan-aturan hukum (dalam bentuk undang-
undang, atau asas-asas common law, atau peraturan-peraturan administrasi) dapat
diterapkan pada fakta-fakta tersebut oleh pengadilan. Penetapan fakta-fakta,
menempatkan mereka dalam arsip (on record), karena itu adalah sasaran utama setiap
kali suatu kasus diadili di pengadilan. Dalam melakukan ini, penalaran yang terutama
diandalkan adalah penalaran induktif.

1. Metode penyelidikan dalam hukum.


Di depan (dalam bab 13) kita menelaah cara-cara yang di dalamnya -- dalam ilmu,
dalam mendeteksi, dan dalam semua penyelesaian masalah -- digunakan metode
11

penyelidikan (penelitian). Pertama-tama sebuah masalah diidentifikasi, hipotesis-


hipotesis pendahuluan diusulkan, fakta-fakta adisional (tambahan) dikumpulkan, suatu
hipotesis eksplanatif (yang menjelaskan) diformulasikan, konsekuensi-konsekuensi dari
hipotesis itu disimpulkan dan diuji, dan hasil-hasilnya kemudian diterapkan dalam
praktek. Dalam investigasi induktif yang demikian itu, tentu saja, kita tidak pernah
memperoleh semua bukti, atau mencapai kepastian absolut. Namun, dengan penalaran
yang cermat berhati-hati, kita sering mencapai solusi-solusi yang reliabel bagi masalah-
masalah yang dihadapi. Dalam pemeriksaan di pengadilan-pengadilan, metode
penyelidikannya secara esensial tidak berbeda -- walaupun cara-cara yang di dalamnya
bukti yang akseptabel dikumpulkan dan diterapkan tunduk pada restriksi-restriksi khusus
dari sistem peradilan yang kepeduliannya terhadap kelayakan atau keadilan (fairness) dan
kepeduliannya pada kebenaran dihargai tinggi.
Mereka yang ditugasi dengan penentuan fakta-fakta (disebut “triers of fact” atau
“para pemeriksa dan penilai fakta” -- biasanya jury, kadang-kadang hakim) biasanya
akan dikonfrontasikan dengan beberapa pemaparan dan penjelasan yang disarankan yang
inkonsisten atas seperangkat kejadian terberi. Sejumlah besar kesaksian dan dokumen-
dokumen akan diajukan. Dalam argumen pembukaan dan penutupan, para pengacara
untuk para pihak yang bersengketa akan mempresentasikan hipotesis-hipotesis yang
saling bertentangan berkenaan dengan dampak dan koherensi dari pembuktian ini. Para
pemeriksa dan penilai fakta mengemban tugas untuk menseleksi, dari alternatif hipotesis-
hipotesis yang ditawarkan oleh para pihak, yang mana yang paling baik menjelaskan
tumpukan bukti dan kesaksian.
Namun proses induktif ini dibebani, dalam suatu pengadilan, dengan restriksi-
restriksi terhadap apa yang dipandang sebagai bukti. Jury, terdiri atas orang-orang awam
tanpa pengalaman dalam proses hukum, sering dapat disesatkan atau dibingungkan oleh
kesaksian atau bukti lain yang tidak relevan terhadap isu yang sedang dihadapi, atau bukti
yang untuk alasan tertentu tidak adil terhadap salah satu dari para pihak. Karena itu, salah
satu tugas dari hakim adalah membatasi pengajuan bukti oleh para pihak yang
bersengketa, secara cermat menerapkan seperangkat asas-asas yang didesain untuk
menjamin bahwa hipotesis-hipotesis yang bersaing dapat ditimbang secara adil (secara
layak dan tidak memihak, fairly). Ini adalah asas-asas dari hukum pembuktian (law of
evidence).
Demikianlah, misalnya, dalam Teori Hukum Amerika (American Jurisprudence),
orang yang dituduh telah melakukan suatu kejahatan tidak dapat dituntut untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh negara; ia boleh tetap diam, karena asas bahwa
tidak seorangpun yang boleh dipaksa untuk menginkriminasi (menuduh) dirinya sendiri
adalah suatu asas keadilan (a principle of fairness). (Amandment V dari U.S. Constitution:
“Tidak seorang pun … akan dipaksa dalam perkara pidana untuk menjadi saksi yang
melawan dirinya sendiri …” Namun perhatikan bahwa jika seorang tertuduh secara
sukarela memberikan kesaksian, maka kesaksiannya itu harus terbuka untuk dieksaminasi
atau diperiksa, dan dengan demikian ia dapat saja harus menjalani pemeriksaan-silang
(kros-eksaminasi, cross-examination). Aturan pembuktian lain yang sangat terkenal (dan
sangat kontroversial) mengecualikan “hearsay” -- kesaksian oleh seorang saksi tentang
fakta tertentu, berdasarkan apa yang telah dikatakan atau ditulis orang lain. Seorang pakar
kontemporer mendefinisikan “hearsay” sebagai “suatu ‘pernyataan’ di luar persidangan
pengadilan yang diberikan untuk kebenaran tentang sesuatu yang diajukan (diklaim).”
12

Kesulitan yang ditimbulkan oleh hearsay bagi para pemeriksa dan penilai fakta adalah
bahwa hal itu bertumpu untuk sebagian pada kejujuran (truthfulness) dan kompetensi dari
orang ketiga yang tidak hadir di dalam pengadilan, padahal justru dari orang tersebut
saksi itu telah memperoleh informasinya. Sedangkan, (karena tidak hadir dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan) kejujuran dan kompetensi dari orang lain itu tidak
dapat diuji dengan eksaminasi-silang; karena itu, hearsay mungkin tidak boleh dipercaya
sebagai bukti. Ketimbang menerima laporan tangan kedua dari saksi ini -- demikian
dalam efeknya aturan itu mengatakan -- akan lebih baik jika orang lain itu maju ke
depan dan memberikan kesaksian tentang ihwal itu, yang memungkinkan kesaksian
langsungnya itu untuk ditelaah secara seksama.
Namun terdapat pengecualian-pengecualian penting terhadap “hearsay rule” --
seperti misalnya jika orang yang pandangannya dilaporkan tidak dapat dibawa ke
pengadilan, atau jika hearsay yang dilaporkan itu adalah suatu pengakuan yang
bertentangan dengan kepentingan dari orang yang melaporkan hal itu. Pertanyaan yang
melandasinya yang ditimbulkan di sini adalah: apakah nilai dari bukti “hearsay” dalam
membuktikan beberapa persoalan fakta (“probative value” –nya) lebih berat ketimbang
bahaya bahwa bukti yang demikian itu akan menyesatkan jury?
Aturan-aturan pembuktian dimaksudkan untuk melindungfi integritas proses hukum
(legal process). Beberapa pengecualian didasarkan pada kebutuhan untuk menghindari
kegagalan oleh jury dalam hal mengevaluasi bukti secara bijak; yang lain bertumpu pada
kepedulian terhadap martabat manusiawi; masih yang lain lagi berupaya untuk mendeter
(mencegah, men-discourage) perilaku polisi yang salah. Aturan-aturan ini kadang-kadang
dapat saja menghambat upaya untuk mencapai kebenaran. Itu sebabnya terdapat
kontroversi sekitar mereka. Menetapkan (establishing) fakta-fakta adalah sasaran utama
dalam pengadilan -- namun situasi kondisi dalam suatu pemeriksaan di pengadilan
menuntut bahwa beberapa orang yang terlibat dalam penyelidikan itu harus dilindungi.
Pengadilan itu bukanlah suatu laboratorium ilmiah yang mengeksploitasi sumber-sumber
non-manusia, melainkan suatu forum yang di dalamnya nasib manusia tergantung pada
penilaian terhadap fakta-fakta yang diterima jury. Fairness dalam proses ini menyandang
nilai penting tertinggi, dan bahwa itu sebabnya mengapa principles of fairness
menetapkan batas-batas yang di dalamnya proses induktif dapat dilangsungkan.

2. Kausalitas dalam Penalaran Yuridik.


Relasi-relasi sebab dan akibat memainkan suatu peranan sentral dalam banyak
kontroversi hukum. Untuk bertanggung-gugat atas kerugian orang lain, orang
(normalnya) harus telah menyebabkannya. Untuk dapat dihukum atas suatu kejahatan
orang harus telah bertindak dengan suatu cara yang menyebabkan terjadinya hasil-hasil
yang melawan hukum tertentu. Yang dicari bukanlah hukum-hukum sebab-akibat
(hukum kausalitas), seperti dalam kebanyakan ilmu, melainkan koneksi-koneksi kausal
khusus, seperti dalam Sejarah. Apakah orang ini atau tindakan ini penyebab dari hasil
atau kerugian khusus tertentu itu?
Berbagai kemungkinan arti yang berbeda dari “sebab” (kausa) telah dipaparkan
(ditengarakan) dalam Section 12.1.: sebab yang jauh (remote cause) dan sebab yang
dekat atau terdekat (proximate cause), sebab sebagai kondisi yang cukup (sufficient
condition) dan sebab sebagai kondisi yang perlu atau mutlak diperlukan (necessary
13

condition), dan sebab sebagai sesuatu yang, dalam kehadiran kondisi-kondisi normal,
menentukan (critical) dalam membuat hasil itu “lolos”.
Jika suatu rantai sebab-musabab (rantai kausal) membawa pada suatu kejadian (yakni
suatu kerugian yang berkenaan dengannya diupayakan kompensasi), maka unsur-unsur
dalam rantai kausal yang paling dekat pada kerugian itu, sebab-sebab yang paling dekat
(proximate causes), adalah yang paling mungkin dibebani dengan pertanggung-jawaban
yuridik untuk hasilnya (akibatnya). Mereka yang tindakan-tindakannya lebih ke belakang
dalam rantai sebab-musabab atau rantak kausal itu, dan karena itu yang tidak dapat
melihat atau menduga terlebih dahulu akibat yang merugikan itu, adalah sangat kurang
kemungkinannya dipandang bertanggung-jawab untuk itu. Namun sejauh mana kita harus
menelusuri balik rantai kausal tersebut? Seorang hakim menulis sebagai berikut:
Apa yang kami memang maksudkan dengan perkataan (sebab) “yang dekat”
[“proximate” (cause)] adalah bahwa, karena kemudahan, kebijakan publik,
perasaan keadilan yang umum, hukum secara arbitrer menolak menelusuri
serangkaian kejadian-kejadian melampaui suatu titik tertentu. Ini bukanlah logika.
Ini adalah politik praktikal. … Kita boleh saja menyesalkan bahwa garisnya ditarik
justru tepat di mana hal itu telah dilakukan, namun ia harus ditarik di tempat
tertentu.

Untuk membuat “perasaan keadilan yang umum” itu dapat diaplikasikan secara lebih
konsisten, sebuah aturan yang umumnya diterima adalah bahwa seorang tergugat adalah
bertanggung-gugat untuk kerugian orang lain hanya jika kerugian yang diderita itu adalah
konsekuensi alami dan mungkin dari tindakannya. Dalam kasus-kasus kelalaian yang
dituduhkan, orang dapat dipandang bertanggung-gugat jika, di bawah kondisi yang
normalnya berlaku, ia seyogianya mampu menduga terlebih dahulu bahwa tindakannya
akan menentukan dalam menyebabkan kerugian itu terjadi.
Sejauh mana seseorang yang berakal sehat (reasonable person) dapat diharapkan
untuk dapat menduga terlebih dahulu adalah, tentu saja, kontroversial. Situasi keadaan
yang aneh dari sebuah kasus yang sangat terkenal dalam sejarah hukum Amerika,
Palsgraf v. The Long Island Railroad Company, dengan baik sekali mengilustrasikan
masalah yang dihadapi ketika menarik garis antara sebab-sebab yang dekat dan sebab-
sebab yang jauh untuk menentukan pertanggung-jawaban atas suatu kerugian
(kecelakaan). Ny. Palsgraf, ketika sedang menunggu dengan karcisnya di peron kereta
api, terpukul (tersamber, tertimpa, terbentur) sebuah alat pengukur (timbangan, scale)
yang berat yang tergerak (upset) oleh letusan beberapa petasan yang secara tidak
disengaja terpicu ketika sebuah kereta api yang meluncur pelan pada suatu rel yang dekat
melindas sebuah paket berisi petasan yang terbungkus kertas koran, yang terjatuh dari
seorang penumpang ketika pegawai-pegawai perusahaan kereta api menolongnya untuk
naik memasuki gerbong sebuah kereta api yang sedang bergerak lambat. Ny. Palsgraf
menggugat (sue) perusahaan kereta api itu untuk membayar ganti rugi. Tindakan-
tindakan dari para pegawai perusahaan kereta api itu jelas menentukan dalam rantai
kausal itu; jika mereka tidak menarik tangan penumpang itu maka paket tersebut akan
tidak jatuh, petasan tidak akan meledak, alat pengukur itu tidak akan tergerak -- dan Ny.
Palsgraf akan tidak mengalami cedera. Namun, tindakan-tindakan dari para pegawai
kereta api itu adalah sedemikian jauh dalam rantai kausal itu sehingga mereka tidak
mungkin dapat menduga terlebih dahulu, dan karena itu tidak dapat mencegah kombinasi
14

kejadian-kejadian aneh yang menyebabkan terjadinya kecelakaan itu. The Long Island
Railroad Company dinyatakan tidak bersalah. Perusahaan-perusahaan kereta api
mengemban kewajiban untuk sangat berhati-hati demi keselamatan para penumpang
mereka; namun jangkauan dari kewajiban itu secara cermat terkait, dalam kasus tonggak
sejarah (landmark case) ini, pada kausalitas kerugian yang terjadi yang dapat diduga
terlebih dahulu. “Resiko yang secara rasional dapat dipersepsi membatasi kewajiban yang
harus dipatuhi.” (Justice Andrews, dissenting in Palsgraf v. Long Island R.R., 248 N.Y.
357 (1928).
Pertanggung-jawaban yuridik dapat ditelusuri tidak hanya pada tindakan yang dekat
dalam rantai kausal, melainkan juga pada pengabaian yang dekat (proximate omissions),
kegagalan untuk bertindak sesuai dengan kewajiban-kewajiban hukum orang. Namun,
tindakan-tindakan pengabaian (hal tidak melakukan tindakan yang seharusnya
dilakukannya), seperti tindakan-tindakan melakukan perbuatan (commissions), tidak
dapat mendasari pertanggung-jawaban untuk kerugian (injury), jika penyebab langsung
dari kerugian (damage), meskipun dapat dicegah, secara rasional tidak dapat diantisipasi.
Demikianlah, kegagalan untuk menduga terlebih dahulu bahwa turunnya hujan deras
yang luar biasa dan belum pernah terjadi dapat menyebabkan banjir tidak menimbulkan
pertanggung-gugatan yuridik untuk kerugian karena banjir pada ujung dari suatu rantai
kausal yang tidak dapat diduga terlebih dahulu. (Power v. Village of Hibbing, 182 Minn.
66 (1939). Di lain pihak, tiap orang mengerti untuk menjauhkan anak-anak dari bahaya-
bahaya yang menarik perhatian (anak-anak), dan dengan demikian kegagalan untuk
memagari jalur rel kereta api, atau kolam renang, dapat menjadi bagian yang penting dan
dapat diduga terlebih dahulu dari penyebab kematian seorang anak jika ia tertabrak
(tersamber) kereta api, atau tenggelam dalam kolam renang, dan omissions yang
demikian karena itu dapat menjadi dasar untuk pertanggung-gugatan yuridik. “Kelalaian
terdiri atas” sebagaimana sebuah pengadilan banding (appellate court) merumuskannya,
“tidak hanya tindakan yang ceroboh (careless action), melainkan juga secara ceroboh
mengabaikan keharusan untuk bertindak (careless omission to act).”
Tentu saja, jika para pihak dalam situasi-situasi keadaan khusus mengemban
kewajiban-keweajiban khusus terhadap dan/atau berkenaan dengan orang-orang lain
untuk bertindak hati-hati -- karena mereka menangani bahan-bahan yang sangat
berbahaya, atau memberikan jaminan eksplisit tentang tingkat keamanan yang sangat
tinggi, atau sejenisnya -- maka tindakan-tindakan (acts) atau hal tidak melakukan
tindakan (omissions) mereka dapat menjadi dasar dari pertanggung-gugatan yuridik,
bahkan juga jika kejadian yang menyedihkan yang kemudian terjadi hanya secara sangat
samar-samar saja dapat diduga terlebih dahulu. Mereka yang terlibat dalam jenis-jenis
kegiatan tertentu mungkin saja tunduk pada suatu standar “strict liability”, dan dengan
demikian terpaksa harus mengharapkan yang tidak diharapkan. Misalnya, perusahaan-
perusahaan peledakan dapat dipandang bertanggung-jawab meskipun hasil (akibat)
spesifik dari peledakan itu yang disebabkan oleh mereka mungkin saja tidak dapat
diprediksi; dan perusahaan-perusahaan penerbangan dan kereta-api dapat bertanggung-
jawab untuk beberapa kecelakaan pada penumpang-penumpang mereka yang oleh
siapapun tidak dapat diduga terlebih dahulu.
Menentukan pertanggung-jawaban yuridik selalu merupakan persoalan penetapan
(pembuktian) fakta-fakta dan mencocokkan fakta-fakta tersebut pada aturan-aturan
perilaku yang berlaku. Dalam kasus-kasus kelalaian yang dituduhkan (alleged
15

negligence), jika pihak tergugat tidak menyandang kewajiban-kewajiban kehati-hatian


khusus, maka aturan hukum pada umumnya akan menentukan pertanggung-jawaban atas
dasar apa yang dapat diharapkan akan dilakukan dalam situasi keadaan yang berlaku pada
waktu itu dari seorang “biasa, berpikir wajar (reasonable), dan hati-hati”. Jika interpretasi
terhadap aturan itu sudah mapan, dan jelas, pendebatan dalam pengadilan tampaknya
akan memusat pada penentuan fakta-fakta dari suatu kasus tertentu, dalam hal itu
argumennya terutama induktif; jika fakta-faktanya jelas, perdebatan yuridiknya
tampaknya memusat pada aturannya, atau interpretasi terhadap aturan itu, yang
diaplikasikan terhadap fakta-fakta tersebut, dan dalam hal ini argumennya (sebagaimana
akan kita lihat dalam seksi berikut) terutama deduktif.
Distingsi (pembedaan) antara kondisi yang cukup dan kondisi yang perlu untuk
terjadinya suatu hasil atau akibat (lihat seksi 12.1.) juga dapat menentukan dalam
penetapan pertanggung-jawaban hukum. Bahkan jika tindakan atau hal tidak melakukan
tindakan (omission) seseorang mungkin saja mewujudkan sebab yang cukup dari
kerugian terhadap orang lain, hal itu akan tidak menimbulkan pertanggung-jawaban
hukum jika kerugian itu bagaimanapun jelas akan terjadi sebagai akibat dari kondisi-
kondisi aktual yang berpengaruh. Demikianlah, kegagalan untuk menyediakan perahu
penolong (life boat) yang siap pakai akan tidak dapat dipandang sebagai penyebab
kematian seseorang yang tenggelam tanpa jejak secara langsung segera setelah ia terjatuh
ke dalam laut [Ford v. Trident Fisheries, 252 Mass. 400 (1912)] Dan kegagalan untuk
memberikan tanda membelok (a turning signal) kepada seorang pengendara mobil yang
tidak dapat melihatnya jika hal telah diberikan akan tidak dipandang sebagai penyebab
dari tabrakan yang kemudian terjadi.
Jika sebuah sebab adalah perlu (necessarry) untuk suatu kejadian, maka hal itu
adalah suatu “sine qua non” dari kejadian tersebut -- suatu ungkapan Latin yang berarti
“yang tanpanya tidak (ada)” (that without which not). Aturan kausalitas yang diterapkan
dalam hukum itu disebut aturan “sine qua non” -- bahwa perilaku tergugat adalah bukan
sebab dari suatu kejadian jika kejadian itu tetap akan terjadi tanpanya (tanpa perilaku
tersebut). Jelas hal itu adalah kondisi-kondisi yang perlu yang sangat penting dalam
argumen-argumen yuridik. Namun tidak semua semua kondisi yang perlu juga
menimbulkan (menghasilkan) pertanggung-jawaban yuridik. Beberapa tindakan mungkin
saja tidak lebih ketimbang merupakan bagian dari situasi-situasi keadaan yang secara
normal berlaku atau sudah lazim, perlu untuk terjadinya akibat yang merugikan namun
dalam dirinya sendiri tidak salah -- seperti ketika suatu kerugian (kecelakaan)
diakibatkan oleh kehadiran seseorang yang mengemban suatu tugas normal untuk ada di
tempat ia berada. Dan, dalam beberapa situasi keadaan, dua tindakan terjadi bersamaan
dalam menimbulkan suatu kejadian dengan cara sedemikian rupa sehingga salah satu
yang manapun dari mereka, jika beroperasi sendiri, tidak akan cukup untuk menyebabkan
terjadinya akibat yang merugikan itu; dipandang sebagai sebab, tidak satupun dari
mereka dapat mewujudkan sebab yang perlu, namun dua-duanya (bersama-sama) dapat
dipersalahkan. Dalam suatu kasus pembunuhan yang terkenal, satu orang menusuk
seorang korban dengan sebuah pisau, sedangkan satu orang lagi meretakkan kepala
(tengkorak) korban yang sama dengan sebuah batu cadas. Dua luka tersebut sudah cukup
untuk menyebabkan kematian, dan dalam kasus ini tidak satupun masing-masing secara
bersendiri yang mewujudkan sebab yang perlu -- tetapi kedua orang itu dinyatakan
bersalah melakukan kejahatan itu (Wilson v. State of Texas, 24 S.W. 409 (1893). Dalam
16

sebuah kasus lain, barang milik seorang penggugat terbakar oleh suatu kombinasi api,
satu dari sumber alami dan satu ditimbulkan oleh kelalaian; salah satu dari api itu secara
bersendiri mungkin saja dapat menghasilkan akibat yang sama; tidak satupun dari
keduanya yang sungguh-sungguh mewujudkan sebab yang perlu, namun orang yang
bertanggung-jawab untuk kelalaian yang menimbulkan api itu tidak diampuni.
Dengan demikian, apakah perilaku tergugat mewujudkan sebab dari sebuah kejadian
adalah pertanyaan faktual, yang lazimnya dirumuskan dengan cara berikut: apakah
perilaku itu mewujudkan suatu “unsur material maupun suatu faktor substansial” dalam
proses yang menimbulkan kejadian tersebut? Frasa “unsur material” menunjukkan upaya
untuk menginkorporasikan (memasukkan) bagian dari konsep sebab sebagai “kondisi
yang perlu”, sedangkan frasa “faktor substansial” menunjukkan upaya untuk
memasukkan bagian dari konsep sebab sebagai “kondisi yang cukup”, yang
mengeliminasi kasus-kasus yang di dalamnya perilaku tergugat telah memainkan unsur
yang tidak signifikan pada akibat yang terjadi. Tetapi penentuan terakhir dari sebab harus
diperjuangkan (diargumentasi) dalam pengadilan, yang harus diputus oleh jury atau “trier
of fact” yang lain.

3. Penalaran Analogikal dalam Argumentasi Yuridik.


Dalam memutusi pertanyaan-pertanyaan faktual yang dipersengketakan, kepercayaan
(ketergantungan) yang berat dapat diberikan pada argumen-argumen analogikal.
Argumen-argumen yang demikian itu (sebagaimana yang kita lihat dalam Chapter 11)
dibangun di atas premis-premis yang di dalamnya satu atau lebih kasus diperlihatkan
sebagai sama seperti kasus lain yang sedang dipersoalkan, dalam satu atau lebih aspek
(hal); kesimpulan yang ditarik adalah bahwa kasus yang dapat dipertanyakan (diragukan)
itu adalah sama seperti yang lain-lainnya itu dalam beberapa aspek yang penting.
Argumen-argumen analogikal adalah sangat lazim dalam perdebatan-perdebatan
(kontroversi-kontroversi) tentang siapa yang menyebabkan apa.
Apakah suatu diagnosis yang salah, dan cedera yang kemudian terjadi pada pasien,
adalah akibat dari kecerobohan (ketidak-cermatan) dari dokternya? Dokter-dokter lain
dapat memberikan kesaksian bahwa simtom yang dijadikan dasar (tumpuan) dalam kasus
itu memang hampir selalu membawa, dalam kasus-kasus lain, pada diagnosis yang telah
diberikan itu; dalam kasus sejenis yang ini, demikian telah disimpulkan, dokter itu persis
melakukan apa yang normalnya dilakukan, dan memang apa yang telah dilakukannya itu
adalah apa yang seharusnya dilakukannya, terlepas dari akibat yang menyedihkan itu.
Argumen-argumen yang memiliki struktur analogikal ini dipresentasikan oleh para
insinyur ketika memberikan kesaksian tentang konsekuensi-konsekuensi normal dari
jembatan-jembatan yang menerima tekanan-tekanan tertentu, atau oleh para pemadam
kebakaran ketika memberikan kesaksian tentang dampak normal dari teknik-teknik
memadamkan kebakaran tertentu, dan seterusnya. Kebanyakan kesaksian ahli oleh para
pakar memang mempunyai bentuk ini: “Dalam pengalaman saya (dalam implikasinya,
demikianlah yang dikatakan seorang pakar), situasi-situasi keadaan jenis yang demikian
biasanya membawa (atau: jarang sekali membawa) pada akibat-akibat dari jenis yang
dihadapi di sini. Karena itu, sebagai seorang pakar dalam soal-soal ini, saya berpendapat
bahwa dalam kasus ini akibat tersebut adalah dampak (bukan dampak) yang mungkin
dari sebab-sebab yang demikian itu.” Pakar itu menarik suatu analogi; sebuah argumen
17

yang didasarkan pada analogi itu membawa pada kesimpulan tentang hubungan kausal
yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang tengah ditangani.
Apa yang dikenal sebagai “circumstantial evidence” pada dasarnya sama didasarkan
pada argumen analogikal. Dalam suatu kasus pembunuhan yang mengerikan baru-baru
ini, seorang laki-laki dari Arkansas dinyatakan bersalah atas pembunuhan 14 orang
anggota keluarganya dengan penembakan dan pencekikan. Sama sekali tidak ada bukti
bahwa ia sendiri telah menembakkan pistolnya. Bukti terhadapnya, yang disepakati
penuntut umum, adalah sepenuhnya bersifat “circumstantial” (situasi-keadaan): ia adalah
pemilik dari pistol yang telah digunakan (untuk membunuh para korban), dan pistol itu
ada dalam penguasaannya ketika ia ditangkap, mengendarai mobil anaknya yang mati;
semua mayat korban ditemukan dalam rumahnya, tujuh dikubur di sana, dua dari mereka
disembunyikan, yang lainnya dalam kantung sampah -- semuanya itu menunjukkan
(demikian penuntut umum berargumen) bahwa kejahatan-kejahatan itu “bukanlah
pekerjaan dari hantu yang kebetulan lewat (phantom passer-by).” Meskipun hanya ada
sedikit saja pengalaman “biasa” yang terhadapnya pebunuhan-pembunuhan mengerikan
yang demikian itu dapat disamakan, namun jury dapat, dan telah melakukannya, menarik
kesimpulan-kesimpulan dari bukti-bukti yang demikian itu tentang siapa (yang hampir
pasti) telah menyebabkan kematian-kematian itu dan disposisi dari mayat-mayat itu,
berdasarkan pengetahuan mereka tentang sejarah tindakan-tindakan orang dalam kasus-
kasus lain.
Unsur-unsur (instances) dalam premis-premis dari sebuah argumen analogikal
mungkin saja tidak diidentifikasikan secara eksplisit, melainkan mungkin saja hanya
berupa rekoleksi-rekoleksi (kenangan-kenangan) umum dari pengalaman biasa. Kita
semua sudah belajar, misalnya, bahwa tangga yang gelap (tidak diterangi lampu;
unlighted stairs) sering menyebabkan orang jatuh yang mencederainya. Jika seseorang
cedera berat karena terjatuh ke bawah ketika menaiki anak-anak tangga yang gelap, maka
masuk akal (reasonable) untuk menyimpulkan bahwa penerangan yang buruk
memainkan peranan substansial pada penyebaban cedera itu, dan mereka yang lalai
melaksanakan kewajibannya untuk menyalakan lampu pada tangga itu dapat
bertanggung-jawab secara hukum untuk kecelakaan itu (Tullgren v. Amoskeag Mfg. Co.,
82 N.H. 268 (1926). Demikian juga halnya, ketika menarik kesimpulan-kesimpulan
tentang pekerjaan perbaikan yang defektif, atau jalan-jalan yang tertutup lapisan es, atau
jenis-jenis situasi keadaan yang pernah kita alami secara langsung, kita menalar secara
analogikal. Tanpa merumuskan atau mengajukan sebuah hukum kausalitas, kita
memahami bahwa jenis-jenis dari konsekuensi-konsekuensi tertentu sering mengikuti
jenis-jenis anteseden tertentu. Analogi-analogi kausal menempati posisi sentral dalam
proses penalaran induktif; kriteria untuk penilaian (pengujian) argumen yang bertumpu di
atas mereka (penalaran induktif) sudah dibahas dalam Section 11.2.
Argumen analogikal kadang-kadang digunakan oleh para hakim dalam
menyustifikasi aplikasi suatu aturan yang berlaku, atau dalam pembelaan suatu
interpretasi tertentu atas suatu undang-undang. Mengkonfrontasi klaim bahwa suatu
pembentuk undang-undang secara tersirat (tacitly) menghendaki suatu pengecualian
terhadap aturan umum yang ia masukkan ke dalam suatu undang-undang, sebuah
pengadilan banding (appellate court) mungkin akan menalar secara analogikal sebagai
berikut: Pengecualian (exceptions) terhadap aplikasi sebuah undang-undang normalnya
(biasanya) akan dispesifikasi secara eksplisit; dalam hal mereka tidak dispesifikasi secara
18

eksplisit di dalam sebuah undang-undang maka secara umum dianggap bahwa tidak ada
pengecualian yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang. Jika dalam banyak
kasus di masa lalu, hal tidak adanya pengecualian yang dispesifikasi berarti bahwa
pengecualian tidak dikehendaki, maka ihwalnya masuk akal (reasonable) untuk
menyimpulkan dalam kasus undang-undang yang ada di hadapan kita, yang di dalamnya
tidak ada pengecualian yang dispesifikasi, bahwa di sini juga pengecualian tidak
dikehendaki..
Argumen-argumen analogikal terutama diarahkan pada kesimpulan-kesimpulan
tentang fakta. Fakta yang dipersoalkan mungkin mewujudkan intensi (apa yang
dimaksud) dari pembentuk undang-undang, atau interpretasi dari suatu ketentuan
konstitusional yang paling mungkin mencapai tujuan utama dari ketentuan itu. Walaupun
abstrak, namun argumen-argumen yang demikian itu tetap saja bersifat induktif. Premis-
premis mereka mendukung ksimpulan mereka (tentang intensi legislatif, dan sejenisnya)
tidak dengan kepastian, melainkan hanya dengan derajat probabilitas tertentu.

4. Probabilitas dalam Argumen Yuridik.


Jadi, probabilitas adalah sebuah konsep sentral dalam penalaran yuridik induktif,
sebagaimana halnya dalam semua penalaran induktif. Sekali kebenaran dari premis-
premis faktual tertentu sudah dipresumsikan, kesimpulan-kesimpulan dapat ditarik dari
premis-premis tersebut dengan kepastian deduktif. Tetapi, fakta-fakta yang di atasnya
penalaran yang demikian itu dibangun pertama-tama harus ditetapkan secara induktif,
dan karena itu hanya dengan probabilitas. Derajat dari probabilitas yang dengannya
fakta-fakta itu dapat ditetapkan sering menjadi, di dalam hukum sama seperti di dalam
penelitian ilmiah, ukuran dari keberhasilan (success).
Tetapi probabilitas dari kejadian-kejadian faktual sederhana dalam kebanyakan
situasi-keadaan tidak dapat diekspresikan sebagai sebuah fraksi angka (angka pecahan),
dan karena itu kalkulus probabilitas, (dibahas di muka dalam Section 14.2) tidak dapat
begitu saja diterapkan dalam kasus-kasus demikian. Berdasarkan kesaksian dari beberapa
saksi yang saling bertentangan, adalah probabel (dapat kita katakan) bahwa terdakwa
berbohong ketika ia menyangkal keberadaan di tempat terjadinya kejahatan. Namun,
seberapa probabel? Kecuali sebagai sebuah indikasi dari keyakinan-keyakinan subyektif
kita dalam persoalan itu, ihwalnya tidak dapat diyustifikasi untuk mengatakan bahwa
probabilitas dari kebohongannya adalah .62, atau .85. Jadi, bagaimana probabilitas secara
rasional dapat digunakan dalam hukum?
Walaupun mungkin saja arbitrer (sewenang-wenang) untuk memberikan sebuah
angka pada sebuah probabilitas terberi, namun sering dimungkinkan untuk menengarai
(mengkarakterisasi) derajat umum dari probabilitas bahwa buktinya menyustifikasi.
Aturan-aturan dari sistem hukum biasanya akan menspesifikasi derajat probabilitas apa
yang akan diperlukan untuk membuktikan persoalan-persoalan dari berbagai jenis.
Aturan-aturan ini disebut “standar pembuktian” (standard of proof). Demikianlah,
karakterisasi probabilitas yang berbeda dari fakta yang dikatakan telah terjadi (some
alleged fact) dapat memenuhi (atau gagal untuk memenuhi) berbagai standar atau beban.
Ada tiga standar yang jelas yang paling luas dijadikan pegangan.
Dalam kebanyakan kasus hukum perdata, pihak penggugat dan pihak tergugat datang
ke pengadilan dengan suatu presumsi kebenaran yang sama. Demikianlah, dalam
memutuskan soal-soal fakta yang hanya dapat ditentukan dengan probabilitas, maka jury
19

harus memutuskan yang mana (jika salah satu) klaim dari pihak-pihak yang bersengketa
yang tampaknya lebih benar, artinya, yang mana yang didukung oleh suatu “bukti yang
lebih berbobot atau lebih kuat atau yang melimpah” (a preponderant of evidence). Lebih
memilih (mempreferensikan) satu penjelasan tentang fakta-fakta ketimbang pesaingnya,
adalah lebih probabel, mungkin merupakan suatu “close call” (yang lebih aman) --
namun jika suatu pilihan harus dilakukan, dan para pihak dua-duanya tidak layak
dipreferensikan, (maka persoalannya menjadi hal menemukan probabilitas yang lebih
besar (artinya memilih mana yang derajat probabilitasnya lebih tinggi). Biasanya tidak
ada kuantifikasi yang dapat dilakukan atau yang diperlukan. Secara tipikal (khas), hakim
dapat menginstruksi jury dengan cara begini:
“Jika anda menemukan dari sejumlah bukti yang kuat bahwa penggugat menderita
kerugian sebagaimana yang dinyatakan dalam pengaduannya, maka menjadi
kewajiban anda untuk memenuhi tuntutan ganti rugi. …” (Kenwood Tire Co v.
Speckman, 92 Ind. App. 419 (1931)
Dalam gugatan ganti-rugi berdasarkan hukum perdata, beban pembuktian atau
burden of proof (kadang-kadang “beban persuasi”) secara umum berada pada pihak
pengadu, pihak yang mengupayakan pemulihan atau penggantian (redress) atas kerugian.
Jika jury berpendapat bahwa pembuktiannya untuk dua belah pihak seimbang, karena itu,
maka pihak penggugat akan tidak atau gagal memenuhi beban (kewajiban) ini, dan
biasanya pihak tergugat yang akan dimenangkan. Namun bukti pada masing-masing
pihak tidak perlu tuntas (melimpah, overwhelming); beban penggugat harus didukung
oleh lebih banyak ketimbang sekedar spekulasi atau dugaan (conjecture) saja -- namun
ihwalnya akan sudah cukup jika jury berpendapat (menemukan) bahwa bukti yang
diajukan penggugat yang berdasarkannya orang yang berpikir jernih (reasonable person)
dapat menyimpulkan bahwa ihwalnya adalah lebih probabel bahwa kerugian yang
diadukan (dikeluhkan) disebabkan oleh tergugat ketimbang tidak demikian halnya.
(William L. Posser, Handbook of the Law of Tort. St. Paul, Minn.: West Publishing Co.,
1941: 326)
Pada ekstrim lainnya, dalam hukum pidana, standar pembuktiannya sangat tinggi.
Penghukuman yang keliru atas orang yang tidak bersalah adalah suatu ketidak-adilan
yang demikian amat luar biasa sehingga setiap upaya harus dilakukan untuk
mencegahnya. Karena itu, seorang tersangka harus dianggap tidak bersalah (innocent)
sampai dibuktikan salah secara konklusif. Penghukuman kejahatan mensyaratkan bahwa
tersangka dibuktikan bersalah “beyond reasonable doubt” (secara rasional tidak dapat
diragukan). Ini berarti bahwa probabilitas kesalahannya adalah sedemikian tinggi
sehingga tidak ada orang yang berpikir wajar (reasonable person) setelah
mempertimbangkan semua bukti, yang akan percaya bahwa ia tidak bersalah. [Standar
pembuktian yang sangat tinggi ini sudah menjadi tuntutan konstitusional di Amerika
Serikat, sebagai bagian dari “due process” yang dijamin bagi semua orang dalam 14 th
Amendment. Lihat In re Winship, 397 U.S. 358 (1970)] Aplikasi standar ini menyebabkan
pembebasan beberapa orang yang mungkin sesungguhnya bersalah. Namun ihwalnya
adalah jauh lebih baik bahwa orang bersalah bebas (dari penghukuman), demikian kita
katakan, ketimbang bahwa orang yang tidak bersalah dijatuhi hukuman. Argumen yuridik
dalam pembelaan terdakwa tidak perlu membuktikan ketidak bersalahannya, melainkan
hanya perlu memperlihatkan bahwa negara tidak dapat melaksanakan kewajiban
pembuktiannya, telah tidak mengajukan bukti kesalahan yang memenuhi standar yang
20

dituntut. Asas-asas yang ditanamkan ke dalam sistem hukum kita untuk menjamin
tercegahnya “unfairness” dengan demikian menetapkan batas-batas yang di dalamnya
penyelidikan induktif berlangsung.
Suatu standar ketiga yang secara tidak langsung diterapkan secara luas dalam situasi-
situasi keadaan dari jenis-jenis tertentu. Argumen-argumen yuridik sering mendasarkan
diri pada presumsi-presumsi umum, yang berfungsi sebagai aturan-aturan yang diterima
untuk penarikan-penarikan kesimpulan dari fakta-fakta yang sudah ditetapkan kecuali
dibuktikan sebaliknya. Kebanyakan presumsi-presumsi yang demikian itu dapat dibantah
(dapat diperdebatkan), namun membantah mereka dalam suatu kasus terberi kadang-
kadang menuntut lebih banyak ketimbang melimpahnya bukti, namun sedikit kurang
ketimbang mendekati kepastian. Misalnya: bahwa dokumentasi (catatan resmi) dari
badan-badan publik (public agencies), termasuk sekolah-sekolah dan universitas-
universitas negeri, dipelihara secara akurat adalah suatu presumsi dalam common law.
Seorang lulusan dari sebuah universitas negeri, dalam suatu gugatan menuntut ganti rugi
dapat saja mengklaim bahwa dokumen tentang dirinya telah tidak dipelihara secara
cermat, dan tentang hal ini mungkin ia dapat membuktikannya di pengadilan -- namun
melimpahnya bukti itu akan tidak cukup. Untuk mengatasi apa yang dipresumsikan ia
harus membuktikan klaimnya dengan bukti yang jelas dan meyakinkan (clear and
convincing evidence).
Demikianlah, probabilitas memainkan suatu peranan menentukan dalam argumen
yuridikal. Apakah suatu persoalan dapat dibuktikan dengan suatu bukti yang melimnpah,
atau dengan bukti yang jelas dan meyakinkan, atau secara masuk akal tidak dapat
diragukan, mungkin dapat menentukan dalam pengadilan. “Sarana tradisional ini,”
demikian tulis seorang hakim dari Mahkamah Agung New Jersey, “menyediakan
timbangan yang berdasarkannya dampak persuasif dari jumlah keseluruhan dari bukti-
bukti harus ditimbang (dinilai).” [Botta v. Brunner, 26 N.J. 82 (1958)].

15.4. Penalaran Deduktif dalam Hukum.


Hal menetapkan fakta-fakta adalah fundamental dalam penyelesaian suatu sengketa
hukum -- namun setelah fakta-fakta dapat ditetapkan maka aturan hukum yang cocok
untuk itu harus diterapkan terhadap fakta-fakta tersebut, dan kemudian sejumlah
kesimpulan praktikal ditarik. Aturan hukum itu, dirumuskan secara cermat, adalah suatu
premis dari sebuah argumen deduktif; pernyataan tentang fakta-fakta yang
memperlihatkan relasi mereka terhadap aturan tersebut adalah sebuah premis yang kedua.
Hasil dari penerapan aturan pada fakta-fakta akan membawa pada suatu putusan
(judgment). Jika seorang tergugat dalam suatu perkara dipandang (dinilai) bertanggung-
gugat, maka dengan demikian suatu pemulihan (remedy) yang cocok (tepat, sesuai) untuk
penggugat (orang yang dirugikan atau dicederai) harus diberikan (awarded); jika seorang
terdakwa terbukti bersalah dalam suatu peradilan pidana maka suatu hukuman
(punishment) yang sesuai harus dikenakan kepadanya. Keseluruhan struktur dari argumen
intinya adalah jelas dalam kasus yang manapun: ia adalah suatu argumen deduktif yang
terdiri atas sebuah aturan bersama-sama dengan fakta-fakta dari kasus terkait sebagai
premis-premis, dan putusan dari pengadilan sebagai kesimpulannya.
Namun demikian, proses deduktif ini sering menemukan (terbentur pada, encounters)
rintangan lebih jauh. Pada sidang pemeriksaan, fakta-faktanya sudah ditetapkan dan
hukum diterapkan terhadapnya. Tetapi terdapat banyak dasar-dasar yang mungkin yang
21

berdasarkannya putusan dari sidang pemeriksaan pengadilan dapat dimintakan


pemeriksaan banding ke pengadilan yang lebih tinggi. Fakta-faktanya itu sendiri, yang
tentangnya sudah diberikan suatu uraian penjelasan dalam berita acara pemeriksaan di
pengadilan, biasanya akan tidak menjadi persoalan (issues) pada tingkat banding;
tuntutan banding biasanya akan memusat pada caranya yang dengannya fakta-fakta itu
telah ditemukan, atau aturan-aturannya yang seyogianya diterapkan terhadap fakta-fakta
tersebut. Namun menentukan (memberikan putusan atas) aturan yang diterapkan secara
tepat pada seperangkat fakta-fakta terberi dapat sangat sulit dan kontroversial.

1. Penetapan Aturan Hukum yang tepat.


Pengajuan banding pada suatu pengadilan yang lebih tinggi biasanya didasarkan
pada klaim bahwa suatu aturan telah diterapkan secara tidak tepat (keliru, improperly),
atau bahwa telah diterapkan aturan yang memang salah. Aturan yang dipersoalkan itu
dapat prosedural atau substantif.
Aturan-aturan prosedural adalah fundamental di dalam hukum, sebab kepercayaan
dalam keseluruhan sistem judisial (sistem peradilan) menuntut bahwa langkah-langkah
yang ditempuh dalam mencapai suatu putusan adalah “fair” (adil, layak, wajar) bagi para
pihak yang bersengketa. Mereka harus memperoleh kesempatan penuh untuk
memaparkan (mempresentasikan) kasus mereka, biasanya dengan bantuan penasihat
hukum (legal counsel, advokat). Klaim-klaim harus ditangani dengan kewenangan yang
tepat, melalui suatu cara yang tepat, dengan penggunaan standar-standar yang tepat.
Bahkan pertanyaan tentang “kedudukan” (standing) -- apakah pihak yang menggugat
mempunyai suatu hubungan sedemikian rupa terhadap masalah yang dipersoalkan
sehingga ia berhak untuk mengajukan masalah tersebut ke pengadilan -- mungkin dapat
menentukan pada penggunaan sistem judisial secara tepat. Apa yang bagi awam (layman)
mungkin tampak sebagai “segi-segi teknikal yuridik” (legal technicalities) sering
merupakan persoalan-persoalan prosedural yang penting yang menentukan apakah
keadilan sudah diwujudkan. Pengalaman panjang sudah menunjukkan bahwa agar
menjadi adil maka sebuah sistem hukum menuntut distingsi-distingsi prosedural yang
cermat dan aturan-aturan prosedural yang terinci.
Yang paling sering adalah substansi dari aturan yang diterapkan, ketimbang
prosedur, yang menjadi persoalan di hadapan suatu pengadilan banding. Tidak setiap
keadaan faktual yang mungkin terjadi dapat diantisipasi ketika aturan-aturan itu
dirumuskan (dibuat), dan tergantung pada keadaan-keadaan apa yang dititik-beratkan,
aturan-aturan yang berbeda mungkin tampak dapat diterapkan. Atau kewenangan-
kewenangan yang lain (pengadilan-pengadilan atau badan-badan legislatif) mungkin
dapat memberlakukan aturan-aturan yang berbeda dan saling bertentangan yang dapat
diklaim menguasai masalah yang tengah dihadapi. Dan bahkan jika aturan yang dapat
diterapkan itu disepakati, bahasanya mungkin saja kabur, beberapa istilah di dalamnya
terlalu luas, atau ambigu, atau biasa digunakan dengan cara yang berbeda-beda.
Pada waktu menolak suatu interpretasi atas suatu aturan demi untuk memilih
(mendahulukan) suatu interpretasi yang lain, maka teknik refutasi (penolakan) dengan
menggunakan analogi logikal (dibahas dalam Section 6.2, 8.4, dan 11.3) sering digunakan
oleh para hakim. Sebuah argumen yang dapat dibantah diperlihatkan memiliki kesamaan
bentuk seperti argumen lain yang jelas-jelas tidak sehat (tidak valid). Sebuah contoh
penalaran demikian yang mencolok ditemukan dalam sebuah putusan Supreme Court
22

mutakhir yang menyatakan bahwa larangan penjatuhan hukuman yang kejam dan tidak
wajar (cruel and unusual) dalam Konstitusi Amerika Serikat (“Excessive bail, shall not
be required, nor excessive fines imposed, nor cruel and unusual punishment inflicted,”
U.S. Constitution, Amendment VIII) tidak melarang pengenaan hukuman mati untuk para
pembunuh berencana yang masih usia-muda (youthful murderers). Dipandang dari sudut
sejarah, Mahkamah telah menetapkan bahwa suatu hukuman adalah “cruel and unusual”
jika isi perundang-undangan (hukum) dari mayoritas besar (great majority) negara-
bagian (states) menunjukkan bahwa terdapat suatu “konsensus nasional” bahwa hukuman
tersebut adalah suatu bentuk hukuman yang tidak dapat diterima (unacceptable). Apakah
terdapat suatu konsensus nasional yang demikian itu yang akan melarang eksekusi
(pelaksanaan hukuman mati) terhadap pelanggar hukum berusia 18, 17, dan bahkan 16
tahun? Hakim Agung Scalia, dalam argumentasinya yang mendukung putusan
Mahkamah (menyuarakan “concurring opnion”), mengkonstatasi bahwa dari 37 negara-
bagian yang mengizinkan hukuman mati (capital punishment), 12 negara-bagian
mensyaratkan bahwa para pelanggar sudah mencapai usia sekurang-kurangnya delapan
belas tahun pada saat dilakukannya kejahatan terkait, 3 negara-bagian lainnya
mensyaratkan pelanggar sudah berusia tujuh belas tahun, dan 22 negara-bagian tidak
mengharuskan persyaratan usia. Konsensus nasional yang normalnya disyaratkan
Supreme Court untuk melekatkan label “cruel and unusual” pada suatu hukuman
tampaknya jelas kurang, demikian ia menyimpulkan. Hakim Agung Brennan, dalam
“dissenting opinion”-nya, menjawab bahwa kalkulasi ini menyesatkan karena ia gagal
melibatkan ke dalam pertimbangan 13 negara-bagian yang tidak mengizinkan hukuman
mati dalam kondisi apapun. Hakim Agung Scalia kemudian mendukungnya (rejoined):
“Posisi dissent tampaknya lebih bijak untuk melihat suatu konsensus nasional bahwa
perjudian dengan adu ayam-jago (cockfights) adalah tidak manusiawi dengan
memperhitungkan dalam konsensus tersebut negara-negara bagian yang melarang semua
jenis perjudian.” (Stanford v. Kentucky, Case No. 87-5765, U.S. Supreme Court, diputus
26 Juni 1989).
Dalam mencapai putusan-putusan tentang substansi, tiga langkah dalam proses
pemeriksaan di pengadilan-pengadilan banding dapat dibedakan; Pertama, pengadilan
harus memutuskan aturan yang mana yang harus diterapkan; kedua, pengadilan harus
menyatakan aturan tersebut secara cermat terinci; dan ketiga, pengadilan harus
menentukan akibat apa yang akan mengalir dari penerapan yang tepat dari aturan yang
telah dinyatakan itu pada fakta-fakta dari kasus yang tengah ditangani. Pengadilan
banding harus mengidentifikasi, dan memformulasi, dan kemudian menerapkan secara
tepat aturan-aturan hukum. Risalah-risalah (records) dari proses yang menguras tenaga
ini, sangat bertumpu pada argumen deduktif, memenuhi rak-rak buku perpustakaan
hukum.

2. Identifikasi, Formulasi, dan Aplikasi Aturan Hukum: Hukum tentang


Fitnah atau Pencemaran Nama Baik (Libel).
Cara-cara yang di dalamnya argumen digunakan dalam proses ini dapat paling baik
dijelaskan dengan merujuk pada satu kelompok sengketa hukum yang riil dan
berkelanjutan. Untuk tujuan ini kita di sini memusatkan perhatian pada hukum tentang
pencemaran nama baik (the law of libel).
23

Orang yang dicemarkan nama baiknya (difitnah, defamed) dalam bentuk tulisan
dapat dirugikan dengan cara-cara sedemikian rupa sehingga karenanya ia layak untuk
memperoleh pemulihan dengan ganti rugi (redress). Di bawah situasi kondisi-kondisi
tertentu maka pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi dalam kerangka hukum
perdata atas dasar pencemaran nama baik (libel). Namun standar apa -- aturan hukum
apa -- yang harus diterapkan dalam menentukan apakah seseorang yang mengklaim
telah dirugikan (penggugat) telah dicemarkan nama baiknya? Terdapat sejumlah standar
yang berbeda, yang dinyatakan secara berbeda. Langkah-langkah dalam argumen judisial
-- seleksi aturan hukumnya, memformulasikannya secara cermat terinci, dan
menerapkannya pada fakta-fakta yang telah ditetapkan -- dapat diilustrasikan secara
baik dengan menelaah seperangkat kasus-kasus riil dalam hukum tentang fitnah
(pencemaran nama baik).
The New York Times melancarkan iklan dengan bayaran pada tahun 1963 yang
memprotes perlakuan terhadap para aktivis hak sipil di Selatan. Komisaris Polisi dari
Montgomery, Alabama, walaupun namanya tidak disebut dalam iklan itu, menggugat
surat kabar itu untuk kerugian; pernyataan-pernyataanm dalam iklan itu terbukti salah
dan mencemarkan nama baik. Penggugatnya, Sullivan, oleh jury dinyatakan berhak atas
ganti rugi sebesar $ 500.000; putusan ini (verdict) dimintakan pemeriksaan banding oleh
tergugat, The New York Times, dan kasus ini akhirnya diputus oleh Mahkamah Agung
Amerika Serikat (the United States Supreme Court). [New York Times v. Suliivan, 376
U.S. 254 (1964)]
Dua asas umum, dua-duanya penting namun saling berkonflik yang satu terhadap
yang lainnya, didesakkan oleh para pihak dalam kasus ini. Pertama, seorang warganegara
berhak atas suatu pemulihan secara damai akibat dari publikasi secara luas suatu
kebohongan yang sangat merugikan (mencemarkan nama baik). Asas ini melandasi
semua perkara fitnah atau pencemaran nama baik dalam hukum perdata. Tuan Sullivan
telah dirugikan secara tidak adil, dan layak memperoleh pemulihan (remedy). Kedua,
kebebasan pers layak memperoleh perlindungan yang sangat khusus, dan perlindungan
tersebut telah diberikan di bawah First Amendment of the United States Constitution
(Amandemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat). Jika sebuah surat kabar harus takut
membayar ganti rugi yang berat untuk publikasi, dengan itikad baik, penilaian kritikal
secara tajam yang kemudian ternyata salah, maka hal itu akan sangat menjerakan
(melemahkan, discourage) pers kritikal yang gigih, dan akan membekukan perdebatan
(wacana) politik.
Memilih di antara aturan yang saling berkonflik yang mungkin dapat diterapkan pada
fakta-fakta, adalah masalah abadi bagi pengadilan-pengadilan banding. Aturan-aturan
yang dipilih pada umumnya akan tergantung pada nilai-nilai yang diberikan prioritas
tertinggi oleh pengadilan. Logika pada dirinya sendiri tidak melakukan pilihan, namun
Logika dapat digunakan untuk membela pilihan yang diambil. Alasan-alasan yang baik,
namun alasan-alasan yang berbeda-beda, dapat diberikan untuk memilih salah satu, atau
yang lainnya, dari asas-asas yang luas sebagai hal yang mengontrol. Jika stabilitas adalah
pertimbangan yang utama dari pengadilan, maka ia mungkin akan meyakini bahwa
dirinya terikat oleh preseden, dan karena itu akan memilih aturan yang untuknya
preseden-preseden yang paling kuat dan paling mutakhir dapat ditemukan. Tetapi,
preseden-preseden yang memiliki kekuatan dan kerangka (garis) waktu yang kurang lebih
sama mungkin saja dipresentasikan pada kedua belah pihak, dan dengan demikian
24

tugasnya dapat saja menjadi memilih satu perangkat preseden-preseden berdasarkan


alasan-alasan lain selain pertimbangan stabilitas.
Dalam kasus tindakan mencemarkan nama baik (fitnah) ini yang melibatkan sebuah
surat kabat dan seorang komisaris polisi, asas umum dari hukum tentang fitnah -- bahwa
seorang warganegara yang dirugikan secara tidak adil (unfairly damaged) berhak untuk
memperoleh pemilihan -- mungkin saja dapat menang, namun ternyata ia gagal.
Mahkamah Agung Amerika Serikat merasa terikat untuk memajukan (to promote) apa
yang dipandang sebagai “good public policy” (kebijakan publik yang baik) dengan
melindungi kepentingan publik dalam debat politik yang “robust and uninhibited” (kokoh
dan bebas rintangan), jadi memenangkan (memihak) tergugat. Dalam pemahamannya
pada “the overriding importance” dari proteksi khusus yang diberikan kepada suatu pers
bebas oleh Konstitusi Amerika Serikat, the Supreme Court mengambil langkah pertama
yang menentukan dalam mencapai putusan-putusan: ia melakukan suatu pilihan politik
(kebijakan, policy) dan dalam melakukan tindakan demikian itu ia mengidentifikasi
aturan yang harus diterapkan.
Bagaimana aturan umum itu dalam kasus ini harus diformulasikan? Fakta bahwa
iklan tersebut memuat pernyataan-pernyataan yang ternyata salah dan mencemarkan
nama baik (memfitnah) tidaklah diperdebatkan; meskipun demikian pihak penggugat
tidak harus memperoleh ganti rugi. Mahkamah karena itu berpendapat bahwa adalah
perlu untuk menghaluskan (refine) standar untuk fitnah (sesungguhnya ini berarti
menciptakan hukum baru) dengan mensyaratkan, bila penggugat yang difitnah itu adalah
pejabat publik (public officials), maka pernyataan-pernyataan yang salah dan
mencemarkan tetang mereka itu dilakukan dengan “actual malice” (kebencian aktual) --
“artinya, dengan pengetahuan bahwa hal itu adalah salah (bohong, palsu) atau dengan
secara sembarangan mengabaikan apakah hal itu salah atau tidak”. Pernyataan-
pernyataan yang salah dan mencemarkan yang dilakukan tanpa kebencian aktual (itikad
buruk) harus dilindungi, demikian Mahkamah mengatakan, sebab “sebuah aturan yang
memaksa kritik terhadap perilaku pejabat untuk menjamin kebenaran atas semua
pernyataan faktual yang dikemukakannya -- dan untuk melakukan hal itu dengan
menanggung beban resiko melakukan fitnah dalam jumlah yang besarnya secara virtual
tanpa batas -- mendorong pada … penyensoran diri sendiri (self-censorship)” [New York
Times v. Sullivan, 376 U.S. 254 (1964)]
Formulasi standar untuk fitnah terhadap para pejabat publik ini sejak itu telah
diterapkan secara luas. Seorang pejabat publik, karena berada di hadapan mata publik,
tidak mempunyai hak atas proteksi dari pencemaran nama baik (fitnah) pada tataran yang
sama seperti seorang warga negara biasa secara perseorangan (ordinary private citizen).
Tetapi, orang-orang tertentu berada di hadapan mata publik walaupun mereka itu bukan
“pejabat publik”. Apakah aturan yang dimaksudkan untuk memberikan (diarahkan pada)
proteksi debat publik serius (habis-habisan, vigorous) seyogianya diterapkan juga pada
tokoh-tokoh publik (public figures) seperti pada pejabat-pejabat publik? Penghalusan
lebih jauh atas aturan ini diperlukan.
Wally Butts, seorang mantan kepala pelatih football dan direktur atletik di
Universitas Georgia, telah difitnah (defamed) dalam sebuah artikel yang dimuat the
Saturday Evening Post yang di dalamnya ia dituduh bersekongkol pada pertandingan
football antara Universitas Georgia dan Universitas Alabama. Apa yang ditulis adalah
salah (kebohongan, palsu) dan sangat mencemarkan. Butts jelas bukanlah seorang pejabat
25

publik, tetapi Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan bahwa aturan (the rule,
kaidah hukumnya) dalam kasus The New York Times harus diterapkan pada tokok-tokoh
publik sama seperti pada pejabat-pejabat publik -- dan Butts pasti adalah seorang tokoh
publik. [Curtis Publishing Co. v. Butts, 388 U.S. 130 (1967)]
Demikianlah, dalam merekonsiliasi (mengakomodasi) hukum tentang fitnah dengan
Amandemen Pertama, maka formulasi Supreme Court tentang aturan mengintroduksi
(memunculkan) sebuah privilese konstitusional atau hal khusus untuk kebohongan-
kebohongan yang mencemarkan tertentu, tergantung pada (varying with) status dari
orang yang dicemarkan. Komplikasi-komplikasi dari jenis lain masih tetap tidak
terpecahkan. Bagaimana jika orang yang dicemarkan itu bukan pejabat publik dan juga
bukan tokoh publik, namun topik pemberitaan laporan pers tersebut adalah salah satu dari
kepentingan publik yang besar? Sebuah perusahaan penyiaran (broadcasting company)
yang mencemarkan seorang distributor majalah nudis dilindungi terhadap gugatan ganti
rugi berdasarkan fitnah karena pentingnya pokok persoalan dalam penyiaran yang salah
itu. Supreme Court menulis: “Kami menghormati komitmen perdebatan terbuka tentang
persoalan-persoalan publik (public issues), yang dikemas dalam First Amendment,
dengan memperluas cakupan proteksi konstitusional pada semua diskusi dan komunikasi
yang melibatkan urusan-urusan publik atau kepedulian umum.” [Rosenbloom v.
Metromedia, 403 U.S. 29 (1973)] Standar untuk proteksi pers yang dikembangkan untuk
The New York Times sekali lagi disesuaikan, dalam kasus ini diformulasikan untuk
menawarkan proteksi pers secara sangat luas, dengan distingsi antara tokoh-tokoh publik
dan privat -- walaupun tidak dihapus -- berkurang nilai pentingnya.
Bagaimana pun hati-hatinya aturan yang melindungi pers bebas itu dapat dihaluskan
(refined), pada akhirnya ia juga harus diterapkan pada fakta-fakta yang sudah ditetapkan
dari kasus itu, agar dapat mencapai suatu putusan. Fakta-faktanya ditetapkan dalam
persidangan peradilan. Distingsi antara tokoh-tokoh publik dan pribadi perorangan
(private) (dalam penerapan hukum tentang fitnah) tetap bersifat konsekuensial -- namun
fakta-fakta yang mana dalam risalah (on record) yang akan menentukan apakah orang
yang dicemarkan adalah seorang tokoh publik atau tokoh pribadi perorangan? Langkah
final dalam argumen judisial masih harus diambil (diputus).
Dalam sebuah artikel berjudul “Frame-up”, yang dimuat dalam sebuah majalah
bernama American Opinion, diterbitkan oleh John Birch Society dalam tahun 1969,
seorang advokat ternama yang mewakili sebuah keluarga yang anak laki-lakinya telah
terbunuh, secara salah telah dicemarkan. Advokat tersebut, Gertz, secara semberono
dituduh sebagai arsitek dari suatu “frame-up” atas seorang pejabat kepolisian (police
officer) yang telah dijatuhi hukuman atas pembunuhan tersebut. Gertz menggugat
majalah itu telah melakukan fitnah. [Gertz v. Welch, 418 U.S. 323 (1974)] Gertz telah
dirugikan secara sangat tidak adil (unjustly), namun topik itu sudah menjadi kepentingan
(kepedulian) publik yang besar. Apakah standar sebagaimana yang diformulasikan dalam
kasus The New York Times melindungi majalah itu ketika ia secara salah mencemarkan
seseorang dalam situasi kondisi Gertz? Hal itu tergantung pada bagaimana Mahkamah
memilih fakta-fakta untuk memaparkan (mendeskripsi) situasi-situasi keadaan tersebut.
Majalah itu mengklaim bahwa Gertz adalah seorang tokoh publik. Apakah hal itu
benar tergantung pada fakta-fakta apa yang dipilih untuk diberikan penekanan. Ia telah
aktif dalam masyarakat dan urusan-urusan profesional, dan ia sangat terkenal dalam
berbagai lingkungan. Apakah hal itu membuat ia menjadi seorang tokoh publik? Tidak,
26

kata Supreme Court: “Kami tidak akan secara ringan (gampangan) mengasumsikan
bahwa partisipasi seorang warga negara dalam masyarakat dan kegiatan profesional
menjadikannya (memberikan kepadanya status sebagai) tokoh publik untuk semua
tujuan.” [Gertz v. Welch, 418 U.S. 323 (1974)] Tetapi peradilan terhadap pejabat
kepolisian terdahulu, yang dinyatakan (alleged) sebuah “frame-up”, mewujudkan sebuah
topik yang banyak didiskusikan secara publik, dan Gertz terlibat secara marginal dalam
peradilan tersebut. Apakah hal itu membuatnya menjadi seorang tokoh publik? Itu
tergantung pada sifat dari keterlibatannya. Pertanyaan siapa yang menjadi tokoh publik
harus dijawab, demikian Mahkamah menulis, “dengan melihat pada sifat dan jangkauan
partisipasi seorang individu dalam kontroversi tersebut yang memunculkan pencemaran
itu.” (ibid) Keterlibatan Gertz dalam peradilan itu terbatas pada upaya untuk melindungi
kepentingan keluarga dari korban yang ia wakili. Fakta-fakta yang dipilih untuk diberikan
penekanan oleh Mahkamah adalah bukan asosiasi Gertz dengan suatu hal yang terkenal
(notoriety), melainkan perilaku profesionalnya yang sepenuhnya normal, dan mereka
menyimpulkan bahwa pencemaran yang salah terhadapnya tidak dilindungi dengan
standar The New York Times. “Tidak adanya bukti yang jelas tentang keterkenalan secara
umum atau kemashuran (notoriety) dalam masyarakat, dan keterlibatan yang luas dalam
peristiwa-peristiwa di masyarakat, seorang individu seyogianya tidak dianggap pribadi
publik (public personality) untuk semua aspek dari kehidupannya.”
Proses judisial, tampil pada permukaan sebagai suatu penerapan aturan-aturan pada
fakta-fakta secara langsung, dalam kenyataan menjadi sebuah kompleksitas yang besar.
Tidak hanya aturan yang sesuai harus diidentifikasi, dan kemudian diformulasikan untuk
mencapai tujuan publik dari hukum, melainkan juga di situ harus ada suatu penataan
fakta-fakta yang sudah ditetapkan, dan suatu seleksi atas fakta-fakta itu yang
berdasarkannya aturan yang sudah diformulasi terkait paling langsung. Baru kemudian
sebuah kesimpulan dapat dicapai dalam kasus yang sedang ditangani.

15.5. Logika sebagai Penalaran Yang Tepat.


Tiap kali masalah-masalah intelektual yang penting timbul -- dalam hukum, dalam
ilmu, atau dalam kehidupan sehari-hari -- argumen yang baik dapat secara kuat
mendukung, namun tidak pernah dapat menjamin, penyelesaian-penyelesaian yang tepat,
sebab kebenaran dari tiap premis itu terbuka untuk pertanyaan. Kita menalar secara
induktif untuk menetapkan fakta-fakta dalam suatu situasi problematikal. Dari apa yang
dengan cara demikian kita terima sebagai premis-premis, kita menalar secara deduktif
untuk mnetapkan dan mempertahankan apa yang muncul dari premis-premis itu. Dalam
semua studi tentang Logika kita bertujuan untuk mengidentifikasi, menguasai, dan
menggunakan metode-metode dan asas-asas yang membedakan penalaran yang baik dari
yang buruk.
Jika landasan yang di atasnya penalaran kita dibangun adalah solid, dan jika kita
secara konsisten memperhatikan dan akurat, maka tidak ada yang akan membimbing kita
lebih aman dan lebih berhasil dalam menyelesaikan masalah-masalah dari berbagai jenis
ketimbang metode-metode dari Logika yang menjadi pokok bahasan dalam buku ini.

Anda mungkin juga menyukai