Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kecemasan pada perawatan gigi bisa menjadi hambatan utama bagi anak
anak pada saat menerima perawatan gigi. Anak-anak memiliki kemampuan
komunikasi yang terbatas dan kurang mampu untuk mengungkapkan
ketakutan dan kecemasan mereka. Perilaku mereka adalah cerminan
ketidakmampuan mereka untuk mengatasi kecemasan dan manajemen
perilaku adalah sebuah panduan yang dapat memberikan strategi penanganan
yang tepat pada pasien anak (Gupta,dkk 2014).
Penatalaksanaan perilaku pasien anak adalah bagian penting dari praktik
kedokteran gigi anak. Bagi anak yang tidak mampu bekerja sama, dokter gigi
harus mengandalkan teknik manajemen perilaku sebagai pengganti atau
penambahan pada manajemen perawatan. Metode manajemen perilaku
menyangkut komunikasi dan edukasi pada anak serta orang tua pasien.
Menjalin hubungan dengan anak, keluarga dari anak serta tim dokter gigi
merupakan proses yang saling berhubungan.
Proses ini dimulai sebelum pasien mendapat perawatan pembedahan serta
dapat memberikan informasi tertulis pada orang tua pasien serta pertukaran
gagasan, nada suara, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan sentuhan pada pasien
anak. Perkembangan dan berbagai pandangan terhadap perawatan gigi sangat
penting bagi dokter gigi untuk memiliki berbagai macam teknik manajemen
perilaku dan teknik komunikasi untuk memenuhi kebutuhan setiap anak
(Singh, dkk 2014).
Pengelolaan untuk keberhasilan penanganan anak-anak seperti
keterampilan dan pengetahuan tentang bahan gigi dalam praktik gigi dan dapat
dicapai melalui penerapan berbagai Teknik Manajemen Perilaku (BMTs).
Teknik Manajemen Perilaku (BMTs) adalah prosedur yang ditujukan untuk
meningkatkan keterampilan mengatasi anak, mencapai kesediaan dan
penerimaan perawatan gigi secara menyeluruh dan pada akhirnya mengurangi
persepsi anak bahwa perawatan gigi sangat berbahaya. Dengan kata lain,
Teknik Manajemen Perilaku adalah teknik yang dilakukan oleh dokter gigi
untuk merawat pasien gigi anak sehingga dapat membangun komunikasi,
mengurangi rasa takut dan cemas, memfasilitasi penyampaian perawatan gigi
yang berkualitas, membangun hubungan saling percaya antara dokter gigi,
anak, dan orang tua, dan mempromosikannya. Sikap positif anak terhadap
kesehatan gigi dan mulut serta perawatan kesehatan mulut sehingga pasien
anak bersedia melakukan prosedur perawatan gigi (Kawiya, dkk 2015).
Tujuan dari manajemen perilaku adalah untuk menanamkan sikap positif
pada pasien anak yang cemas. Ini adalah cara dimana tim dokter gigi dapat
secara efektif dan efisien melakukan perawatan, dan mendorong seorang anak
untuk memiliki minat dalam waktu jangka panjang dalam meningkatkan
kesehatan gigi dan pencegahan penyakit yang sedang berlangsung. Oleh
karena itu, manajemen perilaku merupakan keterampilan penting dan harus
diperoleh oleh semua anggota tim gigi yang merawat anak. Mengelola anak-
anak yang cemas bisa menjadi tantangan serta pengalaman berharga bagi
semua orang yang bersangkutan (Gupta,dkk 2014). Berdasarkan latar
belakang yang telah diuraikan di atas, penulis ingin melakukan telaah pustaka
mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kecemasan anak terhadap
perawatan gigi dan manajemen perilaku yang tepat dalam mengatasi
kecemasan anak terhadap perawatan gigi.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah dengan menerapkan manajemen anak pada pasien anak dapat
mempermudah proses pemeriksaan serta rencana perawatan pada anak?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Pemeriksan fisik / klinik


2. Untuk mengetahui apa saja teknik atau metode dalam Pemeriksaan fisik /
klinik
3. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk tanda-tanda vitalitas dan
bagaimana cara pemeriksaan tanda-tanda vitalitas
1.4 Manfaat

1. Mengetahui pemeriksaan dibidang Kedokteran Gigi


2. Mengetahui macam-macam Tes Vitalitas
3. Untuk mengetahui Klasifikasi Karies
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemeriksaan klinis
2.1.1 Definisi
Peninjauan dari ujung rambut sampai ujung kaki pada setiap
system tubuh yang memberikan informasi objektif tentang pasien dan
memungkinkan perawat untuk membuat penilaian klinis (Duggal,
2013).

2.1.2 Macam- macam pemeriksaan


a. Pemeriksaan subjektif
Pemeriksaan subjektif adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan
anamnesis(melakukan suatu percakapan antara dokter dan psien
dalam rangka menyusun riwayat penyakit).
b. Pemeriksaan objektif
1. Ekstra oral
Pemeriksaan ekstra oral adalah pemeriksaan melihat penampakan
secara umum dari pasien, apakah pasien ada pembengkakan atau
tidak meliputi leher, bibir, kelenjar limfe, hidung dan telinga. Salah
satu yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah
pemeriksaan Kelenjar limfe. Limfadenopati didefinisikan sebagai
abnormalitas ukuran atau karakter kelenjar getah bening.
Terabanya kelenjar getah bening supraklavikula, iliak, atau
poplitea dengan ukuran berapa pun dan terabanya kelenjar
epitroklear dengan ukuran lebih besar dari 5 mm merupakan
keadaan abnormal (Amaylia, 2013).

Berikut ini beberapa kemungkinan penyakit dengan pembesaran


KGB leher :

a. Infeksi akut di daerah kepala dan leher Infeksi akut di daerah


kepala dan leher dapat menyebabkan pembesaran KGB leher.
Biasanya pembengkakan KGB terjadi mendadak seiring dengan
adanya demam. KGB terasa nyeri, perabaan panas, konsistensi
lunak dan warna kemerahan. Untuk itu difokuskan mencari
sumber infeksi sekitar leher dan kepala, seperti infeksi pada
tenggorokan, saluran nafas, gigi dan telinga. Dapat disebabkan
oleh virus maupun bakteri. Dengan mengobati sumber
infeksinya, KGB dengan sendirinya juga akan mengecil.
b. Infeksi kronik Infeksi KGB kronik yang paling sering
disebabkan oleh micobacterium tuberculosa. Dikenal sebagai
penyakit TB kelenjar. Pembengkakan KGB kronik ini
berlangsung pelan, bisa dalam waktu bulan-tahunan. Konsistensi
KGB biasanya kenyal dan bisa digerakkan dari jaringan sekitar.
Sering TB kelenjar berhubungan dengan penyakit TB paru.
Namun ada juga pasien yang paru-parunya bersih, tapi
menderita TB kelenjar. Jika memang jelas di parunya ada TB,
begitu penyakit parunya diobati, kelenjarpun akan mengecil.
Kalau paru- paru bersih, untuk memastikan diagnosis
pembengkakan kelenjarnya sebaiknya dilakukan biopsi, karena
selain TB, pembesaran KGB kronik juga bisa disebabkan oleh
toxoplasma, citomegalovirus dan lain-lain.
c. Kanker primer KGB Kanker primer KGB (lymphoma malignum
) termasuk kanker yang tinggi insidennya di Indonesia. Pada
lymphoma biasanya pembengkakan kelenjar tidak nyeri. KGB
teraba keras dan sukar digerakkan dari jaringan sekitar. Karena
tidak nyeri dan pertumbuhannya juga tidak cepat, sering luput
dari perhatian atau tidak dianggap serius. Banyak kasus
lymphoma baru disadari dan diperhatikan kalau sudah stadium
lanjut. Pada stadium lanjut kelenjarnya makin besar atau
kelenjar yang bengkak semakin banyak. Bahkan juga ditemukan
pembengkakan pada KGB di tempat lain seperti di ketiak atau
lipat paha. Lymphoma termasuk kanker yang bisa disembuhkan
jika diketahui pada stadium dini. Kanker ini sangat respon
terhadap kemoterapi. Umumnya setelah pemberian beberapa
siklus kemoterapi, kelenjar akan mengecil, bahkan hilang.
Namun pada stadium lanjut kemungkinan untuk kambuh lagi
cukup tinggi, karena penyakitnya sudah menyebar.
d. Metastasis kanker ke KGB Selain kanker primer KGB, banyak
juga ditemukan pembengkakan KGB karena penyebaran dari
kanker di tempat lain. Yang paling sering metastasis ke KGB
leher adalah kanker di daerah kepala dan leher terutama kanker
nasofaring. Bisa juga penyebaran dari kanker paru, kanker
payudara dan lain-lain. Jika kanker primernya sudah jelas, KGB
lehernya tidak perlu di biopsi. Dengan mengobati kanker
primernya, KGB akan ikut mengecil. Tapi perlu diingat, kalau
kanker sudah bermetastasis ke KGB, berarti kankernya bukan
stadium dini lagi. Sehingga angka kesembuhan dan angka
harapan hidupnya tentu tidak sebaik kanker stadium dini. Pada
kanker nasofaring, karena lokasi kankernya di sekitar
tenggorokan, pembesaran KGB leher merupakan gejala utama
yang sering menyebabkan pasien datang berobat (Amaylia,
2013).
2. Intra oral
Pemeriksaan intra oral adalah pemeriksaan yang dilakukan
didalam rongga mulut secara sistematis meliputi mukosa, lidah,
kerongkongan, kelenjar saliva, periodontium dan gigi (duggal,
2013). Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa
cara yaitu, palpasi, perkusi, druk, dan tes khusus atau tes
vitalitas.
a) Tes Visual dan Palpasi
Tes ini menggunakan prinsip Three C’s (Colour, Contour,
Consistency). Adapun beberapa metode palpasi sebagai
berikut:
Metode Palpasi Deskripsi

Palpasi Bidigital Mengunakan dua jari atau lebih,biasanya


jari telunjuk dan jari tengah.

Palpasi Bimanual Menahan jaringan ekstra oral dengan satu


tangan dan tangan lainnya melakukan
palpasi struktur intra oral.
Palpasi Bilateral Pemeriksaan simultan struktur tunggal
atau satu area pada kedua sisi wajah

(Forbes, 2002)
b) Tes Perkusi
Tes perkusi dilakukan dengan tujuan untuk mengevaluasi
status jaringan peridonsium. Tes ini menggunakan instrument
kedokteran gigi seperti kaca mulut yang ujung nya di
ketukkan perlahan pada gigi. Apabila tes perkusi positif maka
terdapat kelainan pada jaringan peridonsium.
c) Tes druk
Tes druk dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan pada
periapikal gigi. Caranya pasien diminta mengigit objek yang
keras contohnya gulungan kapas. Apabila hasil tes ini positif
maka terdapat kelainan pada periapikal gigi.
d) Tes khusus
Tes khusus ini dilakukan untuk membantu menentukan
rencana perawatan yang tepat untuk pasien. Contoh nya tes
vitalitas (Patel dan Justin, 2016).
2.1.3 Manajemen Kedokteran Gigi Anak
a. Tell – show – do
Teknik ini secara luas digunakan untuk membiasakan pasien
dengan prosedur baru, sambil meminimalkan rasa takut. Dokter gigi
menjelaskan kepada pasien apa yang akan dilakukan
(memperhitungkan usia pasien menggunakan bahasa yang mudah
dipahami). Memberikan demontrasi prosedur misalnya gerakan
handpiece yang lambat pada jari) kemudian lakukan tindakan yang
sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Tell-show-do dapat
mengurangi kecemasan pada pasien anak yang baru pertama ke
dokter gigi (Gupta, 2014).
b. Behavior shaping
Pembentukan perilaku (Behavior shaping) merupakan teknik
nonfarmakologi. Teknik ini merupakan bentuk modifikasi perilaku
yang didasarkan pada prinsipprinsip pembelajaran sosial. Prosedur
ini secara bertahap akan mengembangkan perilaku dan memperkuat
perilaku sosial. Behavior shaping terjadi saat perawat gigi atau
dokter gigi mengajarkan anak bagaimana cara berperilaku. Anak-
anak diajarkan melalui prosedur ini secara bertahap. Berikut ini
adalah outline untuk behavior shaping model:
1. Pada tahap pertama, jelaskan sejak awal tujuan atau tugas
anak
2. Jelaskan pentingnya prosedur yang akan dilakukan. Seorang
anak akan mengerti alasan dan dapat bekerja sama.
3. Jelaskan prosedur dengan sederhana. Seorang anak sulit
memahami prosedur dengan satu penjelasan, sehingga harus
dijelaskan secara perlahan dan bertahap.
4. Perhatikan tingkat pemahaman anak. Gunakan ungkapan
yang lebih halus dan sederhana.
5. Gunakan perkiraan dalam keberhasilan. Sejak tahun 1959,
teknik TellShow-Do merupakan acuan dalam panduan
berperilaku.
6. Memperkuat/membentuk perilaku yang tepat. Sespesifik
mungkin, karena memperkuat perilaku dengan spesifik lebih
efektif daripada pendekatan umum. Saran ini didukung oleh
penelitian klinis Weinstein dan rekanrekannya, yang meneliti
respon dokter gigi terhadap perilaku anak-anak dan
menemukan bahwa penguatan perilaku secara langsung dan
spesifik paling konsisten diikuti oleh penurunan perilaku
terkait rasa takut pada anak-anak. 17 7. Mengabaikan
perilaku yang tidak pantas. Perilaku buruk yang diabaikan
cenderung akan hilang sendiri ketika dilakukan pembentukan
perilaku (Dean dkk., 2011)
c. Disentisasi
Disentisasi adalah jenis manajemen perilaku yang
diperkenalkan oleh Joseph Wolpe (1969) berdasarkan pemahaman
bahwa relaksasi dan kecemasan tidak dapat ada pada individu di saat
yang bersamaan. Dalam prakteknya, untuk manajemen kecemasan
dental, stimulus penghasil rasa takut dibangun, dimulai dengan
stimulus dengan ancaman terendah. Namun, sebelum ini dilakukan,
pasien diajarkan untuk rileks. Jika keadaan relaksasi sudah tercapai,
stimulus yang menimbulkan rasa takut mulai diperkenalkan diawali
dengan stimulus yang tidak menimbulkan kecemasan kemudian
dapat dilanjutkan dengan stimulus yang mulai menimbulkan rasa
takut (Duggal dkk., 2013). Desentisasi membantu seseorang untuk
menangani ketakutan atau phobia yang spesifik melalui kontak yang
berulang. Stimulus penghasil rasa takut diciptakan dan diterapkan
pada pasein secara berurutan, dimulai dengan yang paling sedikit
menimbulkan rasa takut. Teknik ini berguna untuk menangani
ketakutan yang spesifik, contohnya anastesi gigi pada anak (Gupta
dkk., 2014).
d. Sedasi
Terdapat berbagai metode untuk sedasi pada pasien anak. Obat-
obatan sedatif dapat diberikan melalui inhalasi, atau melalui oral,
rektal, submukosa, intramuskular, atau intravena. Penggunaan obat
kombinasi dan pilihan rute pemberian tertentu bertujuan untuk
memaksimalkan efek, meningkatkan keamanan, serta
memaksimalkan penerimaan pada pasien. Inhalasi campuran nitrous
oxide sering disertai dengan pemberian agen sedasi lain dengan rute
pemberian berbeda (Dean dkk., 2011).

e. Distraksi (Pengalihan Perhatian)


Beberapa jenis kegiatan dapat digunakan untuk mengalihkan
perhatian anak, seperti memainkan film yang sesuai usia anak,
bermain video game, dan lainnya bisa bermanfaat untuk
mengalihkan perhatian anak. Namun, berbicara dengan anak selama
perawatan adalah metode yang efektif untuk mengalihkan perhatian
anak (Duggal dkk., 2013).
f. Modelling
Video klip dari anak-anak lain yang sedang menjalani perawatan
gigi yang diputar di monitor TV dapat dijadikan sebagai model saat
mereka menjalani prosedur perawatan gigi. Sebagian besar studi
modeling menunjukkan bahwa ada baiknya memperkenalkan anak
ke dokter gigi dengan cara ini, namun tidak semua penelitian
menunjukkan perilaku kooperatif yang secara statistik lebih baik
pada anak-anak. Kurangnya replikasi mungkin disebabkan oleh
perbedaan dalam desain eksperimental, tim dokter gigi, kaset video
dan film. Ini menunjukkan perlunya rekaman video atau pemilihan
film yang digunakan pada kantor dokter gigi (Dean dkk., 2011; Koch
dan Pulsen, 2009)
Modifikasi perilaku dapat juga dilakukan pada pasien seperti
saudara kandung, anak-anak lainnya, atau orangtua. Banyak dokter
gigi mengijinkan anak untuk mengajak orang tuanya masuk keruang
operator untuk melihat riwayat medis gigi. Karena anak yang sedang
mengamati kemungkinan akan diperkenalkan perawatan gigi,
dimulai dengan pemeriksaan gigi. Kunjungan kembali orang tua
dapat dijadikan kesempatan modeling yang baik. Pada kesempatan
ini banyak anak yang langsung menaiki dental chair setelah
kunjungan kembali. Pada saat anak menaiki dental chair, dokter gigi
harus berhati-hati. Pasien anak biasanya ditakutkan dengan suara
yang keras seperti suara pada high-speed handpiece (Dean dkk.,
2011).
2.1.4 Diagnosis dan Penatalaksanaan Pulpitis Reversibel
a. Definisi
Pulpitis reversibel merupakan inflamasi pulpa yang tidak parah.
Jika penyebabnya dihilangkan, inflamasi akan menghilang dan pulpa
akan kembali normal. Stimulus ringan seperti karies insipien, erosi
servikal, atau atrisi oklusal, sebagian besar prosedur operatif,
kuretase periodontal yang dalam, dan fraktur email yang
menyebabkan tubulus dentin terbuka adalah faktor yang dapat
mengakibatkan pulpitis reversibel ( Achmad, 2015 ).
b. Gejala
Pulpitis reversible bersifat asimtomatik dapat disebabkan karena
karies yang baru muncul dan akan kembali normal bila karies
dihilangkan dan gigi direstorasi dengan baik, apabila ada gejala
(bersifat simtomatik) biasanya berbentuk pola khusus. Aplikasi
stimulus dingin atau panas, dapat menyebabkan rasa sakit yang
tajam ( Achmad, 2015 ).
c. Penatalaksaaan
Pada pulpitis reversible, terapi awal yang diberikan, yaitu dengan
menghilangkan karies dan kemudian di restorasi. Pada keadaan
apexogenesis, penganggkatan pulpa parsial (pulpotomy) di lakukan (
Achmad, 2015 ).
2.2 Karies
2.2.1 Definisi
Karies gigi merupakan penyakit pada jaringan gigi yang diawali
dengan terjadinya kerusakan jaringan yang dimulai dari permukaan gigi
(pit, fissures, dan daerah inter proksimal), kemudian meluas kearah
pulpa. Karies gigi dapat dialami oleh setiap orang dan juga dapat timbul
pada satu permukaan gigi atau lebih, serta dapat meluas ke bagian yang
lebih dalam dari gigi, misalnya dari enamel ke dentin atau ke pulpa
(Tarigan, 2015).
2.2.2 Klasifikasi Karies
2.2.2.1 Klasifikasi Karies Berdasar Kedalamannya
1. Karies superfisial : karies yang hanya mengenai email,
sedangkan dentin belum terkena.
2. Karies media : karies yang mengenai emai dan telah
mencapai setengah dentin.
3. Karies profunda: karies yang mengenai lebih dari setengah
dentin dan bahkan menembus pulpa. Karies profunda dapat
dibagi atas 3 stadium:
a. Karies profunda stadium I: Karies telah melewati
setengahdentin, biasanya radang pulpa belum dijumpai.
b. Karies profunda stadium II: Masih dijumpai lapisan tipis
yang membatasi karies dengan pulpa. Biasanya disini telah
terjadiradang pulpa.
c. Karies profunda stadium III: Pulpa telah terbuka. Pada
karies initelah terjadi peradangan pulpa

2.2.2.2 Klasifikasi Karies Menurut Dr. G.V. Black


Menurut G.V. Black, karies diklasifikasikan menggunakan
lokasi spesifik dari lesi karies yang sering terjadi pada gigi,
yaitu:
1. Kelas I
Karies yang terjadi pada pit dan fissure semua gigi, baik
anterior maupun posterior.
2. Kelas II
Karies yang terjadi pada permukaan aproksimal dari gigi
posterior. Kavitas ini biasa terdapat pada permukaan halus
dibawah titik kontak yang sulit dibersihkan. Bentuk lesi pada
kelas ini biasanya berbentuk elips.
3. Kelas III
Karies yang terjadi pada permukaan aproksimal dari gigi
anterior. Karies bisa terjadi pada permukaan mesial atau
distal dari incisivus atau kaninus. Bentuk lesi pada kelas ini
biasanya berbentuk bulat dan kecil.
4. Kelas IV
Kelas ini merupakan lanjutan dari karies kelas III. Karies
yang meluas ke incisal sehingga melemahkan sudut incisal
edgenya dan dapat menyebabkan fraktur pada gigi.
5. Kelas V
Karies yang terjadi pada permukaan servikal gigi. Lesi ini
bisa terjadi pada permukaan fasial atau labial, namun lebih
dominan terjadi pada permukaan fasial gigi. Kavitas pada
kelas ini bisa mengenai sementum gigi.
6. Kelas VI
Karies yang terjadi pada ujung-ujung cusp gigi posterior dan
incisal edge.

2.2.2.3 Klasifikasi Karies Menurut G.J. Mount


Menurut G.J. Mount, karies diklasifikasikan berdasarkan lesi
yang terjadi pada permukaaan gigi beserta ukuran kavitasnya,
yang terdiri atas 3 site, yaitu:
1. Site 1
Karies pada pit dan fissure di permukaan oklusal gigi anterior
maupun posterior.
2. Site 2
Karies pada permukaan aproksimal gigi anterior maupun
posterior.
3. Site 3
Karies pada 1/3 mahkota dari akar (servikal) sejajar dengan
gingiva.

2.2.3 Proses Terjadinya Karies


Proses terjadinya karies dimulai dengan permukaan gigi dalam rongga
mulut selalu dilapisi pelikel (plak) => media perlekatan bakteri kariogenik
(Streptococcus mutans) => KH (sukrosa) => dimetabolisme oleh bakteri
dengan cepat menjadi asam (asam laktat) => PH turun sampai dengan 5,5
=> 4 dan dapat mengakibatkan demineralisasi enamel.
Demineralisasi dan remineralisasi (oleh adanya ion F dari saliva) silih
berganti dan proses demineralisasi lebih banyak sehingga terjadi kavitas
pada enamel => proses karies gigi (Suryawati, 2010).

2.3 Tes Vitalitas


2.3.1 Definisi
Tes vitalitas merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui
apakah suatu gigi masih bisa dipertahankan atau tidak. Tes vitalitas
terdiri dari empat pemeriksaan, yaitu tes termal, tes kavitas, tes jarum
miller dan tes elektris (Grossman, dkk, 1995).
2.3.2 Macam-macam Tes Vitalitas
1. Tes termal, merupakan tes kevitalan gigi yang meliputi aplikasi
panas dan dingin pada gigi untuk menentukan sensitivitas terhadap
perubahan termal (Grossman, dkk, 1995).
a. Tes dingin, dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai
bahan, yaitu etil klorida, salju karbon dioksida (es kering)
dan refrigerant (-50oC). Aplikasi tes dingin dilakukan dengan
cara sebagai berikut.
 Mengisolasi daerah gigi yang akan diperiksa dengan
menggunakan cotton roll maupun rubber da
 Mengeringkan gigi yang akan dites.
 Apabila menggunakan etil klorida maupun refrigerant dapat
dilakukan dengan menyemprotkan etil klorida pada cotton
pellet.
 Mengoleskan cotton pellet pada sepertiga servikal gigi.
 Mencatat respon pasien.
Apabila pasien merespon ketika diberi stimulus dingin dengan
keluhan nyeri tajam yang singkat maka menandakan bahwa gigi
tersebut vital. Apabila tidak ada respon atau pasien tidak
merasakan apa-apa maka gigi tersebut nonvital atau nekrosis
pulpa. Respon dapat berupa respon positif palsu apabila aplikasi
tes dingin terkena gigi sebelahnya tau mengenai gingiva
(Grossman, dkk, 1995). Respon negatif palsu dapat terjadi karena
tes dingin diaplikasikan pada gigi yang mengalami penyempitan
(metamorfosis kalsium).
b. Tes panas, pemeriksaan ini jarang digunakan karena dapat
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah apabila stimulus yang
diberikan terlalu berlebih. Tes panas dilakukan dengan
menggunakan berbagai bahan yaitu gutta perca
panas, compound panas, alat touch and heat dan instrumen yang
dapat menghantarkan panas dengan baik (Grossman, dkk, 1995).
Gutta perca merupakan bahan yang paling sering digunakan
dokter gigi pada tes panas. Pemeriksaan dilakukan dengan
mengisolasi gigi yang akan di periksa. Kemudian gutta perca
dipanaskan di atas bunsen. Selanjutnya gutta perca diaplikasikan
pada bagian okluso bukal gigi. Apabila tidak ada respon maka
oleskan pada sepertiga servikal bagian bukal. Rasa nyeri yang
tajam dan singkat ketika diberi stimulus gutta perca menandakan
gigi vital, sebaliknya respon negatif atau tidak merasakan apa-apa
menandakan gigi sudah non vital (Walton dan Torabinejad,
2008).
2. Tes kavitas, bertujuan untuk mengetahui vitalitas gigi dengan cara
melubangi gigi. Alat yang digunakan bur tajam dengan cara
melubangi atap pulpa hingga timbul rasa sakit. Jika tidak merasakan
rasa sakit dilanjutkan dengan tes jarum miller. Hasil vital jika terasa
sakit dan tidak vital jika tidak ada sakit (Grossman, dkk, 1995).
3. Tes elektris, merupakan tes yang dilakukan untuk mengetes vitalitas
gigi dengan listrik, untuk stimulasi saraf ke tubuh. Alatnya
menggunakan Electronic pulp tester (EPT). Tes elektris ini
dilakukan dengan cara gigi yang sudah dibersihkan dan dikeringkan
disentuh dengan menggunakan alat EPT pada bagian bukal atau
labial, tetapi tidak boleh mengenai jaringan lunak. Sebelum alat
ditempelkan, gigi yang sudah dibersihkan diberi konduktor berupa
pasta gigi. Tes ini dilakukan sebanyak tiga kali supaya memperoleh
hasil yang valid. Tes ini tidak boleh dilakukan pada orang yang
menderita gagal jantung dan orang yang menggunakan alat pemacu
jantung. Gigi dikatakan vital apabila terasa kesemutan, geli, atau
hangat dan gigi dikatakan non vital jika sebaliknya. Tes elektris tidak
dapat dilakukan pada gigi restorasi, karena stimulasi listrik tidak
dapat melewati akrilik, keramik, atau logam. Tes elektris ini
terkadang juga tidak akurat karena beberapa faktor antara lain,
kesalahan isolasi, kontak dengan jaringan lunak atau restorasi., akar
gigi yang belum immature, gigi yang trauma dan baterai habis
(Grossman, dkk, 1995).
4. Tes jarum miller, diindikasikan pada gigi yang terdapat perforasi
akibat karies atau tes kavitas. Tes jarum miller dilakukan dengan
cara memasukkan jarum miller hingga ke saluran akar. Apabila tidak
dirasakan nyeri maka hasil adalah negatif yang menandakan bahwa
gigi sudah nonvital, sebaliknya apabila terasa nyeri menandakan gigi
masih vital (Walton dan Torabinejad, 2008).

2.4 Erupsi Gigi


2.4.1 Urutan Kemunculan Gigi Sulung

INSISIF INSISIF KANINUS MOLAR MOLAR


SENTRAL LATERAL PERTAMA KEDUA
Atas Ke-3 (7,5 Ke-4 Ke-8 (18 Ke-6 (14 Ke-10 (24
bulan) (9bulan) bulan) bulan) bulan)
Bawah Ke-1 (6 Ke-2 (7 Ke-7 (16 Ke-5 (12 Ke-9 (20
bulan) bulan) bulan) bulan) bulan)

2.4.2 Urutan Umum Kemunculan Gigi-Geligi Permanen

INSISIF INSISIF KANINUS PREMOLA REMOLAR MOLAR MOLAR MOLAR


SENTRAL LATERAL R KEDUA PERTAMA KEDUA KETIGA
PERTAMA

USIA 6-9 tahun 6-9tahun 9-12 tanun 6 tahun 12 tahun

Atas Ke-2 (t) Ke-3 Ke-6 (t) Ke-5 (t) Ke-5 (t) Ke-1 (t) Ke-7 (t) Ke-8 (t)

(7-8 thn) (8-9thn) (11-12thn) (10-11thn) (10-12thn) (6-7thn) (12- (17-


15thn) 21thn)
Bawah Ke-1 (t) Ke-2 (t) Ke-4 Ke-5 (t) Ke 6(t) Ke-1 (t) Ke-7 (t) Ke-8 (t)

(6-7thn) (7-8thn) (9-10thn) (10-12thn) (11-12thn) (6-7thn) (11- (17-


13thn) 21thn)

(Scheid&Gabriella, 2013)
BAB III
PETA KONSEP

Management
Pemeriksaan Anak

Pemeriksaan Pemeriksaan
Subyektif Obyektif

Anamnesiss
Intraoral Ekstraoral

AUTO- ALLO-  Tes druk


Inspeksi Palpasi
Anamnesis Anamnesis  Tes perkusi
 Tes vitalitas

 Pembengka  Nyeri
 Identitas pasien kan tekan
 Keluhan utama  Asimetri  Konsistensi
 Riwayat medis  Warna  Substansi
 Riwayat dental
 Riwayat sosial

Penegakan
Diagnosis

Rencana Perawatan
BAB IV

PEMBAHASAN

Dalam kegiatan praktik seorang dokter tidak hanya menjumpai pasien remaja

dan dewasa saja namun juga akan menjumpai pasien anak. Oleh sebab itu, dokter

gigi perlu menerapkan managemen pemeriksaan anak yang tepat. Managemen

peneriksaan anak sedikit berbeda dengan managemen pemeriksaan pada pasien

dewasa.

Managemen pemeriksaan anak sendiri dapat dilakukan dengan pemeriksaan

subjektif dan objektif. Dimana pemeriksaan subjektif akan menerapkan metode

anamnesis seputaran keluhan yang dialami pasien anak. Anamnesis bisa

didapatkan langsung dari pasien( auto anamnesis) ataupun bisa melalui orangtua

pasien anak (allo anamnesis). Anamnesa tidak hanya berisikab tanya jawab

seputar keluhan akan tetapi juga berupa pertanyaan seputar riwayat medis,riwayat

dental dan juga riwayat sosial pasien anak tersebut.

Selain pemeriksaan subjektif, terdapat pemeriksaan objektif. Dimana

pemeriksaan objektif dokter gigi akan memeriksa bagian intra oral dan ekstra oral

dari pasien anak. Pemeriksaan intra oral meliputi : tes druk, tes perkusi, tes

vitalitas sedangkan pemeriksaan ekstra oral dilakukan dengan cara inspeksi dan

palpasi pada bagian luar mulut dengan bertujuan melihat adanya pembengkakan,

simettis pada wajah dan apakan ada perubahan warna pada wajah yang mengalami

pembengkakan. Selain itu adanya tes palpasi digunakan untuk melihat adanya

nyeri pada pembengkakan diarea kelenjar limfe.


Dengan menerapkan managemen pemeriksaan anak yang tepat makaseorang

dokter gigi akan mudah untuk mendapatkan dignosa dari keluhan pasien anak

tersebut yang nantinya akan didapatkan rencana perawatan pada pasien anak

dengan tepat.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Managemen pemeriksaan anak yang tepat yaitu managemen yang
dilakukan dengan pemeriksaan subjektif dan objektif. Dimana pemeriksaan
subjektif akan menerapkan metode anamnesis seputaran keluhan yang
dialami pasien anak. Anamnesa tidak hanya berisikan tanya jawab seputar
keluhan akan tetapi juga berupa pertanyaan seputar riwayat medis,riwayat
dental dan juga riwayat sosial pasien anak tersebut. Lalu ada pula
pemeriksaan objektif dokter gigi akan memeriksa bagian intra oral dan ekstra
oral dari pasien anak. Pemeriksaan intra oral meliputi : tes druk, tes perkusi,
tes vitalitas sedangkan pemeriksaan ekstra oral dilakukan dengan cara
inspeksi dan palpasi pada bagian luar mulut dengan bertujuan melihat adanya
pembengkakan, simettis pada wajah dan apakan ada perubahan warna pada
wajah yang mengalami pembengkakan. Selain itu adanya tes palpasi
digunakan untuk melihat adanya nyeri pada pembengkakan diarea kelenjar
limfe. penerapkan managemen pemeriksaan anak yang tepat makaseorang
dokter gigi akan mudah untuk mendapatkan dignosa.

5.2 Saran
Managemen pemeriksaan anak yang tepat sangat berpengaruh terhadap
jalanya pemeriksaan pada saat perawatan guna mempermudah dokter dalam
mendapatkan diagnosa yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

C . Scheid Rickne dan Gabriella Weiss. 2013. Woelfel anatomi gigi. Ed. 8.
Jakarta : EGC.
Dean, Avery, McDonald, 2011, Dentistry for the Child and Adolescent, 9th ed.,
Mosby inc., London, hal. 52, 260-261.
Duggal, M., Cameron, A., Toumba, J., 2013, Paediatric Dentistry at a Glance, 1st
ed., Blackwell Pub., Oxford, hal.21.
Forbes WC, Shepherd RDH. Examination of the lymph nodes of the head and
neck: part I. The Journal of Practical Hygiene. 2002 Nov: 15-9.
Grosman, L. I., Seymour, O., Carlos, E., D., R., 1995, Ilmu Endodontik dalam
Praktek, edisi kesebelas, EGC, Jakarta.
Gupta, A., dkk., 2014, Behaviour management of an anxious child, Stomatologija,
Baltic Dental and Maxillofacial Journal; Vol. 16, No 1.
Oehadian, Amaylia. 2013. Pendekatan Diagnosis Limfadenopati. Continuing
Medical Education . CDK-209/ vol. 40 no. 10.
Tarigan . R . 2013 .karies gigi edisi 2 .Jakarta :EGC
Walton, R.E., Torabinejad, M., 2008, Prinsip & Praktik Ilmu Endodonsia, EGC,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai