Anda di halaman 1dari 11

EVEKTIVITAS PELAKSANAAN PELIMPAHAN KEWENANGAN

DOKTER KEPADA PERAWAT DI KOTA PALOPO

THE EFFECTIVENESS O THE IMPLEMENTATION OF THE DELEGATION


OF DOCTORS’ AUTHORITY TO NURSES IN PALOPO CITY

Musakkar¹, Abdul Razak²,Musakkir³

¹Program Magister Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin


²Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin,

Alamat Korespondensi :
Musakkar, SKM
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 90245
Dinas Kesehatan Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan
HP : 081342554405
Email : musakkarfahar@yahoo.co.id
Abstrak

Efektivitas Pelaksanaan Pelimpahan Kewenangan Dokter Kepada Perawat di Kota Palopo. Penelitian ini
bertujuan: Mengetahui bentuk pelaksanaan pelimpahan kewenangan dokter kepada perawat di Puskesmas dan
untuk mengetahui faktor yang berpengaruh pelaksanaan pelimpahan kewenangan dari dokter kepada perawat di
Puskesmas. Penelitian ini dilakukan dengan metode pendekatan gabungan penelitian yuridis normatif dan
penelitian hukum empiris. Pengambilan data empiris dalam Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kota Palopo
dengan sampel perawat 36 orang dan dokter 8 orang. Analisis data dengan menggunakan teknik analisis
kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 11 Puskesmas di Kota Palopo tidak memiliki standar operasional
prosedur dalam hal pelimpahan kewenangan dokter kepada perawat dan juga dalam Peraturan Menteri Kesehatn
Nomor 2052/Menkes/Per/X/2011 tentang izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran tidak dijelaskan lebih
rinci prosedur pelimpahan kewenangan dokter kepada perawat, hanya dijelaskan pelimpahan kewenangan itu
harus tertulis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelimpahan kewenangan dokter kepada perawat tidak
dilakukan secara tertulis, tetapi dilakukan secara lisan dan lewat telpon, pelimpahan yang dilakukan secara
tertulis menjadi bukti yang memiliki kekuatan hukum dalam hal pembuktian, dimana jika pada pelaksanaan
tindakan yang diberikan terjadi kesalahan atau salah dalam instruksi maka tenaga kesehatan yang bersangkutan
harus bertanggungjawab dan bertanggunggugat. Tidak dilaksanakan pelimpahan kewenangan dokter kepada
perawat disebabkan oleh karena tidak pernah dilakukan sosialisasi aturan tentang pelimpahan kewenangan, dan
pengetahuan hukum dokter dan perawat tentang aturan pelimpahan kewenangan masih kurang

Kata Kunci : Pelimpahan Kewenangan, Dokter, Perawat.

Abstrac

This study aim to find out the form of the implementation of the delegation of doctors’ authority to nurse in
Community Health Centers; affecting the implementation. This Research was conducted by using the
combination of normative legal research and empirical legal research. The results reveal that 11 Community
Health Centers in Palopo city do not have the Procedure Operation Standard of delegation doctors’ authority to
nurse. In addition, the Regulation of Health Minister Number 2052/Menkes/Per/X/2011 about permit of
Practice and the Implementation of Doktors’ Practice does not give a detailed explanation of the procedure of
delegating doktors’ authority to nurses. The only regulation mentioned is that the delegation should be given.
However, this study reveals that the delegation process is not conducted in writing. It is given verbally or
through phone call. Written delegation can become a legal evidence. If there is any mistake happens in the
treatment or instruction, the involved health officers should be responsible for the mistake. The delegation of
doctors’ authority to nurses has not been well implemented because the regulation has not been introduced.
Moreover, doctors, and nurses only limited legal knowledge

Keyword : delegation of authority, doctors’, nurses


PENDAHULUAN
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam
setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan pada setiap negara hukum. Undang-
undang dijadikan sebagai sendi utama penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintah (Ridwan,
2006).
Menyikapi hal ini dalam bidang kesehatan perlu diatur oleh hukum, disebabkan karena
pembangunan bidang kesehatan ditentukan oleh 3 faktor yaitu: Perlunya perawatan kesehatan
diatur dengan langkah-langkah tindakan konkrit oleh pemerintah; perlunya pengaturan hukum
dilingkungan sistem perawatan kesehatan; perlunya kejelasan yang membatasi antara
perawatan kesehatan dan tindakan medis tertentu( Suparto, 2008).
Sasaran pengaturan tenaga kesehatan menekankan pada aspek syarat keahlian dan
syarat kewenangan. Dokter salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada
masyarakat yg diperkenankan melakukan tindakan medis. Salah satu tenaga yg berkontribusi
terhadap peningkatan derajat kesehatan adalah tenaga perawat yang mempunyai tugas sebatas
memberikan asuhan keperawatan dan tidak mempunyai kewenangan melakukan tindakan
medis kecuali dalam keadaan darurat dan ada pelimpahan dari dokter (Ta’adi, 2009).
Pemerintah mengakui secara faktual bahwa rangkaian tindakan kedokteran tidak
sepenuhnya dapat ditangani oleh dokt er akan tetapi harus terlibat tenaga keseatan lain yang
dalam hal ini tenaga perawat (Djaelani, 2008). Pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas tidak
bisa sepenuhnya dilaksanakan oleh dokter, sehingga banyak pelayanan/tindakan medik yang
merupakan kewenangan dokter dikerjakan oleh perawat, juga pelayanan medik di Puskesmas
Keliling maupun Puskesmas Pembantu hanya dilayani oleh tenaga perawat. Secara yuridis,
tenaga perawat tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pelayanan medik.
Pasal 73 ayat (3) Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
memberi peluang bagi perawat untuk melakukan tindakan medik jika memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan. Permenkes Nomor 2052/Menkes/Per/X/2011 tentang Izin
Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, dalam Pasal 23 Ayat (1) menyatakan “Dokter
atau dokter gigi dapat memberikan pelimpahan suatu tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi kepada perawat, bidan atau tenaga kesehatan tertentu lainnya secara tertulis dalam
melaksanakan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi”. Akan tetapi petunjuk teknis
maupun contoh format pelimpahan yang dimaksud Pasal 23 Ayat (1) belum ada.
Tahun 2009 seorang perawat di Kaltim, dipidana 3 bulan penjara karena memberikan
resep obat kepada masyarakat (News, 2009), hasil penelitian Depkes dan UI Thn 2005,
perawat yg menetapkan diagnosis penyakit 92,6 %, membuat resep obat 93,1 %, tindakan
pengobatan 97,5 % penelitian FKM UI di 2 PKM kota dan desa, 92% perawat melakukan
diagnosis medis dan 93% membuat resep (Triwibowo, 2010). Tahun 2007 di Kota Palopo,
seorang siswa anak Sekolah Dasar meninggal setelah diberikan vaksin DT oleh seorang
tenaga perawat Puskesmas.
Tindakan tersebut adalah kewenangan dokter namun pada sisi lain pemerintah sangat
menyadari serba keterbatasan dokter dalam menjangkau masyarakat terutama daerah
terpencil. Terhadap persoalan demikian, maka berdasarkan pandangan yuridis perlunya
dibuatkan pelimpahan wewenang dari dokter kepada perawat. berbagai faktor yang
berpengaruh terhadap pelaksanaan hukum. Begitu juga dalam efektivitas pelaksanaan
pelimpahan kewenangan dokter kepada perawat. Misalnya: Tidak jelasnya pengaturan
kewenangan dan prosedur pelimpahan wewenang di Puskesmas, kurangnya sosialisasi dari
pihak pemerintah dan organisasi profesi terhadap dokter dan perawat termasuk pengetahuan
hukum. Tujuan penelitian mengetahui pelimpahan kewenangan dokter kepada perawat dan
mengetahui faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pelimpahan kewenangan dokter kepada
perawat.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan di 11 Puskesmas Kota Palopo Provinsi Sulawesi-Selatan.
Jenis penelitian yang digunakan adalah normatif dan empiris dengan menggunakan metode
kualitatif
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh dokter dan perawat yang melaksanakan
pelayanan kesehatan di Puskesmas dan jaringannya di Kota Palopo Propinsi Sulawesi-Selatan
sejumlah 173 Orang. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 43 orang yang terdiri dari 36
perawat dan 8 dokter.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer di daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan
metode wawancara, observasi dan dokumentasi. sedangkan data sekundernya dilakukan
melalui penelusuran kepustakaan baik cetak maupun elektronik.
Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif yaitu
meneliti dan menelaah data bahan hukum dan segala jenis informasi dan data yang diperoleh
kemudian diuraikan secara logis dan sistematis untuk menjawab permasalahan yang ada pada
penelitian ini.
HASIL
Standar Operasional Prosedur
Tabel 1 memperlihatkan dari 43 responden didapatkan hasil bahwa 100,0 %
mengatakan tidak ada standar operasional prosedur pelimpahan kewenangan dokter kepada
perawat di Puskesmas Kota Palopo
Tabel 2 memperlihatkan bahwa dari 43 responden didapatkan hasil 58,1 % perawat
pernah melakukan tindakan kedokteran berupa memberikan pengobatan, 32,6 % perawat
melakukan tindakan injeksi/hecting, dan hanya 9,3 % perawat tidak pernah melakukan
tindakan kedokteran.
Syarat
Tabel 3 menunjukkan bahwa bentuk pelimpahan kewenangan dokter kepada perawat
Puskesmas di Kota Palopo, secara lisan 72,1 %, dan lewat telpon 27,9 % , sedangkan secara
tertulis 0,0 %.
Substansi
Dasar pelimpahan kewenangan dokter kepada perawat adalah Pasal 23 Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 2052/Menkes/Per/X/2011 tentang Izin dan Pelaksanaan Praktik
Kedokteran, tetapi Pasal 23 tersebut belum jelas dan tegas mengenai pelimpahan kewenangan
dokter kepada perawat.
Sosialisasi
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa sosialisasi peraturan tentang pelimpahan
kewenangan dokter kepada perawat Puskesmas di Kota Palopo tidak pernah dilaksanakan.
Pengetahuan Hukum
Tabel 5 menunjukkan bahwa terdapat 74,4 % responden tidak mengetahui tentang
peraturan pelaksanaan pelimpahan kewenangan dokter kepada perawat, dan hanya 25,6 %
menjawab mengetahui.
PEMBAHASAN
Penelitian ini memperlihatkan bahwa Pelayanan kesehatan di Puskesmas hakikatnya
diberikan melalui bentuk pengobatan dan perawatan. Petugas kesehatan, medis, dan
paramedis bertanggung jawab untuk memberi pelayanan yang optimal. Tenaga medis, dalam
hal ini dokter/dokter gigi memiliki tanggung jawab terhadap pengobatan yang sedang
dilakukan. Tindakan pengobatan dan penentuan kebutuhan dalam proses pengobatan
merupakan wewenang dokter (Tutik, 2010).
Dalam melaksanakan tugas profesinya, seorang tenaga kesehatan perlu berpegang pada
kewenangan (Willa 2001). Kewenangan dokter untuk melakukan tindakan kedokteran
disebutkan pada Pasal 35 UU No. 29 Tahun 2004, hanya dapat dilaksanakan oleh dokter.
Tetapi Pasal 23 Permenkes No. 2052/Menkes/ Per/X/2011, memberikan izin dokter untuk
melimpahkan sebagian kewenangannya kepada perawat, tetapi standar operasional prosedur
pelimpahan kewenangan dokter kepada perawat tidak dijelaskan lebih tegas dalam Peraturan
Menteri kesehatan tersebut.
Tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh seorang perawat apabila ada pelimpahan
kewenangan dari dokter dan dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa
seseorang/pasien dan tidak ada dokter di tempat kejadian. Menurut penulis tindakan
kedokteran dapat dilakukan oleh perawat Puskesmas apabila ada surat pelimpahan
kewenangan dari dokter, sebagaimana diatur pada Pasal 23 ayat (1) Permenkes Nomor
2052/Menkes/Per/X/2011, Tetapi dalam Permenkes tersebut tidak terdapat penjelasan yang
tegas mengenai standar operasional prosedur pelimpahan kewenangan.
Berdasarkan Pasal 23 Permenkes No. 2052/Menkes/Per/X/2011, dapat diketahui
syarat-syarat untuk sahnya pelimpahan kewenangan tindakan kedokteran kepada perawat,
yaitu antara lain: pelimpahan dilakukan secara tertulis. Pasal 23 sangat jelas disebutkan bahwa
bentuk pelimpahan wewenang yang diberikan dokter kepada perawat harus dilakukan secara
tertulis. Namun jika dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Kota Palopo
didapatkan pelimpahan kewenangan dokter kepada perawat tidak dilakukan secara tertulis,
tetapi dilakukan secara lisan dan lewat telpon. Padahal menurut penulis salah satu persyaratan
perawat untuk melakukan tindakan kedokteran adalah adanya pelimpahan kewenangan secara
tertulis dari dokter kepada perawat.
Penulis berpendapat bahwa pelimpahan kewenangan dokter kepada perawat
Puskesmas di Kota Palopo yang melakukan tindakan kedokteran tidak sesuai dipersyaratkan
Pasal 23 Permenkes No.2052/Menkes/Per/X/2011 yang menegaskan bahwa pelimpahan
kewenangan dari dokter kepada perawat dalam bentuk tertulis, dan Pasal 10 ayat (1)
Permenkes No. HK.02.02/Menkes/148/I/2010 “Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan
nyawa seseorang/pasien dan tidak ada dokter di tempat kejadian, perawat dapat melakukan
pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8”. Menurut
penulis pemberian pengobatan kepada pasien di Puskesmas Kota Palopo tidak dalam kategori
dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa, tetapi pemberian pengobatan karena
faktor dokternya berhalangan dan apabila pasien tidak dilayani akan berdampak pada
pelayanan kesehatan di Puskesmas terganggu.
Pelaksanaan pelimpahan kewenangan dokter kepada perawat tidak optimal, ternyata
disebabkan karena adanya faktor yang mempengaruhi yaitu faktor substansi hukum,
sosialisasi, dan faktor pengetahuan hukum. Salah satu faktor yang menjadikan peraturan itu
efektif atau tidak yaitu kaidah hukum atau peraturan itu sendiri (Ruslan, 2011). Di Indonesia
kewenangan tenaga medis telah diatur dalam Pasal 35 UU No. 29 Tahun 2009 (Isfandyarie,
2006).
Pemerintah mengeluarkan peraturan pelimpahan kewenangan tindakan kedokteran
kepada perawat melalui Pasal 23 Permenkes No.2052/Menkes/Per/X/2011. Tetapi menurut
penulis Pasal 23 tersebut tidak tegas tindakan kedokteran apa yang dapat dilimpahkan dokter
kepada perawat dan apakah setiap kali perawat mendapatkan pelimpahan kewenangan dari
dokter harus selalu dibuat ataukah cukup satu kali saja dibuatkan sebagai surat kuasa untuk
melakukan tindakan kedokteran, ketentuan ayat (1) tidak diikuti penjelasan maupun petunjuk
teknis cara atau standar operasional prosedur pelimpahan kewenangan sehingga menurut
penulis ayat (1) perlu lebih dipertegas kalimatnya ataukah setidaknya ada petunjuk teknis
lebih khusus lagi untuk dijadikan pedoman atau standar operasional prosedur pelaksanaan
suatu pelimpahan kewenangan dokter kepada perawat. Begitupun pada ayat (2), kata
kebutuhan pelayanan yang melebihi ketersediaan dokter difasilitas pelayanan, penulis
berpandangan bahwa kata tersebut belum jelas maknanya karena belum ada penjelasan atau
indikator kapan dikatakan kebutuhan pelayanan melebihi ketersediaan dokter, apakah apabila
ada 100 pasien hanya diperiksa oleh 1 orang dokter sudah dapat dikatakan kebutuhan
pelayanan melebihi ketersediaan dokter, ketentuan tersebut belum ada pedoman yang dapat
diambil sebagai dasar. Sementara ayat (3) huruf e disebutkan tindakan yang dilimpahkan tidak
bersifat terus menerus, kata tidak bersifat terus menerus tidak memberikan batasan tidak terus
menerus itu berapa jangka waktunya. kata-kata yang tidak jelas maknanya, ketidakjelasan
dapat menimbulkan interpretasi ganda.
Penulis berpendapat bahwa proses sosialisasi tentang peraturan pelimpahan
kewenangan dokter kepada perawat di Kota Palopo perlu dilaksanakan karena memiliki
pengaruh yang besar terhadap menumbuhkan kesadaran hukum pada diri seseorang terutama
dokter dan perawat. Hal senada yang diungkapkan oleh Menteri Hukum dan HAM RI bahwa
sosialisasi berbagai materi hukum perlu terus di upayakan agar setiap perkembangan terbaru
mengenai peraturan perundang-undangan diketahui dan dipahami oleh masyarakat.
Selain itu pada hasil penelitian juga didapatkan hasil bahwa perawat mengetahui
bahwa tindakan kedokteran tidak boleh dilakukan oleh seorang perawat apabila tidak ada
surat pelimpahan dari dokter, tetapi kenyataanya ditemukan 58,1 % perawat pernah
melakukan tindakan kedokteran berupa memberikan pengobatan, dan 32,6 % perawat
melakukan tindakan injeksi/hecting, pelimpahan kewenangan dokter kepada perawat
puskesmas di Kota Palopo dalam bentuk lisan 72,1 % , lewat telpon 27,9 % , sedangkan
secara tertulis 0,0 %. Berdasarkan fakta tersebut penulis berpendapat bahwa tingkat kesadaran
hukum perawat di Kota Palopo masih rendah, karena perawat sadar bahwa ada aturan hukum
yang mengatur bahwa perawat dilarang melakukan tindakan kedokteran apabila tidak ada
pelimpahan secara tertulis dari dokter. Sebagaimana yang dikatakan Soerjono Soekanto
menyatakan, bahwa kalau hukum ditaati, maka hal itu merupakan suatu petunjuk bahwa
hukum tersebut efektif (dalam arti mencapai tujuannya). Dengan kata lain, peraturan itu
efektif apabila para pemegang peran berprilaku positif yaitu berprilaku yang tidak
menimbulkan masalah (Ali, 2009)
KESIMPULAN DAN SARAN
Perawat dapat melakukan suatu tindakan kedokteran apabila ada pelimpahan
kewenangan akan tetapi, tidak ada standar operasional prosedur pelimpahan kewenangan
dokter kepada perawat. Pelimpahan kewenangan dokter kepada perawat Puskesmas di Kota
Palopo belum sesuai dengan yang dipersyaratkan yaitu dilakukan secara tertulis. Pelaksanaan
pelimpahan kewenangan dokter kepada perawat Puskesmas di Kota Palopo tidak
dilaksanakan secara optimal karena substansi peraturan pelimpahan kewenangan dokter
kepada perawat kurang jelas dan tegas, kurangnya sosialisasi kepada dokter dan perawat,
sehingga pengetahuan tentang aturan pelimpahan kewenangan dokter kepada perawat tidak
diketahui oleh dokter dan perawat. Disarankan Standar operasional prosedur pelimpahan
kewenangan dokter kepada perawat perlu lebih dirinci dan tegas dan pelaksanaan pelimpahan
kewenangan dokter kepada perawat Puskesmas di Kota Palopo harus dilakukan secara
tertulis. Perlunya substansi peraturan pelimpahan kewenangan dokter kepada secara jelas dan
tegas, perlunya dilakukan sosialisasi kepada dokter dan perawat tentang peraturan pelimpahan
kewenangan dokter kepada perawat, sehingga pengetahuan tentang peraturan pelimpahan
kewenangan diketahui oleh dokter dan perawat.
DAFTAR PUSTAKA

Ali Achmad , (2009), Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Ruslan Achmad, (2011), Teori dan Panduan Praktik Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan Di Indonesia, Rangkang Education, Yogyakarta.
Isfandyarie Anni, (2006), Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Dokter, Prestasi Pustaka,
Jakarta.
Cecep Triwibowo, (2010), Hukum Keperawatan, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta.
Djaelani, (2008), Pelimpahan Kewenangan Dalam Praktik Kedokteran Kepada Perawat,
Bidan Secara Tertulis Dapat Mengeliminasi Tanggung Jawab Pidana & Perdata,
Jurnal Hukum Kesehatan, Ed pertama.Hlm.9
Delik News, (2009), Perawat Tolong Pasien Dipidana,(On Line),http//www.desentralisasi
kesehatan, Diakses Tanggal 16 Desember 2012.
Ridwan , (2006), Hukum Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada,Jakarta.
Suparto,(2008), Etik dan Hukum di Bidang kesehatan, edisi kedua.
Ta’adi, (2009), Hukum Kesehatan Pengantar Menuju Perawat Profesional, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Tutik, (2010), Perlindungan Bagi Pasien, Prestasi Pustaka, Jakarta
Willa, (2001), Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung
Tabel 1. Standar Operasional Prosedur Pelimpahan Kewenangan Dokter Kepada
Perawat Puskesmas di Kota Palopo

Standar Operasional Prosedur


Pelimpahan Kewenangan Dokter Frekwensi Persentase
Kepada Perawat
Ada 0 0,0
Tidak Ada 43 100,0
Jumlah 43 100,0
Sumber: Diolah Dari Data Primer Tahun 2013

Tabel 2. Tindakan Kedokteran yang Dilakukan Oleh Perawat Puskesmas di Kota


Palopo

Tindakan Kedokteran yang


Frekwensi Persentase
dilakukan Oleh Perawat
Tidak Pernah 4 9,3
Pernah
a. Memberikan Pengobatan 25 58,1
b. Melakukan injeksi/Hecting 14 32,6
Jumlah 43 100,0
Sumber: Diolah Dari Data Primer Tahun 2013

Tabel 3 : Pelimpahan Kewenangan Dokter Kepada Perawat Puskesmas di Kota


Palopo

Pelimpahan Kewenangan Frekwensi Persentase

Tertulis 0 0,0
Tidak tertulis
a. Secara Lisan 31 72,1
b. Lewat Telpon 12 27,9
Jumlah 43 100,0
Sumber: Diolah Dari Data Primer Tahun 2013
Tabel 4. Sosialisasi Tentang Peraturan Pelimpahan Kewenangan Dokter Kepada
Perawat Puskesmas di Kota Palopo

Sosialisasi Frekwensi Persentase


Dilaksanakan 0 0,0
Tidak dilaksanakan 43 100,0
Jumlah 43 100,0
Sumber: Diolah Dari Data Primer Tahun 2013

Tabel 5. Pengetahuan Responden Tentang Peraturan Pelaksanaan Pelimpahan


Kewenangan Dokter Kepada Perawat

Pengetahuan Tentang Peraturan Frekwensi Persentase


Pelaksanaan Pelimpahan Kewenangan
Tahu 11 25,6
Tidak tahu 32 74,4
Jumlah 43 100,0
Sumber: Diolah Dari Data Primer Tahun 2013

Anda mungkin juga menyukai