DI RUMAH SAKIT:
1. Apoteker membuat suatu obat yang isinya campuran dari beberapa obat (oplosan).
DI INDUSTRI:
1. Klaim, saling mengklaim suatu produkmelanggar etika.
2. Kebohongan publikmenginfokan tentang khasiat suatu obat yang tidak benar.
KASUS PRODUKSI
KASUS I:
Kasus Ia
Dalam FI IV disebutkan bahwa tablet efedrin memiliki kadar yang dapat diterima adalah 90-
100% efedrin anhydrat.
Untuk memproduksi tablet efedrin 50 mg sebanyak 1.000.000 tab diperlukan 50 kg serbuk
efedrin anhydrat dengan penambahan berbagai bahan campuran lainnya.
Hasil uji bagian QC didapat kadar efedrin 95,25%, KS/KB, WH memenuhi syarat sehingga
barang tersebut diluluskan.
Tablet efedrin yang dibuat menjadi 1.047.500 tablet.
Hasil ini terjadi berulang-ulang.
Telah dilakukan check proses, namun hasil sama.
Kasus Ib
Apoteker S, seorang Manajer roduksi suatu Industri farmasi diminta untuk memproduksi
sediaan Tablet Captoprl 25 mg. Sesuai dengan syarat standard dalam Farmakope Indonesia
edisi IV, syarat kadar Captopril tablet adalah 90 s.d. 110%. Guna memproduksi 100.000 tablet
Captopril 25 mg, Apoteker S menimbang 2,300 kg sehingga tiap tablet mengandung rata-rata
96,00%. Obat dapat diproduksi dan secara peraturan perundang-undangan memenuhi syarat
kadar. Apoteker S dibanggakan oleh pemilik industri dan mendapat bonus besar karena
produksi Captopril tablet menghasilkan laba yang banyak.
KASUS II:
Pemerintah telah menetapkan harga jual obat adalah 1- 3 kali harga obat generiknya. Seorang
apoteker yang menjabat sebagai Manajer Produksi di suatu industri farmasi mendapati bahwa
harga bahan baku glibenclamide naik sehingga setelah diproduksi menjadi tablet
glibenclamide juga harga tinggi
Bila mengikuti harga yang ditetapkan pemerintah, pabrik mengalami kerugian. Diketahui
bahwa pabrik farmasi yang memproduksi glibenclamide tablet hanya oleh beberapa pabrik
farmasi.
Tetap memproduksi Glibenclamide tablet karena sangat diperlukan oleh masyarakat. Tapi
gemana mengatasi kerugian perusahaan? So:
Melakukan subsidi silang untuk menutup kerugian pabrik/jual neto aja.
Efektivitas produksi/menekan biaya produksi. Ganti dengan bahan tambahan yang lebih murah
tapi tidak mengubah kualitas.
Lakukan upaya diplomasi antara petinggi pabrik (pentingnya GP-Farmasi) dengan pemerintah
terkait regulasi.
KASUS III:
Sebuah pabrik obat tradisional Kec. Bumiayu Kab. Brebes Jawa Tengah memproduksi OT
mengandung BKO tanpa hak dan kewenangan. Ruang produksi OT TIE dan mengandung
BKO tersebut didesain seperti Bunker yang terletak dibawah tanah dan bertingkat 2 (dua).
Persyaratan usaha industri obat tradisional dan usaha industri kecil obat
tradisional (SK MENKES NO. 246/MENKES/SK/ V/1990 tentang izin usaha
industri obat tradisional dan pendaftaran obat tradisional)
Pasal 3
1. Obat tradisional yang diproduksi, diedarkan diwilayah Indonesia maupun dieksport
terlebih dahulu harus didaftarkan sebagai persetujuan menteri.
2. Dikecualikan dari ketentuan ayat 1 adalah obat tradisional hasil poduksi:
a. Industri kecil obat tradisional dalam bentuk rajangan, pilis, tapel, dan parem.
b. Usaha jamu racikan.
c. Usaha jamu gendong.
Pasal 6
1. Usaha industri obat tradisional wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Dilakukan oleh badan hukum berbentuk perseroan terbatas atau koperasi.
b. Memiliki nomor pokok wajib pajak.
Pasal 7
“Industri obat tradisional harus didirikan di tempat yang bebas pencemaran dan tidak
mencemari lingkungan”.
Pasal 8
“Usaha industri obat tradisional harus mempekerjakan secara tetap sekurang-kurangnya
seorang apoteker warga negara indonesia sebagai penanggung jawab teknis”.
Pasal 9
1. Industri obat tradisional dan industri kecil obat tradisional wajib mengikuti
pedoman cara pembuatan obat tradisioanl yang baik (CPOTB).
2. Pemenuhan persyaratan dimaksud ayat 1 dinyatakan oleh petugas yang berwenang
melalui pemeriksaan setempat.
Pasal 23
Untuk pendaftaran obat tradisional dimaksud dalam pasal 3 obat tradisional harus memenuhi
persyaratan:
a. Secara empirik terbukti aman dan bermanfaat untuk digunakan manusia .
b. Bahan obat tradisional dan proses produksi yang digunakan memenuhi prsyaratan
yang ditetapkan.
c. Tidak mengandung bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat sebagai
obat.
d. Tidak mengandung bahan yang tergolong obat keras atau narkotik.
Pasal 7 (1)
“Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi harus memiliki apoteker penanggung
jawab”.
Pasal 9 (2)
“Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu)
orang apoteker sebagai penanggung jawab”.
KASUS PENGADAAN
Apotek menerima tawaran PBF karena ada pelicin/bonus.
KASUS DISTRIBUSI
KASUS I:
Apotek panel melanggar UU.
Untuk bersaing dengan apotek lain, sehingga apotek X mencari PBF yang menjual harga
murah walaupun tidak legal dengan tujuan agar bisa menjual kembali dengan harga murah
dengan diskon, sehingga mampu bersaing.
KASUS II:
Nempil obat antar apotek bagaimana aturan main yang baik?
Penyelesaian:
Pada prinsipnya yang penting (tolong menolong):
1. Bagi yang nempil:
a. minta tolong dengan sopan dan cara yang baik, jangan hanya menggunakan kertas
sobekan untuk pemesanan.
b. Komunikasikan / telepon dulu, siapkan dokumen tertulis.
c. Kalimat terbaik: (1) SP; (2) Copi Resep; (3) Dengan kertas yang baik. 1 & 2
Untuk nempil narkotik boleh tapi pake SP narkotik (baca UU Narkotika
No.35/2009)
2. Bagi yang ditempili:
a. Harga (pada umumnya HNA + PPN x index 1,3), namun untuk sejawat tidak
sama dengan harga pada umumnya, atau bukan juga harga netto, ini egois. Tapi
index misalnya 1,1. Tidak menarik biaya tueslag dan embalanse.
KASUS III:
Narkotik boleh didistribusikan dari apotek ke apotek, dari apotek ke RS. Masa sesama
sejawat tidak saling percaya untuk nempil obat, percuma kuliah lama kata bu Bondan. Yang
penting ada SP nya aja (kesepakatan di Yogya pake SP khusus, tapi berdasarkan undang-
undang yang penting ada permintaan tertulis dari apoteker). UU Narkotik tahun 70an
memang tidak diperbolehkan, namun UU Narkotik sekarang boleh. UU Narkotika No.
35/2009:
Pasal 43
(1) Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
a. apotek;
b. rumah sakit;
c. pusat kesehatan masyarakat;
d. balai pengobatan; dan
e. dokter.
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:
a. rumah sakit;
b. pusat kesehatan masyarakat;
c. apotek lainnya;
d. balai pengobatan;
e. dokter; dan
f. pasien.
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat
menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
(4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.
KASUS PELAYANAN
PELAYANAN RESEP
Definisi
Permenkes 922/Menkes/Per/X/1993–Pasal 1(h)
Resep adalah permintaan tertulis dari Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan kepada Apoteker
Pengelola Apotik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai
peraturan perundangundangan yang berlaku.
Resep yang baik adalah resep yang jelas dan dapat dibaca, resep harus memenuhi peraturan
yang ditetapkan oleh SK. MENKES RI No. 26 MenKes/Per/1981, Bab III, pasal 10, yang
memuat :
1. Nama, alamat dan No Surat Ijin Praktek Dokter
2. Tempat dan tanggal penulisan resep
3. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan obat.
4. Nama setiap obat/komponen resep (dengan Bentuk sediaan obat, Dosis, Jumlah
dan petunjuk pemakaian)
5. Tanda tangan/ paraf dokter, alamat jelas rumah untuk obat narkotika
6. Tanda seru/paraf dokter, pada obat yang melebihi dosis maksimum.
7. Nama penderita
Secara Teknis
Resep artinya pemberian obat secara tidak langsung, ditulis jelas dengan tinta, tulisan tangan
pada kop resep resmi kepada pasien, format, dan kaedah penulisan sesuai dengan peraturan
dan per Undang-Undangan yang berlaku.
Perundang-undangan:
Permenkes No.278/279/280/Menkes/SK/V/1981
Melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan
Salinan resep harus ditanda-tangani atau diparaf oleh Apoteker
Faktanya
Resep harus mudah dibaca dan mengungkapkan dengan jelas apa yang harus diberikan
(Zunilda, 1998).
Apabila apoteker menganggap pada resep tidak dapat dibaca dengan jelas atau tidak lengkap,
apoteker harus menanyakan kepada penulis resep (Hartono, 2003).
Dalam resep harus memuat: nama dokter, nomor Surat Izin Praktek dokter, alamat dokter,
tanggal penulisan resep, tanda tangan dokter, nama pasien, alamat, umur, berat badan, nama
obat, dosis, jumlah yang diminta, aturan pakai.
Resep yang mengandung narkotika harus ditulis tersendiri yaitu tidak boleh ada iterasi
(ulangan), ditulis dengan nama pasien tidak boleh m.i.=mihi ipsi=untuk dipakai sendiri,
alamat pasien dan aturan pakai yang jelas, tidak boleh ditulis sudah tahu pakainya (Aniefa,
2000).
Pemberian obat yang terlalu banyak sebaiknya dihindari karena bisa bahaya.
Pemberian obat dalam jangka waktu yang terlalu lama sebaiknya dihindari.
(Joenes, 2001).
Skrining Resep
Persyaratan administratif yaitu: nama, nomor Surat Izin Praktek dan alamat dokter, tanggal
penulisan resep, paraf dokter penulis resep, nama, alamat, umur, jenis kelamin, berat badan
pasien, nama obat, dosis, dan jumlah yang diminta, dan cara pemakaian yang jelas.
Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas atau jika nampak telah terjadi kesalahan, apoteker
harus mengkonsultasikan kepada penulis resep. Hendaknya apoteker tidak mengartikan
maksud dari kata yang tidak jelas atau singkatan yang tidak diketahui (Scott, 2000).
Beberapa jenis kesalahan memang cukup banyak dijumpai dalam penulisan resep, misalnya
masih banyak resep obat yang ditulis tanpa ada penulisan signa atau aturan pakai, kadang
kata signa yang dituliskan kurang jelas atau kurang lengkap (Zairina dan Himawati, 2003).
Beberapa jenis kesalahan yang terjadi pada resep:
Tidak ada umur pasien terutama untuk pasien anak.
Tidak ada tanda tangan dokter/prescriber
Nama obat tidak jelas karena tulisan yang sulit dibaca.
Penulisan obat dengan khasiat sama lebih dari 1 kali dalam 1 lembar resep, baik dengan nama
sama atau merk berbeda.
(Nadeem, 2003).
Pelayanan Resep
Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep ada kekeliruan atau penulisan resep yang
tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep.
(Anief, M., 2000).
Kesimpulan
Resep tidak memenuhi persyaratan/ tidak sesuai dengan kaidah hukum dan teori yang berlaku.
Resep tersebut dikonfirmasi dan didiskusikan lebih lanjut kepada dokter penulis resep
Bila terdapat resep yang tidak memenuhi aturan-aturan diatas, resep tidak dapat dilayani,
begitu pula resep narkotika yang telah diambil sebagian oleh pasien diapotek lain.
MASUK FORMULARIUM
Produk memiliki kualitas kurang bagus tetapi tetap dimasukkan ke dalam formularium karena
menjadi sponsor/PBF memberikan subsidi besar. Atau sebaliknya kualitas baik tetapi tidak
dicantumkan kedalam formularium, karena tidak memberikan untung misalnya bonus atau
penawaran menarik lainnya.
PERALATAN PENDUKUNG
Apoteker dalam memberikan pelayanan swamedikasi (OTC & OWA) melengkapi dirinya
dengan statoskop, tensi meter, alat tes gula darah dll. So???
Kontennya:
1. Kita harus tau tugas, tanggung jawab dan kewenangan profesi.
2. Tau kompetensi kita
3. Alat itu batasannya untuk apa dulu kita gunakan. Bukan untuk diagnosa, namun
untuk mendukung swamedikasi pasien dan monitoring obat/hasil terapi serta hanya
memberikan “warning” kepada pasien.
Tindakan:
1. P3K.
2. Beri/sediakan tempat yang nyaman untuk penyelamatan pasien/korban.
3. Beri minum untuk meringankan syok.
4. Menyiapkankan tenaga.
5. Jika ada dokter/tenaga medisyang kompeten/sesuai serahkan kepada ahlinya, jika
tidak baru apoteker turun tangan.
6. Jadi, kita harus bisa menempatkan diri, saat kapan kita turun langsung untuk
mengambil tindakan.
7. Jangan mencari celah untuk mencari keuntungan/jasa profesi/memanfaatkan
kesempatan dalam kesempitan.
KASUS II:
Apoteker S berpraktek di apotek miliknya. Suatu saat ada pasien anak kecil kejang yang
diantar oleh orang tuanya ke rumah sakit, namun belum sampai rumah sakit anak tersebut
kejang yang tiada tara sehingga orang tuanya (dalam perjalanan ke rumah sakit) memutuskan
berhenti di apotek untuk minta tolong pengobatan darurat di apotek tersebut. Dokter praktek
sudah tidak ada dan apoteker S harus mengambil keputusan menolong pasien atau
menolaknya. Dengan pertimbangan keilmuannya, apoteker S memberikan valisanbe rectal ke
dubur anak kecil itu sehingga kejangnya mereda. Pasien dapat diselamatkan dan segera
dikirim ke rumah sakit terdekat.
Identifikasi Masalah:
UU No. 5 tahun 1997
Pasal 33
1. Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah,
apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau
lembaga pendidikan, wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-
masing yang berhubungan dengan psikotropika.
Pasal 34
1. Pabrik obat, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, puskesmas, lembaga penelitian
dan/atau lembaga pendidikan wajib melaporkan catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 ayat (1) kepada Menteri secara berkala.
Pasal 14
4. Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas dan balai pengobatan,
puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
Pasal 14
1. Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter
2. Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah
sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien.
6. Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
dalam hal :
a. menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
7. Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat
diperoleh dari apotek.
Pasal 3
Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker
Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam
melaksanakan kewajibannya.
Implementasi PASAL 3:
1. Kepentingan kemanusiaan harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap
tindakan dan keputusan seorang apoteker indonesia
2. Bimlamana suatu saat seorang apoteker dihadapkan kepada konflik tanggung
jawab profesional, maka dari berbagai opsi yang ada seorang apoteker harus
memilih resiko yang paling kecil dan paling tepat untuk kepentingan pasien serta
masyarakat.
Pasal 9
Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan kepentingan
masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan melindungi mahluk hidup insani.
Implementasi PASAL 9:
1. Setiap tindakan dan keputusan profesional dari apoteker harus berpihak pada
kepentingan pasien dan masyarakat.
2. Seorang apoteker harus mengambil langkah-langkah untuk menjaga kesehatan
pasien khususnya janin, bayi, anak-anak serta orang dalam kondisi lemah.
Peraturan Pemerintah No.20 tahun 1962
Lafal Sumpah Apoteker
Tindakan apoteker dapat dibenarkan mengingat pemberian obat golongan psikotropika tanpa
resep dokter tersebut bertujuan sebagai pertolongan kepada pasien sehingga nyawa pasien
dapat terselamatkan.
Analisis Kasus:
Lafal Sumpah Apoteker no. 1 : “Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan
perikemanusiaan, terutam dalam bidang kesehatan”.
Pasal 9 :
Pasal 1 : Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Pasal 2 : Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan
perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.
Pasal 12 :
Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang
menjadi tanggung jawabnya.
Pasal 32 :
Ayat 1 : Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib
memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan
kecacatan terlebih dahulu.
Ayat 2 : Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta
dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
Pasal 53 :
Ayat 1 : Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan
memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.
Ayat 3 : Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya.
Pasal 83
(1) Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana harus ditujukan untuk
penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut, dan kepentingan terbaik bagi
pasien.
(2) Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Pasal 85
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta wajib
memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan nyawa pasien dan
pencegahan kecacatan.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada
bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau
meminta uang muka terlebih dahulu.
Pasal 102
Ayat 1 : Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan
berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan.
Kesimpulan:
Berdasarkan UU 36 tahun 2009 pasal 102 ayat 2 dan PP 51 tahun 2009 pasal 24 ayat
c, tindakan Apoteker S merupakan sebuah pelanggaran dalam menjalankan pekerjaan
kefarmasian karena memberikan obat Valisanbe rectal yang isinya adalah Diazepam yang
termasuk dalam golongan psikotropika.
Akan tetapi tindakan Apoteker S tidak sepenuhnya salah kerena keadaan anak tersebut
dalam kondisi darurat yang memerlukan penanganan secepatnya (UU 36 tahun 2009 pasal 32
ayat 1 dan pasal 53 ayat 3).
Keputusan Apoteker S memberikan Diazepam didasari oleh alasan kemanusiaan serta
dasar kompetensi dan ilmu pengetahuan di bidang farmasi yang dimilikinya.
Akankah kepentingan Aturan megalahkan kepentingan Nyawa??
RESEP RACIK
Apotek C adalah apotek yang cukup ramai, termasuk omzet dari penjulan resep. Resep yang
masuk selain obat generic, banyak pula obat-obat paten dan racikan. Apotek C menerima
sebuah resep racikan dari seorang dokter kulit, sebagai berikut:
R/ Acid salisil 0.5
Resorcin 0.5
Miconazole cr 5
Garamycin oint 5
m.f.la. ungt.da in pot tube I
S 2 dd u e
Keterangan:
Acid salisil tersedia dalam bentuk serbuk ( HNA+PPn = Rp 300,- per gram) jadi biaya yg
harus dibayarkan Rp 195
Resorcin tersedia dalam bentuk serbuk (HNA+PPn = Rp1500,- per gram) jadi biaya yg harus
dibayarkan Rp 975
Miconazole cr tersedia dalam bentuk tube 10 g (HNA+ PPn= Rp 4500,- per tube ) jadi biaya
yg harus dibayarkan Rp 2.925
Garamycin oint tersedia dalam bentuk tube 10g ( HNA +PPn= Rp 90.000,- per tube) jadi
biaya yg harus dibayarkan Rp 58.500
Pot salep 10 g (HNA+PPn= Rp 200,- per pot)
Jadi, total yang harus dibayarkan seharusnya adalah
= Rp 195 + Rp 975 + Rp 2.925 + Rp 58.500 + Rp 260 + Rp 200 + Rp 2500
= Rp 65.555
Index resep racikan adalah 1,3 dengan tuslah 1 R/ racikan adalah Rp 2500,-
Harga yang dibayar oleh pasien adalah dengan perhitungan sebagai berikut:
Acid salisil = Rp 195,- (dinaikkan)
Resorcin = Rp 975,- (dinaikkan)
Miconazole cr = Rp 5.850,- (dinaikkan)
Garamycin oint = Rp 117.000,- (dinaikkan)
Pot = Rp 260,- (dinaikkan)
Plastik = Rp 200,-
Tuslah = Rp 2.500,- +
Rp 126.980,- 127.000 (semua harga didongkrak)
Penyelesaian:
Apoteker C telah merugikan pasien karena pasien harus membayar obat lebih mahal dari
yang diterimanya.
Disini emang terjadi dilema. Disatu sisi resep minta misalnya setengah tube. Jika dibayar
Cuma setengah, kita rugi dunk. Kalau dibayar 1 tube, padahal resep minta hanya setengah
tube.
So, solusi:
Racik obat sesuai dengan resep, lalu komunikasikan kepada pasien, resep dibuat sekian tapi
harga tetap 1 tube, sisanya bisa pasien bawa, nanti kalau ada resep serupa bawa aja lagi
tubenya jadi ntar gag perlu bayar lagi dengan catatan penyimpanannya benar dan belum ED.
Cara menghitung ED obat campuran racik lihat ED obat paling pendek trus ED campuran
adalah ½ dari ED terpendek tadi. Walaupun ini perkiraan si, sulit ditentukan secara pasti
soalnya. Biasanya si kalau salep steril ED kira-kira 2 bulan setelah dibuka, kalua tetes mata
steril githu sekitar 1 bulan setelah dibuka.
So, Solusi:
Tambah aja numero resep asal dalam rentang aman.
Atau subsidi silang aja terhadap keuntungan kita yang lain jadi anggap sedekah githu.
Pasal 1
Resep adalah permintaan tertulis dari Dokter, Dokter Gigi. Dokter Hewan kepada Apoteker
Pengelola Apotik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan
perundang-undangan yang beriaku.
BAB VI Pelayanan
Pasal 14
(1) Apotik wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan.
(2) Pelayanan resep dimaksud dalam ayat (1) sepenuhnya atas tanggungjawab Apoteker Pengelola
Apotik.
Pelanggaran undang-undang:
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen
Pelanggaran Etika:
Pasal 1:
Sumpah/janji : Setiap Apoteker/ Farmasis harus menjunjung tinggi, menghayati, dan
mengamalkan Sumpah Apoteker/Farmasis.
Pasal 5:
Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker/Farmasis harus menjauhkan diri dari usaha
mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan
kefarmasian.
UU Pidana terkait kasus:
BAB XXV Tentang Perbuatan Curang
Pasal 382 bis
Barangsiapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau
perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan
khalayak umum atau seorang tertentu, diancam, jika perbuatan itu dapat enimbulkan kerugian
bagi konkuren-konkurennya atau konguren-konkuren orang lain, karena persaingan curang,
dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak
tiga belas ribu lima ratus rupiah.
Pasal 383
Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang
berbuat curang terhadap pembeli:
1. karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli;
2. mengenai jenis, keadaan atau jumlah barang yang diserahkan, dengan menggunakan tipu
muslihat.
Kesimpulan
Apoteker di apotek C melanggar undang-undang perlindungan konsumen, sumpah dan kode
etik profesi apoteker.
Solusi
• Apoteker harus menjalankan tugasnya sbg “decission maker” dalam hal ini harus bs
memberikan alternatif sediaan yg efisien dan efektif.
• Apoteker menjalankan tugasnya tidak hanya azas mencari keuntungan pribadi tetapi
memahami dan mengimplementasikan lafal sumpah dalam amanahnya,,,
GANTI OBAT/MEREK
KASUS I:
Karena suatu kondisi (stok kosong) obat X, yang diminta dalam resep tidak dapat dilayani.
Setelah di cek ternyata IFRS mempunyai obat Y yang kandungannya sama dari pabrik lain.
Harga obat pengganti memang lebih mahal, tetapi dengan pertimbangan agar pasien segera
dapat dilayani, tidak ada pasien yang membeli obat di luar RS dan efisiensi perputaran stok di
IFRS, Apoteker segera memberikan obat Y tersebut. Setelah menerima obatnya, pasien yang
bersangkutan minta dibuatkan kopi resep, namun Apoteker keberatan karena resep sudah
ditebus semua. Namun karena pasien terus mendesak akhirnya Apoteker membuatkan kopi
resep dan menuliskan obat Y, sesuai obat yang diterima pasien pada kopi resep tersebut.
Apoteker mengganti merek obat dengan harga yang lebih mahal tanpa konfirmasi kepada
pasien tidak boleh. Harusnya sampaikan kepada pasien alasan dan rekomendasi bahwa
beda tapi sama isinya.
Apoteker ganti obat dengan harga lebih mahal tanpa konfirmasi Salah, harusnya konfirmasi
dulu ke pasien.
Sebaiknya Apoteker melakukan konfirmasi kepada dokter penulis resep dan menghimbau
untuk mematuhi formularium rumah sakit.
Apoteker tidak bersedia membuat kopi resep salah (copi resep adalah hak pasien).
Apoteker tidak mengikuti kaidah penulisan kopi resep (pcc). Harusnya:
R/ Obat xxx
S 3 dd 1 det
Da Obat Y
KASUS II:
Dalam PP 51/2009 ada pernyataan:
Pasal 24
Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker
dapat:
(b). mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat
merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien;
Ganti obat/merek:
Pemerintah Daerah Kab “S” mensyaratkan bahwa dlm pendirian apotek harus telah ditunjuk
apoteker pendamping agar proses pelayanan kefarmasian selalu dilakkan apoteker.
Guna penuhi syarat tsb APA buka lowongan aping dan banyak yg melamar.
Salah satu pelamar digunakan utk syarat pendirian apotek sbg apoteker pendamping tanpa
konfirmasi aptk ybs.
Surat pernyataan kesediaan jadi aping dibuat dan ditandatangani calon APA. Semua
persyaratan administrasi terpenuhi
Terjadi pemalsuan .
Membuat dokumen palsu .
Merugikan sejawat calon aping.
Di pinggiran Bantul ada sebuah apotek B, milik seorang Apoteker, yang selamat dari
bencana. Dalam kondisi tersebut, Apotek B berusaha membantu masyarakat dengan buka 24
jam, sehingga masyarakat dapat mendapatkan pelayanan kapan saja. Dengan pertimbangan
keterbatasan persediaan, sulitnya supply obat dari distributor, permintaan konsumen yang
meningkat dan untuk menutupi biaya lembur karyawan, Apoteker B mengambil kebijakan
untuk menaikkan harga semua item obat 25%, masyarakat tidak
mempermasalahkan berapapun harga obat tersebut yang penting mendapatkan obat-obatan
yang diperlukan.
Apoteker B tidak mengikuti himbauan pemerintah dan ISFI untuk menjadi relawan, padahal
pada kondisi tersebut apoteker sangat dibutuhkan untuk mencegah masyarakat dari obat-obat
yang tidak bermutu. Kondisi apotek kan aman, jadi sebaiknya prioritaskan daerah bencana di
Kota. Nanti banyak korban yang salah minum obat karena minimnya apoteker yang menjadi
relawan. Jika mau buka atur shift aja.
Apoteker B mementingkan keuntungan pribadi, menaikkan harga obat tidak wajar pada
kondisi masyarakat perlu dibantu.
PROMOSI TERSELUBUNG
Apotek menjadi alat promosi, ditawari bonus kaos yang berlogo merek obat tertentu dan
harus dipakai saat pelayanan.
“ Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Bathin.
Apotek Kami tetap buka 24 jam, harga tetap sama”
Turun harga!!!
- Natur-E 17.200 16.800
- Hemobion 8.000 7500
- Biolysin syr 11.000 9.800
- Albothyl 28.000 27.000
- Sutra extra 5.000 4.700
Semua promosi terselubung tidak baik (tidak boleh) karena mendominasi, membuat
persaingan antar apotek menjadi tidak sehat.
Promosi dibawah ini boleh dilakukan, karena kata-katanya lebih halus dan tidak
menyinggung.
Ini lebih elegan:
“ Perhatikan dan bacalah dengan seksama obat yang Anda terima. Hubungi Apoteker kami
jika Anda membutuhkan penjelasan lebih lanjut, pada:
No. telp. : 0274 55xxxx
Sms : 0811252xxxx
Email : drug_apt@yahoo.co.id
atau:
atau:
KASUS MARKETING
KASUS I:
Untuk meningkatkan penjualan, seorang Apoteker yang menjadi Manajer Marketing divisi
OTC pada suatu pabrik farmasi merencanakan untuk melakukan promosi aktif kepada outlet
apotek. Apotek yang dapat menjual produk A dengan target tertentu akan mendapatkan
reward berupa bonus/marketing fee/diskon yang cukup besar. Adapun ketentuan yang
ditetapkan adalah sebagai berikut:
1. Perhitungan pencapaian target berdasarkan jumlah pembelian produk A ke PBF yang telah
ditentukan, dibuktikan dengan foto kopi faktur pembelian.
2. Outlet bersedia mendisplay produk A pada tempat yang strategis.
3. Petugas outlet bersedia menggunakan atribut berupa kaos produk A dan selalu aktif
menawarkan produk kepada konsumen.
4. Outlet tidak menyediakan produk competitor.
5. Menjamin ketersediaan produk A pada outlet selama 6 bulan berturut-turut.
KASUS II:
Apoteker AN bekerja sebagai medical representativ (Medref) disalah satu Industri Farmasi
PMA. Sebagai salah satu cara untuk menarik perhatian dokter dalam mempromosikan produk
obatnya, maka Apoteker AN bersedia menanggung biaya dan memfasilitasi dokter tersebut
untuk mengikuti simposium ilmiah di luar negeri, yang sudah disetujui juga oleh industri
tempat Apoteker tersebut bekerja.
Kode Etik
Pasal 3
Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker
Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip
kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya.
Pasal 5
Di dalam menjalankan tugasnya Seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha
mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur
jabatan kefarmasian.
Pasal 6
Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain.
1. GP Farmasi Indonesia dan Ikatana Dokter Indonesia mewajibkan seluruh elemen Pelaku
Usaha Farmasi Indonesia yang tergabung dalam GP Farmasi Indonesia dan kalangan profesi
kedokteran yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (termasuk
organisasi seminat / spesialis dan organisasi lain di lingkungan IDI) untuk menerapkan secara
konsekuen pelaksanaan Etika Promosi Obat dengan penuh tanggung jawab. Poin-poin etika
promosi obat dan kesepahaman yang dimaksud adalah:
(b.) Dukungan apapun yang diberikan perusahaan farmasi kepada seorang dokter
untuk menghadiri pertemuan ilmiah tidak boleh diisyaratkan /dikaitkan dengan
kewajiban untuk mempromosikan atau meresepkan suatu produk.
Pasal 5
Hadiah Dan Alat Medis
5.1. Prinsip Umum
Tidak diperbolehkan menawarkan hadiah/penghargaan, insentif, donasi, keuangan,
dan sejenisnya kepada profesi kesehatan dikaitkan dengan penulisan resep atau anjuran
penggunaan obat/produk suatu perusahaan.
5.3. Donasi
5.3.1. Donasi hanya boleh diberikan kepada institusi, dan dilarang keras untuk diberikan secara
langsung kepada profesi kesehatan.
BAB V
Pemberian Dan Donasi
Pasal 8
(1) Pemberian dan donasi tidak dikaitkan dengan penulisan resep atau anjuran penggunaan obat
yang bersangkutan.
(2) Pemberian dan donasi hanya diperbolehkan untuk diberikan kepada institusi, tidak
kepada pribadi profesi kesehatan.
BAB VI
Kegiatan Yang Dilarang
Pasal 9
Industri Farmasi dan/atau Pedagang Besar Farmasi dilarang :
a. Kerjasama dengan Apotik dan Penulis Resep.
b. Kerjasama dalam peresepan obat dengan Apotik dan/atau Penulis Resep dalam
suatu program khusus untuk meningkatkan penjualan obat tertentu.
c. Memberikan bonus/hadiah berupa uang (tunai, bank-draft, pinjaman, voucher,
ticket), dan/atau barang kepada Penulis Resep yang meresepkan obat produksinya
dan/atau yang didistribusikannya.
Kesimpulan
Pada kasus ini hubungan kerjasama seperti ini yang dikenal sebagai kolusi, menyebabkan
harga obat merek/paten yang selama ini dikonsumsi konsumen Indonesia menjadi sangat
mahal melebihi harga obat diluar negeri, dan secara tidak langsung akan merugikan pasien
sebagai pihak konsumen. Oleh karena itu, secara de facto, dokterlah yang menjadi konsumen
obat. Yang boleh : Akomodasi, Transportasi, Registrasi.
Pelangaran yang terjadi:
1. Apoteker
Etika Profesi Apoteker Pasal 3, 5, dan 6
Undang – undang Kesehatan no 36 Tahun 2009 pasal 24
2. Perusahaan Farmasi
Kesepakatan bersama etika promosi obat
Kode etik IPMG (Internasional Pharmaceutical Manufacturers Group)
Keputusan Kepala BPOM Nomor Hk.00.05.3.02706 Tahun 2002 Tentang Promosi Obat.
IKLAN
Iklan jangan provokatif.
Iklan tidak boleh melanggar kode etik profesi.
Membuat plang nama berlebihan.
Strategi Promosi: Ucapkan selamat aja kepada seseorang, atau ucapkan selamat
telah dibuka Apotek X, dari Keluarga Besar kita sendiri.
Memberikan “Gimmick_pen ada nama obat” kepada pasien.
Kopi resep, kemasan dari pabrik tertentu.
Panel di RS.
Kode-kode pada resep.
Formulasi khusus.
Pembatasan info.
Keseimbangan promosi dan supply.
Memproduksi produk obat dengan kualitas rendah.
Menjual produk reject.
Tidak menyediakan tempat pelayanan info produk.
Membedakan harga antara profesi kesehatan.
Permasalahan:
1. Apoteker M bekerja sebagai staf pengajar di Perguruan Tinggi Farmasi di propinsi Y
2. Apoteker tsb juga bekerja sebagai APA di Apotek berbeda propinsi dengan
tempat mengajarnya.
Peraturan yang berkenaan dengan kasus:
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009
tentang
Pekerjaan Kefarmasian
Pasal 18
SIPA dan SIKA hanya diberikan 1 tempat fasilitas kefarmasian.
Pasal 20
Dalam menjalankan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker
dapat dibantu oleh Apoteker Pendamping dan/ atau Tenaga Teknis Kefarmasian.
Pasal 21
(1). Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker
harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian.
(2). Penyerahan dan Pelayanan Obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker.
Pasal 19
(1). Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka
apotek, Apoteker Pengelola Apotek harus menunjuk apoteker pendamping.
(2). Apabila Apoteker Pengelola Apotek dan Apoteker Pendamping karena hal2 tertentu
berhalangan melakukan tugasnya, APA menunjuk Apoteker Pengganti.
(3). Penunjukan dimaksud (1) dan (2) harus kepada Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota dengan
tembusan kepada Kepala Kesehatan Propinsi setempat dengan
menggunakan contoh Formulir Model APT-9
(4). Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti wajib memenuhi persyaratan
dimaksud dalam Pasal 5.
(5). Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 tahun
secara terus menerus, Surat Ijin Apotek atas nama Apoteker bersangkutan dicabut.
Kesimpulan:
Pada Kasus ini, Apoteker M melanggar peraturan Kode Etik sebagai Apoteker,
bilamana APA berhalangan hadir di Apotek selama 3 bulan secara terus menerus, maka APA
harus segera mencarikan Apoteker Pengganti dengan syarat memiliki SIPA dan tidak sedang
bekerja sebagai APA di apotek lain.
APA M melanggar peraturan KepMenKes, karena dalam hal ini
kemungkinan Apoteker Pendamping bekerja di Apotek di setiap waktu selama APA tidak
berada ditempat dalam waktu yang tidak menentu juga, sedangkan Aping hanya bekerja pada
waktu2 tertentu setiap jam buka apotek.
PENDIRIAN APOTEK
KASUS:
Apoteker H, seorang apoteker baru yang belum lama disumpah menjadi apoteker di salah
satu perguruan tinggi terkenal di Yogyakarta. Ia ditawari beberapa pemilik sarana apotek
untuk mendirikan apotek di suatu tempat yang strategis namun berdekatan dengan beberapa
apotek yang telah ada. Apoteker H segera menerima tawaran tersebut tanpa berkonsultasi
dengan sejawat lainnya ataupun organisasi profesi (Ikatan Apoteker Indonesia).
Analisis Kasus:
• Kode etik Apoteker Indonesia dan Implementasi Jabaran Kode Etik
BAB I_pasal 5:
“Didalam menjalankan tugasnya seorang apoteker harus menjauhkan diri dari usaha
mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur
jabatan kefarmasian”.
Pasal 11:
“Sesama apoteker harus saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi
ketentuan-ketentuan kode etik”.
Pasal 12:
“Seorang apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerja
sama yang baik sesama apoteker didalam memelihara keluhuran martabat, jabatan
kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai didalam menunaikan tugasnya”.
Jarak apotek perlu (biasa diatur perda/IAI kecuali apotek yang dibuka dirumah pribadi,
karna UU sekarang tidak lagi mengatur jarak, dulu jalan lurus 500 m) agar tidak konflik.
Apoteker harus menghindarkan diri dari konflik yang dapat merusak pekerjaan profesi.
Perjanjian APA-PSA ttd perjanjian PSA-APA di depan IAI.
Hubungan antara Apoteker Junior vs Senior.
Pergantian Apoteker jangan ditawari langsung masuk aja. Pastikan dulu siapa APA
sebelumnya . Biasanya pindah APA karna sepihak. Terus bagi APA yang diapoteknya tidak
enak jangan bilang disini ‘enak’ biar dia cepat pindah. Kan kasian juniornya kejebak ntar.
Persaingan harga.
CATATAN PENTING...