Uang kertas bolivar (mata uang Venezuela) nyaris tak ada nilainya dan
merupakan salah satu mata uang dengan nilai tukar paling rendah di dunia. Padahal
dulu negara ini terkenal sangat kaya raya. Venezuela memiliki cadangan minyak
terbesar di dunia. Tapi kekayaan itu yang kemudian menjadi awal dari
kehancuran Venezuela.
Kondisi ekonomi yang tidak stabil mendorong jutaan warga Venezuela eksodus
ke luar negeri demi mencari pekerjaan dan mendapatkan barang-barang kebutuhan
pokok, terutama ke negara-negara tetangga seperti Kolombia dan Brasil. Situasi itu
diperparah dengan gejolak politik antara pihak oposisi yang dipimpin Juan Guaido
dan pemerintah yang dipimpin Presiden Nicolas Maduro. Sementara itu, Thailand
berhasil mempertahankan gelar sebagai negara yang paling tidak sengsara pada tahun
ini. Negeri Gajah Putih bahkan mengalahkan Swiss dan Singapura, yang
masing-masing menduduki posisi kedua dan ketiga. Adapun Indonesia berada di
peringkat 24, lebih baik dari Arab Saudi dan Filipina. Dua negara yang disebut
terakhir masing-masing menjadi negara paling sengsara ke-10 dan ke-22.
Indeks ini mengacu pada konsep lama, yaitu bagaimana inflasi yang rendah dan
tingkat pengangguran menggambarkan seberapa baik warga suatu negara menilai
keadaan mereka.
Harga minyak dunia yang jatuh disebut-sebut sebagai salah satu penyebab
inflasi paling utama di Venzuela. Pemerintah Venezuela menggantungkan
pemasukan dari sektor ini. Jumlahnya mencapai lebih dari 90 persen dari total
pemasukan tiap tahun.
Harga minyak amblas tahun 2014. Ini tentu aja berdampak sampai ke
Venezuela. Ekonomi di negara petro itu terperosok hingga memicu
krisis ekonomi seperti sekarang.
2. Situasi politik dalam negeri yang memburuk
Mata uang Bolivar Venezuela begitu ambruk nilainya jadi hampir tidak
berharga. Nilai AS$1 kini bisa setara lebih dari 6,3 juta Bolivar. Nilai yang mata
uang rendahnya gila-gilaan itu mungkin hanya bisa dibandingkan dengan mata
uang dolar Zimbabwe pada masa Robert Mugabe. Saat itu bahkan tukar AS$1
sama dengan 669miliar Dolar Zimbabwe.
Tak pelak, harga barang melambung tinggi. Para penduduk lokal
membutuhkan tumpukan uang tunai untuk membeli kebutuhan rumah tangga.
Berikut ini adalah gambaran betapa mengerikannya krisis ekonomi yang
dilanda Venezuela akibat dari hiperinflasi negara tersebut:
1. Popok bayi
2. Tepung
3. Keju
4. Sabun
5. Beras
6. Wortel
Satu kilogram wortel setara dengan uang senilai 3.000.000 boliver (Rp176
ribu).
7. Daging
Satu kilogram daging setara dengan uang 9.500.000 bolivar (Rp557 ribu).
Dikutip dari Bloomberg, Kamis (18/4/2019) negara Amerika latin tersebut berada
di peringkat teratas dalam Indeks Kesengsaraan Bloomberg (Bloomberg's Misery
Index) yang melakukan perhitungan terhadap tingkat pengangguran dan inflasi
pada 62 negara dalam lima tahun berturut-turut. Venezuela tahun ini menjadi
satu-satunya negara yang harus bertarung melawan tingginya inflasi sekaligus
tingkat pengangguran yang tinggi. Sementara, sebagian besar peembuat kebijakan
di negara lain menghadapi tantangan yang berbeda, yaitu komibinasi rumit dari
inflasi yang cenderung stabil dan pengangguran yang cenderung lebih rendah
yang justru memperumit proyeksi terhadap kondisi kesehatan perekonomian serta
respon yang dirasa sesuai. Krisis yang terjadi ini juga mempengaruhi
perekonomian masyarakat di Venezuela. Secara luas masyarakat mengeluhkan
kelaparan, kurangnya perawatan medis, meningkatnya pengangguran hingga
maraknya keegiatan kriminal bahkan dengan kekerasan
4. Kesengsaraan masyarakat
Pada akhir tahun lalu saja, harga rata-rata naik dua kali lipat setiap 19 hari. Ini
telah membuat banyak rakyat Venezuela berjuang untuk membeli
barang-barang pokok seperti makanan dan peralatan mandi.
Selain itu, nilai tukar mata uang mereka (bolivar) juga terus melemah. Yang
awalnya untuk mendapatkan US$ 1 hanya membutuhkan tidak sampai 200
bolivar pada tahun 2018, kini butuh sekitar 1.600 bolivar untuk memiliki satu
dollar.
Jumlah yang meningkat ini juga kontras dengan capaian terbaik mereka yang
berhasil menekan kasus malaria pada tahun 1961, bahkan menjadi negara
pertama yang disebut menghilangkan penyakit malaria.
Jose Felix Oletta, spesialis penyakit menular yang juga mantan menteri
kesehatan, mengatakan proyeksi untuk 2018 menunjukkan peningkatan hingga
50% dalam jumlah kasus pada 2017.
"Dengan kecepatan ini, akan ada lebih dari satu juta kasus dalam satu tahun.
Ini adalah angka-angka yang dimiliki Venezuela pada awal abad ke-20.
Malaria di luar kendali di Venezuela," ungkap Oletta.