Anda di halaman 1dari 10

PENDEKATAN BERBASIS GENRE (TEKS)

DALAM PEMBELAJARAN BI KURIKULUM 20131

Mulyadi Eko Purnomo2


FKIP Universitas Sriwijaya
mulyadiekopurnomo@yahoo.com

PENDAHULUAN
Kurikulum 2013 (K-13) telah resmi diberlakukan ke seluruh sekolah di tanah air
mulai tahun ajaran baru 2014 tahun ini. Beberapa sekolah telah mulai melaksanakan piloting
mulai tahun ajaran 2013 lalu. Walaupun sempat mendapat tentangan dari berbagai pihak, para
pakar pendidikan, guru, dan masyarakat luas, akhirnya K-13 diberlakukan juga.
Dalam mata pelajaran bahasa Indonesia (BI), terdapat sedikit “hal baru” pada K-13 ini
bila dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya (KTSP, Kurikulum 2004/2006, ataupun
Kurikulum 1994). Dikatakan “sedikit baru” karena sebenarnya tidak terlalu baru karena
sudah ada pada kurikulum-kurikulum itu. Hal yang sedikit baru itu adalah tentang pendekatan
berbasis genre, tetapatnya pendekatan berbasis genre teks. Pada Kurikulum 1994 ada
pendekatan kewacanaan yang dilanjutkan sampai dengan Kurikulum 2004 (KBK), yang tidak
jadi dilaksanakan secara nasional, dan Kurikulum 2006 (KTSP). Pendekatan kewacanaan
adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran bahasa yang memandang wacana sebagai titik
tolak dan titik labuh pembelajaran. Pembelajaran bahasa dimulai dari menelaah wacana dan
berakhir dengan menghasilkan wacana oleh peserta didik. Kompetensi mendengarkan
(dahulu menyimak) dan membaca diarahkan untuk memahami wacana, sedangkan berbicara
dan dan menulis diarahkan untuk menggunakan wacana. Oleh karena itu, ada komponen
pemahaman (mendengarkan dan membaca) dan komponen penggunaan (berbicara dan
menulis).
Apa yang dimaksud dengan pendekatan berbasis genre atau berbasis teks dalam
pembelajaran BI pada K-13? Apakah ada hubungannya dengan pendekatan kewacanaan
dalam kurikulum sebelumnya? Makalah ini berusaha menyajikan pokok-pokok pikiran
tentang pedekatan berbasis genre teks yang meliputi pengertian teks, jenis (genre) teks,
prinsip-prinsip pendekatan berbasis genre, dan penerapannya dalam pembelajaran BI.

1
Makalah seminar yang dilaksanakan oleh Balai Bahasa Sumatra Selatan, 22 Oktober 2014, di Muara Enim,
Sumatera Selatan.
2
Guru Besar pada Program Studi Magister Pendidikan Bahasa, FKIP Universitas Sriwijaya Palembang.
TEKS DAN GENRE TEKS
Istilah teks sebenarnya telah dikenal oleh guru bahasa sebelum istilah wacana
mengemuka. Hanya saja, pengertian tentang teks itu tidak selalu sama bagi setiap orang.
Dalam pengertian yang umum, istilah teks selalu diasosiasikan dengan bahasa tulis atau yang
tertulis. Maka, teks proklamasi, misalnya, dipahami sebagai tulisan yang berisi pernyataan
kemerdekaan yang dibacakan pertama kali oleh Soekarno atas nama bangsa Indonesia
bersama Hatta. Demikian juga dengan teks-teks lain, selalu dikaitkan dengan bahasa tertulis.
Istilah wacana kemudian mengemuka sebagai padanan istilah discourse dalam
bahasa Inggris. Ada berbagai macam definisi tentang wacana, tetapi dari berbagai definisi
itu dapat disimpulkan dengan satu kalimat saja. Wacana adalah hasil dari penggunaan
bahasa dalam konteks yang wajar (alamiah). Dengan memperhatikan definisi wacana
seperti itu dapat dipahami apabila orang berpendapat bahwa wacana merupakan wujud
penggunaan bahasa sesuai dengan konteksnya. Oleh karena itu, wacana memiliki bentuk
yang beragam, dapat berupa ujaran pendek atau uraian panjang lebar tentang suatu hal;
dapat berupa pesan pendek tertulis, seperti sms, dapat juga berupa paparan panjang lebar
tentang suatu bidang, seperti laporan penelitian; dapat berupa teks puisi, lirik lagu, novel,
atau drama; dapat berupa dialog dapat juga berupa monolog.
Penggunaan istilah wacana terdapat dalam berbagai bidang di luar bidang bahasa itu
sendiri. Dari bidang filsafat, komunikasi, media massa, sosial budaya, sampai pada politik,
ekonomi, bahkan olahraga, dapat ditemukan kata wacana di dalamnya (Baca juga Oetomo,
1993). Dalam pengertian umum, wacana dapat diartikan sebagai `dalam perbincangan, dalam
pembahasan, atau dalam perdebatan', belum menjadi putusan atau kebijakan publik.
Pengertian umum wacana seperti itu rupanya sesuai dengan pengertian dasarnya
bahwa discourse adalah talk. Secara etimologis, istilah discourse berasal dari bahasa Latin
discursus yang berarti `lari' atau ‘melancarkan’ atau ‘menghafal’. Secara historis hal ini
diterapkan pada kegiatan melatih bahasa lisan, seperti pidato dengan `menghafal' tentang
suatu topik (Carter, et al., 1997:165). Istilah wacana dalam KBBI berarti (1) ucapan
perkataan, tutur; (2) keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan; (3) satuan bahasa
terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan yang utuh, seperti novel, buku, atau
artikel, atau pada pidato, khotbah, dan sebagainya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1995:1122).
Dalam linguistik, wacana adalah unit kebahasaan yang lebih besar daripada kalimat,
dapat berupa paragraf, kartu undangan, percakapan, cerita pendek, dan sebagainya
(Kartomihardjo, 1993:23). Senada dengan itu, dikatakan oleh Crystal (1993:106), “Wacana
adalah suatu rangkaian sinambung bahasa (khususnya lisan) yang lebih besar daripada
kalimat.” Sementara itu dikatakan oleh Alwi dkk. (1998:419) bahwa wacana adalah rentetan
kalimat yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain. Pengertian
yang lebih mengarah ke pandangan fungsional dikemukakan oleh van Dijk (1985) bahwa
wacana tidak hanya sekedar objek verbal, tetapi merupakan bentuk interaksi sosial.
Pandangan ini didasari oleh retorika klasik yang menyatakan bahwa wacana tidak hanya
melibatkan gramatika, tetapi merupakan kaidah bagaimana berbicara secara tepat. Dalam hal
ini yang menjadi fokus adalah keefektifan fungsi komunikatif persuasif. Pandangan inilah
yang dianut oleh sebagian jumhur linguis bahwa wacana merupakan wujud atau hasil
penggunaan bahasa. Wijana dan Rohmadi (2009:67--69) mengumpulkan definisi dari para
ahli, kemudian menyimpulkan bahwa pendefinisian wacana selalu berkembang bergantung
kepada sudut pandang pendefinisinya; hal ini karena wacana merupakan satuan bahasa yang
tertinggi dan terlengap sehingga para linguis dapat mengkajinya dari berbagai sudut pandang,
berdasarkan materi yang dikandungnya, berdasarkan struktur generiknya, dan berdasarkan
kultur bahkan ideologi yang tersembunyi di baliknya.
Kembali kepada istilah teks. Dari penjelasan sebelumnya diketahui bahwa teks lebih
mengarah kepada bahasa tulis, sedangkan wacana dapat mencakup bahasa tulis ataupun lisan.
Akan tetapi, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa teks itu mencakup tulisan dan lisan.
Stoddard (1991) dikutip Ahmad (2010) menjelaskan definisi teks berdasarkan pendapat
beberapa ahli, yang kemudian diulas oleh Ahmad bahwa teks merupakan entitas yang terlihat
sebagai wujud bahasa, dapat berbentuk lisan (spoken) dapat tulis (written); jadi teks identik
dengan bahasa. Bahkan teks mencakup tanda (sign) yang bersifat nonverbal, seperti tanda
lalu lintas, gambar-gambar dalam iklan, dan ikon atau simbol yang dipahami maksudnya.
Dalam kaitannya dengan K-13, teks dijelaskan sebagai proses sosial yang berorientasi
pada tujuan sosial; tujuan sosial yang dituju ditampilkan melalui ranah-ranah yang disebut
konteks situasi (Mahsun, 2013). Agar tujuan sosial dapat dicapai, diperlukan sarana
komunikasi yang berupa bahasa. Bahasa yang muncul berdasarkan konteks situasi
mewujudkan register atau bahasa sebagai teks. Karena konteks situasi beragam, teks akan
beragam juga (Suwaji, 2013). Ini salah satu dasar penjenisan teks.
Dalam literatur tentang jenis teks, dikenal istilah genre dan jenis teks (text types).
Seperti dijelaskan oleh Lee (2001), genre dan jenis teks memiliki kriteria yang berbeda: genre
berdasarkan kriteria eksternal, sedangkan jenis teks berdasarkan kriteria internal. Perhatikan
daftar di bawah ini.
GENRE TEXT TYPE
Recipe Procedure
Personal letter Anecdote
Advertisement Description
Police report Description
Student essay Exposition
Formal letter Exposition
News item Recount
Biology textbook Report
Film review riview

Sementara itu, untuk kepentingan pembelajaran, dibuat daftar tersendiri yang dapat
menjadi panduan bagi para guru atau penulis buku teks (Derewianka, 2003). Sebagian dari
genre dan subtipe teks itu dikemukakan pada tabel berikut (dengan contoh yang sudah
disesuaikan).

TUJUAN SOSIAL GENRE SUBTIPE CONTOH


Menjelaskan Deskripsi Deskripsi objektif Keluargaku
informasi tentang Deskripsi “bersastra” Sosok Ikal dalam
orang, tempat, Lasykar Pelangi
benda
Menyampaikan Laporan Laporan diskriptif Hutan bakau
informasi tentang Informasi Laporan taksonomi Jenis tumbuhan
golongan suatu Laporan perbandingan Kuda dan keledai
benda Laporan sejarah Dinosaurus
Memberi tahu cara Prosedur Instruksi Membuat layang-layang
melakukan sesuatu Pengarahan/petunjuk Menuju P. Kemarau
Aturan Tata tertib kelas kita
Menceritakan apa Menceritakan Personal Liburanku ke Bangka
yang terjadi kembali Faktual Mengkap pencuri mobil
(recount) Biografi Ayahku di masa muda
Sejarah Kesultanan Palembang
Menjelaskan Eksplanasi Eksplanasi urutan Siklus air
bagaimana atau Eksplansi sebab Runtuhnya Kerajaan
mengapa fenomena Sriwijaya
terjadi Eksplanasi akibat Akibat hutan gundul

Menggali kondisi Genre cerita Naratif Ketika cinta bertasbih


manusia melalui Cerita moral atau fabel Kancil yang cerdik
bercerita
Anekdot Pak Pandir
Menanggapi karya Genre Tanggapan personal Kesanku terhadap cerpen
sastra atau karya tanggapan ...
seni Review Membaca cerpen terbaik
Interpretasi Sengsara tetap bahagia
(tokoh wanita dalam
novel Hati dalam Gelas)
Tanggapan kritis (kritik) Apakah Fakhri dalam
Ayat-Ayat cinta
mahasiswa yang gagal?
Meyakinkan dengan Eksposisi Persuasi Merokok membunuhmu
argumen Diskusi/debat Pro dan kontra tentang
bisnis sejak sekolah

Genre atau jenis teks seperti inilah yang menjadi salahsatu dasar perumusan
kompetensi dasar (KD) mata pelajaran BI dalam K-13. Oleh pengembang kurikulum, genre
teks apa yang harus “diajarkan” dari SD sampai SMA/SMK telah disertakan sebagai
lampiran. Guru dan penulis buku pelajaran tinggal menggunakan sebagai dasar. Namun,
apabila tidak dipahami dengan baik, beberapa subtipe dapat bertumpang tindih. Misalnya,
teks prosedur mirip dengan teks eksplanasi urutan. Memang yang menjadi dasar penjenisan
ini lebih pada tujuan sosialnya. Sama-sama menggambarkan urutan, tetapi berbeda
tujuannya: yang satu memberi instruksi atau pengarahan yang harus diikuti, yang lain
memberikan penjelasan yang harus dipahami.

PENDEKATAN BERBASIS GENRE


Pendekatan berbasis genre (genre based approach/GBA) merupakan pendekatan
pembelajaran bahasa yang sebenarnya sudah ada dan diterapkan sejak lebih dari sepuluh
tahun lalu. Derewianka (2003), misalnya, mencatat bahwa PBG atau GBA telah digunakan
dalam pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar, menengah, sampai pendidikan tinggi,
baik bagi pemelajar bahasa Inggris kepada penutur asli maupun bahasa Inggris sebagai
bahasa kedua (TESL) atau bahasa asing (TEFL) di berbagai negara: Amerika Serikat,
Canada, Inggris, Italia, Australia, Hongkong, China, Thailand sampai Singapura. Terdapat
dua kalompok dalam penerapan PBG: berfokus pada proses sosial dan berfokus pada tujuan
komunikatif, seperti surat-menyurat (bisnis), laporan ilmiah, pertemuan formal, promosi
pemasaran, dokumen hukum, dan lamaran pekerjaan.
Perkembangan terkini tentang PBG adalah digunakannya Systemic Functional
Linguistics (SFL) pandangan Haliday. Salah satu pandangan penting dari SFL ini adalah
bahwa makna sangat dipengaruhi oleh konteks budaya masyarakat pemakai bahasa itu. Oleh
karena itu, bersama R. Hasan Halliday (1989) juga mengembangkan bahasa dalam perspektif
sosial-semiotik. Dalam PBG, perspektif sosial semiotik ini menjadi pandangan yang penting.
Dalam pandangan ini, bahasa dimaknai sebagai simbol atau tanda (sign) yang penafsirannya
bergantung kepada konteks sosial budaya masyarakatnya. Bahasa itu dalam PBG berwujud
teks atau wacana yang digunakan oleh pemakainya sesuai dengan konteks sosial-budaya
mereka. Masyarakat suatu bahasa bertransaksi menggunakan teks, mendengarkan teks,
membaca teks, mengemukakan teks, menulis teks; teks yang menjadi fokus dalam berbahasa,
bukan kalimat atau kata.

PRINSIP-PRINSIP PBG
Ada beberapa prinsip PBG yang dikemukakan oleh Derewianka (2003), yaitu
berfokus pada teks, berfokus pada tujuan sosial, berfokus pada makna dan pilihan, bahasa
dalam konteks, serta budaya dan ideologi.
Pertama, pembelajaran bahasa menggunakan PBG berfokus pada teks. Hal ini mirip
dengan salah satu prinsip dalam Kurikulum 1994 yang telah dikemukakan sebelumnya. Siswa
dituntut untuk memahami dan membentuk teks secara utuh. Butir-butir kebahasaan seperti
kalimat, kata, morfem, dan fonem didayagunakan untuk memahami dan membentuk teks
utuh. Tujuan sosial berbahasa adalah menyampaikan makna, sedangkan makna mengacu
pada teks dengan konteksnya. Oleh karena itu, teks dianggap satuan bahasa yang paling tepat
untuk menyampaikan (dan memahami) makna. Teks menjadi fokus, bukan kalimat dan
satuan-satuan di bawahnya.
Kedua, berfokus pada tujuan sosial. Ini berarti bahwa teks yang dipahami dan dibuat
atau diproduksi sesuai dengan tujuan sosial yang dimaksudkan oleh penutur dan petutur.
Pemakaian bahasa berorientasi pada tujuan (sosial): apakah penutur bermaksud memenuhi
kebutuhan seperti berbelanja, menceritakan sakitnya pada dokter, atau sekedar ngerumpi
dengan teman akrab dalam situasi yang santai dan tidak formal. Tujuan sosial menentukan
jenis teks apa yang digunakannya: teks untuk tawar-menawar di pasar tradisional berbeda
dengan teks ketika menceritakan rasa sakit kepada dokter, berbeda pula dengan teks untuk
sekedar mengobrolkan hal-hal yang ringan secara santai.
Ketiga, berfokus pada makna dan pilihan. Ini berarti bahwa dalam pembelajaran
bahasa, memahami dan menyatakan makna merupakan hal yang utama. Untuk menyatakan
suatu makna (baca: tujuan) tersedia banyak pilihan gramatika dan kosakata. Untuk
mendeskripsikan tempat wisata yang menjadi pilihan tujuan ketika liburan datang, tersedia
banyak jenis kalimat dan kosakata yang sesuai. Memang ada jenis kalimat tertentu untuk
jenis teks tertentu. Misalnya, untuk membuat deskripsi lebih banyak digunakan kalimat
berita, sementara untuk teks resep masakan, misalnya, banyak digunakan kalimat perintah.
Walaupun demikian, pilihan struktur kalimat berita masih tersedia: aktif atau pasif, tunggal
atau majemuk, verbal atau nominal.
Keempat, bahasa dalam konteks. Ini berarati bahwa dalam memahami dan
menguratakan maksud sesuai dengan tujuan sosialnya, siswa hendaknya memperhatikan
konteks situasi. Seperti pada Halliday dan Hasan (1989), konteks situasi itu mencakup siapa
berbiara kepada siapa (tenor), menggunakan bahasa apa (mode), dan membicarakan apa
(field). Suatu teks yang dimaksudkan untuk menyampaikan rasa sakit (field) seorang pasien
kepada dokter (tenor) dengan bahasa lisan yang jelas dan sopan (mode), akan berbeda dengan
teks yang digunakan untuk menyampaikan pengalamannya di tempat kerja yang baru kepada
temannya dalam surat elektronik pribadi. Demikianlah, dalam PBG konteks situasi berbahasa
menjadi faktor penting yang menentukan jenis teks yang dipilihnya.
Kelima, budaya dan ideologi. Dalam teori tentang teks terdapat satu pandangan kritis
bahwa tidak ada teks yang tidak bermuatan budaya dan ideologi. Jenis teks dapat berbeda
dari satu budaya ke budaya lain. Menceritakan pengalaman personal secara “berapi-api”
mungkin tidak sesuai untuk satu kelompok budaya, tetapi sesuai untuk budaya lain. Demikian
juga, berbicara secara “lemah-lembut” dapat dianggap penakut dan ragu-ragu menurut suatu
budaya, tetapi dianggap sopan dan anggun oleh budaya lain. Teks yang mendukung
kelompok berkuasa dan pemilik modal dianggap lebih “bertenaga” daripada teks yang
mendukung kalompok marginal. Atau sebaliknya.

PENERAPAN PBG
Penerapan PPG dalam pembelajaran, dikemukakan oleh Derewianka (2003:147--
150). Langkah-langkah itu adalah (1) mengembangan dan membangun lapangan (konteks),
(2) mengakrabkan dengan genre (pemodelan genre/teks), (3) membangun teks secara
bersama, (4) membangun teks secara mandiri, (5) memperluas dan mengkritik, dan (6)
berkreasi dengan teks.
Langkah pertama meliputi kegiatan pengembangan pengetahuan dasar tentang teks
itu: mengenalkan aspek-aspek sosio-kultural yang menjadi latar belakang teks. Langkah
kedua meliputi kegiatan mengenalkan teks dan memberi contoh teks sebagai model
(modelling the genre) kemudian meminta siswa mengenali ciri atau karakteristik teks itu
dengan menjawab serangkaian pertanyaan: untuk tujuan apa, siapa yang membuatnya dan
ditujukan kepada siapa, apakah sebelumnya sudah pernah membaca atau menulis teks sejenis.
Setelah itu dilanjutkan dengan menjawab pertanyaan tentang ciri kebahasaan: kata-kata apa
yang menunjukkan argumen penulis (teks eksposisi), atau yang menghidupkan deskripsi (teks
deskripsi), atau yang menyatakan urutan peristiwa (teks narasi), atau urutan pengerjaan (teks
prosedur), dan lain-lain sesuai dengan jenis teks yang sedang dikaji. Langkah ketiga meliputi
kegiatan membangun atau menyusun teks secara bersama (joint construction of the text)
untuk memberikan pengalaman kepada siswa dalam menyusun teks. Pada langkah ini siswa
berpartisipasi dalam menentukan isi atau gagasan yang dibentuk dalam teks yang koheren
sesuai dengan ciri dan karakteristik genre teks yang disusun. Guru dapat mengingatkan pada
model teks yang sudah dipahami sebelumnya, dan secara bersama-sama mereka menyusun
teks dengan bimbingan guru. Langkah keempat meliputi kegiatan mengembangkan ide,
mengembangkan struktur yang sesuai, menulis draf, merevisi draf berdasarkan komentar
teman dan guru, mempersiapkan draf akhir, dan menyunting dari aspek teknis. Langkah
kelima meliputi kegiatan memperluas area teks dan menganalisis secara kritis teks itu.
Misalnya dengan memikirkan bagaiman kalau membah atau mengurangi tahapan atau
komponen dalam struktur teks, mengubahnya menjadi struktur yang tidak lazim, dan
“mencampur” atau menggabungkan jenis teks. Langkah keenam meliputi kegiatan mencari
kemungkinan bentuk teks yang tidak lazim atau aneh dari teks yang telah disusunnya. Siswa
dapat “bermain-main” dengan mengkrasikan teks baru dengan melaksanakan apa yang
dipikirkannya pada tahap kelima itu. Hasil dari kreasi ini kemudian diminta tanggapan
kepada siswa dan guru sebagai penutur bahasa itu.
Penerapan PBG dalam pembelajaran BI umumnya telah dipahami oleh para guru
karena bagian ini menjadi inti pelatihan K-13 dalam berbagai tingkatan. Di samping itu,
penjelasan tentang ini juga sudah ada dalam buku guru yang merupakan pegangan guru
dalam mengajarkan buku siswa.
Seperti yang dijelaskan dalam Petunjuk Khusus yang terdapa dalam Buku Guru mata
pelajaran Bahasa Indonesia Kelas X (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2013),
terdapat langkah-langkah dan kegiatan yang harus dilakukan oleh guru secara rinci. Terdapat
empat langkah, yaitu pembangunan konteks/situasi pembelajaran, pemodelan teks, kerja sama
membangun teks, dan kerja mandiri membangun teks. Termasuk dalam lengkah pertama,
misalnya, kegiatan apersepsi, menyiapkan siswa untuk belajar, dan menjelaskan ciri teks.
Langkah kedua meliputi kegiatan membaca teks, bertanya-jawab dan mengerjakan tugas
tentang struktur teks, ciri teks yang ada pada teks model, pembentukan kalimat, makna kata,
dan jenis kata. Langkah ketiga meliputi kegiatan membuat ringkasan, membangun teks secara
kelompok, merevisi, dan melaporkan hasil kerja kelompok. Pada langkah keempat, siswa
menulis teks secara mandiri berdasarkan kegiatan yang diperlukan seperti melakukan
pengamatan.
Apabila diperhatikan langkah-langkah PBG dalam Derewianka (2003) dan dalam
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2013), tampak adanya persamaan terutama pada
empat langkah pertama. Hanya dua langkah terakhir dari Derewianka (2003) yang tidak ada
pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2013). Langkah-langkah membangun
konteks, pemodelan teks, kerja sama membangun teks, dan kerja mandiri membangun teks
dalam pedoman khusus K-13 mata pelajaran bahasa Indonesia tidak berbeda dengan apa yang
ada pada Derewianka ( 2003).

PENUTUP
PBG atau pendekatan berbasis teks merupakan pendekatan pembelajaran bahasa yang
diterapkan dalam pembelajaran BI dari SD sampai SMA/SMK. Jenis teks yang harus ditelaah
dan dibangun oleh siswa telah ditetapkan oleh pengembangan K-13. Keuntungannya adalah
guru “tinggal pakai” jenis teks itu. Walaupun demikian, guru masih harus dituntut
kreativitasnya dalam memilih teks yang menjadi model, menciptakan kegiatan yang menarik
dan menantang siswa dalam membangun teks, baik secara bersama maupun secara mandiri.
Lebih lagi, guru juga dituntut peka atau sensitif terhadap jenis teks dan ciri-cirinya ataupun
strukturnya. Guru harus menaruk perhatian lebih terhadap berbagai jenis teks yang ada,
memiliki wawasan yang memadai tentang teks, dan dapat menciptakan teks baru sebelum
menugaskan hal itu kepada siswa.

RUJUKAN

Ahmad, M. 2010. Ijtihad Politik Gus Dur: Analisis Wacana Kritis. Yogyakarta: LKiS.
Alwi, H., S. Dardjowidjojo, H. Lapoliwa, dan A.M. Moeliono. 1998. Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia. Ed. Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Carter, R., A, Goddard, D. Reah, K. Sanger, dan M. Bowring. 1997. Working with Texts: A
Core Book for Language Analysis. London: Routledge.
Crystal, D. 1991. A Dictionary of Linguistics and Phonetics. 3`d. ed. Oxford: Basil Blacwell.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. Kedua.
Jakarta: PN Balai Pustaka.
Derewianka, B. 2003. Trends and Issues in Genre-Based Approaches. RELC Journal, 34 (2),
pp 133—154.
Halliday, M.A.K. dan R. Hasan. 1989. Language, Context, and Text: Aspects of Language in a
Social-Semiotic Perspective. Oxford: Oxford University Press.
Kartomihardjo. 1993. "Analisis Wacana dengan Penerapanya pada Beberapa Wacana."
Dalam Kaswanti Purwo, B. Ed. PELLBA 6. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 21--52.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan
Akademik: Buku Guru. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Lee, D. 2001. “Genres, Registers, Text Types, Domains, and Styles: Clarifying the Concepts
and Navigating a Path through the BNC Jungle.” Language Learning and
Technology, Vol. 5(3), pp 33—72.
Mahsun. 2013. “Pembelajaran Teks dalam Kurikulum 2013.” Media Indonesia, April 2013.
McCarthy, M. dan R. Carter. 1994. Language as Discourse: Perspectives for Language
Teaching. Harlow: Longman.
Oetomo, D. 1993. "Pelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana." Dalam Kaswanti Purwo,
B. Ed. PELLBA 6. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 3-14.
Suwaji, S. 2013. “Pembelajaran Bahasa dan Sastra dalam Kurikulum 2013: Beberapa catatan
terhadap Konsep dan Implementasinya.” Makalah Seminar Nasional ‘Respons
Kebijakan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Kurikulum 2013’,
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS Universitas Negeri
Yogyakarta, 19 November 2013.
Van Dijk, T.A. 1985. “Introduction: Levels and Dimensions of Discourse Analysis.” Dalam
van Djik, T. A. Ed. Handbook of Discourse Analysis Vol. 2: Dimensions of Discourse.
London: Academic Press, hlm. 1-9.
Wijana, IDP dan M. Rohmadi. 2009. Analisis Wacana Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis.
Surakarta: Yuma Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai