Anda di halaman 1dari 63

BUKU PEDOMAN

PEMBINAAN POKTAN BINA KELUARGA BALITA


HOLISTIK INTEGRATIF (BKB HI) DALAM UPAYA
MENINGKATKAN KETAHANAN KELUARGA
DI PROVINSI RIAU

DINAS KEPENDUDUKAN PENCATATAN SIPIL


PENGENDALIAN PENDUDUK DAN KELUARGA
BERENCANA PROVINSI RIAU
2019
Pengarah:

H. Andra Sjafril, SKM, M.Kes

Penanggung Jawab :

Efenida, SE

Tim Penyusun:

Nofrelta, SE, M.Kes

Diterbitkan oleh :
Bidang Keluarga Sejahtera
Dinas Kependudukan Pencatatan Sipil
Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana
Provinsi Riau

2
KATA PENGANTAR

Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM)


merupakan pilar utama bagi pembangunan, karena
kualitas SDM sangat menentukan kemajuan suatu
bangsa. Kualitas SDM antara lain dicerminkan oleh
derajat kesehatan, tingkat intelegensia, kematangan
emosional dan spiritual yang ditentukan oleh kualitas
anak sejak janin dalam kandungan hingga anak berusia
6 tahun. Pada periode ini seorang anak sangat
membutuhkan asupan gizi seimbang, kesehatan,
pedidikan dan pengasuhan yang baik dan benar agar
anak dapat tumbuh kembang secara optimal. Oleh
karena itu dalam menciptakan SDM yang bermutu,
perlu dilakukan sejak dini yaitu dengan memenuhi
kebutuhan dasar anak.
Di lingkungan masyarakat telah ada berbagai kegiatan
yang memberikan layanan kebutuhan dasar anak (yang
meliputi pendidikan, pelayanan kesehatan dasar,
imunisasi, makanan tambahan dll) seperti Pos
Pelayanan Terpadu (Posyandu), Bina Keluarga Balita
(BKB), Tempat Penitipan Anak (TPA), Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD), kelompok bermain, dan lainnya.
Namun penyelenggaraan pelayanan bagi anak usia dini
tersebut masih bersifat sektoral, parsial dan belum
terintegrasi dengan baik. Seyogyanya pelayanan yang
diberikan harus saling bersinergi dan mampu
memenuhi kebutuhan dasar anak secara utuh baik dari
3
segi perawatan, pendidikan, dan pengasuhan agar anak
tumbuh kembang secara optimal. Program Bina
Keluarga Balita (BKB) sebagai salah satu bentuk
pelayanan anak usia dini yang bertujuan meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan orang tua dalam
pengasuhan dan pembinaan tumbuh kembang anak,
harus diintegrasikan dengan Program Layanan Anak
Usia Dini yang lain, agar anak mendapatkan pelayanan
secara utuh.
Dari temuan studi Operasional Research (OR)
menunjukkan bahwa pelaksanaan kelompok kegiatan
Bina Keluarga Balita (BKB) belum optimal. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa jumlah kader BKB
terbatas, kapasitas pengetahuannya yang masih rendah,
pelatihan mengenai materi BKB masih kurang, materi
belum memadai. Namun, dengan pengintegrasian BKB
dengan kegiatan posyandu atau PAUD, kegiatannya
menjadi lebih eksis. Dengan demikian pengintegrasian
antara BKB, Pos PAUD dan Posyandu dalam satu
kegiatan yang terkoordinasi dan terintegrasi semakin
memudahkan pemberian pelayanan dasar terhadap
anak usia dini.
Kepala Dinas Kependudukan Pencatatan Sipil
Pengendalian Penduduk dan KB Provinsi Riau

H. Andra Sjafril, SKM, M.Kes

4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa
pertumbuhan dan perkembangan anak balita
merupakan hal yang sangat penting untuk dipenuhi.
Telah tersedia secara berlimpah berbagai kajian dan
pembahasan mengenai hal tersebut, dan kajian yang
menempatkan bahwa keluarga merupakan institusi
pertama dan utama yang mengemban tugas
pemenuhan pertumbuhan dan perkembangan anak
balita. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar
waktu anak balita dihabiskan bersama keluarga.
Oleh karena itu, maka penting untuk meningkatkan
ketahanan keluarga khususnya dalam peran
mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan
anak balita. BKKBN mengimplementasikan
pertimbangan tersebut dalam program ketahanan
keluarga yang disebut dengan Program Bina
Keluarga Balita (selanjutnya disingkat BKB).
Undang-undang nomor 52 Tahun 2009 Tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Berencana mengamanatkan bahwa untuk
mencapai sasaran pembangunan nasional adalah
dengan meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Pasal
47, Pemerintah dan Pemerintah daerah menetapkan
kebijakan pembangunan keluarga melalui
5
pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga.
Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimaksudkan untuk mendukung keluarga agar
dapat melaksanakan fungsi keluarga secara optimal.
Kebijakan pembangunan keluarga melalui
pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga
sebagaimana dimaksud dalam pasal 47
dilaksanakan dengan cara: peningkatan kualitas
anak dengan pemberian akses informasi,
pendidikan, penyuluhan dan pelayanan tentang
perawatan, pengasuhan dan perkembangan anak.
Dalam UUD 1945 pasal 28b ayat (2) berbunyi setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Implementasi
kebijakan Pemerintah dalam meningkatkan
ketahanan keluarga dalam peningkatan kualitas
anak dilakukan melalui Bina Keluarga Balita.

Program Bina Keluarga Balita (BKB) sebagai salah


satu bagian program Keluarga Berencana (KB) yang
bertujuan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan orang tua dan anggota keluarga
lainnya dalam membina tumbuh kembang balita
melalui rangsangan fisik, keterampilan, kecerdasan,
emosional dan sosial ekonomi dengan sebaik-
baiknya dan merupakan bagian dari upaya untuk
mempersiapkan keluarga berkualitas yang harus
6
dimulai sejak dini bahkan sejak di dalam kandungan.
Program BKB ini diutamakan untuk keluarga tidak
mampu yang mempunyai anak balita. Melalui
program BKB diharapkan setiap keluarga mampu
miningkatkan kemampuannya terutama membina
anak balitanya sehingga anak akan tumbuh dan
berkembang menjadi anak yang berkepribadian
luhur, cerdas serta bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa.

B. Pengertian
Bina Keluarga Balita (BKB) adalah layanan
penyuluhan bagi orangtua dan anggota keluarga
lainnya dalam mengasuh dan membina tumbuh
kembang anak melalui kegiatan stimulasi fisik,
mental, intelektual, emosional, spiritual dan moral
untuk mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas dalam rangka meningkatkan kesertaan
pembinaan dan kemandirian ber-KB bagi Pasangan
Usia Subur (PUS) anggota kelompok kegiatan.

Bina Keluarga Balita Holistik Integratif (BKB HI)


adalah layanan penyuluhan bagi orangtua tentang
pengasuhan dan pembinaan tumbuh kembang anak
yang dilakukan secara stimulan, sistematis,
menyeluruh, terintegrasi, dan berkesinambungan
dengan program pengembangan usia dini lainnya
dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar anak.
7
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Terselenggaranya pelayanan Bina Keluarga
Balita Holistik Integratif (BKB HI) dalam upaya
meningkatkan ketahanan keluarga di provinsi
riau .

2. Tujuan Khusus
a. Meningkatkan peran pemerintah, pemerintah
daerah, lembaga non pemerintah dan swasta
dalam memfasilitasi, pendampingan dan
pembinaan masyarakat dalam
menyelenggarakan pelayanan Bina Keluarga
Balita Holistik Integratif (BKB HI) dalam
upaya meningkatkan ketahanan keluarga di
provinsi riau dan pembangunan sektor
terkait;
b. Meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan pengelola dan pelaksana
tentang pelayanan Bina Keluarga Balita
Holistik Integratif (BKB HI) dalam upaya
meningkatkan ketahanan keluarga di
provinsi riau;
c. Memantapkan dan menguatkan kelompok
kegiatan Bina Keluarga Balita Holistik
Integratif (BKB HI).

8
BAB II
PENGELOLAAN BINA KELUARGA BALITA HOLISTIK
INTEGRATIF (BKB HI)

A. Pengembangan Kebijakan dan Strategi


Operasional (Persiapan dan Pelaksanaan
ditingkat Provinsi)

1. Membentuk Kelompok Kerja (POKJA) ketahanan


dan bina keluarga balita dan anak tingkat
provinsi yang terdiri dari TP – PKK dan sektor –
sektor terkait yang menangani balita dan anak;
2. Merencanakan pengembangan program dan
anggaran;
3. Menjabarkan konsep kebijakan pelaksanaan
program tentang pengasuhan dan pembinaan
tumbuh kembang anak;
4. Mengembangkan kajian, inovasi dan
pengembangan peta kerja dalam perumusan
kebijakan dan strategi;
5. Melaksanakan pertemuan koordinasi lintas
program dan lintas sektor terkait;
6. Menyusun dan menetapkan program dan
anggaran kegiatan;
7. Menjabarjan pedoman juklak dalam
melaksanakan kegiatan operasional;

9
8. Menetapkan kegiatan dan model percontohan
dalam rangka pengembangan program Bina
Keluarga Balita (BKB);
9. Melaksankan penelitian, mini survei dan
identifikasi kelompok sasaran dalam rangka
menyusun peta kerja pengembangan program
Bina Keluarga Balita (BKB).

B. Pengembangan Kebijakan dan Strategi


Operasional (Persiapan dan Pelaksanaan
ditingkat Kabupatan/Kota)
1. Membentuk Kelompok Kerja (POKJA) ketahanan
dan bina keluarga balita dan anak tingkat
kabupaten/kota yang terdiri dari TP – PKK dan
sektor – sektor terkait yang menangani balita
dan anak;
2. Merencanakan pengembangan program dan
anggaran;
3. Menjabarkan konsep kebijakan pelaksanaan
program tentang pengasuhan dan pembinaan
tumbuh kembang anak;
4. Mengembangkan kajian, inovasi dan
pengembangan peta kerja dalam perumusan
kebijakan dan strategi;
5. Melaksanakan pertemuan koordinasi lintas
program dan lintas sektor terkait;

10
6. Melaksanakan program dan anggaran sesuai
rencana kegiatan;
7. Melaksanakan kegiatan sesuai dengan pedoman
dan juklak yang ada;
8. Menyiapkan data dalam rangka pengembangan
model kelompok Bina Keluarga Balita (BKB).

C. Pembentukan dan Pengembangan Kelompok


Ditingkat Provinsi
1. Inventarisasi kelompok BKB Tingkat Provinsi;
2. Memilih kelompok sesuai dengan kriteria;
3. Memberikan fasilitasi pembentukan dan
pengembangan kelompok;
4. Melakukan koordinasi lintas sektor dan lintas
program untuk mendapatkan dukungan dari
tokoh formal dan informal;
5. Menyiapkan sarana dan prasarana;
6. Mengembangkan Kelompok BKB sesuai dengan
kriteria;
7. Melakukan pembinaan kepada POKJA
diKabupaten/Kota.

D. Pembentukan dan Pengembangan Kelompok


Ditingkat Kabupaten/Kota
1. Identifikasi potensi kelompok – kelompok
sasaran sesuai dengan kriteria kelompok BKB;

11
2. Melakukan koordinasi dengan lintas sektor dan
lintas program untuk mendapatkan dukungan
dari tokoh formal dan informal;
3. Menyiapkan saran dan prasarana;
4. Menyiapkan tenaga pengelola dan kader;
5. Memilih kelompok sesuai dengan kriteria;
6. Rekapitulasi form K/0/BKB/2019;
7. Melakukan pembinaan kepada POKJANIS
diKecamatan.

E. Pengembangan dan Penyediaan Sarana BKB Kit


Ditingkat Provinsi
1. Mendata kabuparten/kota yang berhak
menerima BKB Kit;
2. Menyediakan anggaran untuk pengadaan BKB
Kit;
3. Menggandakan BKB Kit sesuai dengan prototype;
4. Melakukan sosialisasi penggunaan BKB Kit pada
Kabupaten/Kota.

F. Pengembangan dan Penyediaan Sarana BKB Kit


Ditingkat Kabupaten/Kota
1. Mendata kelompok BKB yang berhak menerima
BKB Kit;
2. Menyediakan anggaran untuk pengadaan BKB
Kit;

12
3. Menggandakan BKB Kit sesuai dengan anggaran
yang tersedia;
4. Mendistribusikan BKB Kit kepada kelompok
BKB;
5. Melakukan sosialisasi penggunaan BKB Kit pada
Kelompok BKB.

G. Pelatihan dan Orientasi Kegiatan BKB di Tingkat


Provinsi
1. Melakukan koordinasi dengan balai pelatihan;
2. Menyiapkan anggaran pelatihan dan orientasi;
3. Menyiapkan jadwal dan peserta pelatihan untuk
fasilitator dan orientasi;
4. Menyelenggarakan pelatihan dan orientasi bagi
pengelola dan mitra kerja bagi Kabupaten/Kota;
5. Membuat laporan pelaksanaan pelatihan dan
orientasi;
6. Melakukan evaluasi hasil pelaksanaan pelatihan
dan orientasi.

H. Pelatihan dan Orientasi Kegiatan BKB di Tingkat


Kabupaten/Kota
1. Menyiapakan anggaran pelatihan dan orientasi
bagi kader;
2. Menyiapkan jadwal dan peserta pelatihan dan
orientasi;

13
3. Menyelenggarakan pelatihan dan orientasi bagi
bagi kader dan mitra kerja kecamata
Kabupaten/Kota;
4. Membuat laporan pelaksanaan pelatihan dan
orientasi;
5. Melakukan evaluasi hasil pelaksanaan pelatihan
dan orientasi.

I. Sosialisasi Program Ketahanan Bina Keluarga


Balita (BKB) dan Anak Ditingkat Provinsi
1. Menyiapkan anggaran sosialisasi;
2. Menyiapkan jadwal dan peserta sosialisasi;
3. Melakukan sosialisasi program ketahanan BKB
dan anak kepada sektor terkait dan mitra kerja
melalui forum yang ada.

J. Sosialisasi Program Ketahanan Bina Keluarga


Balita (BKB) dan Anak Ditingkat
Kabupateb/Kota
1. Menyiapkan anggaran sosialisasi;
2. Menyiapkan jadwal dan peserta sosialisasi;
3. Melakukan sosialisasi program ketahanan BKB
dan anak kepada sektor terkait dan mitra kerja
melalui forum yang ada.

K. Kerjasama dengan Lintas Sektor dan Mitra Kerja


Terkait Ditingkat Provinsi

14
1. Menginventarisi mitra kerja terkait yang
menangani tentang anak;
2. Menyiapkan anggaran koordinasi;
3. Melakukan koordinasi dengan mitra kerja dan
lintas sektor terkait;
4. Melaksanakan kegiatan sesuai dengan juknis
yang ada;
5. Membuat laporan pelaksanaan kegiatan.

L. Kerjasama dengan Lintas Sektor dan Mitra Kerja


Terkait Ditingkat Kabupaten/Kota
1. Menginventarisi mitra kerja terkait yang
menangani tentang anak;
2. Menyiapkan anggaran koordinasi;
3. Melakukan koordinasi dengan mitra kerja dan
lintas sektor terkait;
4. Melaksanakan kegiatan sesuai dengan juknis
yang ada;
5. Membuat laporan pelaksanaan kegiatan.

M. Pembinaan, Monitoring dan Evaluasi Ditingkat


Provinsi
1. Menyusun anggaran untuk keperluan monitoring
dan evaluasi;
2. Menyusun jadwal dan panduan pemantauan ke
Kabupaten/Kota;

15
3. Menyelenggarakan pertemuan evaluasi dan
konsultasi bagi Kabupaten/Kota;
4. Melaksanakan fasilitasi dan asistensi dan
bimbingan teknis;
5. Melaksanakan penilaian terhadap kelompok
BKB, pengelola dan kader terbaik tingkat
kabupaten/kota;
6. Membuat laporan tentang perkembangan
program BKB secara berkala.

N. Pembinaan, Monitoring dan Evaluasi Ditingkat


Kabupaten/Kota
1. Menyusun anggaran untuk keperluan monitoring
dan evaluasi;
2. Menyusun jadwal dan panduan pemantauan ke
kecamatan;
3. Menyelenggarakan pertemuan evaluasi;
4. Melaksanakan kunjungan lapangan;
5. Melaksanakan penilaian terhadap kelompok
BKB, pengelola dan kader BKB terbaik;
6. Membuat laporan tentang perkembangan
program BKB secara berkala.

O. Pencatatan dan Pelaporan Kelompok BKB


Ditingkat Provinsi

16
1. Mendistribusikan panduan tata cara pengelolaan
data rutin pengendalian lapangan;
2. Menyusun anggaran untuk pelaksanaan
pencatatan dan pelaporan serta pembinaan pada
kelompok;
3. Menyiapkan sarana dan prasarana untuk
pencatatan dan pelaporan serta sistem informasi
data basis kelompok BKB;
4. Menyiapkan sarana dan prasarana untuk
pelatihan kepada tenaga operator
kabupaten/kota mengenai sistem informasi data
basis kelompok BKB;
5. Melakukan rekapitulasi kelompok BKB melalui
sistem informasi data basis kelompok BKB
tingkat Kabupaten/Kota;
6. Melakukan evaluasi secara berkala terhadap
hasil pencatatan dan pelaporan.

P. Pencatatan dan Pelaporan Kelompok BKB


Ditingkat Kabupaten/Kota
1. Menyiapkan dukungan anggaran untuk
pelaksanaan pencatatan dan pelaporan data
kelompok BKB;
2. Menyiapkan sarana dan prasarana untuk
pencatatan dan pelaporan serta sistem informasi
data basis kelompok BKB;

17
3. Menyiapkan tenaga operator untuk sistem
informasi data basis kelompok BKB;
4. Membuat laporan perkembangan kelompok BKB
melalui sistem informasi data basis kelompok
BKB secara berkala;
5. Melakukan evaluasi secara berkala serta evaluasi
akhir terhadap hasil pencatatan dan pelaporan.

18
BAB III
PELAKSANAAN TEKNIS BINA KELUARGA BALITA
HOLISTIK INTEGRATIF (BKB HI)

A. Pembentukan Kelompok BKB Holistik Integratif


Pembentukan kelompok Bina Keluarga Balita
Holistik Integratif (BKB HI) dilakukan dari BKB yang
sudah ada. Penentuan Bina Keluarga Balita Holistik
Integratif (BKB HI) dilakukan melalui identifikasi
kriteria kelompok.

B. Model Pengembangan BKB Holistik Integratif


Model pengembangan BKB Holistik Integratif
didasarkan pada upaya pengembangan anak usia
dini untuk memenuhi kebutuhan dasar anak yang
beragam dan saling terkait secara stimulan,
sistematis dan terintegrasi, untuk dapat
memudahkan pemberian pelayanan dasar terhadap
anak usia dini sekaligus memperkuat kegiatan BKB
agar semakin eksis.

C. Penyuluhan Tentang Tumbuh Kembang Balita


dan Anak
Penyuluhan dilakukan secara terstruktur dan
dilakukan pertemuan minimal 1 (satu) bulan sekali.
Mekanisme pelaksanaan pertemuan penyuluhan
adalah waktu, tempat dan jadwal materi
penyuluhan.
19
D. Pemantauan Tumbuh Kembang Anak
Pemantauan tumbuh kembang anak dilakukan
dengan kartu Kembang Anak (KKA).

E. Kunjungan Rumah
Apabila orang tua balita tidak hadir dua kali
berturut – turut dalam pertemuan BKB, kader harus
melakukan kunjungan rumah. Kunjungan rumah
bertujuan untuk memantau pertumbuhan anak
melalui Kartu Kembang Anak (KKA).

F. Rujukan
Anak balita yang tidak dapat melaksanakan tugas
perkembangan tertentu selama tiga bulan berturut –
turut sesuai dengan tingkat perkembangan yang
harus dicapai pada Kartu Kembang Anak (KKA),
maka dapat diberikan rujukan. Rujukan dilakukan
oleh kader dengan mengisi formulir rujukan.
Tempat rujukan meliputi :
a. Puskesmas
b. Praktek Bidan
c. Praktek Dokter
d. PSikolog

20
BAB IV
PILAR KEBIJAKAN DALAM PEMBINAAN PAUD

Arah kebijakan PAUD di Indonesia dilihat dari visi


dan misi, yaitu: Visi: 1. Mengupayakan pemerataan
layanan, peningkatan mutu, dan efisiensi
penyelenggaraan pendidikan dini; 2. Mengupayakan
peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat
dalam memberikan layanan pendidikan dini; 3.
Mempersiapkan anak sedini mungkin agar kelak
memiliki kesiapan memasuki pendidikan lebih lanjut
(Sujiono, 2009: 49). Sedangkan misinya adalah
:”terwujudnya anak usia dini yang cerdas, sehat, ceria,
dan berakhlak mulia serta memiliki kesiapan fisik
maupun mental dalam memasuki pendidikan lebih
lanjut”. Berbagai bentuk kebijakan dan kesepakatan
baik secara nasional di atas telah mendorong
pemerintah untuk menyusun berbagai program yang
terkait dengan pengasuhan, pendidikan, dan
pengembangan anak usia dini. Sebagai wujud nyata
komitmen pemerintah adalah beberapa kebijakan dasar
yang termuat dalam dokumen Program Nasional Bagi
Anak Indonesia (PNBAI) sampai 2015, yang isinya
antara lain: (1) mewujudkan anak yang sehat, tumbuh
dan berkembang secara optimal melalui pemberdayaan
masyarakat, peningkatan kerjasama lintas sektoral,
perbaikan lingkungan, peningkatan kualitas serta
jangkauan upaya kesehatan, peningkatan sumber daya,
21
pembiayaan dan menejemen kesehatan, serta
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; (2)
mewujudkan perlindungan dan partisipasi aktif anak
melalui perbaikan mutu pranata sosial dan hukum,
pemerataan dan perluasan jangkauan pelayanan
terutama bagi anak yang berada dalam keadaan darurat
dalam jaringan kerja nasional dan internasional (Latif
dkk, 2014: 27-28). Bentuk membangun dan
mengembangkan PAUD, berbagai kebijakan telah
dikeluarkan oleh pemerintah, mulai dari sistem
perundang-undangan, sampai dengan hal-hal yang
bersifat teknis operasional., Berbagai ketentuan tentang
pendidikan anak usia dini termuat dalam UU RI No.
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
khususnya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
seluruh jenjang pendidikan, mulai dari Pendidikan Anak
Usia Dini sampai dengan jenjang pendidikan tinggi.
Pada Pasal 28 ditetapkan bahwa pendidikan anak usia
dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan
formal, nonformal, dan informal. Pendidikan anak usia
dini dalam pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-
kanak/Raudatul Athfal (TK/RA), pendidikan anak usia
dini dalam jalur nonformal berbentuk Kelompok
Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA) atau
bentuk lain yang sederajat; sedangkan pendidikan anak
usia dini dalam jalur pendidikan informal berbentuk
pendidikan keluarga atau pendidikanpendidikan yang
diselenggarakan oleh lingkungan. Sebagai implementasi
22
dari undang-undang tersebut Pemerintah telah
mengeluarkan PP No. 19/2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, dan UU No. 14/2005 tentang Guru
dan Dosen, dimana salah satu ketentuannya
menyebutkan bahwa pendidik anak usia dini wajib
memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum D-
IV atau S1 serta kompetensi sebagai pendidik. Para
calon guru yang telah memiliki kualifikasi akademik S1
dan kompetensi sebagai pendidik, selanjutnya harus
mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat
pendidik. Pada tahun 2014 juga pemerintah
mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI No. 137 tentang Standar Nasional
Pendidikan Anak Usia Dini, dan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 146 Tahun 2014
tentang Implementasi Kurikulum 2013 PAUD. Selain
perundang-undangan, telah ditetapkan pula kebijakan
pemerintah berkenaan dengan tugas dan ekspektasi
kinerja guru PAUD (Ditjen Dikti, 2006). Arah kebijakan
tersebut berkenaan dengan pengembangan konsep
PAUD, pengembangan pendidikan guru anak usia dini,
pengembangan anak sesuai dengan potensinya secara
optimal, serta pengembangan sarana dan prasarananya.
Program PAUD sudah menjadi komitmen nasional dan
internasional. komitmen internasional untuk
memperluas pelayanan PAUD tertuang dalam Deklarasi
Dakkar dengan bertekad memberikan pelayanan semua
anak pada tahun 2015. Komitmen Indonesia terhadap
23
PAUD tampak jelas dengan masuknya PAUD dalam
Sistem pendidikan nasional. Pemerintah berupaya keras
mewujudkan target tersebut sehingga meluncurkan
Gerakan PAUDISASI, Satu Desa Satu PAUD, Bunda PAUD
Nasional sampai Desa bahkan sudah mulai
merumuskan wacana Wajib PAUD bagi anak 5-6 tahun.
Namun satu yang harus dipastikan, bagaimana
mengupayakan Guru PAUD yang kompeten bagi setiap
anak, yang kualified dibingkai karakter sejati mengingat
kesalahan mendidik pada usia dini dapat bersifat
permanen yang tak bisa diperbaiki lagi di masa
berikutnya. Maka penting bagi kita semua untuk
menjaga dan menjamin mutu setiap guru PAUD di
layanan manapun mereka berada, karena Guru adalah
nyawanya perubahan SDM bangsa melalui pendidikan
(Herawati, 2015).

Tiga pilar kebijakan pemerintah terhadap PAUD :


A. Perluasan dan Pemerataan Akses PAUD
Pemerataan dan perluasan akses pendidikan
diarahkan pada upaya memperluas daya tampung
satuan pendidikan serta memberikan kesempatan
yang sama bagi semua peserta didik dari berbagai
golongan masyarakat yang berbeda baik secara
sosial, ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan
tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik.
Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan
kapasitas penduduk Indonesia untuk dapat belajar
24
sepanjang hayat dalam rangka peningkatan daya
saing bangsa di era global, serta meningkatkan
peringkat indeks pembangunan manusia (IPM)
hingga mencapai posisi sama dengan atau lebih baik
dari peringkat IPM sebelum krisis.
Peluncuran program PAUD secara nasional pada
pertengahan tahun 2003 dilatar belakangi oleh :
 Masih banyaknya anak usia dini di Indonesia yang
belum mengenyam pendidikan Taman Kanak-
kanak;
 Alasan pemerataan pendidikan dengan adanya
PAUD diharapkan dapat memberi kesempatan
kepada anak-anak terutama di daerah-daerah
untuk mengeyam PAUD;
 Sebagai salah satu bentuk respon pemerintah
terhadap laporan beberapa badan dunia tentang
rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.
Menyadari hal di atas akhir-akhir ini perhatian
pemerintah terhadap PAUD mengalami peningkatan
yang cukup signifikan, meskipun dalam
implementasinya belum optimal. Oleh karena itu
peningkatan kualitas layanan pendidikan anak usia
dini menjadi salah satu prioritas pembangun
pendidikan nasional. Mengingat pentingnya PAUD
tersebut pemerintah telah mengeluarkan berbagai
kebijakan untuk mengatur implementasinya agar
dapat dilakukan secara optimal, kebijakan yang

25
dikeluarkan berada dalam tatanan disriptif (apa
adanya), preskriptif (apa yang seharusnya) dan
normative (menjunjung tinggi norma-norma).
Pendidikan anak usia dini memiliki peran yang
sangat menentukan. Pada usia ini berbagai
pertumbuhan dan perkembangan mulai dan sedang
berlangsung, seperti perkembangan fisiologik,
bahasa, motorik, kognitif. Perkembagan ini akan
menjadi dasar bagi perkembangan anak selanjutnya.
Oleh karena itu perlu dukungan lingkungan yang
kondusif bagi perkembangan potensi yang dimiliki
anak.

Kondisi dan Permasalahan Akses PAUD


Masyarakat Indonesia telah menyadari pentingnya
pendidikan anak usia dini dan berbagai lembaga
pendidikan anak usia dini yang telah marak di
daerah perkotaan sampai pedesaan. Walaupun
demikian, pendidikan di Indonesia masih mengalami
berbagai permasalahan dan tantangan yang perlu
penanganan lebih lanjut.
Berbagai masalah yang ada, seperti: tingkat
partisipasi anak usia dini (4-6 tahun) yang masih
rendah, kesempatan memperoleh pendidikan anak
usia dini masih belum merata dan terkonsentrasi di
daerah perkotaan dan lebih diminati dan dinikmati
oleh masyarakat ekonomi menengah ke atas,
sumber-sumber untuk pendidikan dan perawatan
26
anak usia dini secara signifikan tidak cukup,
koordinasi pembinaan pendidikan anak usia dini,
kurangnya tenaga pendidik dan kependidikan dari
segi jumlah dan mutu.

B. Peningkatan Mutu, Relevansi dan Daya Saing


Peningkatan mutu PAUD berkaitan erat dengan
standar PAUD dituangkan dalam peraturan menteri
pendidikan nasional RI : No 58 Tahun 2009 tentang
standar pendidikan AUD, yang mencakup standar
tingkat pencapaian perkembangan, standar
pendidikan dan tenaga kependidikan, standar isi
proses dan penilaian, serta standar sarana dan
prasarana pengelolaan dan pembiayaan, sedangkan
untuk nonformal pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan tentang Menu Pembelajaran Generik
PAUD kebijakan-kebijakan tersebut dapat
terlaksana dengan baik apabila disosialisasikan
kepada berbagai pihak secara professional, serta
adanya hubungan dan kerjasama yang harmonis
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
dalam hal ini pemerintah daerah juga telah
mengeluarkan kebijakan dalam pengaturan
penerimaan peserta didik dan penyelenggaraan
pendidikan.
Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing di masa
depan diharapkan dapat memberikan dampak bagi
perwujudan eksistensi manusia dan interaksinya
27
sehingga dapat hidup bersama dalam keragaman
sosial dan budaya. Selain itu, upaya peningkatan
mutu dan relevansi dapat meningkatkan taraf hidup
masyarakat serta daya saing bangsa.
Mutu pendidikan juga dilihat dari meningkatnya
penghayatan dan pengamalan nilai-nilai humanisme
yang meliputi keteguhan iman dan taqwa serta
berakhlak mulia, etika, wawasan kebangsaan,
kepribadian tangguh, ekspresi estetika, dan kualitas
jasmani. Peningkatan mutu dan relevansi
pendidikan diukur dari pencapaian kecakapan
akademik dan nonakademik yang lebih tinggi yang
memungkinkan lulusan dapat proaktif terhadap
perubahan masyarakat dalam berbagai bidang baik
di tingkat lokal, nasional maupun global (Fadli Idris,
2015).
Peningkatan mutu pendidikan semakin diarahkan
pada perluasan inovasi pembelajaran baik pada
pendidikan formal maupun nonformal dalam rangka
mewujudkan proses yang efisien, menyenangkan
dan mencerdaskan sesuai tingkat usia, kematangan,
serta tingkat perkembangan peserta didik.
Pengembangan proses pembelajaran pada PAUD
serta kelas-kelas rendah sekolah dasar lebih
memperhatikan prinsip perlindungan dan
penghargaan terhadap hak-hak anak dengan lebih
menekankan pada upaya pengembangan kecerdasan
emosional, sosial, dan spiritual dengan prinsip
28
bermain sambil belajar. Peningkatan mutu
pendidikan pada jenjang pendidikan yang lebih
tinggi semakin memperhatikan pengembangan
kecerdasan intelektual dalam rangka memacu
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di
samping memperkokoh kecerdasan emosional,
sosial, dan spritual peserta didik.

Kondisi dan Permasalahan Mutu PAUD


Persepsi tentang pentingnya golden age, yaitu 80%
kapasitas perkembangan dicapai pada usia lahir
sampai delapan tahun dan 20% diperoleh setelah
usia delapan tahun, jika persepsinya belum benar
maka akibatnya banyak orangtua dan guru
berlomba dengan waktu untuk memberikan
pengalaman belajar melalui “kegiatan akademik”.
Guru mengajar dengan menjelaskan, anak belajar
melalui mendengarkan dan mengerjakan tugas yang
didominasi lembar atau buku kerja anak. Anak
menulis angka dan huruf/kata tanpa membangun
konteks belajar terlebih dahulu. Dalam situasi ini,
aspek kognitif (intelektual) memperoleh stimulasi
besar, namun aspek lainnya seperti emosi, sosial
dan seni hampir diabaikan. Ini sebagaimana yang
dinyatakan dalam permasalahan kondisi PAUD dari
Dirjen PAUDNI yang menyatakan:

29
 Proses pembelajaran masih diwarnai dengan
pengajaran baca-tulis-hitung (Calistung) dan
belum sepenuhnya melalui bermain;
 Kompetensi pendidik masih rendah: pelatihan
pendidik baru menjangkau 118.018 orang
(29,32%) dari 402.493 orang (diluar guru TPQ);
 Kualifikasi pendidikan PAUD belum memadai
(S1/D4 baru 15,72%);
 Jumlah lembaga PAUD rujukan/imbas mutu
masih terbatas, yaitu baru sekitar 346 lembaga
(0,3%) dari 114.888 lembaga;
 Kondisi sarana dan prasarana sebagian besar
PAUD memprihatinkan (Latif dkk, 2014: 30).
Sebenarnya, bermain sebagai salah satu kebutuhan
dasar perkembangan anak. Pelaksanaan
pembelajaran pada AUD yang lebih terfokus pada
kegiatan akademik dan mengabaikan kegiatan
bermain sebagai suatu praktik PAUD yang keliru.
Bermain bukan hanya sebagai “kendaraan” belajar
anak. Bermain sebagai salah satu kebutuhan
perkembangan anak (Yus, 2011: xi).
Situasi kelas yang menunjukkan adanya masalah,
seperti anak TK tidak mau berbagi mainan bukan
hanya karena anak sangat suka dengan mainan ini,
tetapi dapat disebabkan tahap perkembangan anak
belum sampai ke bermain bersama, walaupun
usianya telah menunjukkan anak berada pada tahap

30
perkembangan bermain bersama. Masalah ini dapat
disebabkan karena kegiatan bermain yang diperoleh
anak sangat minim.

C. Penguatan Tata Kelola, Akuntabilitas dan Citra


Publik
Kebijakan tata kelola dan akuntabilitas meliputi
sistem pembiayaan berbasis kinerja baik di tingkat
satuan pendidikan maupun pemerintah daerah, dan
manajemen berbasis sekolah (MBS), untuk
membantu Pemerintah dan pemerintah daerah
dalam mengalokasikan sumberdaya serta
memonitor kinerja pendidikan secara keseluruhan.
Di samping itu, peran serta masyarakat dalam
perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan kinerja
pendidikan ditingkatkan melalui peran komite
sekolah/satuan pendidikan dan dewan pendidikan.
Tahap pengaggaran dalam organisasi sektor publik
merupakan tahapan yang mempunyai arti dan peran
penting dalam siklus perencanaan dan
pengendalian. Anggaran dapat digunakan sebagai
alat untuk menciptakan ruang publik, dalam artian
bahwa proses penyusunan anggaran harus
melibatkan masyarakat. Keterlibatan masyarakat
tersebut dapat dilakukan melalui proses
penjaringan aspirasi masyarakat yang hasilnya
digunakan sebagai dasar perumusan arah dan

31
kebijakan umum anggaran (Sa’ud dan Makmun,
2011: 261).
Pengembangan kapasitas dewan pendidikan dan
komite sekolah merupakan kegiatan yang akan terus
dilakukan dalam memberdayakan partisipasi
masyarakat untuk ikut bertanggung jawab
mengelola diknas. Berfungsinya kedua kelembagaan
tersebut secara optimal akan memperkuat
pelaksanaan tatakelola prinsip good geverment dan
akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.
Pengembangan kapasitas juga akan terus dilakukan
terhadap para pengurus sekolah atau satuan
pendidikan nonformal lainnya untuk meningkatkan
kemampuan manajerial dan leadership menuju
otonomi pengelolaan (Depdiknas, 2007: 48).
Kebijakan perwujudan tata kelola pemerintahan
yang sehat dan akuntabel dilakukan secara intensif
melalui:
 Sistem Pengendalian Internal (SPI), Pemerintah
mengembangkan dan melaksanakan SPI pada
masing-masing satuan kerja dalam mengelola
kegiatan pelayanan pendidikan seharihari;
 Pengawasan Masyarakat, pengawasan
masyarakat dilakukan langsung oleh
individuindividu atau anggota masyarakat yang
mempunyai bukti-bukti penyalahgunaan
wewenang sejalan dengan pembagian

32
kewenangan antartingkat pemerintahan
berdasarkan otonomi dan desentralisasi;
 Pengawasan Fungsional yang terintegrasi dan
berkelanjutan. Pengawasan fungsional dilakukan
oleh Inspektorat Jenderal, Badan Pengawas
Keuangan RI, dan BPKP terhadap hasil
pembangunan pendidikan;
Penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik
PAUD. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah
dengan meningkatkan mutu laporan dan
pertanggungjawaban para pengelola pendidikan
yang lebih trasparan dan dapat dipercaya terhadap
pelaksanaan pendidikan. Meningkatkan kualitas
data dan informasi pendidikan yang cepat, akurat,
dan dapat dipercaya dalam upaya mendukung
sistem pembuatan kebijakan dan keputusan yang
menyangkut manajemen pembangunan di daerah.
Meningkatkan peran serta masyarakat, dunia
perusahaan, dan stakeholder pendidikan lainnya
yang diarahkan pada kebersamaan memikul
tanggung jawab antar pemerintah, masyarakat, dan
peserta didik sebagai bagian dari subyek
pembelajaran, yang dinamis, adaptif, dan penuh
inisiatif. Merintis pembangunan, dan
mengembangkan inovasi-inovasi pendidikan yang
lebih bersifat antisipatif kearah peningkatan
kualitas, relevansi dan daya saing pendidikan. Dalam

33
rangka menciptakan sekolah yang memiliki tata
kelola, akuntabilitas, dan citra publik sekolah TK/
RA yang ideal dapat dilakukan dengan beberapa hal,
yakni :
Pertama, Otonomisasi dan Desentralisasi, Prinsip
otonomisasi dan desentralisasi ditegaskan pada
GBHN 1999-2004 tentang pendidikan yang
mencakup tujuh hal. Pertama, perluasan dan
pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan
yang bermutu; kedua, peningkatan kemampuan
akademik, profesional dan kesejahteraan tenaga
kependidikan; ketiga, pembahasan sistem
pendidikan sebagai pusat nilai sikap, kemampuan
dan partisipasi masyarakat; kelima, pembahasan
dan pemantapan sistem pendidikan nasional
berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi, dan
manajemen; keenam, peningkatan kualitas lembaga
pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dan
masyarakat; dan ketujuh, mengembangkan kualitas
sumber daya manusia sedini mungkin secara
terarah, terpadu dan menyeluruh (Azra, 2002: 5).
Otonomi Manajemen Sekolah mencakup
perencanaan penyelenggaraan pendidikan, dimana
kewenangan dan tanggung jawab atas berfungsinya
sekolah itu sangat bergantung pada kapasitas
internalnya, dengan tidak bermaksud
menghilangkan tanggungjawab kantor kementrian
atau institusi yang membawahkan sekolah.
34
Tujuannya adalah bagaimana institusi sekolah
mampu menjadi wadah pembagunan manusia
seutuhnya (Danim, 2010: 102).
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
mengurusi urusan rumah tangganya sendiri
berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya
dalam kerangka negara kesatuan Republik
Indonesia. Dengan adanya desentralisasi maka
muncullah otonomi bagi suatu pemerintahan
daerah.
Kedua, Manajemen Berbasis Sekolah Manajemen
berbasis sekolah atau madrasah merupakan
tuntutan dari dari diterapkannya kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah. Otonomi bidang
pendidikan ini secara mikro lebih dikenal dengan
otonomi sekolah atau desentralisasi pengelolaan
sekolah yang berarti pengelolaan pendidikan
berdasarkan kebutuhan sekolah / masyarakat.
Ketiga, Manajemen Berbasis Masyarakat,
Menurut Winanrno Surakhamdan dan dikutip oleh
Zubaidi konsep Pendidikan berbasis masyarakat
adalah model penyelenggaraan yang bertumpu pada
prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat, dan
untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat
atartinya pendidikan memberikan jawaban atas
kebutuhan masyarakat. Pendidikan oleh masyarakat
atinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek atau
35
pelaku pendidikan, bukan obyek pendidikan, pada
konteks ini masyarakat dituntut berperan aktif
dalam setiap program pendidikan. Dengan kata lain,
masyarakat harus diberdayakan, diberi peluang dan
kebebasan untuk mendesain, merencanakan,
membiayai, mengelola, dan menialai apa saja yang
diperlukan secara spesifik didalam, untuk dan oleh
masyarakat sendiri (Hidayat dan Machali, 2012:
252).
Membangun Citra Publik PAUD yang Baik
Dalam mendapatkan kepercayaan masyarakat
terhadap suatu lembaga pendidikan, maka suatu
lembaga pendidikan dalam hal ini lembaga PAUD
perlu melakukan pendekatan terhadap masyarakat
dengan menunjukkan citra positif. Menurut Alma
Citra adalah impresi perasaan atau konsepsi yang
ada pada publik mengenai perusahaan, mengenai
suatu obyek, orang atau mengenai lembaga. Citra
tidak dapat dicetak seperti mencetak barang, akan
tetapi citra adalah kesan yang diperoleh sesuai
dengan pengetahuan, pemahaman seseorang
sesuatu (Hidayat dan Machali, 2012:248). Oleh
karena itu, untuk mendapatkan perhatian
masyarakat maka sekolah haruslah menciptakan
citra publik yang mengesankan
Citra terbentuk dari bagaimana lembaga
melaksanakan kegiatan operasionalnya yang
mempunyai landasan utama pada segi layanan. Citra
36
juga terbentuk berdasarkan impresi, berdasarkan
pengalaman yang dialami seseorang terhadap
sesuatu, sehingga membagun suatu sikap mental.
Sikap mental inilah yang nantinya digunakan
sebagai pertimbangan untuk mengambil keputusan.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menarik
perhatian publik dalam rangka pembentukan image
terhadap lembaga pendidikan, baik melalui daya
tarik fisik maupun daya tarik yang bersifat
akademis, religius. Dengan demikian maka sekolah
harus berusaha menciptakan image positif dihati
masyarakat sehingga masyarakat dapat membuat
keputusan untuk mendaftarkan putra putri mereka
masuk kelembaga pendidikan tersebut.
Citra Publik Sekolah/Madrasah, TK/RA atau
lembaga lainnya tidak kalah penting dalam
peningkatan mutu pendidikan, hal yang dapat
dilakukan dalam peningkatan citra publik untuk
mendapat kepercayaan dari masyarakat adalah
sebagai berikut :
 Analisis kebutuhan social;
 Pendekatan kebutuhan ketenaga kerjaan;
 Pelayanan sekolah;
 Daya tarik fisik.

Seiring berjalannya waktu pemerintah telah


mengeluarkan kebijakan terbaru sebagai

37
penyempurna renstra sebelumnya, yang berkaitan
dengan pembangunan pendidikan yaitu Kerangka
Strategis Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
2014/2019 yang berisi :
Strategi 1, Penguatan Pelaku Pendidikan dan
Kebudayaan dengan cara:
 Menguatkan siswa, guru, kepala sekolah, orang
tua dan pemimpin institusi pendidikan dalam
ekosistem pendidikan;
 Memberdayakan pelaku budaya dalam
pelestarian dan pengembangan kebudayaan;
 Fokus kebijakan diarahkan pada penguatan
perilaku yang mandiri dan berkepribadian.
Strategi 2, Peningkatan Mutu dan Akses dengan
cara :
 Meningkatkan mutu pendidikan sesuai lingkup
Standar Nasional Pendidikan untuk
mengoptimalkan capaian Wajib Belajar 12 tahun;
 Meningkatkan ketersediaan serta keterjangkauan
layanan pendidikan, khususnya bagi masyarakat
yang terpinggirkan;
 Fokus kebijakan didasarkan pada percepatan
peningkatan mutu dan akses untuk menghadapi
persaingan global dengan pemahaman akan
keberagaman, penguatan praktik baik dan
inovasi.

38
BAB IV
KADER, SARANA DAN PRASARANA

D. Kader Bina Keluarga Balita (BKB)


Kader BKB terdiri dari :
a. Kader Inti
Bertugas sebagai penyuluh yang menyampaikan
materi kepada orang tua dan bertanggung jawab
atas jalannya penyuluhan.
b. Kader Piket
Bertugas mengasuh anak balita yang ikut orang
tuanya ketempat penyuluhan.
c. Kader Bantu
Bertugas membantu tugas kader inti dan kader
piket, serta menggantikan tugas kader inti dan
kader piket apabila berhalangan hadir.

Tugas Kader BKB


a. Memberikan penyuluhan sesuai dengan materi
yang telah ditentukan;
b. Mengadakan pengamatan perkembangan
peserta BKB dan anak balitanya;
c. Memberikan pelayanan dan mengadakan
kunjungan rumah;
d. Memotivasi orangtua untuk merujuk anak yang
mengalami masalah tumbuh kembang;
e. Membuat laporan kegiatan.

39
Syarat Menjadi Kader BKB
a. Laki – laki atau perempuan yang tinggal dilokasi
kegiatan, mempunyai minat terhadap
pengasuhan dan tumbuh kembang anak;
b. Mampu baca-tulis dan menguasai Bahasa
Indonesia serta Bahasa daerah setempat;
c. Bersedia dilatih sebelum melaksanakan tugas;
d. Mampu berkomunikasi dengan orangtua balita
secara baik
.
E. SARANA Bina Keluarga Balita (BKB)
Sarana penyuluhan yang ada dikelompk BKB terdiri
dari :
a. Materi penyuluhan
b. Media BKB

Materi penyuluhan terdiri dari :


a. Lembar balik
b. Beberan / poster lipat
c. Kantong wasia

Media BKB terdiri dari :


a. Alat permainan edukatif
b. Dongeng dan cerita
c. Musik dan lagu

40
F. PRASARANA Bina Keluarga Balita (BKB)
Prasarana penyuluhan adalah segala sesuatu yang
merupakan penunjuang utama terselenggaranya
kegiatan penyuluhan, dalam hal ini berkaitan
dengan kegiatan BKB.
Prasarana penyuluhan terdiri dari :
a. Tempat penyimpanan materi dan media
penyuluhan
b. Papan nama kelompok
c. Kartu Kembang Anak (KKA)
d. Buku administrasi kelompok
e. Alat tulis

41
BAB V
PENCATATAN, PELAPORAN DAN PEMBIAYAAN

Jenis – jenis pencatatan dan pelaporan meliputi :


a. Kartu data potensi kelompok kegiatan BKB
(K/0/BKB/15)
b. Register keluarga yang mempunyai balita
(R/I/BKB/15)

Pembiayaan pelaksanaan kebijakan program dan


kegiatan Bina Keluarga Balita Holistik Integratif
(BKB HI) didaerah bersumber dari Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi atau
Kabupaten/Kota dan sumber lainnya seperti dari
Coorporate Social Responsibility (CSR), swadaya
masyarakat dan sumber – sumber dana lainnya yang
ada didesa ataupun kelurahan.

42
BAB VI
PENUTUP

Penguatan Bina Keluarga Balita Holistik Integratif


(BKB HI) diharapkan dapat menjadi suatu inovasi
strategis dalam penguatan Program KKBPK dan
Pembangunan Lintas sektor terkait di seluruh tingkatan
wilayah, terutama sebagai suatu langkah implementasi
kegiatan prioritas yang memiliki daya ungkit terhadap
upaya pencapaian terwujudnya sumber daya manusia
yang handal dan tangguh mulai sejak dini.

Kemudian terkait dengan upaya perluasan


cakupan/jangkauan kegiatan Bina Keluarga Balita
Holistik Integratif (BKB HI), dukungan mitra
kerja/stakeholder serta program dan kegiatan lintas
sektor juga harus dapat di integrasikasikan.

Buku Pedoman PEMBINAAN POKTAN BINA


KELUARGA BALITA HOLISTIK INTEGRATIF (BKB HI)
DALAM UPAYA MENINGKATKAN KETAHANAN
KELUARGA ini diharapkan dapat menjadi acuan
terpadu baik bagi para pelaksana/pengelola program
ketahanan keluarga wilayah maupun dengan unsur
lain/lintas sector/OPD yang terlibat secara langsung
dengan kegiatan tumbuh kembang anak dan balita
sehingga seluruh program dan kegiatannya dapat
diimplementasikan secara nyata dan berkualitas.
43
Lampiran I
FORM KRITERIA KELOMPOK
BKB HOLISTIK INTEGRATIF

44
45
Lampiran II
FORM PETUNJUK PENYAMPAIAN
MATERI DALAM PENYULUHAN

46
47
48
49
50
51
Lampiran III
FORM KARTU KEMBANG ANAK
(KKA)

52
Lampiran IV
FORM SURAT RUJUKAN DARI
KADER BKB/POSYANDU

53
Lampiran V
FORM SURAT KETERANGAN DARI
PUSKESMAS

54
Lampiran VI
FORM PENCATATAN DAN PELAPORAN

55
56
57
58
59
60
61
62
63

Anda mungkin juga menyukai