Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PENERAPAN TERAPI KOMPLEMENTER


DAN TREN ISSUE

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
STIKES WIRA MEDIKA BALI
2019 / 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas limpah hidayah, rahmat dan
lindungannya, khirnya makalah ini kami selesaikan dengan lancar.

Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas kami. Selain itu kami menyusun
makalah ini untuk menambah wawasan untuk memahami tentang Penerapan Terapi
Komplementer dan Tren Issue.

Mungkin masalah yang kami buat ini belum sempurna karna kami juga masih dalam
proses belajar, oleh karena itu kami menerima saran/kritikan pembaca supaya makalah
selanjutnya bisa lebih baik dari sebelumnya.

Dalam makalah ini kami membahas tentang Penerapan Terapi Komplementer dan
Tren Issue. Semoga makalah yang kami buat ini bisa bermafaat bagi pembaca.

Demikianlah makalah yang kami susun dan jika ada tulisan atau perkataan yang
kurang berkenan (sopan) kami mohon maaf sebesar-besarnya, semoga makalah ini
bermanfaat buat pembaca.

Denpasar, 4 Oktober 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................................................................................... 2


Daftar Isi ................................................................................................................................................................................................ 3

BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................................................................... 5
1.3 Tujuan ............................................................................................................................................................................................ 5
1.4 Manfaat ......................................................................................................................................................................................... 5

BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Definisi Terapi Komplementer ................................................................................................................................. 6
2.2 Macam-macam Terapi Komplementer .............................................................................................................. 8
2.3 Peran Perawat dalam Terapi Komplementer ......................................................................................... ..10
2.4 Penerapan Terapi Komplementer pada HIV/AIDS……………………………………..10

BAB III : PENUTUP


3.1 Simpulan................................................................................................................................................................................... 16
3.2 Saran ............................................................................................................................................................................................ 16

Daftar Pustaka…………………………………………………………………………….....17

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan terapi komplementer akhirakhir ini menjadi sorotan banyak negara.
Pengobatan komplementer atau alternatif menjadi bagian penting dalam pelayanan
kesehatan di Amerika Serikat dan negara lainnya (Snyder & Lindquis, 2002). Estimasi di
Amerika Serikat 627 juta orang adalah pengguna terapi alternatif dan 386 juta orang yang
mengunjungi praktik konvensional (Smith et al., 2004). Data lain menyebutkan terjadi
peningkatan jumlah pengguna terapi komplementer di Amerika dari 33% pada tahun 1991
menjadi 42% di tahun 1997 (Eisenberg, 1998 dalam Snyder & Lindquis, 2002).

Klien yang menggunakan terapi komplemeter memiliki beberapa alasan. Salah satu
alasannya adalah filosofi holistik pada terapi komplementer, yaitu adanya harmoni dalam
diri dan promosi kesehatan dalam terapi komplementer. Alasan lainnya karena klien ingin
terlibat untuk pengambilan keputusan dalam pengobatan dan peningkatan kualitas hidup
dibandingkan sebelumnya. Sejumlah 82% klien melaporkan adanya reaksi efek samping
dari pengobatan konvensional yang diterima menyebabkan memilih terapi komplementer
(Snyder & Lindquis, 2002).
Terapi komplementer yang ada menjadi salah satu pilihan pengobatan masyarakat. Di
berbagai tempat pelayanan kesehatan tidak sedikit klien bertanya tentang terapi
komplementer atau alternatif pada petugas kesehatan seperti dokter ataupun perawat.
Masyarakat mengajak dialog perawat untuk penggunaan terapi alternatif (Smith et al., 2004).
Hal ini terjadi karena klien ingin mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan pilihannya,
sehingga apabila keinginan terpenuhi akan berdampak ada kepuasan klien. Hal ini dapat
menjadi peluang bagi perawat untuk berperan memberikan terapi komplementer.

Peran yang dapat diberikan perawat dalam terapi komplementer atau alternatif dapat
disesuaikan dengan peran perawat yang ada, sesuai dengan batas kemampuannya. Pada
dasarnya, perkembangan perawat yang memerhatikan hal ini sudah ada. Sebagai contoh yaitu
American Holistic Nursing Association (AHNA), Nurse Healer Profesional Associates (NHPA)
(Hitchcock et al., 1999). Ada pula National Center for Complementary/Alternative Medicine
(NCCAM) yang berdiri tahun 1998 (Snyder & Lindquis, 2002).

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Terapi Komplementer ?
2. Apa saja macam-macam Terapi Komplementer ?
3. Bagaimana peran perawat dalam Terapi Komplementer ?
4. Bagaimana penerapan Terapi Komplementer pada HIV/AIDS ?

1.3 Tujuan
1. Untuk memahami definisi dari Terapi Komplementer.
2. Untuk mengetahui macam-macam Terapi Komplementer.
3. Agar mengetahui bagaimana peran perawat dalam Terapi Komplementer.
4. Agar memahami bagaimana penerapan Terapi Komplementer pada HIV/AIDS.

1.4 Manfaat
Untuk mengintegrasikan terapi komplementer pada HIV/Aids and long term care

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Terapi Komplementer


Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan dalam
pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam
pengobatan modern (Andrews et al., 1999). Terminologi ini dikenal sebagai terapi
modalitas atau aktivitas yang menambahkan pendekatan ortodoks dalam pelayanan
kesehatan (Crips & Taylor, 2001). Terapi komplementer juga ada yang menyebutnya
dengan pengobatan holistik. Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi yang mempengaruhi
individu secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan individu untuk mengintegrasikan
pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi (Smith et al., 2004).

Pendapat lain menyebutkan terapi komplementer dan alternatif sebagai sebuah


domain luas dalam sumber daya pengobatan yang meliputi sistem kesehatan, modalitas,
praktik dan ditandai dengan teori dan keyakinan, dengan cara berbeda dari sistem
pelayanan kesehatan yang umum di masyarakat atau budaya yang ada (Complementary
and alternative medicine/CAM Research Methodology Conference, 1997 dalam Snyder &
Lindquis, 2002). Terapi komplementer dan alternatif termasuk didalamnya seluruh praktik
dan ide yang didefinisikan oleh pengguna sebagai pencegahan atau pengobatan penyakit
atau promosi kesehatan dan kesejahteraan.

Definisi tersebut menunjukkan terapi komplemeter sebagai pengembangan terapi


tradisional dan ada yang diintegrasikan dengan terapi modern yang mempengaruhi
keharmonisan individu dari aspek biologis, psikologis, dan spiritual. Hasil terapi yang telah
terintegrasi tersebut ada yang telah lulus uji klinis sehingga sudah disamakan dengan obat
modern. Kondisi ini sesuai dengan prinsip keperawatan yang memandang manusia
sebagai makhluk yang holistik (bio, psiko, sosial, dan spiritual).
Prinsip holistik pada keperawatan ini perlu didukung kemampuan perawat dalam

menguasai berbagai bentuk terapi keperawatan termasuk terapi komplementer. Penerapan terapi

komplementer pada keperawatan perlu mengacu kembali pada teori-teori yang mendasari praktik

keperawatan. Misalnya teori Rogers yang memandang manusia sebagai sistem terbuka,

6
kompleks, mempunyai berbagai dimensi dan energi. Teori ini dapat mengembangkan
pengobatan tradisional yang menggunakan energi misalnya tai chi, chikung, dan reiki.

Teori keperawatan yang ada dapat dijadikan dasar bagi perawat dalam
mengembangkan terapi komplementer misalnya teori transkultural yang dalam praktiknya
mengaitkan ilmu fisiologi, anatomi, patofisiologi, dan lain-lain. Hal ini didukung dalam
catatan keperawatan Florence Nightingale yang telah menekankan pentingnya
mengembangkan lingkungan untuk penyembuhan dan pentingnya terapi seperti musik
dalam proses penyembuhan. Selain itu, terapi komplementer meningkatkan kesempatan
perawat dalam menunjukkan caring pada klien (Snyder & Lindquis, 2002).
Hasil penelitian terapi komplementer yang dilakukan belum banyak dan tidak dijelaskan
dilakukan oleh perawat atau bukan. Beberapa yang berhasil dibuktikan secara ilmiah misalnya
terapi sentuhan untuk meningkatkan relaksasi, menurunkan nyeri, mengurangi kecemasan,
mempercepat penyembuhan luka, dan memberi kontribusi positif pada perubahan
psikoimunologik (Hitchcock et al., 1999). Terapi pijat (massage) pada bayi yang lahir kurang
bulan dapat meningkatkan berat badan, memperpendek hari rawat, dan meningkatkan respons.
Sedangkan terapi pijat pada anak autis meningkatkan perhatian dan belajar. Terapi pijat juga
dapat meningkatkan pola makan, meningkatkan citra tubuh, dan menurunkan kecemasan pada
anak susah makan (Stanhope, 2004). Terapi kiropraksi terbukti dapat menurunkan nyeri haid
dan level plasma prostaglandin selama haid (Fontaine, 2005).

Hasil lainnya yang dilaporkan misalnya penggunaan aromaterapi. Salah satu


aromaterapi berupa penggunaan minyak esensial berkhasiat untuk mengatasi infeksi bakteri
dan jamur (Buckle, 2003). Minyak lemon thyme mampu membunuh bakteri streptokokus,
stafilokokus dan tuberkulosis (Smith et al., 2004). Tanaman lavender dapat mengontrol minyak
kulit, sedangkan teh dapat membersihkan jerawat dan membatasi kekambuhan (Key, 2008). Dr.
Carl menemukan bahwa penderita kanker lebih cepat sembuh dan berkurang rasa nyerinya
dengan meditasi dan imagery (Smith et al., 2004). Hasil riset juga menunjukkan hipnoterapi
meningkatkan suplai oksigen, perubahan vaskular dan termal, mempengaruhi aktivitas
gastrointestinal, dan mengurangi kecemasan (Fontaine, 2005).

Hasil-hasil tersebut menyatakan terapi komplementer sebagai suatu paradigma baru


(Smith et al., 2004). Bentuk terapi yang digunakan dalam terapi komplementer ini beragam
sehingga disebut juga dengan terapi holistik. Terminologi kesehatan holistik mengacu pada

7
integrasi secara menyeluruh dan mempengaruhi kesehatan, perilaku positif, memiliki
tujuan hidup, dan pengembangan spiritual (Hitchcock et al., 1999).

Terapi komplementer dengan demikian dapat diterapkan dalam berbagai level


pencegahan penyakit.
Terapi komplementer dapat berupa promosi kesehatan, pencegahan penyakit ataupun

rehabilitasi. Bentuk promosi kesehatan misalnya memperbaiki gaya hidup dengan menggunakan

terapi nutrisi. Seseorang yang menerapkan nutrisi sehat, seimbang, mengandung berbagai unsur

akan meningkatkan kesehatan tubuh. Intervensi komplementer ini berkembang di tingkat

pencegahan primer, sekunder, tersier dan dapat dilakukan di tingkat individu maupun kelompok

misalnya untuk strategi stimulasi imajinatif dan kreatif (Hitchcock et al., 1999).

Pengobatan dengan menggunakan terapi komplementer mempunyai manfaat selain


dapat meningkatkan kesehatan secara lebih menyeluruh juga lebih murah. Terapi
komplementer terutama akan dirasakan lebih murah bila klien dengan penyakit kronis yang
harus rutin mengeluarkan dana. Pengalaman klien yang awalnya menggunakan terapi
modern menunjukkan bahwa biaya membeli obat berkurang 200-300 dolar dalam beberapa
bulan setelah menggunakan terapi komplementer (Nezabudkin, 2007).

Minat masyarakat Indonesia terhadap terapi komplementer ataupun yang masih


tradisional mulai meningkat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengunjung praktik terapi
komplementer dan tradisional di berbagai tempat. Selain itu, sekolah-sekolah khusus
ataupun kursuskursus terapi semakin banyak dibuka. Ini dapat dibandingkan dengan Cina
yang telah memasukkan terapi tradisional Cina atau traditional Chinese Medicine (TCM) ke
dalam perguruan tinggi di negara tersebut (Snyder & Lindquis, 2002).
Kebutuhan perawat dalam meningkatnya kemampuan perawat untuk praktik keperawatan

juga semakin meningkat. Hal ini didasari dari berkembangnya kesempatan praktik mandiri.

Apabila perawat mempunyai kemampuan yang dapat dipertanggungjawabkan akan meningkatkan

hasil yang lebih baik dalam pelayanan keperawatan.

2.2 Macam-macam Terapi Komplementer


Terapi komplementer ada yang invasif dan noninvasif. Contoh terapi komplementer invasif

adalah akupuntur dan cupping (bekam basah) yang menggunakan jarum dalam pengobatannya.

Sedangkan jenis non-invasif seperti terapi energi (reiki, chikung, tai chi, prana,

8
terapi suara), terapi biologis (herbal, terapi nutrisi, food combining, terapi jus, terapi urin,
hidroterapi colon dan terapi sentuhan modalitas; akupresur, pijat bayi, refleksi, reiki,
rolfing, dan terapi lainnya (Hitchcock et al., 1999)
National Center for Complementary/ Alternative Medicine (NCCAM) membuat klasifikasi

dari berbagai terapi dan sistem pelayanan dalam lima kategori. Kategori pertama, mind-body

therapy yaitu memberikan intervensi dengan berbagai teknik untuk memfasilitasi kapasitas

berpikir yang mempengaruhi gejala fisik dan fungsi tubuh misalnya perumpamaan (imagery), yoga,

terapi musik, berdoa, journaling, biofeedback, humor, tai chi, dan terapi seni.

Kategori kedua, Alternatif sistem pelayanan yaitu sistem pelayanan kesehatan


yang mengembangkan pendekatan pelayanan biomedis berbeda dari Barat misalnya
pengobatan tradisional Cina, Ayurvedia, pengobatan asli Amerika, cundarismo,
homeopathy, naturopathy. Kategori ketiga dari klasifikasi NCCAM adalah terapi biologis,
yaitu natural dan praktik biologis dan hasil-hasilnya misalnya herbal, makanan).

Kategori keempat adalah terapi manipulatif dan sistem tubuh. Terapi ini didasari
oleh manipulasi dan pergerakan tubuh misalnya pengobatan kiropraksi, macam-macam
pijat, rolfing, terapi cahaya dan warna, serta hidroterapi. Terakhir, terapi energi yaitu terapi
yang fokusnya berasal dari energi dalam tubuh (biofields) atau mendatangkan energi dari
luar tubuh misalnya terapetik sentuhan, pengobatan sentuhan, reiki, external qi gong,
magnet. Klasifikasi kategori kelima ini biasanya dijadikan satu kategori berupa kombinasi
antara biofield dan bioelektromagnetik (Snyder & Lindquis, 2002).
Klasifikasi lain menurut Smith et al (2004) meliputi gaya hidup (pengobatan holistik,

nutrisi), botanikal (homeopati, herbal, aromaterapi); manipulatif (kiropraktik, akupresur &

akupunktur, refleksi, massage); mind-body (meditasi, guided imagery, biofeedback, color healing,

hipnoterapi). Jenis terapi komplementer yang diberikan sesuai dengan indikasi yang dibutuhkan.

Contohnya pada terapi sentuhan memiliki beberapa indikasinya seperti meningkatkan relaksasi,

mengubah persepsi nyeri, menurunkan kecemasan, mempercepat penyembuhan, dan

meningkatkan kenyamanan dalam proses kematian (Hitchcock et al., 1999).

Jenis terapi komplementer banyak sehingga seorang perawat perlu mengetahui

pentingnya terapi komplementer. Perawat perlu mengetahui terapi komplementer diantaranya

untuk membantu mengkaji riwayat kesehatan dan kondisi klien, menjawab pertanyaan dasar

tentang terapi komplementer dan merujuk klien untuk mendapatkan informasi yang reliabel,

9
memberi rujukan terapis yang kompeten, ataupun memberi sejumlah terapi komplementer
(Snyder & Lindquis, 2002). Selain itu, perawat juga harus membuka diri untuk perubahan
dalam mencapai tujuan perawatan integratif (Fontaine, 2005).

2.3 Peran Perawat Dalam Terapi Komplementer


Peran perawat yang dapat dilakukan dari pengetahuan tentang terapi komplementer
diantaranya sebagai konselor, pendidik kesehatan, peneliti, pemberi pelayanan langsung,
koordinator dan sebagai advokat. Sebagai konselor perawat dapat menjadi tempat
bertanya, konsultasi, dan diskusi apabila klien membutuhkan informasi ataupun sebelum
mengambil keputusan. Sebagai pendidik kesehatan, perawat dapat menjadi pendidik bagi
perawat di sekolah tinggi keperawatan seperti yang berkembang di Australia dengan lebih
dahulu mengembangkan kurikulum pendidikan (Crips & Taylor, 2001). Peran perawat
sebagai peneliti di antaranya dengan melakukan berbagai penelitian yang dikembangkan
dari hasilhasil evidence-based practice.
Perawat dapat berperan sebagai pemberi pelayanan langsung misalnya dalam praktik
pelayanan kesehatan yang melakukan integrasi terapi komplementer (Snyder & Lindquis,
2002). Perawat lebih banyak berinteraksi dengan klien sehingga peran koordinator dalam
terapi komplementer juga sangat penting. Perawat dapat mendiskusikan terapi komplementer
dengan dokter yang merawat dan unit manajer terkait. Sedangkan sebagai advokat perawat
berperan untuk memenuhi permintaan kebutuhan perawatan komplementer yang mungkin
diberikan termasuk perawatan alternatif (Smith et al.,2004).

2.4 Penerapan Terapi Komplementer pada HIV/AIDS


Para pengidap HIV (Human Immunodeficiency Virus), dengan pemenuhan nutrisi
dan ketenangan spiritual bisa memperpanjang harapan hidup mereka. Terapi alternatif
komplementer, seperti; akupunktur, akupressur, meditasi, dan mengomsumsi tanaman
obat dapat menambah daya tahan tubuh dan pertumbuhan sel-sel imun. ketenangan
spiritual dan nutrisi peningkat daya tahan membuat virus lebih jinak dan memperlambat
perkembangannya dalam tubuh manusia, sehingga memberi kesempatan CD4 yaitu sel
pembentuk daya tahan tubuh untuk berkembang dan memperbanyak diri.

10
Akupunktur dan akupressur diberikan untuk memperkuat organ-organ vital, seperti;
paru-paru, ginjal, lambung, dan limpa, pada masa awal infeksi HIV. Sebelum d aya tahan
tubuh dan sel- sel CD4 turun karena infeksi HIV.
1. Terapi informasi

Untuk mengetahui ‘terapi informasi’, mungkin kita harus mencari arti kata ‘terapi’ terlebih
dahulu. Dalam kamus, definisi terapi adalah “usaha untuk memulihkan kesehatan orang
yang sedang sakit”. Tidak disebut “usaha medis” dan juga tidak disebut penyembuhan
penyakit. Maka kita bisa paham bahwa terapi adalah lebih luas daripada sekedar
pengobatan atau perawatan. Apa yang dapat memberi kesenangan, baik fisik maupun
mental, pada seseorang yang sedang sakit dapat dianggap terapi.
Kita cenderung menganggap ‘terapi’ sebagai suatu yang fisik: pil, jamu, pijat, akupuntur.
Jarang kita dengar ‘informasi dianggap sebagai terapi. Terapi informasi melatarbelakangi
semua bentuk terapi lain. Tanpa informasi, bagaimana kita dapat mengetahui tentang berbagai
terapi yang ada? Apakah terapi itu efektif? Untuk gejala apa? Dimana terapi itu tersedia?
Bagaimana kita dapat memperolehnya? Dan berapa harganya?

Terapi informasi bukan sekedar penegtahuan. Kita ambil contoh seseorang yang baru dites

HIV dan hasilnya ternyata positif. Setelah lewat rasa terkejut (shock), banyak pertanyaan akan

muncul: apa itu AIDS? Apa bedanya dengan HIV? Bagaimana kelanjutanya? Bagaimana

penularanya? Apa pengobatanya? Gejalanya apa? Orang yang baru ditentukan terinfeksi HIV

(serta keluarga dan sahabatnya) pertama akan merasa mati kutu. Konseling pasca (atau sesudah)

tes yang paling sempurna pun tidak mungkin dapat menjawab semua pertanyaan kita dan kita

tidak berada dalam keadaan untuk bertanya, atau pun menangkapi jawaban. Pasti kita merasa

muram, kita tidak dapat membayangkan masa depan. Apa pengobatan untuk dperesi ini? Bukan

obta, bukan pengobatan medis, tetapi jawaban terhadap pertanyaan kita. Informasi, dengan

bentuk dan bahasa yang dapat kita pahami dn pada waktu kita perlukan. Informasi akan mengobati

ketidakpahaman kita, depresi kita, memulihkan dan menyelakan jiwa kita. Dan seperti halnya

berbagai macam terapi, terapi informasi adalah suatu perjalanan, sebuah proses yang akan

berlangsung secara terus-menerus.

Ketakutan terhadap hal yang tak dikenal adalah macam ketakutan yang buruk. Kita semua

pernah mengalami kekhawatiran yang diakibatkan oleh ketakutan kita tahu dampaknya terhadap

tidur, nafsu makan, terhadap kemampuan kita untuk melanjutkan kehidupan kita sehari-hari. Kita

11
semua tahu bagaimana ketakutan ini dapat memepengaruhi kesehatan kita sendiri. Adalah
terkenal bahwa stres dapat mempengaruhi system kekebalan tubuh kita, jadi dalam
keadaan stres, kita lebih mungkin terinfeksi penyakit seperti flu dan ini juga akan
menambah rasa khawatir dan takut, terutama bagi odha.

Pertolongan perta auntuk mengobati ketakutan terhadap hal yang tak diketahui adalah
informasi yang jelas dan tepat. Bila kita mulai memahami apa arti menjadi HIV-positif, kita
dapat mulai menerima penyakit ini, mungkin bahwa itu bukan vonis mati, dan mulai
merencanakan tanggapan kita sendiri yaitu kumpulan terapi lain yang kita akan
mengukutinya. Dengan perncanaan begitu dan tindakanya dan rasa ketakutan kita akan
berkurang dan stress yang terkait denganya akan mulai menurun juga. Jadi, informasi
untuk membantu kita jadi paham.
2. Terapi spiritual
Dewasa ini konsep kedokteran moderen mengenai pengobatan ialah dengan pertimbangan

aspek biopsikososial. Artinya pengobatan tidak hanya berusaha untuk mengembalikan fungsi

fisik seseorang tetapi juga fungsi psikis dan social. Pendekatan ini menepatkna kembali

pengobatan spiritual sebagai salah satu cara pengobatan dalam upaya penyembuhan penderita.

Di Indonesia pengobatan spiritual biasanya dikaitkan dengan agama. Seseorang pemeluk

agama islam misalnya cenderung untuk menjalani pengobatan spiritual yang dilaksanakan sesuai

ajaran agama islam, misalnya berzikir, berdoa, berpuasa, sholat hajat dll. Dalam agama lain juga

terdapat kegiatan ritual untuk penyembuhan baik yang dibimbing oleh rohaniawan maupun yang

dilakukan sendiri. Odha dapat memilih untuk menjalankana pengobata spiritual yang sesuai

dengan agamanya atau pengobatan spiritual yang berlaku umum. Bila dia memilih pengobatan

spiritual yang sesuai dengan agamanya maka kegiatan tersebut tidak asing lagi baginya serta

mendukung jemaah yang dikenal dan akrab akan mempermudah sosialisasi.

3. Terapi nutrisi
Nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan pasien HIV /AIDS untuk mempertahankan kekuatan,

meningkatkan fungsi system imun, meningkatkan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi, dan

menjaga orang yang hidup dengan HIV/AIDS tetap aktif dan produktif. Defisiensi vitamin dan mineral

bisa dijumpai pada orang degan HIV, dan defisiensi sudah terjadi sejak dini walaupun pada ODHA

mengonsumsi makanan dengan gizi berimbang. Defisiensi terjadi karena

12
HIV menyebabkan kehilangan nafsu makan dan gangguan absorbs zat gizi. Di unti perawatan
intermediet penyakit terdapat 87% ODHA dengan berat badan di bawah normal.

Sebagian besar para ODHA dan keluarga mengatakan bahwa nafsu makanya menurun
sehingga frekuensi makan juga berkurang. Keadaan ini dimanfaatkan oleh HIV untuk
berkembang lebih cepat. Di samping itu daya tahan tubuh untuk melawan HIV menjadi
berkurang. Untuk mendapatkan nutrisi yang sehat dan berimbang, ODHA sebaiknya
mengosumsi makanan yang bervariasi, seperti makanan pokok, kacang-kacangan, produk
susu, daging, serta sayur dan buah-buahan setiap hari, lemak dan gula, dan meminum
banyak air bersih dan aman. Bila diperlukan bisa diberikan zat gizi mikro dalam bentuk
supleme makanan sera jus buah dan sayur.
a. Pentingnya nutrsi bagi pasien HIV/AIDS
Nutrisi yang sehat dan sembang harus selalu diberikan pada klien dengan HIV/AIDS pada
semua tahap infeksi HIV. Perawatan dan dukungan nutrisi bagi pasien berfungsi untuk (1)

mempertahankan kekuatan tubuh dan berat badan, (2) mengganti kehilangan vitamin dan minerl,

(3) meningkatkan fungsi sitem imun dan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi, (4)
memperpanjang periode dari infeksi hingga perkembangan menjadi panyakit AIDS, (5)
meningkatkan respon terhadap pengobatan, mengurangi waktu dan uang yang dihabiskan
untuk perawatan kesehatan, (6) menjaga orang yang hidup dengan HIV/AIDS agar dapat tetap
aktif, sehingga memungkinkan mereka untuk merawat diri sendiri, keluarga dan anak-anak
mereka, dan (7) menjaga orang dengan HIV/AIDS agar tetap produktif, mampu berkerja,
tumbuh baik dan tetap berkontribusi terhadap pemasukan kelurga mereka (FAO-WHO, 2002).

Makanan penting bagi tubuh kita untuk: (1) berkembang, mengganti dan memperbaiki
sel-sel dan jaringan, (2) memproduksi energy agar tetap hangat, bergerak dan berkerja, (3)
membawa proses kimia misalnya pencernaan makanan, (4)melindungi melawan, bertahan
terhadap infeksi serta mambantu proses penyembuhan penyakit. Makan terdiri atas zat gizi
mikro dan makro. Zat gizi mikro dibutuhkan tubuh dalam jumlah kecil, sedangkan zat gizi
makro (kabohidrat, protein dan lemak) dibutuhkan dalam jumlah yang lebih banyak (FAO-
WHO, 2002).

13
b. Bahan makanan yang dianjurkan dikonsumsi pasien
Berbagai bahan makanan yang banyak di dapatkan di Indonesia seperti tempe, kelapa,
wortel, kembang kol, sayuran dan kacang-kacangan dapat diberikan dalam
penatalaksanaan gizi pada pasien.
1. Tempe atau produknya mengandung protein dan vitamin B12 untuk mencukupi kebutuhan
pasien dan mengandung bakterisida yang dapat mengobati dan mencegah diare.

2. Kelapa dan produknya dapat memenuhi kebutuhan lemak sekaligus sebagai sumber
energy karena mengandung medium chain trigliserida (MCT) yang mudah diserap dan
tidak menyebabkan diare. MCT merupakan sumber energy yang dapat digunakan untuk
pembentukan sel.

3. Wortel kaya kandungan beta karoten sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh
dan sebagai bahan pembentukan CD4, vitamin C, vitamin E, dan beta karoten berfungsi
sebagai antiradical bebas yang dihasilkan oleh perusakan oleh HIV pada sel tubuh.
4. Sayuran hijau dan kacang-kacangan, mengandung vitamin neurotropik yakni vitamin B 1, B6,

B12 dan zat gizi mikro lainya yang berfungsi untuk pembentukan CD4 dan pencegahan anemia.

5. Buah alpukat mengandung banyak lemak yang sangat tinggi dan dapat dikonsumsi sebagai

bahan makanan tambahan. Lemak tersebut dalam bentuk MUFA (mono unsaturated fatty acid)

yang 63% dari jumlah tersebut berfungsi sebagai antioksidan dan dapat menurunkan HDL, selain

itu alpukat juga mengandung glutation untuk menghambat replikasi HIV.

c. Jus buah dan sayur

Orang yang terinfeksi HIV akan kehilangan selerah makan dan sulit menguyah
makanan, daya serap pencernaan dan tubuh juga lemah, oleh karenyanya pasien
membutuhkan makanan yang mudah dikunya dan diserap tubuh serta meningkatlkan
nafsu makan. Olahan berupa jus dibutuhkan agar kandungan gizinya mudah dan cepat
diserap oleh tubuh sehingga energi akan meningkatnkan dan tuuh lebih sehat.
Gizi yang terkandung dalam jus buah dan sayuran tergolong lengkap seperti protein,
kabohidrat, asam lemak esensial, vitamin, dan mineral. Lemak yang terkandung dalam
buah dan sayur termaksud lemak yang menguntungkan yang berperan sebagai komponen
sel saraf, membrane sel, homon dalam tubuh.
Jus mengandung enzim alami yang bermanfaat untuk pencernaan sehinggah tubuh tidak
mengeluarkan enzim pencernaan dan energy dapat dihemat untukperbaikan peremajaan sel. Jus

14
hanya memerlukan waktu penyerapan 5 menit sedangkan makanan yang lain memerlukan
waktu 3-5 jam (putu, oka 2005).
4. Terapi fisik
Terapi fisik adalah upaya yang bisa dijadikan alternatif pelengkap dalam upaya memperbaiki

disfungi yang berikatan dengan tubuh yang disebabkan HIV, virus penyebab AIDS. Ada beberapa

jenis terapi fisik yang bisa dilakukan. Antara lain terapi makanan dan jamani.

Pada asanya terapi yang dilakukan bisa membuat daya tahan tubuh atau keadaan
kekebalan ODHA bisa dipertahankan secara maksimal, juga kondisi fisiknya tetap dilatih
agar lebih kuat. Misalnya massa otot orang pada masa AIDS yang biasanya akan menurun
drastis, semakin kurus. Saat seseorang mulai menunjukan gejala, masa otot dan lemak
berkurang perlahan namun pasti. Kalau dari awalnya masa otot tidak diperhatikan, maka
penampilan serta daya tahan akan sangat berpengaruh.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa olahraga dengan tigkat/ kadar sedang ternyata
bisa meningkatkan sistem kekebalan tubuh menjadi lebih tinggi. Selama berolahraga, tubuh
mengelurkan berbagai hormon. Antara lain yang berfungsi meningkatnkan mutu dan jumlah
limfosit B dan T, serta endfrin, dan enkafalin, serta homon yang berfungsi menurunkan
kekebalan seperti suatu hormone yang disebut ACTH. ACTH bekerja meningkatkan kadar
kortisol yang berperan menekan produksi sel kekebalan.

Keluarnya hormen tersebut sangat beraneka ragam tergantung beberapa factor, antara
lain beratnya latihan. Latihan ringan sampai sedang akan mengelurkan hormone yang
merangsang pembentukan system kekebalan. Sementara latihan berat yang menimbulkan
kelelahan justru sebaliknya, yaitu menekan produksi sel kekebalan.
Agar keadaan tubuh tetap stabil lebih baik memilih jenis olahraga yang tidak menimbulkan

stress. Seperti jalan kaki dan renag. Terapi jenis jasmani lain yang bisa dilakukan adalah tehnik

aromaterapi. Beberapa alhi menyarankan penggunaan wewangian berbagai jenis tumbuhan,

seperti lavender. Yoga, meditasi, dan pemijatan merupakan tehnik yang baik untuk dipilih sebagai

alternative terapi fisik-jasmani yang lain. Beberapa penelitian membuktikan bahwa jenis olah fisik

tersebut mampu menghilangkan stress dan membuat tubuh tenang. Ketenangan yang diperoleh

bisa meningkat pembuatan sel kekebalan tubuh di dalam tubuh.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Masyarakat Indonesia sudah mengenal adanya terapi tradisional seperti jamu yang
telahberkembang lama. Kenyataannya klien yang berobat di berbagai jenjang pelayanan
kesehatantidak hanya menggunakan pengobatan Barat (obatkimia) tetapi secara mandiri
memadukan terapitersebut yang dikenal dengan terapi komplementer.Perkembangan
terapi komplementer ataualternatif sudah luas, termasuk didalamnya orangyang terlibat
dalam memberi pengobatan karenabanyaknya profesional kesehatan dan terapis
selaindokter umum yang terlibat dalam terapikomplementer. Hal ini dapat
meningkatkanperkembangan ilmu pengetahuan melaluipenelitian-penelitian yang dapat
memfasilitasiterapi komplementer agar menjadi lebih dapatdipertanggungjawabkan.

3.2 Saran
Perawat sebagai salah satu profesional kesehatan, dapat turut serta berpartisipasi dalam

terapi komplementer. Peran yang dijalankan sesuaidengan peran-peran yang ada. Arah

perkembangankebutuhan masyarakat dan keilmuan mendukunguntuk meningkatkan peran

perawat dalam terapikomplementer karena pada kenyataannya,beberapa terapi keperawatan yang

berkembangdiawali dari alternatif atau tradisional terapi.Kenyataan yang ada, buku-buku

keperawatanmembahas terapi komplementer sebagai isu praktikkeperawatan abad ke 21. Isu ini

dibahas dari aspekpengembangan kebijakan, praktik keperawatan,pendidikan, dan riset. Apabila

isu ini berkembangdan terlaksana terutama oleh perawat yangmempunyai pengetahuan dan

kemampuan tentangterapi komplementer, diharapkan akan dapatmeningkatkan pelayanan

kesehatan sehinggakepuasan klien dan perawat secara bersama-samadapat meningkat (HH, TH).

16
DAFTAR PUSTAKA

Andrews, M., Angone, K.M., Cray, J.V., Lewis, J.A., & Johnson, P.H. (2003). Nurse’s
handbook of alternative and complementary therapies. Pennsylvania: Springhouse.

Buckle, S. (2003). Aromatherapy. http// .www.naturalhealthweb.com/articles, diperoleh 25


Januari 2008.

Fontaine, K.L. (2005). Complementary & alternative therapies for nursing practice. 2th ed.
New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Hitchcock, J.E, Schubert, P.E., Thomas, S.A. (2006). Community health nursing: Caring in
action. USA: Delmar Publisher.

Key, G. (2008). Aromatherapy beauty tips. http// .www.naturalhealthweb. com/articles/


georgekey3.html, diperoleh 25 Januari 2008.

Nezabudkin, V. (2007). How to research alternatif treatment before using


them.http// .www.naturalhealthweb.com/articles/ Nezabudkin1.html, diperoleh 25 Januari 2008.

Smith, S.F., Duell, D.J., Martin, B.C. (2004). Clinical nursing skills: Basic to advanced skills.
New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Snyder, M. & Lindquist, R. (2002). Complementary/alternative therapies in nursing. 4th


ed. New York: Springer.

Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community & public health nursing. 6th ed. St. Louis:
Mosby Inc.

17

Anda mungkin juga menyukai